“respon anggota dewan pengawas syariah (dps)...
TRANSCRIPT
“RESPON ANGGOTA DEWAN PENGAWAS SYARIAH (DPS)
TERHADAP PENERAPAN PBI NO. 11/33/PBI/2009 TENTANG
GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG) BAGI BANK
UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH”
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Ekonomi Syariah (SE.Sy)
Oleh :
HILDA NAILU ZAKA
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAH (EKONOMI ISLAM)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H / 2010 M
RESPON ANGGOTA DEWAN PENGAWAS SYARIAH (DPS)
TERHADAP PENERAPAN PBI NO. 11/33/PBI/2009 TENTANG
GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG) BAGI BANK
UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Ekonomi Syariah (SE.Sy)
Oleh :
Hilda Nailu Zaka NIM. 1060 4610 1630
Pembimbing
Dr. Hasanudin, M.Ag NIP. 196103041955031001
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAH (EKONOMI ISLAM)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H / 2010 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 20 Ramadhan 1431 H
30 Agustus 2010 M
Penulis
بِسْـمِ اللَّـهِ الرَّحْمَـنِ الرَّحِيـمِ
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat, hidayah serta pertolongan-Nya
akhirnya dengan penuh kesabaran penulisan skripsi ini dapat diselesaikan oleh
penulis. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Sehubungan
dengan itu, penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, M.A, M.M., sebagai Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta yang selalu memberikan motivasi kepada seluruh mahasiswa di
Fakultas Syariah dan Hukum, baik semasa perkuliahan berlangsung, ataupun
pada saat penyelesaian tugas akhir.
2. Ibu Dr. Euis Amalia, M.Ag., sebagai Ketua Jurusan Muamalat (Ekonomi
Islam) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang selalu memberikan dorongan kepada mahasiswa
untuk selalu giat dalam mengikuti perkuliahan.
3. Bapak Dr. Hasanudin, M.Ag., sebagai Dosen Pembimbing skripsi yang telah
meluangkan waktu, pikiran dan perhatiannya kepada penulis dalam
memberikan pengarahan dan petunjuk tata cara penulisan skripsi.
vi
4. Bapak H. Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag, MH sebagai Pembimbing Akademik
yang juga senantiasa mengingatkan dan mengarahkan penulis semasa
mengikuti perkuliahan hingga akhirnya menyelesaikan penulisan skripsi ini.
5. Segenap pihak Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-
MUI) khususnya kepada Dewan Pengawas Syariah yang telah banyak
meluangkan waktu dan kesibukannya bagi penulis dalam pelaksanaan
kegiatan wawancara untuk proses pengambilan data, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian ini dengan baik.
6. Segenap Bapak/Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mengajarkan ilmu yang tidak
ternilai, hingga penulis menyelesaikan studi di Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Segenap Staf akademik dan staf perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. Orang Tuaku Tercinta dan Tersayang Papa H. Abdillah, SH, M.H., & Mama
Entin Hartini, Adikku satu-satunya Lia Amalia, Aunty Rostika, dan seluruh
keluarga besar Engkong H. Solehuddin di Bekasi dan keluarga besar Mah
Ageung di Ciamis yang telah memberikan kasih sayang serta doa restunya
hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
9. Untuk teman-temanku yang setia menemani hari-hariku di saat senang dan
sedih (Yulita, Nurul, Boze, Arie, Giska, Ade, Diyanti, Heryani, Fadli,
Handrianur, Anya). Untuk anak-anak penghuni Usnan Camp yang lucu-lucu
vii
viii
10. Untuk Ukhti Termanis Syaputri Febrina Sari, terimakasih banyak atas
informasi, bantuan, dukungan dan masukan yang telah diberikan.
11. Untuk semua teman-teman tercinta di Fakultas Syariah dan Hukum khususnya
Jurusan Perbankan Syariah angkatan 2006.
12. Untuk yang Tersayang Hosein Averroes, terimakasih atas perhatian dan kasih
sayangnya yang selalu setia diberikan kepada penulis, terutama pada masa
penulisan skripsi ini hingga selesai.
Semoga segala kebaikan yang tulus dari semua pihak dapat diterima oleh
Allah SWT serta mendapatkan pahala yang berlipat dari-Nya.
Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca
dan semua pihak yang memerlukannya. Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa
skripsi ini masih jauh dari sempurna, sehubungan dengan berbagai keterbatasan
kemampuan penulis, baik kemampuan akademik maupun dalam kemampuan teknik
penulisan. Sehubungan dengan itu, penulis sangat berharap kritik membangun, saran
dan masukan dari pembaca.
Jakarta, 20 Ramadhan 1431 H 30 Agustus 2010 M
Penulis
ix
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................. vi
DAFTAR ISI ................................................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 7
D. Studi Review Terdahulu ............................................................ 8
E. Kerangka Teori .......................................................................... 10
F. Metode Penelitian ..................................................................... 11
G. Sistematika Penulisan ............................................................... 15
BAB II LANDASAN TEORI
A. Respon ....................................................................................... 17
B. Dewan Pengawas Syariah (DPS) .............................................. 19
C. Good Corporate Governance (GCG) ........................................ 26
D. Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah .......................... 39
BAB III ANALISIS PERATURAN BANK INDONESIA NO. 11/33/PBI/2009
A. Landasan Penerapan PBI No. 11/33/PBI/2009 ......................... 41
ix
x
x
B. PBI No. 11/33/PBI/2009 Terkait Dewan Pengawas Syariah .... 41
C. Ringkasan PBI No. 11/33/PBI/2009 ......................................... 46
BAB VI RESPON DEWAN PENGAWAS SYARIAH TERHADAP APLIKASI
PBI NO. 11/33/PBI/2009
A. Tanggapan Dewan Pengawas Syariah Terhadap Penerapan PBI
No. 11/33/PBI/2009 Tentang Good Corporate Governance ... 54
B. Analisis Penulis......................................................................... 66
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................... 72
B. Saran .......................................................................................... 74
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 75
LAMPIRAN – LAMPIRAN ........................................................................ 80
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dunia perbankan di Indonesia sudah tidak asing untuk diperbincangkan,
sebelum tahun 1990 banyak bank konvensional yang telah berdiri baik bank lokal
maupun bank asing yang membuka perusahaan atau cabang di Indonesia. Hal ini
menunjukan bahwa bank yang dikelola di Indonesia dapat diserap dengan baik
oleh masyarakat. Pada tanggal 01 Mei 1992 didirikanlah sebuah bank pertama
yang berbasis syariah yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI) atas perjuangan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mendirikan sebuah bank yang
ketentuannya berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Hingga saat ini industri syariah
merambat ke dunia asuransi syariah dan unit usaha syariah.
Industri perbankan syariah sejatinya dijalankan berdasarkan prinsip dan
sistem syariah. Karena itu, kesesuaian operasi dan praktek bank syariah dengan
syariah merupakan piranti mendasar dalam perbankan syariah. Untuk tujuan
itulah semua perbankan yang beroperasi dengan sistem syariah wajib memiliki
institusi internal yang independen, yang secara khusus bertugas memastikan bank
tersebut berjalan sesuai syariah Islam, sebagaimana yang diamanatkan dalam
1
2
UU Perbankan No. 10/1998 yang menyebutkan bahwa bank syariah harus
memiliki Dewan Pengawas Syariah.1
Dewan Pengawas Syariah (DPS) merupakan lembaga independen atau hakim
khusus dalam fikih muamalat dan bidang lembaga keuangan Islam. Dewan
Pengawas Syariah suatu lembaga keuangan berkewajiban mengarahkan,
mereview dan mengawasi aktivitas lembaga keuangan agar dapat diyakini bahwa
mereka mematuhi aturan dan prinsip syariah.2
Perbankan syariah sudah sepatutnya menjadi cikal bakal penggerak
perekonomian yang dijalankan dengan berlandaskan al-Qur’an dan Hadits.
Kegiatan yang dilakukan dalam operasionalisasi perbankan syariah akan
mencerminkan nilai-nilai keislaman sehingga nasabah benar-benar akan
merasakan kenyamanan dalam bertransaksi karena sudah merasa aman dari sisi
normatif dan juga dari sisi batinnya.3 Seluruh kegiatan atau transaksi yang
dilakukan oleh perbankan syariah harus selalu diawasi oleh beberapa anggota
Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang merupakan bagian dari Dewan Syariah
Nasional (DSN) guna meluruskan kegiatan atau transaksi yang telah dilakukan.
Dengan terbentuknya pengawasan yang baik, maka akan tercipta bentuk
1Agustianto, “Optimalisasi Dewan Pengawas Syariah Perbankan Syariah”, artikel diakses
pada 1 Februari 2010 dari http://www.pesantrenvirtual.com. 2 Sofyan S Harahap, Auditing Dalam Perspektif Islam, cet.II, (Jakarta: Pustaka Quantum,
2008), h.207-208. 3 Rifkadejavu, “Dewan Pengawas Syariah, Gaji Buta dan Sekedar Pajangan”, artikel
diakses pada 1 Februari 2010 dari http://www. ibbloggercompetition.kompasiana.com.
3
pengaplikasian produk-produk syariah yang sesuai dengan keputusan yang telah
ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional.
Ketentuan mengenai Dewan Pengawas Syariah (DPS) di Bank Syariah
menjadi lebih fleksibel. Dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No
11/33/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, anggota
Dewan Pengawas Syariah dapat merangkap jabatan di empat lembaga keuangan
syariah. Sebelumnya berdasar PBI Nomor 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum
yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, anggota Dewan
Pengawas Syariah ditetapkan merangkap jabatan di dua Bank Syariah dan dua
lembaga keuangan bukan bank. Namun dengan ketentuan baru anggota Dewan
Pengawas Syariah dapat menjabat di lembaga keuangan lainnya, tak hanya
terpatok pada dua bank.4
Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia (PBI) mengenai penerapan
Good Corporate Governance bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah,
maka harus ada lembaga yang turut serta mengarahkan, mereview dan mengawasi
aktivitas lembaga keuangan agar dapat diyakini bahwa mereka mematuhi aturan
dan prinsip syariah. Lembaga yang dimaksud adalah Dewan Pengawas Syariah
yang menjadi perpanjangan tangan dari Dewan Syariah Nasional.
Penerapan Good Corporate Governance bagi bank umum syariah dan unit
usaha syariah merupakan suatu hal yang baru karena pelaksanaan Peraturan Bank
4 Republika, “Ketentuan DPS Menjadi Lebih Fleksibel”, artikel diakses pada 27 Maret
2010 dari http://koran.repulika.com.
4
Indonesia No. 11/33/PBI/2009 berlaku sejak tanggal 1 Januari 2010. Ketentuan
itu mencakup: pertama, pelaksanaan Good Corporate Governance bagi bank
umum syariah (BUS) paling kurang diwujudkan dalam tugas dan tanggung jawab
Dewan Komisaris dan Direksi. Kedua, kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite
serta satuan kerja yang menjalankan fungsi pengendalian intern Bank Umum
Syariah. Ketiga, pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas
Syariah. Keempat, penerapan fungsi kepatuhan, audit intern dan audit ekstern.
Kelima, batas maksimum penyaluran dana dan transparansi kondisi keuangan dan
non keuangan Bank Umum Syariah. Adapun pelaksanaan Good Corporate
Governance bagi Unit Usaha Syariah (UUS) paling kurang diwujudkan dalam:
pertama, pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direktur Unit Usaha Syariah.
Kedua, pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah. Ketiga,
penyaluran dana kepada nasabah pembiayaan inti dan penyimpanan dana oleh
deposan inti dan transparansi kondisi keuangan dan nonkeuangan Unit Usaha
Syariah. Dalam ketentuan itu juga mengatur mengenai efektivitas pelaksanaan
tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris dan Direksi bank umum syariah
serta unit usaha syariah.5
Peraturan baru ini sebenarnya melengkapi Undang-Undang (UU) Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Peraturan Bank Indonesia ini juga telah
memenuhi standar Good Corporate Governance yang diterbitkan oleh The
5 Hendri T Asworo, “Pelaksanaan GCG Bagi Bank Umum Syariah Terbit”, artikel diakses
pada 1 Februari 2010 dari http://www.bisnis.com.
5
Islamic Financial Services Board (IFSB). IFSB merupakan organisasi dunia yang
menerbitkan standar perbankan syariah. Peraturan Bank Indonesia baru ini
mewajibkan Bank Umum Syariah (BUS) atau Unit Usaha Syariah (UUS) untuk
menyesuaikan diri dengan fatwa-fatwa syariah. Karena itu, di Peraturan Bank
Indonesia ini dicantumkan pengaturan mengenai peran Dewan Pengawas Syariah
(DPS), PBI ini juga memberikan kepastian hukum sekaligus manfaat bagi
perbankan syariah.6
Dengan melihat dasar itulah, penulis merasa tertarik untuk melakukan
penelitian, memberikan gambaran mengenai analisis peraturan bank indonesia
No. 11/33/PBI/2009 tentang Good Corporate Governance bagi bank umum
syariah dan unit usaha syariah serta bagaimana respon anggota Dewan Pengawas
Syariah terhadap pelaksanaan peraturan tersebut sehingga penulis tertarik untuk
mengambil judul “RESPON ANGGOTA DEWAN PENGAWAS SYARIAH
(DPS) TERHADAP PENERAPAN PBI NO. 11/33/PBI/2009 TENTANG
GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG) BAGI BANK UMUM
SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH.”
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
6 Redaksi Berita, “Bank, Saham, Asuransi dan Derivatif”, artikel diakses pada 1 Februari
2010 dari http://www.seruu.com.
6
Pada akhir tahun 2009, tepatnya pada tanggal 7 Desember 2009 Bank
Indonesia telah mengeluarkan PBI No. 11/33/PBI/2009 tentang Good
Corporate Governance (GCG) bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha
Syariah, peraturan tersebut berlaku sejak tanggal 1 Januari 2010. Dengan
melihat hal itu penulis tertarik untuk membahas keterkaitan antara
pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia mengenai Good Corporate
Governance terhadap respon anggota Dewan Pengawas Syariah.
2. Pembatasan Masalah
Agar masalah dalam penelitian skripsi ini tidak meluas dan dapat menjaga
kemungkinan penyimpangan yang terjadi, maka penulis hanya membatasi
pembahasan ini dalam ruang lingkup PBI No. 11/33/PBI/2009 tentang Good
Corporate Governance (GCG) bagi bank umum syariah dan unit usaha
syariah yang isinya berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab Dewan
Pengawas Syariah (DPS).
3. Perumusan Masalah
Berkenaan dengan pokok permasalahan di atas, maka permasalahan ini
akan dirumuskan ke dalam beberapa pertanyaan, di antara lain:
a. Apa saja tugas dan tanggung jawab anggota Dewan Pengawas Syariah
dalam mewujudkan Good Corporate Governance?
b. Bagaimana respon anggota Dewan Pengawas Syariah terhadap penerapan
PBI No. 11/33/PBI/2009 tentang Good Corporate Governance?
7
c. Bagaimana implikasi dari penerapan Good Corporate Governance
terhadap Bank Syariah?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dengan adanya perumusan masalah yang telah dipaparkan diatas,
diharapkan adanya suatu tujuan bagi penulis dalam skripsi ini. Tujuan yang
ingin dicapai dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui apa saja tugas dan tanggung jawab anggota Dewan
Pengawas Syariah dalam mewujudkan Good Corporate Governance.
b. Untuk mengetahui bagaimana respon anggota Dewan Pengawas Syariah
terhadap penerapan PBI No. 11/33/PBI/2009 tentang Good Corporate
Governance.
c. Untuk mengetahui Bagaimana implikasi dari penerapan Good Corporate
Governance terhadap Bank Syariah.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian yang terkait dengan penelitian di atas adalah sebagai
berikut:
a. Akademisi; penelitian ini dilakukan untuk menambah ilmu pengetahuan
dan juga sebagai bahan referensi bagi mahasiswa, staf pengajar, dan
lainnya.
8
b. Praktisi; dapat menjadi sumber referensi pemikiran bagi kalangan praktisi
untuk menunjang penelitian selanjutnya yang akan diteliti.
c. Peneliti; penelitian ini merupakan studi awal dari penulisan skripsi serta
dapat menambah wawasan/pengetahuan mengenai penerapan Peraturan
Bank Indonesia tentang konsep Good Corporate Governance bagi bank
umum syariah dan unit usaha syariah terhadap profesi Dewan Pengawas
Syariah.
D. Review Studi Terdahulu
Adapun studi review terdahulu dalam menunjang penelitian ini dengan
melihat beberapa penelitian skripsi sebelumnya, antara lain:
N
O IDENTITAS ISI PEMBEDA
1 Ahmad Busyaeri,
204046102884,
Jurusan
Muamalat,
Fakultas Syariah
dan Hukum
Universitas Islam
Negeri Syarif
Hidayatullah
Jakarta, 2008.
“Urgensi Audit Internal dalam
Mewujudkan Good Corporate
Governance (GCG) pada Bank
Syariah (Studi Penelitian pada
PT. Bank DKI Syariah
Jakarta)”. Penelitian ini
membahas mengenai mekanisme
pelaksanaan audit internal pada
PT. Bank DKI Syariah cabang
Tanah Abang yang dilakukan
dengan melalui beberapa
Sedangkan dalam
penelitian skripsi ini
membahas tentang
”Respon Anggota
Dewan Pengawas
Syariah (DPS)
Terhadap Penerapan
PBI No.
11/33/PBI/2009
Tentang Good
Corporate
9
tahapan yaitu tahap
perbandingan, vouching,
konfirmasi, analisa, pengecekan,
inspeksi, verifikasi, mentrasir
dan sampling.
Governance (GCG)
Bagi Bank Umum
Syariah dan unit
Usaha Syariah”.
2 Resa Dewitasari,
204082002275,
Jurusan
Akuntansi,
Fakultas Ekonomi
dan Ilmu Sosial
Universitas Islam
Negeri Syarif
Hidayatullah
Jakarta, 2009.
“Pengaruh Audit Intern dan
Pengendalian Intern Terhadap
Penerapan Good Corporate
Governance (GCG) (Studi Kasus
pada Salah Satu BUMN di
Jakarta)”. Skripsi ini membahas
mengenai seberapa besar
pengaruh audit intern terhadap
penerapan Good Corporate
Governance (GCG) serta
pengaruh audit intern dan
pengendalian intern secara
simultan terhadap penerapan
Good Corporate Governance
(GCG).
Sedangkan dalam
penelitian skripsi ini
membahas tentang
”Respon Anggota
Dewan Pengawas
Syariah (DPS)
Terhadap Penerapan
PBI No.
11/33/PBI/2009
Tentang Good
Corporate
Governance (GCG)
Bagi Bank Umum
Syariah dan unit
Usaha Syariah”.
3 Rica Aulia,
104046101626,
Jurusan
Muamalat,
Fakultas Syariah
dan Hukum
Universitas Islam
Negeri Syarif
“Penerapan Good Corporate
Governance (GCG) pada PT.
Bank Syariah Mega Indonesia
(Analisis Self Assessment
Berdasarkan SEBI No.
9/12/DPNP Tanggal 30 Mei
2007)”. Penelitian ini membahas
hasil self assessment yang telah
Sedangkan dalam
penelitian skripsi ini
membahas tentang ”
Respon Anggota
Dewan Pengawas
Syariah (DPS)
Terhadap Penerapan
PBI No.
10
Hidayatullah
Jakarta, 2009.
dilakukan, secara umum nilai
rata-rata keseluruhan terhadap
penerapan praktek GCG pada
PT. BSMI memperoleh predikat
baik.
11/33/PBI/2009
Tentang Good
Corporate
Governance (GCG)
Bagi Bank Umum
Syariah dan unit
Usaha Syariah” .
Secara khusus, hingga saat ini belum ada skripsi yang membahas
mengenai ” Respon Anggota Dewan Pengawas Syariah (DPS) Terhadap
Penerapan PBI No. 11/33/PBI/2009 Tentang Good Corporate Governance
(GCG) Bagi Bank Umum Syariah dan unit Usaha Syariah”, sehingga peneliti
tertarik untuk meneliti hal ini.
E. Kerangka Teori
Bank Sentral telah menerbitkan peraturan yang mengakomodasi
diterapkannya praktik Good Corporate Governance pada sektor perbankan sejak
tahun 1999 dengan mengeluarkan PBI No. 1/6/PBI/1999 tentang Penugasan Direktur
Kepatuhan.7 Istilah Good Corporate Governance menjadi suatu hal yang baru bagi
tata kelola perusahaan dengan mengedepankan pola manajemen yang bersih,
transparansi dan profesional.
Good Corporate Governance didefinisikan sebagai kumpulan hukum,
peraturan, dan kaidah-kaidah yang wajib dipenuhi, yang dapat mendorong kinerja
7 Ratna Januarita, “Penerapan Good Corporate Governance Pada Sektor Perbankan Studi
Kasus: Divestasi Bank Lippo”, Jurnal Ilmu Hukum Litigasi, no.2 (Juni 2003): h. 109.
11
sumber-sumber perusahaan untuk berfungsi secara efesien guna menghasilkan nilai
ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun
masyarakat sekitar secara keseluruhan.8
Prinsip-prinsip yang terkandung dalam Good Corporate Governance antara
lain: akuntabilitas, transparansi, kewajaran/kesamaan, kemandirian dan tanggung
jawab. Prinsip yang telah disebutkan diatas merupakan prinsip umum yang dipakai.
Dalam pelaksanaan Good Corporate Governance bagi bank umum syariah
dan unit usaha syariah ada lembaga yang berwenang untuk mengatur agar peraturan
tersebut dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Salah satu lembaga tesebut
adalah Dewan Pengawas Syariah yang didefinisikan sebagai lembaga independen
yang mengatur, mereview dan mengawasi kegiatan operasional lembaga keuangan
syariah agar tidak keluar dari aturan dan prinsip syariah yang telah ditetapkan. Maka
dari itu lembaga Dewan Pengawas Syariah memiliki peranan yang penting bagi
tercapainya pelaksanaan Good Corporate Governance dengan baik dan benar.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif yang
bersifat deskriptif-analitis, yakni penelitian yang menggambarkan data dan
8 Muh. Arief Effendi, The Power Of Good Corporate Governance Teori dan Implementasi,
(Jakarta: Salemba Empat, 2009), h. 1-2.
12
informasi yang berlandaskan fakta-fakta yang diperoleh dilapangan yaitu
dengan cara wawancara. Pengertian deskriptif antara lain:
Penelitian yang bermaksud untuk membuat pencandraan (penulisan :
gambaran) mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian. Dalam pengertian
ini penelitian deskriptif menggunakan data dasar deskriptif semata, tidak perlu
mencari atau menerangkan saling hubungan, menguji hipotesis, membuat
ramalan, atau mendapatkan makna dan implikasi.9
Pendapat lainnya mengatakan bahwa penelitian deskriptif dimaksudkan
untuk pengukuran yang cermat terhadap fenomena sosial tertentu.10
2. Pendekatan Penelitian
Adapun pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
berupa survei ke lembaga Dewan Pengawas Syariah dengan melakukan
wawancara langsung kepada para narasumber yang berkompeten di bidangnya
guna mendapatkan informasi-informasi penting seputar penelitian.
3. Jenis Data dan Sumber Data
Adapun jenis dan sumber data yang diperoleh yaitu dengan menggunakan
dua pendekatan:
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer adalah sumber data yang langsung dikumpulkan oleh
peneliti (atau petugas-petugasnya) dari sumber pertamanya.11 Jadi dapat
9 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, ( Rajawali Press: Jakarta, 2004), h. 76. 10 Masri, singarimbun, et.al., Metodologi Penelitian Survey, (Jakarta: LP3ES, 1999), h. 4.
13
diperoleh secara langsung dari hasil wawancara dengan orang yang ahli
dan berkompeten dalam bidangnya dalam hal pengawasan pada lembaga-
lembaga keuangan syariah seperti dari hasil wawancara anggota Dewan
Pengawas Syariah.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder merupakan sumber data yang diperoleh dari
literatur-literatur kepustakaan seperti buku-buku, jurnal, majalah serta
sumber lainnya yang berkaitan dengan materi penulisan skripsi ini.
4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penulisan ini, maka
harus ditunjang dengan teknik pengumpulan data, diantaranya adalah:
a. Studi Dokumen
Merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara membaca,
mengumpulkan dan mempelajari data-data dan sumber-sumber dari
berbagai dokumen yang ada. Dokumen tersebut meliputi buku-buku,
jurnal, skripsi terdahulu, majalah, artikel, buletin, ensiklopedia, surat
kabar, media internet dan lainnya.
b. Wawancara
Penelitian ini merupakan peninjauan langsung ke lokasi, dalam hal ini
penulis melakukan wawancara atau interview langsung dengan
narasumber yang cakap dan berkompeten dalam bidangnya untuk
11 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Rajawali Press: Jakarta, 2004), h. 39.
14
memberikan keterangan yang jelas mengenai masalah yang sedang
diteliti.
5. Teknik Pengolahan Data
a. Seleksi Data: setelah memperoleh data dan bahan-bahan baik melalui studi
dokumen maupun wawancara, lalu data tersebut diperiksa kembali satu
persatu agar tidak terjadi kekeliruan.
b. Klasifikasi Data: setelah data diperiksa lalu diklasifikasikan ke dalam
bentuk dan jenis tertentu, kemudian membuat suatu kesimpulan.
6. Teknik Analisa Data
Menganalisis data merupakan suatu hal yang kritis. Peneliti harus
menentukan pola analisis mana yang akan digunakan, dalam hal ini penulis
menggunakan analisis isi (content analysis) yaitu dengan menganalisis isi dari
PBI No. 11/33/PBI/2009 Tentang Good Corporate Governance (GCG) bagi
Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah terhadap Profesi Dewan
Pengawas Syariah.
7. Teknik Penulisan
Teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini adalah dengan
menggunakan “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007”.
15
G. Sistematika Penulisan
Agar dapat memudahkan pembahasan skripsi secara keseluruhan, maka
sistematika penulisan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah
sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan, yang menguraikan tentang latar belakang masalah,
identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, review studi terdahulu, kerangka teori, metode penelitian
serta sistematika penulisan.
BAB II Landasan Teori, bab ini membahas pertama, tentang pengertian
respon, pembagian dan faktor-faktor yang mempengaruhi respon.
Kedua, pengertian Dewan Pengawas Syariah, sejarah, tugas dan
fungsi, struktur, keanggotaan dan syarat anggota serta peraturan
perundang-undangan terkait Dewan Pegawas Syariah. Kemudian yang
ketiga, tentang pengertian Good Corporate Governance, dasar hukum,
konsep dasar, prinsip-prinsip Good Corporate Governance, dan
pedoman pelaksanaan prinsip Good Corporate Governance. Keempat,
pembahasan tentang Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
BAB III Analisis Peraturan Bank Indonesia No. 11/33/PBI/2009, bab ini
membahas tentang landasan penerapan, PBI No. 11/33/PBI/2009
terkait Dewan Pengawas Syariah dan ringkasan PBI No.
11/33/PBI/2009.
16
BAB IV Respon Dewan Pengawas Syariah Terhadap Aplikasi PBI No.
11/33/PBI/2009, merupakan pembahasan mengenai tanggapan
Dewan Pengawas Syariah terhadap penerapan PBI No.
11/33/PBI/2009 tentang Good Corporate Governance serta analisis
penulis.
BAB V Penutup
Bagian ini merupakan bagian terakhir penulisan yang akan
menyimpulkan pokok-pokok penting dari keseluruhan pembahasan
serta menyimpulkan jawaban ringkas dari permasalahan yang telah
dibahas di atas yang berisikan kesimpulan dan saran.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Respon
1. Pengertian Respon
Dalam Kamus Ilmiah Serapan, respons dapat diartikan sebagai reaksi
terhadap suatu rangsangan; tanggapan; jawaban.1 Merespon adalah meladeni,
melayani, membalas (surat), membidas, menanggapi, menangkis (kecaman),
mengindahkan, menimpali, menjawab, menyambut; memenuhi (panggilan),
menemui.2
Arti kata tanggapan dalam Tesaurus Bahasa Indonesia adalah balasan,
jawaban, reaksi, respons, sahutan, sambutan, sanggahan, tangkisan;
komentar.3
2. Pembagian Respon
Respon dibagi menjadi tiga bagian, antara lain:4
a. Kognitif
1 AKA Kamarulzaman dan M. Dahlan Y. Al-Barry, Kamus Ilmiah Serapan Disertai Entri
Tambahan Dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah, (Yogyakarta: ABSOLUT, 2005), h. 606. 2 Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2006), h. 526. 3 Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2006), h. 638. 4 Ida Marniati, “Respon Nasabah Terhadap Berdirinya BPRS Al Salaam (Studi Pada
Nasabah BPRS Al Salaam Cinere Depok)”, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007, h. 16-17.
17
18
Respons kognitif berkaitan erat dengan pengetahuan, keterampilan dan
informasi seseorang mengenai sesuatu. Respon ini timbul apabila adanya
perubahan pada apa yang dipahami atau dipersepsi oleh khalayak.
b. Afektif
Respon afektif berhubungan dengan emosi, sikap dan nilai seseorang
terhadap sesuatu. Respon ini timbul bila ada perubahan pada apa yang
disenangi khalayak terhadap sesuatu.
c. Konatif
Respon konatif berhubungan dengan prilaku nyata, meliputi tindakan,
kegiatan atau kebiasaan berprilaku. Dengan kata lain respon ini
menunjukkan intensitas sikap, yaitu kecenderungan bertindak atau
berprilaku seseorang terhadap obyek sikap.
3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Respon
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi respon, antara lain:5
a. Faktor yang diyakini dapat mempengaruhi arah sikap (positif atau negatif)
dan intensitas sikap, yaitu:
1) Faktor pengalaman langsung terhadap objek
2) Faktor kerangka acuan
3) Faktor komunikasi sosial
5 Ida Marniati, “Respon Nasabah Terhadap Berdirinya BPRS Al Salaam (Studi Pada
Nasabah BPRS Al Salaam Cinere Depok)”, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007, h. 17-18.
19
b. Faktor yang mempegaruhi sikap yang terbentuk pada diri sang individu,
yaitu:
1) Faktor internal (faktor fisiologis dan Psikologis)
2) Faktor eksternal, faktor eksternal dapat berwujud situasi yang dihadapi
oleh sang individu, norma-norma dalam masyarakat, hambatan-
hambatan atau pendorong-pendorong yang ada dalam masyarakat.
B. Dewan Pengawas Syariah (DPS)
1. Pengertian Dewan Pengawas Syariah
Dewan Pengawas Syariah adalah lembaga independen atau hakim khusus
dalam fikih muamalat. Namun anggota Dewan Pengawas Syariah juga bisa
dari ahli dalam bidang lembaga keuangan Islam dan fikih muamalat. Dewan
Pengawas Syariah merupakan suatu lembaga keuangan yang berkewajiban
mengarahkan, mereview dan mengawasi aktivitas lembaga keuangan agar
dapat diyakinikan bahwa mereka mematuhi aturan dan prinsip syariah.6
Anggota Dewan Pengawas Syariah adalah mereka yang memiliki akhlaqul
karimah dan memiliki kompetensi kepakaran di bidang syariah muamalah dan
pengetahuan di bidang perbankan dan/atau keuangan secara umum. Di
samping itu, mereka juga harus memiliki komitmen untuk mengembangkan
6 Sofyan S Harahap, Auditing Dalam Perspektif Islam, cet.II, (Jakarta: Pustaka Quantum,
2008), h.207-208.
20
keuangan berdasarkan syariah serta memiliki kelayakan sebagai pengawas
syariah yang dibuktikan dengan surat sertifikat dari Dewan Syariah Nasional.7
Seluruh transaksi yang dilakukan oleh perbankan syariah harus selalu
diawasi oleh beberapa Anggota Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang
merupakan perpanjangan tangan dari Dewan Syariah Nasional (DSN) guna
meluruskan transaksi-transaksi yang telah dilakukan. Dengan terbentuknya
pengawasan yang baik, maka akan tercipta pengaplikasian produk-produk
syariah yang sesuai dengan keputusan Dewan Syariah Nasional.
2. Tugas dan Fungsi Dewan Pengawas Syariah
Tugas utama Dewan Pengawas Syariah antara lain:8
a. Mengawasi kegiatan usaha lembaga keuangan syari'ah agar sesuai dengan
ketentuan dan prinsip syari'ah yang telah difatwakan oleh DSN.
b. Sebagai penasehat dan pemberi saran kepada direksi, pimpinan unit usaha
syariah dan pimpinan kantor cabang syariah mengenai hal-hal yang terkait
dengan aspek syariah.
c. Sebagai mediator antara Lembaga Keuangan Syariah dengan DSN dalam
mengkomunikasikan usul dan saran dalam pengembangan produk dan jasa
dari Lembaga Keuangan Syariah yang memerlukan kajian dan fatwa dari
DSN.
7 Muhammad Firdaus, dkk, Sistem dan Mekanisme Pengawasan Syariah, cet.II, (Jakarta:
Renaisan, 2005), h.17. 8 Yani Haryani, “Mekanisme Kerja Dewan Pengawas Syariah (DPS) Terhadap Mekanisme
Operasional Asuransi Syariah (Studi Kasus PT.MAA Life Assurance)”, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005, h. 25.
21
d. menyampaikan masukan tentang berbagai aspek kesyari’ahan pada direksi
atau pihak yang berwenang untuk ditunjuk pada direksi serta memberi
atau mengadakan garis-garis besar panduan.
e. Meneliti, mengembangkan, menimbang, meluluskan, dan menolak produk
polis yang hendak dipasarkan.
f. Mendiskusikan masalah-masalah dan transaksi bisnis yang diharapkan
kepada DSN sehingga dapat ditetapkan kesesuaian dan tidak kesesuaian
dengan syariat islam.
Fungsi Dewan Pengawas Syariah adalah sebagai berikut:9
1) DPS melakukan pengawasan secara periodik pada lembaga keuangan
syariah yang berada di bawah pengawasannya.
2) DPS berkewajiban mengajukan usul-usul pengembangan lembaga
keuangan syariah kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan dan
kepada DSN.
3) DPS melaporkan perkembangan produk dan operasional lembaga
keuangan syariah yang diawasinya kepada DSN sekurang-kurangnya dua
kali dalam satu tahun anggaran.
4) DPS merumuskan permasalahan-permasalahan yang memerlukan
pembahasan DSN.
Adapun wewenang Dewan Pengawas Syariah adalah sebagai berikut:10
9 Muhammad Firdaus, dkk, Sistem dan Mekanisme Pengawasan Syariah, cet.II, (Jakarta:
Renaisan, 2005), h.17.
22
a) Mengawasi usaha LKS (asuransi syariah) agar tidak menyimpang dari
ketentuan prinsip syariah dan yang telah difatwakan oleh DSN.
b) Memberikan laporan kepada DSN terhadap kegiatan usaha dan
perkembangan lembaga yang diawasinya secara rutin sekurang-kurangnya
dua kali dalam setahun.
c) Memberi rekomendasi; keputusan atau garis-garis besar syariah baik
untuk pengerahan atau penyaluran dana serta kegiatan asuransi lainnya.
d) Memberikan keputusan terhadap produk-produk yang akan diluncurkan
kepada masyarakat.
e) Mengadakan perbaikan seandainya suatu produk yang telah atau sedang
dijalankan dinilai bertentangan dengan syariah.
f) Memberi jawaban dalam bentuk keputusan terhadap permasalahan yang
diajukan atau yang dihadapi pihak manajemen.
3. Struktur Dewan Pengawas Syariah
Adapun struktur Dewan Pengawas Syariah antara lain:11
a. Kedudukan DPS dalam struktur perusahaan berada setingkat dengan fungsi
komisaris sebagai pengawas direksi.
b. Jika fungsi komisaris adalah pengawas dalam kaitan dengan kinerja
manajemen, maka DPS melakukan pengawasan kepada menejemen dalam
10 Yani Haryani, “Mekanisme Kerja Dewan Pengawas Syariah (DPS) Terhadap Mekanisme Operasional Asuransi Syariah (Studi Kasus PT.MAA Life Assurance)”, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005, h. 26.
11 Fitri Barkah, ”Mekanisme Kerja Dewan Pengawas Syariah (DPS) Dalam Menentukan Produk Baru Bank Syariah (Studi Kasus Bank Permata Syariah-Cabang Arteri Pondok Indah)”, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006, h. 20-21.
23
kaitan dengan implementsi sistem dan produk-produk agar tetap sesuai
dengan syariah Islam.
c. Bertanggung jawab atas pembinaan akhlak seluruh karyawan berdasarkan
sistem pembinaan keislaman yang telah diprogramkan setiap tahunnya.
d. Ikut mengawasi pelanggaran nilai-nilai Islam di lingkungan perusahaan
tersebut.
e. Bertanggung jawab atas seleksi syariah karyawan baru yang dilaksanakan
oleh Biro Syariah.
4. Keanggotaan Dewan Pengawas Syariah
a. Setiap lembaga keuangan syariah harus memiliki setidaknya tiga orang
anggota DPS.
b. Salah satu dari jumlah tersebut ditetapkan sebagai ketua.
c. Masa tugas keanggotaan DPS adalah 4 (empat) tahun dan akan mengalami
pergantian antar waktu apabila meninggal dunia, minta berhenti, diusulkan
oleh lembaga keuangan syariah yang bersangkutan, atau telah merusak
citra DSN.12
12 Dewan Syariah Nasional (DSN), Keputusan DSN MUI No:3 Tahun 2000 Tentang
Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Anggota Dewan Pengawas Syariah Pada Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: DSN, 2000.
24
6. Syarat Anggota Dewan Pengawas Syariah
Menjadi anggota Dewan Pengawas Syariah harus memenuhi syarat-syarat
di bawah ini, antara lain:13
a. Memiliki akhlaq karimah
b. Memiliki kompetensi kepakaran di bidang syariah muamalah dan
pengetahuan di bidang perbankan dan/atau keuangan secara umum.
c. Memiliki komitmen untuk mengembangkan keuangan berdasarkan
syariah.
d. Memiliki kelayakan sebagai pengawas syariah yang dibuktikan dengan
surat/sertifikat dari DSN.
7. Peraturan Perundang-Undangan Terkait Dewan Pengawas Syariah
Dewan Pengawas Syariah tentu tak lepas dari peraturan perundang-
undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun instansi yang memiliki
wewenang untuk mengeluarkan peraturan tersebut.
Peraturan yang terkait dengan Dewan Pengawas Syariah antara lain
sebagai berikut:
a. UU Republik Indonesia No.7 tahun 1992 tentang Perbankan.
b. UU Republik Indonesia No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(PT).
13 Dewan Syariah Nasional (DSN), Keputusan DSN MUI No:3 Tahun 2000 Tentang
Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Anggota Dewan Pengawas Syariah Pada Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: DSN, 2000.
25
c. UU Republik Indonesia No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
d. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Np. 32/34/Kep-DIR tentang
fungsi dan kewajiban Dewan Pengawas Syariah.
e. PBI No. 33/11/PBI/2009 Tentang Good Corporate Governance bagi Bank
Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
f. Keputusan DSN MUI No:3 Tahun 2000 Tentang Petunjuk
Pelaksanaan Penetapan Anggota Dewan Pengawas Syariah Pada
Lembaga Keuangan Syariah.
Menurut Adiwarman Karim, tidak mudah untuk bertanggung jawab atas
pengawasan syariah mengingat demikian kompleksnya transaksi perbankan.
Menimpakan beban berat ini hanya kepada Dewan Pengawas Syariah
bukanlah cara yang realistis. Pengawasan syariah sepatutnya merupakan
tanggung jawab bersama semua stakeholders. Selain Dewan Pengawas
Syariah yang bertanggung jawab atas aspek syariahnya, maka untuk aspek
operasional pengawasan syariah paling tidak harus dilakukan oleh audit
internal bank, direktur kepatuhan, bahkan komisaris harus ikut menjaga
kepatuhan syariah. Audit eksternal yang dilakukan oleh kantor akuntan publik
juga tidak boleh melewatkan begitu saja adanya pelanggaran atas kepatuhan
syariah. Dan tentunya Bank Indonesia bertanggung jawab sebagai pemegang
otoritas perbankan. Semua institusi ini sesuai kompetensi dan wewenangnya
26
masing-masing harus bahu-membahu menjalankan fungsi pengawasan
syariah.14
C. Good Corporate Governance (GCG)
1. Pengertian Good Corporate Governance
Istilah Governance konon berasal dari bahasa Latin : gubernare dan
gubernator yang bermakna steering a ship and the steerer atau captain of a
ship. Juga berasal dari bahasa Yunani : kubernain yang artinya steer.
Sedangkan kata governance itu sendiri berasal dari bahasa Prancis kuno :
gouvernance yang berarti control dan the state of being governed. Sir Adrian
Cadbury yang mengetuai Cadburry Committe di Inggris mengawali
pemahaman mengenai corporate governance dalam konteks yang sederhana
sebagai ”the system by which companies are directed and controlled”.
Namun demikian, dalam konteks yang lebih luas corporate governance
adalah sebagaimana dipromosikan oleh The World Bank, sebagai institusi
internasional yang menjadi pionir dalam mempromosikan dan
menyebarluaskan praktik good corporate governance.15
Bank Dunia (World Bank) mendefinisikan Good Corporate Governance
(GCG) sebagai kumpulan hukum, peraturan, dan kaidah-kaidah yang wajib
14 Muhammad Firdaus, dkk, Sistem dan Mekanisme Pengawasan Syariah, cet.II, (Jakarta:
Renaisan, 2005), h. 35. 15 Ratna Januarti, “Penerapan Good Corporate Governance Pada Sektor Perbankan Studi :
Divestasi Bank Lippo”, Jurnal Ilmu Hukum Litigasi, no.2 (Juni 2003): h. 104.
27
dipenuhi, yang dapat mendorong kinerja sumber-sumber perusahaan untuk
berfungsi secara efesien guna menghasilkan nilai ekonomi jangka panjang
yang berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun masyarakat
sekitar secara keseluruhan.16
Dari hasil pertemuan tingkat menteri negara-negara OECD pada tanggal
27-28 April 1988 telah menyatakan pengertian Good Corporate Governance
adalah:17
”Good corporate governance is an increasingly important factor for
investment decision. Of particular relevance is the relation between corporate
governance practice and the increasingly international character of
investment. International flows of capital enable companies to access
financing from much larger full of investor. If countries are too reap the full
benefits of the global capital market, and if they are to attract long-term
”patient” capital, corporate governance arrangement must be creadible and
well understood accross borders.”
Dapat dirumuskan suatu kesimpulan bahwa Good Corporate Governance
adalah suatu sistem yang ada pada suatu organisasi yang memiliki tujuan
16 Muh. Arief Effendi, The Power Of Good Corporate Governance; Teori dan
implementasi, (Jakarta: Salemba Empat), 2009, h.1-2. 17 Aburizal Bakrie, “Good Corporate Governance : Sudut Pandang Pengusaha, Jurnal
Reformasi Ekonomi”, no.2 (Oktober-Desember 2000): h. 26.
28
untuk mencapai kinerja organisasi semaksimal mungkin dengan cara-cara
yang tidak merugikan stakeholder organisasi tersebut.18
Manfaat Good Corporate Governance adalah sebagai berikut:
a. Sebagai upaya untuk mengurangi praktek KKN
b. Dapat mendorong terciptanya biaya-biaya investasi yang lebih rendah
c. Sebagai intangible assets
d. Penggunaan sumber daya manusia dan alam secara efesien
e. Sebagai competitive advantage
f. Meningkatkan nilai pemegang saham perusahaan
g. Menciptakan kinerja perusahaan yang lebih baik.
2. Dasar Hukum Penerapan Good Corporate Governance
Penerapan Good Corporate Governance ini didasarkan pada beberapa
peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun Bank Indonesia. Secara
umum, UU Perbankan No.7 Tahun 1992 dan UU No.10 Tahun 1998 (sebagai
perubahan dari UU No.7 tentang Perbankan) telah menetapkan beberapa
rambu yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Good Corporate
Governance.
Kemudian Bank Indonesia mengeluarkan sejumlah peraturan tentang
praktik Good Corporate Governance pada sektor perbankan, antara lain PBI
18 Suryo Pratolo, ”Good Corporate Governance dan Kinerja BUMN di Indonesia: Aspek
Audit Manajemen Dan Pengendalian Intern Sebagai Variabel Eksogen Serta Tinjauan nya Pada Jenis Perusahaan”, Simposium Nasional Akuntansi X, 26-28 Juli UNHAS MAKASAR, 2007.
29
No. 3/22/PBI/2001 tentang transparansi kondisi bank dan PBI No.
2/25/PBI/2001 tentang penetapan status bank dan penyerahan bank ke BPPN.
PBI No. 2/23/PBI/2000 tentang fit dan proper test bagi calon pemilik, dewan
komisaris, direksi dan pejabat eksekutif bank. PBI No. 1/6/PBI/1999 tentang
penugasan direktur kepatuhan.19
Selain itu, terdapat pula Peraturan Bank Indonesia No. 2/27/PBI/2000
tentang Bank Umum, yang mana di dalamnya diatur kriteria yang wajib
dipenuhi calon anggota Direksi dan Komisaris Bank Umum, serta batasan
transaksi yang diperbolehkan atau dilarang dilakukan oleh pengurus bank.
Penguatan dewan direksi dan komisaris ini juga didukung oleh Peraturan
Bank Indonesia No. 5/25/PBI/2003 tentang Penilaian Kemampuan dan
Kepatutan (Fit and Proper Test), di mana calon direksi dan komisaris bank
harus memenuhi kompetisi tertentu untuk menjadi pengurus bank. Adanya
persyaratan yang terperinci untuk calon direksi dan komisaris ini dapat
menjadikan terpilihnya pengurus bank yang independen serta memiliki
kemampuan di bidangnya. Dengan demikian, peraturan ini dapat mencegah
penyalahgunaan wewenang pemegang saham (mayoritas) untuk menunjuk
direksi dan komisaris yang tidak independen. Peraturan lainnya yang
dikeluarkan berkaitan dengan kebutuhan peningkatan Good Corporate
Governance adalah PBI No. 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen
19 Ratna Januarti, “Penerapan Good Corporate Governance Pada Sektor Perbankan Studi :
Divestasi Bank Lippo”, Jurnal Ilmu Hukum Litigasi, no.2 (Juni 2003): h. 104.
30
Risiko bagi Bank Umum, Peraturan Bank Indonesia tersebut mewajibkan
bank untuk menetapkan wewenang dan tanggung jawab yang jelas pada setiap
jenjang jabatan yang terkait dengan penerapan manajemen risiko.20
Beberapa dasar hukum lain dari penerapan Good Corporate Governance
dalam sektor perbankan yaitu berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No.
8/4/PBI/2006 tentang pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank
Umum yang kembali disempurnakan melalui PBI No. 8/14/PBI/2006 tanggal
5 Oktober 2006 tentang Perubahan Atas PBI No. 8/4/PBI/2006 tentang
Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum. Kemudian PBI
No. 9/12/PBI/2007 tentang insentive dalam rangka konsolidasi perbankan
yang sebelumnya telah diatur dalam PBI No. 8/17/PBI/2006. Peraturan
terbaru tentang Good Corporate Governance yaitu PBI No. 11/33/PBI/2009
tentang pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah
(BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS).
3. Konsep Dasar Good Corporate Governance
Konsep Good Corporate Governance mencerminkan pentingnya sikap
berbagi (sharing), peduli (caring), dan melestarikan. Semua hal itu
menyangkut kejiwaan dari Good Corporate Governance. Dengan demikian,
jelaslah bahwa perubahan menuju praktik Good Corporate Governance yang
lebih baik haruslah mencakup perubahan pada dimensi teknis (sistem dan
20 Indra Surya dan Ivan Yustiavandana, Penerapan Good Corporate Governance
Mengesampingkan Hak-hak Istimewa Demi Kelangsungan Usaha, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 117-118.
31
struktur) dan aspek psikososial (paradigma, visi, dan nilai-nilai) organisasi.
Dalam perubahan dimensi psikososial perusahaan, peran kepemimpinan
sangatlah penting. Kepemimpinan dalam hal ini berperan besar dalam
menumbuhkan aspirasi, menanamkan nilai, serta menumbuhkan idealisme
dan kesadaran akan tujuan (sense of purpose) pada anggota perusahaan.21
Banyak jalan untuk memahami corporate governance, namun jalan yang
paling dekat adalah dengan memahami teori agensi (agency theory) terlebih
dahulu. Teori agensi merupakan salah satu pilar dalam theory of finance. Pilar
lainnya adalah: effecient market theory, portofolio theory, capital asset
pricing theory, option pricing theory, dan micro structure theory. Teori agensi
memberikan wawasan analisis untuk bisa mengkaji dampak dari hubungan
agen dengan prinsipal atau prinsipal dengan prinsipal. Pengertian prinsipal
dalam agency theory adalah pihak-pihak yang menyerahkan sebagian atau
seluruh wealth-nya untuk dikembangkan oleh pihak lain. Teori ini muncul
setelah fenomena terpisahnya kepemilikan perusahaan dengan pengelolaan
terdapat dimana-mana khususnya pada perusahaan-perusahaan besar yang
modern, sehingga teori perusahaan yang klasik tidak bisa lagi dijadikan basis
analisis perusahaan seperti itu.22
21 Muh. Arief Effendi, The Power Of Good Corporate Governance; Teori dan
implementasi, (Jakarta: Salemba Empat), 2009, h. 1-2. 22 Kresnohadi Ariyoto, dkk, “Good Corporate Governance Dan Konsep Penegakannya di
BUMN & Lingkungan Usahanya”, Manajemen dan Usahawan, no. 10 (Oktober 2000): h. 3.
32
Asumsi yang digunakan dalam teori agensi antara lain:23
a. Dalam mengambil keputusan seluruh individu bisa mengambil keputusan
yang menguntungkan dirinya sendiri. Karena itu agen yang mendapat
kewenangan dari prinsipal akan memanfaatkan kesempatan tersebut untuk
kepentingannya sendiri.
b. Individu memiliki jalan pikiran yang rasional sehingga mampu
membangun ekspektasi yang tidak bias atau suatu dampak dari masalah
agensi serta nilai harapan kesejahteraanya di masa depan. Karena itu,
dampak dari perilaku menyimpang dari kepentingan pihak lainnya yang
terkait langsung, dapat dimasukkan ke dalam perhitungan pihak lainnya
dalam memasok kebutuhan.
Pada konsep di atas diperlukan dua aspek untuk mengukur tingkat
keberhasilan dari badan usaha tersebut, yaitu performa dan akuntabilitas.
Aspek performa itu sendiri terdiri atas objektif, kebijakan, strategi, rencana,
prosedur, pelatihan dan pengembangan. Sedangkan aspek akuntabilitas itu
terdiri atas laporan dewan komisaris, pengujian ulang performa dan kebijakan
akuntansi perusahaan. Di samping itu, untuk memastikan Good Corporate
Governance di atas dapat berjalan dengan lancar maka diperlukan aspek-
23 Kresnohadi Ariyoto, dkk, “Good Corporate Governance Dan Konsep Penegakannya di
BUMN & Lingkungan Usahanya”, Manajemen dan Usahawan, no. 10 (Oktober 2000): h. 4.
33
aspek pendukung lainnya seperti hukum peraturan, publikasi, laporan tahunan
beserta informasi lainnya yang relevan dan kode etik yang kuat.24
4. Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance
Setelah beberapa aspek tentang Good Corporate Governance telah
dipaparkan di atas, maka pembahasan berikutnya adalah mengenai prinsip-
prinsip dasar Good Corporate Governance. Prinsip-prinsip tersebut antara
lain:
a. Transparency (Keterbukaan Informasi)
Transparansi bisa diartikan keterbukaan informasi, baik dalam proses
pengambilan keputusan maupun dalam mengungkapkan informasi
material dan relevan mengenai perusahaan. Menurut peraturan di pasar
modal Indonesia, yang dimaksud informasi material dan relevan adalah
informasi yang dapat mempengaruhi naik turunnya harga saham
perusahaan tersebut, atau yang mempengaruhi secara signifikan risiko
serta prospek usaha perusahaan yang bersangkutan.
Ada banyak manfaat yang bisa dipetik dari penerapan prinsip ini.
Salah satunya stakeholder dapat mengetahui risiko yang mungkin terjadi
dalam melakukan transaksi dengan perusahaan. Kemudian, karena ada
informasi kinerja perusahaan yang diungkap secara akurat, tepat waktu,
jelas, konsisten, dan dapat diperbandingkan, maka dimungkinkan
24 Busyaeri, Ahmad, “Urgensi Audit Internal dalam Mewujudkan Good Corporate
Governance (GCG) pada Bank Syariah (Studi Penelitian pada PT. Bank DKI Syariah Jakarta)”, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008, h. 35-36.
34
terjadinya efesiensi pasar. Selanjutnya, jika prinsip transparansi
dilaksanakan dengan baik dan tepat, akan dimungkinkan terhindarnya
benturan kepentingan (conflict of interest) berbagai pihak dalam
manajemen.25
Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.(At taubah: 119)
b. Accountability (Akuntabilitas)
Akuntabilitas adalah kejelasan fungsi, struktur, sistem dan
pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan
terlaksana secara efektif. Masalah yang sering ditemukan di perusahaan-
perusahaan Indonesia adalah mandulnya fungsi pengawasan Dewan
Komisaris. Atau justru sebaliknya, Komisaris Utama mengambil peran
berikut wewenang yang seharusnya dijalankan Direksi. Padahal,
diperlukan kejelasan tugas serta fungsi organ perusahaan agar tercipta
suatu mekanisme checks and balances kewenangan dan peran dalam
mengelola perusahaan.
Bila perusahaan accountability ini diterapkan secara efektif, maka ada
kejelasan fungsi, hak, kewajiban, wewenang, dan tanggung jawab antara
25 Mas Ahmad Daniri, Good Corporate Governance Konsep Dan Penerapannya Dalam
Konteks Indonesia, (Jakarta: Ray Indonesia), 2005, h. 9-10.
35
pemegang saham, Dewan Komisaris, serta Direksi. Dengan adanya
kejelasan inilah maka perusahaan akan terhindar dari kondisi agency
problem (benturan kepentingan peran).26
c. Responsibility (Pertanggungjawaban)
Responsibility diwujudkan dalam tata kelola perusahaan yang
bertanggung jawab, yang memperhatikan berbagai kepentingan yang
terkait bagi terselenggaranya suatu perusahaan (do the right thing). Ha ini
diwujudkan dengan menciptakan kesesuaian di dalam pengelolaan
perusahaan terhadap prinsip-prinsip bisnis yang sehat serta peraturan
perundangan yang berlaku.27
Sebuah perusahaan harus memenuhi dan mematuhi hukum dan
undang-undang yang berlaku. Termasuk di dalamnya pemeliharaan
lingkungan hidup, hak-hak konsumen, ketenagakerjaan dan lain
sebagainya. Dalam konteks responsibility, sebuah perusahaan tidak tegak
secara terisolasi dari berbagai kepentingan sosial-budaya dan politik
kelompok-kelompok lain (stakeholders). Melainkan terintegrasi di
dalamnya. Di sini, sebuah perusahaan tidak hanya harus bertanggung
26 Mas Ahmad Daniri, Good Corporate Governance Konsep Dan Penerapannya Dalam
Konteks Indonesia, (Jakarta: Ray Indonesia), 2005, h. 10. 27 Ratna Januarti, “Penerapan Good Corporate Governance Pada Sektor Perbankan Studi :
Divestasi Bank Lippo”, Jurnal Ilmu Hukum Litigasi, no.2 (Juni 2003): h.105.
36
jawab terhadap mereka yang berhubungan langsung dengan perusahaan,
tetapi mereka juga yang tak berhubungan secara langsung denganya.28
d. Independency (Kemandirian)
Independensi merupakan prinsip penting dalam penerapan Good
Corporate Governance di Indonesia. Independensi atau kemandirian
adalah suatu keadaan di mana perusahaan dikelola secara profesional
tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun
yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Independensi sangat penting dalam
proses pengambilan keputusan, keberpihakan karena adanya utang budi
yang berlaku dalam budaya dan tata nilai masyarakat Indonesia dapat
menghilangkan independensi seseorang.
Untuk meningkatkan independensi dalam pengambilan keputusan
bisnis, perusahaan hendaknya mengembangkan beberapa aturan,
pedoman, dan praktik di tingkat corporate board, terutama di tingkat
Dewan Komisaris dan Direksi yang oleh Undang-undang didaulat untuk
mengurus perusahaan dengan sebaik-baiknya.29
e. Fairness (Kesetaraan dan Kewajaran)
28 Aburizal Bakrie, “Good Corporate Governance : Sudut Pandang Pengusaha, Jurnal
Reformasi Ekonomi”, no.2 (Oktober-Desember 2000): h. 24. 29 Mas Ahmad Daniri, Good Corporate Governance Konsep Dan Penerapannya Dalam
Konteks Indonesia, (Jakarta: Ray Indonesia), 2005, h. 11-12.
37
Menjamin perlindungan hak-hak para pemegang saham, manajemen
dan karyawan bank, nasabah serta stakeholder lainnya.30 Fairness juga
mencakup adanya kejelasan hak-hak pemodal, sistem hukum dan
penegakan peraturan untuk melindungi hak-hak investor khususnya
pemegang saham minoritas dari berbagai bentuk kecurangan. Bentuk
kecurangan ini bisa berupa insider trading (transaksi yang melibatkan
informasi orang dalam), fraud (penipuan), dilusi saham (nilai perusahaan
berkurang), KKN, atau keputusan-keputusan yang dapat merugikan seperti
pembelian kembali saham yang telah dikeluarkan, penerbitan saham baru,
merger, akuisisi, atau pengambil-alihan perusahaan lain. Pendek kata,
fairness menjadi jiwa untuk memonitor dan menjamin perlakuan yang adil
di antara beragam kepentingan dalam perusahaan.31
5. Pedoman Pelaksanaan Prinsip Good Corporate Governance
Pedoman pelaksanaan Good Corporate Governance disusun oleh Komite
Nasional Corporate Governance yang mana pedoman ini bertujuan sebagai
acuan pelaksanaan Good Corporate Governance oleh para pelaku usaha di
Indonesia. Pedoman ini dibuat dimaksudkan bagi semua jenis perusahaan
yang didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan Republik
Indonesia.
30 Yudistira Hasbullah, “Prinsip-prinsip Manajemen Risiko Kredit di Perbankan Dalam
Rangka Good Corporate Governance”, Manajemen dan Usahawan, no.12 (Desember 2004): h. 29.
31 Mas Ahmad Daniri, Good Corporate Governance Konsep Dan Penerapannya Dalam Konteks Indonesia, (Jakarta: Ray Indonesia), 2005, h. 12-13.
38
Pedoman ini disusun dengan metode yang memungkinkan terjadinya
peningkatan dan penyesuaian standar Good Corporate Governance yang lebih
konstruktif dan fleksibel bagi perusahaan Indonesia, bukan dengan
pendekatan yang prespektif melalui pemberlakuan peraturan perundang-
undangan. Komite menyadari bahwa terdapat aspek Good Corporate
Governance yang perlu diberlakukan dengan peraturan perundang-undangan
namun terdapat pula aspek lain yang sebaiknya diterapkan sesuai dengan
perkembangan pasar dan dengan memperhatikan sifat perseroan (self
regulation). Maksud pedoman Good Corporate Governance sebagaimana
yang diharapkan adalah sebagai berikut:32
a. Memaksimalkan nilai perseroan bagi pemegang saham dengan cara
meningkatkan prinsip keterbukaan, akuntabilitas, dapat dipercaya,
bertanggung jawab, dan adil agar perusahaan memiliki daya saing yang
kuat, baik secara nasional maupun internasional, serta dengan demikian
menciptakan iklim yang mendukung investasi.
b. Mendorong pengelolaan perseroan setara profesional, transparan, dan
efesien, serta memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemandirian
Dewan Komisaris, Direksi, dan Rapat Umum Pemegang Saham.
c. Mendorong agar pemegang saham, anggota Dewan Komisaris, dan
Anggota Direksi dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan
32 Dhanang Widijawan, “Aspek-Aspek Good Corporate Governance Di Bidang Hukum
Perbankan Dalam Rangka Mewujudkan Pemerataan Dan Keadilan Sosial”, Competitive: Majalah Tiga Bulanan Politeknik Pos Indonesia, no. 2 (Maret 2005): h. 29-30.
39
dilandasi nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku serta kesadaran akan adanya tanggung
jawab sosial perseroan terhadap pihak yang berkepentingan (stakeholders)
maupun kelestarian lingkungan di sekitar perseroan.
Pedoman tersebut dapat menjadi acuan terhadap pelaksanaan Good
Corporate Governance bagi seluruh perusahaan di Indonesia termasuk
perusahaan-perusahaan yang berbasis syariah. Perusahaan negara, perusahaan
daerah, perusahaan yang menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat,
serta perusahaan yang bergerak di bidang pelestaian lingkungan yang telah
tercatat dalam bursa efek Indonesia harus selalu mematuhi pedoman ini.
D. Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
Bank Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan
prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah.
Bank Umum Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sedangkan Unit Usaha Syariah
adalah unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi
sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu bank yang
berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara
40
konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu
syariah dan/atau unit syariah.33
Daftar Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
No Bank Umum Syariah Unit Usaha Syariah
1 Bank Muamalat Indonesia Bank Tabungan Negara Syariah
2 Bank Syariah Mandiri Bank Permata Syariah
3 Bank Syariah Bukopin Bank CIMB Niaga Syariah
4 Bank Mega Syariah Bank Danamon Syariah
5 Bank Rakyat Indonesia Syariah Bank BII Syariah
6 Bank Panin Syariah Bank HSBC Amanah Syariah
7 Bank Central Asia Syariah Bank BTPN Syariah
8 Bank Victoria Syariah Bank OCBC NISP Syariah
9 PT. Maybank Indocorp Bank Sinar Mas Syariah
10 Bank Negara Indonesia Syariah
33 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun
2008 Tentang Perbankan Syariah, Jakarta: DPR, 2008. h. 3.
BAB III
ANALISIS PERATURAN BANK INDONESIA NO. 11/33/PBI/2009
A. Landasan Penerapan PBI No. 11/33/PBI/2009
PBI No. 11/33/PBI/2009 merupakan peraturan yang dikeluarkan oleh Bank
Indonesia dalam rangka membangun industri perbankan syariah yang sehat dan
tangguh, maka dari itu diperlukan pelaksanaan Good Corporate Governance bagi
bank umum syariah dan unit usaha syariah yang efektif. Kemudian Pelaksanaan
Good Corporate Governance di dalam industri perbankan syariah harus
memenuhi prinsip syariah (sharia compliance). Selain itu, Pelaksanaan Good
Corporate Governance juga merupakan salah satu upaya untuk melindungi
kepentingan stakeholders dan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku serta nilai-nilai etika yang berlaku secara
umum pada industri perbankan syariah. Semua hal yang terkait dalam tata kelola
perusahaan yang baik, maka perlu ditetapkan Peraturan Bank Indonesia ke dalam
pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit
Usaha Syariah.
B. PBI No. 11/33/PBI/2009 Terkait Dewan Pengawas Syariah
1. Persyaratan Dewan Pengawas Syariah
a. Jumlah, kriteria, rangkap jabatan dan persyaratan lain bagi Dewan
Pengawas Syariah tunduk kepada ketentuan Bank Indonesia terkait.
41
42
b. Usulan pengangkatan dan/atau penggantian anggota Dewan Pengawas
Syariah (BUS) kepada Rapat Umum Pemegang Saham dilakukan dengan
memperhatikan rekomendasi Komite Remunerasi dan Nominasi.
c. Pengangkatan Dewan Pengawas Syariah pada UUS yang dimiliki oleh
kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri,
ditetapkan oleh pimpinan tertinggi di Indonesia dari kantor cabang
tersebut.
d. Masa jabatan anggota Dewan Pengawas Syariah paling lama sama dengan
masa jabatan anggota Direksi atau Dewan Komisaris.
2. Tugas dan Tanggung Jawab Dewan Pengawas Syariah
a. Dewan Pengawas Syariah wajib melaksanakan tugas dan tanggung jawab
sesuai dengan prinsip-prinsip GCG.
b. Tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah adalah memberikan
nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar
sesuai dengan Prinsip Syariah.
c. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah
sebagaimna dijelaskan di atas antara lain meliputi:
1) Menilai dan memastikan pemenuhan Prinsip Syariah atas pedoman
operasional dan produk yang dikeluarkan Bank;
2) Mengawasi proses pengembangan produk baru Bank agar sesuai
dengan fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia;
43
3) Meminta fatwa kepada Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama
Indonesia untuk produk baru Bank yang belum ada fatwanya;
4) Melakukan review secara berkala atas pemenuhan Prinsip Syariah
terhadap mekanisme penghimpunan dana dan penyaluran dana serta
pelayanan jasa Bank; dan
5) Meminta data dan informasi terkait dengan aspek syariah dari satuan
kerja Bank dalam rangka pelaksanaan tugasnya.
d. Dewan Pengawas Syariah wajib menyampaikan Laporan Hasil
Pengawasan Dewan Pengawas Syariah secara semesteran.
e. Laporan sebagaimana dimaksud di atas wajib disampaikan kepada Bank
Indonesia paling lambat 2 (dua) bulan setelah periode semester dimaksud
berakhir.
f. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab dan tata cara penyampaian laporan
akan diatur lebih rinci dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
g. Anggota Dewan Pengawas Syariah wajib menyediakan waktu yang cukup
untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara optimal.
3. Rapat Dewan Pengawas Syariah
a. Rapat Dewan Pengawas Syariah wajib diselenggarakan paling kurang 1
(satu) kali dalam 1 (satu) bulan.
b. Pengambilan keputusan rapat Dewan Pengawas Syariah dilakukan
berdasarkan musyawarah mufakat.
44
c. Seluruh keputusan Dewan Pengawas Syariah yang dituangkan dalam
risalah rapat merupakan keputusan bersama seluruh anggota Dewan
Pengawas Syariah.
d. Hasil rapat Dewan Pengawas Syariah wajib dituangkan dalam risalah
rapat dan didokumentasikan dengan baik.
4. Aspek Transparansi Dewan Pengawas Syariah
a. Anggota Dewan Pengawas Syariah wajib mengungkapkan rangkap
jabatan sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah pada lembaga
keuangan syariah lain dalam laporan pelaksanaan GCG sebagaimana
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
b. Anggota Dewan Pengawas Syariah dilarang memanfaatkan BUS untuk
kepentingan pribadi, keluarga dan/atau pihak lain yang dapat mengurangi
aset atau mengurangi keuntungan BUS.
c. Anggota Dewan Pengawas Syariah dilarang mengambil dan/atau
menerima keuntungan pribadi dari BUS selain remunerasi dan fasilitas
lainnya yang ditetapkan Rapat Umum Pemegang Saham.
d. Anggota Dewan Pengawas Syariah wajib mengungkapkan remunerasi dan
fasilitas pada laporan pelaksanaan GCG sebagaimana diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia ini.
e. Anggota Dewan Pengawas Syariah dilarang merangkap jabatan sebagai
konsultan di seluruh BUS dan/atau UUS.
45
5. Sanksi Bagi Dewan Pengawas Syariah
a. Dalam hal terdapat 3 (tiga) kali teguran tertulis dari Bank Indonesia terkait
pelanggaran terhadap ketentuan dalam Tugas dan Tanggung Jawab Dewan
Pengawas Syariah, Rapat Dewan Pengawas Syariah (huruf a dan d), dan
Aspek Transparansi Dewan Pengawas Syariah, maka BUS atau UUS
terkait harus mengganti anggota Dewan Pengawas Syariah tersebut.
b. Dalam hal Dewan Pengawas Syariah tidak melaksanakan tugasnya dengan
baik sebagaimana dimaksud dalam Tugas dan Tanggung Jawab Dewan
Pengawas Syariah (huruf b, c, d, e, dan f) sampai dengan izin usaha Bank
dicabut, maka anggota Dewan Pengawas Syariah dimaksud dapat
dikenakan sanksi berupa pelarangan menjadi anggota Dewan Pengawas
Syariah di perbankan syariah paling lama 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal
pencabutan izin usaha Bank oleh Bank Indonesia.
C. Ringkasan PBI No. 11/33/PBI/2009
1. Pelaksanaan GCG bagi Bank Umum Syariah (BUS) paling kurang diwujudkan
dalam:
a. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris dan Direksi;
b. kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite-komite dan satuan kerja yang
menjalankan fungsi pengendalian intern BUS;
c. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah (DPS);
d. penerapan fungsi kepatuhan, audit intern dan audit ekstern;
46
e. batas maksimum penyaluran dana; dan
f. transparansi kondisi keuangan dan non keuangan BUS.
2. Pelaksanaan GCG bagi Unit Usaha Syariah (UUS) paling kurang diwujudkan
dalam:
a. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direktur UUS;
b. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab DPS;
c. penyaluran dana kepada nasabah pembiayaan inti dan penyimpanan dana
oleh deposan inti; dan
d. transparansi kondisi keuangan dan non keuangan UUS.
3. Dalam rangka mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan tanggung
jawabnya, Dewan Komisaris wajib membentuk paling kurang:
a. Komite Pemantau Risiko;
b. Komite Remunerasi dan Nominasi; dan
c. Komite Audit.
4. Anggota Komite Pemantau Risiko paling kurang terdiri dari:
a. seorang Komisaris Independen;
b. seorang pihak independen yang memiliki keahlian di bidang perbankan
syariah; dan
c. seorang pihak independen yang memiliki keahlian di bidang manajemen
risiko.
47
5. Anggota Komite Remunerasi dan Nominasi paling kurang terdiri dari:
a. 2 (dua) orang Komisaris Independen; dan
b. seorang pejabat eksekutif yang membawahi sumber daya manusia.
6. Anggota Komite Audit paling kurang terdiri dari:
a. seorang Komisaris Independen;
b. seorang pihak independen yang memiliki keahlian di bidang akuntansi
keuangan; dan
c. seorang pihak independen yang memiliki keahlian di bidang perbankan
syariah.
7. Aspek transparansi pengungkapan kepemilikan saham 5% (lima persen);
bagi Dewan Komisaris hanya berlaku pada BUS yang bersangkutan,
sementara bagi Direksi berlaku baik pada BUS yang bersangkutan maupun
pada bank dan perusahaan lain di dalam negeri maupun luar negeri.
8. Dalam rangka melaksanakan GCG, Direksi wajib memiliki fungsi paling
kurang:
a. Audit Intern;
b. Manajemen Risiko dan Komite Manajemen Risiko; dan
c. Kepatuhan.
dimana dalam rangka mendorong efektivitas implementasi pelaksanaan
fungsi dimaksud, Direksi dapat membentuk satuan kerja tersendiri.
48
9. Dalam rangka penunjukan Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik
dalam RUPS bagi BUS, rencana penunjukan dimaksud terlebih dahulu
dikonsultasikan dengan DPbS.
10. Hal-hal yang diatur dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas DPS
adalah:
a. Di BUS:
1) Dewan Komisaris wajib memastikan bahwa Direksi menindaklanjuti
rekomendasi DPS
2) Direksi wajib menindaklanjuti rekomendasi DPS
3) Laporan hasil audit intern terkait pelaksanaan pemenuhan Prinsip
Syariah disampaikan kepada DPS
4) BUS wajib memastikan ketersediaan dan kecukupan pelaporan
internal yang didukung oleh sistem informasi manajemen yang
memadai, dalam rangka meningkatkan kualitas proses pengawasan
DPS.
b. Di UUS :
1) Direktur UUS wajib menindaklanjuti rekomendasi dari hasil
pengawasan DPS
2) Direkrut UUS wajib menyediakan data dan informasi terkait
pemenuhan Prinsip Syariah yang akurat, relevan dan tepat waktu
kepada DPS
49
3) UUS wajib memastikan ketersediaan dan kecukupan data/informasi
bagi DPS.
11. Hal-hal yang diatur terkait pelaksanaan GCG bagi DPS, antara lain:
a. Anggota DPS wajib menyediakan waktu yang cukup agar pelaksanaan
tugasnya berjalan optimal, dan DPS wajib menyelenggarakan rapat
paling kurang 1(satu) kali dalam 1(satu) bulan.
b. Anggota DPS wajib mengungkapkan rangkap jabatan sebagai anggota
DPS, dan remunerasi serta fasilitas yang diterima dalam laporan
pelaksanaan GCG.
c. Anggota DPS dilarang merangkap jabatan sebagai konsultan diseluruh
BUS dan/atau UUS, dengan masa transisi pemberlakuan 1(satu) tahun
setelah berlakunya PBI ini.
12. Ketua Komite sebagaimana dimaksud dalam angka 3, hanya dapat
merangkap jabatan sebagai ketua Komite paling banyak pada 1 (satu)
Komite lainnya pada BUS yang sama.
13. Laporan pelaksanaan GCG bagi BUS disampaikan paling lambat 3 (tiga)
bulan setelah tahun buku berakhir, dan paling kurang meliputi:
a. kesimpulan umum dari hasil penilaian self assesment atas pelaksanaan
GCG BUS;
b. kepemilikan saham anggota Dewan Komisaris, hubungan keuangan dan
hubungan keluarga anggota Dewan Komisaris dengan anggota Dewan
50
Komisaris lain, anggota Direksi, dan/atau pemegang saham pengendali
BUS serta jabatan rangkap pada perusahaan atau lembaga lain;
c. kepemilikan saham anggota Direksi serta hubungan keuangan dan
hubungan keluarga anggota Direksi dengan anggota Dewan Komisaris,
anggota Direksi lain, dan/atau pemegang saham pengendali BUS;
d. rangkap jabatan sebagai anggota DPS pada lembaga keuangan syariah
lainnya;
e. daftar konsultan, penasihat atau yang dipersamakan dengan itu yang
digunakan oleh BUS;
f. kebijakan remunerasi dan fasilitas lain (remuneration packages) bagi
Dewan Komisaris, Direksi, dan DPS;
g. rasio gaji tertinggi dan gaji terendah;
h. frekuensi rapat Dewan Komisaris;
i. frekuensi rapat DPS;
j. jumlah penyimpangan (internal fraud) yang terjadi dan upaya
penyelesaian oleh BUS;
k. jumlah permasalahan hukum perdata maupun pidana dan upaya
penyelesaian oleh BUS;
l. transaksi yang mengandung benturan kepentingan;
m. buy back shares dan/atau buy back obligasi BUS;
n. penyaluran dana untuk kegiatan sosial baik jumlah maupun pihak
penerima dana; dan
51
o. pendapatan non halal dan penggunaannya.
14. Laporan pelaksanaan GCG bagi UUS, paling kurang meliputi:
a. kesimpulan umum dari hasil self assesment atas pelaksanaan GCG UUS;
b. rangkap jabatan sebagai anggota DPS pada lembaga keuangan syariah
lainnya;
c. daftar konsultan, penasihat atau yang dipersamakan dengan itu yang
digunakan oleh UUS;
d. kebijakan remunerasi dan fasilitas lain (remuneration packages) bagi
DPS;
e. frekuensi rapat DPS;
f. jumlah penyimpangan (internal fraud) yang terjadi dan upaya
penyelesaiannya oleh UUS;
g. jumlah permasalahan hukum perdata atau pidana dan upaya
penyelesaiannya oleh UUS;
h. penyaluran dana untuk kegiatan sosial baik nominal maupun penerima
dana; dan
i. pendapatan non halal dan penggunaannya.
15. Laporan pelaksanaan GCG BUS disampaikan kepada DPbS atau KBI
setempat dengan tembusan kepada DPbS paling lambat 3 (tiga) bulan
setelah tahun buku berakhir. Sementara, laporan pelaksanaan GCG UUS
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari laporan GCG Bank Umum
52
Konvensional (BUK) disampaikan dalam bab (chapter) tersendiri pada
periode waktu sebagaimana ketentuan GCG yang berlaku bagi bank umum
dan selanjutnya disampaikan kepada DPbS dan/atau KBI setempat yang
melakukan pengawasan terhadap BUK dimaksud paling lambat 3 (tiga)
bulan setelah tahun buku berakhir.
16. Adanya ketentuan peralihan atas laporan pelaksanaan GCG BUS untuk posisi
laporan akhir Desember 2009 yang tetap mengacu pada PBI
No.8/4/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Pelaksanaan Good
Corporate Governance bagi Bank Umum sebagaimana diubah dengan PBI
No.8/14/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Perubahan atas PBI
No.8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi
Bank Umum.
17. Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka PBI
No.8/4/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Pelaksanaan Good
Corporate Governance bagi Bank Umum beserta ketentuan perubahannya
dinyatakan tidak berlaku bagi BUS.1
1 Perbankan, “PBI No. 11/33/PBI/2009-Bank Sentral Republik Indonesia”, artikel diakses
pada 1 Februari 2010 dari http://www.bi.go.id.
53
BAB IV
RESPON DEWAN PENGAWAS SYARIAH TERHADAP APLIKASI PBI NO.
11/33/PBI/2009
A. Pandangan Dewan Pengawas Syariah Terhadap Penerapan PBI No.
11/33/PBI/2009 Tentang Good Corporate Governance
1. Pendapat Anggota Dewan Pengawas Syariah Mengenai Good Corporate
Governance Dan Mekanismenya Pada Bank Syariah
Good Corporate Governance adalah suatu peraturan Bank Indonesia yang
ditujukan untuk meningkatkan atau melahirkan perusahaan yang baik, yang
disiplin dan patuh pada peraturan. Sesuai dengan namanya sendiri, GCG
(Good Corporate Governance) yaitu menciptakan korporasi yang baik dan
bersih.1 Good Corporate Governance ini hanya ditujukan kepada Dewan
Pengawas Syariah, Dewan Komisaris dan Direksi saja. Peraturan ini dibuat
agar masing-masing tahu hak dan kewajibannya, sehingga nanti tidak terjadi
apa yang disebut dengan benturan kepentingan dan kekacauan dalam sebuah
bank.2 Di Dewan Pengawas Syariah, Good Corporate Governance merupakan
sebuah arahan atau aturan yang baku yang menjadi tugas utama Dewan
1 Aminudin Yakub, DPS Bank Panin Syariah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 31 Mei 2010. 2 Fathurrahman Djamil, DPS Bank CIMB Niaga Syariah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 11
Juni 2010.
53
54
Pengawas Syariah di bank syariah, baik itu berbentuk bank umum syariah
ataupun unit usaha syariah yang menjadi tanggung jawabnya.3
Good Corporate Governance memang menjadi solusi terbaik bagi tata
kelola perusahaan, karena sudah diterima secara internasional dan fungsinya
sudah cukup memadai.4
Ini semua adalah bagian dari tanggung jawab Bank Indonesia untuk
mengatur, karena jika tidak diatur demikian maka akan menimbulkan
problem. Pada tahun-tahun yang lalu banyak bank yang collapse, salah
satunya karena tidak transparan dan akuntabil. Jika semua peraturan Good
Corporate Governance dilakukan secara konsisten maka akan baik.5
Dengan adanya Good Corporate Governance, maka dilakukan istilahnya
pre supervisory action, on going supervisory action, dan post supervisy
action. Jadi ada pengawasan yang berkesinambungan.6
Sedangkan mekanisme pelaksanaan Good Corporate Governance pada
Bank Syariah yang mereka awasi adalah:
a. Mengadakan meeting wajib minimal sebulan sekali. Tetapi jika ada
masalah, maka setiap minggu bisa diadakan rapat. Jadi tergantung
seberapa banyak masalah yang dihadapi.7
3 M. Gunawan Yasni, DPS BRI Syariah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 26 Mei 2010. 4 Ikhwan A. Basri, DPS Bank Bukopin Syariah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 1 Juni 2010. 5 Fathurrahman Djamil, DPS Bank CIMB Niaga Syariah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 11
Juni 2010. 6 M. Gunawan Yasni, DPS BRI Syariah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 26 Mei 2010. 7 Muardi Chatib, DPS Bank Muamalat Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta, 31 Mei
2010.
55
b. Melakukan pengawasan dan memberikan opini syariah atas produk dan
aktivitas perbankan.8
c. Untuk mengeluarkan produk, anytime dilakukan karena produk itu tidak
akan pernah terjual apalagi dijual kepada masyarakat jika belum
mendapatkan persetujuan dari Dewan Pengawas Syariah.9
d. Antara Satuan Pengawas Internal dan compliance harus mempunyai garis
pelaporan dan juga garis tanggung jawab, sehingga dapat menyampaikan
apa-apa yang sudah diatur dan ditemukan. Jadi Satuan Pengawas Internal
dan Kepatuhan harus selalu berkoordinasi dengan Dewan Pengawas
Syariah.10
e. Standard Operating Procedur (SOP) yaitu tata kerja yang akan dilakukan
ketika suatu lembaga akan berjalan. Dewan Pengawas Syariah turut
mengembangkan dan mengawasi apakah ketentuan-ketentuan yang ada di
dalam Standard Operating Procedur ini bertentangan dengan syariah atau
tidak. Kemudian sifat pengawasan yang digunakan adalah semacam
random sampling.11
2. Tugas Dan Tanggung Jawab Dewan Pengawas Syariah Dalam Praktek Good
Corporate Governance
Adapun tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah antara lain:
8 Aminudin Yakub, DPS Bank Panin Syariah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 31 Mei 2010. 9 M. Amin Suma, DPS Bank Permata Syariah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 11 Juni 2010. 10 M. Gunawan Yasni, DPS BRI Syariah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 26 Mei 2010. 11 Ikhwan A. Basri, DPS Bank Bukopin Syariah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 1 Juni 2010.
56
a. Dewan Pengawas Syariah merupakan badan atau lembaga yang harus
mengawasi mulai dari pembuatan produk sampai kepada pelaksanaan
dari produk. kemudian harus melaksanakan apa yang menjadi tugas
utama sebagai shari’a compliance (kepatuhan kepada syariah).12
b. Memastikan seluruh aspek syariah berjalan dengan baik. Maksud dari
memastikan aspek syariah itu semata-mata hanya berkaitan dengan 3
hal; yaitu produk, operation, dan akad-akad yang melekat pada
produk-produk dan juga kepada operation itu. Kemudian setiap enam
bulan sekali harus melakukan laporan Dewan Pengawas Syariah atas
pemenuhan aspek syariah, seperti syariah audit. 13
c. Tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah dalam rangka
praktek Good Corporate Governance sudah digariskan di dalam
Peraturan Bank Indonesia tentang bank syariah atau di dalam Surat
Edaran Menteri Keuangan untuk asuransi syariah. Dewan Pengawas
Syariah juga harus pro aktif dalam praktek Good Corporate
Governance, karena Dewan Pengawas Syariah merupakan salah satu
sub bagian dari corporate itu sendiri secara keseluruhan, terutama
dalam kapasitas atau wewenangnya untuk mengawasi produk yang
dijual kepada masyarakat.14
12 Fathurrahman Djamil, DPS Bank CIMB Niaga Syariah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 11
Juni 2010. 13 M. Gunawan Yasni, DPS BRI Syariah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 26 Mei 2010. 14 M. Amin Suma, DPS Bank Permata Syariah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 11 Juni 2010.
57
d. Pelaksanaan kerja Dewan Pengawas Syariah harus sesuai dengan apa
yang telah digariskan oleh Dewan Syariah Nasional, tidak boleh di luar
itu.15
Aِrtinya : Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.( al-Mukminun 8)
3. Aplikasi Lima Prinsip Umum Good Corporate Governance
Lima prinsip umum itu adalah sangat universal, seperti transparency,
accountability, fairness, responsibility dan independency. Jika nilai itu dapat
berlaku secara universal, maka nilai-nilai tersebut sudah ada di dalam syariah.
Misalnya, transparency itu bisa dikiaskan kepada hal kejujuran.16
Jika sifatnya administratif, maka hal itu dapat diserahkan kepada 5 prinsip
umum (Accountability, Transparancy, Resposibility, Independency dan
Fairness); tetapi berkenaan dengan ketentuan hukum syari’at, maka tetap
berpegang pada prinsip syariah yang tidak mungkin terdapat pada 5 prinsip
Good Corporate Governance itu sendiri.17
Lima prinsip Good Corporate Governance itu sepertinya sudah sesuai
dengan prinsip syariah, sehingga nanti tidak menimbulkan sesuatu yang tidak
pada tempatnya dan bahkan menimbulkan kegiatan yang bertentangan dengan
15 Muardi Chatib, DPS Bank Muamalat Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta, 31 Mei
2010. 16 M. Gunawan Yasni, DPS BRI Syariah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 26 Mei 2010. 17 M. Amin Suma, DPS Bank Permata Syariah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 11 Juni 2010.
58
prinsip syariah.18 Secara umum, prinsip ini sudah mengakomodir seluruh
praktek, kelima prinsip dasar ini dapat menjadikan perusahaan yang Good
Corporate.19
Di Bank Syariah Bukopin, untuk pelaksanaan transparansi belum
sepenuhnya dilaksanakan seratus persen. Ada lagi accountability sebagai
tindak lanjut daripada transparansi, akan tetapi akuntabilitas ini bukan kepada
Dewan Pengawas Syariah, melainkan dari pihak manajemen atau pihak
lainnya.20
Beberapa prinsip tambahan yang ada pada Bank Syariah; selain kelima
prinsip dasar Good Corporate Governance :
a. Profesional.
Ketika masuk ke dalam proses sampling atau uji dari sebuah transaksi,
maka harus mengerti metodologi penelitian yang berkaitan dengan aspek
itu.21
b. Persistency.
yang artinya istiqomah. Jadi syariah itu perlu istiqomah, karena lima
prinsip umum tadi akan selalu mendapat penyesuaian dari logika manusia
biasa, sementara nilai istiqomah itu tidak hanya mengandalkan logika
18 Fathurrahman Djamil, DPS Bank CIMB Niaga Syariah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 11
Juni 2010. 19 Aminudin Yakub, DPS Bank Panin Syariah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 31 Mei 2010. 20 Ikhwan A. Basri, DPS Bank Bukopin Syariah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 1 Juni 2010. 21 Fathurrahman Djamil, DPS Bank CIMB Niaga Syariah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 11
Juni 2010.
59
⌧ ☺
☺ ☺ Artinya : Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan
kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, Maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya. dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan (al-Huud 123)
c. Jika terjadi perbedaan pendapat di antara Dewan Pengawas Syariah
sendiri; maka solusinya adalah dengan cara berdiskusi atau
berargumentasi sampai diketemukan kesamaan pendapat. Jadi tidak
mengenal istilah disentence opinion, karena untuk memelihara tanggung
jawab bersama, agar tidak membingungkan para user dalam hal ini
karyawan Bank Syariah sendiri.23
d. Tidak mubazir. Dalam hal makan tidak boleh mubazir. Kemudian setiap
kru (pada Bank Muamalat Indonesia) harus memakai peci.24
4. Kesulitan Atau Hambatan Pelaksanaan Good Corporate Governance
Di dalam segala bidang pekerjaan hambatan pasti selalu ada, berikut
hambatan yang ada pada pelaksanaan Good Corporate Governance :
22 M. Gunawan Yasni, DPS BRI Syariah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 26 Mei 2010. 23 M. Amin Suma, DPS Bank Permata Syariah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 11 Juni 2010. 24 Muardi Chatib, DPS Bank Muamalat Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta, 31 Mei
2010.
60
a) Dewan Pengawas Syariah tidak mempunyai staf atau sekretaris, minimal
untuk membantu pembuatan scheduling.25
b) Anggota Dewan Pengawas Syariah dilarang menjadi advicer, jika
seseorang menjabat sebagai Dewan Pengawas Syariah, maka jangan coba-
coba menjadi Komisaris. Jadi Dewan Pengawas Syariah dan Komisaris itu
dikotakkan. Good Corporate Governance ini dari sisi syariah membuat
sebuah batasan yang sangat rigid untuk seseorang berfungsi sebagai
rahmatan lil ‘alamin.26
c) Jika melihat Standar Internasional, Dewan Pengawas Syariah itu bukan
badan yang bisa berdiri sendiri, karena Dewan Pengawas Syariah bukan
bagian dari internal organisasi. Secara struktur memang Dewan Pengawas
Syariah masuk ke dalam organisasi, akan tetapi sebenarnya menjadi
outsider. Dikatakan outsider karena Dewan Pengawas Syariah itu
termasuk orang luar, maka harus didampingi oleh orang dalam atau fungsi
lain. Tetapi semuanya itu terkendala dengan biaya juga.27
d) Hambatan yang terjadi pada unit syariah biasanya adalah temuan kerja
yang belum tentu sepenuhnya mengetahui syariah. Misalnya, Satuan
Komite Audit Internal (SKAI) itu mungkin tidak sepenuhnya memahami
25 Aminudin Yakub, DPS Bank Panin Syariah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 31 Mei 2010. 26 M. Gunawan Yasni, DPS BRI Syariah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 26 Mei 2010. 27 Kanny Hidaya, DPS Bank Mega Syariah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 19 Mei 2010.
61
konsep syariah, maka harus diberikan informasi kepada mereka yang
mana saja hal-hal yang sesuai dengan syariah.28
e) Hambatan yang terjadi biasanya bukan pada hal-hal yang bersifat
substantif; mungkin lebih kepada hal-hal yang bersifat teknis administratif
mengingat faktor tempat dan jalan. Mungkin ada juga dari faktor attitude,
tetapi secara umum memang masih memerlukan peningkatan untuk
mencapai Good Corporate Governance yang lebih sesuai dengan yang
dikehendaki oleh peraturan itu sendiri.29
Ada sebagian anggota Dewan Pengawas Syariah yang merasa keberatan
dengan klausul yang ada di dalam PBI No. 11/33/PBI/2009, yaitu:
Pertama, kewajiban Dewan Pengawas Syariah begitu besar sedangkan
haknya tidak dimunculkan, jadi tidak ada perimbangan antara hak dan
kewajiban. Kemudian ketika dibandingkan dengan Komisaris hak-haknya
belum sepadan. Kedua, anggota Dewan Pengawas Syariah dilarang menjadi
seorang advicer.
5. Tanggapan Dewan Pengawas Syariah Dalam Menyikapi Peraturan Good
Corporate Governance
Secara umum, anggota Dewan Pengawas Syariah setuju dengan
dikeluarkannya peraturan Good Corporate Governance ini, karena
bagaimanapun juga peraturan tersebut dibuat untuk kebaikan dan peningkatan
28 Fathurrahman Djamil, DPS Bank CIMB Niaga Syariah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 11
Juni 2010. 29 M. Amin Suma, DPS Bank Permata Syariah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 11 Juni 2010.
62
kualitas daripada Perbankan Syariah itu sendiri, hanya saja ada beberapa
catatan untuk peraturan Good Corporate Governance, yakni:
a. Pada saat Good Corporate Governance lahir, Bank Indonesia kurang
berkomunikasi atau berdiskusi dengan Dewan Syariah Nasional, artinya
Bank Indonesia hanya berjalan sendiri. Sebenarnya Good Corporate
Governance ini adalah otoritas Bank Indonesia, tetapi sebuah aturan harus
dihimpun dan disaring dari banyak pemikiran dan pendapat, sehingga
nanti tidak ada pasal-pasal yang timpang.30
b. Harus ada keseimbangan antara hak dan kewajiban, karena resiko yang
dihadapi juga cukup tinggi. Jika Dewan Pengawas Syariah tidak
melaksanakan tugas-tugasnya, maka akan dikenakan sanksi. Kemudian
jika telah melaksanakan dengan baik, maka akan diberi reward, tetapi
hingga saat ini tidak jelas reward nya diformulasikan dalam bentuk seperti
apa.31
c. PBI No. 11/33/PBI/2009 sekiranya perlu disempurnakan lagi, yaitu
mengenai Dewan Pengawas Syariah tidak boleh menjadi seorang
konsultan di semua perbankan syariah. 32
d. Dalam sebuah peraturan harus ada kebijaksanaan, maka pelaksanaan Good
Corporate Governance ini tergantung pada situasinya. Jika peraturan
30 Aminudin Yakub, DPS Bank Panin Syariah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 31 Mei 2010. 31 Fathurrahman Djamil, DPS Bank CIMB Niaga Syariah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 11
Juni 2010. 32 M. Gunawan Yasni, DPS BRI Syariah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 26 Mei 2010.
63
seperti ini diterapkan di Bank Syariah pusat, maka tidak masalah. Tetapi
jika peraturan ini diterapkan pada Bank Syariah yang bertempat di daerah,
dan Sumber Daya Manusia yang ditempatkan di sana belum cukup
memadai, maka hasilnya bank tersebut akan bubar.33
6. Implikasi penerapan Good Corporate Governance terhadap operasional Bank
Syariah
a) Sebelum ada Good Corporate Governance , guidance nya itu belum jelas,
apalagi dalam bentuk tertulis; maka sekarang 5 prinsip itu telah benar-
benar menjadi acuan dan arah yang fokus. Dengan demikian, maka pasti
ada manfaat yang lebih bagus. Tinggal mungkin pembiasaannya saja yang
masih harus menunggu proses, karena tidak ada sesuatu yang secepat kilat.
Tetapi, dibanding masa-masa lalu, kehadiran Good Corporate Governance
ini memberikan kerangka pikir, kerangka kerja dan kerangka arah yang
lebih jelas.34
b) Dari segi internal meeting Dewan Pengawas Syariah sendiri jadi lebih
teratur, lebih ada aturan yang jelas jika ingin menghasilkan report ke Bank
Indonesia atau ke Dewan Syariah Nasional. sekarang sudah jelas semua
produk harus ada opininya. Sebelum ada PBI ini rapat Dewan Pengawas
Syariah tidak jelas, bisa diadakan setahun sekali. Sekarang akan dikenakan
33 Muardi Chatib, DPS Bank Muamalat Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta, 31 Mei
2010. 34 M. Amin Suma, DPS Bank Permata Syariah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 11 Juni 2010.
64
sanksi jika tidak mematuhinya. Sekali Dewan Pengawas Syariah sudah
tidak dianggap fit dan proper lagi, maka dampaknya bisa selama 10 tahun
tidak dapat menjabat sebagai Dewan Pengawas Syariah di Bank Syariah
manapun.35
7. Saran Atau Masukan Dari Dewan Pengawas Syariah
a. Good Corporate Governance harus dimasyarakatkan agar lebih tahu
bagaimana fungsi daripada Good Corporate Governance tersebut.36
b. Hendaknya semua bank syariah melaksanakan peraturan yang telah
ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional secara sempurna.37
c. Keterbukaan harus dipahami secara konsisten oleh stakeholder sebagai
pemangku kepentingan baik itu Direksi, Komisaris, pemegang saham,
Bank Indonesia dan Dewan Syariah Nasional.38
d. Pelaksanaan Good Corporate Governance adalah sebuah upaya yang
sangat baik, tetapi ada pasal-pasal yang kurang berimbang, jadi perlu
disempurnakan lagi. Misalnya dalam Dewan Pengawas Syariah
kewajibannya banyak tetapi hak-haknya tidak banyak dimunculkan.
Komisaris bisa mempunyai komite di bawahnya sebagai kelengkapan
Komisaris, sedangkan Dewan Pengawas Syariah tidak ada. Padahal
sebetulnya Dewan Pengawas Syariah mempunyai peran yang sama yaitu
35 M. Gunawan Yasni, DPS BRI Syariah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 26 Mei 2010. 36 Kanny Hidaya, DPS Bank Mega Syariah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 19 Mei 2010. 37 Muardi Chatib, DPS Bank Muamalat Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta, 31 Mei
2010. 38 Fathurrahman Djamil, DPS Bank CIMB Niaga Syariah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 11
Juni 2010.
65
melakukan pengawasan meski wilayahnya berbeda. Oleh karenanya
Dewan Pengawas Syariah hanya berpegang pada lembaga-lembaga yang
ada dalam bank itu.39
e. Selama ini posisi Dewan Pengawas Syariah itu lebih diberdayakan sebagai
seorang yang bisa memberikan konsultasi, jadi signifikannya mungkin
lebih banyak dalam masalah konsultasinya. Padahal Dewan Pengawas
Syariah itu adalah shari’a supervisory board tugas utamanya adalah
mengawasi kemudian memberikan nasihat, tapi kenyataannya banyak
bobot dari ke Dewan Pengawas Syariah itu yang diukur dari signifikan
dibidang konsultasinya. Padahal di dalam Good Corporate Governance ini
membatasi bahwa yang namanya Dewan Pengawas Syariah itu tidak boleh
merangkap sebagai konsultan di semua bank syariah. Dalam hal ini harus
ada pertimbangan-pertimbangan khusus, karena peraturan Good
Corporate Governance ini membatasi seseorang menjadi orang yang
rahmatan lil ‘alamin.40
Analisis Penulis
Berbagai macam pendapat telah diutarakan tentang bagaimana penerapan
peraturan Good Corporate Governance di bank yang mereka awasi. Semua
anggota Dewan Pengawas Syariah telah memahami dengan baik apa maksud dari
39 Aminudin Yakub, DPS Bank Panin Syariah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 31 Mei 2010. 40 M. Gunawan Yasni, DPS BRI Syariah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 26 Mei 2010.
66
pengertian Good Corporate Governance. Istilah yang paling gampang dipakai
dalam Good Corporate Governance adalah suatu aturan tata kelola perusahaan
yang baik, agar masing-masing bagian (Dewan Pengawas Syariah, Komisaris dan
Direksi) tahu hak dan kewajibannya serta saling bekerja sama untuk tujuan
lembaga itu sendiri, sehingga antara pihak satu dengan lainnya tidak saling
tumpang tindih.
Sebagian besar dari mereka percaya bahwa ke depannya Good Corporate
Governance akan menjadi sebuah solusi tata kelola yang baik bagi industri
perbankan syariah, karena sebelum ada peraturan ini, transparansi dan
akuntabilitas belum dilaksanakan secara maksimal. Dengan adanya peraturan ini
tata kelola perusahaan jadi lebih terstruktur dan terarah dengan baik. Karena jika
Dewan Pengawas Syariah tidak melaksanakan tugas mereka dengan baik, maka
akan dikenakan sanksi.
Adapun mekanisme penerapan Good Corporate Governance yang harus
dijalani oleh Dewan Pengawas Syariah, yakni wajib mengadakan rapat rutin
minimal satu bulan sekali. Senantiasa memberikan opini dan pengawasan
terhadap produk-produk dan aktivitas perbankan. Kemudian Dewan Pengawas
Syariah harus berkoordinasi dengan baik dengan Satuan Pengawas Internal (SPI)
dan Kepatuhan, agar pelaporan dan catatan-catatan yang ada dapat diawasi dan
diperiksa dengan baik. Jadi mekanisme dari penerapan Good Corporate
Governance ini tidak akan pernah terwujud manakala satu pihak dengan pihak
67
yang lainnya tidak menjalin hubungan dengan baik, karena Dewan Pengawas
Syariah tidak bisa berjalan dengan sendirinya tanpa bantuan dari pihak lain.
Tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah sudah jelas termaktub di
dalam PBI No. 11/33/PBI/2009 tentang Good Corporate Governance bagi Bank
Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah serta di dalam Surat Edaran No.
12/13/DPbS Tahun 2010. Tugas-tugas Dewan Pengawas Syariah antara lain:
mengawasi mulai dari pembuatan produk sampai kepada pelaksanaan daripada
produk itu sendiri. Memastikan seluruh aspek syariah berjalan dengan baik, aspek
syariah yang dimaksud adalah produk, operation, dan akad-akad yang melekat
pada produk-produk dan juga kepada operation. Pada setiap enam bulan sekali
harus membuat laporan yang berkaitan dengan Dewan Pengawas Syariah dan
yang membuat adalah bank yang bersangkutan dengan Dewan Pengawas Syariah
nya masing-masing.
Lima prinsip umum yang ada; Accountability, Transparancy, Resposibility,
Independency dan Fairness seyogyanya telah mampu mengakomodir seluruh
praktek pengawasan dalam dunia perbankan syariah, sehingga aplikasi di
lapangan sesuai dengan prinsip umum dalam teori. Hanya mungkin praktek
pelaksanaanya belum seratus persen dilakukan dengan baik, karena
pembiasaannya masih harus menunggu proses. Karena sebuah perubahan tidak
mungkin bisa ditempuh dengan waktu yang sangat singkat.
Sebagian dari anggota Dewan Pengawas Syariah memiliki prinsip tambahan
selain kelima prinsip umum tadi. Adapula sebagian dari mereka yang sudah puas
68
dan cukup atas kelima prinsip umum yang telah diterima secara internasional.
Tambahan prinsip umum yang mereka utarakan tentu memiliki dampak yang baik
bagi bank syariah dan jika prinsip tambahan tersebut dilakukan secara konsisten,
maka ke depannya perbankan syariah menjadi yang terdepan dari bank-bank yang
lain. Prinsip-prinsip tambahannya antara lain, yaitu profesional, tawakal, dan
mufakat. Memang secara tertulis prinsip ini tidak ada, akan tetapi dalam
prakteknya prinsip ini dilaksanakan dengan baik.
Berbagai kesulitan atau hambatan yang dijalani Dewan Pengawas Syariah
berbeda-beda, semua itu tergantung dari latar belakang dan profesi mereka
masing-masing. Ada yang merasa keberatan karena tidak boleh menjadi seorang
konsultan serta adapula yang terhambat dengan ketidakadaan seorang staf atau
sekretaris yang membantu Dewan Pengawas Syariah dalam pelaksanaan tugas-
tugasnya, minimal untuk membantu pembuatan jadwal. Kemudian ada juga yang
merasa menjadi outsider di dalam bank yang mereka awasi, secara struktur
memang Dewan Pengawas Syariah masuk ke dalam organisasi, akan tetapi
sebenarnya tidak. Dikatakan outsider karena Dewan Pengawas Syariah termasuk
orang luar, maka harus ada staf atau bagian yang mendampinginya. Lebih parah
lagi ketika ada anggota Dewan Pengawas Syariah yang tidak memiliki ruangan
kerja khusus untuk bekerja. Jadi ketika Dewan Pengawas Syariah datang ke Bank,
mereka harus menunggu di luar ruangan atau di ruang tunggu. Hal ini mejadi
sebuah hambatan yang harus dipertimbangkan untuk mereka yang ingin bekerja
secara maksimal. Mungkin itu semua terkendala juga dengan biaya, sehingga dari
69
pihak bank syariah sendiri belum mampu untuk menyediakan ruang khusus bagi
Dewan Pengawas Syariah.
Sebuah peraturan tidak terlepas dari ketidaksempurnaan, di sini terlihat bahwa
ada beberapa klausul dalam PBI No. 11/33/PBI/2009 ini yang memberatkan
anggota Dewan Pengawas Syariah. Faktor yang menyebabkan hal tersebut bisa
terjadi mungkin dikarenakan kurangnya komunikasi atau musyawarah antara
Bank Indonesia dengan Dewan Syariah Nasional pada saat proses perancangan
peraturan tersebut, sehingga ada pasal-pasal yang kurang fair bagi Dewan
Pengawas Syariah. Jadi ada sebagian anggota Dewan Pengawas Syariah yang
meminta agar peraturan Good Corporate Governance ini bisa disempurnakan
lagi, agar semua pihak yang terlibat di dalamnya tidak ada yang merasa
diberatkan. Tetapi semua itu terkendala juga dengan hal-hal yang lain, karena
merubah atau merombak sebuah peraturan itu prosesnya tidaklah gampang dan
cepat.
Secara umum, Dewan Pengawas Syariah setuju mengenai diterapkannya
peraturan Good Corporate Governance ini pada Bank Syariah, karena peraturan
ini bertujuan untuk membangun perbankan syariah yang berkualitas dan masing-
masing pihak mengetahui secara detail apa saja tugas dan tanggung jawab yang
harus dilakukan. Tetapi ada juga anggota Dewan Pengawas Syariah yang merasa
antara setuju dan tidak setuju dengan dikeluarkannya peraturan tersebut. Mungkin
karena melihat ada beberapa hal yang harus dirubah dari kebijakan ini. Terlepas
70
dari itu semua, anggota Dewan Pengawas Syariah tetap melaksanakan tugas-
tugasnya dengan baik.
Dari hasil penerapan PBI No. 11/33/PBI/2009 mengenai Good Corporate
Governance, ada sebuah implikasi positif bagi Bank Syariah yang mereka awasi.
Dapat terlihat bahwa mekanisme kerja daripada Dewan Pengawas Syariah lebih
terstruktur dan teorganisir dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tetapi ada juga
Bank Syariah yang tidak merasakan perbedaan pasca dikeluarkannya peraturan
ini, faktornya adalah karena Bank Syariah itu sendiri sudah menerapkan konsep
yang sama dengan Good Corporate Governance sebelum diberlakukannya PBI
No. 11/33/PBI/2009. Faktor selanjutnya adalah launching Bank Syariah tersebut
bersamaan dengan diwajibkannya pelaksanaan Good Corporate Governance,
sehingga tidak ada perbedaan yang dirasakan secara signifikan.
Tidak sedikit saran dan masukan yang telah disampaikan oleh Dewan
Pengawas Syariah. Saran tersebut diyakini akan menjadi sebuah hal yang positif
bagi pihak yang bersangkutan. Memang benar bahwa konsep dan prinsip dasar
yang ada di dalam Good Corporate Governance harus bisa disosialisasikan
kepada masyarakat umum, karena ini semua penting bagi kita dan Negara. Saran
yang telah dikemukakan ini seharusnya dapat diketahui oleh Bank Indonesia, agar
saran atau masukan tersebut bukan hanya menjadi sebuah wacana saja, tetapi juga
dapat terealisasi dengan baik
Walaupun hingga saat ini ada beberapa kesulitan yang dihadapi oleh Dewan
Pengawas Syariah baik itu faktor internal maupun eksternal. Semoga ke depannya
71
apa-apa yang telah diatur oleh Bank Indonesia dapat berjalan dengan lancar dan
menjadikan perbankan syariah di Indonesia menjadi yang terbaik.
Prinsip Good Corporate Governance
Hal-hal yang Perlu Dicatat dalam
Penerapan GCG
• Transparansi • Pelaksanaan Good Corporate Governance secara umum dilakukan bertahap, karena sebuah pembiasaan tidak dapat dilaksanakan dengan singkat
• Akuntabilitas • Temuan kerja yang belum tentu sepenuhnya mengetahui syariah
• Pertanggungjawaban • Perlu adanya perubahan dalam PBI No. 11/33/PBI/2009, mengingat hak yang tercantum dalam peraturan tersebut tidak banyak dimunculkan
• Kemandirian • Tidak tersedianya ruang kerja khusus bagi Dewan Pengawas Syariah di Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah (tetapi hanya sebagian saja)
• Kewajaran/kesetaraan • Belum ada staf ataupun sekretaris yang membawahi Dewan Pengawas Syariah (tetapi hanya sebagian saja)
• Larangan menjadi seorang konsultan (advicer) di instansi manapun
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah dalam mewujudkan
Good Corporate Governance antara lain:
a. Melaksanakan apa yang menjadi tugas utama sebagai shari’a compliance
(kepatuhan kepada syariah).
b. Pelaksanaan kerja Dewan Pengawas Syariah harus sesuai dengan apa yang
telah digariskan oleh Dewan Syariah Nasional.
c. Mengawasi mulai dari pembuatan produk sampai kepada pelaksanaan
daripada produk itu sendiri.
d. Memastikan seluruh aspek syariah berjalan dengan baik, aspek syariah
yang dimaksud adalah produk, operation, dan akad-akad yang melekat
pada produk-produk dan juga kepada operation.
e. Pada setiap enam bulan sekali harus membuat laporan yang berkaitan
dengan Dewan Pengawas Syariah.
Sebelum diterapkan PBI No.11/33/PBI/2009, tugas dan tanggung jawab
Dewan Pengawas Syariah belum jelas. Kemudian belum ada laporan Dewan
Pengawas Syariah atas pemenuhan aspek syariah seperti syariah audit.
2. Respon daripada Dewan Pengawas Syariah sangat baik dalam menyikapi
peraturan Good Corporate Governance seperti yang termaktub dalam PBI
72
73
No.11/33/PBI/2009, mereka setuju terhadap penerapan peraturan Good
Corporate Governance pada Bank Syariah yang mereka awasi, karena semua
ini bertujuan untuk kemaslahatan bersama dan membangun perbankan syariah
yang lebih baik.
Tetapi ada beberapa hal yang perlu dicatat, antara lain: dalam peresmian
peraturan Good Corporate Governance, Bank Indonesia kurang berdiskusi
atau berkomunikasi dengan Dewan Syariah Nasional, akibatnya terjadi
ketimpangan antara hak dan kewajiban. Adapula reward yang tercantum
dalam peraturan tersebut tidak jelas diformulasikan dalam bentuk seperti apa.
3. Implikasi dari penerapan Good Corporate Governance terhadap Bank Syariah
yakni lebih kepada hal yang bersifat positif, antara lain:
a. Memberikan kerangka pikir, kerangka kerja dan kerangka arah yang lebih
jelas.
b. Internal meeting Dewan Pengawas Syariah jadi lebih teratur.
c. Semua macam produk harus diberikan opini oleh Dewan pengawas
Syariah.
d. Jika Dewan pengawas Syariah tidak melaksanakan tugasnya dengan baik,
maka akan dikenakan sanksi.
Ketika peraturan Good Corporate Governance belum diterapkan, guidance
nya itu belum jelas, apalagi dalam bentuk tertulis. Kemudian internal meeting
yang dilakukan Dewan pengawas Syariah tidak terjadwal dengan baik,
mungkin bisa sekali dalam setahun rapat itu dilaksanakan.
74
B. Saran
1. Diharapkan agar Dewan Pengawas Syariah dapat melaksanakan tugas dan
tanggung jawabnya dengan baik dan senantiasa memberikan laporan atas
pemenuhan aspek syariah secara transparan dan independent, sehingga tidak
dipengaruhi oleh pihak lain.
2. Seharusnya Bank Indonesia terlebih dahulu memusyawarahkan peraturan
Good Corporate Governance secara baik dengan Dewan Syariah Nasional,
sehingga tidak ada klausul yang memberatkan bagi mereka dan reward yang
akan diberikan harus diperjelas dalam bentuk apa.
3. Dengan adanya pedoman yang jelas dan internal meeting yang lebih
terorganisir, diharapkan Dewan Pengawas Syariah tidak lalai dalam
pelaksanaan kewajibannya guna mewujudkan Bank Syariah yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
Agustianto. “Optimalisasi Dewan Pengawas Syariah Perbankan Syariah”. Artikel
diakses pada 1 Februari 2010 dari http://www.pesantrenvirtual.com.
Ariyoto, Kresnohadi. dkk. “Good Corporate Governance dan Konsep Penegakannya
di BUMN & Lingkungan Usahanya”. Manajemen dan Usahawan. No.10
(Oktober 2000): h. 3-4.
Asworo, Hendri T. “Pelaksanaan GCG Bagi Bank Umum Syariah Terbit”. Artikel
diakses pada 1 Februari 2010 dari http://www.bisnis.com.
Aulia, Rica. “Penerapan Good Corporate Governance (GCG) pada PT. Bank Syariah
Mega Indonesia (Analisis Self Assessment Berdasarkan SEBI No. 9/12/DPNP
Tanggal 30 Mei 2007)”. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009.
Bakrie, Aburizal. “Good Corporate Governance : Sudut Pandang Pengusaha”. Jurnal
Reformasi Ekonomi. No.2 (Oktober-Desember 2000): h.. 24-26.
Barkah, Fitri. ”Mekanisme Kerja Dewan Pengawas Syariah (DPS) Dalam
Menentukan Produk Baru Bank Syariah (Studi Kasus Bank Permata Syariah-
Cabang Arteri Pondok Indah)”. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006.
Busyaeri, Ahmad. “Urgensi Audit Internal dalam Mewujudkan Good Corporate
Governance (GCG) pada Bank Syariah (Studi Penelitian pada PT. Bank DKI
75
76
Syariah Jakarta)”. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.
Daniri, Mas Ahmad. Good Corporate Governance Konsep Dan Penerapannya
Dalam Konteks Indonesia. Jakarta: Ray Indonesia, 2005.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21
Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, Jakarta: DPR, 2008.
Dewan Syariah Nasional (DSN). Keputusan DSN MUI No:3 Tahun 2000 Tentang
Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Anggota Dewan Pengawas Syariah Pada
Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: DSN, 2000.
Dewitasari, Resa. “Pengaruh Audit Intern dan Pengendalian Intern Terhadap
Penerapan Good Corporate Governance (GCG) (Studi Kasus pada Salah Satu
BUMN di Jakarta)”. Skripsi S1 Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009.
Effendi, Muh. Arief. The Power Of Good Corporate Governance Teori dan
Implementasi. Jakarta: Salemba Empat, 2009.
Endarmoko, Eko. Tesaurus Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2006.
Firdaus, Muhammad. dkk. Sistem dan Mekanisme Pengawasan Syariah, cet.I.
Jakarta: Renaisan, 2005.
Harahap, Sofyan S. Auditing Dalam Perspektif Islam, cet.II. Jakarta: Pustaka
Quantum, 2008.
77
Haryani, Yani. “Mekanisme Kerja Dewan Pengawas Syariah (DPS) Terhadap
Mekanisme Operasional Asuransi Syariah (Studi Kasus PT. MAA Life
Assurance)”. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005.
Hasbullah, Yusditira. “Prinsip-prinsip Manajemen Risiko Kredit di Perbankan Dalam
Rangka Good Corporate Governance”. Manajemen dan Usahawan. No.12
(Desember 2004): h. 29.
Januarita, Ratna. “Penerapan Good Corporate Governance Pada Sektor Perbankan
Studi Kasus: Divestasi Bank Lippo”. Jurnal Ilmu Hukum Litigasi. No.2 (Juni
2003): h. 104-109.
Kamarulzaman, AKA dan Al-Barry, M. Dahlan Y. Kamus Ilmiah Serapan Disertai
Entri Tambahan Dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Yogyakarta:
ABSOLUT, 2005.
Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta : PT. Remaja Rosdakarya,
2005.
Perbankan. “PBI No. 11/33/PBI/2009-Bank Sentral Republik Indonesia”. Artikel
diakses pada 1 Februari 2010 dari http://www.bi.go.id.
Pratolo, Suryo. ”Good Corporate Governance dan Kinerja BUMN di Indonesia:
Aspek Audit Manajemen Dan Pengendalian Intern Sebagai Variabel Eksogen
Serta Tinjauan nya Pada Jenis Perusahaan”. Simposium Nasional Akuntansi X,
26-28 Juli. UNHAS MAKASAR, 2007.
78
Redaksi berita. “Bank, Saham, Asuransi dan Derivatif”. Artikel diakses pada 1
Februari 2010 dari http://www.seruu.com.
Republika. “Ketentuan DPS Menjadi Lebih Fleksibel”. Artikel diakses pada 27 Maret
2010 dari http://koran.repulika.com.
Rifkadejavu. “Dewan Pengawas Syariah, Gaji Buta dan Sekedar Pajangan”. Artikel
diakses pada 1 Februari 2010 dari http://www.
ibbloggercompetition.kompasiana.com.
Singarimbun, Masri. Metodologi Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES, 2006.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, cet.III. Jakarta: UI-Press, 1986.
Surya, Indra dan Yustiavandana, Ivan. Penerapan Good Corporate Governance
Mengesampingkan Hak-hak Istimewa Demi Kelangsungan Usaha. Jakarta:
Kencana, 2006.
Suryabrata, Sumadi. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004.
Tim Penulis Fakultas Syariah dan Hukum. Buku Pedoman Penulisan Skripsi. Jakarta
: Fakultas Syariah dan Hukum, 2008.
Wawancara Pribadi dengan Aminudin Yakub. Jakarta. 31 Mei 2010.
Wawancara Pribadi dengan Fathurrahman Djamil. Jakarta. 11 Juni 2010.
Wawancara Pribadi dengan Ikhwan A. Basri. Jakarta. 1 Juni 2010.
Wawancara Pribadi dengan Kanny Hidaya. Jakarta. 19 Mei 2010.
Wawancara Pribadi dengan Muhammad. Amin Suma. Jakarta. 11 Juni 2010.
Wawancara Pribadi dengan Muhammad Gunawan Yasni. Jakarta. 26 Mei 2010.
Wawancara Pribadi dengan Muardi Chatib. Jakarta. 31 Mei 2010.
79
Widijawan, Dhanang. “Aspek-Aspek Good Corporate Governance Di Bidang Hukum
Perbankan Dalam Rangka Mewujudkan Pemerataan Dan Keadilan Sosial”,
Competitive: Majalah Tiga Bulanan Politeknik Pos Indonesia. No.2 (Maret
2005): h. 29-30.
Pedoman Wawancara
Nama : Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM
Umur : 55 Tahun
Jabatan : DPS Bank Permata Syariah
Waktu : 11 Juni 2010 Pkl 09.05-09.12 WIB
Tempat Wawancara : Ruang Dekan Lt. 2 Gd. Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
1. Menurut Anda pribadi sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah, Good Corporate
Governance itu seperti apa ?
Jawab:
Saya kira tidak perlu diarti ya; karena memang pengertiannya sudah baku di buku yang
bisa Anda baca sendiri.
2. Apa saja tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah dalam praktek Good
Corporate Governance ?
Jawab:
Tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah dalam rangka praktek Good
Corporate Governance itu sudah digariskan di dalam peraturan Bank Indonesia tentang
bank syariah atau dalam Surat Edaran Menteri Keuangan untuk asuransi syariah. Nah
tentu Dewan Pengawas Syariah juga harus pro aktif dalam praktek GCG ini. Kenapa
perlu pro aktif ? Karena, DPS itu kan merupakan salah satu sub bagian dari corporate itu
sendiri secara keseluruhan, terutama dalam kapasitas atau wewenangnya untuk
mengawasi produk yang dijual kepada masyarakat.
3. Bagaimana mekanisme pelaksanaan Good Corporate Governance dalam institusi yang
saat ini Anda awasi ?
Jawab:
Mekanisme yang kami jalani di DPS kami itu, selain ada meeting wajib minimal sebulan
sekali yang bersifat rutin dan continue; juga ada kehadiran rutin. Tujuannya untuk
mengevaluasi perjalanan perbankan itu sendiri. Untuk mengeluarkan produk, anytime
dilakukan. Kenapa untuk produk itu kapan saja dilakukan ? Karena memang produk itu
tidak akan pernah terjual apalagi dijual kepada masyarakat kalau belum mendapatkan
persetujuan dari DPS. Nah, DPS itu pasti terikat juga dengan lima prinsip yang menjadi
acuan pada GCG ini misalnya tentang pertanggung jawaban, transparansi dan seterusnya.
Bila timbul pertanyaan dari mana melihatnya ? Terutama dari sisi syariahnya.
Pertanggungjawaban dan transparansi dari sisi syariahnya. Inilah yang menjadi bidang
kita.
4. Dari beberapa referensi yang telah Saya dapatkan bahwa teori Good Corporate
Governance terdapat 5 prinsip umum. Apakah prinsip-prinsip tersebut telah mampu
mengakomodir seluruh praktek pengawasan dalam dunia perbankan sehingga aplikasi di
lapangan sesuai dengan prinsip umum dalam teori ?
Jawab:
Oh Tentu. Kalau yang sifatnya administratif itu diserahkan kepada 5 prinsip tadi; tetapi
berkenaan dengan ketentuan hukum syari’at, kita tetap berpegang pada prinsip syariah
yang tidak mungkin terdapat pada 5 prinsip GCG itu.
5. Jika belum, adakah prinsip tambahan yang digunakan dalam sistem Good Corporate
Governance di lembaga yang saat ini Anda awasi ?
Jawab:
Ya tentu ada. Kan lima itu hanya standar dasar, prinsip tambahan misalnya kalau terjadi
perbedaan pendapat di antara DPS itu sendiri; maka dicarikan solusinya dengan cara
berdiskusi atau berargumentasi sampai diketemukan kesamaan pendapat. Selalu terjadi
seperti itu ? Alhamdulillah, istilahnya tidak mengenal disentence opinion. Kenapa ?
karena memang untuk memelihara tanggung jawab bersama, di samping supaya tidak
membingungkan para user dalam hal ini karyawan Bank Syariah sendiri. Kalau untuk
teknik membaca produk boleh saja tidak bersama-sama di sana karena waktunya kadang-
kadang tidak selalu sama. Tetapi, ketika ada perbedaan pendapat mengenai produk
tertentu itu dipastikan ketemu. Demikian pula dengan penetapan hal-hal mendasar yang
terkait dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN).
6. Apakah Good Corporate Governance menjadi solusi terbaik bagi tata kelola perbankan
di Indonesia ?
Jawab:
Ya saya tidak mengatakan seperti itu. Oleh Anda sajalah apakah GCG itu sudah menjadi
solusi terbaik atau tidak. Kami hanya melakukan tugas saja.
7. Kemudian dalam rangka menerapkan serta meningkatkan prinsip Good Corporate
Governance dalam dunia perbankan syariah, adakah masukan atau saran dari Anda
selaku anggota Dewan Pengawas Syariah ?
Jawab:
Tidak ada.
8. Adakah kesulitan atau hambatan dalam pelaksanaan Good Corporate Governance ?
Jawab:
Saya kira siapapun yang namanya hambatan selalu ada, jarang berjalan dengan mulus,
tetapi kami kira hambatan itu biasanya tidak pada hal-hal yang substantif sifatnya;
mungkin lebih kepada hal-hal yang bersifat teknis administratif mengingat faktor tempat
dan jalan. Ya mungkin ada juga dari faktor attitude, tetapi secara umum memang masih
memerlukan peningkatan untuk mencapai GCG yang lebih sesuai dengan yang
dikehendaki oleh peraturan itu sendiri.
9. Dalam isi PBI No. 11/33/PBI/2009. Apakah ada klausa-klausa yang memberatkan Dewan
Pengawas Syariah ?
Jawab:
Saya kira yang namanya latar belakang pasti semuanya beralasan, bagi saya tidak ada
hal-hal yang dianggap memberatkan. Apalagi ketika dihubungkan dengan cita-cita
kemajuan dan sukses Bank Syariah itu sendiri. Lebih-lebih jika penerapannya bersifat
fleksibel.
10. Dengan adanya PBI No.11/33/PBI/2009 adakah perbedaan yang Anda rasakan sebelum
dan sesudah berlakunya PBI tersebut dalam aktivitas Anda sehari-hari ?
Jawab:
Oh ya tentu ada. Kalau sebelumnya itu misalnya guidance nya belum ada yang jelas,
apalagi dalam bentuk tertulis; maka sekarang 5 prinsip itu telah benar-benar menjadi
acuan dan arah yang fokus. Dengan demikian, maka pasti ada manfaat yang lebih bagus
lagi. Tinggal mungkin pembiasaannya saja yang masih harus menunggu proses, kan tidak
ada sesuatu yang secepat kilat ? Tetapi, dibanding masa-masa lalu, saya kira kehadiran
GCG ini memberikan kerangka pikir, kerangka kerja dan kerangka arah yang lebih jelas.
11. Lalu bagaimana tanggapan Anda sebagai Dewan Pengawas Syariah dalam menyikapi
peraturan Good Corporate Governance seperti yang termaktub dalam PBI
No.11/33/PBI/2009 ?
Jawab:
Saya setuju dengan dikeluarkannya peraturan GCG ini.
Pedoman Wawancara
Nama : Drs. H. Aminudin Yakub, MA
Umur : 39 Tahun
Jabatan : DPS Bank Panin Syariah
Waktu : 31 Mei 2010 Pkl 13.06-13.35 WIB
Tempat Wawancara : Ruang dosen Lnt. 3 Gd. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1. Menurut Anda pribadi sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah, Good Corporate
Governance itu seperti apa ?
Jawab:
GCG itu adalah suatu peraturan Bank Indonesia yang ditujukan untuk meningkatkan atau
melahirkan perusahaan yang baik, yang disiplin dan patuh pada peraturan. Sesuai dengan
namanya sendiri GCG (Good Corporate Governance) yaitu menciptakan korporasi yang
baik dan bersih.
2. Apa saja tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah dalam praktek Good
Corporate Governance ?
Jawab:
Oh..iya. kalau kita di Bank Panin ketentuan-ketentuan GCG itu sangat dipatuhi mulai dari
ketentuan kehadiran, dalam GCG itu misalnya Dewan Pengawas Syariah patuh sekali
dalam sebulan itu mesti hadir, tetapi dalam realisasinya kita bisa hadir empat kali bahkan
lebih. Artinya rata-rata seminggu sekali tetapi kalau ada persoalan yang urgent bahkan
kita bisa seminggu dua kali. Kemudian masalah otoritas yang diberikan DPS, ada bank
yang misalkan DPS nya itu hanya simbol saja tetapi kalau kita tidak. Kita memang betul-
betul diskusi dengan direksi bahkan juga dengan komisaris bahkan juga dengan SKAI
(Satuan Komite Audit Internal) dan koordinasi kita sangat baik. Jadi ketentuan-ketentuan
GCG bagi DPS di Panin Syariah terpenuhi semua.
3. Bagaimana mekanisme pelaksanaan Good Corporate Governance dalam institusi yang
saat ini Anda awasi ?
Jawab:
Mekanisme GCG ya? Otoritas dari Dewan Pengawas Syariah itu adalah melakukan
pengawasan dan juga memberikan opini syariah atas produk dan aktivitas perbankan.
Nah terkait dengan produk, semua produk-produk yang dikeluarkan oleh Panin Syariah
itu semua melalui proses kajian dari Dewan Pengawas Syariah. Jadi sudah mendapatkan
opnini syariah sesuai dengan syariah dan fatwa Dewan Syariah Nasional. Mengenai
aktivitas, aktivitas dengan produk ini kan sebenarnya hampir mirip, kita punya hubungan
yang baik dengan SKAI untuk bisa mendapatkan informasi pelanggaran-pelanggaran
dalam menjalankan aktivitas perbankan. Kemudian melakukan pengawasan, melakukan
pengawasan termasuk di dalamnya adalah kita bekerja sama dengan direktur kepatuhan
dan selama ini manajemen dari Bank Panin itu sangat memperhatikan catatan-catatan
atau pendapat.
4. Dari beberapa referensi yang telah Saya dapatkan bahwa teori Good Corporate
Governance terdapat 5 prinsip umum. Apakah prinsip-prinsip tersebut telah mampu
mengakomodir seluruh praktek pengawasan dalam dunia perbankan sehingga aplikasi di
lapangan sesuai dengan prinsip umum dalam teori ?
Jawab:
Akuntabilitas, karena Bank Panin Syariah ini baru dan belum pesat, pengawasan
akuntabilitasnya masih maksimal. Transparency, kita juga mendapat supply data yang
memadai untuk pengawasan prinsip syariah. Kemudian responsibility bank juga tetap
bagus karena direksi maupun komisaris sangat memperhatikan catatan-catatan Dewan
Pengawas Syariah mengenai produk atau suatu aktivitas. Dalam fairness rangkap jabatan
tidak ada, direksinya independen, misalnya ada hubungan family antara komisaris dengan
direksi atau sebaliknya itu tidak ada. Saya kira cukup fairness dari sumber daya insaninya
ya. Insya Allah prinsip ini sudah mengakomodir seluruh praktek, mudah-mudahan ke
depannya bisa seperti sekarang dan yang terakhir DPS itu sangat independent.
5. Jika belum, adakah prinsip tambahan yang digunakan dalam sistem Good Corporate
Governance di lembaga yang saat ini Anda awasi ?
Jawab:
Tidak ada. Saya kira lima prinsip dasar ini menjadikan perusahaan ini yang Good
Corporate.
6. Apakah Good Corporate Governance menjadi solusi terbaik bagi tata kelola perbankan
di Indonesia ?
Jawab:
Yaa..sebuah peraturan tidak ada yang sempurna yah. Tetapi sebagai upaya untuk
melahirkan perbankan syariah yang pengelolaannya bersih dan baik. ya GCG sudah baik
hanya dulu memang pernah kita kritisi beberapa pasal itu kurang fair terhadap DPS.
Misalnya ketentuan bagi komisaris dengan DPS itu agak kurang berimbang antara hak
dan kewajibannya, tetapi yang saya dengar Bank Indonesia untuk menyeimbangkan itu
membuat aturan yang disebut surat edaran, jadi terkait dengan GCG ini. Mudah-mudahan
surat edaran itu juga bisa berjalan dengan baik.
7. Kemudian dalam rangka menerapkan serta meningkatkan prinsip Good Corporate
Governance dalam dunia perbankan syariah adakah masukan atau saran dari Anda selaku
anggota Dewan Pengawas Syariah ?
Jawab:
GCG sebuah upaya yang sangat baik tetapi ada pasal-pasal yang kurang berimbang
mestinya perlu disempurnakan lagi. Misalnya dalam DPS itu kewajibannya banyak tetapi
hak-haknya tidak banyak muncul. Komisaris bisa punya komite di bawah dia sebagai
kelengkapan komisaris sedangkan DPS tidak ada. Padahal kan sebetulnya dia punya
peran yang sama yaitu melakukan pengawasan meski wilayahnya berbeda. Oleh
karenanya DPS hanya berpegang pada lembaga-lembaga yang ada dalam bank itu. Kalau
seandainya DPS punya alat kelengkapan di bawahnya untuk melakukan pengawasan
juga, ya itu kan bagus. Jadi sekarang kerjanya ekstra sekali dan berat sekali.
8. Adakah kesulitan atau hambatan dalam pelaksanaan Good Corporate Governance ?
Jawab:
Sama seperti yang telah saya jelaskan tadi. Seharusnya kita punya staf, kita punya
sekretaris, minimal untuk membantu scheduling kita. Tetapi nanti katanya Panin akan
mengadakan sekretaris dan nanti terserah DPS nya mau mengangkat siapa begitu. Tetapi
karena sekarang mobilitasnya belum besar volumenya jadi untuk sementara belum, tetapi
nanti ke depannya akan ada.
9. Dalam isi PBI No. 11/33/PBI/2009. Apakah ada klausa-klausa yang memberatkan Dewan
Pengawas Syariah ?
Jawab:
Hmmm..saya lupa yah, tetapi ada juga klausul yang memberatkan dan kurang fair. Kalau
saya melihat ya itu tadi kewajiban DPS begitu besar sedangkan haknya tidak
dimunculkan di sana, jadi tidak ada perimbangan.
10. Dengan adanya PBI No.11/33/PBI/2009 adakah perbedaan yang Anda rasakan sebelum
dan sesudah berlakunya PBI tersebut dalam aktivitas Anda sehari-hari ?
Jawab:
Kalau saya kebetulan Panin itu lahir setelah terbitnya GCG ya, karena Panin kan baru
launch nya itu awal desember dan baru betul-betul aktif beberapa minggu setelah itu.
GCG itu kan diberlakukannya januari, jadi ketika desember itu kan memang baru
launching dan belum berjalan. Kita tidak bisa membedakan karena bersamaan antara
aktivitas pertama Panin dengan berlakunya GCG itu.
11. Lalu bagaimana tanggapan Anda sebagai Dewan Pengawas Syariah dalam menyikapi
peraturan Good Corporate Governance seperti yang termaktub dalam PBI
No.11/33/PBI/2009 ?
Jawab:
Dari sisi semangatnya saya setuju, segala sesuatu yang mengarah kepada kebaikan dan
peningkatan kualitas saya setuju. Hanya dulu kan GCG ini lahir kurang komprehensif
diskusinya, artinya BI jalan sendiri, ya memang sebetulnya ini kan otoritas BI tetapi kan
sebuah aturan itu kan harus dihimpun dan disaring dari banyak pemikiran dan pendapat.
Dulu itu GCG ini kurang komunikasi dengan Dewan Syariah Nasional, sehingga ada
pasal-pasal yang timpang tadi kan. Tetapi dari semangat melahirkan industri perbankan
yang sehat, yang bersih dan yang baik saya setuju.
Pedoman Wawancara
Nama : Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, MA
Umur : 49 Tahun
Jabatan : DPS Bank CIMB Niaga Syariah
Waktu : 11 Juni 2010 Pkl 16.16-16.28 WIB
Tempat Wawancara : Ruang Rektor Lnt. 2 Gd. STIE Ahmad Dahlan Jakarta
1. Menurut Anda pribadi sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah, Good Corporate
Governance itu seperti apa ?
Jawab:
Pada dasarnya GCG itu kan istilahnya Good Corporate Governance ya, jadi mengatur
tata kelola perbankan itu supaya sesuai dengan aturan. Karena itu harus dilihat
peningkatan kinerja atau performance dari lembaga. Sebenarnya GCG ini kan hanya
untuk DPS, Dewan Komisaris dan Direksi, sehingga nanti tidak terjadi apa yang disebut
dengan benturan kepentingan, kemudian tidak terjadi kekacauan dalam sebuah bank.
Dengan demikian, istilah yang paling gampang dipakai Good Corporate Governance
adalah aturan tata kelola supaya masing-masing tahu hak dan kewajibannya.
2. Apa saja tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah dalam praktek Good
Corporate Governance ?
Jawab:
Ya tentu berdasarkan posisi yang ada, tugas dan tanggung jawab dari DPS itu kan
pertama harus dipahami bahwa DPS itu adalah sebagai badan atau lembaga yang harus
mengawasi mulai dari pembuatan produk sampai kepada pelaksanaan dari produk itu.
Saya kira itu adalah seperti mengawasi ya. Yang kedua tentu harus melaksanakan apa
yang menjadi tugas utama sebagai shari’a compliance (kepatuhan kepada syariah).
3. Bagaimana mekanisme pelaksanaan Good Corporate Governance dalam institusi yang
saat ini Anda awasi ?
Jawab:
Kita sudah ada PBI dan sudah ada SEBI itu lebih mudah sebenarnya untuk mengatur
karena sudah diatur apa yang harus dilakukan mulai dari evaluasi yang disebut dengan
self assessment artinya menilai diri sendiri yang dinilai oleh Bank Indonesia. Kemudian
ada pelaporan-pelaporan yang berkaitan dengan kegiatan, tentu kegiatan yang dimaksud
berkaitan dengan tugas dan wewenang dari Dewan Pengawas Syariah.
4. Dari beberapa referensi yang telah Saya dapatkan bahwa teori Good Corporate
Governance terdapat 5 prinsip umum. Apakah prinsip-prinsip tersebut telah mampu
mengakomodir seluruh praktek pengawasan dalam dunia perbankan sehingga aplikasi di
lapangan sesuai dengan prinsip umum dalam teori ?
Jawab:
Tentu kalau bicara tranparansi kan itu artinya keterbukaan informasi ya, lebih kepada
proses pengambilan keputusan, misalnya kalau ketika bicara tentang produk dan dia
kewenangan DPS tentu harus diketahui siapa sih yang menciptakan produk itu, apakah
ini bertentangan dengan prinsip syariah atau tidak. Kemudian nanti akhirnya diterima
atau tidak, karena opini kan ada, sehingga nanti jadi lebih mudah mengontrol untuk
transparansi tetapi tetap harus ada akuntabilitas, tanggung jawab dan seterusnya. Saya
kira dari yang lima itu mestinya kan sesuai dengan prinsip GCG ya, nah itu sudah sesuai
dengan prinsip syariah, sehingga nanti tidak menimbulkan sesuatu yang tidak pada
tempatnya dan bahkan menimbulkan kegiatan yang bertentangan dengan prinsip syariah.
5. Jika belum, adakah prinsip tambahan yang digunakan dalam sistem Good Corporate
Governance di lembaga yang saat ini Anda awasi ?
Jawab:
Saya kira mungkin prinsip tambahannya itu adalah profesional. Ketika kita masuk ke
dalam proses sampling atau uji dari sebuah transaksi maka kita harus tahu metodologi
penelitian yang berkaitan dengan aspek itu.
6. Apakah Good Corporate Governance menjadi solusi terbaik bagi tata kelola perbankan
di Indonesia ?
Jawab:
Iya. Saya kira ini adalah bagian dari tanggung jawab BI untuk mengatur ya, karena jika
tidak diatur demikian maka itu akan menimbulkan problem. Dulu kan banyak bank yang
collapse karena salah satunya tidak transparan dan akuntabil. Nah sekarang sudah tidak
ada lagi, saya kira kalau semua dilakukan secara konsisten maka akan baik.
7. Kemudian dalam rangka menerapkan serta meningkatkan prinsip Good Corporate
Governance dalam dunia perbankan syariah adakah masukan atau saran dari Anda selaku
anggota Dewan Pengawas Syariah ?
Jawab:
Tentu pertama keterbukaan itu harus dipahami secara konsisten oleh stakeholder sebagai
pemangku kepentingan baik itu direksi, komisaris, pemegang saham, BI dan DSN. Ketika
bicara GCG maka pihak-pihak harus melaksanakan itu dengan penuh kepatuhan dan juga
dengan mempertimbangkan hak dan kewajiban.
8. Adakah kesulitan atau hambatan dalam pelaksanaan Good Corporate Governance ?
Jawab:
Aturan ini kan baru ya. Saya kira dalam pelaksanaannya kan GCG yang konvensionalnya
kan sudah lama ya. Oleh karena itu saya kira hambatan yang terjadi biasanya kalau di
unit syariah adalah temuan kerja kita itu belum tentu sepenuhnya mengetahui syariah.
Misalnya SKAI itu mungkin tidak sepenuhnya memahami konsep syariah, maka kita
harus memberikan informasi kepada mereka yang mana yang syariah.
9. Dalam isi PBI No. 11/33/PBI/2009. Apakah ada klausa-klausa yang memberatkan Dewan
Pengawas Syariah ?
Jawab:
Itu relatif ya. Hanya mungkin harus dibuat keseimbangan antara kewajiban yang harus
pada kita dan hak yang ada pada kita. Selama ini mungkin belum terlihat baik dalam PBI
maupun dalam SEBI. Kalau kewajibannya sudah sangat jelas tetapi hak-haknya belum
sepadan ya ketika dibandingkan dengan komisaris.
10. Dengan adanya PBI No.11/33/PBI/2009 adakah perbedaan yang Anda rasakan sebelum
dan sesudah berlakunya PBI tersebut dalam aktivitas Anda sehari-hari ?
Jawab:
Sepanjang yang saya tahu sepertinya tidak ada, karena sebelumnya pun sudah dilakukan.
Hanya mungkin sekarang lebih terstruktur karena memang ada aturan, kalau sebelumnya
memang kita melaporkan dan memeriksa adalah kewajiban kita. Tetapi mungkin
sekarang kita jadi lebih terarah atau terorganisasi.
11. Lalu bagaimana tanggapan Anda sebagai Dewan Pengawas Syariah dalam menyikapi
peraturan Good Corporate Governance seperti yang termaktub dalam PBI
No.11/33/PBI/2009 ?
Jawab:
Sebenarnya secara umum saya setuju ya, karena memang itu jadi bagian dari kita. Hanya
mungkin tadi harus ada keseimbangan antara kewajiban dan hak-haknya, karena
resikonya juga cukup tinggi ya. Jika tidak melaksanakan tugas akan dikenakan sanksi,
kemudian jika telah melaksanakan dengan baik maka akan diberi reward tetapi sampai
sekarang tidak jelas reward nya diformulasikan seperti apa.
Pedoman Wawancara
Nama : M. Gunawan Yasni, SE.Ak, MM, CIFA, FIIS
Umur : 41 Tahun
Jabatan : DPS BRI Syariah
Waktu : 26 Mei 2010 Pkl 10.45-11.29 WIB
Tempat Wawancara : Ruang DSN-MUI Lnt. 3 Gd. Majelis Ulama Indonesia
1. Menurut Anda pribadi sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah, Good Corporate
Governance itu seperti apa ?
Jawab:
Jadi khusus untuk Good Corporate Governance di Dewan Pengawas Syariah itu
sebenarnya adalah arahan atau aturan-aturan yang baku yang harus menjadi tugas utama
di Dewan Pengawas Syariah di bank syariah baik itu berbentuk bank umum syariah
ataupun unit usaha syariah yang menjadi tanggung jawab dia.
2. Apa saja tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah dalam praktek Good
Corporate Governance ?
Jawab:
Nah jadi kalau mau disampaikan secara ringkas apa tugas dan tanggung jawab Dewan
Pengawas Syariah itu yang pertama adalah memastikan seluruh aspek syariah itu berjalan
dengan baik, baik itu di bank umum syariah maupun unit usaha syariah. Nah tapi kan
kalau kemudian tidak dipilah-pilah memastikan seluruh aspek syariah berjalan baik dan
benar itu kan susah sekali, kita kan tidak mungkin masuk ke dalam pribadi-pribadi dari
pelaku atau bankir yang ada di bank syariah itu. Jadi yang dimaksud memastikan aspek
syariah itu semata-mata hanya berkaitan dengan DPS, yang berkaitan dengan itu adalah 3
hal. Pertama adalah produk, yang kedua adalah operation, dan yang ketiga adalah akad-
akad yang melekat pada produk-produk dan juga kepada operation itu. Dalam artian
seperti ini, kalau misalnya produk funding itu kan ada akad-akad tertentu yang kita
pergunakan, nah kita memastikan akadnya itu benar dan kemudian dalam konteks
funding nya itu penerapan produknya juga benar. Kemudian operation kan nanti
berkaitan dengan misalnya penghitungannya, bagaimana misalnya tabungan mudharabah
yang kemudian harus dihitung berapa yang menjadi bagian dari masing-masing
penabung. Bagi hasilnya itu dihitung dari saldo rata-rata harian selama 1 bulan misalkan
atau saldo rata-rata tertinggi dan terendah. Nah itu harus kita coba perhatikan apakah ada
yang bertentangan secara prinsip ga?
Kemudian untuk bisa memastikan ketiga hal itu kita harus punya tata kerja yaitu DPS
minimum harus bisa rapat satu kali sebulan. Kalau kami di BRI Syariah itu bahkan kita 2
kali sebulan itu harus stand by. Kalau saya itu dari hari ke hari stand by di BRI Syariah.
Terus tugas yang utama juga adalah 2 kali dalam setahun berarti semesteran harus
melakukan laporan DPS atas pemenuhan aspek syariah, seperti syariah audit yah.
3. Bagaimana mekanisme pelaksanaan Good Corporate Governance dalam institusi yang
saat ini Anda awasi ?
Jawab:
Kalau saya dari awal BRI Syariah berdiri, saya meminta kepada Board of Director agar
direktur yang membawahi compliance, biasanya direktur yang membawahi compliance
berbeda dengan direktur yang membawahi internal audit, jadi ada dua direktur yang
masing-masing beda. Nah saya minta dari awal satuan pengawas internal dan compliance
itu harus punya garis pelaporan dan juga garis tanggung jawab, menyampaikan apa-apa
yang sudah dia atur dan dia temukan. Contohnya: SPI menemukan tidak ada surat kuasa
dalam murabahah bil wakalah, jadi dia buat laporan kepada saya, dia menjadi kaki tangan
Dewan Pengawas Syariah dalam melakukan syariah audit itu sendiri, karena tidak
mungkin yang namanya Dewan Pengawas Syariah turun ke cabang-cabang langsung.
Kemudian terjadi nih kesalahan-kesalahan, maka kita bilang kepada compliance dibawah
direktur yang membawahi kepatuhan tadi ya, ini kan berarti teman-teman yang berada di
daerah misalkan tidak patuh, anda harus membuat aturan main dari kepatuhan terhadap
pembiayaan ataupun funding. Jadi SPI dan kepatuhan itu harus berkoordinasi dengan
Dewan Pengawas Syariah.
4. Dari beberapa referensi yang telah Saya dapatkan bahwa teori Good Corporate
Governance terdapat 5 prinsip umum. Apakah prinsip-prinsip tersebut telah mampu
mengakomodir seluruh praktek pengawasan dalam dunia perbankan sehingga aplikasi di
lapangan sesuai dengan prinsip umum dalam teori ?
Jawab:
Sebenarnya nilai-nilai itu adalah sangat universal, seperti transparency, accounttibility,
fairness, responsibility dan independency. Kalau nilai itu bisa berlaku secara universal
maka saya yakin nilai-nilai itu ada di syariah walaupun mungkin buktinya seperti
transparency itu kan kiasnya kira-kira kepada kejujuran, sifat jujur itu harus ada dan
harus bisa dilegitimasi dan diinstitusionalisasi ya kan. Nah caranya gimana? Yah..
laporan yang kita buat, sebelum itu menjadi sebuah laporan yang benar, temuan-
temuannya tentu kita diskusikan. Ooh.. ini ada kondisi kesalahan kita secara internal, apa
yang harus kita antisipasi ke depan. Jadi kalau menurut saya kelima prinsip umum ini
sudah sesuai dengan syariah sekali, tidak ada pertentangan. Sebenarnya lima prinsip
umum ini masuk ke dalam shiddiq, fathonah, amanah dan tabligh.
5. Jika belum, adakah prinsip tambahan yang digunakan dalam sistem Good Corporate
Governance di lembaga yang saat ini Anda awasi ?
Jawab:
Saya pikir mungkin ada satu hal, kalau bahasa inggrisnya itu adalah persistency. Kalau
bahasa indonesianya itu istiqomah. Jadi syariah itu perlu istiqomah karena lima prinsip
umum ini akan selalu mendapat penyesuaian dari logika manusia biasa, sementara nilai
istiqomah itu tidak hanya mengandalkan logika manusia, jadi kita berbuat istiqomah itu
harus ada unsur iman. Pembungkus nilai niat, perbuatan dan ikhlas adalah tawakal.
6. Apakah Good Corporate Governance menjadi solusi terbaik bagi tata kelola perbankan
di Indonesia ?
Jawab:
Jelas. Karena governance ini kan aturan pengawasan dan pelaksanaan. Kalau kita sudah
melaksanakan, kemudian kita mengawasi, sebelum melaksanakan juga kita awasi dulu.
Karena dengan GCG itu kita melakukan istilahnya pre supervisory action, kemudian on
going supervisory action, kemudian kita juga melakukan post supervisy action. Jadi
pengawasan yang secara berkesinambungan dari pelaksanaan yang kita lakukan.
7. Kemudian dalam rangka menerapkan serta meningkatkan prinsip Good Corporate
Governance dalam dunia perbankan syariah adakah masukan atau saran dari Anda selaku
anggota Dewan Pengawas Syariah ?
Jawab:
Masukkannya mungkin begini, selama ini posisi Dewan Pengawas Syariah itu lebih
diberdayakan sebagai seorang yang bisa memberikan konsultasi, jadi fungsi kita lebih
banyak ditentukan mungkin signifikannya itu justru lebih banyak dalam masalah
konsultasinya. Padahal DPS itu adalah shari’a supervisory board tugas utamanya adalah
mengawasi kemudian memberikan nasihat, tapi kenyataannya banyak bobot dari ke DPS
itu yang diukur dari signifikan dia dibidang konsultasinya. Padahal kita tahu di GCG ini
membatasi bahwa yang namanya DPS itu tidak boleh merangkap sebagai konsultan di
semua bank syariah. Dalam hal ini harus ada pertimbangan-pertimbangan khusus ya,
karena peraturan GCG ini membatasi kita menjadi orang yang bisa rahmatan lil ‘alamin.
8. Adakah kesulitan atau hambatan dalam pelaksanaan Good Corporate Governance ?
Jawab:
Jadi kesulitan atau hambatan dalam pelaksanaan GCG ini justru timbul dari aturan yang
begitu membatasinya, fungsi DPS hanya di bank tertentu yang dia ditugaskan jadi tidak
boleh lagi dia menjadi orang yang rahmatan lil ‘alamin. Nah itu buat saya agak susah
karena itu merupakan sebuah hambatan. Kalau kita-kita yang dulunya praktisi di bidang
keuangan, ilmu kita kan walaupun tidak sedalam para kiai ilmunya tetapi mungkin lebar
sekali scope dari hal-hal yang bisa kita jadikan bahan pertimbangan untuk kita sampaikan
kepada yang lain. Di AAOFI tidak ada pembatasan orang itu tidak boleh jadi advicer,
kalau kita menjabat sebagai DPS maka anda jangan coba-coba menjadi komisaris. Jadi
DPS dan komisaris itu dikotakkan. GCG ini dari sisi syariah membuat sebuah batasan
yang sangat rigid untuk seseorang berfungsi sebagai rahmatan lil ‘alamin.
9. Dalam isi PBI No. 11/33/PBI/2009. Apakah ada klausa-klausa yang memberatkan Dewan
Pengawas Syariah ?
Jawab:
Nah.. ini sekaligus sudah menjawab nih. Keberatan saya ya itu tidak boleh menjadi
advicer, karena berat untuk industri, begitu kita-kita ini ditugaskan menjadi DPS kita
tidak akan bisa memberi advice apapun yang di luar bank yang kita awasi.
10. Dengan adanya PBI No.11/33/PBI/2009 adakah perbedaan yang Anda rasakan sebelum
dan sesudah berlakunya PBI tersebut dalam aktivitas Anda sehari-hari ?
Jawab:
Perbedaanya kalau buat saya tidak terlampau banyak ya, lebih positif. Justru lebih teratur
dari segi internal meeting DPS sendiri, lebih ada mekanisme yang jelas bagaimana kalau
pengajuan-pengajuan opnini kepada DPS, lebih ada aturan yang jelas kalau ingin
menghasilkan report ke Bank Indonesia atau ke DSN itu lewat SPI seperti yang saya
bilang tadi. Menurut saya itu sudah bagus banget. Yang sebelumnya itu opini DPS
sepertinya antara perlu tidak perlu . Kalau sekarang sudah jelas, semua produk harus ada
opininya. Sebelum ada PBI ini rapat DPS tidak jelas bisa setahun sekali, kalau sekarang
akan dikenakan sanksi. Sekali dia sudah tidak dianggap fit dan proper sebagai DPS, itu
bisa selama 10 tahun tidak dapat menjabat di DPS manapun.
11. Lalu bagaimana tanggapan Anda sebagai Dewan Pengawas Syariah dalam menyikapi
peraturan Good Corporate Governance seperti yang termaktub dalam PBI
No.11/33/PBI/2009 ?
Jawab:
Setuju dengan catatan. Jadi perlu disempurnakan lagi mengenai DPS tidak boleh menjadi
konsultan di semua perbankan syariah itu. Saya menjadi DPS di BRI Syariah, kemudian
MayBank meminta advice dari saya, itu kan tidak bertabrakan dengan BRI karena
bidangnya sudah lain, garapan dana dari pihak ketiganya berbeda, itu tidak akan bisa saya
lakukan kecuali mereka mungkin meminta saya jadi DPS di sana, padahal itupun sudah
melampaui kewenangan sebagai seorang DPS. Mungkin beberapa di antara kita yang
merasa seperti ini.
Pedoman Wawancara
Nama : H. Ikhwan A. Basri, MA, M.Sc
Umur : 44 Tahun
Jabatan : DPS Bank Syariah Bukopin
Waktu : 1 Juni 2010 Pkl 11.05-11.30 WIB
Tempat Wawancara : Ruang Staf Ahli Direksi Lnt. 1 Gd. Perpustakaan LPPI-
Kemang
1. Menurut Anda pribadi sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah, Good Corporate
Governance itu seperti apa ?
Jawab:
Good Corporate Governance itu ya sebenarnya tata kelola lembaga secara baik, secara
professional sehingga nanti cara kerjanya bagus. Jadi semua yang bekerja di sana
mengerti tanggung jawab dan lingkup kerjanya sehingga semuanya bisa berjalan dengan
baik. Kemudian masing-masing mempunyai hak dan kewajiban dan masing-masing itu
bekerja bersama-sama untuk tujuan lembaga itu, sehingga tidak tumpang tindih dan
ketika terjadi masalah itu bisa diketahui letak kesalahannya.
2. Apa saja tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah dalam praktek Good
Corporate Governance ?
Jawab:
Tugas DPS itu yang pertama adalah mengawasi operasional bank syariah sesuai dengan
fatwa Dewan Syariah Nasional, itu yang paling utama. Jadi ketika operasional bank,
produk dan jasa-jasanya telah berjalan maka harus dilihat apakah itu sesuai dengan
semangat dari pada fatwa Dewan Syariah Nasional karena mereka tidak berharap untuk
mendapatkan sesuatu tetapi mereka hanya memastikan bahwa semua produk dan jasa
baik itu funding, financing, service dan operasional bank itu berjalan seirama dengan
fatwa Dewan Syariah Nasional. Di bukopin rapat diadakan sebulan dua kali, kadang-
kadang seminggu sekali jadi kalau menurut saya rata-rata setengah bulan ya.
3. Bagaimana mekanisme pelaksanaan Good Corporate Governance dalam institusi yang
saat ini Anda awasi ?
Jawab:
Mekanismenya itu kita kalau untuk operasional kan ada semacam SOP, ketika bank itu
hendak didirikan dia itu ada standard operating procedur yaitu adalah tata kerja yang
mereka akan lakukan ketika lembaga ini nanti berjalan, nah kita sebagai DPS turut
mengembangkan dan mengawasi apakah ketentuan-ketentuan yang ada di dalam SOP ini
bertentangan dengan syariah. Kemudian produk-produknya itu dilihat ketika dia mau
membuat produk tabungan wadiah, nah dilihat surat perjanjian dan akad-akadnya apakah
itu sudah sesuai dengan jiwa dan semangat dari akad wadiah itu sendiri yang tercantum di
dalam fatwa Dewan Syariah Nasional. Kalau ditemukan klausul ataupun kalimat-kalimat
yang bertentangan dengan fatwa, maka kita akan ubah. Jadi sebetulnya tugasnya itu
intense, terutama sekali ketika bank itu mau berjalan ya, jadi SOP nya kita pelototi,
awasi, lihat dan koreksi. Kemudian semua akad-akad yang ada baik itu akad untuk
funding dan financing tidak lepas dari pengawasan DPS, dan kalau itu ditemukan satu
kalimat atau dua kalimat sudah pasti DPS itu akan memberikan koreksi sampai tidak ada
kesalahan, tentu sesuai dengan kemampuan kita sebagai manusia. Dan kita itu
pengawasannya juga ada sifatnya itu semacam random sampling, ketika bank itu sudah
berjalan kita bikin sample apakah betul contoh-contoh akad yang sudah dilaksanakan itu
kita acak, setelah itu lihat dan pelototin lagi apakah betul yang dulu kita sepakati di awal
itu sama dengan yang dilaksanakan sekarang. Nah ternyata misalkan ditemukan ada
perbedaan dengan yang pertama atau masternya, maka kita koreksi.
4. Dari beberapa referensi yang telah Saya dapatkan bahwa teori Good Corporate
Governance terdapat 5 prinsip umum. Apakah prinsip-prinsip tersebut telah mampu
mengakomodir seluruh praktek pengawasan dalam dunia perbankan sehingga aplikasi di
lapangan sesuai dengan prinsip umum dalam teori ?
Jawab:
menurut saya transparansi itu amat bergantung pada agresilitas dari pada anggota DPS itu
sendiri kalau dia itu puas dengan pengawasan yang pertama yaitu ketika mau didirikan
SOP nya itu kan sudah diteliti, kemudian akad-akad pembiayaan dan funding semuanya
sudah diteliti dan dalam pandangan DPS itu tidak ada yang bertentangan tetapi ketika
dilaksanakan itu seperti yang tadi kita katakan ya kemungkinan terjadi ketidaksesuaian
antara master akad dengan temuannya, nah temuan yang seperti itu kadang bisa tidak
dilakukan kalau DPS nya itu kurang agresif. Nah kalau DPS nya agresif itu kan misalnya
dia minta data salah satu akad yang ada di medan, maka kalau tidak melakukan hal
seperti ini maka kesalahan tidak akan terdeteksi. Jadi gambaran transparansi dan pro aktif
dari anggota DPS. Memang itu semua belum sepenuhnya dilaksanakan, untuk
transparansi seperti itu saya kira belum memuaskan belum seratus persen. Katakanlah ada
lagi accountability sebagai tindak lanjut daripada transparansi tadi tetapi kan
akuntabilitas ini bukan kepada DPS tetapi dari pihak manajemen, jadi tidak seratus
persen kepada DPS tetapi itu bisa dari pihak yang lain.
5. Jika belum, adakah prinsip tambahan yang digunakan dalam sistem Good Corporate
Governance di lembaga yang saat ini Anda awasi ?
Jawab:
Sebenarnya kan prinsip lima yang tadi itu berlaku di konvensional juga. Prinsip itupun
kalau kita kerjakan dengan baik, itu sudah bagus. Jadi tidak ada prinsip tambahan.
6. Apakah Good Corporate Governance menjadi solusi terbaik bagi tata kelola perbankan
di Indonesia ?
Jawab:
Ya. GCG itu memang menjadi solusi terbaik karena kan sudah diterima secara
internasional.
7. Kemudian dalam rangka menerapkan serta meningkatkan prinsip Good Corporate
Governance dalam dunia perbankan syariah adakah masukan atau saran dari Anda selaku
anggota Dewan Pengawas Syariah ?
Jawab:
Kalau saya merasa bahwa lima prinsip yang ada ini sudah cukup. Yang penting
bagaimana itu diaplikasikan dengan baik, nanti jika sudah diaplikasikan dan ternyata
masih kurang atau tidak maksimal akhirnya baru kita tambahkan apa yang salah. Kita kan
belum melihat bagaimana itu diaplikasikan secara maksimal seratus persen. Jikalau nanti
sudah dilaksanakan dan tetap saja belum maksimal maka tentunya akan ditambah.
8. Adakah kesulitan atau hambatan dalam pelaksanaan Good Corporate Governance ?
Jawab:
Sebetulnya GCG itu kalau untuk lembaga yang satu yang memang kelompok kerjanya itu
satu badan atau satu tanggungan, DPS tidak masuk dalam manajemen. Istilahnya adalah
benda asing atau outsider karena situasinya seperti itu jadi dimungkinkan terjadi
penerapan kelima prinsip GCG itu menjadi tidak maksimal. Komisaris dan direksi itu kan
menyatu betul karena mereka satu kepala dan badan, nah kalau DPS itu kan sendiri bukan
termasuk organ itu.
9. Dalam isi PBI No. 11/33/PBI/2009. Apakah ada klausa-klausa yang memberatkan Dewan
Pengawas Syariah ?
Jawab:
Yaa.. sebenarnya memberatkan karena tugasnya itu begitu banyak sedangkan haknya
sedikit, jadi tugasnya berat. Kalau komisaris itu kan ada standar gajinya seperti apa, terus
tunjangannya juga seperti apa, sedangkan DPS kan tidak ada. Jadi yang ada hanya
pekerjaanya saja.
10. Dengan adanya PBI No.11/33/PBI/2009 adakah perbedaan yang Anda rasakan sebelum
dan sesudah berlakunya PBI tersebut dalam aktivitas Anda sehari-hari ?
Jawab:
Tidak ada. Karena memang waktu itu kita sudah melaksanakannya. Jadi sebelum ada
peraturan itu kita sudah melaksanakannya.
11. Lalu bagaimana tanggapan Anda sebagai Dewan Pengawas Syariah dalam menyikapi
peraturan Good Corporate Governance seperti yang termaktub dalam PBI
No.11/33/PBI/2009 ?
Jawab:
Sebetulnya setuju atau tidak setuju ya. Seharusnya DPS itu tidak perlu diatur seperti itu
ya, karena DPS itu sebetulnya kepanjangan dari Dewan Syariah Nasional jadi yang
mengatur harusnya Dewan Syariah Nasional. Saya kira BI harus melaksanakan
musyawarah kepada kita sebelum PBI ini dibuat tetapi ini malah dimusyawarahkan
setelah PBI dibuat.
Pedoman Wawancara
Nama : Kanny Hidaya, SE, MA
Umur : 44 Tahun
Jabatan : DPS Bank Mega Syariah
Waktu : 19 Mei 2010 Pkl 10.42-11.05 WIB
Tempat Wawancara : Ruang Rapat Lnt. 3 Gd. Majelis Ulama Indonesia
1. Menurut Anda pribadi sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah, Good Corporate
Governance itu seperti apa ?
Jawab :
GCG ini sudah ada pada PBI sebelumnya, cuma sekarang dirangkum pada satu aturan
yang memang ini dibuat untuk tata kelola usaha yang baik, dan memang beberapa juga
detail termasuk pengenaan sanksi terhadap DPS yang memang tidak mematuhi. Saya kira
GCG 11/33 ini adalah hal yang sangat baik, jadi memang lebih jelas pengawasannya apa,
kemudian dia juga harus ada kewajibannya apa dan haknya juga apa. Sampai DPS itu
mengerti kalau DPS itu punya tugas.
2. Apa saja tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah dalam praktek Good
Corporate Governance ?
Jawab :
Sebenarnya tugas dan tanggung jawab ini sudah ada dalam GCG 11/33 yaitu kewajiban
untuk rapat sebulan dua kali. Rapat DPS ini lebih sering dibandingkan rapat komisaris,
komisaris itu sebulan sekali jadi lebih berat DPS.
3. Bagaimana mekanisme pelaksanaan Good Corporate Governance dalam institusi yang
saat ini Anda awasi ?
Jawab :
GCG ini kan baru berlaku kemarin, jadi mulai ada acara rapat-rapat seperti itu. Mereka
harus sudah mulai membuat jadwal rapat dan mengikuti rapat sebulan dua kali. Sekarang
sudah mulai rapat seperti itu dari bulan april, maret belum bisa dilaksanakan. Mengenai
mekanismenya seperti apa saya tidak tahu.
4. Dari beberapa referensi yang telah Saya dapatkan bahwa teori Good Corporate
Governance terdapat 5 prinsip umum. Apakah prinsip-prinsip tersebut telah mampu
mengakomodir seluruh praktek pengawasan dalam dunia perbankan sehingga aplikasi di
lapangan sesuai dengan prinsip umum dalam teori ?
Jawab :
Apa prinsipnya coba? accountability, transparency, responsibility, fairness,
independency. Nah ini sebenarnya teori-teori yang sudah kita ketahui dari GCG ya.
Sebenarnya prinsip-prinsip seperti ini adalah prinsip-prinsip yang sudah melekat pada
aspek syariah. Ya prinsip syariah sudah mencakup aspek-aspek ini. GCG ini kan baru
diterapkan januari awal ya, 1 januari 2010. Dalam hal mengakomodir, sebenarnya para
DPS itu kalau secara prakteknya tidak terlalu mengerti dia.
5. Jika belum, adakah prinsip tambahan yang digunakan dalam sistem Good Corporate
Governance di lembaga yang saat ini Anda awasi ?
Jawab :
Saya kira sudah cukup ya, karena fungsi ini semua sudah cukup memadai.
6. Apakah Good Corporate Governance menjadi solusi terbaik bagi tata kelola perbankan
di Indonesia ?
Jawab :
Saya kira menuju ke arah yang baik. Sekarang ini kan sudah diterapkan per 1 januari
2010, kemudian ini tidak bisa dilaksanakan karena tidak ada surat edarannya karena SE
itu sebagai juklak, jadi tidak mungkin melaksanakan PBI 11/33 ini tidak ada juklaknya.
Kalau memang dilaksanakan ya harus ada juklaknya, karena ada beberapa hal dalam
pasal-pasal PBI ini banyak yang minta diklarifikasi lagi. Misalnya masalah independency
kalau konsultan dilarang menjadi DPS, dalam hal konsultan ini ada yang tidak jelas
dalam bidang apa konsultan tersebut bekerja. Apakah dia konsultan keuangan atau
konsultan pajak atau lain sebagainya.
7. Kemudian dalam rangka menerapkan serta meningkatkan prinsip Good Corporate
Governance dalam dunia perbankan syariah adakah masukan atau saran dari Anda selaku
anggota Dewan Pengawas Syariah ?
Jawab :
Saya kira GCG ini harus dimasyarakatkan agar lebih tahu bagaimana fungsi GCG
tersebut.
8. Adakah kesulitan atau hambatan dalam pelaksanaan Good Corporate Governance ?
Jawab :
Kalau kita membuat organisasinya yah. Ada komisaris dan direksi, Kalau saya lihat
kadang-kadang kita itu dikaitkan sejajar dengan komisaris yang berfungsi mengawasi
direksi. Yang lucunya secara struktur DPS kan termasuk dalam bagan organisasi nih tapi
secara kenyataannya kadang-kadang DPS itu kalau di bank seperti orang asing. Jadi tidak
bisa sembarangan datang karena saya juga bingung ketika datang ke sana ingin
melakukan apa. Di Mega dulu saya masih sering ke sana, sekarang sudah jarang karena
saya sudah tidak punya ruangan. Justru sekarang saya lebih sering ke bank DKI karena di
sana saya punya ruangan. Sebenarnya para lembaga harus menyediakan ruang dan
perangkat bagi DPS. DPS itu terus terang dia tidak bisa bekerja sendiri makanya kalau
kamu lihat Standar Internasional DPS itu bukan badan yang berdiri sendiri karena dia
bukan bagian dari internal organisasi, secara struktur memang dia masuk tetapi
sebenarnya menjadi outsider. Saya bilang outsider karena itu termasuk orang luar maka
dia harus didampingi oleh orang dalam atau fungsi lain. Tetapi semuanya itu terkendala
dengan biaya juga.
9. Dalam isi PBI No. 11/33/PBI/2009. Apakah ada klausa-klausa yang memberatkan Dewan
Pengawas Syariah ?
Jawab :
Sebenarnya tidak, karena ini kan masuk ke dalam tata kelola yang baik. Karena
sebenarnya kalau DPS itu ditugaskan dia siap.
10. Dengan adanya PBI No.11/33/PBI/2009 adakah perbedaan yang Anda rasakan sebelum
dan sesudah berlakunya PBI tersebut dalam aktivitas Anda sehari-hari ?
Jawab :
Ada. Menurut kamu efektivitas GCG itu dilihat dari mana, ada tidak report nya ? ya ada
laporannya dan yang membuat laporan adalah bank. Tetapi karena peraturan ini baru
dilaksanakan jadi belum ada report nya, sedangkan laporannya dibuat pada setiap akhir
tahun buku. Nah seperti apa bentuk laporannya kita tidak tahu, karena ini belum pernah
terjadi.
11. Lalu bagaimana tanggapan Anda sebagai Dewan Pengawas Syariah dalam menyikapi
peraturan Good Corporate Governance seperti yang termaktub dalam PBI
No.11/33/PBI/2009 ?
Jawab :
Tanggapan saya ya biasa-biasa saja. Tidak ada apa-apa.
Pedoman Wawancara
Nama : Prof. DR. H. Muardi Chatib
Umur : 81 Tahun
Jabatan : DPS Bank Muamalat Indonesia
Waktu : 31 Mei 2010 Pkl 14.08-14.36 WIB
Tempat Wawancara : Komplek Perumahan Dosen UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta No. 17
1. Menurut Anda pribadi sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah, Good Corporate
Governance itu seperti apa ?
Jawab:
Good Corporate Governance itu adalah tata kelola perusahaan yang baik. Bagaimanapun
juga DPS itu kan kepanjangan tangan DSN, nah mereka konsisten dengan itu, jadi sudah
bagus karena kalau mereka tidak konsisten maka mereka sudah berhenti. Setiap DPS itu
harus menaati itu kalau tidak, akan diberhentikan oleh DSN. Intinya setiap anggota DPS
harus melakukan itu dengan baik, jadi tata kelola perusahaan itu harus dilaksanakan
dengan baik, jangan ada penipuan.
2. Apa saja tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah dalam praktek Good
Corporate Governance ?
Jawab:
Jadi pelaksanaan kerjanya ya sesuai dengan yang digariskan oleh DSN, tidak ada yang di
luar itu.
3. Bagaimana mekanisme pelaksanaan Good Corporate Governance dalam institusi yang
saat ini Anda awasi ?
Jawab:
Yaa..kita kan diadakan rapat rutin setiap sebulan sekali tetapi kalau lagi ada masalah tiap
minggu bisa diadakan rapat. Jadi tergantung berapa banyak masalah yang kita hadapi.
4. Dari beberapa referensi yang telah Saya dapatkan bahwa teori Good Corporate
Governance terdapat 5 prinsip umum. Apakah prinsip-prinsip tersebut telah mampu
mengakomodir seluruh praktek pengawasan dalam dunia perbankan sehingga aplikasi di
lapangan sesuai dengan prinsip umum dalam teori ?
Jawab:
Ya, sudah terakomodir dengan baik karena ketua DPS di Bank Muamalat kan jadi ketua
DSN juga, jadi semuanya sudah berjalan dengan baik karena ketuanya sendiri ada di
sana.
5. Jika belum, adakah prinsip tambahan yang digunakan dalam sistem Good Corporate
Governance di lembaga yang saat ini Anda awasi ?
Jawab:
Yaa..secara tertulis sih tidak ada tetapi secara pelaksanaan ada. Misalnya dalam makan
kita jangan mubazir, jadi tidak boleh ada sisa. Kemudian setiap kru Bank Muamalat itu
kan harus pakai peci, sedangkan di bank lain kan tidak ada. Jadi ada praktek pengamalan
syariat di luar fatwa DSN.
6. Apakah Good Corporate Governance menjadi solusi terbaik bagi tata kelola perbankan
di Indonesia ?
Jawab:
Kalau menurut saya standar ukuran seperti itu sudah menjadi solusi terbaik.
7. Kemudian dalam rangka menerapkan serta meningkatkan prinsip Good Corporate
Governance dalam dunia perbankan syariah adakah masukan atau saran dari Anda selaku
anggota Dewan Pengawas Syariah ?
Jawab:
Kalau dalam meningkatkan GCG saya kira itu sudah ada aturan dan sanksinya ya. Saran
saya hendaknya semua bank syariah itu melaksanakan aturan DSN secara sempurna.
8. Adakah kesulitan atau hambatan dalam pelaksanaan Good Corporate Governance ?
Jawab:
Saya kira tidak ada. Sebab kalau ada masalah sebelum dibawa ke rapat harus sudah
diselesaikan oleh DPS terlebih dahulu. Jadi sebelum terjadi masalah sudah kita bicarakan
dan kita selesaikan.
9. Dalam isi PBI No. 11/33/PBI/2009. Apakah ada klausa-klausa yang memberatkan Dewan
Pengawas Syariah ?
Jawab:
Saya kira di antaranya adalah tanggung jawab DPS yang sangat besar, malah kalau
sekarang DPS juga harus mengamati kegiatan yang punya bank yaitu komisaris.
Tanggung jawab kita sangat besar sedangkan waktu yang kita miliki kecil atau terbatas,
kemudian standar uang yang diberikan kepada kita juga kecil karena DPS bukan pegawai
bank tetapi lembaga independent.
10. Dengan adanya PBI No.11/33/PBI/2009 adakah perbedaan yang Anda rasakan sebelum
dan sesudah berlakunya PBI tersebut dalam aktivitas Anda sehari-hari ?
Jawab:
Kita tidak merasakan adanya perubahan karena dari dulu Bank Muamalat memang sudah
menerapkan sistem seperti ini.
11. Lalu bagaimana tanggapan Anda sebagai Dewan Pengawas Syariah dalam menyikapi
peraturan Good Corporate Governance seperti yang termaktub dalam PBI
No.11/33/PBI/2009 ?
Jawab:
Saya setuju. Bagaimanapun juga itu sudah menjadi sebuah peraturan tetapi dalam
peraturan juga harus ada kebijaksanaan tergantung pada situasinya. Kalau di pusat saya
setuju diterapkan peraturan seperti itu, tapi kalau di daerah SDM nya kan belum
memadai, jadi saya kurang setuju. Jika hal ini diterapkan di daerah, yang ada bank akan
bubar.
80
Pedoman Wawancara
Nama :
Umur :
Jabatan :
Waktu :
Tempat Wawancara :
1. Menurut Anda pribadi sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah, Good Corporate
Governance itu seperti apa ?
2. Apa saja tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah dalam praktek Good
Corporate Governance ?
3. Bagaimana mekanisme pelaksanaan Good Corporate Governance dalam institusi yang
saat ini Anda awasi ?
4. Dari beberapa referensi yang telah Saya dapatkan bahwa teori Good Corporate
Governance terdapat 5 prinsip umum. Apakah prinsip-prinsip tersebut telah mampu
mengakomodir seluruh praktek pengawasan dalam dunia perbankan sehingga aplikasi di
lapangan sesuai dengan prinsip umum dalam teori ?
5. Jika belum, adakah prinsip tambahan yang digunakan dalam sistem Good Corporate
Governance di lembaga yang saat ini Anda awasi ?
6. Apakah Good Corporate Governance menjadi solusi terbaik bagi tata kelola perbankan
di Indonesia ?
80
81
7. Kemudian dalam rangka menerapkan serta meningkatkan prinsip Good Corporate
Governance dalam dunia perbankan syariah adakah masukan atau saran dari Anda selaku
anggota Dewan Pengawas Syariah ?
8. Adakah kesulitan atau hambatan dalam pelaksanaan Good Corporate Governance ?
9. Dalam isi PBI No. 11/33/PBI/2009. Apakah ada klausa-klausa yang memberatkan Dewan
Pengawas Syariah ?
10. Dengan adanya PBI No.11/33/PBI/2009 adakah perbedaan yang Anda rasakan sebelum
dan sesudah berlakunya PBI tersebut dalam aktivitas Anda sehari-hari ?
11. Lalu bagaimana tanggapan Anda sebagai Dewan Pengawas Syariah dalam menyikapi
peraturan Good Corporate Governance seperti yang termaktub dalam PBI
No.11/33/PBI/2009 ?
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 11/ 33 /PBI/2009
TENTANG
PELAKSANAAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE
BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam rangka membangun industri perbankan syariah yang
sehat dan tangguh, diperlukan pelaksanaan Good Corporate
Governance bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah yang
efektif;
b. bahwa pelaksanaan Good Corporate Governance di dalam
industri perbankan syariah harus memenuhi prinsip syariah
(sharia compliance);
c. bahwa pelaksanaan Good Corporate Governance merupakan
salah satu upaya untuk melindungi kepentingan stakeholders dan
meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan
yang berlaku serta nilai-nilai etika yang berlaku secara umum
pada industri perbankan syariah;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
huruf a, huruf b dan huruf c dipandang perlu untuk menetapkan
Peraturan Bank Indonesia tentang Pelaksanaan Good Corporate
Governance Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah;
Mengingat ...
- 2 -
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4756);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4867);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PELAKSANAAN
GOOD CORPORATE GOVERNANCE BAGI BANK UMUM
SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH.
BAB I ...
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah dari
Bank Umum Konvensional termasuk Unit Usaha Syariah dari
kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri;
2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disebut BUS adalah Bank
Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu
lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah;
3. Bank Umum Konvensional adalah Bank Konvensional yang
dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah;
4. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit
kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi
sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di
kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri
yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang
berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu
syariah dan/atau unit syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah;
5. Prinsip ...
- 4 -
5. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam di bidang perbankan
syariah yang tertuang dalam bentuk fatwa Dewan Syariah
Nasional – Majelis Ulama Indonesia;
6. Dewan Komisaris adalah organ perseroan yang bertugas
melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai
dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas;
7. Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung
jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan
perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta
mewakili perseroan, baik di dalam dan di luar pengadilan sesuai
dengan ketentuan anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas;
8. Direktur UUS adalah direktur Bank Umum Konvensional atau
pimpinan kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di
luar negeri yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas
pengurusan UUS;
9. Komisaris Independen adalah anggota Dewan Komisaris yang
tidak memiliki:
a. hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham
dan/atau hubungan keluarga dengan pemegang saham
pengendali, anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota
Direksi; atau
b. hubungan keuangan dan/atau hubungan kepemilikan saham
dengan Bank,
sehingga ...
- 5 -
sehingga dapat mendukung kemampuannya untuk bertindak
independen;
10. Good Corporate Governance, yang selanjutnya disebut GCG,
adalah suatu tata kelola Bank yang menerapkan prinsip-prinsip
keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability),
pertanggungjawaban (responsibility), profesional (professional),
dan kewajaran (fairness);
11. Stakeholders adalah seluruh pihak yang memiliki kepentingan
secara langsung atau tidak langsung terhadap kegiatan usaha dan
kelangsungan usaha Bank;
12. Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang bertugas
memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi
kegiatan Bank agar sesuai dengan Prinsip Syariah; dan
13. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang bertanggung jawab
langsung kepada Direksi dan/atau mempunyai pengaruh terhadap
kebijakan dan operasional Bank seperti kepala divisi atau
pemimpin kantor cabang.
Pasal 2
(1) Bank wajib melaksanakan GCG dalam setiap kegiatan usahanya
pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi.
(2) Pelaksanaan GCG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi BUS
paling kurang harus diwujudkan dalam:
a. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris dan
Direksi;
b. kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite-komite dan fungsi
yang menjalankan pengendalian intern BUS;
c. pelaksanaan ...
- 6 -
c. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas
Syariah;
d. penerapan fungsi kepatuhan, audit intern dan audit ekstern;
e. batas maksimum penyaluran dana; dan
f. transparansi kondisi keuangan dan non keuangan BUS.
(3) Pelaksanaan GCG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi UUS
paling kurang harus diwujudkan dalam:
a. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direktur UUS;
b. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas
Syariah;
c. penyaluran dana kepada nasabah pembiayaan inti dan
penyimpanan dana oleh deposan inti; dan
d. transparansi kondisi keuangan dan non keuangan UUS.
Pasal 3
Bank Indonesia melakukan penilaian terhadap pelaksanaan GCG
Bank.
BAB II ...
- 7 -
BAB II
BANK UMUM SYARIAH
Bagian Pertama
Dewan Komisaris
Paragraf 1
Persyaratan Dewan Komisaris
Pasal 4
Jumlah, komposisi, kriteria, rangkap jabatan, hubungan keluarga, dan
persyaratan lain bagi anggota Dewan Komisaris tunduk kepada
ketentuan Bank Indonesia terkait.
Pasal 5
(1) Mantan anggota Direksi BUS tidak dapat menjadi Komisaris
Independen pada BUS yang bersangkutan sebelum menjalani
masa tunggu (cooling off) paling kurang selama 6 (enam) bulan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi
mantan Direksi BUS yang melakukan fungsi pengawasan.
Pasal 6
(1) Usulan pengangkatan dan/atau penggantian anggota Dewan
Komisaris kepada Rapat Umum Pemegang Saham dilakukan
dengan memperhatikan rekomendasi Komite Remunerasi dan
Nominasi.
(2) Dalam hal anggota Komite Remunerasi dan Nominasi memiliki
benturan kepentingan (conflict of interest) dengan usulan yang
direkomendasikan, maka dalam usulan tersebut wajib
diungkapkan ...
- 8 -
diungkapkan adanya benturan kepentingan serta pertimbangan-
pertimbangan yang mendasari usulan tersebut.
Paragraf 2
Tugas dan Tanggung Jawab Dewan Komisaris
Pasal 7
Dewan Komisaris wajib melaksanakan tugas dan tanggung jawab
sesuai dengan prinsip-prinsip GCG.
Pasal 8
(1) Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan atas
terselenggaranya pelaksanaan GCG dalam setiap kegiatan usaha
BUS pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2).
(2) Dewan Komisaris wajib melaksanakan pengawasan terhadap
pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi, serta memberikan
nasihat kepada Direksi.
(3) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Dewan Komisaris wajib memantau dan mengevaluasi
pelaksanaan kebijakan strategis BUS.
(4) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Dewan Komisaris dilarang terlibat dalam pengambilan
keputusan kegiatan operasional BUS, kecuali pengambilan
keputusan untuk pemberian pembiayaan kepada Direksi sepanjang
kewenangan Dewan Komisaris tersebut ditetapkan dalam
Anggaran Dasar BUS atau dalam Rapat Umum Pemegang Saham.
Pasal 9 ...
- 9 -
Pasal 9
Dewan Komisaris wajib memastikan bahwa Direksi telah
menindaklanjuti temuan audit dan/atau rekomendasi dari hasil
pengawasan Bank Indonesia, auditor intern, Dewan Pengawas Syariah
dan/atau auditor ekstern.
Pasal 10
Dewan Komisaris wajib memberitahukan secara tertulis kepada Bank
Indonesia paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditemukannya:
a. pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang keuangan
dan perbankan; dan
b. suatu kondisi yang dapat membahayakan kelangsungan usaha
BUS.
Pasal 11
(1) Dalam rangka mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan
tanggung jawabnya, Dewan Komisaris wajib membentuk paling
kurang:
a. Komite Pemantau Risiko;
b. Komite Remunerasi dan Nominasi; dan
c. Komite Audit.
(2) Pengangkatan anggota komite sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan oleh Direksi berdasarkan keputusan rapat Dewan
Komisaris.
(3) Dewan Komisaris wajib memastikan bahwa komite yang telah
dibentuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjalankan
tugasnya secara efektif.
(4) Dewan ...
- 10 -
(4) Dewan Komisaris wajib memiliki pedoman dan tata tertib kerja
setiap komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Pedoman dan tata tertib kerja komite sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) harus dievaluasi dan dilakukan pengkinian secara berkala.
Pasal 12
(1) Dewan Komisaris wajib memiliki pedoman dan tata tertib kerja
yang bersifat mengikat bagi setiap anggota Dewan Komisaris.
(2) Pedoman dan tata tertib kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling kurang mencantumkan:
a. waktu kerja; dan
b. pengaturan rapat.
Pasal 13
Anggota Dewan Komisaris wajib menyediakan waktu yang cukup
untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara optimal.
Paragraf 3
Rapat Dewan Komisaris
Pasal 14
(1) Rapat Dewan Komisaris wajib diselenggarakan paling kurang 1
(satu) kali dalam 2 (dua) bulan.
(2) Rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dihadiri paling kurang oleh 2/3 (dua per tiga) dari jumlah
anggota Dewan Komisaris.
(3) Rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dipimpin oleh Komisaris Utama.
(4) Dalam ...
- 11 -
(4) Dalam hal Komisaris Utama berhalangan hadir maka rapat Dewan
Komisaris dapat dipimpin oleh salah seorang anggota Dewan
Komisaris.
Pasal 15
(1) Seluruh keputusan Dewan Komisaris yang dituangkan dalam
risalah rapat merupakan keputusan bersama seluruh anggota
Dewan Komisaris.
(2) Hasil rapat Dewan Komisaris wajib dituangkan dalam risalah
rapat dan didokumentasikan dengan baik.
(3) Dalam hal terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinions) atas
hasil keputusan rapat Dewan Komisaris, maka perbedaan
pendapat tersebut wajib dicantumkan secara jelas dalam risalah
rapat beserta alasannya.
Paragraf 4
Aspek Transparansi Dewan Komisaris
Pasal 16
Anggota Dewan Komisaris wajib mengungkapkan:
a. kepemilikan saham yang mencapai 5% (lima persen) atau lebih
pada BUS yang bersangkutan;
b. hubungan keuangan dan hubungan keluarga dengan pemegang
saham pengendali, anggota Dewan Komisaris lain dan/atau
anggota Direksi;
c. rangkap jabatan pada perusahaan atau lembaga lain,
dalam laporan pelaksanaan GCG sebagaimana diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia ini.
Pasal 17 ...
- 12 -
Pasal 17
(1) Anggota Dewan Komisaris dilarang memanfaatkan BUS untuk
kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain yang dapat
mengurangi aset atau mengurangi keuntungan BUS.
(2) Anggota Dewan Komisaris dilarang mengambil dan/atau
menerima keuntungan pribadi dari BUS selain remunerasi dan
fasilitas lainnya yang ditetapkan Rapat Umum Pemegang Saham.
(3) Anggota Dewan Komisaris wajib mengungkapkan remunerasi dan
fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada laporan
pelaksanaan GCG sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia ini.
Bagian Kedua
Direksi
Paragraf 1
Persyaratan Direksi
Pasal 18
Jumlah, kriteria, rangkap jabatan, hubungan keluarga dan persyaratan
lain bagi anggota Direksi tunduk kepada ketentuan Bank Indonesia
terkait.
Pasal 19
Usulan pengangkatan dan/atau penggantian anggota Direksi kepada
Rapat Umum Pemegang Saham, dilakukan dengan memperhatikan
rekomendasi Komite Remunerasi dan Nominasi.
Paragraf 2 ...
- 13 -
Paragraf 2
Tugas dan Tanggung Jawab Direksi
Pasal 20
(1) Direksi bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan pengelolaan
BUS berdasarkan prinsip kehati-hatian dan Prinsip Syariah.
(2) Direksi wajib mengelola BUS sesuai dengan kewenangan dan
tanggung jawabnya sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar
BUS dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 21
Direksi wajib melaksanakan GCG dalam setiap kegiatan usaha BUS
pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 22
Direksi wajib menindaklanjuti temuan audit dan/atau rekomendasi
dari hasil pengawasan Bank Indonesia, auditor intern, Dewan
Pengawas Syariah dan/atau auditor ekstern.
Pasal 23
Dalam rangka melaksanakan GCG sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21, Direksi wajib memiliki fungsi paling kurang:
a. Audit Intern;
b. Manajemen Risiko dan Komite Manajemen Risiko; dan
c. Kepatuhan.
Pasal 24 ...
- 14 -
Pasal 24
Direksi wajib mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya
kepada pemegang saham melalui Rapat Umum Pemegang Saham.
Pasal 25
Direksi harus mengungkapkan kepada pegawai kebijakan BUS yang
bersifat strategis di bidang kepegawaian.
Pasal 26
Anggota Direksi dilarang memberikan kuasa umum kepada pihak lain
yang mengakibatkan pengalihan tugas dan fungsi Direksi.
Pasal 27
Direksi hanya dapat menggunakan jasa konsultan, penasihat, atau
yang dapat dipersamakan dengan itu sepanjang memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. proyek bersifat khusus yang sangat diperlukan untuk kegiatan
usaha BUS;
b. didasari oleh kontrak yang jelas, yang sekurang-kurangnya
mencakup tujuan, ruang lingkup kerja, tanggung jawab, jangka
waktu pelaksanaan pekerjaan dan biaya; dan
c. konsultan merupakan pihak independen yang profesional dan
memiliki kualifikasi yang cukup untuk melaksanakan proyek
secara efektif dan efisien.
Pasal 28 ...
- 15 -
Pasal 28
Direksi wajib menyediakan data dan informasi yang akurat, relevan
dan tepat waktu kepada Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas
Syariah.
Pasal 29
(1) Setiap anggota Direksi wajib memiliki kejelasan tugas dan
tanggung jawab sesuai dengan bidang tugasnya.
(2) Direksi wajib memiliki pedoman dan tata tertib kerja yang bersifat
mengikat bagi setiap anggota Direksi.
(3) Pedoman dan tata tertib kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) paling kurang mencantumkan:
a. waktu kerja; dan
b. pengaturan rapat.
Pasal 30
Setiap keputusan Direksi bersifat mengikat dan menjadi tanggung
jawab seluruh anggota Direksi.
Paragraf 3
Rapat Direksi
Pasal 31
(1) Setiap kebijakan dan keputusan strategis wajib diputuskan melalui
rapat Direksi.
(2) Hasil rapat Direksi wajib dituangkan dalam risalah rapat dan
didokumentasikan dengan baik.
(3) Dalam ...
- 16 -
(3) Dalam hal terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinions) atas
hasil keputusan rapat Direksi, maka perbedaan pendapat tersebut
wajib dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat beserta
alasannya.
Paragraf 4
Aspek Transparansi Direksi
Pasal 32
Anggota Direksi wajib mengungkapkan:
a. kepemilikan saham yang mencapai 5% (lima persen) atau lebih,
baik pada BUS yang bersangkutan maupun pada bank dan
perusahaan lain, yang berkedudukan di dalam dan di luar negeri;
b. hubungan keuangan dan hubungan keluarga dengan pemegang
saham pengendali, anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota
Direksi lainnya,
dalam laporan pelaksanaan GCG sebagaimana diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia ini.
Pasal 33
(1) Anggota Direksi dilarang memanfaatkan BUS untuk kepentingan
pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain yang dapat mengurangi aset
atau mengurangi keuntungan BUS.
(2) Anggota Direksi dilarang mengambil dan/atau menerima
keuntungan pribadi dari BUS, selain remunerasi dan fasilitas
lainnya yang ditetapkan Rapat Umum Pemegang Saham.
(3) Anggota ...
- 17 -
(3) Anggota Direksi wajib mengungkapkan remunerasi dan fasilitas
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada laporan pelaksanaan
GCG sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Bagian Ketiga
Komite-Komite
Paragraf 1
Struktur dan Keanggotaan Komite
Pasal 34
(1) Anggota Komite Pemantau Risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1) huruf a paling kurang terdiri dari:
a. seorang Komisaris Independen;
b. seorang pihak independen yang memiliki keahlian di bidang
perbankan syariah; dan
c. seorang pihak independen yang memiliki keahlian di bidang
manajemen risiko.
(2) Anggota Komite Pemantau Risiko sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib memiliki integritas dan reputasi keuangan yang
baik.
(3) Komite Pemantau Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diketuai oleh Komisaris Independen.
(4) Anggota Direksi dilarang menjadi anggota Komite Pemantau
Risiko.
(5) Mayoritas anggota Komisaris yang menjadi anggota Komite
Pemantau Risiko harus merupakan Komisaris Independen.
Pasal 35 ...
- 18 -
Pasal 35
(1) Anggota Komite Remunerasi dan Nominasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b paling kurang terdiri
dari:
a. 2 (dua) orang Komisaris Independen; dan
b. seorang Pejabat Eksekutif yang membawahi sumber daya
manusia.
(2) Komite Remunerasi dan Nominasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diketuai oleh Komisaris Independen.
(3) Anggota Direksi dilarang menjadi anggota Komite Remunerasi
dan Nominasi.
(4) Mayoritas anggota Komisaris yang menjadi anggota Komite
Remunerasi dan Nominasi harus merupakan Komisaris
Independen.
Pasal 36
(1) Anggota Komite Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (1) huruf c paling kurang terdiri dari:
a. seorang Komisaris Independen;
b. seorang pihak independen yang memiliki keahlian di bidang
akuntansi keuangan; dan
c. seorang pihak independen yang memiliki keahlian di bidang
perbankan syariah.
(2) Anggota Komite Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib memiliki integritas dan reputasi keuangan yang baik.
(3) Komite Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketuai oleh
Komisaris Independen.
(4) Anggota ...
- 19 -
(4) Anggota Direksi dilarang menjadi anggota Komite Audit.
(5) Mayoritas anggota Komisaris yang menjadi anggota Komite Audit
harus merupakan Komisaris Independen.
Pasal 37
(1) Mantan anggota Direksi BUS tidak dapat menjadi pihak
independen sebagaimana dimaksud pada Pasal 34 ayat (1) huruf b
dan huruf c serta Pasal 36 ayat (1) huruf b dan huruf c pada BUS
yang bersangkutan sebelum menjalani masa tunggu (cooling off)
paling kurang selama 6 (enam) bulan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi
mantan Direksi BUS yang melakukan fungsi pengawasan.
Paragraf 2
Jabatan Rangkap Ketua Komite
Pasal 38
Ketua komite sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3), Pasal
35 ayat (2) dan Pasal 36 ayat (3) hanya dapat merangkap jabatan
sebagai ketua komite paling banyak pada 1 (satu) komite lainnya pada
BUS yang sama.
Paragraf 3
Tugas dan Tanggung Jawab Komite
Pasal 39
Komite Pemantau Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(1) huruf a mempunyai tugas dan tanggung jawab paling kurang:
a. melakukan evaluasi tentang kebijakan manajemen risiko;
b. melakukan ...
- 20 -
b. melakukan evaluasi tentang kesesuaian antara kebijakan
manajemen risiko dengan pelaksanaan kebijakan tersebut;
c. melakukan evaluasi pelaksanaan tugas Komite Manajemen Risiko
dan Satuan Kerja Manajemen Risiko,
guna memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris.
Pasal 40
Komite Remunerasi dan Nominasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1) huruf b mempunyai tugas dan tanggung jawab paling
kurang:
a. terkait dengan kebijakan remunerasi:
1) melakukan evaluasi terhadap kebijakan remunerasi;
2) melakukan evaluasi terhadap kesesuaian antara kebijakan
remunerasi dengan pelaksanaan kebijakan tersebut; dan
3) memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris mengenai
kebijakan remunerasi bagi Dewan Komisaris, Direksi, Dewan
Pengawas Syariah, Pejabat Eksekutif dan pegawai secara
keseluruhan.
b. terkait dengan kebijakan nominasi:
1) memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris mengenai
sistem serta prosedur pemilihan dan/atau penggantian anggota
Dewan Komisaris, Direksi dan Dewan Pengawas Syariah;
2) memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris mengenai
calon anggota Dewan Komisaris, Direksi dan/atau Dewan
Pengawas Syariah;
3) memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris mengenai
calon pihak independen yang akan menjadi anggota Komite
sebagaimana ...
- 21 -
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf b dan
huruf c serta Pasal 36 ayat (1) huruf b dan huruf c.
Pasal 41
Komite Remunerasi dan Nominasi dalam menjalankan tugas dan
tanggung jawab terkait dengan kebijakan remunerasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 butir a, paling kurang wajib memperhatikan:
a. kinerja keuangan;
b. pemenuhan pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva;
c. kewajaran dengan peer group; dan
d. pertimbangan sasaran dan strategi jangka panjang BUS.
Pasal 42
(1) Komite Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1)
huruf c memiliki tugas dan tanggung jawab paling kurang:
a. melakukan evaluasi atas pelaksanaan audit intern dalam
rangka menilai kecukupan pengendalian intern termasuk
kecukupan proses pelaporan keuangan; dan
b. melakukan koordinasi dengan Kantor Akuntan Publik dalam
rangka efektivitas pelaksanaan audit ekstern.
(2) Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, Komite Audit paling kurang melakukan evaluasi
terhadap:
a. pelaksanaan tugas yang dilaksanakan oleh fungsi audit intern;
b. pelaksanaan tindak lanjut oleh Direksi atas hasil temuan audit
dan/atau rekomendasi dari hasil pengawasan Bank Indonesia,
Pasal 42 ...
auditor ...
- 22 -
auditor intern, Dewan Pengawas Syariah, dan/atau auditor
ekstern,
guna memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris.
(3) Komite Audit memberikan rekomendasi mengenai penunjukan
Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik kepada Dewan
Komisaris.
Paragraf 4
Rapat Komite
Pasal 43
Hasil rapat komite wajib dituangkan dalam risalah rapat dan
didokumentasikan dengan baik.
Bagian Keempat
Dewan Pengawas Syariah
Paragraf 1
Persyaratan Dewan Pengawas Syariah
Pasal 44
Jumlah, kriteria, rangkap jabatan dan persyaratan lain bagi Dewan
Pengawas Syariah tunduk kepada ketentuan Bank Indonesia terkait.
Pasal 45
(1) Usulan pengangkatan dan/atau penggantian anggota Dewan
Pengawas Syariah kepada Rapat Umum Pemegang Saham
dilakukan dengan memperhatikan rekomendasi Komite
Remunerasi dan Nominasi.
(2) Masa ...
- 23 -
(2) Masa jabatan anggota Dewan Pengawas Syariah paling lama sama
dengan masa jabatan anggota Direksi atau Dewan Komisaris.
Paragraf 2
Tugas dan Tanggung Jawab Dewan Pengawas Syariah
Pasal 46
Dewan Pengawas Syariah wajib melaksanakan tugas dan tanggung
jawab sesuai dengan prinsip-prinsip GCG.
Pasal 47
(1) Tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah adalah
memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi
kegiatan Bank agar sesuai dengan Prinsip Syariah.
(2) Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi antara lain:
a. Menilai dan memastikan pemenuhan Prinsip Syariah atas
pedoman operasional dan produk yang dikeluarkan Bank;
b. Mengawasi proses pengembangan produk baru Bank agar
sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis
Ulama Indonesia;
c. Meminta fatwa kepada Dewan Syariah Nasional – Majelis
Ulama Indonesia untuk produk baru Bank yang belum ada
fatwanya;
d. Melakukan review secara berkala atas pemenuhan Prinsip
Syariah terhadap mekanisme penghimpunan dana dan
penyaluran dana serta pelayanan jasa Bank; dan
e. Meminta ...
- 24 -
e. Meminta data dan informasi terkait dengan aspek syariah dari
satuan kerja Bank dalam rangka pelaksanaan tugasnya.
(3) Dewan Pengawas Syariah wajib menyampaikan Laporan Hasil
Pengawasan Dewan Pengawas Syariah secara semesteran.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib disampaikan
kepada Bank Indonesia paling lambat 2 (dua) bulan setelah
periode semester dimaksud berakhir.
(5) Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan tata cara penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) akan diatur lebih rinci dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 48
Anggota Dewan Pengawas Syariah wajib menyediakan waktu yang
cukup untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara
optimal.
Paragraf 3
Rapat Dewan Pengawas Syariah
Pasal 49
(1) Rapat Dewan Pengawas Syariah wajib diselenggarakan paling
kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan.
(2) Pengambilan keputusan rapat Dewan Pengawas Syariah dilakukan
berdasarkan musyawarah mufakat.
(3) Seluruh keputusan Dewan Pengawas Syariah yang dituangkan
dalam risalah rapat merupakan keputusan bersama seluruh
anggota Dewan Pengawas Syariah.
(4) Hasil ...
- 25 -
(4) Hasil rapat Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dituangkan dalam risalah rapat dan
didokumentasikan dengan baik.
Paragraf 4
Aspek Transparansi Dewan Pengawas Syariah
Pasal 50
Anggota Dewan Pengawas Syariah wajib mengungkapkan rangkap
jabatan sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah pada lembaga
keuangan syariah lain dalam laporan pelaksanaan GCG sebagaimana
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 51
(1) Anggota Dewan Pengawas Syariah dilarang memanfaatkan BUS
untuk kepentingan pribadi, keluarga dan/atau pihak lain yang
dapat mengurangi aset atau mengurangi keuntungan BUS.
(2) Anggota Dewan Pengawas Syariah dilarang mengambil dan/atau
menerima keuntungan pribadi dari BUS selain remunerasi dan
fasilitas lainnya yang ditetapkan Rapat Umum Pemegang Saham.
(3) Anggota Dewan Pengawas Syariah wajib mengungkapkan
remunerasi dan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada
laporan pelaksanaan GCG sebagaimana diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia ini.
(4) Anggota Dewan Pengawas Syariah dilarang merangkap jabatan
sebagai konsultan di seluruh BUS dan/atau UUS.
Bagian ...
- 26 -
Bagian Kelima
Fungsi Kepatuhan, Audit Intern dan Audit Ekstern
Paragraf 1
Fungsi Kepatuhan
Pasal 52
(1) BUS wajib memiliki 1 (satu) orang direktur yang bertugas untuk
memastikan kepatuhan terhadap ketentuan Bank Indonesia dan
peraturan perundang-undangan lainnya sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai direktur kepatuhan.
(2) Dalam rangka membantu pelaksanaan tugas direktur sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), BUS wajib melaksanakan fungsi
kepatuhan yang independen terhadap satuan kerja operasional.
(3) Pelaksanaan fungsi kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) harus didukung oleh personil yang paling kurang memiliki
pengetahuan dan/atau pemahaman tentang operasional perbankan
syariah.
Paragraf 2
Fungsi Audit Intern
Pasal 53
(1) BUS wajib menerapkan fungsi audit intern yang efektif
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
penerapan standar pelaksanaan fungsi audit intern bank umum.
(2) BUS wajib melaksanakan fungsi audit intern yang independen
terhadap satuan kerja operasional.
(3) Pelaksanaan ...
- 27 -
(3) Pelaksanaan fungsi audit intern sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) harus didukung oleh personil dalam jumlah yang memadai dan
kompeten di bidangnya, dengan paling kurang terdapat 1 (satu)
orang personil yang memiliki pengetahuan dan/atau pemahaman
tentang operasional perbankan syariah.
(4) Laporan hasil audit intern terkait pelaksanaan pemenuhan Prinsip
Syariah disampaikan kepada Dewan Pengawas Syariah.
Paragraf 3
Fungsi Audit Ekstern
Pasal 54
(1) BUS wajib menunjuk Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik
yang terdaftar di Bank Indonesia dalam pelaksanaan audit laporan
keuangan BUS.
(2) Penunjukan Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu
memperoleh persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham
berdasarkan calon yang diajukan oleh Dewan Komisaris.
(3) Pelaksanaan audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
penunjukan Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memenuhi ketentuan
Bank Indonesia yang berlaku mengenai hubungan antara BUS
dengan Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik.
Bagian ...
- 28 -
Bagian Keenam
Batas Maksimum Penyaluran Dana
Pasal 55
Pelaksanaan penyaluran dana wajib mengikuti ketentuan Bank
Indonesia mengenai batas maksimum penyaluran dana.
Bagian Ketujuh
Aspek Transparansi Kondisi BUS
Pasal 56
(1) BUS wajib melaksanakan transparansi kondisi keuangan dan non-
keuangan kepada Stakeholders.
(2) Dalam rangka pelaksanaan transparansi kondisi keuangan dan
non-keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BUS wajib
menyusun dan menyajikan laporan sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia tentang Transparansi Kondisi
Keuangan Bank.
Pasal 57
BUS wajib melaksanakan transparansi informasi mengenai produk
dan penggunaan data nasabah BUS sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia tentang Transparansi Informasi Produk
Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah.
Pasal 58
(1) BUS wajib melaporkan kepada Bank Indonesia apabila terjadi
perubahan terhadap:
a. pedoman ...
- 29 -
a. pedoman manajemen risiko termasuk pedoman risk control
system, sistem pengendalian intern, sistem teknologi informasi
yang digunakan dan pedoman GCG;
b. sistem dan prosedur kerja yang digunakan dalam kegiatan
operasional BUS.
(2) BUS wajib menyampaikan laporan perubahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia paling lambat 1
(satu) bulan sejak terjadinya perubahan atau sesuai jangka waktu
tertentu apabila diatur secara khusus dalam ketentuan Bank
Indonesia lain yang mengatur mengenai penyampaian laporan
tersebut.
(3) BUS wajib melaporkan struktur kelompok usaha yang terkait
dengan BUS termasuk badan hukum pemilik BUS sampai dengan
ultimate shareholders kepada Bank Indonesia 1 (satu) tahun sekali
untuk posisi akhir tahun dan setiap terdapat perubahan struktur
kelompok usaha yang menyebabkan perubahan pengendali BUS.
(4) Laporan struktur kelompok usaha untuk posisi akhir tahun
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan bagian dari
Laporan Tahunan BUS.
(5) BUS wajib menyampaikan laporan perubahan struktur kelompok
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Bank
Indonesia paling lambat 1 (satu) bulan setelah terjadinya
perubahan.
Bagian ...
- 30 -
Bagian Kedelapan
Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan
Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa
Pasal 59
BUS wajib melaksanakan pemenuhan Prinsip Syariah dalam kegiatan
operasional BUS sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Penghimpunan Dana dan
Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah.
Bagian Kesembilan
Pelaporan Internal dan Benturan Kepentingan
Paragraf 1
Pelaporan Internal
Pasal 60
Dalam rangka meningkatkan kualitas proses pengambilan keputusan
oleh Direksi serta kualitas proses pengawasan oleh Dewan Komisaris
dan Dewan Pengawas Syariah, BUS wajib memastikan ketersediaan
dan kecukupan pelaporan internal yang didukung oleh sistem
informasi manajemen yang memadai.
Paragraf 2
Penanganan Benturan Kepentingan
Pasal 61
(1) Dalam hal terjadi benturan kepentingan, anggota Dewan
Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif dilarang
mengambil tindakan yang dapat mengurangi aset atau mengurangi
keuntungan BUS.
(2) Benturan ...
- 31 -
(2) Benturan kepentingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
diungkapkan dalam setiap keputusan.
(3) Untuk menghindari pengambilan keputusan yang berpotensi
mengurangi aset atau mengurangi keuntungan BUS, BUS harus
memiliki dan menerapkan kebijakan intern mengenai:
a. pengaturan mengenai penanganan benturan kepentingan yang
mengikat setiap pengurus dan pegawai BUS, antara lain tata
cara pengambilan keputusan; dan
b. administrasi pencatatan, dokumentasi dan pengungkapan
benturan kepentingan dimaksud dalam risalah rapat.
Bagian Kesepuluh
Laporan dan Penilaian Pelaksanaan GCG
Paragraf 1
Laporan Pelaksanaan GCG
Pasal 62
(1) BUS wajib menyusun laporan pelaksanaan GCG pada setiap akhir
tahun buku.
(2) Laporan pelaksanaan GCG sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
paling kurang meliputi:
a. kesimpulan umum dari hasil self assesment atas pelaksanaan
GCG BUS;
b. kepemilikan saham anggota Dewan Komisaris, hubungan
keuangan dan hubungan keluarga anggota Dewan Komisaris
dengan pemegang saham pengendali, anggota Dewan
Komisaris lain dan/atau anggota Direksi BUS serta jabatan
rangkap ...
- 32 -
rangkap pada perusahaan atau lembaga lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16;
c. kepemilikan saham anggota Direksi serta hubungan keuangan
dan hubungan keluarga anggota Direksi dengan pemegang
saham pengendali, anggota Dewan Komisaris dan/atau
anggota Direksi lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32;
d. rangkap jabatan sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah
pada lembaga keuangan syariah lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50;
e. daftar konsultan, penasihat atau yang dipersamakan dengan
itu yang digunakan oleh BUS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27;
f. kebijakan remunerasi dan fasilitas lain (remuneration
package) bagi Dewan Komisaris, Direksi, dan Dewan
Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(3), Pasal 33 ayat (3) dan Pasal 51 ayat (3);
g. rasio gaji tertinggi dan gaji terendah;
h. frekuensi rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (1);
i. frekuensi rapat Dewan Pengawas Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1);
j. jumlah penyimpangan (internal fraud) yang terjadi dan upaya
penyelesaian oleh BUS;
k. jumlah permasalahan hukum baik perdata maupun pidana dan
upaya penyelesaian oleh BUS;
l. transaksi yang mengandung benturan kepentingan;
m. buy back shares dan/atau buy back obligasi BUS;
n. penyaluran ...
- 33 -
n. penyaluran dana untuk kegiatan sosial baik jumlah maupun
pihak penerima dana; dan
o. pendapatan non halal dan penggunaannya.
(3) Pengungkapan kebijakan remunerasi dan fasilitas lain
(remuneration package) bagi Dewan Komisaris, Direksi, dan
Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf f paling kurang mencakup jumlah anggota Dewan
Komisaris, jumlah anggota Direksi, jumlah anggota Dewan
Pengawas Syariah serta jumlah keseluruhan gaji, tunjangan
(benefits), kompensasi dalam bentuk saham, bentuk remunerasi
lainnya dan fasilitas yang ditetapkan Rapat Umum Pemegang
Saham.
Pasal 63
(1) BUS wajib menyampaikan laporan pelaksanaan GCG
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 kepada pemegang saham
dan kepada:
a. Bank Indonesia;
b. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI);
c. Lembaga pemeringkat di Indonesia;
d. Perhimpunan Bank – Bank Umum Nasional (Perbanas);
e. 1 (satu) lembaga penelitian di bidang ekonomi dan keuangan;
dan
f. 1 (satu) majalah ekonomi dan keuangan,
paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun buku berakhir.
(2) Bagi BUS yang telah memiliki homepage wajib
menginformasikan laporan pelaksanaan GCG sebagaimana
dimaksud ...
- 34 -
dimaksud pada ayat (1) pada homepage BUS paling lambat 3
(tiga) bulan setelah tahun buku berakhir.
(3) BUS dianggap terlambat menyampaikan laporan pelaksanaan
GCG apabila BUS menyampaikan laporan dimaksud kepada Bank
Indonesia melampaui batas akhir waktu penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetapi belum melampaui 1
(satu) bulan sejak batas akhir waktu penyampaian laporan.
(4) BUS dianggap tidak menyampaikan laporan GCG apabila BUS
belum menyampaikan laporan dimaksud hingga akhir batas waktu
keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 64
Penyusunan laporan pelaksanaan GCG sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 62 diatur lebih rinci dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 65
Penyampaian laporan pelaksanaan GCG kepada Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) huruf a dialamatkan
kepada:
a. Direktorat Perbankan Syariah, Jl. MH Thamrin No.2, Jakarta
10350, bagi BUS yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor
Pusat Bank Indonesia;
b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi BUS yang berkantor pusat
di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia dengan
tembusan kepada Direktorat Perbankan Syariah.
Paragraf 2 ...
- 35 -
Paragraf 2
Self Assessment Pelaksanaan GCG
Pasal 66
(1) BUS wajib melakukan self assessment atas pelaksanaan GCG
yang mencakup hal-hal sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2)
paling kurang 1 (satu) kali dalam setahun.
(2) Tata cara self assessment sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 67
(1) Dalam rangka melakukan penilaian terhadap pelaksanaan GCG
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Bank Indonesia dapat
melakukan evaluasi terhadap hasil self assessment pelaksanaan
GCG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1).
(2) Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank Indonesia dapat meminta BUS untuk melakukan perbaikan
atas pelaksanaan GCG.
BAB III
UNIT USAHA SYARIAH
Bagian Pertama
Direktur UUS
Pasal 68
Direktur UUS bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan pengelolaan
UUS berdasarkan prinsip kehati-hatian dan Prinsip Syariah.
Pasal 69 ...
- 36 -
Pasal 69
Direktur UUS wajib menindaklanjuti rekomendasi dari hasil
pengawasan Dewan Pengawas Syariah.
Pasal 70
Direktur UUS wajib menyediakan data dan informasi terkait dengan
pemenuhan Prinsip Syariah yang akurat, relevan dan tepat waktu
kepada Dewan Pengawas Syariah.
Bagian Kedua
Dewan Pengawas Syariah
Pasal 71
(1) Ketentuan tentang Dewan Pengawas Syariah yang berlaku bagi
BUS sebagaimana dimaksud dalam Bab II Bagian Keempat
tentang Dewan Pengawas Syariah dalam Peraturan Bank
Indonesia ini berlaku pula bagi Dewan Pengawas Syariah pada
Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS dan kantor
cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang
memiliki UUS.
(2) Pengangkatan Dewan Pengawas Syariah pada UUS yang dimiliki
oleh kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar
negeri, ditetapkan oleh pimpinan tertinggi di Indonesia dari kantor
cabang tersebut.
Bagian ...
- 37 -
Bagian Ketiga
Penyaluran Dana Kepada Nasabah Pembiayaan Inti
dan Penyimpanan Dana Oleh Deposan Inti
Pasal 72
UUS wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran dana
kepada nasabah pembiayaan inti dan penyimpanan dana oleh deposan
inti.
Bagian Keempat
Aspek Transparansi Kondisi UUS
Pasal 73
(1) UUS wajib melaksanakan transparansi kondisi keuangan dan non-
keuangan kepada Stakeholders.
(2) Dalam rangka pelaksanaan transparansi kondisi keuangan dan
non-keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), UUS wajib
menyusun dan menyajikan laporan sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia tentang Transparansi Kondisi
Keuangan Bank.
Bagian Kelima
Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana
dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa
Pasal 74
UUS wajib melaksanakan pemenuhan Prinsip Syariah dalam kegiatan
operasional UUS sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Penghimpunan Dana dan
Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah.
Bagian ...
- 38 -
Bagian Keenam
Pelaporan Internal
Pasal 75
Dalam rangka meningkatkan kualitas proses pengawasan oleh Dewan
Pengawas Syariah, UUS wajib memastikan ketersediaan dan
kecukupan data/informasi bagi Dewan Pengawas Syariah.
Bagian Ketujuh
Laporan dan Penilaian Pelaksanaan GCG
Paragraf 1
Laporan Pelaksanaan GCG
Pasal 76
(1) UUS wajib menyusun laporan pelaksanaan GCG pada setiap akhir
tahun buku.
(2) Laporan pelaksanaan GCG sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Laporan
pelaksanaan GCG Bank Umum Konvensional dan/atau kantor
cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang
memiliki UUS dimaksud.
(3) Laporan pelaksanaan GCG sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
paling kurang meliputi:
a. kesimpulan umum dari hasil self assesment atas pelaksanaan
GCG UUS;
b. rangkap jabatan sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah
pada lembaga keuangan syariah lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50;
c. daftar ...
- 39 -
c. daftar konsultan, penasihat atau yang dipersamakan dengan
itu yang digunakan oleh UUS;
d. kebijakan remunerasi dan fasilitas lain (remuneration
package) bagi Dewan Pengawas Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3);
e. frekuensi rapat Dewan Pengawas Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1);
f. jumlah penyimpangan (internal fraud) yang terjadi dan upaya
penyelesaiannya oleh UUS;
g. jumlah permasalahan hukum baik perdata maupun pidana dan
upaya penyelesaiannya oleh UUS;
h. penyaluran dana untuk kegiatan sosial baik jumlah maupun
pihak penerima dana; dan
i. pendapatan non halal dan penggunaannya.
(4) Pengungkapan kebijakan remunerasi dan fasilitas lain
(remuneration package) bagi Dewan Pengawas Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d paling kurang
mencakup jumlah anggota Dewan Pengawas Syariah, jumlah
keseluruhan gaji, tunjangan (benefits), kompensasi dalam bentuk
saham, bentuk remunerasi lainnya, dan fasilitas yang ditetapkan
Rapat Umum Pemegang Saham.
Pasal 77
Penyusunan laporan pelaksanaan GCG sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76 diatur lebih rinci dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 78 ...
- 40 -
Pasal 78
(1) UUS wajib menyampaikan laporan pelaksanaan GCG
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 kepada Bank Indonesia
paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun buku berakhir.
(2) UUS dianggap terlambat menyampaikan laporan pelaksanaan
GCG apabila UUS menyampaikan laporan dimaksud kepada Bank
Indonesia melampaui batas akhir waktu penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetapi belum melampaui 1
(satu) bulan sejak batas akhir waktu penyampaian laporan.
(3) UUS dianggap tidak menyampaikan laporan GCG apabila UUS
belum menyampaikan laporan dimaksud hingga akhir batas waktu
keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Penyampaian laporan pelaksanaan GCG UUS kepada Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialamatkan
kepada Direktorat Perbankan Syariah, Jl. MH Thamrin No.2,
Jakarta 10350, dan/atau Kantor Bank Indonesia setempat.
Paragraf 2
Self Assessment Pelaksanaan GCG
Pasal 79
(1) UUS wajib melakukan self assessment atas pelaksanaan GCG
UUS yang mencakup hal-hal sebagaimana diatur dalam Pasal 2
ayat (3) paling kurang 1 (satu) kali dalam setahun.
(2) Tata cara self assesment atas pelaksanaan GCG UUS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 80 ...
- 41 -
Pasal 80
(1) Dalam rangka melakukan penilaian terhadap pelaksanaan GCG
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Bank Indonesia dapat
melakukan evaluasi terhadap hasil self assessment atas
pelaksanaan GCG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1).
(2) Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank Indonesia dapat meminta UUS untuk melakukan perbaikan
atas pelaksanaan GCG.
BAB IV
SANKSI
Bagian Pertama
Sanksi Pelaksanaan GCG
Pasal 81
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2, Pasal 6 ayat (2), Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat
(1), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 12 ayat (1), Pasal 13, Pasal 14 ayat (1),
ayat (2) dan ayat (3), Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 16, Pasal 17,
Pasal 20 ayat (2), Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 26,
Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 31, Pasal 32,
Pasal 33, Pasal 34 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 35 ayat (3), Pasal 36
ayat (2) dan ayat (4), Pasal 38, Pasal 41, Pasal 43, Pasal 46, Pasal 47,
Pasal 48, Pasal 49 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52
ayat (2) dan ayat (3), Pasal 53 ayat (5), Pasal 60, Pasal 61 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 62 ayat (1), Pasal 63 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 66 ayat
(1), Pasal 69, Pasal 70, Pasal 72, Pasal 75, Pasal 76 ayat (1), dan Pasal
79 ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 58
Undang-Undang ...
- 42 -
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,
antara lain berupa:
a) teguran tertulis;
b) penurunan tingkat kesehatan berupa penurunan peringkat faktor
manajemen dalam penilaian tingkat kesehatan;
c) pelarangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring;
d) pembekuan kegiatan usaha tertentu; dan
e) pemberhentian pengurus Bank dan selanjutnya menunjuk dan
mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang
Saham mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan
Bank Indonesia.
Pasal 82
(1) Dalam hal terdapat 3 (tiga) kali teguran tertulis dari Bank
Indonesia terkait pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 46,
Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 50 dan
Pasal 51, maka BUS atau UUS terkait harus mengganti anggota
Dewan Pengawas Syariah tersebut.
(2) Dalam hal Dewan Pengawas Syariah tidak melaksanakan
tugasnya dengan baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47
sampai dengan izin usaha Bank dicabut, maka anggota Dewan
Pengawas Syariah dimaksud dapat dikenakan sanksi berupa
pelarangan menjadi anggota Dewan Pengawas Syariah di
perbankan syariah paling lama 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal
pencabutan izin usaha Bank oleh Bank Indonesia.
Pasal 83 ...
- 43 -
Pasal 83
BUS yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 52 ayat (1), Pasal 53 ayat
(1) dan ayat (2), dan Pasal 54 dikenakan sanksi sebagaimana diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia mengenai penugasan direktur
kepatuhan dan penerapan standar pelaksanaan fungsi audit intern bank
umum dan Peraturan Bank Indonesia tentang Transparansi Kondisi
Keuangan Bank.
Pasal 84
BUS yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 55 dikenakan sanksi
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai batas
maksimum penyaluran dana.
Pasal 85
BUS yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 56 dan Pasal 57 dan UUS
yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 73 dikenakan sanksi
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang
Transparansi Kondisi Keuangan Bank dan Peraturan Bank Indonesia
tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data
Pribadi Nasabah.
Pasal 86
BUS yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 59 dan UUS yang tidak
memenuhi ketentuan Pasal 74 dikenakan sanksi sebagaimana diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah
dalam Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa
Bank Syariah.
Bagian ...
- 44 -
Bagian Kedua
Sanksi Pelaporan
Paragraf 1
Laporan Pelaksanaan
Pasal 87
(1) BUS yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 63 ayat (3) dan UUS yang terlambat
menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78
ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar paling banyak
sebesar Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja
keterlambatan.
(2) BUS yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 63 ayat (4) dan UUS yang tidak menyampaikan
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (3) dikenakan
sanksi kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan teguran tertulis oleh
Bank Indonesia.
(3) BUS yang menyampaikan laporan yang dinilai tidak benar
dan/atau tidak lengkap sebagaimana diatur dalam Pasal 62 dan
UUS yang menyampaikan laporan yang dinilai tidak benar
dan/atau tidak lengkap sebagaimana diatur dalam Pasal 76
dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar
paling banyak sebesar Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh
juta rupiah) dan dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal
58 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah, berupa:
a. penurunan tingkat kesehatan yaitu penurunan peringkat faktor
manajemen dalam penilaian tingkat kesehatan;
b. pelarangan ...
- 45 -
b. pelarangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring;
c. pembekuan kegiatan usaha tertentu;
d. pemberhentian pengurus Bank dan selanjutnya menunjuk dan
mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum
Pemegang Saham mengangkat pengganti yang tetap dengan
persetujuan Bank Indonesia; dan/atau
e. pencantuman anggota pengurus, pegawai, pemegang saham
Bank dalam daftar tidak lulus melalui mekanisme uji
kemampuan dan kepatutan (fit and proper test).
(4) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilakukan setelah Bank diberikan 2 (dua) kali surat
teguran oleh Bank Indonesia dengan tenggang waktu 7 (tujuh)
hari kerja untuk setiap teguran dan Bank tidak memperbaiki
laporan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah surat
teguran terakhir.
Paragraf 2
Laporan Hasil Pengawasan Dewan Pengawas Syariah,
Pedoman, Sistem dan Prosedur serta Struktur Kelompok Usaha
Pasal 88
(1) Bank yang tidak menaati ketentuan pelaporan hasil pengawasan
Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
47 ayat (4), pelaporan perubahan pedoman, sistem dan prosedur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2),
serta pelaporan perubahan struktur kelompok usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3) dan ayat (5), dapat dikenakan
sanksi administratif sesuai Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21
tahun …
- 46 -
tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, berupa :
a. teguran tertulis dan sanksi kewajiban membayar paling
banyak sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari
kerja kelambatan untuk setiap laporan;
b. teguran tertulis dan sanksi kewajiban membayar paling
banyak sebesar Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah)
apabila Bank tidak menyampaikan laporan.
(2) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b apabila Bank belum
menyampaikan laporan dimaksud setelah 1 (satu) bulan sejak
batas akhir penyampaian laporan, untuk pelaporan perubahan
pedoman, sistem dan prosedur serta pelaporan perubahan
struktur kelompok usaha.
(3) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b apabila Bank belum
menyampaikan laporan dimaksud setelah 2 (dua) bulan sejak
batas akhir penyampaian laporan, untuk pelaporan hasil
pengawasan Dewan Pengawas Syariah.
(4) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
menghapuskan kewajiban Bank untuk menyampaikan laporan
dimaksud.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 89
Ketentuan mengenai larangan rangkap jabatan bagi anggota Dewan
Pengawas Syariah sebagai konsultan di BUS dan/atau UUS
sebagaimana …
- 47 -
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (4) wajib dipenuhi paling
lambat 1 (satu) tahun sejak tanggal berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini.
Pasal 90
Laporan pelaksanaan GCG BUS untuk posisi laporan akhir Desember
2009 tetap mengacu pada Peraturan Bank Indonesia Nomor
8/4/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Pelaksanaan Good
Corporate Governance bagi Bank Umum sebagaimana diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/14/PBI/2006 tanggal 5 Oktober
2006 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi
Bank Umum.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 91
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 92
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka PBI
No.8/4/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Pelaksanaan Good
Corporate Governance bagi Bank Umum beserta ketentuan
perubahannya dinyatakan tidak berlaku bagi BUS.
Pasal 93 …
- 48 -
Pasal 93
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari
2010.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 7 Desember 2009
Pjs GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di : Jakarta
Pada tanggal : 7 Desember 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 175
DPbS