antropologi kesehatan 1.pdf
DESCRIPTION
Studi kasus flu burung di TangerangTRANSCRIPT
ANTROPOLOGI KESEHATAN
Disusun untuk memenuhi tugas Antropologi dan Sosiologi Kesehatan
Dosen Pengampu: M. Farid Hamzens, M.Si
Disusun oleh:
Ukhty Rahmah Sari Manap
(1112101000084)
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
Kasus Flu Burung di Tangerang
Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa penyakit bukan hanya bisa
disebabkan oleh adanya interaksi antara host, agent, dan environment saja
melainkan juga bisa disebabkan oleh adanya interaksi antara faktor lingkungan,
perilaku, dan proses biologi penyakit. Interaksi tersebut saling mempengaruhi
variabel yang lainnya. Apabila terjadi pergeseran, baik kea rah positif ataupun
negative pada salah satu variabel maka akan menyebabkan pergeseran juga di
variabel lainnya.
Pada hubungan perilaku-lingkungan-proses biologi penyakit, maka proses
perjalanan penyakit dimulai karena ketidakberesan perilaku pelaku kesehatan
yang menyebabkan ketidakseimbangan pada lingkungan dan berdampak pada
perkembangan penyakit. Sebaliknya, pada hubungan dengan alur lingkungan-
perilaku-proses biologi penyakit, maka proses perjalanan penyakit dimulai karena
keterpaksaan pelaku kesehatan beradaptasi terhadap lingkungannya sehingga akan
berdampak pada perkembangan suatu penyakit.
Pada alur kedua, dijelaskan bahwa lingkungan memaksa perilaku pelaku
kesehatan untuk beradaptasi yang kemudian mempengaruhi suatu penyakit untuk
berkembang. Hal tersebut dapat dilihat pada kasus flu burung di daerah
Tangerang, Provinsi Banten. Diketahui bahwa sejak satu dasawarsa silam,
peternakan dianggap memiliki nilai ekonomi yang cukup menggiurkan sehingga
mengundang para pengusaha untuk mulai melirik lahan usaha tersebut. Berbagai
alternatif tersedia, mulai dari beternak sapi, kambing, ayam, dan itik. Terlebih lagi
jika lokasi usaha tersebut berada di tempat yang strategis yaitu disekitar ibukota
NKRI, DKI Jakarta, membuat Tangerang berkesempatan untuk menjadi pemasok
sumber bahan pangan berupa daging yang dikonsumsi oleh penduduk DKI Jakarta
sebanyak 1,5 juta ekor ayam dan 150 ton butir telur setiap harinya. Selain itu,
bukan hanya penduduk setempat yang berlomba-lomba untuk berwirausaha
menjadi peternak, terutama ternak unggas, melainkan banyak warga pendatang
dari pulau jawa belahan timur yang turut mengadu nasib di bidang tersebut.
Selain itu, Tangerang juga dinilai memiliki potensi untuk mengembangkan
peternakan unggas dengan baik jika dilihat dari faktor finansial. Harga jual yang
dipatok oleh peternak asal Tangerang lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga
jual unggas dari daerah lain padahal dengan kualitas yang sama. Selain itu, unggas
asal Tangerang juga telah dikirim ke berbagai daerah seperti Kalimantan,
Sumatra, Jawa Tengah, dan sekitarnya. Hal ini tentu juga mengundang banyak
bisnisman untuk “bermain” di Tangerang. Oleh sebab itu tidak mengherankan jika
peternakan menjadi sumber komoditi nomor dua setelah pertanian menurut
Kepala Dinas Pertanian dan Pertenakan Kabupaten Tangerang, Didi Aswadi.
Saking berkembang pesatnya usaha peternakan, bahkan terdapat beberapa
pengusaha lokal yang memaksakan lahan yang tidak mencukupi untuk tetap dapat
dibangun kandang unggas. Pengusaha tersebut bahkan hingga mendirikan
kandang tepat disamping rumahnya. Mereka berdalih, dengan kondisi seperti ini
malah akan menguntungkan mereka karena merek akan semakin mudah untuk
memberikan kontrol pangan dan pemeliharaan. Pemda setempat pun turut
mendukung ide tersebut dengan alasan hal tersebut menambah penghasilan warga
sehingga status perekonomian kabupaten Tangerang juga akan membaik.
Kondisi seperti diatas menimbulkan perilaku individu yang menanggapi
unggas dengan cara berlebihan. Mereka akhirnya memilih tinggal berdekatan
dengan unggas dengan alasan lebih hemat waktu, tenaga, dan biaya. Kemudian,
secara tidak langsung mereka akan menjadi konsumtif terhadap daging ayam dan
itik, selain mudah didapat mereka juga memanfaatkan sumber pangan yang
mereka kembangkan sendiri.
Kondisi tersebut menimbulkan keuntungan bagi sejumlah virus yang
bersifat parasite di unggas. Virus tersebut adalah avian influenza atau biasa disapa
dengan flu burung. Flu bur7ung adalah penyakit yang menyerang saluran
pernafasan manusia dan unggas dan bersifat mematikan. Virus tersebut
menjangkiti hewan, terutama unggas. Virus ini dapat menular melalui banyak cara
seperti mengadakan kontak dengan unggas yang sakit, mengadakan kontak
dengan benda yang telah dicemari oleh virus, atau melalui udara yang sudah
tercemar oleh virus tersebut.
Sama seperti halnya dengan virus influenza lainnya, ketika virus flu burung
sudah masuk ke dalam tubuh manusia melalui salah satu cara tersebut maka virus
tersebut akan menyerang system pernafasan manusia. Akan tetapi, perlu diingat
bahwa manusia pempunyai system imun alami yaitu yang spesifik dan tidak
spesifik. Ketika virus flu burung memasuk area pernafasan kita, maka system
imun spesifik kita yang berupa refleks bersin akan dihasilkan untuk mengeluarkan
virus tersebut. Refleks ini terjadi ketika virus meaish berada di saluran nafas atas.
Ketika refleks bersin tidak mampu mengeluarkannya, maka virus tersebut
berpindah ke saluran nafas bawah. Akan tetapi, lagi-lagi system imun kita
berusaha mengeluarkan virus tersebut dengan bantuan silia pada batang tenggorok
yang memicu refleks batuk. Jika refleks batuk ini juga gagal dalam menjalankan
tugasnya, maka virus flu burung ini pun akan mencapai tempat vital terjadinya
pertukaran udara yaitu alveolus. Pada alveolus, system imun spesifik mulai
mengepung si virus dengan mengeluarkan mekanisme peradangan yaitu panas
atau demam. Jika system imun sedang berperang matia-matian, maka dapat
dipastikan maka si penderita akan menjadi demam tinggi.
Jika system imun spesifik tubuh gagal menghilangkan virus, maka di
alveolus virus akan memperbanyak diri dan merusak alveolus sehingga terjadi
gangguan pernafasan seperti sesak nafas hebat. Sesak nafas menandakan bahwa
kurangnya asupan oksigen ke dalam darah. Oksigen berperan sebagai media
metabolisme tubuh. Jika metabolisme terganggu, maka akan mejadi cepat lelah
serta nyeri pada otot dan sendi. Bila keadaan ini terus berlanjut, maka kan
berdampak pada pneumonia (radang paru).
Hal tersebut bisa diperparah jika musim penghujan tiba. Ketika musim
hujan tiba, maka suhu akan turun dan kelembaban meningkat. Hal tersebut akan
menjadi kondisi yang sangat mendorong perkembangan virus flu burung, yang
dikarenakan virus ini dapat bertahan hidup di air selama 4 hari pada suhu 22°C
dan lebih dari 30 hari pada suhu 0°C, virus akan mati pada pemanasan 80°C. 60°C
selama 30 menit, 56°C selama 3 jam, didalam kotoran dan unggas yang sakit,
virus dapat bertahan lebih lama, serta mati dengan sinar UV, detergen, desinfektan
(seperti formalin), cairan yang mengandung iodine serta natrium kalium hipoklorit
(seperti pemutih baju).
Sayangnya, gejala awal yang ditimbulkan oleh virus ini sangat mirip dengan
influenza biasa. Yang membedakan hanyalah siklusnya, jika pada influenza biasa
mengalami batuk dengan frekuensi sering, maka pada penderita flu burung
dikenal dengan istilah “kadang-kadang”. Dan itulah yang menyebabkan
keterlambatan penanganan karena kebanyakan masyrakat menganggap bahwa
siklus flu sudah berhasil diputuskan, akan tetapi kenyataan yang ada malah
berdapak lebih buruk lagi yaitu kematian.
WHO (World Health Organization) mengatakan bahwa Indonesia adalah
Negara dengan penyumbang kasus flu burung terbanyak di dunia. Dari total kasus
sebanyak 349 kasus kematian hingga Maret 2013, 155 diantaranya terjadi di
Indonesia dan hingga sampai saat ini pemerintah belum mencabut status Kejadian
Luar Biasa (KLB) untuk penyakit flu burung.
DAFTAR PUSTAKA
Bustan, Muh. Nadjib. 505 Tanya Jawab Epidemiologi, Jakarta: Putra Asaad Print.
www.tangerangkota.go.id diakses pada 22 Mei 2013 pukul 20.00
www.direktoritangsel.com diakses pada 22 Mei 2013 pukul 19.45
www.tangerangselatankota.go.id diakses pada 22 Mei pukul 19.34
www.unicef.org diakses pada 22 Mei 2013 pukul 19.00
www.bbc.co.uk diakses pada 22 Mei 2013 pukul 19.15