anmal rina
DESCRIPTION
asdTRANSCRIPT
Nama : Rina Novitriani
NIM : 04121401092
Analisis Masalah
1. Apa makna klinis dari BAB cair tidak ada lendir dan tidak ada darah ?Jawab :
Berdasarkan etiologi atau penyebab diare bisa dibedakan menjadi :
- Diare akut et causa Rotavirus
Penyebab utama diare pada anak-anak terutama usia < 2 tahun,
dipengaruhi musim, diduga faktor kelembaban yang rendah menaikkan
survival virus.
Gambaran Klinis :
1. Inkubasi: 1-4 hari.
2. Respon terhadap infeksi rotavirus bervariasi: mulai dari subklinis, diare
ringan s/d berat bahkan dapat mengakibatkan kematian.
3. Gambaran utama:
◦ Demam (>380C).
◦ Konsistensi feses cair.
◦ Dehidrasi.
◦ Muntah.
4. Biasanya: berat pada infant & anak balita, tetapi kurang berat pada
neonatus dan dewasa.
5. Lama gejala: 4-5 hari.
6. Virus shedding: 6-10 hari.
- ETEC (Entero Toxigenic E. coli)
Bakteri ini biasanya menyebar melalui makanan dan air yang
terkontaminasi.
Manifestasi klinik:
· Diare cair yang mendadak
· Nyeri abdomen
· Nausea
· Muntah
· Sedikit atau tidak adanya demam
- Intoleransi laktosa
Ketidakmampuan sistem pencernaan tubuh untuk mencerna laktosa karena
kurangnya enzim pencernaan yaitu laktase dalam usus. Klasifikasi:
1. Congenital : diturunkan dari generasi ke generasi, bayi tersebut akan
intoleran terhadap laktosa pada ASI ibunya sendiri sehingga akan terjadi
diare sejak lahir.
2. Primer : secara normal, tubuh memproduksi lactase dalam jumlah besar
pada kelahiran dan balita, saat susu menjadi sumber utama nutrisi.
Produksi ini akan berkurang jika sumber makanan kita mulai bervariasi
dan kurangnya asupan susu.
3. Sekunder : produksi lactase berkurang setelah seseorang mengalami
penyakit, operasi pada usus. Keadaan ini hanya akan berlangsung beberapa
waktu dan akan pulih tetapi jika disebabkan oleh penyakit jangka panjang
maka akan bersifat permanent.
Gejala klinik :
1. diare
2. kram perut
3. flatulensi
4. muntah (anak-anak)
5. perut tidak nyaman
Berdasarkan gejala klinik kita bisa membedakan diare menjadi :
Diare akut
- Disentri merupakan peradangan pada usus besar yang ditandai dengan
sakit perut dan buang air besar yang encer secara terus menerus (diare)
yang bercampur lendir dan darah. Berdasarkan penyebabnya, diare
dibedakan atas:
- Disentri amuba, infeksi parasit Entamoeba histolytica
- Disentri basiler, infeksi bakteri golongan Shigella
Pada disentri basiler, penderita mengalami diare yang hebat yaitu
mengeluarkan feses yang encer hingga 20-30 kali sehari sehingga menjadi
lemas, kurus dan mata cekung karena kekurangan cairan tubuh
(dehidrasi). Gejala lainnya yaitu perut terasa nyeri dan mengejang.
- Kolera adalah penyakit diare akut, yang disebabkan oleh infeksi usus
akibat terkena bakteria Vibrio Cholerae. Bakteri ini masuk kedalam tubuh
seseorang melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi serta tinja
orang yang telah terinfeksi. Gejala dimulai dalam 1-3 hari setelah
terinfeksi bakteri, mulai dari diare ringan-tanpa komplikasi sampai diare
berat-yang bisa berakibat fatal.
Diagnosa Gejala Kolera :
- Diare yang encer dan berlimpah tanpa didahului oleh rasa mulas atau
tenesmus. Diare terjadi berkali-kali dan dalam jumlah yang cukup
banyak.
- Feces (tinja) yang semula berwarna dan berbau berubah menjadi
cairan putih keruh (seperti air cucian beras) tanpa bau busuk ataupun
amis, tetapi seperti manis yang menusuk.
- Feces (cairan) yang menyerupai air cucian beras ini bila diendapkan
akan mengeluarkan gumpalan-gumpalan putih.
- Terjadinya muntah setelah didahului dengan diare yang terjadi,
penderita tidaklah merasakan mual sebelumnya.
- Kejang otot perut bisa juga dirasakan dengan disertai nyeri yang
hebat.
Berdasarkan penjelasan di atas dan juga makna klinis yang dialami oleh pasien
maka kemungkinan penyebab diare pada anak ini bisa karena rotavirus atau
E.coli. Dan makna dari BAB cair tidak disertai dengan lendir dan darah adalah
untuk menyingkirkan diagnosis banding lain yaitu disentri.
Cairan yang keluar : 1 sendok : 8-10 ml ( kesehatan : 15 ml ) jadi total cairan keluar
adalah : (224 ml-350 ml).
= 7 x 4 x 8 = 224 ml
= 7 x 5 x 10 =350 ml
2. Bagaimana riwayat nutrisi pada Willy ? Apakah sudah benar ? Jelaskan dan hubungkan dengan kasus!Jawab :
Pemberian makanan tambahan pada bayi sebaiknya diberikan setelah bayi lebih dari enam bulan atau setelah pemberian ASI eksklusif karena pada usia tersebut kebutuhan nutrisi masih terpenuhi melalui ASI, selain itu pemberian ASI akan mengurangi faktor resiko jangka pendek seperti diare. Bayi yang lebih cepat mendapatkan makanan tambahan akan lebih rentan terhadap penyakit infeksi seperti infeksi telinga dan pernapasan, diare, resiko alergi, gangguan pertumbuhan dan perkembangan bayi (Arisman, 2004)
Hal ini sesuai dengan Rosidah (2004) yang mengatakan bahwa jika diberikan makanan tambahan akan dapat menggantikan ASI dimana bayi akan minum ASI lebih sedikit dan Ibu akan memproduksinya berkurang maka kebutuhan nutrisi bayi tidak terpenuhi dan faktor-faktor pelindung dari ASI menjadi sedikit, sehingga kemungkinan terjadi risiko infeksi meningkat, dimana pada usus yang immature, system pelindung tubuh masih lemah dan gagal berfungsi.
Maka hal ini sesuai dengan pernyataan Soraya (2005) bahwa pemberian makanan tambahan yang ditinjau dari jenis, frekuensi dan jumlah yang tidak disesuaikan dengan perkembangan usia anak akan menimbulkan efek yang negative misalnya gangguan pada pencernaan dan berbagai penyakit infeksi yang dapat mengakibatkan kekurangan zat gizi sehingga bisa mempengaruhi gangguan pertambahan berat dan panjang badan bayi dan disamping itu pula dengan pemberian makanan tambahan tersebut bayi akan kenyang dengan makan dan kurang asupan ASI eksklusif maka senada dengan hal tersebut bisa memicu tingginya gangguan pada saluran pencernaan bayi. Menurut Pudjiadi (2005), menunda pemberian makanan padat memberikan kesempatan pada sistem pencernaan bayi untuk berkembang lebih matang. Karena sebenarnya bayi siap untuk makan makanan padat, baik secara pertumbuhan maupun secara psikologis, pada usia 6-9 bulan. Bila makanan padat sudah mulai diberikan sebelum sistem pencernaan bayi siap untuk menerimanya, maka makanan tersebut tidak dapat dicerna dengan baik dan dapat menyebabkan reaksi yang tidak menyenangkan (gangguan pencernaan, timbulnya gas, konstipasi). Pencernaan protein belum sempurna pada bayi. Asam lambung dan pepsin disekresi pada saat lahir dan baru dalam 3 sampai 4 bulan terakhir jumlahnya meningkat mendekati jumlah untuk orang dewasa. Amylase, enzim yang diproduksi oleh pancreas belum mencapai jumlah yang cukup untuk mencernakan makanan kasar sampai usia sekitar 6 bulan. Dan enzim pencernaan karbohidrat seperti maltase, isomaltase dan sukrase belum mencapai level orang dewasa sebelum 7 bulan. Bayi juga memiliki jumlah lipase dan
bile salts dalam jumlah yang sedikit, sehingga pencernaan lemak belum mencapai level orang dewasa sebelum usia 6-9 bulan. Dari data tersebut mendukung pada hasil penelitian ini yang didapatkan bahwa sebagian besar mengalami diare sebanyak 20 bayi (40%) dan sebanyak 17 bayi (34%) yang mempunyai frekuensi sering. Sehingga bisa disimpulkan bahwa kemungkinan efek yang ditimbulkan akibat dari pemberian makanan tambahan ini terlihat secara langsung, memang dari awal bila bayi diberikan makanan tambahan justru akan memberikan efek yang tidak baik pada kesehatannya, berdasarkan uraian yang dijelaskan di atas bahwa sistem pencernaan bayi belum sempurna sehingga harus bekerja lebih keras lagi untuk mengolah dan memecah makanan dan kemungkinan masih berlanjut pada interval umur selanjutnya.
Bayi yang diberi susu formula akan mengalami growth faltering melalui 2 faktor yaitu tidak mendapatkan cukup energi dan zat gizi lain serta lebih mudah terkena infeksi ( King& Burges, 1996). Bayi tidak mendapat cukup energi, terutama pada bayi-bayi yang masih menyusui ASI dengan ditambah susu formula. Penelitian yang dilakukan oleh Giovanni M, et al (2004) di Italia menunjukkan bahwa pemberian susu formula akan menurunkan durasi menyusu ASI pada bayi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhinya, diantaranya adalah karena bayi sudah merasa kenyang, produksi ASI yang kurang dan kesulitan adaptasi peralihan gaya menyusu dari menyusu botol kepada menyusu payudara ibu, atau biasa disebut dengan ”bingung puting susu” (Fernandez et al , 1993).
Bayi yang diberi ASI dengan ditambah susu formula akan kesulitan untuk beralih gaya menyusu pada saat menyusu ASI. Bayi akan cenderung menerapkan gaya menyusu botolnya pada saat menyusu ASI, akibatnya aliran ASI akan tidak lancar dan berkurang karena sedotan yang tidak maksimal, sementara bayi juga sudah terbiasa menyusu secara cepat. Hal ini membuat bayi kemungkinan hanya akan mendapatkan Foremilk, yaitu ASI yang keluar pada menit pertama, dengan komposisi lebih banyak mengandung air daripada lemak, sementara Hindmilk yaitu ASI yang keluar pada menit berikutnya, dengan komposisi tinggi lemak, tidak sempat diisap oleh bayi, padahal Hindmilk akan lebih dapat mengenyangkan dan memberi energi yang cukup untuk pertumbuhan bayi (Fernandez et al 1993), akibatnya bayi tersebut akan kekurangan energi dari sumber ASI, di lain pihak, pemberian susu formula belum sesuai dengan kebutuhan bayi, sehingga bayi akan mengalami kekurangan zat-zat gizi untuk pertumbuhannya.
I. KEBIJAKAN TENTANG PEMBERIAN MAKAN PADA BAYI
Memberikan Air Susu Ibu (ASI) segera setelah lahir – dalam waktu 1 jam pertama. Memberikan hanya ASI saja atau ASI eksklusif sejak bayi lahir sampai umur 6 bulan. Memberikan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) pada bayi mulai umur 6 bulan. Tetap memberikan ASI sampai anak umur 2 tahun atau lebih.
II. PEMBERIAN ASI (MENYUSUI)
Pemberian ASI merupakan metode pemberian makan bayi yang terbaik, terutama pada bayi umur kurang dari 6 bulan, selain juga bermanfaat bagi ibu.
ASI mengandung semua zat gizi dan cairan yang dibutuhkan untuk memenuhi seluruh gizi bayi pada 6 bulan pertama kehidupannya.
Pada umur 6 sampai 12 bulan, ASI masih merupakan makanan utama bayi, karena mengandung lebih dari 60% kebutuhan bayi. Guna memenuhi semua kebutuhan bayi, perlu ditambah dengan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI).
Setelah umur 1 tahun, meskipun ASI hanya bisa memenuhi 30% dari kebutuhan bayi, akan tetapi pemberian ASI tetap dianjurkan karena masih memberikan manfaat.
Dalam situasi darurato Menyusui menjadi lebih penting karena sangat terbatasnya sarana untuk
penyiapan susu formula, seperti air bersih, bahan bakar dan kesinambungan ketersediaan susu formula dalam jumlah yang memadai.
o Pemberian susu formula akan meningkatkan risiko terjadinya diare,
kekurangan gizi dan kematian bayi. o Sumbangan susu formula dari donor, maka distribusi maupun penggunaannya
harus di monitor oleh tenaga yang terlatih. Susu formula hanya boleh diberikan pada keadaan sangat terbatas, yaitu:
Telah dilakukan penilaian terhadap status menyusui dari ibu, dan relaktasi tidak memungkinkan.
Diberikan hanya kepada anak yang tidak dapat menyusu, misalnya: anak piatu dll
Bagi bayi piatu dan bayi yang ibunya tidak lagi bisa menyusui, persediaan susu formula harus dijamin selama bayi membutuhkannya.
Diusahakan agar pemberian susu formula dibawah supervisi dan monitoring yang ketat oleh tenaga kesehatan terlatih.
Ibu atau pengasuh bayi perlu diberi informasi yang memadai dan konseling tentang cara penyajian susu formula yang aman dan praktek pemberian makan bayi yang tepat.
Sedapat mungkin susu formula yang di produksi oleh pabrik yang melanggar Kode Internasional Pemasaran Susu Formula jangan/tidak boleh diterima.
Susu Kental Manis dan Susu cair tidak boleh diberikan kepada bayi berumur kurang dari 12 bulan.
Susu formula diberi label dengan petunjuk yang jelas tentang cara penyajian, masa kadaluwarsa minimal 1 tahun, dalam bahasa yang dimengerti oleh ibu, pengasuh atau keluarga.
Botol dan dot tidak boleh di distribusikan dan tidak dianjurkan untuk digunakan. Pemberian susu formula hendaknya menggunakan cangkir atau gelas.
o Susu bubuk skim tidak boleh diberikan sebagai komoditas tunggal atau
sebagai bagian dari distribusi makanan secara umum, karena dikhawatirkan akan digunakan sebagai pengganti ASI.
III. MAKANAN PENDAMPING ASI (MP-ASI)
MP-ASI hanya boleh diberikan setelah bayi berumur 6 bulan. MP-ASI sebaiknya disediakan berdasarkan bahan lokal (bila memungkinkan). MP-ASI harus yang mudah dicerna. Pemberian MP-ASI disesuaikan dengan umur dan kebutuhan gizi bayi. MP-ASI harus mengandung kalori dan mikronutrien yang cukup.
Jumlah MPASI yang dibutuhkan :
6-8 bulan 2-3x sehari
9-11 bulan 3-4 kali sehari
12-24 bulan tambahkan 1-2 snacks sehari ( buah yang lembut, roti dengan
selai kacang )
Apabila jumlah makanan yang dikonsumsi oleh anak sedikit, maka frekuensi makan
dapat ditingkatkan.
Pada usia 8 bulan anak sudah dapat diberikan makanan yang dipotong kecil-kecil
( finger food )
Pada usia 12 bulan sebagian anak sudah bisa makan makanan keluarga ( namun,
dari WHO menganjurkannya pada usia 2 tahun )
Syarat MPASI :
1. Timely MPASI diberikan ketika dibutuhkan energy dan nutrisi yang lebih
adekuat selain ASI.
2. Adequate Hasrus mengandung energy, protein yang micronutrient yang cukup.
3. Properly Fed diberikan sesuai dengan sinyal-anaknya untuk apetite dan kenyang
dan bahwa frekuensi makan dan metode makan nya sesuai dengan usianya.
4. Safe MPASI harus bersih dan higienis, mulai dari tempat penyimpanan, hingga
digunakan.
MPASI yang baik adalah:
Kaya akan kalori, protein dan mikronutrien (terutama zat besi, zink, calcium,
vitamin A, vitamin C dan asam folat)
Bersih dan aman
Bebas patogen
Bebas zat kimia atau toksin
Bebas tulang atau biji keras yang dapat membuat bayi tersedak
Tidak diberikan dalam keadaan panas
Tidak pedas atau asin
Mudah ditelan
Disukai oleh bayi
Mudah didapat dan terjangkau
Mudah disiapkan
Orang tua masih dapat memberikan MPASI yang dibuat sendiri, asal makanan
tersebut mengandung mikronutrien zat besi, zink, calcium, tiamin, asam folat, vitamin
C, vitamin A dan lemak. Jenis makanan yang dapat dipilih adalah:
Makanan pokok : mengandung karbohidrat, protein dan vitamin. Contoh:
sereal (beras, gandum, tepung jagung), tanaman menjalar (singkong, ubi &
kentang), buah yang mengandung tepung (sukun)
Sumber hewani : mengandung protein tinggi, zat besi, zink dan vitamin.
Contoh: hati, daging merah, ayam, ikan, telur (putih telur sebaiknya pada
anak > 1 tahun)
Produk Susu: mengandung protein, vitamin A & folat, calcium. Contoh:
ASI /susu formula, keju, yogurt
Sayur berdaun hijau dan berwarna oranye: mengandung vitamin A,C, folat
dan calcium. Contoh: bayam, brokoli, wortel, labu, kentang. Tunda
pemberian sawi pada anak > 1 tahun, karena mineralnya sangat tinggi,
membuat berat kerja ginjal anak.
Kacang-kacangan: mengandung protein dan zat besi. Contoh: kacang polong,
kacang merah, kedelai hitam
Minyak dan Lemak: mengandung energy dan asam lemak esensial, Contoh:
minyak kelapa, margarine, minyak zaitun, butter. Berbeda dg orang dewasa,
makanan sumber kolesterol sangat baik pada anak (kuning telur, lemak
hewan) untuk membentuk otak anak agar cerdas.
Biji-bijian: menghasilkan energi. Contoh: selai kacang, biji bunga matahari,
wijen
Makanan yang kaya akan Zat besi : Hati, daging merah
Makanan yang kaya akan Vitamin A : Hati, kuning telur, buah/sayur berwarna
oranye, sayur berdaun hijau
Makanan yang kaya akan Zink : Hati, ikan segar, ayam, kerang, kuning
telur
Makanan yang kaya akan Calsium : Susu atau produk susu, ikan
Makanan yang kaya akan Vitamin C : Buah segar, tomat, paprika, sayur-
sayuran yang berwarna hijau
Agar seluruh mikronutrien dapat terpenuhi, maka dalam membuat MPASI
campurkanlah kombinasi bahan makanan diatas, misalnya bubur yang terbuat dari
tepung maizena ditambah singkong dilarutkan dalam susu, kacang tumbuk dan butter.
Bisa juga membuat puree yang terdiri dari kentang, singkong atau beras yang
dicampur dengan ikan, kacang merah dan sayur hijau. Berikan juga snack yang
bergizi seperti telur, pisang, papaya, alpukat, yogurt, pudding susu, biscuit atau roti
dengan butter/margarine, kue kacang merah, kentang kukus.
Nasir (2011) menerangkan cara penyajian susu formula dalam botol yang benar
adalah sebagai berikut :
1. Cuci tangan terlebih dahulu hingga bersih dengan menggunakan sabun untuk
mencegah kontaminasi dengan lingkungan.
2. Gunakan air yang dimasak sampai mendidih lalu dibiarkan selama 10-15 menit
agar suhunya turun menjadi tidak kurang dari 70 derajat Celcius.
3. Siapkan susu sebanyak yang dapat dihabiskan bayi dan sesuai takaran yang
dianjurkan pada label, lalu aduk hingga tercampur merata.
4. Segera tutup kemasan dengan rapat untuk menghindari paparan udara luar terlalu
lama. Simpanlah susu di tempat yang kering dan bersih, jangan di tempat yang
lembab, karena selain disukai oleh bakteri juga mudah disergap oleh semut.
5. Sisa susu yang telah dilarutkan harus dibuang setelah 2 jam.
6. Selalu perhatikan batas kadaluwarsa kemasan susu formula untuk menghindari
keracunan dan kontaminasi.
Cara pembuatan bubur bayi rumahan:
Di minggu-minggu pertama pemberian MPASI, berikan bubur beras dengan 1
macam sayuran atau 1 macam buah. Kenalkan satu persatu. Jangan dicampuraduk
menjadi satu. Biarkan ia belajar mengenal rasa tiap jenis makanan yang masuk ke
dalam mulutnya.
o Sayuran pertama: Wortel, kentang, lobak, labu parang, ubi merah, segala macam
ubi-ubian, kacang polong, brokoli, kembang kol.
o Buah-buahan pertama: Apel, pear, pisang, pepaya, alpukat.
o Tepung beras (baby rice): Campurkan tepung beras dengan air/ASI/susu
formula. Tepung beras sangat mudah dicerna dan rasa susu membuat masa
transisi ke makanan padat menjadi lebih mudah. Tepung beras dapat diberikan
bersamaan dengan buah atau sayur.
o Daging: Daging giling yang dimasak matang dapat diperkenalkan sebagai
makanan pertama bayi. Meski demikian, secara umum, kebutuhan utama protein
dan zat besi anak usia 6 bl didapatkan dari ASI / susu formula.
Makanan yang perlu dihindari di awal pengenalan MPASI:
Susu sapi/kambing, dairy products (seperti yogurt, keju, dsbnya), telur, makanan
yang mengandung gluten seperti gandum, rye, barley dan oat, madu, kerang-
kerangan dan ikan, makanan pedas, kacang-kacangan (kacang tanah, almond,
dsbnya), daging/ikan asap, garam, gula, buah beraroma tajam / citrus fruits
(strawberry, raspberry, lemon).
Cara memasak MPASI:
o Rebus: Gunakanlah sedikit air saat merebus. Hati-hati jangan sampai merebus
sayur atau buah terlalu lama (overcook). Tambahkan ASI / susu / air
secukupnya untuk membuat puree.
o Microwave: Iris sayuran/buah dan taruh dalam piring khusus untuk microwave.
Tambahkan sedikit air dan masak hingga lunak. Haluskan dan aduk rata.
Sebelum diberikan, tes dahulu suhunya.
o Kukus: Cara ini adalah yang sangat ideal untuk menjaga rasa dan juga vitamin
dalam sayuran/buah.Vitamin B dan C adalah vitamin yang larut dalam air dan
sangat mudah hilang/rusak apabila dimasak terlalu lama, terutama jka direbus.
Di hari-hari pertama pemberian MPASI, bayi biasanya hanya memerlukan sedikit
makanan padat, misalnya 2 – 3 sendok kecil penuh. Dimulai dari 1 kali pemberian
MPASI per hari. Misalkan saat makan siang. Kemudian dapat ditingkatkan
menjadi 3 kali sehari (makan pagi, makan siang dan makan malam).
Hal penting dalam menyiapkan dan mengatur makanan bayi, jangan pernah
menambahkan bumbu penyedap atau MSG, tapi makanan bayi tetap harus
memperhatikanan cita rasa bagi bayi. Bahan ini bisa menimbulkan kerusakan
fungsi otak. Setelah matang, biarkan panas makanan hilang lalu cicipi terlebih
dahulu. Pastikan makanan yang masuk nyaman ditelan olehnya. Sedangkan jika
Anda memilih makanan bayi instan, selalu periksa kemasan dan tanggal
kadaluarsanya. Jangan memilih produk dengan kemasan rusak dan mendekati
tanggal kadaluarsa. Jika Anda menyimpan makanan bayi yang sudah dimasak
untuk diberikan lagi nanti, simpan di tempat yang bersih dan jauh dari bau
menyengat. Jauhkan makanan bayi dari bau durian atau kopi yang bisa
mempengaruhi aroma makanan.
3. Bagaimana hubungan sosial-ekonomi keluarga dengan keluhan yang dialami Willy ?Jawab : EKONOMIPada kasus diketahui bahwa Wili adalah anak dari pasangan suami-istri yang mempunyai tingkat pendidikan yang rendah. Sehingga akan mempengaruhi pola pikir terhadap nutrisi yang akan diberikan kepada anak-anaknya. Ketidaktahuan akan pentingnya nutrisi akan sangat berpengaruh pada tahap tumbuh-kembang anak. Tingkat pendidikan yang rendah juga, mengindikasikan bahwa pasangan suami istri ini mempunyai penghasilan yang relatif kecil, sehingga akan mempengaruhi kesanggupan untuk membeli bahan makanan dan minuman dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Akibatnya, akan berdampak pada kesehatan dan kebutuhan akan gizi yang rendah. Pendidikan orang tua rendah orang tua tidak mengetahui pola pemberian makanan yang baik pada bayi orang tua memberikan MPASI lebih awal dan susu formula yang diberikan tidak sesuai takaran imunitas bayi masih rendah , terpapar kuman lebih awal, dan gizi yang didapat bayi tidak cukup mempermudah terjadinya diare gizi buruk gangguan pertumbuhan.
SOSIAL-LINGKUNGAN
Faktor sosioekonomi yang rendah bisa menjadi risiko seseorang mengalami
gizi buruk akibat tidak terpenuhinya kebutuhan nutrisi tubuh. Sumber air minum
sumur gali denga jarak sumur hanya 6 meter dari mck juga merupakan risiko
tercemarnya sumber air keluarga dengan mikroorganisme yang berbahaya. Jarak
sumur gali dengan mck seharusnya minimal 10 meter dari MCK dan jangan
mendekati jamban. Jika MCK terletak dalam satu pemikimana, Lokasi MCK jenis ini
idealnya harus ditengah para penggunanya/ pemanfaatnya dengan radius 50 – 100m
dari rumah penduduk dan luas daerah pelayanan maksimum untuk 1 MCK adalah 3
ha. Kawasan yang padat penduduknya, umumnya luas rumah di bawah luas hunian
baku per jiwa. Hal ini mengakibatkan sulitnya mencari ruang untuk lokasi sumur
maupun kakus. Kawasan tersebut terutama dihuni oleh warga masyarakat yang
berpenghasilan rendah, yang cenderung tidak dapat menyisihkan sebagian
pendapatannya untuk membangun kakus atau kamar mandi sendiri. Apalagi jika
mereka belum mendapatkan penyuluhan tentang sanitasi lingkungan, yang
mempunyai kaitan erat dengan kualitas air tanah. Ditinjau dari sudut kesehatan
lingkungan, maka pembuangan kotoran yang tidak saniter akan dapat mencemari
lingkungan, terutama dalam mencemari tanah dan sumber air.
Pada kasus, jarak MCK dengan sumber air keluarga Reygen hanya sekitar 6
meter. Maka tidak bisa dipungkiri bawah telah terjadi Kontaminasi dan pencemaran
pada air permukaan dan badan-badan air yang digunakan oleh keluarga. Penyakit
menular seperti polio, kolera, hepatitis A dan lainnya merupakan penyakit yang
disebabkan tidak tersedianya sanitasi dasar seperti penyediaan jamban. Bakteri E.Coli
dijadaikan sebagai indikator tercemarnya air, dan seperti kita ketahui bahwa bakteri
ini hidup dalam saluran pencernaan manusia sebagai flora normal. Proses pemindahan
kuman penyakit dari tinja yang dikeluarkan manusia sebagai pusat infeksi sampai
inang baru dapat melalui berbagai perantara, antara lain air, tangan, serangga, tanah,
makanan, susu serta sayuran. Menurut Anderson dan Arnstein (dalam Wagner dan
Lanoix, 1958) dalam buku M.Soeparman dan Suparmin, 2002, terjadi proses
penularan penyakit diperlukan faktor sebagai berikut :
1. Kuman penyebab penyakit,
2. Sumber infeksi (reservoir) dari kuman penyebab,
3. Cara keluar dari sumber,
4. Cara berpindah dari sumber ke inang (host) baru potensial,
5. Cara masuk ke inang baru,
6. Inang yang peka (succeptible).
Gambar 1. Transmisi Penyakit Melalui Tinja
Maka untuk penyakit akibat tinja, yang menjadi sumber penyakit adalah tinja
yang mengandung bakteri patogen E.coli yang dapat masuk melalui air, makanan dan
minuman yang mengandung bakteri tersebut. Peran air dalam menularkan penyakit,
menurut Soemirat (2002) adalah :
1. Air sebagai penyebar mikroba patogen.
2. Air sebagai sarang insekta penyebar penyakit.
3. Jumlah air yang tersedia tidak mencukupi, sehingga orang tidak dapat
membersihkan dirinya dengan baik.
4. Air sebagai sarang hospes sementara penyakit.
Oleh karena itu dapat kita simpulkan, bahwa lingkungan tempat Wili tinggal
merupakan risiko terjadinya diare persisten berulang dan gizi buruk pada Reygen.
Pada kasus :
Lingkungan rumah menyewa 3m x 7m : tidak ada hubungan dengan diare, jika keadaan
rumah tetap dalam lingkungan yang bersih.
Ventilas cukup : tidak ada hubungan dengan diare.
Lantai semen : tidak ada hubungan dengan diare. Karena
syarat rumah yang sehat, jenis lantai rumahnya
yang penting tidak berdebu pada musim
kemarau dan tidak basah pada musim hujan.
Lantai rumah dari tanah agar tidak berdebu
maka dilakukan penyiraman air kemudian
dipadatkan. Dari segi kesehatan, lantai ubin atau
semen merupakan lantai yang baik sedangkan
lantai rumah dipedesaan cukuplah tanah biasa
yang dipadatkan. Apabila perilaku penghuni
rumah tidak sesuai dengan norma-norma
kesehatan seperti tidak membersihkan lantai
dengan baik, maka akan menyebabkan
terjadinya penularan penyakit termasuk diare
(Notoatmodjo, 2003).
4. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal dari hasil pemeriksaan fisik ?
Berdasarkan skenario diketahui bahwa Wili mengalami keterlambatan perkembangan
untuk anak seusianya, seharusnya anak berusia 9 bulan pada tabel sudah bisa berdiri
berpegangan, sedangkan pada kasus pada umur 9 bulan Disini terlihat Wili
mengalami perkembangan motorik yang lambat , dapat disebabkan oleh beberapa hal.
Salah satu
penyebab gangguan perkembangan motorik adalah kelainan tonus otot atau penyakit
neuromuskular. Sedangkan penyebab lainnya :
Kondisi kesehatan anak yang kurang mendukung. Keterlambatan anak mulai
berjalan bisa disebabkan oleh gangguan neurologis, gizi buruk, maupun penyakit
seperti : riwayat kekurangan oksigen saat lahir, penyakit-penyakit perinatal yang berat
(sepsis, kerinikterus, meningitis), bayi lahir dengan berat sangat rendah, bayi
prematur, cerebal palsy, pasca kejang lama, penyakit jantung bawaan, dan lain
sebagainya.
Faktor keturunan. Beberapa kasus menunjukkan orangtua yang mempunyai riwayat
terlambat berjalan akan menurun kepada anaknya.
Bentuk dan berat badan anak. Anak dengan kaki yang pendek biasanya lebih cepat
berjalan daripada yang berkaki panjang. Semakin panjang kaki anak, biasanya jadi
lebih sulit menyeimbangkan badan.
Pengalaman buruk waktu belajar berjalan. Kecelakaan yang mungkin terjadi saat
belajar berjalan seperti tersandung hingga membentur meja bahkan berdarah, bisa
mengakibatkan anak trauma dan malas berlatih lagi. Terlebih lagi jika ditambah
dengan respon orangtua yang terlalu mengkhawatirkannya.
Bayi yang tidak dikelilingi anak-anak lain. Hal ini biasanya mengakibatkan anak
jadi lebih lambat berjalan karena tidak ada yang memberinya contoh (meski tidak
selalu).
Orangtua maupun lingkungan yang overprotective. Rasa sayang yang berlebihan
dengan melarang anak untuk melakukan kegiatan yang “menantang” karena khawatir
jatuh atau terpeleset, membuat anak kehilangan kepercayaan diri untuk mulai
berjalan. Kebiasaan terlalu sering digendong dan pemakaian baby walker yang
berlebihan juga dapat membuat anak malas belajar jalan.
Mekanisme Abnormal :
Keterlambatan perkembangan pada Wili terjadi karena masalah yang saling
berhubungan. Bukan hanya dari satu faktor. Ada beberapa penyebab :
A. Gizi Buruk
Kondisi Reygen berdasarkan data yang ada bisa kita simpulkan sebagai gizi buruk.
Nutrisi ataupun gizi mempunyai peran penting terhadap perkembangan seorang anak.
Ada beberapa mekanisme untuk itu:
- Banyak penelitian yang menerangkan tentang pengaruh gizi terhadap
perkembangan motorik kasar. Levitsky dan Strupp pada penelitiannya
terhadap tikus mengungkapkan bahwa kurang gizi menyebabkan
functional isolationism ‘isolasi diri’ yaitu mempertahankan untuk tidak
mengeluarkan energi yang banyak ( conserve energy ) dengan mengurangi
kegiatan interaksi sosial, aktivitas, perilaku eksploratori, perhatian, dan
motivasi. Aplikasi teori ini kepada manusia adalah bahwa pada keadaan
kurang energi dan potein (KEP), anak menjadi tidak aktif, apatis, pasif,
dan tidak mampu berkonsentrasi. Akibatnya, anak dalam melakukan
kegiatan eksplorasi lingkungan fisik di sekitarnya hanya mampu sebentar
saja dibandingkan dengan anak yang gizinya baik, yang mampu
melakukannya dalam waktu yang lebih lama. Model functional
isolationism yang dilukiskan ini sama dengan teori sebelumnya bahwa
aspek-aspek essensial dan universal untuk perkembangan kognitif ditekan
oleh mekanisme penurunan aktivitas pada keadaan kurang gizi.Untuk
melakukan suatu aktivitas motorik, dibutuhkan ketersediaan energi yang
cukup banyak. Tengkurap, merangkak, berdiri, berjalan, dan berlari
melibatkan suatu mekanisme yang mengeluarkan energi yang tinggi,
sehingga yang menderita KEP (Kurang Energi Protein) biasanya selalu
terlambat dalam perkembangan motor milestone. Sebagai contoh, pada
anak usia muda, komposisi serat otot yang terlibat dalam pergerakan
kontraksi kurang berkembang pada anak yang kurang gizi. Keadaan ini
juga berpengaruh terhadap pertumbuhan tulang sehingga terjadi
pertumbuhan badan yang terlambat. Tengkurap, merangkak, dan berjalan
menurunkan ketergantungan atau kontak yang terus-menerus dengan
pengasuhnya. Keadaan ini berpengaruh nyata terhadap mekanisme self-
regulatory ,sehingga anak menjadi lebih bersosialisasi dan ramah dengan
lingkungannya. Sebaliknya, bila terjadi keterlambatan dalam locomotion
dan perkembangan motorik akan merusak akses terhadap sumber-sumber
eksternal yang berpengaruh kurang baik terhadap regulasi emosional,
sehingga akan mengakibatkan terhambatnya perkembangan kecerdasan
anak. Hasil penelitian tersebut pun menghasilkan suatu dugaan bahwa
perkembangan neurologi sebelum berumur 18 bulan berhubungan erat
dengan defisiensi gizi yang dapat bersifat permanen. Umur 18 bulan dari
hasil penelitian ini dapat merupakan batas atau cut off point . Hasil-hasil
penelitian pada tikus menunjukkan bahwa gizi kurang dapat berakibat
defisit myelinisasi pada otak yang irreversibel . Pada tikus, masa-masa
kritis terjadi pada saat umur 8 – 14 hari,dan berdasarkan periode puncak
pertumbuhan maka pada manusia dapat terjadi pada usia 6 – 18 bulan.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka bayi kurang gizi yang tidak mendapat
suplemen diduga mengalami defisit myelinisasi. Artinya terjadi kesulitan
dalam menghantarkan informasi dari satu neuron ke neuron yang lain dan
mengakibatkan intelektual anak rendah. Hal ini pun pada akhirnya
mempengaruhi perkembangan motorik anak. Refleks anak terhadap
lingkungannya akan terhambat.
B. Diare
Diare yang di alami oleh Wili sebenarnya ikut memberikan dampak terhadap status
gizi Reygen sekarang. Serangan penyakit infeksi yang berulang kali, lebih-lebih
dalam jangka pendek, akan menjadi awal timbulnya gizi kurang, yang dapat
mempengaruhi proses tumbuh kembang.
Intek gizi yang tidak cukup dan infeksi merupakan penyebab langsung gizi kurang
pada bayi dan anak (UNICEF, 1999). Hal ini berdampak tidak saja terhadap
kekurangan gizi makro tetapi juga gizi mikro yang sangat perlu untuk pertumbuhan
dan perkembangan anak usia dini .
Jellife (1990) dalam Hasriani (2004) dalam penelitian Rahmah (2010) mengemukakan
bahwa penyakit infeksi mempunyai efek terhadap status gizi untuk semua umur, tetapi
lebih nyata pada kelompok anak. Kebutuhan energi pada saat infeksi biasa mencapai
dua kali kebutuhan normal karena meningkatnya metabolisme dalam tubuh. Penyakit
infeksi dapat bertindak sebagai pemula terjadinya kurang gizi sebagai akibat
menurunnya nafsu makan, adanya gangguan penyerapan dalam saluran pencernaan
atau peningkatan kebutuhan zat gizi oleh adanya penyakit. Masa bayi dan balita
sangat rentan terhadap penyakit. Jaringan tubuh pada bayi dan balita belum sempurna
dalam upaya membentuk pertahanan tubuh seperti halnya orang dewasa. Umumnya
penyakit yang menyerang anak bersifat akut artinya penyakit menyerang secara
mendadak dan gejala timbul dengan cepat.
Infeksi bisa berhubungan dengan gangguan gizi melalui beberapa cara yaitu
memengaruhi nafsu makan sehingga kebutuhan zat gizinya tidak terpenuhi. Secara
umum defisiensi gizi sering merupakan awal dari gangguan defisiensi sistem
kekebalan. Kaitan penyakit infeksi dengan keadaan gizi kurang merupakan hubungan
timbal balik dan sebab akibat. Penyakit infeksi dapat memperburuk keadaan gizi dan
keadaan gizi yang kurang dapat mempermudah seseorang terkena penyakit infeksi.
Pada kasus diare yang dialami Wili menyebabkan ia tidak mempunyai nafsu makan
sehingga kekurangan jumlah makanan dan minuman yang masuk ke tubuhnya, yang
dapat berakibat kurang gizi. Serangan diare berulang atau diare akut yang berat pada
anak berakibat kurang gizi dan mengarah ke KEP merupakan resiko kematian.
Anak yang menderita diare mengalami penurunan cairan serta gangguan
keseimbangan zat gizi dan elektrolit. Zat gizi tidak dicerna, diserap usus dan hilang
larut begitu saja bersama tinja, contohnya zat mikro zink yang akan banyak hilang
ketika anak diare, begitupan dengan natrium dan elektrolit lainnya.
Banyak faktor yang menimbulkan diare ini antara lain faktor lingkungan, faktor balita,
faktor ibu, dan faktor sosiodemografis. Dari beberapa faktor tersebut, pada kasus ini
faktor lingkungan cukup memberikan peran. Segala aspek harus dibahas mulai dari
Sarana Air Bersih (SAB), jamban, Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL), keadaan
rumah, tempat pembuangan sampah, kualitas bakteriologis air bersih dan kepadatan
hunian.
Pada aspek perilaku ibu menunjukkan bahwa perilaku hidup bersih yang dilakukan
ibu mempunyai hubungan yang bermakna dalam mencegah terjadinya penyakit diare
pada bayi dan balita. Salah satu perilaku hidup bersih yang umum dilakukan ibu
adalah mencuci tangan sebelum memberikan makan pada anaknya. Pada aspek
pengetahuan ibu, rendahnya pengetahuan ibu mengenai hidup sehat merupakan faktor
risiko yang menyebabkan penyakit diare pada bayi dan balita (Adisasmito, 2007).
Dari faktor pengetahuan didapatkan jenjang pendidikan yang dimiliki oleh ibu dalam
menerima/menyerap informasi karena pada umumnya semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang maka semakin baik pengetahuannya (Notoatmodjo, 2003). Dari
hasil penelitian dapat diketahui bahwa sebagian besar 40% ibu mempunyai jenjang
pendidikan terakhir SMA, yang kemungkinan ibu kurang mendapat informasi
mengenai kesakitan bayi dan cara menjaga bayinya. Adapun faktor-faktor lainnya
yang dapat mempengaruhi gangguan pada saluran pencernaan bayi yaitu kurangnya
konsul ibu ke pelayanan kesehatan terdekat, memberikan imunisasi yang teratur,
kurangnya kebersihan lingkungan didalam rumah maupun diluar rumah, kurangnya
memperhatikan kebersihan bayi seperti makanan, mainan, baju, botol susu.
Gordon dan taylor nengatakan adannya hubungan timbal balik antara infeksi dan
nutrisi. Infeksi akan menyebabkan gangguan nutrisi dimana terjadi berkurangnya
intake kalori dan absorbsi intestinal, meningkatnya katabolisme dan kebutuhan
nutrient untuk pertumbuhan dan sintesa sel. Sebaliknya kekurangan nutrisi akan
menyebabkan meningkatnya risiko infeksi oleh karena berkurangnya kemampuan
proteksi kulit dan mukosa disamping terganggunya fungsi imun dari host.
Pengukuran Hasil Normal Interpretasi
BB 7000 g BB ideal (menurut
BB/U) = 11 kg
BB ideal (menurut
BB/PB) = 9,4 kg
BB/U = below -3 severely
underweight
PB 74 cm PB ideal (menurut
PB/U) = 82 cm
PB/U = -2 severely stunded
(sangat pendek)
BB/PB = below -3 severely
wasted (gizi buruk)
BB/BB ideal x 100% = 7/9,4 x
100 = 74,4 malnutrisi
moderate
LK 46 cm
Pemeriksaan Fisik
Hasil Pemeriksaan Normal Interpretasi
Kelihatan gemuk Tidak kelihatan gemuk
Kulit mengkilat Kulit tidak mengkilat
Bercak-bercak putih atau
merah muda dengan tepi
hitam di beberapa tempat
terutama di daerah yang
mendapat tekanan (crazy
pavement dermatosis)
Tidak ada crazy pavement
dermatosis
Kesadaran : kompos mentis Normal
Denyut nadi : 140x/menit, isi
dan tegangan cukup
Pernapasan 30x/menit
Suhu 35C
Pemeriksaan antropometri
Hasil pemeriksaan Normal Interpretasi
Wajah membulat Tidak ada Edema. Tanda-tanda dari
kwashiorkor.
Tidak ada dismorfik Normal Normal
Bercak bitot Tidak ada Tanda dari kwashiorkor.
Edema seluruh tubuh Tidak ada Tanda dari kwashiorkor.
Tidak ada iga gambang/piano
sign
Tidak ada Tanda dari marasmus.
Perut membuncit Tidak ada Edema.
Lengan dan tungkai edema Tidak ada Tanda dari kwashiorkor.
Baggy pants Tidak ada Tanda dari marasmus.
Template
1. Epidemiologi
Gangguan Perkembangan Anak
Di Indonesia, jumlah balita 10 % dari jumlah penduduk, di mana prevalensi
(rata-rata) gangguan perkembangan bervariasi 12.8% s/d 16% sehingga dianjurkan
melakukan observasi/skrining tumbuh kembang pada setiap anak.
Malnutrisi
Pada umumnya masyarakat indonesia telah mampu mengkonsumsi makanan
yang cukup secara kuantitatif. Namun dari segi kualitatif masih cukup banyak yang
belum mampu mencukupi kebutuhan gizi minimum. Departemen Kesehatan juga
telah melakukan pemetaan dan hasilnya menunjukan bahwa penderita gizi kurang
ditemukan di 72% kabupaten di Indonesia. Indikasinya 2 – 4 dari 10 balita di
Indonesia menderita gizi kurang.
Berdasarkan perkembangan masalah gizi, pada tahun 2005 sekitar 5 juta anak
balita menderita gizi kurang (berat badan menurut umur), 1,5 juta diantaranya
menderita gizi buruk. Dari anak yang menderita gizi buruk tersebut ada 150.000
menderita gizi buruk tingkat berat.
Prevalensi nasional Gizi Buruk pada Balita pada tahun 2007 yang diukur
berdasarkan BB/U adalah 5,4%, dan Gizi Kurang pada Balita adalah 13,0%.
Prevalensi nasional untuk gizi buruk dan kurang adalah 18,4%. Bila dibandingkan
dengan target pencapaian program perbaikan gizi pada Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) tahun 2015 sebesar 20% dan target MDG untuk Indonesia sebesar
18,5%, maka secara nasional target-target tersebut sudah terlampaui. Namun
pencapaian tersebut belum merata di 33 provinsi.
Pada tahun 1990, prevalensi gizi kurang dan gizi buruk sebanyak 31%,
sedangkan pada tahun 2010 terjadi penurunan menjadi 17,9%. Berdasarkan data
Riskesdas 2010, prevalensi gizi lebih pada Balita sebesar 14,0 %, meningkat dari
keadaan tahun 2007 yaitu sebesar 12,2 %. Masalah gizi lebih yang paling
mengkhawatirkan terjadi pada perempuan dewasa yang mencapai26,9% dan laki-laki
dewasa sebesar 16,3%.
Menurut Sihad, dkk (2001), anak balita gizi buruk jika tidak segera mendapat
penanganan yang serius akan memberikan dampak yang cukup fatal. Hasil penelitian
pada awal usia 6 9 tahun yang sewaktu balita menderita gizi buruk memiliki rata-rata
IQ yang lebih rendah 13,7 poin dibandingkan dengan anak yang tidak pernah
mengalami gangguan gizi.
Diare
Angka kesakitan diare sekitar 200-400 kejadian di antara 1000 penduduk
setiap tahunnya. Dengan demikian di Indonesia dapat ditemukan sekitar 60 juta
kejadian setiap tahunnya, sebagian besar (70-80%) dari penderita ini adalah Anak di
bawah Lima Tahun (BALITA). Sebagian dari penderita (1- 2%) akan jatuh ke dalam
dehidrasi dan kalau tidak segera ditolong 50 - 60% di antaranya dapat meninggal.
Kelompok ini setiap tahunnya mengalami kejadian lebih dari satu kejadian diare.
Prevalensi diare sedikit lebih tinggi pada anak laki-laki (14,8%) dibandingkan
dengan anak perempuan (12,5%) dan lebih tinggi pada balita di perdesaan (14,9%)
dibandingkan dengan perkotaan (12,0%).
proporsi terbesar penderita diare pada balita adalah kelompok umur 6 – 11
bulan yaitu sebesar 21,65% lalu kelompok umur 12-17 bulan sebesar 14,43%,
kelompok umur 24-29 bulan sebesar 12,37%, sedangkan proporsi terkecil pada
kelompok umur 54 – 59 bulan yaitu 2,06%.
Daftar pustaka : Morbiditas dan Mortalitas diare pada balita di Indonesia, tahun 2000-
2007 oleh Dr.Drg. Magdarina Destri Agtini, MPH dalam Buletin Diare 2011.
2. Preventif
Pemberian air susu ibu (ASI) sampai umur 2 tahun merupakan sumber energi yang
paling baik untuk bayi.
Ditambah dengan pemberian makanan tambahan bergizi dan berprotein serta
energi tinggi pada anak sejak umur 6 bulan ke atas
Pencegahan penyakit infeksi, dengan meningkatkan kebersihan lingkungan dan
kebersihan perorangan
Pemberian imunisasi.
Mengikuti program keluarga berencana untuk mencegah kehamilan terlalu kerap.
Penyuluhan/pendidikan gizi tentang pemberian makanan yang adekuat merupakan
usaha pencegahan jangka panjang.
Pemantauan (surveillance) yang teratur pada anak balita di daerah yang endemis
kurang gizi, dengan cara penimbangan berat badan tiap bulan.
Memperbaiki kesalahan pembagian jatah makanan di rumah antaranggota keluarga
yang dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin.
Meningkatkan hasil produksi pertanian agar persediaan makan mencukupi.
Memperbaiki infrastruktur pemasaran dan mensubsidi harga bahan makanan
Melakukan program transmigrasi ke daerah lain agar terjadi pemerataan penduduk.
Learning Issue
GIZI BURUK
I. Definisi
Gizi buruk merupakan status kondisi seseorang yang kekurangan nutrisi, atau
nutrisinya di bawah standar rata-rata. Status gizi buruk dibagi menjadi tiga bagian,
yakni gizi buruk karena kekurangan protein (disebut kwashiorkor), karena kekurangan
karbohidrat atau kalori (disebut marasmus), dan kekurangan kedua-duanya
( marasmus-kwashiokor ). Gizi buruk ini biasany terjadi pada naka balita ( bawah
lima tahun ) dan ditampakkan oleh membusungnya perut. Gizi buruk adalah suatu
kondisi dimana seseorang dinayatakan kekurangan gizi, atau dengan ungkapan lain
status gizinya berada dibawah standar rata-rata. Zat gizi yang dimaksud dapat berupa
protein, karbohidrat dan kalori. Gizi buruk (severe malnutrition) adalah suatu istilah
teknis yang umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi
buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun (Nency,
2005).
Anak balita (bawah lima tahun) sehat atau kurang gizi dapat diketahui dari
pertambahan berat badannya tiap bulan sampai usia minimal 2 tahun (baduta).
Apabila pertambahan berat badan sesuai dengan pertambahan umur menurut suatu
standar organisasi kesehatan dunia, dia bergizi baik. Kalau sedikit dibawah standar
disebut bergizi kurang yang bersifat kronis. Apabila jauh dibawah standar dikatakan
bergizi buruk. Jadi istilah gizi buruk adalah salah satu bentuk kekurangan gizi tingkat
berat atau akut (Pardede, J, 2006).
II. Klasifikasi Gizi Buruk
Terdapat 3 tipe gizi buruk adalah marasmus ,kwashiokor,dan marasmus-
kwashiokor. Perbedaan tipe tersebut didasarkan pada ciri-ciri atau tanda klinis dari
masing-masing tipe yang berbeda-beda.
1. Marasmus
Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat. Gejala yang
timbul diantaranya muka seperti orangtua (berkerut), tidak terlihat lemak dan otot di
bawah kulit (kelihatan tulang di bawah kulit), rambut mudah patah dan kemerahan,
gangguan kulit, gangguan pencernaan (sering diare), pembesaran hati dan sebagainya.
Anak tampak sering rewel dan banyak menangis meskipun setelah makan, karena
masih merasa lapar. Berikut adalah gejala pada marasmus adalah (Depkes RI, 2000) :
a) Anak tampak sangat kurus karena hilangnya sebagian besar lemak dan otot-ototnya,
tinggal tulang terbungkus kulit.
b) Wajah seperti orang tua
c) Iga gambang dan perut cekung
d) Otot paha mengendor ( baggy pants )
e) Cengeng dan rewel, setelah mendapat makan anak masih terasa lapar.
2. Kwashiorkor
Penampilan tipe kwashiorkor seperti anak yang gemuk (suger baby), bilamana
dietnya mengandung cukup energi disamping kekurangan protein, walaupun dibagian
tubuh lainnya terutama dipantatnya terlihat adanya atrofi. Tampak sangat kurus dan
atau edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh .
a) Perubahan status mental : cengeng, rewel, kadang apatis
b) Rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah dicabut, pada
penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut kepala kusam.
c) Wajah membulat dan sembab
d) Pandangan mata anak sayu
e) Pembesaran hati, hati yang membesar dengan mudah dapat diraba dan terasa kenyal
pada rabaan permukaan yang licin dan pinggir yang tajam.
f) Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah menjadi coklat
kehitaman dan terkelupas
3. Marasmik-Kwashiorkor
Gambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor
dan marasmus. Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung protein dan juga energi
untuk pertumbuhan yang normal. Pada penderita demikian disamping menurunnya
berat badan < 60% dari normal memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti
edema, kelainan rambut, kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula
(Depkes RI, 2000)
III. Patofisiologi Gizi Buruk
Patofisiologi gizi buruk pada balita adalah anak sulit makan atau anorexia bisa
terjadi karena penyakit akibat defisiensi gizi, psikologik seperti suasana makan,
pengaturan makanan dan lingkungan. Rambut mudah rontok dikarenakan kekurangan
protein, vitamin A, vitamin C dan vitamin E. Karena keempat elemen ini merupakan
nutrisi yang penting bagi rambut. Pasien juga mengalami rabun senja. Rabun senja
terjadi karena defisiensi vitamin A dan protein. Pada retina ada sel batang dan sel
kerucut. Sel batang lebih hanya bisa membedakan cahaya terang dan gelap. Sel batang
atau rodopsin ini terbentuk dari vitamin A dan suatu protein. Jika cahaya terang
mengenai sel rodopsin, maka sel tersebut akan terurai. Sel tersebut akan mengumpul
lagi pada cahaya yang gelap. Inilah yang disebut adaptasi rodopsin. Adaptasi ini butuh
waktu. Jadi, rabun senja terjadi karena kegagalan atau kemunduran adaptasi
rhodopsin.
Turgor atau elastisitas kulit jelek karena sel kekurangan air (dehidrasi). Reflek
patella negatif terjadi karena kekurangan aktin myosin pada tendon patella dan
degenerasi saraf motorik akibat dari kekurangn protein, Cu dan Mg seperti gangguan
neurotransmitter. Sedangkan, hepatomegali terjadi karena kekurangan protein. Jika
terjadi kekurangan protein, maka terjadi penurunan pembentukan lipoprotein. Hal ini
membuat penurunan HDL dan LDL. Karena penurunan HDL dan LDL, maka lemak
yang ada di hepar sulit ditransport ke jaringan-jaringan, pada akhirnya penumpukan
lemak di hepar.
Tanda khas pada penderita kwashiorkor adalah pitting edema. Pitting edema
adalah edema yang jika ditekan, sulit kembali seperti semula. Pitting edema
disebabkan oleh kurangnya protein, sehingga tekanan onkotik intravaskular menurun.
Jika hal ini terjadi, maka terjadi ekstravasasi plasma ke intertisial. Plasma masuk ke
intertisial, tidak ke intrasel, karena pada penderita kwashiorkor tidak ada kompensansi
dari ginjal untuk reabsorpsi natrium. Padahal natrium berfungsi menjaga
keseimbangan cairan tubuh. Pada penderita kwashiorkor, selain defisiensi protein juga
defisiensi multinutrien. Ketika ditekan, maka plasma pada intertisial lari ke daerah
sekitarnya karena tidak terfiksasi oleh membran sel dan mengembalikannya
membutuhkan waktu yang lama karena posisi sel yang rapat. Edema biasanya
terjadipada ekstremitas bawah karena pengaruh gaya gravitasi, tekanan hidrostatik dan
onkotik (Sadewa, 2008).
Sedangkan menurut Nelson (2007), penyebab utama marasmus adalah kurang
kalori protein yang dapat terjadi karena : diet yang tidak cukup, kebiasaan makan
yang tidak tepat seperti hubungan orang tua dengan anak terganggu, karena kelainan
metabolik atau malformasi kongenital. Keadaan ini merupakan hasil akhir dari
interaksi antara kekurangan makanan dan penyakit infeksi. Selain faktor lingkungan
ada beberapa faktor lain pada diri anak sendiri yang dibawa sejak lahir, diduga
berpengaruh terhadap terjadinya marasmus. Secara garis besar sebab-sebab marasmus
adalah sebagai berikut :
a. Masukan makanan yang kurang : marasmus terjadi akibat masukan kalori yang
sedikit, pemberian makanan yang tidak sesuai dengan yang dianjurkan akibat dari
ketidaktahuan orang tua si anak, misalnya pemakaian secara luas susu kaleng yang
terlalu encer.
b. Infeksi yang berat dan lama menyebabkan marasmus, terutama infeksi enteral
misalnya infantil gastroenteritis, bronkhopneumonia, pielonephiritis dan sifilis
kongenital
c. Kelainan struktur bawaan misalnya : penyakit jantung bawaan, penyakit
Hirschpurng, deformitas palatum, palatoschizis, mocrognathia, stenosis pilorus.
Hiatus hernia, hidrosefalus, cystic fibrosis pankreas
d. Prematuritas dan penyakit pada masa neonatus. Pada keadaan tersebut pemberian
ASI kurang akibat reflek mengisap yang kurang kuat
e. Pemberian ASI yang terlalu lama tanpa pemberian makanan tambahan yang
cukup
f. Gangguan metabolik, misalnya renal asidosis, idiopathic hypercalcemia,
galactosemia, lactose intolerance
g. Tumor hypothalamus, kejadian ini jarang dijumpai dan baru ditegakkan bila
penyebab maramus yang lain disingkirkan
h. Penyapihan yang terlalu dini desertai dengan pemberian makanan tambahan yang
kurang akan menimbulkan marasmus
i. Urbanisasi mempengaruhi dan merupakan predisposisi untuk timbulnya
marasmus, meningkatnya arus urbanisasi diikuti pula perubahan kebiasaan
penyapihan dini dan kemudian diikuti dengan pemberian susu manis dan susu
yang terlalu encer akibat dari tidak mampu membeli susu, dan bila disertai infeksi
berulang terutama gastroenteritis akan menyebabkan anak jatuh dalam marasmus
IV. Faktor Penyebab Gizi Buruk
Ada 2 faktor penyebab dari gizi buruk adalah sebagai berikut :
1. Penyebab Langsung. Kurangnya jumlah dan kualitas makanan yang dikonsumsi,
menderita penyakit infeksi, cacat bawaan dan menderita penyakit kanker. Anak
yang mendapat makanan cukup baik tetapi sering diserang atau demam akhirnya
menderita kurang gizi.
2. Penyebab tidak langsung, ketersediaan pangan rumah tangga, perilaku, pelayanan
kesehatan. Sedangkan faktor-faktor lain selain faktor kesehatan, tetapi juga
merupakan masalah utama gizi buruk adalah kemiskinan, pendidikan rendah,
ketersediaan pangan dan kesempatan kerja. Oleh karena itu untuk mengatasi gizi
buruk dibutuhkan kerjasama lintas sektor Ketahanan pangan adalah kemampuan
keluarga dalam memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam
jumlah yang cukup baik maupun gizinya (Dinkes SU, 2006).
V. Tata Laksana Utama Balita Gizi Buruk di Rumah Sakit
Dalam proses pengobatan KEP berat terdapat 3 fase, adalah fase stabilisasi, fase
transisi dan fase rehabilitasi. Petugas kesehatan harus trampil memilih langkah mana
yang cocok untuk setiap fase. Tatalaksana ini digunakan baik pada penderita
kwashiorkor, marasmus maupun marasmik-kwarshiorkor.
Tahap Penyesuaian
Tujuannya adalah menyesuaikan kemampuan pasien menerima makanan
hingga ia mampu menerima diet tinggi energi dan tingi protein (TETP). Tahap
penyesuaian ini dapat berlangsung singkat, adalah selama 1-2 minggu atau lebih lama,
bergantung pada kemampuan pasien untuk menerima dan mencerna makanan. Jika
berat badan pasien kurang dari 7 kg, makanan yang diberikan berupa makanan bayi.
Makanan utama adalah formula yang dimodifikasi. Contoh: susu rendah laktosa +2,5-
5% glukosa +2% tepung. Secara berangsur ditambahkan makanan lumat dan makanan
lembek. Bila ada, berikan ASI.Jika berat badan pasien 7 kg atau lebih, makanan
diberikan seperti makanan untuk anak di atas 1 tahun. Pemberian makanan dimulai
dengan makanan cair, kemudian makanan lunak dan makanan biasa, dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. Pemberian energi dimulai dengan 50 kkal/kg berat badan sehari.
b. Jumlah cairan 200 ml/kg berat badan sehari.
c. Sumber protein utama adalah susu yang diberikan secara bertahap dengan
keenceran 1/3, 2/3, dan 3/3, masing-masing tahap selama 2-3 hari. Untuk
meningkatkan energi ditambahkan 5% glukosa, dan
d. Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering, adalah 8-10 kali sehari tiap 2-3
jam.
e. Bila konsumsi per-oral tidak mencukupi, perlu diberi tambahan makanan
lewat pipa (per-sonde) (RSCM, 2003).
Tahap Penyembuhan
Bila nafsu makan dan toleransi terhadap makanan bertambah baik, secara
berangsur, tiap 1-2 hari, pemberian makanan ditingkatkan hingga konsumsi mencapai
150-200 kkal/kg berat badan sehari dan 2-5 gram protein/kg berat badan sehari.
Tahap Lanjutan
Sebelum pasien dipulangkan, hendaknya ia sudah dibiasakan memperoleh
makanan biasa yang bukan merupakan diet TETP. Kepada orang tua hendaknya
diberikan penyuluhan kesehatan dan gizi, khususnya tentang mengatur makanan,
memilih bahan makanan, dan mengolahnya sesuai dengan kemampuan daya belinya.
Suplementasi zat gizi yang mungkin diperlukan adalah:
a. Glukosa biasanya secara intravena diberikan bila terdapat tanda-tanda
hipoglikemia.
b. KCl, sesuai dengan kebutuhan, diberikan bila ada hipokalemia.
c. Mg, berupa MgSO4 50%, diberikan secara intra muskuler bila terdapat
hipomagnesimia.
d. Vitamin A diberikan sebagai pencegahan sebanyak 200.000 SI peroral atau
100.000 SI secara intra muskuler. Bila terdapat xeroftalmia, vitamin A diberikan
dengan dosis total 50.000 SI/kg berat badan dan dosis maksimal 400.000 SI.
e. Vitamin B dan vitamin C dapat diberikan secara suntikan per-oral. Zat besi (Fe)
dan asam folat diberikan bila terdapat anemia yang biasanya menyertai KKP
berat
VI. Perubahan Berat Badan
Berat badan merupakan ukuran antropometrik yang terpenting, dipakai pada
setiap kesempatan memeriksa kesehatan anak pada semua kelompok umur. Berat
badan merupakan hasil peningkatan/penurunan semua jaringan yang ada pada tubuh,
antara lain tulang, otot, lemak, cairan tubuh dan lain-lainnya. Berat badan dipakai
sebagai indikator terbaik pada saat ini untuk mengetahui keadaan gizi dan tumbuh
kembang anak, sensitif terhadap perubahan sedikit saja, pengukuran objektif dan
dapat diulangi, dapat digunakan timbangan apa saja yang relatif murah, mudah dan
tidak memerlukan banyak waktu. Indikator berat badan dimanfaatkan dalam klinik
untuk :
1. Bahan informasi untuk menilai keadaan gizi baik yang akut, maupun kronis,
tumbuh kembang dan kesehatan
2. Memonitor keadaan kesehatan, misalnya pada pengobatan penyakit
3. Dasar perhitungan dosis obat dan makanan yang perlu diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
American Academic of Pediatrics. Committee on Nutrition. Pediatric Nutrition Handbook.
Kleinman RE.2008
Dorland, W. A. Newman.. 2002. Kamus Kedokteran Dorland edisi 29. Jakarta: EGC
Guiding principles for complementary feeding of the breastfed child, World Health
Organization, 2002.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2002. Tumbuh Kembang Anak dan Remaja, Edisi pertama.
Jakarta : Badan Penerbit IDAI
Nelson, Waldo, dkk. 2000. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Ed.15, vol.1. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI. 2005. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta
: percetakan Infomedika
Sudoyo, Aru W. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi V. Jakarta: Interna
Publishing Pusat Penerbitan Ilmu.
Unknown. Gizi Buruk. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20564/3/Chapter
%20II.pdf diakses tanggal 23 Maret 2015.
Unknown. Diare. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3118884/ diakses tanggal
23 Maret 2015.
Unknown. Cara Pemberian Makan. http://sari pediatri.idai.or.id diakses tanggal 23 Maret
2015.