antropologi warga baduy dalam

Upload: eva-dewi-singodimedjo

Post on 12-Oct-2015

75 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Hasil Survey

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUANA. Latar Belakang

Jaman sekarang atau jaman modern disebut juga sebagai era globalisasi,seakan membawa perubahan dalam semua aspek kehidupan manusia baik sosial budaya, ekonomi maupun dalam bidang budaya khususnya budaya hukum. Dampak dari perkembangan ini sangat mempengaruhi perkembangan hukum adat di Indonesia. Bangsa Indonesia kaya akan adat dan budaya, namun sekarang keberadaan hukum adat yang masih asli mulai tergeser oleh kebudayaan dari luar yang masuk tanpa ada pengawasan dan kontrol dari masyarakat itu sendiri. Kemudian ada beberapa hal yang mempengaruhi pertumbuhan atau perkembangan hukum adat yang dipengaruhi oleh beberapa faktor:

1. Magis dan animisme, bagi masyarakat Indonesia bukan merupakan masalah yang asing, bahkan banyak tingkah laku dan kehidupannya sering tidak lepas dari pengaruh kepercayaan akan magis dan animisme ini.

2. Agama, pengaruh agama dalam hukum adat pada umunya diakui ada, walaupun pengaruh itu tidak besar. Seperti agama hindu misalnya tampak berpengaruh di Bali, tetapi tidak meluas, tetapi yang tampak dengan jelas pada masalah pemerintahan raja dan pembagian kasta.

3. Kekuasaan yang lebih tinggi dari persekutuan hukum adat, adalah kekuasaan yang meliputi beberapa persekutuan hukum, seperti kekuasaan Raja-raja, kepala kuria, nagari, Jaro dan lain-lain.

4. Pengaruh asing, dalam hal ini cukup besar pula pengaruhnya terhadap pertumbuhan hukum adat kita, yang semula telah dimiliki suatu hukum yang meliputi berbagai bidang kehidupan hukum, yang kemudian terdesak oleh kepentingan hukum kolonial, yang terutama tampak sekali dalam lapangan hukum pidana (delik adat).

UUD 45 mulai berlaku kembali pada tanggal 5 Juli 1959. Sistem hukum yang berlaku sebelum 5 Juli 1959 adalah sistem hukum yang didasarkan pada UUDS 1950. Dalam Pasal 32 UUDS 1950 dinyatakan bahwa tiap-tiap orang yang ada dilingkungan wilayah Indonesia harus tunduk pada peraturan hukum baik yang tertulis, maupun tidak tertulis, walaupun dalam pasal ini tidak dinyatakan dengan istilah hukum adat tetapi dapat disimpulkan bahwa hukum adatlah yang diakui. Dari pasal ini terlihat bahwa nilai ketaatan terhadap hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis adalah sama.

Posisi hukum adat setelah Republik Indonesia Serikat, akibat kondisi politik pada waktu itu pemerintah menetapkan Undang-Undang Dasar sementara 1950, karena bentuk negara RI juga mengalami perombakan. Berkaitan dengan keberlakuan hukum adat dirumuskan dalam UUDS 1950 sebagai berikut:

1. Pasal 25 ayat (2)

Perbedaan dalam kebutuhan masyarakat dan kebutuhan hukum golongan rakyat akan diperhatikan.

2. Pasal 102

Perintah kepada pembentuk undang-undanguntuk mengatur sebagian besar lapangan-lapangan hukum ke dalam kitab-kitab hukum dengan pengecualiannya, jika ada, juga melalui undang-undang.

3. Pasal 104 (1)

Segala keputusan pengadilan harus berisi alasan dan dalam perkara hukuman menyebut aturan-aturan undang-undang dan aturan-aturan hukum adat yang dijadikan dasar hukuman itu.

Selanjutnya, posisi dan kedudukan hukum adat dijelaskan dalam rumusan-rumusan mengenai hukum adat yang terdapat di dalam naskah asli Undang-Undang Dasar 1945,pengakuan terhadap hukum adat muncul pada perubahan atau amandemen kedua UUD 1945 Pasal 18B ayat(2) yang menyatakan: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.Hal ini secara strategis dan nyata menampakkan bahwa telah terjadi pengakuan atas hukum adat yang tidak semata-mata sebagai hukum rakyat saja, namun hukum yang bersumberkan pada nilai budaya bangsa dan memancarkan nilai-nilai hukum masyarakat.

Di dalam penjelasan UUD1945 menerangkan bahwa bukan hanya hukum tertulis atau yang dibuat penguasa saja yang menjadi sumber hukum di Indonesia, tetapi juga hukum tidak tertulis yang umumnya berbentuk hukum adat yang tidak mesti dibuat oleh penguasa. Di Indonesia, pengertian hukum positif yaitu bukan saja yang dibuat atau diterapkan oleh penguasa, melainkan juga yang hidup dan berakar dalam masyarakat setempat yang berbentuk hukumadat, sekalipun dalam berbagai hal diperlukan pengarahan agar tidak menyimpang dari garis-garis Pancasila.

Hukum adat memiliki corak, dan karakteristik sebagai berikut:

1. Komunalistik, artinya manusia menurut hukum adat merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat.

2. Kosmis, artinya hukum adat selalu berkaitan dengan persoalan magis dan spiritualisme (kepercayaan atas roh-roh nenek moyang dan benda-benda gaib).

3. Konkrit, artinya perhubungan-perhubungan hidup yang ada dalam hukum adat adalah perhubungan-perhubungan yang konkrit atau nyata. Seperti halnya, dalam hukum adat istilah jual-beli hanya dimaknai secara nyata yakni jika telah benar-benar ada pertukaran uang dan barang secara kontan, sehingga dalam hukum adat tidak dikenal sistem jual-beli secara kredit sebagaimana yang dikenal di BW (burgerlijke wetboek).

4. Kontan, artinya dalam hukum adat perhubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat (seperti halnya sistem panjer dan peningset).

Karakter-karakter hukum adat sebagaimana dikemukakan di atas adalah cermin dari karakter masyarakat Indonesia.

Sebagai warga negara Indonesia, setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama kedudukan di muka hukum termasuk juga masyarakat adat. Secara umum masyarakat adat sering disebut sebagai masyarakat terasing, suku terpencil, masyarakat hukum adat, orang asli, peladang berpindah dan bahkan terkadang sebagai penghambat pembangunan. Sedang pada tingkat lokal mereka menyebut dirinya sesuai nama suku masing-masing.

Keberadaan budaya hukum yang masih murni dan sesuai dengan tradisi nenek moyang hanya dapat di jumpai dalam masyarakat yang masih bersifat kesukuan. Salah satu contoh adalah suku Baduy yang bermukim di sekitar daerah Kabupaten Lebak. Suku Baduy masih memegang kuat budaya hukum adat nenek moyang mereka dan tradisi yang masih bersifat tradisional. Berdasarkan uraian tersebut diatas, penelitibersama mahasiswa mata kuliah Antropologi Budaya bermaksudmelakukan penelitian awal yang berjudul IMPLEMENTASI BUDAYA HUKUM MENURUT HUKUM ADAT BADUY, DESA KANEKES LEBAK, BANTEN.Hal ini sejalan dengan visi Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara yang berlandaskan padapengembanan disiplin hukum yang bermutu tinggi dengan tetap mengacu pada nilai-nilai keindonesian.

B. Permasalahan

Dari uraian latar belakang di atas, peneliti mengajukan permasalahan penelitian ini yakni bagaimana implementasi budaya hukum menurut hukum adat Baduy, Desa Kanekes-Lebak, Banten?C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui proses penyelesaian tindak pelanggaran menurut hukum adat Baduy, Desa Kanekes-Lebak, Banten.

1. Secara teoritis:

Penelitian ini berguna untuk memberikan suatu pengembangan atas penyelesaian hukum adat di Indonesia.

2. Secara Praktis

Penelitian ini berguna sebagai bahan diskusi bagi mahasiswa hukum, khususnya mahasiswa mata kuliah Antropologi Budaya Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara.

D. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin atau yang akan diteliti. Kerangka konseptual pada hakekatnya merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis yang seringkali masih bersifat abstrak. Untuk mengetahui kerangka konsep ini, peneliti melihat ketentuan umum suatu perundang-undangan, kamus maupun ensiklopedi.

Dalam kesempatan ini peneliti ingin memberikan penjelasan berbagai konsep penting yang digunakan dalam penelitian ini, hal ini penting untuk menghindari terjadinya keragaman pemaknaan atau salah pengertian.Budaya hukum adalah tanggapan umum yang sama dari masyarakat tertentu terhadap gejala-gejala hukum. Tanggapan itu merupakan kesatuan pandangan nilai-nilai dan prilaku hukum.

Hukum adat adalah hukum rakyat atau hukum yang benar-benar hidup dalam kesadaran hati nurani rakyat sebagai pencerminan dari adat yang telah hidup secara turun temurun dan hukum yang bersumber pada ugeran-ugeran atau norma kehidupan sehari-hari yang langsung timbul sebagai pernyataan kebudayaan orang Indonesia asli dalam hal ini sebagai pernyataan rasa keadilan dalam hubungan pamrih, sehingga jelas sekali terlihat bahwa hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia. Menurut Bushar Muhammad, masyarakat adat adalah sekelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayahnya sendiri, oleh karena itu hak-hak masyarakat adat yang notabenenya adalah warga negara Indonesia mempunyai hak-hak secara universal yang sama sebagai warga negara pada umumnya.E. Metode PenelitianDalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian yang bersifat deskriptif (melukiskan)yang merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti langsung dilapangan atau terhadap masyarakat.Penelitian deskriptif ini merupakan studi prilaku yang menjauhi perumusan-perumusan aturan yang dikatakan eksplisit berlaku dan tidak mengutamakan perhatiannya pada apa yang tertulis sebagai norma hukum, atau yang dikatakan norma hukum oleh para pemuka masyarakat tetapi yang menjadi sasaran perhatiannya adalah situasi yang terjadi dan bagaimana kegiatan-kegiatan prilaku manusia pada situasi itu. Hal ini seperti dikatakan Malinowski dalam penelitiannya terhadap masyarakat Trobian Not to study how human life submits to rules-it simply does not; the real problem is how the rules become adapted to life.Dalam hal ini peneliti melakukan wawancara langsung dengan Jaro (pelaksana harian urusan pemerintahan Kapuunantugas Jaro sangat berat karena meliputi segala macam urusan masyarakat Baduy), dan Puun Cikertawana (Puun Kiteu) Baduy dan masyarakat kampung-kampung Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, Banten untuk mencari data dalam rangka pemenuhan kebutuhan bahan-bahan untuk diteliti dan dianalisis pada penelitian ini.

Dalam memperoleh data di lapangan, peneliti akan melakukannya dengan teknik wawancara atau diskusi dengan informan. Para mahasiswa akan mewawancarai atau bertanya kepada informan ini sebanyak mungkin yang akan merepresentasikan jumlah data yang akan dipeoleh. Para mahasiswa akan disebar di berbagai desa. Mahasiswa akan mencatat peristiwa-peristiwa yang penting, waktu, tanggal peristiwa, nama-nama dan istilah-istilah serta peralatan yang berhubungan dengan peristiwa tersebut. Kemudian bagaimana sikap, pendapat dan prilaku informan atau masyarakat terhadap kejadian ini. Untuk dapat mengetahui peristiwa atau kejadian berulang sehingga dapat ditentukan norma atau budaya hukum yang nyata dan tetap berlaku perlu diadakan penecekan silang antara informan yang satu dan iforman yang lain.

Bahan-bahan yang digunakan terdiri dari tiga kelompok, yaitu:

1. Bahan Primer, yaitu data utama yang di dapatkan dari penelusuran di lapangan (Field Research).Dalam penelitian ini menggunakan data yang di dapat melalui observasi dan wawancara langsung dari nara sumber di lapangan.

2. Bahan Sekunder, yaitu bahan yang bersifat mengikat dan mengatur, Seperti nilai-nilai budayamasyarakat kampung-kampung Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, Banten

3. BahanTersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan Primer dan Sekunder, seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus Hukum, dan Ensiklopedia.

BAB IIKERANGKA TEORETIS

Di Indonesia sekarang sudah sangat sedikit komunitas masyarakat yang mempertahankan hukum adat yang masih asli dan sesuai dengan warisan nenek moyang dan dijadikan pedoman hidup dalam bermasyarakat.Di berbagai wilayah di Nusantara sendiri sebelumnya dan sampai saat ini telah terdapat kesatuan-kesatuan masyarakat yang teratur, yang dikelola oleh suatu sistem nilai yang bersifat tradisional dan dipercaya secara turun-temurun.

Hukum adat adalah hukum yang bersumber pada ugeran-ugeran atau norma kehidupan sehari-hari yang langsung timbul sebagai pernyataan kebudayaan orang Indonesia asli dalam hal ini sebagai pernyataan rasa keadilan dalam hubungan pamrih, sehingga jelas sekali terlihat bahwa hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia yang dibuat oleh masyarakat Indonesia sendiri secara turun-temurun berdasarkan value consciousness mereka yang termanifestasi dalam kebiasaan-kebiasaan hidup sehari-hari dengan menggunakan ukuran nalar dan rasa keadilan mereka.Menurut Soepomo hukum adat sendiri bersifat tidak statis dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti kehidupan itu sendiri. Hukum adat pada ke waktu yang telah lampau agak berbeda, hukum adat berkembang dan maju terus. Dengan demikian hukum adat bersifat dinamis sejalan dengan tingkah laku anggota masyarakat, serta tuntutan-tuntutan yang diminta oleh kepentingan bersama.

Supomo juga menyatakan bahwa hukum adat merupakan hukum yang menunjukkan tingkah laku hukum yang mengandung kemanfaatan sosial. Ini dapat dikatakan bahwa, kehidupan hukum adat tidak seluruhnya tergantung pada kebaikan pengaturan undang-undangnya saja melainkan juga cukup besar ketergantungan kehidupan hukum itu pada peranan masyarakat. Dengan kata lain hukum adat adalah hukum yang hidup serta berlaku dalam masyarakat Indonesia, yang dalam perkembangannya mengalami proses penyempurnaan baik menebal maupun menipis.

Dengan demikian jika kembali pada pemikiran Von Savigny bahwa hukum adalah cerminan jiwa rakyat, hukum adat merupakan cerminan jiwa bangsa Indonesia. Menurut Hilman HadiKusuma, hukum adat adalah aturan kebiasaan manusia dalam hidup bermasyarakat. Sejak manusia itu diturunkan Tuhan ke muka bumi, ia memulai hidupnya berkeluarga, kemudian bermasyarakat, dan kemudian bernegara.

Sejak manusia itu berkeluarga mereka telah mengatur dirinya dan anggota keluarganya menurut kebiasaan mereka, dilihat dari perkembangan hidup manusia, terjadinya hukum itu dimulai dari pribadi manusia yang diberi Tuhan akal pikiran dan perilaku. Kemudian apabila seluruh anggota masyarakat melakukan perilaku kebiasaan tadi, maka lambat laun kebiasaan itu menjadi adat dari masyarakat itu.

Perda yang mengatur mengenai masyarakat Baduy ini ialah Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Lebak No.13 tahun 1990 Tentang Pembinaan dan Pengembangan Lembaga Adat Masyarakat Baduy di Kabupaten Daerah Tingkat II Lebak dan Perda terbaru yang mengatur mengenai masyarakat Baduy, Peraturan Daerah Lebak No.32 Tahun 2001 Tentang Perlidungan atas hak ulayat masyarakat Baduy, dalam Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Lebak No.13 tahun 1990 Tentang Pembinaan dan Pengembangan Lembaga Adat Masyarakat Baduy di Kabupaten Daerah Tingkat II Lebak Pasal 4, menyatakan :

Ayat (1) Dalam usaha melestarikan kebudayaan dan adat istiadat masyarakat Baduy guna memperkaya khasanah kebudayaan bangsa, Pemerintah Daerah pada semua tingkatan mempunyai kewajiban untuk menjaga, melindungi dan membina kebudayaan dan adat istiadat masyarakat Baduy sesuai dengan aslinya yang bermanfaat dan menunjang dalam Pembangunan Nasional;

Ayat (2) Jenis adat istiadat Baduy yang wajib dijaga dilindungi dan dibina sebagaimana tersebut dalam ayat (1) Pasal ini serta tata cara pembinaannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Bupati Kepala Daerah.

Peraturan Daerah diatas adalah Perda yang memberikan kewenangan terhadap fungsionaris adat masyarakat Baduy untuk mengatur lembaga masyarakatnya sendiri dalam menjalankan roda kehidupan seperti apa yang telah dilakukan oleh para pedahulu mereka dalam menjalankan roda kehidupan guna keseimbangan kehidupan masyarakat Baduy itu sendiri hal ini termasuk dalam menjaga hukum dan nilai-nilai sosial masyarakat adat, kebudayaan adat, kebiasaan masyarakat adat, dan dijadikan landasan dalam perwujudan asas Lex specialis derogate lex generalis dari ketentuan yang terdapat dalam hukum Positif Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).Delik adat itu terjadi apabila suatu saat timbul larangan untuk melakukan suatu perbuatan, karena perbuatan tersebut dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut, tercela karena apabila dilanggar dipandang akan dapat mengganggu keseimbangan kosmis dan menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat, dan untuk adanya delik adat tergantung pada empat faktor yaitu :

1. Sampai seberapa jauh adat itu dapat diterima oleh masyarakat sebagai sesuatu yang sewajarnya.

2. Kekuatan mengikat dari keputusan-keputusan hakim pada waktu yang lalu mengenai kasus yang sama.

3. Sifat dari Hukum adat yang hidup dalam masyarakat.

4. Kebebasan hakim dalam memutuskan suatu perkara.

Setelah dicermati, dapat diketahui sifat-sifat dan corak hukum delik adat,maka secara positif dapat diadakan kategorisasi tentang beberapa jenis delik, yang umumnya di kenal di dalam hukum adat. Soepomo mengatakan ada beberapa jenis delik tertentu yang merupakan delik yang paling berat yaitu pelanggaran atas keseimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib. Adapun yang termasuk kedalam delik berat dalam hukum adat pada umumnya, yaitu:

1. Perbuatan penghinaan

2. Membuka rahasia masyarakat atau bersekongkol dengan musuh

3. Perbuatan mengadakan pembakaran sehingga memusnahkan rumah

4. Perbuatan menghina secara pribadi terhadap kepala adat

5. Perbuatan sihir atau tenung

6. Perbuatan inses7. Hamil diluar perkawinan

8. Melarikan seorang perempuan

9. Perbuatan zinah

10. Pembunuhan

11. Perbuatan jual-beli manusia

12. Pemenggalan kepala

13. Terhadap delik harta benda.

BAB III

HASIL DATA PENELITIAN

Narasumber 1 : Kang Idong, Umur 37 tahun, Masayarakat Baduy Dalam, Pekerjaan memandu pengunjung untuk masuk ke kawasan Baduy Dalam, dan juga memberikan jasa membantu angkut barang atau Porter.Narasumber 2 : Kang Yardi, berumur 45 Tahun (warga baduy dalam), pekerjaan pemandu jalan dan pembantu angkut barang pengunjung (porter).A. Bahasa

Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda Wiwitan dialek SundaBanten, yang dapat diidentifikasi merupakan bahasa Sunda kasar. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar atau pengunjung mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, mereka belajar hal itu dari pengunjung atau orang luar Baduy yang datang. Dari segi linguistik, bahasa Baduy merupakan bahasa sunda kasar atau sunda banten, dimasukkan ke dalam suatu rumpun bahasa Sunda, yang sendirinya merupakan kelompok dalam rumpun bahasa Melayu-Sumbawa di cabang Melayu-Polinesia dalam rumpun bahasa Austronesia. B. PendidikanPada suku Baduy tidak mengenal adanya pendidikan formal seperti layaknya di sekolah maupun di perguruan tinggi. Mereka hanya mendapatkan pengetahuan melalui lingkungan keluarga mereka, lingkungan masyarakat baduy, dan para wisatawan yang datang untuk berkunjung ke baduy. Orang Baduy tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja. Kalaupun ada yang bisa membaca, mereka hanya menghapal bentuk tulisannya saja. Namun tidak bisa mengejakannya.

Masyarakat baduy luar lebih banyak mendapat pengetahuan dibandingkan masyarakat badui dalam. Karena masyarakat baduy luar masih dimungkinkan untuk menerima perkembangan zaman di era modern. Sedangkan, masyarakat baduy dalam lebih menutup dirinya dari peradaban masyarakat yang mengalami modernisasi dan lebih menjaga wasiat dari leluhur nenek moyang mereka. Masyarakat baduy dalam mempunyai kekhawatiran apabila sistem pengetahuan dari luar dapat mengubah adat istiadat mereka yang sudah diwarisi oleh nenek moyang mereka. C. Organisasi Sosial

Masyarakat Suku Baduy terbagi atas dua kelompok besar yaitu terbagi menjadi Baduy Luar dan Baduy Dalam. Pada masyarakat Baduy dalam dan luar tersebut terdapat kelompok-kelompok diantaranya yaitu: Masyarakat Baduy terdiri dari Masyarakat Baduy Dalam dan Masyarakat Baduy Luar. Masyarakat Baduy Dalam dapat dikatakan representasi dari masyarakat Baduy masa lalu yang mendekati pada pewaris asli budaya dan amanat leluhur kesukuan mereka. Sedangkan Baduy Luar adalah komunitas Baduy yang dipersiapkan sebagai penjaga, penyangga, penyaring, pelindung dan sekaligus silaturahmi yang intensif dengan pihak luar wilayah adat Baduy. Kelompok Tangtu (Baduy Dalam).Suku Baduy Dalam bermukim di pedalaman hutan yang terisolasi serta belum terpengaruhi oleh kebudayaan luar. Masyarakat Baduy Dalam merupakan masyarakat yang patuh pada seluruh ketentuan maupun aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Puun (Kepala Adat). Masyarakat Baduy dalam tinggal di 3 kampung yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik.

Kelompok masyarakat panamping (baduy Luar)Baduy Luar bermukim di desa Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, yang mengelilingi wilayah Baduy dalam. Masyarakat Baduy luar sudah berbaur dengan masyarakat luar dan dengan kebudayaan luar.

Kelompok Baduy DangkaMasyakarat Baduy Dangka bermukim di luar wilayah Baduy. Saat ini, tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar.

Dalam kehidupan sosial, masyarakat Baduy mempunyai dua sistem pemerintahan yaitu sistem nasional dengan mengikuti aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat masyarakat Baduy. Kedua sistem tersebut terakulturasi dengan baik sehingga menciptakan harmonisasi. Sistem pemerintahan formal di masyarakat Baduy dipimpin oleh kepala desa bernama Jaro Pamarentah. Posisi Jaro Pamarentah berada di bawah camat. Untuk pimpinan adat di masyarakat Baduy memiliki pemimpin tertinggi yaitu Puun.

Puuun berada di tiga kampung Tangtu. Seseorang menjadi puun karena jabatan tersebut berlangsung turun temurun namun tidak otomatis dari bapak ke anak, kerabat lain juga bisa menjadi puun. Jangka waktu memegang jabatan puun tidak ditentukan. Peralihan jabatan Puun lebih berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut. Pelaksana harian pemerintahan adat kapuunan (kepuunan) dilaksanakan oleh jaro yang terbagi pada empat jabatan yaitu

Jaro TangtuJaro tangtu memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan hukum adat pada warga tangtu serta mengurusi hal lainnya.

Jaro dangka dan Jaro TanggunganJaro dangka bertugas untuk menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Baduy. Jaro dangka berjumlah 9 orang dan apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu maka disebut dengan jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan.

Jaro Pamarentah.Jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Baduy dengan pemerintahan nasional. Dalam tugas jaro pamarentah dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua kampung.

Apabila dalam masyarakat Baduy ada yang melanggar aturan pikukuh maka orang tersebut akan mendapatkan hukuman yang disesuaikan dengan pelanggaran yang dilakukan yang terdiri atas pelanggaran berat dan pelanggaran ringan. Pelanggaran ringan yang dilakukan contoh adalah cekcok antar masyarakat Baduy. Bentuk hukuman ringan untuk seseorang yang melakukan pelanggaran ringan adalah pemanggilan oleh Puun untuk diberikan peringatan.

Pelanggaran berat bagi masyarakat Baduy adalah meneteskan darah, berzinah dan berpakaian kota. Hukuman berat yang akan didapat adalah pemanggilan oleh Jaro setempat dan diberi peringatan. Selain mendapat peringatan berat, orang yang mendapat hukuman akan dimasukan ke dalam lembaga pemasyarakatan (LP) atau rumah tahanan adat selama 40 hari. Selain itu, menjelang bebas, pelaku akan ditanya apakah masih mau berada di Baduy Dalam atau akan keluar dan menjadi warga Baduy Luar di hadapan para Puun dan Jaro. Untuk masyarakat Baduy Luar lebih longgar dalam menerapkan aturan adat dan ketentuan Baduy.

Tradisi dan budaya masyarakat Baduy menciptakan masyarakat Baduy yang menjunjung tinggi rasa kebersamaan atau gotong-royong dalam hal kehidupan masyarakat. Salah satu contoh sikap itu adalah saat masyarakat Baduy membangun suatu jembatan untuk melewati sungai. Mereka bekerja sama, ada yang mencari bambu, rotan dan barang lainnya di hutan untuk dikumpulkan dan ada juga yang bekerja membangun pola jembatan tersebut dan ketika rumah salah seorang penduduk rusak, mereka akan membantu untuk membuatkan rumah.D. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi

Masyarakat Baduy tidak terpengaruh oleh perkembangan teknologi. Sebagai bukti, dalam kegiatan ngaseuk yang berarti kegiatan membuat lubang kecil dengan menggunakan aseukan untuk menanam benih padi. Mereka juga menggunakan alat-alat rumah tangga yang masih sederhana, contohnya mereka menggunakan seruas bambu untuk minum dan tempurung kelapa untuk digunakan sebagai tempat makanan.Rumah masyarakat Baduy yang terdiri atas rarangkitukang, rarangkit pondok dan rarangkit panjang terbuat dari bambu panjang yang diikat oleh injuk. Begitu pula dengan alas rumah tersebut yang terbuat dari palupuh disangga oleh batu dan ikatan satu sama lain oleh injuk.Di dalam masyarakat Baduy Dalam, tidak diperbolehkan menggunakan bahan kimia untuk membersihkan diri. Ketika akan mandi mereka akan pergi ke sungai atau ke pancoran dan menggunakan sabut kelapa untuk membersihkan diri, sabut kelapa juga digunakan untuk memberishkan gigi mereka.Di dalam kawasan atau wilayah masyarakat Baduy Dalam, pengunjung tidak diperbolehkan untuk menggunakan barang elektronik, seperti Handphone, Kamera, dan sebagainya. E. Sistem Pencaharian hidup (Bercocok Tanam)

Orang Baduy tak terpisahkan dari padi, yang dilambangkan sebagai Nyi Pohaci Sanghyang Asri dan yang harus di tanam menurut ketentuan-ketentuan karuhun, yaitu seperti cara yang dilakukan para nenek moyang mereka. Padi ditanam di lahan kering, huma yang berada di dalam dan di luar desa. Padi tidak boleh di tanam di hutan larangan yang berupa hutan tua di wilayah Baduy dalam.

Padi tidak boleh di jual, dan ketentuan yaitu berlaku bagi setiap warga Baduy, baik Baduy Dalam maupun Baduy Luar. Tetapi hasil-hasil hutan, buah-buahan dan jenis tanaman ladang lainnya boleh di jual untuk memperoleh uang pembeli benang katun, ikan asin dan garam, rokok dan tembakau. Untuk menghemat persediaan makanan, padi di tumbuk setiap hari atau beberapa kali dalam seminggu adapun bahan untuk membuat rumah diperoleh sendiri dari daerah Baduy. Buah-buahan seperti rambutan, nangka, duku, durian, dan petai biasanya dijual kepada para tengkulak yang datang ke Kanekes.

Jenis mata pencaharian yang relatif baru yang berkembang dalam 10 tahun terakhir ini ialah berdagang baik pakaian, hasil kerajinan (gelang, gantungan kunci, selendang, sarung), madu dan hasil hutan serta huma yang dilakukan oleh Orang Baduy sendiri terutama oleh Orang-Orang Baduy luar. Selain berdagang, membuat gula kawung, bekerja sebagai buruh tani, dan berhuma diluar desa Kanekes. Orang-Orang pendamping lebih banyak menanam tanaman serta menangkap ikan.

F. Sistem Religi

Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes . Isi terpenting dari pikukuh (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep tanpa perubahan apapun, atau perubahan sesedikit mungkin:

Lojor heunteu beunang dipotong, pndk heunteu beunang disambung.

(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.

Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima. Hanya puun yang merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen.Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.Kini, sedikit demi sedikit pengaruh Islam mulai muncul di dalam masyarakat Baduy, meskipun mereka tidak mengenal sembhayang salat, bagi mereka cukup untuk berdoa saja misalnya ketika ada kelahiran atau kematian seseorang. Namun, mereka mengenal Lebaran atau Kahuluran. Mereka juga mengenal puasa layaknya puasa di bulan suci umat Islam. akan tetapi, mereka berpuasa selama 3 hari di dalam tiga bulan selama berturut-turut.

Ketika ada seseorang yang meninggal, mereka akan mengubur jasadnya dengan kain kafan.G. Kesenian

Dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka secara mandiri bercocok tanam dan berladang. Selain itu mereka menjaul hasil kerajinan Koja dan Jarog (tas yang terbuat dari kulit kayu) tenunan beruba selendang, baju, celana, ikat kepala, sarung, golok, parang dan berburu.

Kesenian di Suku Baduy dalam melaksanakan upacara tertentu, msyarakat Baduy menggunakan kesenian untuk memeriahkannya. Adapun kesenian yang terdapat di Suku Baduy :

1. Seni Musik (lagu daerah yaitu Cikarileu dan Kidung / pantun, yang di gunakan dalam acara pernikahan)

2. Alat Musik ( Angklung Buhun dalam menanam padi dan alat Musik kecapi)

3. Seni Ukir Batik.

Angklung Buhun salah satu kesenian masyarakat Baduy yang pertaman kali lahir, kesenian Tradisonal ini berbau magis dan mempunyai unsure saklar. Angklung Buhun bukannya kesenian pagelaran yang setiap saat bisa ditonton, tetapi Angklung Buhun dipentaskan pada satu tahun sekali, dengan gaya dan versi yang sama. Semua ungkapan bertumpu pada pakem, yang dijadikan keharusan, disamping tembang, tari, dan tabuhannya harus bisa menyatu dengan seniman yang memainkannya. Kesenian Angklung Buhun hadir bersama dengan orang Baduy, dan punya arti penting sebagai penyambung amanat, kepada para ahli waris untuk mempertahankan kelangsungan anak-keturunan Baduy. Unsur seninya sebagai daya tarik yang mampu menyentuh rasa, pementasan merupakan jembatan sebagai alat komunikasi dalam menyampaikan, ajakan, peringatan, laranagn, dan penerangan.

Rendo Pengiring Pantung merupakan salah satu alat kesenian Tradisional masyarakat Baduy memberikan warna kehdupan budaya bervariasi, sebagai pembangkit rasa ingat para warga kepada amanat leluhurnya. Rendo hadir pada setahun sekali secara pasti, setelah selesai musim ngored, menjelang pohon padi mulai berbunga. Peristiwa ini merupakan waktu senggang yang digunakan untuk kesibukan membaca pantun,dalam membuka tabir sejarah perjalanan hidup leluhurnya.

Kegiatan mantun biasanya dipimpin oleh tokoh masyarakat, yang lebih mengetahui, serta bertanggung jawab untuk menyampaikan amanat. Mantun merupakan upacar kecil yang dilakukan dari rumah ke rumah, pada malam hari untuk lek-lekan sampai larut malam.

Golog/Bedog

Golok atau bedog menjadi atribut sehari-hari kaum laki-laki Bady. Ada dua macam golok yang dibuat dan digunakan oleh Masyarakat Baduy, yaitu golok polos dan golok yang berpamor. Golok polos dibuat dengan proses biasa, menggunakan besi baja bekas per pegas kendaraan bermotor yang ditempa berulang-ulang. Golok ini biasanya di gunakan untuk menebang phon, mengambil bambu, dan keperluan lainnya, sedangkan golok yang berpamor adalah golok yang telah dipercayaai kekuatannya memili urat-urat atau motif gambar yang meneyerupai urat kayu dari pangkal hingga ujung golok pada kedua permukaannya. Proses embuatannya lebih lama dan memerlukan percampuran besi dan baja yang khusus. Kekuatan dan ketajaman golok pamor melebihi golok polos biasa, di samping itu memiliki charisma tersendiri bagi yang menyandangnya.

Golok buatan orang Baduy Dalam berbeda dengan buatan orang Baduy-Luar, perbedaannya terletak pada serangka dan perahnya, baik yang berpamor maupun tidak. Golok terbuat dari bahan baja dan besi pegas kendaraan bermotor. Pembuatannya dengan cara menempas besi baja tersebut hingga pipih dan tajam dengan pemanasan arang.

Hiasan golok diterakan pada bagian sarangka dan perah tersebut, dengan menggunakan pisau panggot, pisau raut atau gergaji kecil.

Bahan untuk membuat sarangka adalah kayu Reunghas, dan perahnya dari bahan kayu duren atau kayu jenis lain yang lebih keras. Pengikat atau pengkuat serangka menggunakan bahan tanduk sapi atau kerbau yang telah diraut. Tanduk sapi atau kerbau terkadang digunakan untuk perah golok (berdasarkan pesanan).

Menurut Kang Idong, pakaian dan rumah baduy yang terdapat di baduy dalam menggunakan bahan alami yaitu untuk pintunya menggunakan anyaman, di dalam masyarakat baduy dalam terdapat lebaran yang disebut oleh masyarakat baduy dengan nama rawulu, sistemnya yaitu makan selama tiga bulan yaitu kasa, karo, dan katiga. Ketika menanam padi di iringi dengan hiburan angklung dan makan makan, hal ini di lakukan satu tahun sekali.

Untuk mengobati masyarakat baduy yang sakit, mereka menggunakan obat obat yang di peroleh dari dukun, idrun, dan pantun. Mereka menyetor hasil pertanian mereka ke gubernur dalam bentuk nasi atau beras, ikan-ikanan, dll.

Di dalam struktur masyarakat baduy terdapat Puun, yang paling dituakan. Ia diberi makanan yaitu sejenis makanan yang telah diberi doa oleh orang yang dianggap sakti agar harmonis.

Di dalam suku baduy pernikahan dilakukan oleh seorang wanita yang berusia 15 Tahun, sedangkan pria berusia 17 tahun. Cara melangsungkan pernikahannya melalui perjodohan atau satu generasi.

Pada usia 6 tahun, seorang laki-laki sudah diperbolehkan memegang golok sendiri. Boleh ada yang mengandung hal mistis. Orang pendatang yang melanggar adat dan dinilai sudh berlebihan, dapat mengakibatkan kesurupan, dan setelah sadar baru dipulihkan. Syarat untuk menjadi Puun adalah mempunyai pengetahuan yang lebih tinggi, bisa mengatur masyarakat, dan ilmunya yang lebih tinggi. Baju asli suku baduy dalam hanya diperbolehkan memiliki 2 warna, yaitu hitam dan putih. Tiap perkampungan baduy dalam, hanya dibedakan oleh Puun, dan Jaro (wakil Puun). Orang baduy dalam jika tidak mematuhi peraturan dapat dikenakan sanksi yaitu dikeluarkan dari adat, contoh pelanggarannya adalah modern, dan berzinah yang belum terikat oleh pernikahan. Apabila perempuan baduy dalam, jalan dengan seorang pria yang berasal dari luar baduy harus didampingi oleh masyarakat badui itu sendiri.

Pengunjung suku baduy hanya diperbolehkan untuk tinggal sehari semalam di suku badui. Pernikahan masyarakat baduy dengan orang luar baduy, menyebabkan masyarakat baduy tersebut dikeluarkan dari masyarakat adat baduy. Untuk orang tertua dari suku baduy cukup dihargai dan dihormati. Masyarakat badui dalam sangat menjaga adatnya walaupun melawan pemerintah. Masyarakat badui hanya diperbolehkan untuk memelihara ayam, anjing dan kucing.

Jabatan dalam suku baduy adalah :

2.Puun, seperti ketua adat yang memiliki kekuasaan tertinggi

3.Jarok : yang merupakan wakil dari Puun dan meriupakan keturunannya

4.Baresan : Ajudan Puun, cara pemilihannya yaitu ditunjuk langsung oleh Puun

5.Palawari : bertugas untuk mengantar makanan kepada jarok apabila terdapat acara

BAB IV

ANALISISBerdasarkan hasil wawancara dan penelitian yang kami adakan di Baduy selama 2 hari, kita dapat mengetahui bahwa, Suku Baduy terdiri dari dua macam, yaitu suku Baduy Luar dan Suku Baduy Dalam. Suku Baduy Dalam masih kental akan pelestarian hukum adat mereka. Masyarakat Baduy Dalam, dapat dikatakan representasi dari masyarakat Baduy masa lalu yang mendekati pada pewaris asli budaya dan amanat leluhur kesukuan mereka Sedangkan, suku Baduy Luar yang dipersiapkan sebagai penjaga, penyangga, penyaring, pelindung dan sekaligus silaturahmi yang intensif dengan pihak luar wilayah adat Baduy. Sehingga, sedikit demi sedikit mulai terpengaruh pada perkembangan zaman.A. Bahasa

Bahasa yang dipergunakan di Suku Baduy Dalam dan Luar berbeda. Orang di Baduy Dalam rata-rata tidak bisa berbicara dengan bahasa Indonesia. Hal ini menimbulkan, mereka sukar untuk berkomunikasi dengan tamu yang berkunjung. Kalaupun, ingin berbicara dengan mereka untuk melakukan penelitian di Baduy Dalam, kita melakukan pembicaraannya dengan Si Akang (Porter) yang sering membaur dengan tamu, dan yang sangat mengejutkan adalah wakil jaro yang yang pada waktu itu diwawancarai oleh kelompok lain dapat menggunakan bahasa Indonesia yang baku melebihi kita sebagai seorang mahasiswa. Bahasa yang dipergunakan oleh masyarakat suku Baduy dalam adalah murni bahasa Sunda Kasar.

Mengapa masyarakat suku Baduy Dalam juga tidak dapat Berbahasa Indonesia. kemungkinan juga dengan Bahasa akan menyebabkan terjadi suatu pertukaran informasi satu dengan budaya luar yang rata-rata menggunakan Bahasa Indonesia.

Jadi salah satu cara menjaga adat mereka juga dengan cara tetap menggunakan bahasa Sunda Kasar, dan tidak mau untuk berbicara dengan bahasa Indonesia.

Mengapa sunda kasar? Kemungkinan karena wilayah Baduy yang masih berada di Provinsi Banten, yang merupakan pecahan dari Provinsi Jawa Barat menimbulkan pada waktu dahulunya terjadi pembauran bahasa.

Kalau di Baduy Luar kita masih bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan masyarakat di Baduy Luar. Hal ini terjadi karena masyarakat Baduy Luar sering membaur dengan orang-orang dari kota yang datang berkunjung ke Baduy. Hal ini juga disebabkan karena wilayah suku Baduy Luar yang dekat dengan perkampungan penduduk sekitar yang sudah mendapat teknologi. Sehingga, lama kelamaan mereka sudah terbiasa juga menggunakan Bahasa Indonesia kepada satu sama lain ataupun kepada Pengunjung.

Tidak ada pemberian sanksi ketika mereka melanggar apabila tidak menggunakan bahasa kedaerahan mereka, yaitu bahasa Sunda Kasar.

B. Pendidikan

Pengetahuan yang diperoleh masyarakat Baduy merupakan pengetahuan yang sederhana. Kesederhanaan prinsip dasar masyarakat Baduy, apa yang di alam harus tetap sama dan tidak boleh berubah sebagaimana yang telah diberikan oleh Sang Pencipta. Materi atau substansi pendidikan yang diajarkan oleh mereka secara turun temurun pada dasarnya adalah sesuai dengan kebutuhan hidup saja. Aspek aturan hidup, ekonomi, sosial, serta lingkungan merupakan materi pelajaran yang diajarkan bagi semua masyarakat. Pendidikan yang ada terfokus pada tata cara berladang, cara melestarikan lingkungan, dan ketahanan adat.

Pendidikan formal atau sekolah dalam bentuk apapun merupakan hal yang dilarang oleh adat masyarakat Baduy secara keseluruhan sehingga masyarakat Baduy tidak ada yang bersekolah. Meskipun demikian , sebagian dari masyarakat Baduy sudah mengenal baca, tulis, dan hitung dengan segala keterbatasannya yang diperoleh melalui jalur nonformal yang didapat dari masyarakat di luar wilayah Baduy maupun secara outodidak.

Tujuan adat melarang adanya pendidikan di sekolah adalah untuk menahan terlalu bebasnya masyarakat adat mengadopsi gaya kehidupan modern karena komunitas mereka memiliki tugas hidup yang spesifik, keyakinan yang kuat dan hukum adat yang berbeda. Jika masyarakat Baduy dibebaskan untuk mendapatkan pendidikan seperti halnya masyarakat umum lainnya maka dikhawatirkan masyarakat Baduy hanya akan mengejar dan memenuhi kepuasan materi dan kemajuan hidup sehingga adat dan budaya Baduy terlupakan.

Kita akan melihat perbedaan yang nyata antara anak-anak di Baduy Dalam, dan di Baduy Luar. anak-anak di Baduy Dalam cenderung dari kecil diajarkan untuk tangguh dan diajarkan untuk berjalan jauh sambil memanggul tas para tamu. Adapun pendidikan di Baduy Dalam hanya diajarkan oleh orang tuanya masing-masing. Kalaupun mereka bisa menggunakan bahasa Indonesia, mereka belajar hal tersebut dari tamu.

Berbeda dengan anak-anak di Baduy Luar. Kami melihat diantara mereka sudah menggunakan baju berwarna-warni, dan bermain disekitar rumah. Bahkan menurut para peneliti ada diantara mereka yang diam-diam pergi bersekolah. Mereka melakukan itu dengan cara berpura-pura pergi ke ladang, agar tidak ketahuan oleh pengawas adat.

Hal ini terntunya merupakan suatu pelanggaran adat. mereka dituntut untuk tidak melakukan pendidikan formal. Karena pendidikan formal dianggap akan menjadikan suatu kesenjangan sosial dalam struktur masyarakat Baduy.

Adapun sanksi yang diberikan apabila ketahuan melanggar, kemungkinan adalah diusir dari suku Baduy. Mengapa diusir? Karena mereka akan membawa seseuatu yang akan merubah tatanan yang diwariskan leluhur mereka. Sesuai dengan peribahasa mereka yaitu, Lojor heunteu meunang dipotong, pendek heunteu meunang disambung. Yang artinya, panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung. Nah, itu adalah salah satu amanat buyut yang selalu di junjung tinggi oleh masyarakat Baduy. Dimaksudkan, agar segala adat istiadat yang sudah tertanam lama di suku Baduy, tidak perlu diubah-ubah.

Karena itulah walaupun sudah mulai terjadi modernisasi di Masyarakat Baduy Luar, mereka melakukannya dengan setahap demi setahap tanpa melupakan adat leluhur yang telah mereka junjung dan melakukann modernisasi tanpa sepengetahuan dari pengawas dan ketua adat mereka. Selain itu, mereka tetap memilah dan menyaring agar modernisasi terjadi seminimal mungkin di Wilayah Baduy.

Hal ini tentunya akan sangat jauh berbeda ketika kita mewawancarai masyarakat Baduy Dalam. Mereka sangat teguh untuk menjaga peraturan yang diwariskan leluhur mereka, dan berusaha agar tidak ada budaya dari luar yang masuk ke dalam wilayah Baduy Dalam.

Apabila seseorang melanggar peraturan adat di Wilayah Baduy Dalam, tidak segan-segan mereka akan memberikannya sanksi. Oleh karena itu, pengunjung diharuskan untuk menghormati peraturan adat yang ada di dalam suku Baduy Dalam. Pengunjung dilarang keras untuk memotret ataupun menggunakan barang elektronik selama berada di kawasan Baduy Dalam., begitupula mereka tidak diperbolehkan untuk menggunakan bahan kimia ketika ingin membersihkan diri/ mandi.

Larangan bagi masyarakat Baduy dalam sendiri pun cukup banyak, diantaranya adalah dilarang untuk naik kendaraan ketika melakukan perjalanan, dilarang menggunakan barang elektronik, dilarang menggunakan bahan kimia, dilarang untuk berkelahi apapun bentuknya, dilarang untuk bercerai (tapi apabila salah satu diantara mereka meninggal maka pihak yang ditinggalkan boleh mengadakan perkawinan kembali), dilarang untuk menggunakan pakaian yang berwarna-warni, dilarang untuk mengikuti sekolah formal, dan masih banyak lainnya.

Sanksi yang diterapkan pun tegas sifatnya yaitu teguran tertulis, penahanan di rumah tahanan adat Baduy, dan dikeluarkan dari suku Baduy. Keeektifan sanksi adat ini dinilai kuat dan tetap terpelihara dan dijaga oleh masyarakat suku Baduy dalam. C. Organisasi SosialOrganisasi sosial yang berada di dalam suku Baduy terbagi atas suku Baduy Dalam dan Suku Baduy Luar. Baduy Dalam yang kental akan adat, sedangkan Baduy Luar, yang menjadi penyangga dan penyaring dari budaya Luar.

Organisasi sosial di Baduy dipimpin oleh Ketua Adat yang berjumlah 3 orang, yaitu Puun. Ketiga Puun tersebut berada di dalam Desa Baduy Dalam, yaitu di Desa Cibeo, Cikartawarna, dan Cikeusik. Adapun yang melaksanakan pemerintahan yaitu Jaro dan wakil Jaro selaku pengawas dalam pelaksanaan hukum adat di Suku Baduy. Adapun tugas Puun adalah mengadili pelanggaran berat yang terjadi di suku Baduy, baik hal tersebut dilakukan oleh masyarakat Baduy itu sendiri ataupun Tamu yang datang.

Tugas daripada Jaro adalah untuk mengawasi keadaan yang ada di dalam masyarakat. Menurut pendapat kami, dalam melaksanakan tugasnya Jaro dan wakil Jaro kadang-kadang luput karena ada pelanggaran yang dilakukan oleh beberapa masyarakat Baduy Luar, yang bahkan mungkin sudah diketahui tetapi tetap dibiarkan saja.

Berdasarkan hal tersebut kelompok kami berpendapat bahwa, pengawasan terhadap peraturan adat di Baduy Luar tidak terlalu ketat dan apabila terjadi pelanggaran dibiarkan saja. Sepanjang, hal tersebut tidak berdampak pada perubahan yang kemungkinan terjadi di Suku Baduy.Sedangkan, di Baduy Dalam, masyarakat sangat tunduk patuh pada peraturan adat yang telah melekat di diri mereka masing-masing dan hal ini disebabkan pula karena letak rumah mereka yang berdekatan dengan Puun, Jaro, dan Wakil Jaro yang mengakibatkan mereka takut untuk berbuat sesuatu yang dinilai melanggar peraturan di Baduy.D. Teknologi

Dari hasil pengamatan kami di Baduy Luar, yaitu di Rumah Kang Sukma, sudah terjadi modernisasi di dalam rumahnya. Hal ini kita dapat melihat dari beberapa foto yang dipajang di dinding, padahal di Suku Baduy Dalam ada larangan bahwa masyarakat suku baduy tabu untuk difoto. Begitupula terdapat berbagai poster artis idola (logikanya darimana mereka tahu tentang berbagai hal yang sedang menjadi tren saat kini kalau tidak melihat media). Bahkan, ketika kami berjalan turun dari Desa Cibeo, di salah satu rumah terdengar suara lagu pop yang berasal dari televisi atau radio. Namun, setelah mereka mendengar suara kami, lagu pop tersebut langsung dimatikan. Cara berpakaian masyarakat Baduy Luar pun bebas. Mereka menggunakan kaos, dan daster. Banyak diantara mereka yang tidak menggunakan Baju Adat Baduy yang hanya berwarna putih dan hitam.

Berbagai hal yang kami paparkan diatas merupakan suatu pelanggaran yang dilakukan Masyarakat Baduy Luar terhadap peraturan suku Baduy sendiri. Pelanggaran terhadap pemakaian teknologi, masyarakat Baduy Luar seolah-olah merahasiakan dan takut untuk menunjukan masuknya teknologi ke dalam wilayah Baduy. Beranjak dari hal tersebut, kita dapat mengerti bahwa peraturan suku Baduy di Baduy Luar tidak sepenuhnya diterapkan dalam kehidupannya. Mengingat wilayah Baduy Luar yang berdekatan dengan wilayah luar Baduy, wajar bila teknologi mulai merambah pada tanah Baduy, meskipun demikian masyarakat Baduy Luar berusaha menutup-nutupi hal tersebut. Menurut kelompok kami, disalah satu sisi masyarakat Baduy Luar tetap berusaha untuk memelihara warisan adat leluhur mereka berupa peraturan adat yang harus mereka jaga dan mereka tetap lestarikan. Namun, disisi lainnya mereka merupakan pintu masuk wilayah Suku Baduy, yang artinya bahwa mereka tinggal berdampingan dengan masyarakat yang telah melakukan modernisasi. Maka timbullah keinginan mereka untuk mengikuti perkembangan zaman tersebut. Keinginan untuk bisa lebih baik dari keadaan sebelumnya, dimiliki oleh hampir setiap orang di Baduy.Sehingga, menurut kelompok kami masyarakat Baduy Luar lebih diberikan kebijakan dan kelonggaran pada peraturan adat dalam pelaksanaan kegiatan hidup sehari-hari jika dibandingkan dengan masyarakat Baduy Dalam. Tetapi, ada batas-batas tertentu yang tetap mengikat mereka sebagai suatu komunitas adat suku Baduy. Mereka tetap tunduk pada sanksi yang diberikan oleh Ketua Adat, apabila mereka melakukan pelanggaran terhadap perbuatan yang dinilai telah melanggar batas-batas dari peraturan tersebut.

Adapun apabila mereka melanggar pelanggaran berat, seperti mereka berzinah dengan tamu atau masyarakat diluar Baduy, mereka akan diberikan sanksi berupa diusir dari masyarakat Baduy, hal ini diadili oleh Puun atau ketua adat. Beda lagi apabila kita merujuk pada sistem pendidikan formal di sekolah, dimana hal ini memang diam-diam dilakukan oleh sebagian anak di Baduy Luar. Hal ini tentunya melanggar ketentuan adat Baduy, yang mengatakan bahwa Orang Baduy tidak diperbolehkan untuk mengenyam pendidikan formal. Pendidikan di Baduy ini tidak dimaksud untuk mencari ilmu pengetahuan seluas-luasnya seperti masyarakat modern, melainkan pendidikan yang sebatas untuk pemenuhan kebutuhan hidup maupun mempertahankan adat mereka. Hal ini mereka lakukan secara diam-diam, dengan cara mereka berpura-pura untuk pergi ke ladang, agar tidak ketahuan oleh pengawas adat mereka. Apabila mereka diketahui oleh sang pengawas maka mereka diberikan sanksi yang diberikan oleh Jaro selaku wakil dari Puun, bahkan Puun sendiri pun dapat ikut serta untuk memberikan sanksi berupa ditahan.

Keefektifan hukuman di Baduy Luar, menurut kelompok kami masih efektif dan mereka masih tetap tunduk pada hukum adat Baduy. Hal ini dapat kita lihat dari sikap mereka untuk menutup-nutupi adanya teknologi (pergunakan Handphone) ketika tamu datang berkunjung. Mereka tidak menggunakan teknologi ketika ada pengawas dari Baduy Dalam Datang untuk berkunjung.

Ketika berada di suku Baduy dalam pun suasana terasa berbeda dibandingkan ketika berada di suku Baduy Luar. Ada ketakutan sendiri di dalam diri pengunjung untuk melanggar sanksi walaupun dalam tindak sekecil apapun. Hal ini mungkin terjadi karena ketika berada di wilayah Suku Baduy Dalam, tamu secara langsung akan diawasi oleh Wakil Jaro ataupun Jaronya sendiri sebagai pengawas adat. Selain itu, karena wilayah Baduy Dalam cukup jauh dari wilayah perkotaan yang sudah mengalami modernisasi, penduduk juga terbiasa dengan adat yang diwariskan dari leluhur mereka. Sehingga, mereka tidak tergoda untuk mengikuti perkembangan zaman yang ada.

Namun, ada hal yang mengusik hati kami bahwa, apakah sanksi juga akan dijatuhkan bagi Masyarakat Suku Baduy Dalam yang melakukan pelanggaran di luar wilayah Baduy Dalam? Kita contohkan saja, seorang warga yang kita wawancarai mengatakan bahwa ia pernah pergi ke Jakarta, dan menontotn di bioskop Taman Anggrek. Bukankah, dengan menonton, mereka berarti telah menggunakan alat elektronik? Kalau demikian Masyarakat Baduy Dalam mematuhi peraturan adat mereka secara disiplin di wilayah Baduy Dalam. Tetapi, secara sedikit-sedikit juga melakukan pelanggaran. Pelanggaran tersebut mereka lakukan ketika tidak sedang berada di dalam wilayah Baduy Dalam. Dari pelanggaran yang mereka lakukan kami dapat mengidentifikasi pelanggaran yang mereka lakukan adalah pelanggaran yang masih dalam kategori pelanggaran ringan. Adapun sanksinya hanya berupa teguran dari Jaro atau Wakil Jaro.

E. Sistem Mata PencaharianSistem mata pencaharian di Baduy rata-rata dari mereka bekerja di ladang untuk bercocok tanam. Baik di Baduy Dalam maupun di Baduy Luar, mereka terlihat sedang mengurus kebun mereka. Kebun mereka rata-rata terletak di dekat rumah mereka (meskipun kalau kami bilang jaraknya lumayan jauh). Mereka biasa menanami kebun mereka dengan pohon durian, singkong, pepaya, dan umbi-umbian lainnya. Hasil dari berkebun mereka gunakan untuk bahan memasak untuk makanan. Masyarakat di Baduy Dalam, kadang-kadang berprofesi sebagai Porter untuk membantu tamu dalam hal membawa barang bawaannnya ke Baduy Dalam. Untuk jasa seperti ini mereka dihargai Rp. 15.000 ketika membawakan barang dari Baduy Luar sampai ke Baduy Dalam yang jaraknya kira-kira 12 KM

Masyarakat Baduy Dalam pun menjual berbagai macam kesenian seperti, kain, sarung, dan pernak-pernik lainnya untuk dijual kepada pengunjung.F. Sistem ReligiKini, sedikit demi sedikit pengaruh Islam mulai muncul di dalam masyarakat Baduy, meskipun mereka tidak mengenal sembhayang salat, bagi mereka cukup untuk berdoa saja misalnya ketika ada kelahiran atau kematian seseorang. Namun, mereka mengenal Lebaran atau Kahuluran. Mereka juga mengenal puasa layaknya puasa di bulan suci umat Islam. akan tetapi, mereka berpuasa selama 3 hari di dalam tiga bulan selama berturut-turut.

Ketika ada seseorang yang meninggal, mereka akan mengubur jasadnya dengan kain kafan. Mereka menguburkan jasad tersebut dengan ditandai batu.

Di Baduy Luarpun ketika berada di Rumah Kang Sukma kami melihat ada kaligrafi arab yang ditempel di dinding rumah. Hal ini menunjukkan pengaruh Islam memang sudah masuk di Baduy. Akan tetapi, di Baduy Dalam, mereka tidak melaksanakan ibadah wajib yang biasanya dijalankan oleh orang muslim. Apakah hal tersebut mengindikasikan bahwa, mereka tidak percaya terhadap Tuhan yang diakui di dalam Agama Islam? Apakah mereka benar-benar mengakui di dalam hatinya mempunyai agama? Kita semua tidak tahu, karena hal yang menyangkut masalah agama adalah sebuah kepercayaan yang timbul dari dalam hati seseorang untuk mengakuinya.G. Sistem Kesenian

Kesenian yang ada di dalam suku Baduy beragam. Mereka menghasilkan pernak-pernik yang semuanya berasal dari alam , dan tanpa membutuhkan bahan buatan sedikitpun. Dari hasil kesenian itupun mereka dapat menggantungkan hidupnya juga.BAB V

PENUTUPA. Kesimpulan

Dari semua data yang kita cari dari penelitian tentang adat suku baduy bahwa masyarakat baduy masih memegang teguh adat istiadat warisan leluhur mereka dan menjaga kelestarian lingkungan alam mereka dari pengaruh perubahan jaman yang ada diluar suku Baduy. Hal ini juga di dukung oleh peran serta pemerintah daerah Banten yang mengeluarkan perda tentang peraturan untuk daerah Baduy sehingga dengan adanya peraturan tersebut ketentuan adat di suku Baduy tetap utuh dan tidak terpengaruh oleh perubahan zaman maupun pengaruh lain dari luar suku Baduy. Pelanggaran maupun sanksi yang diberikan dinilai cukup efektif untuk diipatuhi oleh masyarakat Baduy. Meskipun, diantara mereka sudah ada beberapa yang melakukan perubahan terhadap nilai adat mereka (Baduy Luar), mereka tetap merasa terikat dengan ketentuan adat yang diwariskan oleh leluhur mereka. Mereka tetap menjaga dan menahan diri mereka untuk tidak melakukan pelangaran-pelanggaran berat (seperti, menikah dengan masyarakat luar suku Baduy). Selama penelitian yang kami lakukan ada beberapa hal yang mereka ungkapkan yang merupakan pelanggaran terhadap aturan adat mereka. Tetapi, pelanggaran tersebut mereka lakukan diluar wilayah mereka (Baduy Luar). Sehingga, mereka tidak akan dikenai sanksi adat.Oleh karena itu, meskipun mereka melakukab pelanggaran, mnereka tetap menjunjung tinggi adat yang diwariskan. Mereka tetap mengidentitaskan sebagai Masyarakat Baduy, sebuah komunitas masyarakat yang tetap menjaga peraturaan adat mereka di tengah perkembangan zaman. Namun, demikian mereka harus berjuang keras untuk tetap mempertahankan adat mereka dengan menyaring berbagai perkembangan yang ada di luar suku Baduy.

B. Saran

1. Kita belajar untuk tetap menjaga keutuhan adat yang kita miliki, meskipun terjadi perubahan kita harus selektif dalam menanggapi kemajuan zaman yang ada, dan memilih perubahan mana yang terbaik dan positif tanpa adanya dampak dampak yang dapat merugikan atau merubah berbagai hal yang menjadi ciri khas yang kita miliki.2. Pemerintah harus memelihara serta ikut melestarikan berbagai Budaya, maupun adat istiadat di Suku Baduy, agar mampu untuk tetap mempertahankan adat mereka di tengah kondisi globalisasi

3. Kita sebagai tamu harus menghormati adat istiadat yang ada di dalam suku Baduy. sebagai tamu kita sebaiknya juga tidak mempengaruhi mereka dengan budaya yang kita miliki dari kota.

4. Memelihara serta menjaga keasrian alam di wilayah Baduy.DAFTAR PUSTAKABuku :A.B. Wiranata, I Gede. Hukum Adat Indonesia Perkembangannya dari Masa ke Masa, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005Djojodigoeno dalam Surojo Wignjodipuro. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Bandung : Alumni. 1979

Hadikusuma, Hilman. Antropologi Hukum Indonesia, Bandung : Alumni. 2010

Hadikusuma, Hilman. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung : Mandar Maju. 2003.

Muhammad, Bushar. Asas-asas Hukum Suatu Pengantar. Cetakan ke-12 Jakarta: Pradnya Paramita, 1987

Saragih, Djaren. Pengantar Hukum Adat Indonesia (Bandung: PT. Tarsito, 1984)

Sianturi, S.R. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya (Jakarta: PT Ahaem, 1996)

Soekanto, Soerjono. Metode Penelitian Hukum, Cetakan ke-3. Jakarta: Penerbit UI Press. 1984

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Cetakan ke-8, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004Website:

http://sintia-astarina.blogspot.com.http://munirs71.wordpress.com/budaya/suku-baduy/

http://jelajahbumipapua.com/mobile/home.php?link=content-detail-tulis&kode=557&jdl=Keindahan.alam.suku.baduy.dan.kebudayaan.yang.dipertahankan

http://dormiret.wordpress.com/2011/10/02/motivasi-belajar-masyarakat-baduy-luar-dalam-menempuh-pendidikan-di-pkbm-dian-puspita-paket-a-dan-b/LAMPIRAN

Berfoto dengan Masyarakat Suku Baduy Dalam, yaitu Kang Idong dan Kang Yardi

Ibid. hal. 71.

Djaren Saragih, Pengantar Hukum Adat Indonesia (Bandung: PT. Tarsito, 1984), hal 15.

S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya (Jakarta: PT Ahaem, 1996), hal. 157.

I Gede A.B. Wiranata, Hukum Adat Indonesia Perkembangannya dari Masa ke Masa, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hal 40.

Ibid, hal. 40.

Ibid, hal. 73

Soerjono Soekanto, Metode Penelitian Hukum, Cetakan ke-3, (Jakarta: Penerbit UI Press, 1984), hal 132-133.

Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, (Bandung : Alumni, 2010), hal 51.

Ibid., hal 48.

Anonim, A Primer on the Civil Law Sistem, HYPERLINK "http://www.wikipedia.com" www.wikipedia.com, 8 November 2008.

Djojodigoeno dalam Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Bandung : Alumni, 1979), hal. 64.

Bushar Muhammad, Asas-asas Hukum Suatu Pengantar, Cetakan ke-12 (Jakarta: Pradnya Paramita, 1987), hal.21-22.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Cetakan ke-8, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 33.

Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, (Bandung : Alumni, 2010), hal 36.

Idem hal. 36

Anonim, A Primer on the Civil Law Sistem, HYPERLINK "http://www.wikipedia.com" www.wikipedia.com, 8 November 2008.

Djojodigoeno dalam Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Bandung : Alumni, 1979), hal. 64.

Ibid, hal 25.

Ibid, hal 64.

Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung : Mandar Maju, 2003), hal 1

Ibid,hal 1.

Ibid., hal 7.

Bushar Muhamad, Pokok-Pokok HukumAdat, Op, Cit., hal 64.

26