andaikan bandung tidak macet cet cet cet

2
Andaikan Bandung Tidak Macet cet cet cet …. Oleh : Agus Gunawan, S.Pd. “Bandung di lingkung gunung, heurin ku tangtung”. Sebaris lagu yang menggambarkan kondisi kota Bandung saat ini. Bandung yang sudah dihimpit oleh gunung di kanan dan kiri, hingga berdiri pun sulitnya minta ampun. Seandainya saja, bupati Wiranatakusumah II (1794 - 1829) masih hidup, mungkin akan sedikit menyesal melihat kondisi Bandung yang “heurin ku tangtung” alias sesak untuk berdiri, karena Bandung sudah tidak seasri dan seluas Bandung dua abad yang silam, disaat beliau masih hidup. Saat ini, di Bandung, jalannya saja “sesak” oleh kendaraan bermotor, sampai-sampai orang yang jalan kaki saja banyak yang “terinjak”. Apalagi untuk bergerak, bernapas saja kian sesak, sebab atmosfer kota Bandung sudah dipenuhi karbon yang merusak, sehingga bisa dikatakan, saat ini Bandung seharusnya sudah “dirombak”. Dan andaikan juga, gubernur Belanda, Herman Willem Daendels (1808 - 1811) tidak pernah menancapkan tongkat kayu ke jantung kota Bandung yang terdapat di jalan Asia Afrika, apakah Bandung akan semacet seperti saat ini. Dan masihkah sungai Cikapundung masih ditumbuhi pohon besar dan airnya bisa dipakai untuk berlayar dan oleh anak anak masih bisa dipakai “ngojay” (berenang). Sayang, sekarang zaman telah berputar sebagaimana berputarnya roda kendaraan di jalan-jalan Bandung yang lebar. Dan masa pun sudah berganti seiring makin padatnya rumah penduduk hingga menyerempet ke pinggir kali. Hal ini dikarenakan pola kehidupan “Urang Bandung” yang makin hari makin modern, tetapi perilakunya tidak mencerminkan kesetiaan kepada kota Bandung. Sehingga Bandung pun mengandung berbagai permasalahan yang menggelayuti. Diawali dengan masalah sampah yang menggunung hingga hujan yang tidak terserap dan meresap yang mengakibatkan banyak warga Bandung terjebak ketika hujan reda dengan banjir “Cileuncang” atau banjir semata kaki. Akan tetapi, bagaimana Bandung mau asri dan berseri lagi, kalau masyarakatnya yang katanya sudah masuk era globalisasi tetapi tidak mau bereaksi. Yang katanya sudah berada di

Upload: agus-gunawan

Post on 19-Jul-2015

32 views

Category:

News & Politics


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Andaikan bandung tidak macet cet cet cet

Andaikan Bandung Tidak Macet cet cet cet ….

Oleh : Agus Gunawan, S.Pd.

“Bandung di lingkung gunung, heurin ku tangtung”. Sebaris lagu yang

menggambarkan kondisi kota Bandung saat ini. Bandung yang sudah dihimpit oleh gunung di

kanan dan kiri, hingga berdiri pun sulitnya minta ampun.

Seandainya saja, bupati Wiranatakusumah II (1794 - 1829) masih hidup, mungkin

akan sedikit menyesal melihat kondisi Bandung yang “heurin ku tangtung” alias sesak untuk

berdiri, karena Bandung sudah tidak seasri dan seluas Bandung dua abad yang silam, disaat

beliau masih hidup.

Saat ini, di Bandung, jalannya saja “sesak” oleh kendaraan bermotor, sampai-sampai

orang yang jalan kaki saja banyak yang “terinjak”. Apalagi untuk bergerak, bernapas saja

kian sesak, sebab atmosfer kota Bandung sudah dipenuhi karbon yang merusak, sehingga bisa

dikatakan, saat ini Bandung seharusnya sudah “dirombak”.

Dan andaikan juga, gubernur Belanda, Herman Willem Daendels (1808 - 1811) tidak

pernah menancapkan tongkat kayu ke jantung kota Bandung yang terdapat di jalan Asia

Afrika, apakah Bandung akan semacet seperti saat ini. Dan masihkah sungai Cikapundung

masih ditumbuhi pohon besar dan airnya bisa dipakai untuk berlayar dan oleh anak – anak

masih bisa dipakai “ngojay” (berenang).

Sayang, sekarang zaman telah berputar sebagaimana berputarnya roda kendaraan di

jalan-jalan Bandung yang lebar. Dan masa pun sudah berganti seiring makin padatnya rumah

penduduk hingga menyerempet ke pinggir kali.

Hal ini dikarenakan pola kehidupan “Urang Bandung” yang makin hari makin

modern, tetapi perilakunya tidak mencerminkan kesetiaan kepada kota Bandung. Sehingga

Bandung pun mengandung berbagai permasalahan yang menggelayuti. Diawali dengan

masalah sampah yang menggunung hingga hujan yang tidak terserap dan meresap yang

mengakibatkan banyak warga Bandung terjebak ketika hujan reda dengan banjir

“Cileuncang” atau banjir semata kaki.

Akan tetapi, bagaimana Bandung mau asri dan berseri lagi, kalau masyarakatnya yang

katanya sudah masuk era globalisasi tetapi tidak mau bereaksi. Yang katanya sudah berada di

Page 2: Andaikan bandung tidak macet cet cet cet

zaman internet, tapi tetap saja “urang Bandung” teh bisanya hanya melihat “macet” tanpa ada

hasrat ingin “kegencet” mengurusi masalah Bandung yang sudah menggunung.

Akhirnya, “No Problem, with big Realism”, saatnya urang Bandung menuntaskan

masalah dengan realisasi. Slogan tidak hanya menjadi semboyan, tapi harus direalisasikan,

Kebersihan bukan hanya himbauan yang tidak dihiraukan, tapi harus sudah menjadi

kebutuhan dan kewajiban. Trotoar pinggir jalan diberlakukan menjadi tempat lalu lalang

orang, bukan lagi menjadi “jalur lelang barang”.

Dilanjutkan dengan pembenahan transportasi umum yang harus diperbanyak biar jalur

dan lajur kendaraan tidak kian sesak sebab kendaraan pribadi terus membludak. Kawasan

hijau pun perlu perhatian, bukan menjadi lahan “keperluan dan kepentingan” segelintir pihak.

Pemukiman penduduk yang padat perlu ditata ulang, biar suasana Bandung sedikit “herang”

(bercahaya).

Dan akhirnya, semoga Bandung tidak murung karena terus merenung, kapan urang

Bandung sadar bahwa sudah seharusnya kota Bandung “teu heurin ku tangtung”.

By. Agus Gunawan

“Pencinta Kota Kembang Bandung”