antropologi politik
DESCRIPTION
TUGASTRANSCRIPT
TUGAS RESUME
ANTROPOLOGI POLITIK
Raphel Okfernando
B.P : 0810921005
JURUSAN ANTROPOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2011
POLITIK INTERPRETASI
Michael T. Gibbons
Interpretasi dan Ilmu Politik
Menurut ilmu politik positivis, metode yang sesuai untuk mempelajari kehidupan
politik dan sosial, secara prinsip, adalah metode serupa yang dipakai dalam mempelajari ilmu
alam. Pada praktik penelitiannya, metode ini kemudian diterjemahkan menjadi ilmu politik
empiris. Tujuan ideal ilmu politik empiris adalah mendapatkan penjelasan untuk meramalkan
dan mengendalikan kehidupan sosial-politik seobjektif mungkin melalui instrumen korelasi
statistik dan hukum sebab-akibat (causality) yang secara empiris dapat dibuktikan. Asumsi
dasar gaya penitian ini adalah adanya kesatuan-kesatuan data ( misalnya perilaku politik yang
jelas seperti pemungutan suara dan sikap-sikap subjektif dalam memandang isu-isu )yang
dapat diidentifikasi dan muncul terpisah dari metode yang digunakan untuk
mengungkapkannya. Filsafat politik secara empiris adalah pandangan bahwa bahasa
kehidupan politik setiap hari, karena bersifat samar, ambigius, dan mengandung nilai-nilai,
harus digantikan oleh bahasa ilmiah yang lebih tepat, maka penjelasan politis diupayakan
seoptimal mungkin dioperasionalisasikan dan konsep-konsepnya harus diredefinisikan untuk
menghilangkan dimensi nilai dan menjamin keseragaman ukuran di antara peneliti.
Menurut para teoretisi interpretif, ada beberapa masalah yang muncul dari cara
pendekatan empiris semacam itu : Pertama, pendekatan empiris mengalami keterputusan
hubungan antara kehidupan politik dengan bahasa kehidupan politik. Lebih khusus,
pendekatan empiris berasumsi bahwa ada sebuah realitas politik yang secara prinsip dapat
ditemukan yang benar-benar terpisah dari bahasa politik. Hal ini amatlah nyata, sebab sebuah
praktik politik pastilah terungkap dan tersusun dari bahasa yang tersimpan di dalamnya, dan
bahasa yang tersimpan di dalamnya itu mendapatkan artinya dari bentuk praktik politik yang
menjadi tempat tumbuhnya.
Makna dan praktik umum yang sama dan intersubjektif niscaya menuntut sebuah
hermeneutika yang lebih mendalam ( depth hermeneutics ), yang mampu melampaui bukti
(data) yang diperoleh dari penelitian empiris. Sebab, data itu sendiri merupakan makna dan
praktik objek berita bahasa. untuk menampakkan makna sebenarnya, keduanya
membutuhkan semacam interpretasi. Dengan interpretasi, maka setiap interpretasi particular
dapat dibandingkan.
Antara Penemuan dan Kecurigaan
Kemunculan teori interpretative banyak memunculkan salah pengertian dan salah
tanggap dari pihak pengkritik maupun pada pembelanya. Salah satu diantara sekian salah
pengertiannya adalah dikotomi antara penjelasan (explanation) dan pemahaman
(understanding). Teori interpretative bertujuan untuk memahami sementara metode ilmu
bertujuan untuk menjelaskan.
Salah pengertian yang kedua terhadap teori interpretative menegaskan bahwa
pemahaman (explanation) meniscayakan semua penelitian sosialnya. Tetapi anggapan teori
interpretative ini mengingkari 2 hal. Pertama, anggapan ini meremehkan klaim bahwa bahasa
tidak dapat dipahami di luar praktik dan institusi tempat tumbuhnya. Kedua, pembacaan ini
meremehkan fakta bahwa interpretasi Intersubjektif dan makna umum adalah sebuah
interpretasi atas praktik, institusi, dan kehidupan politik secara keseluruhan.
Di satu sisi, hermeneutika penemuan kembali ( hermeneutics of recovery )
menegaskan bahwa tujuan interpretasi adalah menemukan kembali makna asli suatu praktik
atau politik tertentu. Dari gambaran tujuan interpretasi ini, muncul beberapa implikasi,
pertama. Karena ide, kepercayaan, dan niat si pelaku dan pengarang merupakan arti dan
tindakan yang menjadi teks sosial. Kedua, berangkat dari yang pertama, dengan demikian
suatu tujuan interpretative adala untuk menemukan koherensi internal antara ide,
kepercayaan, niat, tindakan, dan praktik serta menunjukan bagaimana pemahaman si
partisipan bisa dimengerti dalam batas – batas institusi dan terkait dengan dimana keduanya
terjadi. Ketiga, pengambaran tujuan interpretasi ini memiliki arti bahwa hermeneutika
akandilihat terutama sebagai serangkaian teknik metodologis yang dibutuhkan untuk
mengatasi tipe pemahaman tekstual menjadi sebuah pemahaman yang sifatnya konstekstual.
Hermeneutika penemuan kembali yang menekankan peran konstitutif dari ide,
kepecayaan, dan niat sebuah tindakan sosial tampak tidak mampu menguraikan aspek penting
dan menarik dari sebuah kehidupan politik, yakni sebuah kehidupan politik, yakni sebuah
situasi dimana perkembangan actual atau berfungsinya sebuah jalan hidup bertentangan
dengan pemahaman. Maka penentuan batas teori interpretative menjadi lebih penting dari
yang disangka para pendukungnya. Bisa jadi kemungkinan kritis teori interpretative selama
inin tertutupi oleh penekanannya pada standar rasional internal dan makna konstitutif.
Bahasa “ konsep rasionalitas kita” yang berhadapan dengan konsep rasionalitas orang
lain” ini acapkali menimbulkan masalah serius. Bahasa ini mengesankan bahwa (1) standar
rasionalitas muncul sepenuhnya secara internal (2) standar rasionalitas yang berbeda
otomatis sepenuhnya eksklusif.
Menurut Brian Fay, teori interpretative sebenarnya mampu menunjukan bagaimana
ide, kepercayaan dan niat dari pelaku sosial mebantu mengkonstitusikan tindakan sosial
mereka. Teori interpretative merujuk pada kaidah – kaidah sosial yang memungkinkan
dicermatinya sebuah praktik tertentu. Teori ini menurut fay memiliki cacatnya tersendiri,
terutama ketika keterangan teori – teori sosialnya mengingkari beberapa hal berikut: 1.
Berbagai factor kausal (ex. Perkembangan teknologi) yang membantu timbulnya makna. 2.
Konsekuensi tindakan yang tidak disengaja. 3. Konflik structural di antara berbagai aspek
kehidupan sosial, terutama ketika keterangan pelaku tidak sesuai dengan praktik yang
sesunguhnya. 4. Penjelasan perubahan sosial yakni bagaimana arti konstitutif berubah seiring
dengan berjalannya waktu.
Dari perspektif fay, keterbatasan ini memunculkan beberapa kelemahan penting teori
intepretatif. Pertama. Ketidakmampuan teori interpretative dalam menjelaskan resistensi
pelaku sosial terhadap penjelasan yang bertentangan dengan pemahaman dirinya sendiri.
Kedua. Hubungan teori interpretative dengan praktik politik secara konservatif tidak dapat
dibenarkan. Dari perspektif fay, tampaklah bahwa kekuatan teori interpretative yakni
penekananya pada arti konstitutif, sekaligus menjadi sumber keterbatasanya. Fay mengklaim
bahwa perhatian teori interpretative terhadap arti konstitutif terhadap arti konstitutif dan
standar rasionalitas internal pada akhirnya hanya mendorong kepuasan politis actor politik.
Fay mengatakan membuktikan arasionalitas inheren sebuah jalan hidup bersama berarti
mengesampingkan tujuan dan hasil akhir sebuah penjelasan interpretative.
Melampaui Kecurigaan dan Penemuan Kembali
Seperti hermeneutika penemuan kembali (hermeneutics of recovery), interpertasi ini
mengakui adanya dimensi konstitutif dalam hubungan antara bahasa dan tindakan, antara
pemikiran dan tindakan. Charles taylor mendasarkan teori politik interpratatif dalam sebuah
teori bahasa ekspresif. Teori bahasa designative melihatnya lebih sebagai Instrumen, sebagai
alat untuk menemukan tanda – tanda (signs), yang dapat digunakan untuk memberi label dan
mengambarkan kembali dunia secara objektif. Maka tugas utama filsafat adalah membuat
bahasa setrabsparan dan semanipulatif mungkin.
Bertentangan dengan teori designative ini, teori bahasa ekspresif taylor melihat
bahasa lebih dari sekadar alat untuk mengambarkan dunia. Bagi taylor bahasa adalah sebuah
pola aktifitas dengan mana kita mengekspresikan / merealisasikan sebuah cara berada di
dunia, yakni cara kesadaran reflektif. Bahasa memungkinkan kita untuk menekspresikan
bukan hanya pilihan – pilihan yang subjektif, tetapi juga kemungkinan diri – pribadi (self),
hubungan antara diri pribadi dengan masyarakat (society) dan kemungkinan bagi kehidupan
politik.
Interpretasi politik ekspresif menyusun hubungan antara penampakan dan realitas
menurut garis – garis yang berbeda secara signifikan dengan teori penemuan kembali dan
teori kecurigaan. Bertentangan dengan hermeneutika penemuan kembali, ekspresivisme
menekankan sejauh mana pemahaman diri si partisipan, karena pemahaman ini tidak
mengungkapkan seluruh kehidupan politik, selalu tidak lengkap, cacat dan selalu tunduk pada
pengujian kembali dan revisi. Artinya, ekspresivisme tidak hanya menjelaskan bagaimana
makna – makna intersubjektif membantu mengangkat prapemahaman yang tersembunyi, di
mana terbentuk pemahaman – diri yang beroperasi di tingkat penampakan.
Teori kehidupan sosial dan politik ekspresif tidak juga mengingkari arti penting dari
keterangan tentang rintangan struktural dalam penjelasan politik. Tetapi pada saat yang sama
teori ekspresif menjelaskan sejauh mana bentuk yang diambil oleh penjelasan strukturalis
bergantung pada pemahaman intersubjektif dari partisipan dalam kehidupan sosial dan
politik. Sungguh, tuntutan akan pertumbuhan dan produktivitas ekonomi yang akhir – akhir
ini mendominasi wacana politik amerika berarti menempatkan tekanan tambahan pada aspek
– aspek kehidupan sosial kontemporer (keluarga), di mana pertumbuhan ekonomi dianggap
mendukung.
Dimensi bahasa ekspresif memiliki implikasi penting bagi pemahaman tentang diri
dan refleksi –diri. Refleksi – diri kritis adalah proses dengan mana kita memberikan kekuatan
baru pada keinginan kita yang tersembunyi, harapan kita yang diartikulasikan secara samar,
kebutuhan kita yang terartikulasi secara tidak sempurna. Refleksi diri kritis adalah proses
peletakan sesuatu yang tidak jelas dan tak terdiferensiasi ke dalam bahasa, memberikannya
kekhususan dan standar kritisisme serta rasionalitas publik. karena bahasa adalah artikulasi
dari segala kemungkinan, maka kesadaran reflektif kita akan mendorong terealisasinya
beberapa kemungkinan diri dan kehidupan politik, serta mengungkapkan hal lainnya. Dan
ketika bahasa kita berubah, maka akan muncul artikulasi dan pemahaman tentang diri dan
masyarakat yang baru.
Apabila, bahasa yang menjadi tempat penyelaman diri kita akan membentuk
kemungkinan bagi penggambaran tentang diri (self ), hubungannya dengan diri yang lain dan
masyarakat secara umum. Akibatnya, tugas utama teori interpretif adalah menginterpretasi
kemungkinan diri dan hubungannya dengan masyarakat yang terwujud dalam makna dan
praktik intersubjektif.
Artikel Clifford Geertz menunjukkan teori interpretif, sementara pada saat yang sama
membicarakan persoalan yang dikemukakan sebelumnya tentang bagaimana bergerak dalam
interpretasi terhadap kebudayaan lain. Memahami ekspresi konsep dan praktik diri orang lain
akan menuntut saling pengaruh disebut oleh Geertz sebagai konsep pengalaman-jauh
(experience-near) dan pengalaman dekat (experience-near). Gerak maju-mundur kontinu di
antara ‘keseluruhan pemahaman melalui bagian-bagian yang mengaktualisasikannya dengan
bagian-bagian yang memahami melalui keseluruhan yang memotivasinya’ adalah apa yang
secara umum disebut sebagai lingkaran hermeneutik. Secara khusus, Geertz menunjukkan
adanya unsur kedalaman hermeneutika, sesuatu yang menghubungkan makna dan aktivitas
individual dengan sistem simbol dan jaringan makna yang lebih luas dan mendalam.
Artikel William Connolly menunjukkan potensi lain dari teori interpretif positivis,
yakni kemampuannya untuk menjelaskan kompleksitas hubungan antara penampakan dan
realitas. Tentang kehidupan politik disebut oleh Connolly sebagai interpretasi murni (sebagai
hermeneutika penemuan kembali ). Interpretasi murni (dicirikan oleh Wich), tegas Connolly,
tidak mampu menjelaskan inkonsistensi antara penampakan dan realitas. Lebih tepatnya,
keterangan interpretif tentang penampakan dan realitas akan menunjukkan bagaimana realitas
itu sendiri sebagian dikonstitusi oleh penampakan. Akibatnya, perubahan di dalam
penampakan, dalam beberapa hal akan mengubah realitas yang dasar. Apa yang
menyebabkan kesediaan untuk tunduk pada berbagai rutinitas kaku dan kontrol otoriter dari
pekerjaan adalah yang disebut Connolly dengan ‘ideologi berkorban’ (ideology of sacrifice)’,
yakni apa yang mereka tafsirkan sebagai pengorbanan sukarela demi memberikan keamanan
pada keluarga dan kesempatan bagi anak keturunan untuk menikmati janji kehidupan amerika
yang sebenarnya telah menjauhkan diri dari para pekerja kerah biru.
Argument Connolly berliku-liku dan terbungkus kuat oleh argumen yang
membicarakan beberapa isu politik interpretasi. Pertama, argument itu menunjukkan
bagaimana pemahaman-diri para pelaku sosial mengkonstitusi dan menggambarkan secara
keliru hubungan mereka dalam sivilisasi produktivitas. Kedua, ia menunujukkan bagaimana
perubahan dalam –diri memodifikasi dan mengubah sifat rintangan yang dihadapi oleh
partisipan. Ketiga, ia menunjukkan bagaimana perubahan dalam pemahaman-diri diremehkan
dan ditolak sebagai konsekuensi dari kuatnya rintangan struktural dan institusional, bahkan
ketika rintangan itu menjadi lebih tampak bagi partisipan.
Cara lain untuk mengemukakan hal ini adalah dengan mengatakan bahwa teori
interpretative ekspresif dapat menjelaskan realitas penampakan. Teori ini menunjukan
bagaimana pemahaman dan praktik subjektif dan interpretative dari sebuah jalan hidup dapat
ikut menimbulkan rintangan dalam pemahaman itu, membantu menciptakan dan melanjutkan
hubungan politik yang yang tetap tidak tampak bagi para pelaku politik. Habernas
memperkenalkan dua batasan pada klaim universalitas hermeneutic. Pertama. Rangkaian
pembatasan yang terdiri atas kemungkinan pemahaman manusia yang tidk bersifat linguistic.
Kedua. Rangkaian pembatasan yang ditentukan oleh yang pertama, terletak di dalam
kemungkinan pemahaman teoritis terhadap proses dan distorsi komunikasi yang tidak dialami
oleh partisipan.
Ekspresivisme, Pragmatism dan Genealogi
Dreyfus, Foucault, dan Rorty memperkenalkan serangkaian isu dan berbagai
tantangan terhadap teori interpretif yang muncul dari perspektif pemikir ‘dekonstruksionis’
atau genealogis dan pragmatis. Dreyfus memulai uraiannya dengan menelusuri pergeseran
tekanan yang pada konsepsi awal Heidegger tentang hermeneutika dalam Being and Time.
Bagian I dari Being and Time membahas secara khusus hermeneutika keseharian
(Hermeneutics of everydayness). Bagian II Being and Time yang dalam hermeneutika
kecurigaan (hermeneutics of suspicion).
Pertama, ketidakberakaran (rootlessness) pada awalnya digolongkan Heidegger
sebagai kondisi transendental dan eksistensial umat manusia modern, menjadi respon
manusia modern atas praktik teknologis dan pemahaman dunianya sendiri. Kedua, Heidegger
menyejarahkan hermeneutika untuk menunjukkan bagaimana masing – masing interpretasi
menjadi sebuah penyingkapan dan penyembunyiaan yang masing – masing membuka
beberapa kemungkinan dan menutupi kemungkinan yang lain. Ketiga, menurut Heidegger
adalah penting untuk meneliti masa – masa sebelumnya, karena masa – masa itu masih
menyimpan keanehan yang muncul dari pemahaman teknologis terutama yang banyak
tertuang dalam catatan pengendalian dan relief – reliefnya.
Dari perspektif genealogis, Foucault menegaskan bahwa kita tidak boleh menganggap
pengetahuan sekadar mencerminkan atau menggambarkan dunia. Satu – satunya jalan untuk
menjelaskan keberhasilan suatu wacana pengetahuan tertentu adalah dengan
menghubungkannya dengan jejaring kekuasaan (power). Tugas geneologi, menurut Foucault,
adalah menghubungkan unit-unit masa sejarah dan ruang sosial tertentu dengan jejaring
kuasa – pengetahuan spesifik d mana keduanya saling berjalin dan berkelindan. Sebagaimana
ditegaskan : genealogi nilai, moralitas, asketisisme dan pengetahuan tidak akan pernah
menganggap pergantian sejarah sebagai tembok tebal dan tinggi yang tidak dapat ditembus.
Geneologi lebih suka menyebarkan makna – makna parodi, menggelikan, berulang –
ulang, dan contoh – contoh strategis untuk mendorong “permainan” ketidakharmonisan
antara diri (self ) dengan identitas sosial yang diproduksi oleh wacana. Pengikut ekspresivis
dan genealogis setuju bahwa gambaran tentang diri (self ), akal (reason), kebenaran (truth),
hubungan antara diri dengan masyarakat dan kemungkinan kehidupan sosial, sebagaian besar
adalah interpretasi-interpretasi yang tertanam di kedalaman praktik sosial. Maka, Foucault
melihat bahwa hakikat puncak (ultimate) dari setiap interpretasi bersifat relatif yang
mewacana melalui istilah yang berbeda – beda.
Rorty memiliki persamaan dengan Foucault dalam keterangannya tentang peran dan
batas – batas hermeneutika. Menurut Rorty, dengan sikap ini, muncul dua kesulitan :
Pertama, konsepsi ilmu alam Galilean adalah sebuah kekeliruan. Kedua, para teoretisi
interpretif belum benar – benar menolak model pemahaman konsepsi pengetahuan Galilean.
Setelah menolak gambaran modernis tentang pengetahuan, metode, kebenaran, akal, dan
rasionalitas, Rorty melihat ada dua kemungkinan pilihan : pertama, pilihan yang barasal dari
genealogi dan kedua, alternatif digunakan untuk menekankan ‘makna mortal dari ilmu sosial
dan perannya dalam memperluas dan memperdalam pengertian kita tentang komunitas dan
kemungkinan dari komunitas. Tetapi masing – masing mereka menarik kesimpulan yang
berbeda. Pertama, aliran ekspresivis menegaskan bahwa kita dapat mengharapkan adanya
pengetahuan kehidupan sosial yang memiliki kebenaran tertentu dan dapat mendukung
kemungkinan sebuah komunitas moral. Kedua, aliran pragmatis setuju menekankan harapan
pada kemungkinan komunitas moral, tetapi kurang optimis perihal seberapa banyak
pengetahuan yang dapat kita harapkan. Ketiga, aliran genealogis menegaskan bahwa kita
tidak dapat mengharapkan kebenaran atau harapan, sebab menurut mereka setiap kebenaran
atau harapan yang muncul dari situasi kontemporer tertentu mustahil identik dengan apa yang
diinginkan oleh para pendukungnya.
Politik penyesuaian (attunement) dan politik ketidaksesuaian (discordance)
merupakan dua kemungkinan, dua momen yang dimungkinkan oleh teori politik ekspresif.
Kesalingterkaitan antara dua momen merupakan kekuatan dari teori interpetif ekspresivis.
Singkatnya, kesalingterkaitan mencari kemungkinan komunitas, kemungkinan disiplin
konsensus menggunakan istilah Foucault dan pada saat yang sama menentang pemaksaan
dari wacana dan praktik politik yang mutlak.