angioedema refratmini

22
ANGIOEDEMA (Sitti Fatimah Siampa, Rohana Sari Suaib) A. DEFINISI Angioedema adalah pembengkakan yang disebabkan oleh meningkatnya permeabilitas vaskular pada jaringan subkutan kulit, lapisan mukosa dan submukosa. (1-6) Hal ini pertama kali diungkapkan pada tahun 1586. Istilah lainnya seperti giant urticaria, Quincke edema, dan angioneurotic edema telah digunakan sejak dulu untuk menggambarkan kondisi seperti ini. (1) Angioedema seringkali dihubungkan dengan urtikaria. Faktanya, sebanyak 50% pasien dengan urtikaria juga mengalami angioedema. Pada banyak kasus, angioedema sangat mirip dengan urtikaria berdasarkan etiologi dan strategi penatalaksanaannya. (1) Urtikaria timbul akibat masuknya antigen ke area kulit yang spesifik dan menimbulkan reaksi setempat yang mirip reaksi anafilaksis. Histamin yang dilepaskan setempat akan menimbulkan vasodilatasi yang menyebabkan timbulnya red flare (kemerahan) dan peningkatan permeabilitas kapiler setempat sehingga dalam beberapa menit kemudian akan terjadi pembengkakan setempat yang berbatas jelas. (7) Di sisi lain, angioedema cukup berbeda dengan urtikaria. Angioedema selalu melibatkan lapisan dermis 1

Upload: sitti-fatimah-siampa

Post on 23-Oct-2015

79 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Referat Coass Kulit

TRANSCRIPT

Page 1: Angioedema refratmini

ANGIOEDEMA

(Sitti Fatimah Siampa, Rohana Sari Suaib)

A. DEFINISI

Angioedema adalah pembengkakan yang disebabkan oleh meningkatnya

permeabilitas vaskular pada jaringan subkutan kulit, lapisan mukosa dan

submukosa.(1-6) Hal ini pertama kali diungkapkan pada tahun 1586. Istilah lainnya

seperti giant urticaria, Quincke edema, dan angioneurotic edema telah digunakan

sejak dulu untuk menggambarkan kondisi seperti ini.(1)

Angioedema seringkali dihubungkan dengan urtikaria. Faktanya, sebanyak

50% pasien dengan urtikaria juga mengalami angioedema. Pada banyak kasus,

angioedema sangat mirip dengan urtikaria berdasarkan etiologi dan strategi

penatalaksanaannya.(1)

Urtikaria timbul akibat masuknya antigen ke area kulit yang spesifik dan

menimbulkan reaksi setempat yang mirip reaksi anafilaksis. Histamin yang

dilepaskan setempat akan menimbulkan vasodilatasi yang menyebabkan

timbulnya red flare (kemerahan) dan peningkatan permeabilitas kapiler setempat

sehingga dalam beberapa menit kemudian akan terjadi pembengkakan setempat

yang berbatas jelas.(7)

Di sisi lain, angioedema cukup berbeda dengan urtikaria. Angioedema

selalu melibatkan lapisan dermis yang lebih dalam atau jaringan submukosa atau

subkutaneus, sementara urtikaria melibatkan lapisan dermis yang lebih superficial.(1)

B. EPIDEMIOLOGI

Di Amerika Serikat, angioedema (tidak termasuk angioedema herediter

[Hereditary Angioedema (HAE)] dan angioedema yang didapat [Acquired

Angioedema(AAE)]) terjadi pada 10-20% populasi pada beberapa waktu dalam

kehidupan. Mayoritas angioedema kronik adalah idiopatik. Diperkirakan

prevalensi HAE sebanyak 1 per 10.000-150.000 orang. AAE lebih jarang

ditemukan. Sampai tahun 2006, hanya sekitar 136 kasus yang dilaporkan dalam

1

Page 2: Angioedema refratmini

literatur. Sedangkan menurut laporan, insidensi Angiotensin-converting enzyme

(ACE) inhibitor-induced angioedema (AIIA) bervariasi dari 0.1% - 6%.(4)

Ras Afrika-Amerika lebih rentan menderita angioedema yang diinduksi

oleh penggunaan ACE-inhibitor. Sementara, angioedema tipe lainnya tidak

memiliki hubungan yang jelas antara ras dengan jumlah dan derajat keparahan

penyakit.(1)

Angioedema idiopatik lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan

pria. Angioedema tipe lainnya tidak menunjukkan adanya hubungan yang kuat

antara insidensi angioedema dengan jenis kelamin. Pada HAE, estrogen

berpengaruh terhadap frekuensi serangan dan derajat keparahan gejala yang

ditimbulkan. Berdasarkan literatur, estrogen dianggap mampu memperburuk

angioedema tipe tertentu.(3)

Angioedema dapat terjadi pada segala tingkatan usia. Orang-orang dengan

predisposisi untuk terjadinya angioedema mengalami peningkatan frekuensi

serangan setelah dewasa dan insidensi puncaknya terjadi pada dekade ketiga.

Reaksi alergi terhadap makanan paling sering pada anak-anak. Pasien dengan

HAE, onset gejala sering kali terjadi di usia pubertas. Usia rata-rata pada pasien

dengan angioedema karena induksi oleh ACE-inhibitor adalah 60 tahun.

Angioedema idiopatik paling sering terjadi pada usia 30-50 tahun dibandingkan

grup usia lainnya.(1)

C. ETIO PATOGENESIS

Pembengkakan yang terjadi pada angioedema merupakan hasil dari

peningkatan permeabilitas vaskuler lokal pada jaringan submukosa dan

subkutaneus.(1)

Angioedema dapat diklasifikasikan menjadi allergic angioedema,

pseudoallergic angioedema, non-allergic angioedema dan idiopathic angioedema.(1)

1. Allergic angioedema

Berdasarkan studi yang dilakukan, angioedema paling sering disebabkan

oleh alergi. Sekitar 48 orang pasien dengan allergic angioedema, sebanyak 41.7%

kasus disebabkan oleh makanan, 39.6% oleh obat-obatan, 8.3% oleh binatang, dan

2

Page 3: Angioedema refratmini

sekitar 10.4% dipengaruhi oleh aeroalergen. Makanan yang paling sering

mencetuskan angioedema adalah makanan laut (70%). Sedangkan obat-obatan

yang diduga menjadi penyebab angioedema adalah antibiotik (12 dari 19 kasus;

63.2%), paling sering amoxisilin (3 dari 12 kasus; 25%).(8)

Allergic angioedema seringkali dihubungkan dengan urtikaria.

Angioedema biasanya akan mucul dalam waktu 30 menit sampai 2 jam setelah

terpajan alergen (seperti makanan, obat-obatan, dan bahan latex). Brown

melaporkan sebanyak 142 pasien dengan anafilaksis yang dirawat di IRD,

didapatkan angioedema pada sekitar 40% kasus.(1)

Mast cell merupakan sel efektor utama terjadinya urtikaria dan

angioedema, meskipun sel-sel lainnya juga tidak diragukan kontribusinya.(2)

Alergen makanan yang masuk akan mengakibatkan terjadinya cross-

linking IgE yang melekat pada permukaan mast cell atau basofil. Akibat keadaan

tersebut, terjadi pelepasan mediator, misalnya histamin, leukotrien, dan

prostaglandin, yang selanjutnya akan mengakibatkan gejala klinis. Pelepasan

mediator oleh mast cell, terutama histamin, mengakibatkan vasodilatasi dan

peningkatan permeabilitas vaskular.(8)

2. Pseudoallergic angioedema

Pseudoallergic angioedema tidak dimediasi oleh reaksi hipersensitifitas

IgE. Akan tetapi gejala yang ditimbulkan sangat mirip dengan allergic

angioedema. Contohnya angioedema yang diinduksi oleh penggunaan NSAIDs

seperti aspirin.(1)

Angioedema akibat induksi NSAIDs didapatkan pada sekitar 20% kasus.

Obat-obatan yang bertanggung jawab terhadap angioedema adalah ibuprofen

(57%), aspirin (19%), diklofenat (9.5%), asam mefenamat (4.8%), naproxen

(4.8%) dan meloxicam (4.8%). Angioedema terjadi akibat blokade jalur

pembentukan prostaglandin oleh penggunaan obat-obatan seperti aspirin dan

NSAIDs lainnya. Sehingga terjadi akumulasi leukotrien vasoaktif.(7)

3. Non-allergic angioedema

3

Page 4: Angioedema refratmini

Non-allergic angioedema merupakan angioedema yang tidak melibatkan

IgE atau histamin dan umumnya tidak berhubungan dengan terjadinya urtikaria,

termasuk diantaranya:(1)

a. Angioedema Herediter (Hereditary Angioedema (HAE))

Angioedema herediter terdiri atas dua subtipe, yaitu:

Angioedema herediter tipe 1 (85%) adalah kelainan yang diturunkan

secara autosomal dominan akibat mutasi pada gen sehingga terjadi supresi

C1-inhibitor sebagai akibat sekresi abnormal ataupun degradasi

intraseluler.(2)

Angioedema herediter tipe 2 (15%) adalah kelainan yang juga diturunkan

yang ditandai dengan mutasi yang menyebabkan pembentukan protein

yang abnormal. Kadar protein C1-inhibitor bisa normal atau meningkat.(2)

Kurangnya C1-inhibitor merangsang aktivasi jalur pembentukan kinin.

Kinin merupakan peptida dengan berat molekul yang rendah, berpartisipasi

dalam proses inflamasi dengan mengaktivasi sel endotel. Akibatnya terjadi

vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular, dan mobilisasi asam

arakhidonat. Reaksi radang seperti kemerahan, rasa panas, edema, dan nyeri

merupakan hasil dari pembentukan kinin.(2)

Gambar 1. Angioedema herediter. Kiri: Edema berat yang terjadi di daerah wajah. Kanan: Angioedema menghilang dalam beberapa jam,

tampak wajah kembali normal

b. Angioedema yang didapat (Acquired Angioedema (AAE))

4

Page 5: Angioedema refratmini

Angioedema yang didapat (AAE) juga terdiri atas dua jenis. AAE-I

berkaitan dengan limpoma sel-B atau penyakit jaringan konektif yang

berhubungan dengan penggunaan C1-inhibitor. Sedangkan AAE-2

merupakan kelainan autoimun, yaitu adanya produksi autoantibody IgG

terhadap C1-inhibitor.(2)

c. Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor-induced angioedema

(AIIA)

Frekuensi terjadinya angioedema setelah pemberian terapi ACE-

inhibitor sekitar 0.1% sampai 0.7%. AIIA biasanya melibatkan kepala dan

leher, termasuk mulut, lidah, faring, dan laring. Angiotensin Converting

Enzyme (ACE) merupakan enzim utama yang bertanggung jawab pada

degradasi bradikinin. Pemberian ACE-inhibitor dikontraindikasikan pada

pasien yang memiliki riwayat angioedema idiopatik, HAE, dan defisiensi

C1-inhibitor yang didapat.(2) Kebanyakan AIIA muncul pada minggu

pertama setelah pengobatan dimulai, hanya sekitar 30% kasus AIIA

muncul setelah beberapa bulan bahkan beberapa tahun setelah dimulainya

terapi.(1)

4. Idiopathic angioedema

Istilah idiopatik merujuk pada suatu penyakit atau kondisi tanpa diketahui

penyebabnya. Berdasarkan respon terhadap terapi, beberapa kasus mungkin saja

dimediasi oleh aktivasi mast cell. Hal yang menjadi pemicu paling sering adalah

panas, dingin, stress emosional, dan latihan. Aktivasi dan degranulasi mast cell

dianggap menjadi penyebabnya.(1)

Diagnosis angioedema idiopatik ditegakkan apabila terdapat angioedema,

tidak ditemukan adanya urtikaria dan tidak ada penyebab eksogen yang

ditemukan.(2)

D. GEJALA KLINIS

Gambaran klinis dari urtikaria yaitu kulit terasa gatal atau pedih, timbul

bulir-bulir, pada awalnya berwarna putih, kemudian merah muda dalam lingkaran

berwarna putih, lesi-lesi dapat sangat menyebar dan bisa timbul di berbagai

5

Page 6: Angioedema refratmini

tempat sekaligus, tetapi dapat selalu hilang spontan dalam beberapa jam walaupun

lesi baru dapat terus timbul.(9)

Gejala yang sering menyertai urtikaria adalah angioedema, dimana edema

meluas ke dalam jaringan subkutan, terutama disekitar mata, bibir, dan di dalam

orofaring. Adanya pembengkakan dapat mengkhawatirkan, kadang-kadang dapat

menutupi mata secara keseluruhan, dan mengganggu jalan udara untuk

pernapasan.(1)

Gambar 2. Makula eritem pada urtikaria

Gambar 3. Angioedema pada wajah

Gambar 4. Angiedema pada bibir

6

Page 7: Angioedema refratmini

E. DIAGNOSIS

Dengan anamnesis yang teliti dan pemeriksaan klinis, diagnosis urtikaria

dan angioedema mudah ditegakkan, namun beberapa pemeriksaan diperlukan

untuk membuktikan penyebabnya, misalnya:(1)

1. Pemeriksaaan darah, urin rutin, dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya

infeksi yang tersembunyi atau kelainan pada alat dalam.

2. Pemeriksaan gigi, teling-hidung-tenggorok, serta usapan vagina perlu untuk

menyingkirkan adanya infeksi fokal.

3. Pemeriksaan kadar IgE, eosinofil dan komplemen.

4. Tes kulit, meskipun terbatas penggunaannya dapat digunakan dalam

menentukan diagnosis. Uji gores (scratch test) dan uji tusuk (prick test), serta

tes intradermal dapat dipergunakan untuk mencari allergen inhalan, makanan

dermatofit dan kandida.

5. Tes eliminasi makanan dengan cara menghentikan semua makanan yang

dicurigai untuk beberapa waktu, lalu mencobanya kembali satu demi satu.

6. Pemeriksaan histopatologik, walaupun tidak selalu diperlukan, dapat

membantu diagnosis. Biasanya terdapat kelainan berupa pelebaran kapiler di

papilla dermis, geligi epidermis mendatar, dan serat kolagen membengkak.

Pada tingkat permulaan tidak tampak infiltrasi selular dan pada tingkat lanjut

terdapat infiltrasi leukosit, terutama di sekitar pembuluh darah.

7. Pada urtikaria fisik akibat sinar dapat dilakukan tes foto tempel.

8. Suntikan mecholyl intradermal dapat dilakukan pada diagnosis urtikaria

kolinergik.

9. Tes dengan es (ice cube test).

10. Tes dengan air hangat.

Anamnesis yang komprehensif sangat esensial bagi pasien yang menderita

urtikaria, yang meliputi durasi serangan, frekuensi serangan, durasi munculnya

lesi, penyakit yang disertai, pengobatan sebelumnya, efek samping yang terjadi,

riwayat penyakit keluarga, pekerjaan, dan dampak penyakit terhadap aktivitas

pasien sehari-hari. Pemeriksaan fisis yang lengkap untuk mencari morfologi dan

durasi (dengan memberikan tanda disekeliling lesi), luka, dan tanda-tanda

7

Page 8: Angioedema refratmini

penyakit sistemik harus diperhatikan, walaupun biasanya normal. Biasanya pasien

diambil gambarnya saat dilakukan pemeriksaan karena biasanya lesi menghilang

atau berkurang pada kunjungan berikutnya.(3)

F. DIAGNOSIS BANDING

Berdasarkan gejala yang ditimbulkan, angioedema didiagnosis banding

dengan beberapa penyakit lainnya, seperti eritema multiforme, vaskulitis

urtikarial, dan dermatitis herpetiformis:(6)

1. Eritema multiforme

Eritema multiforme adalah kelainan pada kulit yang dimediasi oleh sistem

imun, dengan karakteristik target lesion pada tangan dan kaki.(9) Penyebab yang

pasti belum diketahui, namun faktor-faktor penyebab selain alergi terhadap obat

sistemik ialah peradangan oleh bakteri dan virus tertentu, rangsangan fisik,

misalnya sinar matahari, hawa dingin, faktor endokrin seperti kehamilan dan haid,

dan penyakit keganasan. Gejala khas ialah bentuk iris (target lesion) yang terdiri

atas tiga bagian, yaitu bagian tengah berupa vesikel atau eritema yang keungu-

unguan, dikelilingi oleh lingkaran konsentris yang pucat dan kemudian lingkaran

yang merah.(1)

Eritema multiforme paling sering terjadi pada usia dewasa muda

dibandingkan anak-anak. Herpes Simplex Virus (HSV) diduga menjadi faktor

pencetus utama timbulnya penyakit ini. Eritema multiforme biasanya terjadi pada

kulit yang sering terkena paparan sinar matahari. Mungkin pula ditemukan adanya

fenomena Koebner.(2)

Eritema multiforme juga berupa urtika pada mulanya, namun jika lesi

menetap lebih dari 48 jam, maka diagnosis angioedema dapat disingkirkan.(6)

8

Page 9: Angioedema refratmini

Gambar 5. Eritema multiforme. Tampak adanya target lesion pada punggung

tangan.

2. Vaskulitis urtikarial

Vaskulitis urtikarial adalah radang pembuluh darah. Kelainan kulit dapat

berupa palpable purpura yang mengenai kapiler, berbentuk purpura multiple, bila

dipalpasi terasa papul-papul, lesi juga dapat berupa plaque, urtika, angioedema,

pustul, vesikel, ulkus, nekrosis, dan livido retikularis. Kadang terdapat edema

subkutan di bawah lesi. Tempat predileksinya di daerah ekstensor tungkai bawah.

Lama lesi antara 1-4 minggu. Pada waktu timbul, dapat disertai demam, malaise,

arthralgia, dan mialgia. Vakulitis urtikarial berbeda dengan urtikaria yang cepat

hilang. Pada penyakit ini lama urtika lebih dari 24 jam. Rasanya seperti terbakar

atau nyeri.(6)

Gambar 6. Vaskulitis dengan purpura dan nekrosis kulit.

3. Dermatitis Herpetiformis

Dermatitis herpetiformis adalah penyakit kronik dan berlangsung seumur

hidup, dapat terjadi pada usia anak-anak maupun dewasa, tetapi biasanya dimulai

pada usia dekade dua sampai empat.(1)

Ruam bersifat polimorfik berupa eritema, papulo-vesikel, vesikel/bula,

tersusun berkelompok dan simetrik serta disertai rasa sangat gatal. Mulainya

9

Page 10: Angioedema refratmini

penyakit biasanya perlahan-lahan, perjalanannya kronik dan residif.(15) Tempat

predileksinya ialah dipunggung, daerah sakrum, bokong, daerah ekstensor di

lengan atas, sekitar siku, dan lutut. Kelainan yang utama ialah vesikel, oleh karena

itu disebut herpetiformis yang berarti seperti herpes zoster. Dinding vesikel atau

bula tegang.(6)

Dermatitis herpetiformis juga diawali dengan papul atau plak urtikaria,

akan tetapi munculnya bula akan menyingkirkan diagnosis tersebut.(6)

Gambar 7. Pola distribusi dermatitis herpetiformis

Gambar 8. Dermatitis herpetiformis pada siku

G. PENATALAKSANAAN

Pengobatan urtikaria atau angioedema, terdiri atas terapi medikamentosa

dan non-medikamentosa.9)

1. Non-medikamentosa

10

Page 11: Angioedema refratmini

Pasien sebaiknya diberi penjelasan dan informasi tentang faktor pencetus,

pengobatan dan prognosis penyakit.(10) Pengobatan yang paling ideal tentu saja

adalah mengobati penyebab atau bila mungkin menghindari penyebab yang

dicurigai. Bila tidak mungkin, paling tidak mencoba mengurangi penyebab

tersebut, minimal tidak menggunakan atau tidak melakukan kontak dengan

penyebabnya.(3) Pengobatan lokal di kulit dapat diberikan secara simptomatik,

misalnya anti pruritus (calamine atau menthol 1%). Pasien juga diminta untuk

menghindari penggunaan obat-obatan seperti aspirin, NSAIDs, kodein dan

morfin. Selain itu, mengindari faktor pencetus seperti stress, konsumsi alkohol,

dan pajanan terhadap panas secara berlebihan juga penting untuk dilakukan. (9)

Eliminasi diet dicobakan pada pasien yang sensitif terhadap makanan.(3)

2. Medikamentosa

Di samping terapi non-medikamentosa, pasien perlu mendapatkan

intervensi tambahan, termasuk pengobatan sistemik yaitu:(9)

- First line therapies

Pengobatan dengan antihistamin pada urtikaria sangat bermanfaat. Cara

kerja antihistamin telah diketahui dengan jelas, yaitu menghambat histamin pada

reseptor-reseptornya. Berdasarkan reseptor yang dihambat, antihistamin dibagi

menjadi dua kelompok besar, yaitu antagonis reseptor H1 (antihistamin 1, AH1)

dan reseptor H2 (AH2).(3)

Secara klinis dasar pengobatan pada urtikaria dan angioedema bergantung

pada efek antagonis terhadap histamin pada reseptor H1, namun efektivitas

tersebut acapkali berkaitan dengan efek samping farmakologik, yaitu sedasi.

Dalam perkembangannya terdapat antihistamin yang baru yang berkhasiat

terhadap reseptor H1 tetapi nonsedasi, golongan ini disebut sebagai antihistamin

non-klasik.(3)

Pada umumnya, antihistamin H1 cepat diabsorbsi, dan mencapai puncak

dalam 2 jam.(5)

Biasanya antihistamin golongan AH1 yang klasik menyebabkan kontraksi

otot polos, vasokonstriksi, penurunan permeabilitas kapiler, penekanan sekresi

dan penekanan pruritus. Selain efek ini terdapat pula efek yang tidak berhubungan

11

Page 12: Angioedema refratmini

dengan antagonis reseptor H1, yaitu efek antikolinergik atau menghambat reseptor

alfa-adrenergik.(3)

Antihistamin H1 klasik, contohnya hydroxyzine, diphenhydramine, dan

cyproheptadine. Hydroxyzine ternyata lebih efektif daripada antihistamin lain

untuk mencegah urtikaria, dermografisme, dan urtikaria kolinergik.(3) Obat ini

merupakan antihistamin short-acting, dosis 10-25 mg setiap 6 jam. Hydroxyzine

juga dapat dikombinasi dengan antihistamin long-acting seperti chlorpheniramine

maleate. Chlorpheniramine atau diphenhydramine seringkali diberikan pada

wanita hamil karena lebih aman, tetapi pemberian cetirizine, loratidine, dan

mizolastine sebaiknya dihindari.(6,9)

Antihistamin H1 yang non-klasik contohnya terfenadine, astemizole,

loratadine, dan mequitazine. Golongan ini diabsorpsi lebih cepat dan mencapai

kadar puncak dalam waktu 1-4 jam. Masa awitan lebih lambat dan mencapai efek

maksimal dalam waktu 4 jam (misalnya terfenadine), sedangkan astemizole dalam

waktu 96 jam setelah pemberian oral. Efektivitasnya berlangsung lebih lama

berbanding AH1 klasik, bahkan astemizole masih efektif hingga 21 hari setelah

pemberian dosis tunggal secara oral. Golongan ini juga dikenal sehari-hari sebagai

antihistamin yang long-acting.(3) Loratadine (dosis dewasa 10 mg/hari) merupakan

derivat azatadine. Cetirizine (dosis dewasa 10 mg/hari) hanya dimetabolisme di

hati dalam jumlah sedikit, dan lebih banyak diekskresikan dalam bentuk urin.

Cetirizine lebih bersifat sedatif dibandingkan plasebo pada beberapa studi dan

paling baik digunakan di malam hari.(5)

Keunggulan lain AH1 non-klasik adalah tidak mempunyai efek sedasi

karena tidak dapat menembus sawar darah otak. Di samping itu golongan ini tidak

memberi efek antikolinergik, tidak menimbulkan potensiasi dengan alkohol, dan

tidak terdapat penekanan pada SSP serta relatif non-toksik.(3)

Obat antihistamin mampu menembus plasenta. Namun tidak ada sumber

yang dapat dipercaya yang mengatakan bahwa antihistamin bersifat teratogenik,

tetapi sebaiknya penggunaannya dihindari pada wanita hamil, khususnya pada

trimester pertama.(5)

- Second line therapies

12

Page 13: Angioedema refratmini

Doxepin adalah suatu antidepressant trisiklik dengan aktivitas antihistamin

yang kuat, dimulai dengan dosis 10-30 mg, sangat berguna pada pasien yang

sering merasa cemas di malam hari.(5)

Pemberian kortikosteroid sistemik oral lebih efektif pada urtikaria berat

dengan pemberian prednisolon dosis tinggi yaitu 0.5-1.0 mg/kgBB/hari.(5)

Untuk kasus darurat pada angioedema non-herediter yang menyebabkan

angioedema orofaring-laring, diberikan epinefrin. Epinefrin bekerja secara cepat

dengan menstimulasi β-adrenoreceptor sehingga terjadi vasokonstriksi dan

stabilisasi mast cell.(5) Angioedema pada orofaring sangat membahayakan dan

harus ditangani secepatnya dengan memberikan epinefrin (adrenalin) 0.5-1.0 mg

secara intramuskular. Pemberian dapat diulang setiap 10-15 menit, tergantung

pada tekanan darah dan nadi yang harus dipantau sampai terjadi perbaikan klinis.

Efek samping epinefrin adalah takikardi, kecemasan, dan sakit kepala. Oleh

karena itu, penggunaannya harus berhati-hati pada pasien dengan hipertensi,

penyakit serebrovaskular, penyakit jantung iskemik dan diabetes mellitus.(9)

- Third line therapies

Pasien urtikaria berat yang tidak berespon dengan pemberian antihistamin

menunjukkan adanya penyebab autoimun, sehingga perlu diberikan imunoterapi.

Cyclosporine dan plasmapheresis berhasil digunakan untuk mengobati urtikaria.

Cyclosporine (3–5 mg/kgBB/hari) sebaiknya menjadi pilihan pertama. Jika respon

pasien terhadap cyclosporine kurang, bisa diberikan immunoglobulin intravena

atau plasmapheresis.(10)

Respon angioedema herediter terhadap pengobatan konvensional untuk

urtikaria sangat kurang. Pada angioedema herediter, pemberian kortikosteroid,

antihistamin, dan norepinefrin tidak memiliki efek. Pada serangan yang bersifat

akut, diberikan plasma C1-esterase inhibitor. Jika tidak tersedia, dapat diberikan

infus dengan fresh frozen plasma 500-2000 ml. Untuk tindakan profilaksis, bisa

diberikan Androgen (Danzol 200-600 mg/hari), diatur berdasarkan gambaran

klinis dan inhibitor levels. C4 tidak perlu distabilisasikan.(5)

H. KOMPLIKASI

13

Page 14: Angioedema refratmini

Normalnya, urtikaria maupun angioedema tidak menimbulkan komplikasi

meskipun rasa gatal yang ditimbulkan akan mempengaruhi aktivitas sehari-hari

bahkan menyebabkan depresi. Pada reaksi anafilaktif akut, edema pada laring

merupakan komplikasi paling serius, bisa menyebabkan asfiksia, dan edema pada

trakeobronkial bisa menyebabkan asma.(4,6)

I. PROGNOSIS

Prognosis angioedema pada dasarnya baik. Angioedema yang tidak

mempengaruhi pernapasan mungkin tidak nyaman, tetapi biasanya tidak

berbahaya dan akan menghilang dalam beberapa hari.9

DAFTAR PUSTAKA

1. Li HH. Angioedema. [online]. 2012. [cited 2013, November 7]. Available

from: http://www.medscape.com/article/135208 .

2. Kaplan AP. 2009. Urticaria and angioedema. In: Wolff K, Goldsmith LA,

Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick's

Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill Medical

3. Aisah S. 2005. Urtikaria. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu

Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: FKUI.

4. Buxton PK. 2003. Urticaria. ABC of Dermatology. 4th ed. London: BMJ

Books.

14

Page 15: Angioedema refratmini

5. Grattan CEH, Black AK. Urticaria and mastocytosis. In: Burns T, Breathnach

S, Cox N, Griffiths C, editors. 2004. Rook's Textbook of Dermatology. 7th ed.

Oxford: Blackwell Science.

6. Hunter JAA, Savin JA, Dahl MV. Reactive erythemas and vasculitis. 2002.

Clinical Dermatology. 3rd ed. Oxford: Blackwell Science.

7. Guyton AC, Hall JE. 2008. Urtikaria. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 11th

ed. Jakarta: EGC.

8. Kulthanan K, Jiamton S, Boochangkool K, Jongjarearnprasert K. Clinical and

etiological aspects. [online]. 2007. [cited 2013, November 7]. Available from:

http://ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12639808 .

9. Gawkrodger DJ. 2003. Urticaria and angioedema. Dermatology: An

Illustrated Colour Text. 3rd ed. London: Churchill Livingstone.

10. Grattan CE, Black AK. 2008. Urticaria and angioedema. In: Bolognia JL,

Jorizzo JL, Rapini RP, editors. Dermatology. 2nd ed. New York: Mosby

Elsevier.

15