arbitrase - mahkamah agung
TRANSCRIPT
ARBITRASE
Jilid I
oleh :Ny. S.U.T. Girsang, SH.
IAH AGUNG RI
1.52
Mahkamah Agung - RI 1992
ARBITRASE
M i I i kPerpustakaan
Mahkamah Agung - RJ
Jilid I
oleh :Ny. S.U.T. Girsang, SH.
*
Mahkamah Agung - RI 1992
%
Tanggal No. Induk No. Kias , Beli/Hadiah ;
5 V / . O .C't - 4.............- .......... \
KATA PENGANTAR
Buku yang secara lengkap membahas Lembaga Arbitrase ini, dapat diselesaikan berkat usaha dan jerih payah penulis, yang telah menulis dan menyelesaikan buku tersebut dalam rangka keijasama antara Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan Pemerintah Belanda.
Usaha penulisan buku-buku yang bermutu dan berguna bagi para pembacanya, khususnya para Hakim, selalu akan dipupuk dan ditingkatkan, agar benar-benar mencapai tujuannya, yaitu membantu para Hakim dalam menegakkan Hukum dan Keadilan.
Saya berharap, bahwa buku ini akan bermanfaat bagi kalangan praktisi dan rekan-rekan Hakim dalam mengemban tugas mereka di kemudian hari.
Akhir kata saya ucapkan terima kasih kepada penulis dan semua pihak yang telah membantu penerbitan buku ini.
Jakarta, 24 Agustus 1992
Litbang Diklat Mahkamah Agung - RI.
Ny. Retnowulan Sutantio, SJL
m
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR.................................................................. iiiBAB I : ARBITRASE DI INDONESIA............................. 1BAB II : PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE
NEGARA ASING DI INDONESIA ............... .... 13
LAMPIRAN :1. Peraturan Hukum Acara Perdata (RV)
Buku Ketiga, Bab Pertama, Pasal 615 — 651 312. The 1958 New York Convention................ 423. KEPPRES No. 34 Tahun 1981 Beserta
Lampirannya ................................................ 514. Undang-undang No. 5 Tahun 1968, Ten
tang Persetujuan atas Konvensi Tentang Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal Beserta Penjelasannya ...................... 54
5. PERMA No. 1 Tahun 1990 ........................ 606. Beberapa Yurisprudensi :
a. Ahju Forestry melawan Sutomo/Direktur PT. Balapan Jaya Reg. No. 2924 K/Sip/1981......................................................... 65
b. PT. Arpeni Pratama Ocean Line melawan PT. Shorea Mas Reg. No. 3179 K/ Pdt/1984........................................................ 73
c. Dato Wong Heck Guong dan PT. Metropolitan Timbers Ltd. melawan Gapki Trading Co Ltd. PT. Reg. No. 225 K/ Sip/1976...................................................... 83
d. Indonesian Cotton Trading Co Ltd. melawan Firma Rayun Reg. No. 1/1959 Pem.Put.Wst.................................................. 101
e. PT. Multi Plaza Properties melawanYahya Wijaya Reg. No. 1 Banding/ Wasit/1981.................................................... 105
v
f. PT. Bakrie & Brothers melawan Trading Corporation of Pakistan Limited, Reg.No. 64/Pdt/G/1984/PN. Jkt. Sel.............. 110
g. Navigation Maritime Bulgare melawanPT. Nizwar Penetapan PN. Jakarta Selatan No. 2288/1979 P.......................... 123
vi
BAB IARBITRASE DI INDONESIA
Dasar hukum berlakunya arbitrasea. Seperti kita ketahui pasal 377 HIR (pasal 705 RBG) menye
butkan: ’’Jika orang Indonesia dan orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputus oleh Juru pisah (arbiter) maka wajib memenuhi peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa.Peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa yang dimaksud adalah sebagaimana yang diatur dalam Reg- lement of de Burgerlijke Rechtsvordering (disingkat RV) dalam sbl 1847-52 jo sbl 1849-63.Peraturan arbitrase dalam RV ini dimuat dalam Buku Ketiga Bab Pertama, Pasal 615-651 yang meliputi:— Persetujuan arbitrase dan
pengangkatan para arbiter (pasal 615-623)— Pemeriksaan dimuka arbitrase (pasal 624-630)— Putusan arbitrase (pasal 631-647)— Upaya-upaya terhadap putus- (pasal 641-647)
an arbitrase— Berakhirnya acara arbitrase (pasal 648-651)Dengan demikian berdasarkan pasal II, Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 jo pasal 377 HIR, maka peraturan yang diatur dalam RV masih tetap berlaku bagi pemeriksaan perkara arbitrase di Indonesia.
b. Juga dapat kita lihat dalam memori penjelasan pasal 3 (1) Undang-undang No. 14/1970, diuraikan: ’’Penyelesaian perkara diluar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase) tetap dibolehkan.”
c. Undang-undang No. 1/1950, tentang susunan kekuasaan dan jalannya pengadilan Mahkamah Agung RI, dalam pasal 15 juga mengatur tentang arbitrase, selain kekuasaan pengadilan dalam tingkat kedua sebagai yang termuat dalam konstitusi, Mahkamah Agung RI juga memutus dalam tingkat kedua atas putus
1
an-putusan wasit yang ternyata mengenai nilai harga Rp. 25.000,— atau lebih.Dalam Undang-undang No. 14/1985, tentang Mahkamah Agung RI tidak mengatur arbitrase, akan tetapi hal ini tidak berarti sejak berlakunya Undang-undang No. 14/1985, Mahkamah Agung RI tidak berwenang untuk memeriksa perkara arbitrase, karena sesuai dengan pasal 80 Undang-undang No. 14/1985, yang memuat ketentuan peralihan yang menentukan bahwa semua peraturan pelaksanaan yang telah ada mengenai Mahkamah Agung RI, dinyatakan tetap berlaku selama ketentuan yang baru berdasarkan Undang-undang ini, belum dikeluarkan dan sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.
Persetujuan arbitrase menurut RVMenurut RV dasar pertama untuk sesuatu arbitrase adalah
apa yang dinamakan persetujuan arbitrase, yaitu persetujuan antara 2 orang/pihak yang terlibat dalam suatu sengketa untuk mengajukan sengketa itu kepada pemutusan seorang arbiter/ para arbiter.Ada 2 (dua) cara untuk menyerahkan penyelesaian sengketa pada arbitrase:a. Pihak-pihak dapat mengikatkan diri satu sama lain untuk
menyerahkan penyelesaian sengketa yang mungkin timbul dikemudian hari pada arbitrase (pasal 615 ayat 3 RV). Perjanjian yang berisikan clausule demikian dinamakan pactum de compromittendo.
b. Dengan membuat perjanjian tersendiri (tertulis) yang berisikan persetujuan untuk menyerahkan sengketa yang telah ada pada arbitrase (pasal 618 RV)
Mahkamah Agung RI, dalam putusannya tertanggal 22 Pebruari 1982, dalam perkara Ahju Forestry Company Limited, menyatakan bahwa dalam hal adanya clausula arbitrase, Pengadilan Negeri tidak berkuasa mengadili perkara itu. Ahju Forestry Company Limited yang berkedudukan di Korea dan memilih domisili dikantor salah seorang pengacara di Jakarta, digugat oleh mitra usahanya di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Pengadilan menerima dan mengabulkan gugatan penggugat, meski-
pun tergugat, Ahju Forestry Company Limited mengajukan eksepsi perihal adanya klausula arbitrase dalam Basic Agreement for Joint Venture yang telah ditutup antara penggugat dan tergugat. Ditingkat banding putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta. Ditingkat kasasi putusan ini dibatalkan oleh Mahkamah Agung RI.Keberatan pemohon kasasi yang menyatakan bahwa ketentuan mengenai dewan arbitrase sebagaimana disebutkan dalam Basic Agreement for Joint Venture telah mengikat para pihak sebagai undang-undang (pasal 1338 BW) dan karenanya putusan judex faxti telah bertentangan dengan pasal 615 RV, dibenarkan. Mahkamah Agung RI, membatalkan putusan judex facti dan menyatakan Pengadilan Negeri tidak berkuasa mengadili perkara itu.Begitu juga dalam putusannya antara PT. Arpeni Pratama Ocean Line melawan PT. Shorea Mas, maupun dalam perkara antara Dato Wong Heck Guang dan PT. Metropolitan Timber Ltd melawan Gapki Trading Co Ltd, Mahkamah Agung RI berpendirian sama yaitu bahwa dalam hal ada klausula arbitrase Pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa dan mengadili gugatan baik dalam konvensi maupun dalam rekonvensi. Bahkan Mahkamah Agung RI dalam pertimbangan putusan itu juga menyatakan bahwa melepaskan klausula arbitrase harus dilakukan secara tegas dengan suatu perjanjian persetujuan yang ditanda-tangani oleh kedua belah pihak. Hal ini ditambahkan berhubung adanya pendapat Majelis Hakim ditingkat pertama yang menyatakan bahwa ’’penggugat ternyata telah menggunakan haknya untuk menggugat tergugat dihadapan Pengadilan Negeri dan melepaskan haknya untuk menyelesaikan sengketa ini dengan arbitrase” , tanpa merinci bagaimana dan dengan cara apa klausula arbitrase tersebut dilepaskan.
3. Bentuk-bentuk klausula arbitrasea. Pactum de Compromittendo
Pactum de Compromittendo merujuk pada pasal 615 ayat 3 RV, dimana pihak-pihak dapat mengikatkan diri satu sama lain untuk menyerahkan persengketaan yang mungkin timbul dikemudian hari kepada seorang atau beberapa orang arbiter. Jadi sejak semula para pihak telah membuat peijanjian bahwa yang akan memeriksa dan memutus sengketa yang mungkin
3
timbul dikemudian hari adalah Arbitrase bukan pengadilan. Menurut pasal 615 ayat 3 RV tidak ditentukan apakah pactum de compromittendo harus secara tertulis tetapi dalam praktek pactum de compromittendo umumnya dibuat secara tertulis dan klausulanya dapat dibuat terpisah atau menjadi satu dengan perjanjian pokok dengan syarat asal pembuatannya dilakukan sebelum teijadi sengketa.Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan adanya saling perbedaan pendapat mengenai ada atau tidaknya klausula arbitrase dan demi kepastian hukum.Meskipun pasal 615 ayat 3 RV tidak mencantumkan secara tegas pembuatan klausula arbitrase yang berbentuk pactum de compromittendo harus tertulis, tetapi dalam praktek pengadilan cenderung mengarah kepada keharusan tertulis. Hal tersebut nampak dalam putusan Mahkamah Agung RI, No. 3179 K/Pdt/1984, ’’Melepaskan klausula arbitrase harus dilakukan secara tegas dengan suatu persetujuan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak”Secara a kontrario dapat ditafsirkan kalau melepaskan klausula harus dilakukan secara tegas dan ditanda-tangani oleh kedua belah pihak, maka pembuatan klausula yang berbentuk pactum de compromittendo juga harus dilakukan secara tertulis.
b. Akta kompromisAkta kompromis yang diatur dalam 618 RV pada dasarnya memuat persetujuan para pihak untuk menyerahkan sengketa yang telah timbul pada arbitrase. Bentuk akta kompromis ini harus tertulis dan ditanda tangani oleh kedua belah pihak. Jika para pihak tidak mampu menanda-tangani, maka persetujuan harus dibuat dimuka seorang Notaris.Akta kompromis ini memuat antara lain:— Masalah yang disengketakan.— Nama dan tempat para pihak.— Nama dan tempat tinggal (kedudukan) para arbiter yang
mereka setujui.— Jumlah arbiter harus ganjil.Dalam pasal 618 ayat 3 RV, menyebutkan akta kompromis yang tidak memenuhi ketentuan tersebut diatas, persetujuan arbitrasenya dinyatakan batal.
Arbiter yang telah menerima tugasnya secara tertulis (pasal 622 ayat 1 RV) tidak dapat melepaskan diri tanpa alasan yang sah (pasal 623 RV).
4. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)Sebagaimana diketahui penyelesaian sengketa melalui arbitrase
dapat diserahkan kepada arbiter perorangan atau Badan Arbitrase Instutisional, seperti halnya Badan Arbitrase Nasional Indonesia yang atas prakarsa KADIN telah berdiri sejak tanggal 3 Desember 1977. BANI memiliki peraturan beracara yang disebut Peraturan Prosedur Arbitrase pada BANI.Peraturan ini akhir-akhir ini sudah diperbaiki pada tanggal 3 Desember 1980.Pada prinsipnya bagaimana prosedur Arbitrase akan dilakukan, terserah pada para pihak itu sendiri, apakah akan diserahkan pada Arbiter/para Arbiter yang dipilih pihak-pihak itu sendiri (arbitrase perorangan) atau akan diserahkan kepada Ar- bitrase/BANI dengan memakai klausula standar yang dianjurkan BANLDalam pada itu antara BANI dan KADIN telah tercapai kesepakatan bahwa apabila seorang anggota KADIN terlibat suatu sengketa yang diselesaikan lewat Arbitrase/BANI, maka KADIN akan menggunakan pengaruhnya agar anggota tersebut mentaati keputusan Arbitrase/BANI tersebut.Bahwa dalam melaksanakan tugasnya BANI adalah bebas (otonom) dan tidak boleh dicampuri oleh sesuatu kekuasaan lain (pasal 1 ayat 2, ketentuan BANI).Pada hakekatnya Arbitrase (BANI) dianggap sebagai upaya alternatif dari penyelesaian sengketa melalui Pengadilan, dimana dua atau lebih pihak-pihak menyerahkan penyelesaian sengketa mereka kepada pihak ketiga (BANI) yang memperoleh kewenangannya dari perjanjian yang diadakan antara para pihak itu sendiri.
5. Tidak semua sengketa dapat diserahkan penyelesaiannya pada arbitrase
Hanya sengketa mengenai hak-hak subjektif yang sepenuhnya dikuasai para pihak saja yang dapat diajukan pada peradilan arbitrase.
5
Tidaklah diperkenankan atas ancaman kebatalan untuk mengadakan suatu persetujuan arbitrase mengenai penghibahan atau penghibah wasiatan nafkah, mengenai perceraian atau perpisahan dari meja dan tempat tidur antara suami dan isteri, mengenai kedudukan hukum seseorang, ataupun mengenai lain-lain sengketa tentang mana oleh ketentuan undang-undang tidak diperbolehkan mengadakan suatu perdamaian (pasal 616 RV).
6. Siapa-siapa yang dapat menjadi arbiterSiapa saja dapat diperbolehkan menjadi arbiter, kecuali anak
yang belum dewasa dan mereka-mereka yang terkena pasal 34 Hukum Acara Perdata (pasal 34 Hukum Acara Perdata melarang para Hakim, para Jaksa dan para Panitera Pengadilan untuk menjadi juru kuasa dan arbiter).Dinyatakannya wanita tidak cakap untuk menjadi arbiter adalah sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan dewasa ini, karena menurut Undang-Undang Tentang Perkawinan (Undang-Undang No. 1 Tahun 1974) dinyatakan: bahwa dalam suatu perkawinan, si isteri mempunyai kecakapan yang sama dengan si suami untuk melakukan perbuatan hukum.
7. Seorang arbiter adalah pihak ketiga yang tidak memihakBahwa seorang arbiter sebagaimana halnya seorang Hakim
adalah pihak ketiga yang tidak memihak, hal ini dapat kita simpulkan dari ketentuan pasal 621 RV yang menyatakan bahwa alasan-alasan untuk melawan seorang arbiter adalah sama dengan alasan-alasan yang dipakai untuk melawan seorang Hakim. Benar tidaknya alasan-alasan tersebut akan selekasnya diperiksa dan diputus oleh Hakim yang sedianya berwenang memeriksa sengketanya seandainya tidak ada persetujuan arbitrase.
8. Putusan arbitrasePara arbiter harus memutus berdasarkan peraturan-peraturan
hukum dan apabila disetujui para pihak dapat memutus berdasarkan ex aequo et bono (pasal 631 RV). Putusan arbitrase mengikat kedua belah pihak dan putusan ini harus dijalankan dengan suatu perintah dari Ketua Pengadilan (Exequatur).Tempat diucapkannya putusan arbitrase ini memegang peranan penting. Karena kewenangan Pengadilan Negeri untuk menjalankan siuatu putusan arbitrase dikaitkan dengan tempat dijatuhkannya putusan arbitrase itu (pasal 637 RV).
6
9. Upaya-upaya hukum terhadap putusan arbitraseApabila pihak yang dikalahkan tidak bersedia memenuhi isi
putusan tersebut dapat dijalankan menurut cara biasa yang berlaku bagi pelaksanaan suatu putusan pengadilan (pasal 639 RV) Perlawanan terhadap putusan arbitrase tidak diperkenankan (pasal 636 RV)Banding terhadap putusan arbitrase diperkenankan dalam hal pokok perselisihannya mempunyai nilai lebih f 500 kecuali para pihak secara tegas melepaskan hak untuk banding (pasal 641 RV). Perihal dilepaskannya hak untuk banding ini, Mahkamah Agung RI dalam perkara antara PT. Multi Plaza Properties melawan Yahya Wijaya No. 1 Banding/wasit/1981, tanggal 10 Juli 1984, maupun dalam perkara antara Indonesia Cotton Trading Ltd melawan Firma Rayun, Reg. No. 1/1959/Pem. Put. Wst., tertanggal 5 September 1959, menyatakan: bahwa dalam hal kemungkinan banding telah ditiadakan oleh pihak-pihak, maka permohonan banding tersebut tidak dapat diterima.Menurut pasal 163 RO banding tersebut ditujukan terhadap Hooggerechtshof. Hal ini sesuai dengan pasal 15 Undang-undang Mahkamah Agung RI (Undang-undang No. 1 Tahun 1950) yang menyatakan Mahkamah Agung RI memutus dalam tingkat banding terhadap putusan-putusan arbitrase yang mengenai nilai harga Rp. 25.000,— atau lebih.Kasasi atau Rekes Sipil tidak diperkenankan, walaupun hal itu diperjanjikan oleh kedua belah pihak (pasal 642 RV).Terhadap upaya hukum pembatalan diatur dalam pasal 643 RV yaitu terhadap putusan arbitrase yang tidak dapat dimintakan banding.Ada 10 hal yang dapat dipergunakan sebagai alasan untuk meminta pembatalan yang bersifat limitatif.
1. Apabila putusan itu diberikan melewati batas persetujuan2. Apabila putusan itu diberikan berdasarkan suatu persetuju
an yang adalah batal atau telah lewat waktunya.3. Apabila putusan itu telah diberikan oleh sejumlah arbiter
yang tidak berwenang memutus tanpa hadirnya arbiter-arbiter yang lainnya.
4. Apabila telah diputus tentang hal-hal yang telah tidak dituntut atau putusan telah mengabulkan lebih daripada yang dituntut.
7
5. Apabila putusan arbiter itu mengandung keputusan-ke- putusan yang satu sama lain bertentangan.
6. Apabila para arbiter telah melalaikan untuk memberikan keputusan tentang satu atau beberapa hal yang menurut persetujuan telah diajukan kepada mereka untuk diputus.
7. Apabila para arbiter telah melanggar formalitas-formalitas hukum acara yang harus diturut atas ancaman kebatalan. Tetapi ini hanya berlaku apabila menurut ketentuan-ketentuan yang tegas dimuat dalam persetujuan para arbiter diwajibkan mengikuti hukum acara biasa yang berlaku dimuka pengadilan.
8. Apabila telah diberikan keputusan berdasarkan surat-surat yang setelah keputusan itu diberikan, diakui sebagai palsu atau telah dinyatakan sebagai palsu.
9. Apabila, setelah surat-surat diberikan, surat-surat yang menentukan yang dulu disembunyikan oleh para pihak, di- ketemukan lagi.
10. Apabila putusan didasarkan pada kecurangan atau itikad jahat, yang dilakukan selama beijalannya' pemeriksaan, yang dikemudian diketahui.
Tenggang waktu untuk mengajukan gugatan pembatalan ini adalah enam bulan terhitung sejak putusan tersebut diberitahukan kepada para pihak ditempat tinggal mereka (pasal 644 RV). Tuntutan pembatalan putusan arbitrase dilakukan dengan gugatan yang berisikan perlawanan terhadap perintah pelaksanaan putusan tersebut (pasal 645 RV).Materi gugatan perlawanan pembatalan ini adalah menuntut dibatalkannya putusan arbitrase dengan alasan bahwa putusan arbitrase yang bersangkutan mengandung salah satu cacad hukum sebagaimana dirinci dalam pasal 643 RV. Pengadilan yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara gugatan pembatalan ini adalah pengadilan yang telah mengeluarkan perintah pelaksanaan putusan arbitrase tersebut (Exequatur) pasal 646 RV.
10. Pelaksanaan putusan arbitraseDalam waktu 14 hari sekedar mengenai Jawa dan Madura
dan jika mungkin dalam waktu tiga bulan sekedar mengenai tempat-tempat lainnya, terhitung mulai hari diambilnya pu
8
tusan, maka asli putusan itu oleh salah seorang arbiter atau salah seorang kuasa yang khusus dikuasakan oleh para arbiter atau salah seorang diantara mereka, harus disimpan dikantor Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya putusan itu telah diucapkan (pasal 634 RV). Selain putusan para arbiter diwajibkan pula menyimpan asli surat pengangkatan mereka atau salinan resminya di Kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut (pasal 635 RVj.Putusan arbitrase harus dijalankan dengan suatu perintah Ketua Pengadilan Negeri ditempat mana putusan arbitrase itu dijatuhkan dan disimpan. Perintah Ketua Pengadilan Negeri itu harus dikeluarkan dalam bentuk sebagaimana diterangkan dalam pasal 435 RV jo pasal 4 ayat 1 Undang-undang No. 14 Tahun 1970, yaitu dalam bentuk suatu putusan pengadilan yang memuat kata-kata Demi Keadilan berdasarkan ke-Tuhan-an Yang Maha Esa. Perintah itu dituliskan diatas asli surat putusan arbitrase dan akan dibuat salinannya apabila dikeluarkan (pasal 637 RV).Ketua Pengadilan Negeri, pada waktu akan memberikan pelaksanaan kepada suatu putusan arbitrase, sekali-sekali tidak di- bolehkan untuk menilai isi maupun pertimbangan-pertimbangan putusan arbitrase. Ia hanya dibolehkan menolak atau memberikan perintah pelaksanaan yang diminta itu, atas dasar pertimbangan bahwa putusan arbitrase telah melanggar ketertiban umum atau tidak.Terhadap penolakan untuk memberikan perintah pelaksanaan didalam RV sendiri tidak ada ketentuannya. Tetapi dalam Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (Undang-undang No. 14 Tahun 1970) terdapat ketentuan pasal 10 ayat 3 bahwa terhadap setiap putusan yang diberikan dalam tingkat terakhir oleh pengadilan lain daripada Mahkamah Agung RI, kasasi dapat diminta kepada Mahkamah Agung RI.
Berdasarkan ketentuan ini, maka terhadap penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang memberikan atau menolak untuk memberikan perintah pelaksanaan (Exequatur) tersebut di atas, dapat juga dimintakan kasasi (Prof. R. Subekti, SH, dalam Arbitrase Perdagangan, cetakan pertama, September 1981, halaman 24). Selanjutnya pasal 640 RV menyatakan bahwa putusan arbitrase yang telah diberi perintah pelaksanaan oleh Ketua Pengadilan yang
9
berwenang, harus dijalankan menurut cara yang biasa berlaku bagi suatu pelaksanaan putusan pengadilan.Pasal 640 RV mengatur perihal Pengadilan Negeri mana yang secara relatif kompeten memeriksa dan mengadili perlawanan terhadap eksekusi yaitu Pengadilan Negeri yang ketuanya telah mengeluarkan perintah pelaksanaan.Mengingat tata cara pelaksanaan suatu putusan Pengadilan pada saat ini tidak lagi diatur oleh RV melainkan oleh pasal 195 HIR, maka ketentuan pasal 640 RV pun harus dibaca dalam kaitannya dengan pasal 195 (6) HIR yang menyatakan bahwa perlawanan terhadap putusan, juga dari orang lain yang menyatakan barang yang disita itu miliknya, dihadapkan serta diadili oleh Pengadilan Negeri, yang daerah hukumnya terjadi pelaksanaan putusan ini.
Mengenai peraturan-peraturan arbitrase yang dimuat dalam RV ini belum pernah diadakan perobahan sejak mulai berlakunya. Hakim dalam iklim 'kemerdekaan ini dapat memakai peraturan-peraturan arbitrase yang dimuat dalam RV sebagaimana halnya peraturan lainnya yang berasal dari pembuat undang-undang zaman Hindia Belanda sebagai pedoman, sehingga ia tidak terlalu terikat pada ketentuan-ketentuan dari peraturan-peraturan yang bersangkutan.Oleh sebab itu Hakim bebas untuk mengenyampingkan bagian-bagian tertentu dari peraturan-peraturan arbitrase yang dimuat dalam RV yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan dewasa ini (misalnya peraturan yang termuat dalam pasal 617 yang tidak memungkinkan untuk mengangkat wanita sebagai arbiter).
PERTANYAAN1. Sebutkan dasar hukum berlakunya arbitrase di Indonesia.2. Apakah Peraturan-peraturan tentang arbitrase dalam Rv, kini
masih berlaku seutuhnya?Berikan penjelasan Saudara?
3. Ada beberapa cara untuk menuangkan klausula Arbitrase? Uraikan!
4. Badan Arbitrase Nasional Indonesia adalah suatu Arbitrase Institusional.Apa yang dimaksud dengan Badan Arbitrase Institusional?
5. Sengketa-sengketa yang boleh diserahkan penyelesaiannya pada Arbitrase terbatas jumlah/jenisnya apakah sebabnya?Dimanakah dasar hukumnya?Apakah akibat hukumnya apabila Arbitrase memutuskan suatu sengketa yang termasuk masalah yang sebenarnya tidak bisa diserahkan penyelesaiannya pada Arbitrase?
6. Siapa saja yang dapat menjadi Arbiter?Dapatkah Hakim ditunjuk sebagai seorang Arbiter?Dapatkah Hakim menunjuk Arbiter?Dalam hal-hal apa saja?
7. Apakah ada upaya hukum yang dapat diajukan dalam hal para pihak tidak sepakat perihal penunjukan Arbiter?Bagaimanakah cara kita mengatasi apabila dalam suatu perjanjian tidak terdapat pengaturan yang lengkap tentang tatacara penunjukan Arbiter?
8. Apakah putusan Arbiter memiliki kekuatan yang sama seperti halnya putusan Hakim?Apakah putusan Arbiter memiliki ’’gezag van gewijsde”?
9. Upaya hukum apa sajakah yang terbuka terhadap suatu putusan Arbitrase?Dapatkah para pihak mengadakan kesepakatan lain tentang hal tersebut?
10. Bagaimanakah tata cara pelaksanaan putusan Arbitrase?Apakah yang dimaksud dengan exequatur?
11
BAB IIPELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE NEGARA ASING
DI INDONESIA
Suatu putusan pengadilan pada hakekatnya merupakan penjelmaan dari kedaulatan suatu Negara. Oleh karena itu jika putusan itu dijalankan di Negara lain, hal itu merupakan pelanggaran terhadap Negara itu. Dengan demikian dapatlah dimengerti apabila putusan suatu pengadilan hendak dilaksanakan dalam kaitannya dengan lalu lintas antar Negara. Bagaimanapun putusan Hakim/arbiter asing itu tidak dapat diperlakukan sepenuhnya sama seperti Hakim/arbiter di Negara sendiri.Juga menurut hukum Indonesia (pasal 436 RV), suatu putusan pengadilan asing tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Putusan pengadilan negara asing itu tidak mempunyai kekuatan executorial. Lain halnya dengan putusan pengadilan kita sendiri, yang dapat segera diberikan perintah pelaksanaan oleh Hakim Indonesia.
Di dalam HIR maupun di dalam RV, tidak memuat pengaturan apapun tentang tata cara pelaksanaan putusan Hakim/Pengadilan Negara Asing. HIR maupun RV hanya mengatur masalah tata cara pelaksanaan putusan Hakim/Pengadilan Dalam Negeri saja.
Namun demikian (menurut RV) putusan Hakim/Pengadilan Asing itu mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta otentik. Dengan demikian menurut hukum di Indonesia, perkara harus diulangi di Pengadilan yang berwenang di Indonesia, dan dalam pemeriksaan tersebut surat-surat/dokumen-dokumen serta putusan dari Negara Asing itu merupakan surat-surat bukti otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai demikian menurut undang-undang.Demikian halnya dengan putusan arbitrase. Bahkan dalam hal arbitrase tidak ada sesuatu dokumen yang memarut undang-undang diberikan kekuatan pembuktian sebagai suatu akta otentik sebagaimana halnya dengan suatu putusan pengadilan.Namun hal ini tidaklah berarti bahwa putusan pengadilan maupun putusan arbitrase yang dijatuhkan di Negara asing, sama sekali tidak dapat dilaksanakan di Indonesia ataupun sebaliknya.
13
1. Beberapa Konvensi Yang Memungkinkan Putusan Arbitrase AsingDapat Dilaksaanakan Di Indonesia.a. Konvensi Jenewa 1927 (The 1927 Jenewa Convention on
the Execution of Foreign Arbitral Awards).Dalam hal ini Pemerintah Belanda, yang juga bertindak atas nama negara jajahannya Hindia Belanda, telah menanda-tangani konvensi yang disebut konvensi Jenewa, dimana putusan- putusan arbitrase yang diberikan oleh Majelis Arbitrase dari salah satu Negara penanda-tangan konvensi dapat dilaksanakan di Negara penanda-tangan lainnya menurut cara-cara yang berlaku di Negara tersebut untuk pelaksanaan suatu putusan arbitrase (Stbl. 1933 No. 131)
b. Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of Other States (CSID).Pada tanggal 28 September 1968, Indonesia telah meratifikasi Konvensi CSID tersebut yaitu suatu konvensi tentang Penyelesaian sengketa-sengketa Investasi antara Negara dan Warga- negara dari Negara lain, yang disponsori oleh World Bank dan ditanda-tangani di Washington pada tanggal 18 Maret 1965. Washinghton Convention ini telah melahirkan ICSID (International Centre for Settlement of Investment Disputes. Ratifikasi tersebut telah dilakukan dengan Undang-undang No. 5 Tahun 1968 sebagai tindak lanjut dari Undang-undang No. 1 Tahun 1967, tentang Penanaman Modal Asing. Undang-undang tersebut dalam pasal 2 menetapkan bahwa dalam hal terjadi sengketa mengenai investasi modal asing antara Pemerintah Republik Indonesia dengan seorang Warga Negara Asing, maka Pemerintah Republik Indonesia berwenang untuk menyetujui bahwa sengketa tersebut akari diputus menurut ICSID dengan suatu putusan arbitrase. Bahwa yang dimaksud dalam ICSID ini adalah persetujuan Arbitrase yang diadakan antara Negara dan Warga Negara suatu Negara Asing lainnya.
Selanjutnya pasal 3 Undang-undang tersebut menentukan bahwa untuk melaksanakan putusan sebagaimana dimaksud dalam konvensi tersebut memerlukan ijin tertulis dari Mahkamah Agung RI bahwa putusan tersebut dapat dilaksanakan, yang dikenal sebagai pemberian Exequatur.
c. New York Convention 1958.Bahwa pada tanggal 10 Juni 1958, oleh PBB telah ditanda-
14
tangani konvensi tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan- putusan Arbitrase Asing (Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards) yang terkenal dengan sebutan New York Convention 1958 dan telah mulai berlaku sejak tanggal 7 Juni 1959. Berbeda halnya dengan ICSID, dalam New York Convention yang diatur adalah Perjanjian Arbitrase antara sesama Warga Negara yang putusan arbitrasenya dijatuhkan di luar Wilayah RI atau antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia yang putusannya juga dijatuhkan di luar wilayah RI.
Dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia. No. 34 Tahun 1981 (LN 1981 — 40), Republik Indonesia telah turut serta dalam New York Convention ini yang berlaku sejak tanggal diumumkannya yaitu tanggal 5 Agustus 1981, sehingga memungkinkan pelaksanaan keputusan Arbitrase Asing di Negara kita.Dengan demikian keputusan-keputusan arbitrase yang telah diucapkan didalam Wilayah Republik Indonesia dapat juga dilaksanakan di Luar Negeri atas dasar timbal balik (azas re- siprositas).Artinya apabila putusan Arbitrase Republik Indonesia dapat dilaksanakan di salah satu Negara peserta konvensi ini, maka keputusan arbitrase Negara peserta konvensi tersebut juga dapat dilaksanakan didalam Wilayah Republik Indonesia. Pelaksanaan tersebut apabila diminta oleh pihak yang telah menang Arbitrase di Luar Negeri terhadap seorang yang tinggal dalam Wilayah Republik Indonesia tidak dapat ditolak.
2. Beberapa Pendapat . Mengenai Masih Tetap/Tidak BerlakunyaKonvensi Jenewa 1927a. Pendapat pertama:
Berdasarkan pasal 10 ayat 2 Konvensi Jenewa tertanggal 26 September 1927, maka Pemerintah Belanda memberitahukan maksudnya untuk memberlakukan konvensi tersebut di Wilayah Hindia Belanda. Pada tanggal 28 April 1933, konvensi tersebut dinyatakan berlaku untuk daerah Hindia Belanda (Stbl. 1933 No. 131).Meskipun kita sudah menjadi Negara merdeka dan berdaulat Konvensi Jenewa 1927 masih tetap berlaku, karena konvensi ini belum secara tegas dicabut oleh Pemerintah Indonesia,
15
maka berdasarkan azas-azas mengenai peralihan kekuasaan Negara dan Hukum Internasional serta Persetujuan Peralihan (overgangovereenkomst) dari Konperensi Meja Bundar yang diadakan berkenaan dengan peralihan kedaulatan dari pihak Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, konvensi harus dianggap tetap masih berlaku untuk Indonesia. Pasal 5 Persetujuan Peralihan menyatakan bahwa persetujuan-persetu- juan Internasional yang berlaku untuk Wilayah Republik Indonesia Serikat tetap berlaku untuk wilayah tersebut selama persetujuan bersangkutan tidak dicabut oleh Pemerintah Republik Indonesia Serikat sendiri.Karena Republik Indonesia tidak menyatakan hendak keluar daripada konvensi bersangkutan, maka berdasarkan state sucession, agar supaya tidak terjadi suatu vacuum, Konvensi Jenewa dianggap masih berlaku dan tidak memerlukan Peraturan Pelaksanaan (self executing).
b. Pendapat kedua:Setelah Konperensi Meja Bundar karena Republik Indonesia tidak menyatakan secara aktif masih hendak terikat, maka dapat dikatakan Republik Indonesia tidak mutlak terikat pada Perjanjian Internasional yang dahulu ditanda-tangani oleh Pemerintah Belanda yang telah dinyatakan berlaku untuk Hindia Belanda. Mahkamah Agung RI tidak dapat menerima berlakunya prinsip state succession yang menyatakan bahwa Negara bekas jajahan secara otomatis, sesuai stel- sel pasif, terikat pada perjanjian-perjanjian Internasional yang telah diadakan oleh Negara penjajahnya.Lagi pula berdasarkan Undang-undang No. 13 Tahun 1956 (LN No. 27 Tahun 1956) Pemerintah Republik Indonesia telah menyatakan tidak terikat lagi pada Perjanjian KMB, dan secara sepihak telah membatalkan keterikatannya.
c. Pendapat Departemen Luar Negeri:Bahwa perjanjian-perjanjian Internasional yang dahulu diadakan oleh Pemerintah Belanda atas nama Hindia Belanda, tidak secara otomatis beralih pada Republik Indonesia, tetapi harus secara tegas dinyatakan demikian.Mengenai pelaksanaan Arbitrase Asing ini, ada Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tanggal 19 Juni 1981, perkara per-
data No. 2288/1979/P, antara Navigation Maritime Bulgare, sebagai pemohon, melawan PT. Nizwar sebagai termohon, di mana Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengabulkan permohonan dari pihak Navigation Maritime Bulgare, agar putusan arbitrase di London diberikan fiat eksekusi, sehingga mempunyai kekuatan hukum sebagai putusan yang dapat segera dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri Indonesia.
Dasar hukum nya:1) Stbl. 1933 No. 132 jo 133, yang mengatur voorzieningen
voor Indonesie ter uitvoering van het verdrag nopens de ten- uitvoerlegging van in het buitenland gewezen scheidsrechter- lijke uitpraken van 26 September 1927 di Konvensi Jenewa 26 September 1927, yang sampai saat ini belum ada peraturan dari Republik Indonesia yang mencabutnya kembali. Setidak-tidaknya tidak ada peraturan yang menyatakan bahwa Stbl. itu tidak berlaku lagi di sini.
2) Berdasarkan pasal 5 Peraturan Peralihan KMB berkenaan dengan peralihan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia dan Peraturan Presiden No. 2 tanggal 10 Oktober 1945, maka Persetujuan Internasional yang berlaku untuk Wilayah Republik Indonesia pada saat penyerahan kedaulatan tetap berlaku untuk Republik Indonesia (i.e. Konvensi Jenewa berikut Stbl. 1933 No. 132 jo 133), kecuali apabila Republik Indonesia telah membatalkannya.
Termohon PT. Nizwar mengajukan kasasi.
Sementara perkara tersebut dalam pemeriksaan kasasi keluarlah Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981, tanggal 5 Agustus 1981 dan lampirannya, tentang pengesahan Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards, yang memungkinkan pelaksanaan putusan Aritrase Asing di Indonesia.Mahkamah Agung RI, dalam putusannya tertanggal 20 Agustus 1984 telah membatalkan penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan 3 alasan pokok.a) Bahwa pada azasnya sesuai dengan Yurisprudensi di Indone
sia putusan Pengadilan Asing dan putusan Hakim Arbitrase Asing tidak dapat dilaksanakan di Indonesia, kecuali antara
17
Republik Indonesia dan Negara Asing yang bersangkutan diadakan perjanjian tentang pelaksanaan putusan Pengadilan Asing/putusan Arbitrase Asing.
b) Bahwa meskipun menurut pasal 5 Peraturan Peralihan Perjanjian KMB, perihal : penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia Perjanjian Internasional yang berlaku untuk Wilayah Indonesia tetap berlaku bagi Republik Indonesia, namun hal ini tidak berarti Republik Indonesia mutlak terikat pada Perjanjian KMB tersebut maupun pada Perjanjian Internasional yang dahulu dibuat oleh Pemerintah Kerajaan Belanda dengan alasan Perjanjian-perjanjian Internasional tersebut (i.e. Stbl. 1933 No. 131) terjadi pada waktu dunia Internasional sepenuhnya dikuasai oleh Negara-negara penjajah, dengan demikian prinsip state succession berdasarkan Hukum Internasional juga dikuasai oleh keadaan tersebut, di mana kalau kelak suatu Negara jajahan memperoleh kemerdekaannya, maka Negara jajahan tersebut otomatis (suatu stelsel passif) terikat pada Perjanjian-perjanjian Internasional yang telah diadakan oleh Negara penjajahnya.Bahwa pada dewasa ini setelah Perang Dunia II, praktis keadaan dunia telah berubah, karena timbulnya kekuatan-kekuatan baru dalam bentuk Negara-negara yang sedang berkembang. Bahkan dunia sekarang dikuasai oleh aliran Interde- pensi (saling ketergantungan) yang intinya adalah common concern dari family of nations tentang keadaan di dunia. (Prof. Z. Asikin Kusumah Atmadja SH. dalam Seminar Sehari 16Nopember 1988).
c) Bahwa selanjutnya mengenai Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981 dan lampirannya tentang pengesahan Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards sesuai praktek hukum yang masih berlaku harus ada peraturan pelaksanaannya tentang apakah permohonan eksekusi putusan Hakim Arbitrase Asing dapat diajukan langsung pada Pengadilan Negeri, kepada Pengadilan Negeri yang mana atau permohonan eksekusi diajukan melalui Mahkamah Agung RI dengan maksud untuk dipertimbangkan apakah putusan tersebut tidak mengandung hal-hal yang bertentangan dengan Ketertiban Hukum di Indonesia. Atas dasar alasan
tersebut, maka permohonan pelaksanaan putusan Hakim Arbitrase Asing seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima.
Beberapa pendapat setelah adanya KEPPRES No. 34 Tahun 1981Sehubungan dengan tata cara pelaksanaan ini, apakah putusan
Arbitrase Asing itu bersifat self executing, dalam artian putusan tersebut dapat langsung dilaksanakan tanpa tata cara apapun, di Negara kita masih ada perbedaan pendapat.Ada pendapat yang menyatakan bahwa setelah adanya KEPPRES No. 34 Tahun 1981, maka putusan Arbitrase Asing dapat langsung dilaksanakan di Indonesia.Pendapat ini menunjuk pada bagian terakhir article III New York Convention yang menentukan : ’’There shall not be imposed substantially more onerous condition of higher fees of charges on the recognition of enforcement of arbitral awards to which this convention applies than are imposed on the recognition or enforcement of domestic arbitral awards.”Pendapat lain menyatakan bahwa bagaimanapun putusan Arbitrase Asing itu tetap merupakan putusan Hakim/Arbiter Asing. Ia tidak sama dan tidak dapat sepenuhnya diperlakukan sama dengan putusan Arbiter/Hakim Negara kita sendiri.Article IV dari Konvensi menyebutkan : ”To obtain the recognition and enforcement mentioned in the preceding articles, the party applying for recognition and enforcement shall, at the time of the application supply . . . etc.” , yang merupakan persyaratan- persyaratan bagi pelaksanaan Arbitrase Asing yang berbeda bila dibandingkan dengan persyaratan-persyaratan bagai pelaksanaan putusan Arbitrase Dalam Negeri.Juga article V, ayat 2 menentukan bahwa :’’Recognition and enforcement of the award may be refused, at the request of the party against whom it is revoked, only if that party furnishes to the competent authority where the recognition and enforcement is songhtfind th a t :a) the subject matter of the differences is not capable of settle
ment by arbitration under the law of that country; orb) the recognition or enforcement of the award would be contrary
to the public policy of that country”.Dengan demikian tidak tertutup kemungkinan untuk menolak eksekusi putusan Arbitrase Asing apabila pihak termohon eksekusi menunjukkan adanya bukti-bukti sebagaimana disebut dalam
19
article V, New York Convention tersebut.Alasan untuk penolakan hanyalah terbatas pada alasan-alasan sebagaimana disebutkan dalam article V tersebut. Pengadilan untuk melakukan penolakan tidak mengadakan penilaian kembali terhadap isi putusan arbitrase.Mengenai penilaian kembali ini oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dalam keputusan No. 64/Pdt/G/1984, telah menyatakan bahwa Award of Arbitration No. 2282, tanggal 8 September 1984, yang telah diucapkan di London oleh Federation of Oils, Seed and Association (Fosfa) terhadap PT. Bakrie & Brothers Jakarta sebagai tidak berkekuatan hukum dan karena itu tidak dapat dilaksanakan.Menurut pendirian Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dari article V New York Convention 1958 ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengakuan dan pelaksanaan keputusan dapat ditolak oleh salah satu pihak dengan menyatakan kepada pihak yang berwenang. Menurut Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang dimaksud dengan pihak yang berwenang di sini adalah jelas Pengadilan Negeri, karena badan inilah yang akan melaksanakan eksekusi keputusan arbitrase tersebut dan atas itu pengadilan bisa menilai apakah putusan arbitrase bersangkutan sesuai dengan jiwa konvensi itu sendiri, di mana ketentuan-ketentuan dari Hukum Negara yang bersangkutan harus diperhatikan.Secara tegas dinyatakan di sini, sesuai dengan ketentuan article III konvensi, hukum acara mengenai pelaksanaan arbitrase di Negara yang diminta pelaksanaan adalah yang harus dipakai.Selanjutnya Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, menganggap bahwa keputusan arbitrase yang telah diucapkan di London ini tidak terlebih dahulu mendengar kedua belah pihak yang bersangkutan. Dalam acara arbitrase di Indonesia, yang dikenal dalam pasal 631 — 650 RV, menurut Pengadilan Negeri Jakarta Selatan harus dilakukan hal ini. Keputusan arbitrase di London tidak terbukti telah mendengar pihak pembantah (PT. Bakrie & Brothers). Keputusan tersebut semata-mata didasarkan atas permintaan pihak terbantah (Trading Corporation of Pakistan Limited) dan pembantah sendiri tidak merasa bertanggung jawab atas kebenaran keterangan-keterangan tadi. Dan bahwa menurut hukum yang berlaku di Indonesia, para pihak masing-masing menunjuk seorang untuk mewakili di forum arbitrase tersebut.
Kita lihat di sini Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah secara seluruhnya menilai keputusan arbitrase bersangkutan, sedang menurut New York Convention 1958, sesungguhnya alasan-alasan untuk penolakan hanyalah terbatas pada alasan-alasan sebagaimana dicantumkan dalam article V tersebut. Nampaknya yang ditekankan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, adalah tidak diberikan proper notice (sebagaimana ketentuan pasal V ayat 1 b) mengenai pengangkatan dari pihak arbiter atau karena ia disebabkan sesuatu hal lain, tidak dalam kemungkinan untuk melakukan pembelaan. Inilah yang telah ditekankan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dalam menyatakan Award dari London mengenai perusahaan Pakistan yang telah minta pelaksanaan di Indonesia terhadap suatu perusahaan di Indonesia sebagai tidak dapat diterima. Selain penolakan sebagaimana disebutkan dalam article V tersebut, sesuai dengan prinsip Hukum Perdata Internasional, suatu putusan Hakim Asing termasuk di dalamnya putusan Arbiter Asing selalu dapat ditolak pelaksanaannya dalam hal putusan Hakim/Arbiter Asing itu bertentangan dengan azas Ketertiban Umum (publik order) yang berlaku di Indonesia.
3. ExequaturSuatu putusan arbitrase memiliki exectoriale titel hanya apabila
putusan ini diberikan exequatur. Pemberian exequatur hanya dapat dilakukan apabila dilampirkan bukti bahwa Negara si pemohon secara reprositas juga bersedia mengeksekusi putusan Arbitrase di Negara kita. Sebagaimana halnya suatu putusan Arbitrase Dalam Negeri, maka suatu putusan, Arbitrase Asing hanya dapat dimohonkan eksekusinya apabila sebelum atau pada saat dilakukan permohonan tersebut didepositokan pula surat putusan arbitrase maupun surat penunjukan arbiternya, setelah mendapat otentikasi seperlunya.Mengenai siapa yang berwenang memberi exequatur terhadap suatu putusan Arbitrase Asing ini KEPPRES No. 34 Tahun 1981, tidak memberikan pengaturannya.Juga article V dari New York Convention tidak memberikan pengaturannya. Article V dari New York Convention yang mengatur perihal penolakan pelaksanaan hanya menyebutkan perihal adanya suatu competent authority. Pejabat mana yang dimaksud de-
21
ngan competent authority tidak disebutkan dalam article V New York Convention tersebut.Lain halnya dengan Undang-undang No. 5 Tahun 1968, mengenai pengakuan terhadap Convention of the Settlement of Investment Disputes between State and Nationals of Other States, di mana pasal 3 menyebutkan bahwa untuk melaksanakan putusan Mahkamah Arbitrase sebagaimana dimaksud dalam konvensi diperlukan surat dapat dilaksanakan (exequatur) dari Mahkamah Agung.
Beberapa tata cara pelaksanaan putusan Arbitrase/Hakim Asinga. Tata cara yang mengenai pelaksanaan putusan Arbitrase ini da
pat kita temui dalam ketentuan Stbl. 1933 No. 132 jo 133, perihal : ’’voorzieningen voor Indonesie ter uitvoering van het ver- drag nopens de tenuitvoerlegging van in het biutenland scheid- srechterlijke uitspraken”.
b. Hal yang sama mengenai pelaksanaan putusan Hakim Asing ini kita jumpai pula dalam pasal 431 Rv Nederland.
c. Perma No. 1 tahun 1990 yang memuat tentang tata cara pelaksanaan putusan Arbitrase Asing.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan putusan Arbitrase Asing.a. Demi kepastian hukum dan lancarnya pelaksanaan putusan
badan Arbitrase Asing perlu ditentukan terlebih dahulu apakah dalam putusan tersebut terdapat hal-hal yang nyata-nyata bertentangan dengan Ketertiban Umum yang berlaku di Indonesia.
b. Di samping itu perlu juga diatur hal-hal yang berkenan dengan jurudiksi, yaitu apakah pelaksanaan putusan Badan Arbitrase tersebut dapat dilakukan oleh Pengadilan di dalam wilayah hukum mana termohon berdomisili atau demi lancarnya pelaksanaan dilakukan oleh Mahkamah Agung RI, seperti halnya Undang-undang No. 5 Tahun 1968.
c. Juga perlu pengaturan tentang tata cara permohonan setidak- tidaknya penegasan misalnya bahwa yang berlaku adalah tata cara sebagaimana dalam RV yaitu ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi pelaksanaan putusan Arbitrase Dalam Negeri.
d. Hal yang penting lainnya adalah adanya bukti bahwa pemohon dalam wilayah hukum mana putusan Arbitrase telah dijatuh-
22
kan juga menjadi peserta Convention New York atas dasar reprositas dan bahwa putusan Arbitrase Asing tersebut diserahkan setelah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dan dilegalisasi melalui saluran diplomatik yang lazim.
e. Dan yang terakhir yang perlu diperhatikan sehubungan dengan KEPPRES No. 34 Tahun 1981, adalah pernyataan (declaration) yang berbunyi:’’Pursuant to the provision of article I (3) of this Convention, the Government of the Republic of Indonesia declares that it will apply the Convention on the basis of reprocity, to the recognition and enforcement of awards made only in the territory of another contracting state, and that it will apply the Convention only to differences arising out of legal relationships, whether contractual of not, which are considered as commercial under the Indonesian Law” .Terjemahan dalam Bahasa Indonesia :’’Sesuai dengan ketentuan pasal I (3) dari Perjanjian, maka Pemerintah Republik Indonesia menyatakan, bahwa Pemerintah akan mempergunakan perjanjian itu berdasarkan asas timbal balik, untuk pengakuan dan pelaksanaan keputusan-keputusan yang dibuat hanya di wilayah dari Negara lain yang mengadakan perjanjian, dan bahwa Pemerintah akan mempergunakan Perjanjian itu hanya untuk perbedaan-perbedaan yang timbul dari hubungan-hubungan hukum, apakah berdasar atas perjanjian atau tidak, yang dianggap komersial menurut undang-undang Indonesia” .
Declaration ini membatasi berlakunya Convention hanya atas dasar-dasar resprositas dan hanya mengenai hal-hal yang menurut hukum kita whether contractual or not, are considered as commercial.Mengenai siapa yang berwenang menentukan dipenuhi atau tidaknya persyaratan dalam declaration tersebut merupakan persoalan tersendiri yang memerlukan pengaturan, apakah penilaiannya ditentukan oleh Pengadilan Negeri atau ditentukan oleh Mahkamah Agung RI.Dalam hubungan pelaksanaan New York Convention 1958 ini, pada tanggal 1 Juli 1982, Badan Arbitrase Nasional Indonesia, menulis surat yang ditujukan kepada Menteri Kehakiman Repu-
23
bilk Indonesia, yang pada pokoknya menanyakan tentang sudah berlaku dan dapat diterapkannya di Indonesia atau belum New York Convention 1958 tersebut, demi untuk menghilangkan keragu-raguan di masyarakat. Atas dasar surat tersebut kemudian Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman RI, pada tanggal 22 September 1982, membuat surat kepada Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia, yang isinya menyatakan bahwa : ’’New York Covention 1958” tersebut sejak tanggal pengesahannya berlaku dan dapat diterapkan di Indonesia.Walaupun sudah ada KEPPRES No. 34 tahun 1981, dalam prakteknya, untuk memperoleh pelaksanaan putusan Arbitrase Asing masih memerlukan peraturan pelaksanaan.
Peraturan Mahkamah Agung RI, No. 1 Tahun 1990.Pada tgl. 1 Maret 1990, Mahkamah Agung RI telah mengeluar
kan peraturan Mahkamah Agung RI, No. 1 Tahun 1990, sehingga kekosongan hukum tersebut telah terisi.Peraturan Mahkamah Agung RI, No. 1 Tahun 1990, memuat ketentuan perihal tata cara pelaksanaan putusan Arbitrase Asing sebagai akibat keikutsertaan Negara Republik Indonesia pada The New York Convention 1958, yaitu dengan telah diratifikasinya Konvensi New York 1958 dengan Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1982, tgl. 5 Agustus 1981. (Lembaga Negara 1981 No. 40). Kebutuhan akan adanya suatu peraturan pelaksanaan sebagai akibat keikut-sertaan Negara kita dalam Konvensi New York 1958, telah dinyatakan Mahkamah Agung RI dalam putusan kasus Navigation Maritime Bulgare melawan PT. Nizwar, dimana dalam pertimbangannya Mahkamah Agung RI, menyatakan: bahwa KEPPRES No. 34 Tahun 1981, tanggal 5 Agustus 1981 dan lampirannya tentang pengesahan Convention on The Recognition and Envorcement of Foreign Arbitral Awards, sesuai dengan praktek hukum yang berlaku masih harus ada peraturan pelaksanaannya tentang apakah permohonan eksekusi putusan Hakim/Arbitrase Asing dapat diajukan langsung pada Pengadilan Negeri, kepada Pengadilan Negeri yang mana ataukah melalui Mahkamah Agung RI dengan maksud untuk dipertimbangkan apakah putusan tersebut tidak mengandung hal-hal yang bertentangan dengan ketertiban hukum di Indonesia.
Peraturan Mahkamah Agung RI ini merupakan perwujudan dari fungsi mengatur (regelende functie) yang dimiliki Mahkamah Agung RI.
Dalam PERMA tersebut disebutkan:’’Bahwa yang diberi wewenang untuk masalah pelaksanaan putusan Arbitrase Asing ini adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.”
Bahwa yang dimaksud dengan putusan Arbitrase Asing adalah:a. Putusan yang dijatuhkan oleh suatu Badan Arbitrase/Arbiter
perorangan di luar wilayah hukum RI.b. Putusan suatu Badan Arbitrase/Arbiter perorangan yang me
nurut ketentuan hukum RI dianggap sebagai suatu putusan Arbitrase Asing.
Bahwa putusan Arbitrase Asing dapat dilaksanakan dalam Wilayah Hukum RI, bila memenuhi syarat-syarat:a. Putusan dijatuhkan oleh suatu Badan Arbitrase/Arbiter Per
orangan di suatu Negara yang dengan Negara Indonesia terikat dalam suatu Konvensi Internasional perihal pengakuan serta pelaksanaan putusan Arbitrase Asing yang pelaksanaannya didasarkan atas Azas Timbal Balik (Resiprositas).
b. Putusan-putusan Arbitrase Asing yang dimaksud hanyalah terbatas pada putusan-putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup Hukum Dagang.
c. Putusan-putusan Arbitrase tersebut hanya dapat dilaksanakan di Indonesia bila tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
d. Putusan Arbitrase Asing dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh Exequatur dari Mahkamah Agung RI.
Yang berwenang memberi Exequatur ini adalah Ketua Mahkamah Agung, Wakil Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Muda Bidang Hukum Perdata Tertulis.Untuk memperoleh Exequatur maka putusan Arbitrase Asing harus dideponir (didaftarkan) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sesuai tata cara menurut pasal 377 HIR/pasal 705 RBG selanjutnya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengirimkan berkas permohonan eksekusi Arbitrase Asing tersebut ke Panitera/ Sekjen Mahkamah Agung RI untuk memperoleh Exequatur.
Pengiriman berkas permohonan ke Mahkamah Agung RI, di-
25
laksanakan paling lambat 14 hari setelah diterimanya permohonan tersebut dengan disertai:
a. Asli putusan atau turunan putusan Arbitrase Asing yang telah diotentikasi, sesuai dengan ketentuan otentikasi dokumen asing, serta naskah terjemahan resminya, sesuai ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.
b. Asli peijanjian/turunan perjanjian yang menjadi dasar putusan Arbitrase Asing.
c. Keterangan dari Perwakilan Diplomatik Indonesia di Negara di mana putusan Arbitrase Asing tersebut diberikan yang menyatakan Negara pemohon terikat secara bilateral atau secara bersama-sama dengan Indonesia dalam suatu Konvensi Internasional, perihal pengakuan serta pelaksanaan suatu putusan Arbitrase Asing.
Setelah Mahkamah Agung RI memberikan Exequatur maka pelaksanaan selanjutnya diserahkan pada :a. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.b. Dalam hal pelaksanaan putusan harus dilakukan di daerah hu
kum lain dari daerah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, maka harus diteruskan kepada Pengadilan Negeri yang secara relatif berwenang melaksanakan. (Pasal 195 HIR/pasal 206 ayat 2 RBG).
c. Sita eksekutorial dapat dilakukan atas harga kekayaan serta barang-barang milik termohon eksekusi sesuai tata cara dalam HIR/RBG.
Untuk pemberian Exequatur ini dikenakan biaya Rp. 250.000,—
P E N U T U P
Dari uraian ini ternyata masalah eksekusi putusan Arbitrase Asing yang dahulu merupakan hal yang rumit, maka setelah dikeluarkannya PERMA No. 1 Tahun 1990, vacuum di bidang tersebut sudah diisi. Hal ini amat penting mengingat apabila Negara kita terus menerus tidak dapat melaksanakan putusan Arbitrase Asing tersebut, maka Pemerintah kita dapat dituduh tidak serius dalam meratifikasi Perjanjian-peijan- jian Internasional atau melanggar konvensi yang telah dinyatakan berlaku untuk Republik Indonesia (New York Convention 1958).Dan hal demikian tentu merugikan posisi kita dalam hubungan Perdagangan Internasional.
Dengan diterbitkannya PERMA No. 1 Tahun 1990, maka hal ini merupakan bukti bahwa Pemerintah RI (Mahkamah Agung) bersungguh-sungguh dalam mengupayakan agar putusan Arbitrase Asing dapat segera dilaksanakan di Negara kita.
27
PERTANYAAN1. Apakah yang dimaksudkan dengan konvensi ?
Apakah konvensi itu sumber hukum ?Adakah konvensi yang sudah disetujui oleh Negara kita, yang memungkinkan dilaksanakannya suatu putusan Arbitrase Asing ?
2. Bagaimanakah kedudukan Konvensi Jenewa tahun 1927, tentang pelaksanaan putusan Arbitrase Asing pada saat ini ?
3. Sudah berapa kalikah Indonesia ikut serta dalam Konvensi International khusus mengenai Arbitrase ?
4. Pernahkah Saudara mendengar tentang CSID ?Apa maksudnya ?
5. Ukuran apakah yang dapat Saudara gunakan untuk menentukan apakah suatu putusan Arbitrase itu termasuk putusan arbitrase domestik ataukah putusan Arbitrase Asing ?
6. Mengapa Arbitrase, khususnya Arbitrase Dagang International kini memegang peranan penting ?
7. Apakah adanya klausula Arbitrase (asing) dapat mengakibatkan bahwa pengadilan di Negara kita tidak lagi berwenang memeriksa serta mengadili perkaranya ?Jelaskan ?
8. Bagaimanakah tata cara pelaksanaan putusan Arbitrase Asing menurut Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1990 ?
9. Apakah hubungan antara ’’public policy” dengan pemberian exequatur dalam hal pelaksanaan putusan Arbitrase Asing ?Apakah yang dimaksud dengan public policy ?Berikan uraian Saudara ?
10. Apakah terbuka suatu upaya hukum terhadap pemberian exequatur ?Bilamana ada apa bentuknya ?
-28
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Prof. R. Subekti, SH.Arbitrase Perdagangan.Cetakan Pertama, September 1981, Bina Cipta Bandung.
2. Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama.Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional.Alumni, 1985, Bandung.
3. Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama.Indonesia dan Arbitrase Internasional.Alumni, 1986, Bandung.
4. Prof. Zainal Asikin Kusumah Atmadja, SH.Konvensi/Ratifikasi dan Eksekusi Putusan Arbitrase.Makalah disampaikan dalam Simposium Sehari di Jakarta,16 Nopember 1988.
5. Frank Elkouri dan Edna Elkouri.How Arbitration Works.Washington DC, 1974.
6. Bunga Rampai Eksekusi Putusan Arbitrase Asing, Jilid I—IV. Diterbitkan Tim Pengkajian dan Penelitian Hukum Mahkamah Agung Republik Indonesia, 1988.
29
LAMPIRAN
PERATURAN HUKUM ACARA PERDATA (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering, disingkat R.V.)
BUKU KETIGA
ANEKA ACARA
BAB PERTAMA Putusan wasit
Bagian pertamaPersetujuan perwasitan dan pengangkatan para wasit
Pasal 6151. Adalah diperkenankan kepada siapa saja, yang terlibat dalam
suatu sengketa yang mengenai hak-hak yang berada dalam kekuasaannya untuk melepaskannya, untuk menyerahkan pemutusan sengketa tersebut kepada seorang atau beberapa orang wasit.
2. Semua orang yang dengan kekuasaan hakim telah diangkat dalam sesuatu tugas-jabatan, atau yang berdasarkan ketentuan- ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau Kitab Undang-undang Hukum Dagang, untuk mengadakan suatu perdamaian atau menjual barang, memerlukan kuasa dari hakim, tidak diperkenankan dalam jabatan tersebut menyerahkan pemutusan sengketa-sengketa kepada wasit, tanpa telah mendapat kuasa seperti itu.
3. Bahkan adalah diperkenankan mengikatkan diri satu sama lain, untuk menyerahkan sengketa-sengketa yang mungkin timbul di kemudian hari, kepada pemutusan seorang atau beberapa orang wasit.
31
Pasal 616Tidaklah diperkenankan, atas ancaman kebatalan, untuk mengadakan suatu persetujuan perwasitan mengenai penghibahan atau peng- hibah-wasiatan nafkah; mengenai perceraian atau perpisahan dari meja dan tempat tidur antara suami dan isteri; mengenai kedudukan hukum seseorang, ataupun mengenai lain-lain sengketa tentang mana oleh ketentuan-ketentuan undang-undang tidak diperbolehkan mengadakan suatu perdamaian.
Pasal 6171. Dengan kekecualian sebagaimana termuat dalam ketentuan pa
sal 34, maka siapa saja yang diperbolehkan menjadi seorang jurukuasa, juga diperbolehkan untuk diangkat sebagai seorang wasit.
2. Dari ketentuan ini dikecualikan wanita dan anak yang belum dewasa.(Pasal 34 Peraturan Hukum Acara Perdata melarang para hakim para jaksa dan para panitera Pengadilan untuk menjadi jurukuasa dan wasit).
Pasal 6181. Persetujuan perwasitan harus diadakan secara tertulis dan di
tandatangani oleh kedua pihak; jika para pihak tidak mampu menandatangani, maka persetujuan harus dibuat di muka seorang notaris.
2. Persetujuan harus memuat masalah yang menjadi sengketa ■ nama-nama dan tempat-tempat tinggal para pihak, dan juga
nama nama serta tempat-tempat tinggal wasit atau para wasit, yang selalu harus dalam jumlah ganjil.
3. Semua atas ancaman kebatalan.
Pasal 619Apabila, dalam hal seperti yang diterangkan dalam ayat ketiga dari pasal 615, pada waktunya sengketa timbul, para pihak tidak mencapai sepakat tentang hal memilih wasitnya, maka atas permohonan pihak yang paling berkepentingan, wasit atau para wasit itu akan diangkat oleh hakim yang sedianya berwenang memeriksa sengketanya seandainya tidak ada persetujuan perwasitan.
32
Pasal 6201. Persetujuan perwasitan harus menentukan jangka waktu da
lam mana sengketa yang diajukan untuk diputusi oleh wasit, harus sudah diputus; dan dalam hal tidak telah ditetapkan jangka waktu seperti itu, maka kuasa yang diberikan kepada wasit atau para wasit, akan berlaku untuk enam bulan terhitung mulai hari para wasit telah menerima baik pengangkatan mereka.
2. Selama jangka waktu tersebut, kekuasaan para wasit tidak boleh ditarik kembali kecuali atas kesepakatan bulat para pihak.
Pasal 6211. Para wasit yang tidak diangkat oleh hakim, tidak dapat dila
wan kecuali atas alasan-alasan yang timbul setelah pengangkatan mereka.
2. Para wasit yang diangkat oleh hakim, apabila para pihak baik secara tegas atau secara diam-diam telah menyetujui pengangkatan mereka, tidak dapat dilawan atas alasan yang timbul setelah itu.
3. Alasan-alasan untuk melawan seorang wasit adalah sama dengan alasan-alasan yang dapat dipakai untuk melawan seorang hakim; benar-tidaknya alasan-alasan tersebut akan selekasnya diperiksa dan diputusi oleh hakim yang disebutkan dalam pasal 619.
Pasal 6221. Penerimaan penugasan para wasit itu harus dilakukan secara ter
tulis.2. Penerimaan tersebut dapat ditulis pada surat pengangkatan me
reka.
Pasal 623Para wasit yang telah menerima baik pengangkatan mereka, tidak diperkenankan mengundurkan diri dari tugas mereka, kecuali atas alasan-alasan yang disetujui oleh hakim yang disebutkan dalam pasal 619. Mereka dapat dihukum untuk mengganti kerugian kepada para pihak, apabila mereka, tanpa sesuatu alasan yang dapat diterima, tidak memberikan keputusan mereka dalam jangka waktu yang telah ditetapkan untuk itu.
33
Bagian keduaPemeriksaan di muka para wasit
Pasal 624Pemeriksaan akan dilakukan dengan cara dan dalam jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam persetujuan perwasitan, atau apa bila tentang itu tidak telah ditetapkan sesuatu, menurut cara sebagaimana ditetapkan oleh para wasit.
Pasal 625Setelah jangka waktu itu berakhir, maka para wasit hanya akan memutus berdasarkan keterangan-keterangan tertulis serta surat-surat yang telah diajukan kepada mereka.
Pasal 626Apabila tidak satu pun dari para pihak telah mengajukan sesuatu surat, maka atas permintaan para pihak, para wasit dapat menetapkan suatu jangka waktu baru atau menyatakan bahwa tugas mereka telah berakhir.
Pasal 627Semua perintah-perintah untuk mengadakan tindakan-tindakan sementara yang dikeluarkan oleh para wasit dan tiap pengaturan yang dibuat berkenan dengan soal-soal acara, harus dilaksanakan tanpa formalitas-formalitas lebih lanjut, sejak perintah atau pengaturan itu diberitahukan kepada para pihak.
Pasal 6281. Apabila perlu diadakan pemeriksaan kehakiman tentang ke
aslian atau kepalsuan surat-surat, atau apabila secara tiba-tiba timbul suatu perselisihan mengenai suatu peristiwa yang bersifat pidana, maka para wasit akan mempersilakan para pihak untuk menempuh jalan hukum kepada pengadilan biasa.
2. Dalam hal yang demikian, jangka waktu-jangka waktu akan mulai beijalan lagi mulai pada hari putusan pengadilan yang diberikan tentang insiden tersebut, memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
34
Pasal 6291. Ketentuan ayat-ayat dari pasal yang lalu berlaku juga, dalam
hal para wasit telah memberikan putusan mengenai suatu insiden atau dalam hal mereka memberikan suatu putusan sela.
2. Dalam hal yang terakhir, mereka bahkan diperkenankan untuk memperpanjang jangka waktu yang telah ditetapkan berhubungan dengan putusan akhir yang akan mereka berikan.
Pasal 6301. Apabila para wasit telah memerintahkan didengarnya saksi-
saksi, tetapi saksi-saksi ini tidak menghadap secara sukarela atau menolak mengangkat sumpah atau memberikan keterangan, maka pihak yang berkepentingan harus mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya perintah pendengaran saksi-saksi tersebut telah dikeluarkan, dengan permohonan supaya pengadilan itu mengangkat seorang hakim yang diberikan tugas khusus untuk melakukan pendengaran saksi-saksi tersebut dengan cara yang lazim berlaku dalam perkara-perkara biasa di muka pengadilan.
Bagian ketiga Putusan wasit
Pasal 631Para wasit harus memutus menurut peraturan-peraturan hukum kecuali persetujuan perwasitan telah memberikan kekuasaan kepada mereka untuk memutus menurut kebijaksanaan (ex aequo et bono).
Pasal 6321. Putusan wasit harus memuat:
nama-nama dan tempat-tempat tinggal para pihak; suatu kesimpulan tentang pendirian mereka masing-masing alasan-alasan (pertimbangan) serta amarnya putusan.
2. Putusan itu harus diberikan tanggal, dengan menyebutkan tempat di mana ia diambil dan harus ditandatangani oleh semua wasit.
.35
Apabila bagian terkecil para wasit menolak menandatangani, maka hal ini harus disebutkan oleh para wasit lainnya dan putusan akan mempunyai kekuatan hukum yang sama seperti.jika ia ditanda tangani oleh semua wasit.
Pasal 633
Pasal 6341. Dalam waktu empat belas hari sekedar mengenai Jawa dan Ma
dura, dan jika mungkin dalam waktu tiga bulan sekedar mengenai tempat-tempat lainnya, terhitung mulai hari diambilnya putusan, maka asli dari putusan itu oleh salah seorang wasit atau oleh seorang jurukuasa yang khusus dikuasakan oleh para wasit atau salah seorang mereka, harus disimpankan kepada kantor Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya putusan itu telah diambilnya.
2. Akte penyimpanan tersebut harus ditulis pada bagian bawah atau bagian samping dari asli putusan yang disimpankan, dan harus ditandatangani oleh panitera dan orang yang melakukan penyimpanan tersebut.
3. Panitera pengadilan harus membuat akte penyimpanan tersebut;tiada biaya untuk akte itu maupun biaya-biaya lain dapat diminta dari para wasit, karena para pihak sendirilah yang menanggung biaya-biaya itu.
Pasal 635Para wasit diwajibkan, selain putusan mereka, menyimpankan pula asli surat pengangkatan mereka atau salinan resmi dari surat itu, pada kantor panitera.
Pasal 636Putusan wasit dari macam apa pun juga, tidak dapat dibantah.
Pasal 637Putusan wasit harus dijalankan dengan suatu perintah dari ketua Pengadilan Negeri yang disebutkan dalam pasal 634, yang dikeluarkan dalam bentuk seperti yang diuraikan dalam pasal 435. Perintah itu dituliskan di atas asli surat putusan wasit dan akan dibuat salinan apabila ia dikeluarkan.
36
Apabila wasit-wasit ditugaskan memutusi dalam tingkat banding suatu perkara yang dalam tingkat pertama telah diperiksa oleh sebuah pengadilan biasa, maka putusan wasit harus disimpankan di kantor panitera dari pengadilan yang sedianya memeriksa perkara itu dalam tingkat banding, sedangkan perintah pelaksanaan juga akan dikeluarkan oleh ketua pengadilan tersebut.
Pasal 639Putusan wasit yang memuat perintah pelaksanaan yang diberikan oleh ketua dari Pengadilan Negeri yang berwenang, harus dijalankan menurut cara yang biasa berlaku bagi suatu pelaksanaan putusan pengadilan.
Pasal 638
Pasal 640Pengadilan yang ketuanya telah mengeluarkan perintah pelaksanaan, harus memeriksa semua sengketa berhubungan dengan pelaksanaan putusan wasit tersebut.
Bagian keempatUpaya-upaya terhadap putusan-putusan wasit
Pasal 6411. Menurut ketentuan pasal 163 ’’Reglement.op de Rechter lijke
Organisatie en het Beleid der Justitien (R.O), diperkenankan banding kepada Hooggerechtshof terhadap putusan-putusan wasit yang pokok perselisihannya mempunyai nilai lebih dari 500 rupiah, kecuali para pihak secara tegas melepaskan hak mereka untuk naik banding.
2. Ketentuan-ketentuan sebagaimana termuat dalam bab keenam dari Buku Pertama Kitab Undang-undang ini berlaku untuk banding tersebut.(menurut pasal 15 Undang-undang Mahkamah Agung (Undang undang No. 1 tahun 1950), Mahkamah Agung memutus dalam tingkat banding terhadap putusan-putusan wasit yang mengenai nilai harga Rp. 25.000,- atau lebih).
37
Tiada kasasi maupun peninjauan kembali dapat diajukan terhadap suatu putusan wasit, biarpun para pihak telah memperjanjikan hal yang demikian dalam persetujuan mereka.
Pasal 642
Pasal 643Apabila putusan wasit itu tidak dapat dimintakan banding, maka ia dapat dilawan sebagai batal, dalam hal-hal yang berikut:
1. apabila putusan itu telah diberikan melewati batas-batas persetujuan;
2. apabila putusan itu diberikan berdasarkan suatu persetujuan yang adalah batal atau telah lewat waktunya;
3. apabila putusan itu telah diberikan oleh sejumlah wasit yang tidak berwenang memutus tanpa hadirnya wasit-wasit yang lainnya;
4. apabila telah diputus tentang hal-hal yang tidak telah dituntut atau putusan telah mengabulkan lebih daripada yang dituntut;
5. apabila putusan wasit itu mengandung keputusan-keputusan yang satu sama lain bertentangan;
6. apabila para wasit telah melelaikan untuk memberikan keputus- an tentang satu atau beberapa hal yang menurut persetujuan telah diajukan kepada mereka untuk diputus;
7. apabila para wasit telah melanggar formalitas-formalitas hukum acara yang harus diturut atas ancaman kebatalan; tetapi ini hanya berlaku apabila menurut ketentuan-ketentuan yang tegas dimuat dalam persetujuan para wasit diwajibkan mengikuti hukum acara biasa yang berlaku di muka pengadilan;
8. apabila telah diberikan keputusan berdasarkan surat-surat yang setelah keputusan itu diberikan, diakui sebagai palsu atau telah dinyatakan sebagai palsu;
9. apabila setelah putusan diberikan, surat-surat yang menentukan, yang dulu disembunyikan oleh para pihak, diketemukan lagi;
10. apabila putusan didasarkan pada kecurangan atau itikad jahat, yang dilakukan selama berjalannya pemeriksaan, yang kemudian diketahui.
38
Pasal 6441. Tuntutan untuk pembatalan putusan wasit tidak akan diterima,
kecuali diajukan di dalam jangka waktu enam bulan terhitung semenjak putusan tersebut diberitahukan kepada para pihak sendiri di tempat tinggal mereka.
2. Namun demikian, dalam h'al-hal yang disebutkan dalam sub 8, 9 dan 10, jangka waktu enam bulan itu tidak akan berjalan selainnya sesudahnya kepalsuan, kecurangan atau itikad yang tidak baik itu telah diketahui; dengan syarat bahwa dalam semua peristiwa itu hanyalah bukti-bukti tertulis saja yang dapat diterima mengenai tanggal diketahuinya peristiwa-peristiwa tersebut.
Pasal 645Tuntutan pembatalan putusan wasit dilakukan dengan panggilan yang berisikan perlawanan terhadap perintah pelaksanaan putusan tersebut.
. Pasal 6461. Tuntutan tersebut harus diajukan kepada Pengadilan Negeri
yang ketuanya telah mengeluarkan perintah pelaksanaan putusan wasit tersebut.
2. Pengadilan Negeri akan memutus tentang tuntutan tersebut dan para pihak, apabila ada alasan, dapat menggunakan upaya upaya yang sama terhadap putusan itu, sebagaimana yang oleh undang-undang disediakan terhadap putusan-putusan pengadilan biasa.
Pasal 647Apabila para wasit, dalam tingkat terakhir, telah memerintahkan penyanderaan terhadap pihak yang dikalahkan, sedang pihak ini berpendapat bahwa ketentuan-ketentuan undang-undang dalam hal tersebut tidak memperkenankan penyanderaan, maka dapatlah ia mengajukan tuntutan kepada pengadilan sebagaimana disebutkan dalam pasal yang lalu, agar supaya bagian dari putusan tersebut dibatalkan, di dalam jangka waktu dan dengan cara sebagai mana diuraikan dalam pasal-pasal 644 dan 645, dan demikian itu kendati ditulisnya ketentuan-ketentuan yang sebaliknya yang mungkin dipeijanji- kan dalam persetujuan perwasitannya.
39
Bagian kelimaBerakhirnya acara-acara perwasitan
Pasal 6481. Meninggalnya salah satu pihak tidaklah menghentikan akibat-
akibat suatu persetujuan perwasitari maupun akibat-akibat suatu• klausula perwasitan sebagaimana disebutkan dalam ayat ter
akhir dari pasal 651; juga kekuasaan yang telah diberikan kepada para wasit tidak akan dianggap sebagai ditarik kembali.
2. Namun terhadap para akhliwaris, jangkawaktu-jangkawaktu sebagaimana ditetapkan dalam persetujuan perwasitan, akan ditangguhkan, menunggu berakhirnya jangkawaktu yang diberikan kepada mereka untuk membuat pencatatan tentang harta peninggalan dan untuk berpikir.
Pasal 649Kekuasaan yang diberikan kepada para wasit berakhir pada saat mereka telah memberikan putusan mereka..
Pasal 650Kekuasaan tersebut berakhir pula:1. dengan lewatnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam
persetujuan perwasitan atau sebagaimana diperpanjang selama pemeriksaan;
2. dengan lewatnya waktu enam bulan sejak tanggal mereka menerima baik tugas mereka, apabila tidak telah ditentukan suatu jangka waktu yang lain;
3. dengan ditariknya kembali penguasaan kepada para wasit, dilakukan dengan kesepakatan bulat oleh para pihak.
Pasal 6511. Kekuasaan yang diberikan kepada para wasit juga berakhir de
ngan meninggalnya mereka, dengan diterimanya perlawanan yang diajukan terhadap mereka atau dengan dipecatnya salah satu atau beberapa wasit.
40
2. Namun demikian, kecuali apabila diperjanjikan lain, hakim sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 619, atas permintaan para pihak atau salah satu dari mereka, dalam hal yang demikian akan mengangkat wasit-wasit baru dengan tugas melanjutkan pemeriksaan berdasarkan surat-surat yang terakhir.
41
THE 1958 NEW YORK CONVENTION on the recognition and enforcement of foreign arbitral awards
The Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards was signed at the United Nations Conference on International Commercial Arbitration held in New York in June 1958. The complete text of the Convention is given below for information. Attention is however particularly drawn to Articles I to VII, which contain the essential substance of the Convention. The remaining articles are primarily concerned with procedural matters.
Article 1
1. This Convention shall apply to the recognition and enforcement of arbitral awards made in the territory of a State other than the State where the recognition and enforcement of such awards are sought, and arising out of differences between persons, whether physical or legal. It shall also apply to arbitral awards not considered as domestic awards in the State where their recognition and enforcement are sought.
2. The term ’’arbitral awards” shall include not only awards made by arbitrators appointed for each case but also those made by permanent arbitral bodies to which the parties have submitted.
3. When signing, ratifying or acceding to this Convention, or notifying extension under Article X hereof, any State may on the basis of reciprocity declare that it will apply the Convention to the recognition and enforcement of awards made only in the territory of another Contracting State. It may also declare that it will apply the Convention only to differences arising out of legal relationships, whether contractual or not, which are considered as commercial under the national law of the State making such declaration.
42
Article II1. Each Contracting State shall recognize an agreement in writing
under which the parties undertake to submit to arbitration all or any differences which have arisen or which may arise between them in respect of a defined legal relationship, whether contractual or not, concerning a subject matter capable of settlement of arbitration.
2. The term ’’agreement in writing” shall, include an arbitral clause in a contract or an arbitration agreement, signed by the parties or contained in an exchange of letters or telegrams.
3. The court of a Contracting State, when seized of an action in a matter in recpect of which the parties have made an agreement within the meaning of this article, shall, at the request of one of the parties, refer the parties to arbitration, unless it finds that the said agreement is null and void, inoperative or incapable of being performed.
Article IIIEach Contracting State shall recognize arbitral awards as binding and enforce them in accordance with the rules of procedure of the territory where the award is relied upon, under the conditions laid down in the following articles. There shall not be imposed substantially more onerous conditions or higher fees or charges on the recognition or enforcement of arbitral awards to which this Convention applies than are imposed on the recognition or enforcement of domestic arbitral awards.
Article IV
1. To obtain the recognition and enforcement mentioned in the preceding article, th e , party applying for recognition and enforcement shall, at the time of the application, supply:a. the duly authenticated original award or a duly certified copy
thereof;b. the original agreement referred to in Article II or a duly certified copy thereof.
2. If the said award or agreement is not made in an official language of the country in which the award is relied upon, the party apply
43
ing for recognition and enforcement o f the award shall produce a translation of these documents into such language. The t r a n s i tion shall be certified by an official or sworn translator or by a diplomatic or consular-agent.
Article V1. Recognition and enforcement of the award may be refused, at
the request of the party against whom it is invoked, only if that party furnishes to the competent authority where the recognition and enforcement is sought, proof that:a. the parties to the agreement referred to in Article II were,
under the law applicable to them, under some incapacity, or the said agreement is not valid under the law to which the parties have subjected it or, failing any indication thereon, under the law of the country where the award was made; or
b. the party against whom the award is invoked was not given proper notice of the appointment of the arbitrator or of the arbitration proceedings or was otherwise unable to present his case; or
c. the award deals with a difference not contemplated by or not falling within the terms of the submission to arbitration, or it contains decisions on matters beyond the scope of the submission to arbitration, provided that, if the decision on matters submitted to arbitration can be separated from those not so submitted, that part of the award which contains decisions on matters submitted to arbitration may be recognized and enforced: or
d. the composition of the arbitral authority or the arbitral procedure was not in accordance with the agreement of the parties, or, failing such agreement, was not in accordance with the law of the country where the arbitration took place; or
e. the award has not yet become binding on the parties, or has been set aside or suspended by a competent authority of the country in which, or under the law of which, that award was made.
2. Recognition and enforcement of an arbitral award may also be refused if the competent authority in the country where recognition and enforcement is sought finds that;
44
a. the subject matter of the difference is not capable of settlement by arbitration under the law of that country; or
b. the recognition or enforcement of the award would be contrary to the public policy of that country.
Article VI
If an application for the setting aside or suspension of the award has been made to a competent authority referred to in Article V paragraph (I) [e], the authority before which the award is sought to be relied upon may, if it considers it proper, adjourn the decision on the enforcement of the award and may also, on the application of the party claiming enforcement o f the award, order the' other party to give suitable security.
Article VII1. The provisions of the present Convention shall not affect the
validity of multilateral or bilateral agreement concerning the recognition and enforcement of arbitral awards entered into by the Contracting States nor deprive any interested party of any right he may have to avail himself on a arbitral award in the manner and to the extent allowed by the law or the treaties of the country where such award is sought to be relied upon.
2. The Geneva Protocol on Arbitration Clauses of 1923 and the Geneva Convention on the Execution of Foreign Arbitral Awards of 1927 shall cease to have effect between Contracting States on their becoming bound and to the extent that they become bound, by this Convention.
Article VIII1. This Convention shall be open until 31 December 1958 for
signature on behalf of any Member of the United Nations and also on behalf of any other State which is or hereafter becomes a member of any specialized agency of the United Nations, or which is or hereafter becomes a party to the Statute of the International Court of Justice, or any other State to which an invitation has been addressed by the General Assembly of the United Nations.
45
2. This Convention shall be ratified and the instrument of ratification shall be deposited with the Secretary General of the United Nations.
Article IX1. This Convention shall be open for accession to all States referred
to in Article VIII.2. Accession shall be effected by the deposit of an instrument
of accession with the Secretary General of the United Nations.
Article X1. Any State may, at the time of signature, ratification or access
ion, declare that this Convention shall extend to all or any of the territories for the international relations of which it is responsible. Such a declaration shall take effect when the Convention enters into force for the State concerned.
2. At any time thereafter any such extension shall be made by notification addressed to the Secretary General of the United Nations and shall take effect as from the ninetieth day after the day of receipt by the Secretary General of the United Nations of this notification, or as from the date of entry into force o f the Convention for the State concerned, whichever is the later.
3. With respect to those territories to which this Convention is not extended at the time of signature, ratification or accession, each State concerned shall consider the possibility of taking the necessary steps in order to extend the application of this Convention to such territories, subject, where necessary for constitutional reasons, to the consent of the Governments of such territories.
Article XI1. In the case of a federal or non-unitary State, the following pro
visions shall apply:a. With respect to those articles of this Convention that come
within the legislative jurisdiction of the federal authority, the obligations o f the federal Government shall to this extent
46
be the same as those of Contracting States which are not federal States.
b. With respect to those articles of this Convention that come within the legislative jurisdiction of constituent states or provinces which are not under the constitutional system of the federation, bound to take legislative action, the federal Government shall bring such articles with a favourable recommendation to the notice of the appropriate authorities of constituent states or provinces at the earliest possible moment;
c. A federal State party to this Convention shall, at the request of any other Contracting State transmitted through the Secretary General of the United Nations, supply a statement of the law and practice of the federation and its constituent units in regard to any particular provision of this Convention, showing the extent to which effect has been given to that provision by legislative or other action.
Article XII1. This Convention shall come into force on the ninetieth day
following the date of deposit of the third instrument of ratification or accession.
2. For each State ratifying or acceding to this Convention after the deposit of the third instrument of ratification or accession, this Convention shall enter into force on the ninetieth day after deposit by such State of its instument of ratification or accession.
Article XIII1. Any Contracting State may denounce this Voncention by a
written notification to the Secretary General of the United Nations. Denunciation shall take effect one year after the date of receipt of the notification by the Secretary General.
2. Any State which has made a declaration or notification under Article X may, at any time thereafter, by notification to the Secretary General of the United Nations, declare that this Convention shall cease to extend to the territory concerned one year after the date of the receipt of the notification by the Secretary General.
47
3. This Convention shall continue to be applicable to arbitral awards in respect of which recognition or enforcement proceedings have been instituted before the denunciation takes effect.
Article XIVA Contracting State shall not be entitled to avail itself of the presentConvention against other Contracting States except to the extentthat it is itself bound to apply the Convention.
Article XVThe Secretary General of the United Nations shall notify the Statecontemplated in article VIII of the following:a Signatures and ratifications in accordance with article VIII;b. Accessions in accordance with article IX;c. Declaration and notifications under articles I, X and XI;d. The date upon which this Convention enters into force in accor
dance with article XII;e Denunciations and notifications in accordance with article XIII.
Article XVI1. This Convention, of which the Chinese, English, French, Russian
and Spanish texts shall be equally authentic, shall be deposited in the archives of the United Nations.
2. The Secretary General of the United Nations shall transmit a certified copy of this Convention to the States contemplated in article VIII.
48
Note that some States have ratified or acceded subject to reservations, notably specifying that the Convention’s application is subject to reciprocity or that it is limited to business and commercial transactions.
AustraliaAustriaBelgiumBeninBotswanaBulgariaByelorussin SSRCentral African RepublicChileColombiaCubaCyprusCzezhoslovakia Democratic Kampuchea
DenmarkEcuadorEgyptFinlandFranceGerman DRGermany, FR ofGhanaGreeceHoly SeeHungaryIndiaIndonesiaIreland (Rep.)IsraelItalyJapanJordanKuwait
A9
PRESIDENREPUBLIK INDONESIA
NomoiLampiranPerihal
R. 7 /Prd/PUK/VIII/1981 1 (satu)"Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards” .
Jakarta, 3 Agustus 1981
Kepada Yth.Sdr. Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Re
publik Indonesia, di
. Jakarta
Dengan ini kami memberitahukan bahwa Pemerintah telah mengesahkan:
Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards”
yang telah ditandatangani di New York pada tanggal 10 Juni 1958 dan telah mulai berlaku pada tanggal 7 Juni 1959 disertai suatu pernyataan sebagaimana tercantum pada lampiran Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 1981 yang salinannya dilampirkan ini.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SOEHARTO
Tembusan disampaikan kepada:1. Yth. Sdr. Ketua Mahkamah Agung2. Yth. Sdr. Wakil Presiden3. Yth. Sdr. Menteri Luar Negeri4. Yth. Sdr. Menteri Kehakiman5. Yth. Sdr. Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia.
50
PRESIDENREPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1981
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Membaca : Surat Menteri Luar Negeri Nomor 3729/81/29 tanggal 29 Mei 1981 dan nomor 4434/81/29 tanggal 8 Juli 1981;
Menimbang : a. bahwa di New York pada tanggal 10 Juni 1958 telah ditandatangani ’’Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards” , yang telah mulai berlaku pada tanggal 7 Juni 1959;
b. bahwa Pemerintah Republik Indonesia tidak berkeberatan untuk mengesahkan ’’Convention” tersebut pada huruf a di atas;
Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 11 Undang-undang Dasar 1945;
2. Amanat Presiden Republik Indonesia kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat tanggal 22 Agustus 1960 Nomor 2826/HK/60.
MEMUTUSKAN
Menetapkan :PERTAMA : Mengesahkan ’’Convention on the Recognition and
Enforcement of Foreign Arbitral Awards” yang telah ditandatangani di New York pada tanggal 10 Juni 1958 dan telah mulai berlaku pada tanggal 7 Juni 1959, disertai suatu pernyataan, yang naskah-naskahnya terlampir pada Keputusan Presiden ini.
KEDUA : Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
51
Agar supaya setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Keputusan Presiden ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Agustus 1981
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
S O E H A R T O
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 5 Agustus 1981
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SUDHARMONO, S.H.
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1981 NOMOR 40.
52
LAMPIRANKEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
TENTANGPENGESAHAN ’’CONVENTION ON THE
RECOGNITION AND ENFORCEMENT OF FOREIGN ARBITRAL AWARDS”
PERNYATAAN (DECLARATION)
’’Pursuant to the provision of Article (3) of the Convention, the Government of the Republik of Indonesia declares that it will apply the Convention on the basis of reciprocity, to the recognition and enforcement of awards made only in the territory of another Contracting State, and that it will apply the Convention only to differences arising out of legal relation-ships, whether contractual or not, which are considered as commercial under the Indonesian Law” .
53
LEMBARAN-NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No. 32, 1968, KONVENSI, PENYELESAIAN PERSELISIHAN, PENANAMAN MODAL. PERSETUJUAN.Undang-undang No. 5 tahun 1968 tentang persetujuan atas Konvensi tentang penyelesaian perselisihan antara Negara dan Warga Negara asing mengenai penanaman modal. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran-Negara No. 2852).
DENGAN RACHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk mendorong dan membina penanaman modal asing di Indonesia dan sesuai dengan Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XII/MPRS/1966 dan No. XXII/ MPRS/1966, maka dianggap perlu agar Pemerintah Republik Indonesia ikut serta dalam Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warga negara Asing mengenai Penanaman Modal (Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of other States);
b. bahwa Republik Indonesia adalah Anggota Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (International Bank for Reconstruction and Development), sehingga memenuhi syarat untuk dapat ikut serta dalam Konvensi tersebut di atas;
c. bahwa untuk tujuan tersebut pada huruf a Pemerintah Republik Indonesia, telah menandatangani Konvensi tersebut pada tanggal 16 Februari 1968.
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), pasal 11 dan pasal 20 Undang- undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Se-
54
mentara No. XII/MPRS/1966 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXIII/ MPRS/1966;
3. Undang-undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara tahun 1967 No. 1, Tambahan Lembaran Negara no. 2818);
4. Undang-undang No. 9 tahun 1966 tentang Keanggotaan -Kembali Republik Indonesia dalam Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund) dan Bank International untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (International Bank for Reconstruction and Development (Lembaran Negara tahun1966 No. 36);
5. Undang-undang No. 2 tahun 1967 tentang Perubahan Undang-undang No. 9 Tahun 1966 tentang Keanggotaan Kembali Republik Indonesia dalam Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund) dan Bank International untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (International Bank for Reconstruction and Development) (Lembaran Negara tahun1967 no. 2, Tambahan Lembaran Negara No. 2819).”
Dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat GotongRoyong.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan: Undang-undang tentang Persetujuan atas Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warga negara Asing mengenai Penanaman Modal.
Pasal 1Menyetujui Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan antara
Negara dan Warga negara Asing mengenai Penanaman Modal (Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of other States), yang salinannya dilampirkan pada Undang-undang ini.
55
Pasal 2Pemerintah mempunyai wewenang untuk memberikan perse
tujuan bahwa sesuatu perselisihan tentang penanaman modal antara Republik Indonesia dan Warga negara Asing diputuskan menurut Konvensi termasuk dan untuk mewakili Republik Indonesia dalam perselisihan tersebut dengan hak substitusi.
1. Untuk melaksanakan putusan Mahkamah Arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Konvensi tersebut mengenai perselisihan antara Republik Indonesia dan Warga negara Asing di wilayah Indonesia, diperlukan surat pernyataan Mahkamah Agung bahwa putusan tersebut dapat dilaksanakan.
2. Mahkamah Agung mengirimkan surat pernyataan termaksud dalam ayat (1) pasal ini kepada Pengadilan Negeri dalam daerah hukum mana putusan itu harus dijalankan dan memerintahkan untuk melaksanakannya.
3. Surat pernyataan dan perintah yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini disampaikan kepada Pengadilan Negeri yang bersangkutan melalui Pengadilan Tinggi yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri tersebut.
Hal-hal yang belum atau belum cukup diatur dalam Undang-undang ini akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Perundangan.
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintah
kan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Pasal 3
Pasal 4
Pasal 5
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Juni 1968
Sekretaris Negara RI,
Disahkan di Jakarta Pada tanggal 29 Juni 1968
Presiden Republik Indonesia,
ALAMSJAH Major Jenderal TNI
SOEHARTO Jenderal TNI
56
TAMBAHANLEMBARAN-NEGARA R.I.
No. 2852. KONVENSI, PENYELESAIAN PERSELISIHAN, PENANAMAN MODAL, PERSETUJUAN. Penjelasan atas Undang- undang No. 5 tahun 1968 tentang persetujuan atas konvensi tentang penyelesaian perselisihan antara negara dan warga-negara asing mengenai penanaman modal.
PENJELASANATAS
UNDANG-UNDANG No. 5 TAHUN 1968 tentang
PERSETUJUAN ATAS KONVENSI TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN ANTARA NEGARA
DAN WARGA NEGARA ASING MENGENAI PENANAMAN MODAL
PENJELASAN UMUM
Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warga negara Asing mengenai Penanaman Modal (Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of other States), untuk selanjutnya disebut Konvensi, mengatur penyelesaian perselisihan antara suatu Negara dengan perorangan atau Perusahaan Asing yang menanam modalnya di Negara tersebut dengan jalan damai (conciliation) atau arbitrase (arbitration).
Suatu Negara yang hendak mempergunakan fasilitas itu harus :a. Anggota Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangun
an (International Bank for Reconstruction and Development), sesuai dengan pasal 67 Konvensi;
b. Terlebih dahulu menandatangani Konvensi dan setelah itu menyetujuinya (ratifikasi) menurut hukum yang berlaku untuk Negara yang bersangkutan sesuai dengan pasal 68 Konvensi.Walaupun Konvensi telah berlaku untuk sesuatu Negara, namun
tidaklah ada suatu kewajiban bahwa setiap perselisihan harus diselesaikan menurut Konvensi. Sebab syarat mutlak untuk, penyelesaian per-
57
selisihan menurut Konvensi adalah persetujuan dari kedua belah pihak yang berselisih.
Untuk mendorong dan membina Penanaman Modal Asing di Indonesia sejalan dengan Undang-undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, maka Republik Indonesia telah menandatangani Konvensi yang memerlukan persetujuan dengan Undang-undang supaya berlaku di Indonesia.
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Cukup jelas.Pasal 1
Pasal 2Menurut pasal-pasal 25 ayat (1) dan 36 ayat (2) Konvensi setiap
perselisihan harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari kedua belah pihak yang berselisih, sebelum dapat diajukan di depan Mahkamah Arbitrase (Arbitral Tribunal). Dengan pasal ini dipastikan bahwa Pemerintah mempunyai wewenang untuk memberikan persetujuan yang dimaksud itu serta untuk mewakili Republik Indonesia dalam perselisihan tersebut dengan hak substitusi di mana perlu.
Pasal 3Ayat (1)a. Pasal 54 ayat (1) dan ayat (3) Konvensi menentukan bahwa pu
tusan Mahkamah Arbitrase dipersamakan dengan putusan terakhir dari Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Putusan tersebut harus dilaksanakan menurut hukum Negara itu.
b. Untuk kepastian cara pelaksanaan putusan itu di Indonesia, maka pasal 3 ayat (1) menentukan bahwa Mahkamah Agung harus terlebih dahulu menyatakan bahwa putusan Mahkamah Arbitrase itu dapat dijalankan dalam wilayah Republik Indonesia.
c. Perselisihan yang dimaksud dalam ayat (1) ini ialah perselisihan antara Republik Indonesia dan Warga Negara Asing mengenai Penanaman Modal di wilayah Indonesia. Tidak termasuk di dalamnya perselisihan antara Negara lain dengan Warga Negara Asing lain pula yang hendak menjalankan putusan Mahkamah Arbitrase mengenai penanaman modal di dalam wilayah Indonesia (Pasal 55 Konvensi).
58
d. Surat pernyataan diberikan oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Tertinggi yang berkedudukan di Ibu Kota Republik Indonesia.
Ayat (2).Cukup jelas.
Ayat (3).Surat pernyataan dan perintah diberikan kepada Pengadilan Tinggi
sebagai tingkatan bawahan untuk diteruskan kepada Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Pasal 4Pasal ini dimaksudkan untuk mengatur follow-up dari pelaksanaan
penandatanganan Konvensi sepanjang yang sedemikian itu belum atau belum cukup diatur dalam Undang-undang ini.
Cukup jelas.Pasal 5
(Termasuk Lembaran Negara tahun 1968 No. 32).
59
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG N om or: 1 Tahun 1990
TentangTATACARA PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE ASING
MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : 1. Bahwa dengan disahkannya ’’Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards” (New York Convention 1958) dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 34 Tahun 1981 tanggal 5 Agustus 198l r dipandang perlu untuk menetapkan peraturan tentang tata- cara pelaksanaan suatu putusan Arbitrase Asing.
2. Bahwa ketentuan-ketentuan hukum acara perdata Indonesia sebagaimana terdapat dalam Reglemen Indonesia yang diperbarui (Stbl. 1941 No. 44), Reglemen Daerah-daerah Luar Jawa dan Madura (S. 1927 — 227) maupun ketentuan-ketentuan Reglement op de Rechtsvordering (S. 1847—52 yo 1849 — 63) tidak memuat ketentuan mengenai pelaksanaan suatu putusan Arbitrase Asing.
3. Bahwa berhubung dengan itu dipandang perlu untuk menuangkan ketentuan-ketentuan tentang tatacara pelaksanaan suatu putusan Arbitrase Asing itu dalam suatu peraturan Mahkamah Agung.
Mendengar : Majelis Mahkamah Agung.
Memperhatikan : 1. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, Undang- undang No. 14 Tahun 1985, Reglemen Indonesia
60
yang diperbarui (S. 1941 No. 44), Reglemen Daerah-daerah Luar Jawa dan Madura (S. 1927 — 227).
2. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 34 Tahun 1981, Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor : 40 tanggal 5 Agustus 1981.
M E M U T U S K A N :
Menetapkan : Peraturan Tentang Tatacara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.
BAB I U M U M Pasal 1
Yang diberi wewenang menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan Pengakuan serta Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Pasal 2Yang dimaksud dengan putusan Arbitrase Asing adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu Badan Arbitrase ataupun Arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, ataupun putusan suatu Badan Arbitrase ataupun Arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan Arbitrase Asing, yang berkekuatan hukum tetap sesuai dengan Keppres No. 34 Tahun 1981 Lembaran Negara Tahun 1981 No. 40 tanggal 5 Agustus 1981.
Pasal 3Putusan Arbitrase Asing hanya diakui serta dapat dilaksanakan di dalam wilayah hukum Republik Indonesia apabila memenuhi syarat- syarat sebagai beriku t:
1. Putusan itu dijatuhkan oleh suatu Badan Arbitrase ataupun Arbiter perorangan di suatu Negara yang dengan Negara Indonesia ataupun- bersama-sama dengan Negara Indonesia terikat dalam suatu konvensi Internasional perihal pengakuan serta Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.Pelaksanaannya didasarkan atas azas timbal balik (resiprositas).
2. Putusan-putusan Arbitrase Asing tersebut dalam ayat 1 di atas hanyalah terbatas pada putusan-putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup Hukum Dagang.
3. Putusan-putusan Arbitrase Asing tersebut dalam ayat 1 di atas hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan- putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
61
4. Suatu putusan Arbitrase Asing dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh Exequatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia.
BAB IIEXEQUATUR
Pasal 41. Exequatur diberikan oleh Ketua Mahkamah Agung atau Wakil
Ketua Mahkamah Agung atau Ketua Muda Bidang Hukum Perdata Tertulis yang diberi wewenang oleh Ketua Mahkamah Agung atau Wakil Ketua Mahkamah Agung.
2. Exequatur tidak akan diberikan apabila putusan Arbitrase Asing itu nyata-nyata bertentangan dengan sendi-sendi azasi dari seluruh sistim hukum-dan masyarakat di Indonesia (ketertiban umum)
BAB IIITATACARA PERMOHONAN UNTUK MEMPEROLEH EXEQUATUR
Pasal 51. Permohonan untuk eksekusi putusan Arbitrase Asing hanya
dapat dilakukan setelah didaftarkan (dideponir) di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sesuai tatacara yang berlaku menurut pasal 377 RID/pasal 705 Reglemen Daerah-daerah Luar Jawa dan Madura.
2. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut dalam ayat 1 mengirimkan berkas permohonan eksekusi Arbitrase Asing tersebut kepada Panitera/Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung untuk memperoleh Exequatur.
3. Pengiriman berkas permohonan ke Mahkamah Agung dilaksanakan dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan tersebut.
4. Pengiriman berkas permohonan itu harus disertai dengan:a. Asli putusan atau turunan Arbitrase Asing yang telah di-
otentikasi tersebut sesuai dengan ketentuan perihal oten- tikasi dokumen-dokumen asing, serta naskah terjemahan resminya, sesuai ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.
62
b. Asli peijanjian atau turunan peijanjian yang menjadi dasar putusan Arbitrasi Asing yang telah diotentikasi sesuai dengan ketentuan perihal otentikasi dokumen-dokumen asing, serta naskah teijemahan resminya, sesuai ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.
c. Keterangan dari perwakilan diplomatik Indonesia di negara dimana putusan Arbitrase Asing tersebut diberikan, yang menyatakan bahwa negara pemohon terikat secara bilateral dengan negara Indonesia ataupun terikat secara bersama- sama dengan negara Indonesia dalam suatu konvensi Internasional perihal pengakuan serta pelaksanaan suatu putusan Arbitrase Asing.
BAB IV
TATACARA SITA DAN PELAKSANAAN PUTUSAN
Pasal 61. Setelah Mahkamah Agung memberikan Exequatur maka pelak
sanaan selanjutnya diserahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
2. Dalam hal pelaksanaan putusan harus dilakukan di daerah hukum lain dari daerah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat maka Pengadilan yang disebut terakhir ini meneruskannya kepada Pengadilan Negeri yang secara relatif berwenang melaksanakannya sesuai ketentuan pasal 195 RID/pasal 206 (2) Reglemen Daerah-daerah Luar Jawa dan Madura dan seterusnya.
3. Sita eksekutorial dapat dilakukan atas harta kekayaan serta barang-barang milik termohon eksekusi.Tatacara penyitaan serta pelaksanaan putusan mengikuti tata- cara sebagaimana ditentukan oleh RID/Reglemen Daerah-daerah Luar Jawa dan Madura.
BAB VTENTANG BIAYA
Pasal 7Permohonan pelaksanaan suatu putusan Arbitrase Asing terdiri atas
63
2 (dua) bagian:a. biaya pemberian Exequatur, ditetapkan sebesar Rp. 250.000,—
dibayar melalui Panitera/Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk diteruskan kepada Panitera/Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung RI.Biaya tersebut diatas dapat ditinjau kembali.
b. biaya sita serta pelaksanaan putusan adalah dibayar pada Panitera/Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.Dalam hal sita dan pelaksanaan putusan dilakukan di luar Pengadilan Negeri Jakarta Pusat seperti yang dimaksud dalam pasal 195 (2) RID/pasal 206 (2) Reglemen Daerah-daerah Luar Jawa dan Madura, maka biaya dibayar pada Pengadilan Negeri yang dimintakan bantuannya.
BAV VI Pasal 8
Hal-hal yang belum diatur akan ditetapkan kemudian.
BAB VII
Pasal 9Peraturan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : JAKARTAPada tanggal 1 MARET 1990
KETUA MAHKAMAH AGUNG - RI,
ttd.
ALI SAID, SH.
64
Mahkamah Agung
Tanggal 22 Februari 1982 No. 2424 K/Sip/1981(Palti Raja Siregar S.H; Olden Bidara S.H., Soegiri S.H.)
Ahju Forestry Company Limited
— Perwasitan/Arbitrase (01/320)— Pengadilan Negeri tidak berkuasa
Keberatan pemohon kasasi yang menyatakan bahwa ketentuan mengenai dewan arbitrase sebagaimana disebutkan dalam Basic Agreement for Joint Venture telah mengikat para pihak sebagai undang-undang (pasal 1332 BW), dan karenanya putusan judex facti telah bertentangan dengan pasal 615 Rv, dibenarkan.
Mahkamah Agung membatalkan putusan judex facti dan menyatakan bahwa Pengadilan Negeri tidak berkuasa mengadili perkara itu.
Pasal 377 R.I.D. dan pasal 615 dst. Rv.l
* Dikutip dari Prof. Mr. Dr. S. Gautama, Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional, Alumni, Bandung, 1985, halaman 155 dst;
65
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH AGUNGmengadili dalam tingkat kasasi telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara:
Reg. No. 2924 K/Sip/1981.
AHJU FORESTRY COMPANY LIMITED.
berkedudukan hukum di 967, Dohwa-Dong, Nam-ku, Inchcon Korea, dalam hal ini memilih domisili hukum di kantor kuasanya Prof. Mr. Dr.S. Gautama, Pengacara di Jakarta beralamat di Jalan Medan Merdeka Timur No. 9 Jakarta, Penggugat untuk kasasi dahulu Tergugat Pembanding.
Melawan:
SUTOMO/DIREKTUR UTAMA PT. BALAPAN JAYA
berkedudukan di Jalan Besuki No. 37 Jakarta Pusat, dalam hal ini memilih domisili hukum di kantor kuasanya, Mr. Basarudin Nasution, beralamat di Jalan Medan Merdeka Timur No. 7 Jakarta, Tergugat dalam kasasi dahulu Penggugat Terbanding;Mahkamah Agung tersebut;Melihat surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa sekarang Tergugat dalam kasasi sebagai Penggugat asli telah menggugat sekarang Penggugat untuk kasasi sebagai Tergugat-asli di muka persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada pokoknya atas dalil-dalil:
Bahwa pada tanggal 7 Nopember 1977, Menteri Pertanian R.I. telah menetapkan Penggugat-asli sebagai pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) untuk jangka waktu 20 tahun atas areal hutan seluas 115.000 Ha yang terletak di wilayah Propinsi Kalimantan Barat;
Bahwa Penggugat-asli dan Tergugat-asli telah mendirikan suatu perseroan terbatas Penanaman Modal Asing (PMA) yang bernama PT. Ahju Balapan Timber.
66
Bahwa antara , Penggugat-asli dan Tergugat-asli terdapat perbedaan pendapat mengenai pendaya gunaan hutan;
Bahwa Choi Myeong Haeng sebagai Presiden Direktur dari P.T. Ahju Balapan Timber telah menunjukkan sikap yang bertentangan dengan kebijaksanaan Pemerintah/Direktur Jenderal Kehutanan R.I; yang menimbulkan kerugian bagi Penggugat asli;
Bahwa dengan alasan-alasan tersebut dengan permohonan agar diberikan suatu keputusan provisionil sebagai berikut:— Menyatakan, supaya Management (Pengurusan) dari PT. Ahju
Balapan Timber untuk seluruhnya, ditangani/dipegang oleh Penggugat untuk waktu yang tidak ditentukan sampai ada penyelesaian perkara ini baik di luar persidangan maupun di dalam persidangan antara Penggugat dengan Tergugat;
— Mencairkan dana PT. Ahju Balapan Timber yang dibekukan oleh Bank Dagang Negara Jakarta, jalan Thamrin, pencairan mana sangat diperlukan untuk biaya-biaya produksi dan gaji para karyawan dan biaya-biaya lainnya demi lancarnya perusahaan tersebut.Bahwa selanjutnya Penggugat-asli menuntut kepada Pengadil
an Negeri Jakarta Utara agar memberikan keputusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu sebagai berikut:
I. PRIMAIR:— Menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat untuk se
luruhnya;— Menyatakan menurut Hukum agar kerja sama pengusaha
an hutan oleh Penggugat dan Tergugat, menjadi putus karena hukum;
— Menyatakan semua saham Tergugat, beralih menjadi saham Penggugat sesuai dengan pasal 4 dari Akte Pendirian PT. Ahju Balapan Timber (Lihat bukti P-2), sebagai akibat perbuatan (onrechtmatigedaad) dari Tergugat selama ada joint- company, yang merugikan Penggugat;
— Menyatakan putusan Provisi maupun putusan dalam pokok perkara dapat dilaksanakan lebih dahulu walaupun ada bantahan, verzet, banding atau kasasi.
II. SUBSIDAIR:— Memberikan putusan yang adil dan bijaksana;— Biaya perkara menurut hukum;
67
Bahwa terhadap gugatan tersebut telah diajukan eksepsi oleh Tergugat-asli yang pada pokoknya menyatakan;
Bahwa menurut surat gugatan,. Ahju Forestry Company Ltd, berkedudukan di Incheom, Republik Korea, maka sewajarnya panggilan untuk perkara ini disampaikan kepada alamat resmi pihak Tergugat-asli di Korea;
Bahwa sejak tahun 1977, Choi Myeong Haeng bukan lagi sebagai Presiden Direktur dari Ahju Forestry Company Ltd.,
Bahwa alamat Tergugat-asli menurut panggilan adalah dalam wilayah Jakarta Pusat.
Bahwa pihak-pihak tidak berkedudukan dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Utara apalagi Tergugat-asli berkedudukan hukum di Korea, maka perkara harus diajukan di Korea, dan Penggugat- asli berkedudukan dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,
Bahwa obyek sengketa pun tidak terletak dalam wilayah Pengadilan Negeri Jakarta Utara;
Bahwa sesuai Basic Agreement for joint Venture tertanggal 20 Maret 1974 pasal 15, semua sengketa antara para pihak berdasarkan perjanjian tersebut harus diselesaikan melalui Arbitrase dan apabila tidak dapat mencapai persetujuan dalam 30 hari untuk menunjuk Umpire, maka Umpire ini akan ditunjuk oleh Ketua dari pada International Chamber of Commerce di Paris,
Bahwa dengan demikian, sengketa ini tidak dapat diperiksa oleh Pengadilan;
Bahwa tuntutan dalam Propisi tidak sesuai dengan suatu tuntutan dalam Propisi yang dalam perkara ini seharusnya diajukan dalam pokok perkara;
Bahwa dengan alasan-alasan tersebut mohon kiranya Pengadilan Negeri Jakarta Utara menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara ini, setidak-tidaknya menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima;
Bahwa terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Jakarta Utara Timur telah mengambil keputusan, yaitu keputusannya tanggal 18 Desember 1980 No. 113/1980 G, yang amarnya berbunyi sebagai berikut:
DALAM EKSEPSI:— Menyatakan Eksepsi Tergugat baik tentang Konpetensi Absolut
68
maupun Kompetensi Relatif tidak beralasan hukum, karenanya ditolak;
DALAM PROVISI:- Mengabulkan gugatan Penggugat dalam Provisi;- Menyatakan Penggugat berhak melakukan kepengurusan (mana
gement) PT. Ahju Balapan Timber untuk seluruhnya dipegang dan dilaksanakan oleh PT. Balapan Jaya;
- Mencairkan dana PT. Ahju Balapan Timber yang dibekukan oleh Bank Dagang Negara, Jalan Thamrin Jakarta dengan mengindahkan surat Direktur Jenderal Kehutanan tanggal 23 April 1980 No. 1336/DJ/I/l 980 sub. 2 c;
DALAM POKOK PERKARA:- Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;- Menguatkan putusan dalam Provisi tersebut di atas;- Menyatakan putusan dalam Provisi dapat dijalankan lebih dahulu
walaupun ada bantahan, banding atau kasasi;- Menghukum Tergugat membayar biaya perkara yang hingga kini
ditaksir sebesar Rp. 7.500,— (tujuh ribu lima ratus rupiah);- Menyatakan gugatan selebihnya tidak dapat diterima;Keputusan mana dalam tingkat banding atas permohonan tergugat telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dengan keputusan- nya tanggal 7 Mei 1981 No. 57/1981 PT. Perdata;
Bahwa sesudah keputusan terakhir ini diberitahukan kepada kedua belah pihak pada tanggal 20 Mei 1981 kemudian terhadapnya oleh Tergugat Pembanding (dengan perantaraan kuasanya khusus, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 5 Juni 1981) diajukan permohonan untuk pemeriksaan kasasi secara lisan pada tanggal 5 Juni 1981 sebagaimana ternyata dari surat keterangan No. 21/1981/Pdt. 113/1980 G/PN. Jakarta Utara yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Utara, permohonan mana kemudian dengan disertai oleh memori alasan-alasannya yang diterima di kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut pada tanggal 5 Juni 1981 itu juga;
Bahwa setelah itu oleh penggugat Terbanding yang pada tanggal 6 Juni 1981 telah diberitahu tentang memori kasasi dari Tergugat Pembanding, diajukan jawaban memori kasasi yang diterima di kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada, tanggal 16 Juni 1981;
Menimbang terlebih dahulu, bahwa dengan berlakunya Undang- Undang No. 14 tahun. 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Ke
69
kuasaan Kehakiman, yang telah mencabut Undang-Undang No. 19 tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (yang lama) dan Hukum Acara Kasasi seperti yang dimaksudkan dalam pasal 49 (4) Undang-Undang No. 13 sampai kini belum ada, maka Mahkamah Agung menganggap perlu untuk menegaskan Hukum Acara Kasasi yang harus dipergunakan;
Bahwa mengenai hal ini berdasarkan pasal 40 Undang-Undang No. 14 tahun 1970, maka pasal 70 Undang-Undang No. 13 tahun 1965 harus ditafsirkan sedemikian rupa, sehingga yang dinyatakan tidak berlaku itu bukan Undang-Undang No. 1 tahun 1950 secara keseluruhan, melainkan sekedar mengenai hal-hal yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 13 tahun 1965 kecuali kalau bertentangan dengan Undang-Undang No. 14 tahun 1970;
Bahwa dengan demikian, maka yang berlaku sebagai Hukum Acara Kasasi adalah Hukum Acara Kasasi yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1950, sekedar tidak bertentangan dengan Undang-Undang No. 14 tahun 1970;
Menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta alasan-alasannya yang telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama diajukan dalam tenggang-tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam Undang-Undang, maka oleh karena itu dapat diterima;
Menimbang, bahwa keberatan-keberatan yang diajukan oleh Penggugat untuk kasasi dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya ialah:
1. Bahwa ketentuan mengenai Dewan Arbitrase, sebagaimana disebutkan dalam pasal 15 Basic Agreement for Joint Venture, telah mengikat para pihak sebagai Undang-Undang (pasal 1338 BW), oleh karena mana putusan judeks fakti telah bertentangan dengan pasal 615 dan seterusnya dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (R.V), dan dengan demikian pula telah melanggar ketentuan tentang kompetensi yang absolut;
2. Bahwa para pihak tidak ada yang berkedudukan di wilayah Pengadilan Negeri Jakarta Utara, sedangkan pasal 99 ayat (3) R.V. menekankan, bahwa gugatan harus diajukan di Pengadilan Negeri di tempat tinggal yang menggugat, oleh karena mana judeks fakti secara keliru telah menyatakan dirinya berwenang untuk mengadili perkara ini;
3. Bahwa judeks fakti telah mengkesampingkan pasal-pasal 121 dan pasal 122 HIR serta pasal 6 : 8 R.V., karena tidak pernah memang
70
gil secara resmi Penggugat untuk kasasi/Tergugat-asal, yang bertempat tinggal di luar negeri, dan jawaban Penggugat untuk kasasi/ Penggugat-asal mengenai hal ini, tidak pernah dipertimbangkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara maupun Pengadilan Tinggi Jakarta;
4. Bahwa Pengadilan Negeri telah mengabulkan suatu gugatan provisi yang sesungguhnya tidak boleh diajukan secara provisionil, karena merupakan suatu perubahan dalam ’’status quo” dan merupakan satu tuntutan dalam perkara pokok (bodem geschil), dan putusan Pengadilan Negeri yang menyatakan ’’dapat dijalankan lebih dahulu” telah melanggar Sirkuler Mahkamah Agung No. 3/1978 tanggal 1 April 1978;
5. Bahwa dalil Tergugat dalam kasasi/Penggugat-asal tidak disertai bukti yang sah menurut hukum, karena bukti-bukti yang diajukan oleh Tergugat dalam kasasi/penggugat-asal hanya surat-surat sepihak saja, yang ditulis dan dikirim oleh Tergugat dalam kasasi/ Penggugat asal, sedangkan menurut Undang-Undang surat-surat demikian bukanlah bukti yang sah;
6. Bahwa judeks fakti telah tidak melaksanakan pasal 132—135 HIR, karena Penggugat untuk kasasi/Tergugat-asal tidak diberi kesempatan untuk memberikan jawaban dalam pokok perkara untuk mengajukan pembelaannya;
7. Bahwa kepul usan judeks fakti a quo bertentangan dengan Anggaran Dasar dari Perseroan Terbatas Ahju Balapan Timber, karena yang berhak untuk mengangkat pengurus atau memerintahkan pengalihan management (kepengurusan) adalah Rapat Umum Pemegang Saham;
8. Bahwa tuntutan mengenai pembatalan perjanjian kerja sama dan pengambil alihan saham-saham, tidak seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima oleh judeks fakti (niet ontvankelijk), tetapi harus ditolak ’’onzogd”, karena tidak dapat dibuktikan secara sah menurut Undang-Undang;
MENIMBANG :mengenai keberatan-keberatan ad. 1,2 dan 3.
Bahwa keberatan-keberatan ini pada pokoknya dapat dibenarkan,judeks fakti telah salah menerapkan hukum, sesuai eksepsi Penggugatuntuk kasasi/Tergugat-asal Pengadilan Negeri tidak berwenang untukmengadili perkara ini.
71
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan keberatan kasasi ad. 1, 2, dan 3 tersebut di atas dengan tidak perlu mempertimbangkan keberatan kasasi lainnya, maka menurut pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk menerima permohonan kasasi yang diajukan oleh Penggugat untuk kasasi : Ahju Forestry Company Limited tersebut dan untuk membatalkan keputusan Pengadilan Tinggi Jakarta dan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara, sehingga Mahkamah Agung menyatakan, bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Utara tidak berkuasa mengadili perkara ini yang amarnya berbunyi seperti yang akan disebut di bawah in i :
Menimbang, bahwa dalam perkara ini Tergugat dalam kasasi/Peng- gugat-asal sebagai pihak yang dikalahkan, harus membayar semua biaya perkara baik yang jatuh dalam tingkat pertama dan tingkat banding maupun dalam tingkat kasasi;
Memperhatikan pasal 40 Undang-Undang No. 14 tahun 1970, Undang-Undang No. 13 Tahun 1965 dan Undang-Undang No. 1 tahun 1950;
M E M U T U S K A N :Menerima permohonan kasasi dari Penggugat untuk kasasi: AHJU
FORESTRY COMPANY LIMITED tersebut;Membatalkan keputusan Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 7 Mei
1981 No. 57/1981 PT. Perdata dan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Timur tanggal 18 Desember 1980, No. 113/1980 G. tersebut;
Menyatakan, bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Utara tidak berkuasa untuk mengadili perkara ini;
Menghukum Penggugat sekarang Tergugat dalam kasasi untuk membayar semua biaya perkara baik yang jatuh dalam tingkat kasasi, dan biaya perkara dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp. 9.605‘- (sembilan ribu enam ratus lima rupiah);
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Senin tanggal 8 Pebruari 1982, dengan Palti Radja Si- regar S.H., Hakim Agung yang ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua sidang, Olden Bidara, S.H., dan Soegiri, S.H., sebagai Hakim Anggota, dan diucapkan dalam sidang terbuka pada hari : Senin tanggal 22 Pebruari 1982, oleh Ketua Sidang tersebut, dengan dihadiri oleh Olden Bidara, S.H., dan Soegiri, S.H., Hakim-hakim Ang- gauta, dan Soaloon Siregar Siagian, S. H. Panitera Pengganti, dengan tidak dihadiri oleh kedua belah pihak.
72
Mahkamah Agung
Tanggal 4 Mei 1988 No. 3179 K/Pdt/1984(Prof. Z. Asikin Kusumah Atmadja, SH., T. Boestomi, SH., Gunawan, SH)
PT. Arpeni Pratama Ocean Line
Perwasitan /Arbitrase; (01 /320).Kewenangan Pengadilan memeriksa perkara dalam hal ada klausula arbitrase;
Dalam hal ada klausula arbitrase Pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa dan mengadili gugatan, baik dalam konvensi maupun dalam rekonvensi;
Melepaskan clausule arbitrase harus dilakukan secara tegas dengan suatu persetujuan yang ditanda tangani oleh kedua belah pihak.
Pasal 377 R.I.D. yo pasal 615 dst. Rv.1
1. Dikutip dari : Pembinaan Wawasan Hukum Indonesia. No. XV tahun 1988;
73
PUTUSANReg. No. 3179 K/Pdt/1984
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH AGUNG
memeriksa perkara perdata dalam tingkat kasasi telah mengambil putusan sebagai berikut dalam perkara:
PT. ARPEN PRATAMA OCEAN LINE, berkedudukan di Jalan Abdul Muis No. 40 Jakarta, dalam hal ini diwakili oleh kuasanya: BENNY SUDIBJO PONTJO SOEGITO, SH. dengan alamat Jalan Kebon Sirih No. 16 Jakarta, pemohon kasasi dahulu Penggugat Terbanding;
m e l a w a n :
PT. SHOREA MAS, berkedudukan di Jalan Nangka Tengah,Kompleks Pertokoan Pulo Mas VII/12 Jakarta — Timur, termohon kasasi dahulu Tergugat-Pembanding;
Mahkamah Agung tersebut;Membaca surat-surat yang bersangkutan;Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa se
karang pemohon kasasi sebagai Penggugat-asli telah menggugat sekarang termohon kasasi sebagai Tergugat asli di muka persidangan Pengadilan Negeri Jakarta - Timur pada pokoknya atas dalil-dalil;
bahwa pada tanggal 9 April 1981 antara Penggugat asli dengan Tergugat asli telah ditanda tangani suatu kontrak (Fixture Note) yang isinya bahwa Penggugat asli akan menyewakan kapal lautnya yang bernama M.V. Ekowati atau pengganti kepada Tergugat asli untuk mengangkut kayu gelondongan dari Samarinda ke Tanjung Priok (P. I-P.I.A.);
bahwa untuk pelaksanaan kontrak tersebut Penggugat asli telah mengirimkan kapal tersebut pada tanggal 7 Mei 1981 (P-8) karena itu esoknya tanggal 8 Mei 1981 telah mengikat Tergugat asli seperti yang diuraikan dalam gugatan, sehingga lamanya pemuatan adalah 7 hari 57 jam 41 menit, sedangkan menurut kontrak kecepatan muat 1.200 M2 perwaktu yang sebenarnya;
74
bahwa dengan demikian banyak kayu yang dimuat 4783.09 dibagi 1.200 M2 memakan waktu 3 hari 23 jam 40 menit sebagai hari yang dipeijanjikan;
bahwa dengan demikian kelebihan hari yang terpakai oleh Tergugat asli harus dibayar kepada Penggugat asli berupa denda dan biaya . seperti diperinci dalam gugatan dengan jumlah U$ 81.053.00 dan Rp. 13.801.330,-,
bahwa sampai sekarang uang tersebut tidak dibayar oleh Tergugat asli pada Penggugat asli, dengan demikian Tergugat asli sudah cidera janji;
bahwa untuk jaminan gugatan, mohon diletakkan sita jaminan terhadap harta milik Tergugat asli yang diperinci dalam gugatan;
bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Penggugat asli menuntut kepada Pengadilan Negeri Jakarta — Timur agar memberikan putusan sebagai berikut:1. Mengesahkan dan menyatakan benar dan berharga sitaan jamin
an tersebut di atas (goed en van waarde verklaren);2. Menghukum Tergugat agar dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah
keputusan ini diucapkan atau diberitahukan, membayar kepada Penggugat dengan menerima tanda-pelunasan yang sah dari Penggugat, uang sejumlah US $. 81.053.00 (delapan puluh satu ribu lima puluh tiga United States Dollars) ditambah dengan:a. Bunga sebesar 3% per bulan dari US. $. 81.053.00 tersebut
diatas, terhitung mulai dari Tergugat melakukan wanprestasi, yaitu tanggal 19 Mei 1981 (Kapal selesai muat), sampai jumlah tersebut di atas dibayar lunas dan;
b. Membayar biaya sewa tempat penyimpanan kayu gelondongan (’’Open Storage” ) pada bulan pertama (9 Juni 1981) sebesar Rp. 13.521.930,— (tiga belas juta lima ratus dua puluh satu ribu delapan ratus tiga puluh rupiah), ditambah dengan 3% kali Rp. 13.521.830,—/per bulan terhitung mulai tanggal 9 Juli 1981, sampai jumlah seluruhnya dibayar lunas dan;
c. Membayar ’’Upah Perangsang Buruh” untuk mempercepat pembongkaran, sebesar Rp. 279.500,— berikut bunga 3% per bulan, terhitung mulai tanggal kapal selesai bongkar yaitu 13 Juni 1981, sampai jumlah tersebut di atas dibayar limas dan;
d. Agar Pengadilan Negeri Jakarta Timur berkenan menyatakan
75
bahwa keputusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun masih ada kemungkinan diadakan pemeriksaan dalam tingkat banding, kasasi ataupun yerzet;
e. Menghukum Tergugat untuk membayar segala biaya perkara, termasuk juga ongkos-ongkos j urusita dan beslag;
bahwa terhadap gugatan Penggugat asli tersebut, Tergugat asli telah mengajukan eksepsi yang pada pokoknya sebagai berikut:
bahwa gugatan tidak tepat, sebab sesuai dengan pasal 17 (P. I) jelas tercantum adanya clausule arbitrage yang harus diadakan di Jakarta tapi kenyataannya Penggugat asli langsung saja mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta — Timur;
Bahwa terhadap gugatan Penggugat asli tersebut, Tergugat asli juga telah mengajukan gugatan rekonpensi yang pada pokoknya sebagai berikut:
bahwa jumlah kayu Tergugat asli yang ditahan oleh Penggugat asli seperti yang diperinci dalam gugatan;
bahwa tindakan Penggugat asli tersebut bertentangan dengan kontrak yang telah disetujui;
bahwa tindakan Penggugat asli sangat merugikan Tergugat asli dan sangat merusak nama baik Tergugat asli karena itu patut Tergugat asli menuntut ganti rugi seperti diperinci dalam gugatan;
bahwa untuk jaminan gugatan mohon diletakkan sita jaminan terhadap harta milik Penggugat asli;
bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Tergugat asli menuntut kepada Pengadilan Negeri Jakarta — Timur agar menjatuhkan putusan sebagai berikut:1. Pengadilan Negeri Jakarta Timur memerintahkan melakukan
sitaan jaminan atas barang-barang bergerak maupun tidak bergerak milik Tergugat rekonpensi sampai sejumlah harga yang sekiranya cukup untuk memenuhi tuntutan Penggugat rekonpensi;
2. Menyatakan sah dan berharga sitaan jaminan tersebut;3. Menyatakan Tergugat rekonpensi telah melakukan cidera janji
terhadap Penggugat rekonpensi berupa:a. Lalai mengangkut sisa kayu sejumlah 1.016,54 M3, yang ter
tinggal di Bangkulirang, Samarinda;b. Tidak melakukan kewajibannya menyerahkan sisa kayu se
jumlah 1.707,29 M3, yang ditahan di kade 106 X, melalui agentnya PT. PELNI Cabang Tanjung Priok;
76
4. Menghukum Tergugat rekonpensi membayar kepada Penggugat rekonpensi sejumlah uang tersebut di bawah ini atau sejumlah yang dianggap tepat oleh Pengadilan;
5. a. Rp. 53.578.900,— harga kayu yang ditinggalkan di Bangkuli-rang, dalam hal ini Tergugat rekonpensi tidak bersedia mengangkutnya ke Tanjung Priok dan menyerahkan kepada Penggugat konpensi;
b. Rp. 72.516.603,90 besarnya claim yang diajukan oleh P.T. Kerta Niaga akibat kayu yang tertahan di Kade P.T. Pelni Cabang Tanjung Priok, dalam hal ini Tergugat rekonpensi tidak nientaati putusan propisionil;
c. Denda sebesar 1% (satu persen) setiap harinya dari Rp. 72.516.603,90 terhitung mulai tanggal 1 Agustus 1981 sampai jumlah claim dari P.T. Kerta Niaga dibayar lunas seluruhnya;
d. Membayar kepada Penggugat rekonpensi sesuai dengan besarnya bukti claim dari P.T. Palapa Sakti cq. Duhita Veem.
e. Rp. 3.800.000,— membayar kepada Penggugat rekonpensi sebagai biaya penumpukan di kade P.T. Pelni Cabang Tanjung Priok;
5. Menyatakan sebagai hukum bahwa kelambatan dan penahanan muatan kayu gelondongan sebagai mencemarkan nama baik Penggugat rekonpensi,
6. Menghukum Tergugat rekonpensi karena pencemaran tersebut sebesar : Rp. 48.000.000,— atau sejumlah yang dianggap lebih tepat oleh Pengadilan;
7. Menyatakan putusan dalam perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun ada banding, bantahan ataupun kasasi;
8. Biaya menurut hukum;
SUBSIDAIR:— Mohon keadilan;
bahwa terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Jakarta Timur telah mengambil putusan yaitu putusannya tanggal 10 No- pember 1981 No. 145/T/1981/G., yang amarnya berbunyi sebagai berikut:
DALAM KONPENSI:Mengenai Eksepsi:1. Menyatakan eksepsi Tergugat sebagai tidak tepat dan tidak ber
dasar hukum;
77
2. Menolak eksepsi Tergugat tersebut;Mengenai Pokok Perkara;1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;2. Menghukum Tergugat membayar kepada Penggugat;
a. Uang demmurage kapal M.V. Ekowati di Pelabuhan Bangku- lirang sebesar U.S. Dollar 15.426,—,
b. Sisa uang tambang kapal M.V. Ekowati, dengan perhitungan sebagai berikut:Uang tambang 5.510 M3 X U.S. Dollar 16 =
Uang muka yang sudah diterima perU.S. Dollar 88.160
9 Mei 1.981 = Rp. 14.500.000,-Pembayaran per 25 Mei 1981 = Rp. atau dengan kurs Rp. 625,—/1 U.S.
33.330.000,-
Dollar adalahYang masih harus dibayar
U.S. Dollar 76.624
Tergugatc. Uang demmurage kapal M.V. Ekowati di
U.S. Dollar 11.536
Pelabuhan Tanjung sebesar U.S. Dollar 22.134Seluruhnya berjumlah U.S. Dollar 49.096
Menolak gugatan Penggugat yang selebihnya;
DALAM REKONPENSI:Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
DALAM KONPENSI DAN REKONPENSI:Menghukum Tergugat konpensi/Penggugat rekonpensi untuk membayar biaya perkara ini, yang hingga kini dirancang sebesar Rp. 7.500,— putusan mana dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat telah dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dengan putusannya tanggal 22 Nopember 1 9 8 3 'No. 87/1982/PT/Perdata, yang amarnya berbunyi sebagai berikut:— Menerima permohonan banding dari Pembanding, semula Ter
gugat dalam konpensi/Penggugat dalam rekonpensi: P.T. Shorea Mas tersebut;
— Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur tanggal 10 Nopember 1981 No. 145/T/1981 G. yang dimohonkan banding tersebut,
78
DAN MENGADILI SENDIRI:1. Menyatakan eksepsi Tergugat dalam konpensi/Penggugat dalam
rekonpensi, sekarang Pembanding sebagai tepat dan berdasarkan hukum;
2. Menerima eksepsi Tergugat dalam konpensi/Penggugat dalam rekonpensi, sekarang Pembanding tersebut,
3. Menyatakan Pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa dan mengadili gugatan konpensi, maupun gugatan rekonpensi tersebut,
4. Menghukum Pembanding, semula Tergugat dalam konpensi/ Penggugat dalam rekonpensi, maupun Terhanding, semula Penggugat dalam konpensi/Tergugat dalam rekonpensi untuk membayar biaya perkara dalam dua tingkatan peradilan, yang untuk tingkat banding ditaksir sebesar Rp. 2.575,— (dua ribu lima ratus tujuh puluh lima rupiah).
bahwa sesudah putusan akhir ini diberitahukan kepada para pihak pada tanggal 31 Juli 1984 kemudian terhadapnya oleh Penggugat- Terbanding dengan perantaraan kuasanya khusus, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 6 Agustus 1984 diajukan permohonan kasasi secara lisan pada tanggal 14 Agustus 1984 sebagaimana ternyata dari akte permohonan kasasi No. 55/TIM/84/Kas/1981 yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Timur, permohonan mana kemudian disusul oleh memori kasasi yang memuat alasan-alasan yang diterima di kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut pada tanggal 20 Agustus 1984,
bahwa setelah itu oleh Tergugat-Pembanding yang pada tanggal 23 Agustus 1984 telah diberitahu tentang memori kasasi dari Peng- gugat-Terbanding, diajukan jawaban memori kasasi yang diterima di kepaniteran Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada tanggal 1 September 1984;
Menimbang, bahwa walaupun perkara kasasi ini diperiksa dan diputus pada waktu Undang-Undang No. 14 tahun 1985 sudah berlaku, namun oleh karena pemberitahuan isi putusan Pengadilan Tinggi dan permohonan kasasi telah dilakukan sebelum Undang-Undang yang baru tersebut berlaku, maka diberlakukan tenggang-tenggang waktu kasasi menurut Undang-Undang yang lama (Undang-Undang No. 1 tahun 1950),
Menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta alasan- alasannya yang telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan sak
79
sama diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam Undang-Undang, maka oleh karena itu permohonan kasasi tersebut formil dapat diterima;
Menimbang, bahwa keberatan-keberatan yang diajukan oleh pemohon kasasi dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya ialah:1. Bahwa termohon kasasi sudah setuju perkara dilanjutkan ke
Pengadilan Negeri (P. 39),2. Bahwa pemohon kasasi telah mengangkut kayu milik termo
hon kasasi sampai di tempat tujuan sehingga termohon kasasi harus membayar upah pengangkutan kepada pemohon kasasi (pasal 491 KUHD). Ternyata termohon kasasi telah melakukan wanprestasi. Wanprestasi adalah wewenang Pengadilan Negeri karena pasal 491 KUHD adalah dwingend recht;
3. Bahwa Pengadilan Tinggi Jakarta salah menerapkan pasal 2 Undang-Undang No. 4 tahun 1970 di mana ditegaskan Pengadilan tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili suatu perkara dalam hal Pengadilan berwenang untuk itu;
MENIMBANG :
Mengenai keberatan ad. 1:bahwa keberatan ini tidak dapat dibenarkan, karena Pengadilan
Tinggi tidak salah menerapkan hukum;bahwa melepaskan clausule arbitrase harus dilakukan secara
tegas dengan suatu persetujuan yang ditanda tangani oleh kedua belah pihak;
Mengenai keberatan ad. 2 :bahwa keberatan ini tidak relevant karena tidak mengenai pokok
perkara;
Mengenai keberatan ad. 3 :bahwa keberatan ini tidak dapat dibenarkan, karena Pengadil
an Tinggi tidak salah menerapkan hukum;Menimbang, bahwa terlepas dari pertimbangan tersebut di atas,
menurut pendapat Mahkamah Agung, amar putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 22 Nopember 1983 No. 87/1982/PT/Perdata adalah kurang tepat sehingga memerlukan perbaikan;
Menimbang, bahwa berdasarkan yang telah dipertimbangkan di atas, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi;
80
P.T. Arpeni Pratama Ocean Line tersebut, harus ditolak dengan perbaikan amar putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 22 Nopem- ber 1983 No. 87/1982/PT/Perdata yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur tanggal 10 Nopember 1981 No. 145/ T/1981 G., sehingga amarnya berbunyi seperti yang akan disebutkan di bawah ini.
Memperhatikan fasal-fasal dari Undang-Undang No. 14 tahun 1970, Undang-Undang No. 1 tahun 1950 dan Undang-Undang No. 14 tahdn 1985 yang bersangkutan;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi: P.T. ARPENI PRATAMA OCEAN LINE tersebut dengan perbaikan amar putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 22 Nopember 1983 No. 87/1982/ PT/Perdata yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur tanggal 10 Nopember 1981 No. 145 /T /l981 G., sehingga amarnya berbunyi sebagai berikut:
Dalam Konpensi:Dalam Eksepsi:Menerima eksepsi Tergugat dalam konpensi/Penggugat dalam rekonpen- si sekarang Pembanding tersebut;Menyatakan Pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa dan mengadili gugatan dalam konpensi tersebut;
Dalam Rekonpensi:Menyatakan Pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa dan mengadili gugatan dalam rekonpensi tersebut;
Dalam Konpensi dan Rekonpensi:Menghukum pemohon kasasi dahulu Penggugat dalam konpensi/Ter- gugat dalam rekonpensi/Terbanding untuk membayar seluruh biaya perkara baik yang jatuh dalam tingkat pertama dan tingkat banding maupun yang jatuh dalam tingkat kasasi dan biaya perkara dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebanyak Rp. 20.000,- (dua puluh ribu rupiah);
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari: Selasa, tanggal 26 April 1988 dengan Prof. Z. Asikin Kusumah Atmadja, SH. Ketua Muda yang ditunjuk oleh Ketua Mah
81
kamah Agung sebagai Ketua Sidang, T. Boestomi, SH. dan Goenawan, SH. sebagai Hakim-Hakim Anggauta dan diucapkan dalam sidang terbuka pada hari : RABU, tanggal 4 MEI 1988 oleh Ketua Sidang tersebut, dengan dihadiri oleh T. Boestomi, SH. dan Goenawan, SH. Hakim-Hakim Anggauta dan Hirman Purwanasuma, SH. Panitera- Pengganti, dengan tidak dihadiri oleh kedua belah pihak.
82
Mahkamah Agung
Tanggal 30 September 1983 No. 225 K/Sip/1976.(Indroharto, SH., Ny. H. Martina Notowidagdo, SH., Soegiri, SH).
P.T. Metropolitan Timbers Ltd.
— Perwasitan arbitrase; 01 /320— Klausula arbitrase menyangkut kekuasaan absolut
Ketetentuan pasal 11 peijanjian yang memuat klausula arbitrase adalah menyangkut kekuasaan absolut untuk menyelesaikan perselisihan dalam perkara ini.
Ketentuan mana bagi pihak-pihak mempunyai kekuatan sebagai Undang-undang yang harus ditaati, sedangkan ketentuan pasal 12 hanyalah menentukan domisili yang dipilih oleh kedua pihak yakni P.N. Jakarta Pusat.
Pengadilan Negeri dalam pertimbangan putusannya tidak menyinggung sama sekali masalah tersebut, sedangkan Pengadilan Tinggi dalam pertimbangannya pada pokoknya antara lain menyatakan :
Karena kedua belah pihak tidak mengajukan perlawanan ketika perkara ini diperiksa di Pengadilan Negeri maka dengan demikian Pengadilan Negeri berwenang mengadili perkara ini.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi tersebut hemat Mahkamah Agung keliru karena seolah-olah mengenai kewenangan absolut untuk menyelesaikan perselisihan tersebut, digantungkan kepada ada tidaknya hal tersebut diajukan sebagai eksepsi/perlawanan dalam pemeriksaan di persidangan.
83
PUTUSANReg. No. 225 K/Sip/1976.
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH AGUNG
memeriksa perkara perdata dalam tingkat kasasi telah mengambil putusan sebagai berikut dalam perkara:
1. DATO WONG HECK GUONG, pedagang tinggal di Singapura.2. PT. METROPOLITAN TIMBERS LTD; keduanya beralamat
di Jalan Melawai VI No. 21 Jakarta, dalam hal ini diwakili oleh kuasanya M.F. Sukayat Kartohadiprodjo, SH. alamat Jalan Medan Merdeka Timur No. 9 Jakarta;
Pemohon-pemohon kasasi, dahulu Tergugat-tergugat — Terbanding,
m e l a w a n :
ANDRIES GERARDUS PANGEMANAN sebagai Direktur bertindak untuk dan atas nama GAPKI TRADING CO LTD PT, dalam hal ini memilih domisili di kantor kuasanya: Andi Wa- linono, S.H. Glodok Baru Lantai II No. 22 Jakarta;Termohon kasasi, dahulu Penggugat — Pembanding;
Mahkamah Agung tersebut,Melihat surat-surat yang bersangkutan;Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa se
karang Termohon kasasi sebagai penggugat-asli telah menggugat sekarang Pemohon-pemohon kasasi sebagai tergugat-tergugat-asli di muka persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada pokoknya atas dalil-dalil:
bahwa dalam rangka Undang-undang No. 6 tahun 1968 penggugat asli telah memperoleh dari Dirjen Kehutanan Departemen Pertanian suatu konsesi kayu (Hak Pengusahaan Hutan) atas kepulau- an Sanasa Kasiruta dan Mandioli Propinsi Maluku No. 233/Kpts/Um/ 1 9 6 9 - (bukti P-l);
84
bahwa pada tanggal 25 Nopember 1969 antara penggugat-asli dan tergugat-asli I telah dibuat suatu peijanjian (agreement) di hadapan notaris JFBT Sinyal di Jakarta No. 25 mengenai keija sama eksploitasi kayu di kepulauan tersebut (bukti P-2).
bahwa menurut agreement tersebut kepada tergugat asli I diberi kuasa oleh penggugat-asli untuk melaksanakan eksploitasi dari konsesi kayu bersangkutan atas nama penggugat-asli.
bahwa dengan suratnya tanggal 30 September 1970 (bukti P-3) tergugat-asli I menyatakan kepada penggugat-asli bahwa tergugat-asli II adalah sekutunya yang akan menjalankan pelaksanaan eksploitasi kayu sesuai perjanjian no. 25 tersebut,
bahwa status para tergugat-asli dalam hal ini adalah sebagai kontraktor asing, hal mana dibuktikan dengan surat Dirjen Kehutanan tanggal 6 April 1971 No. 1173/12/DD/71 yang menentukan besarnya areal kehutanan yang telah dikeijakan kontraktor asing/tergugat- asli II yaitu 5.000 (lima ribu) hektar di atas pulau Sanana (bukti P-4);
bahwa menurut pasal 6 dari agreement No. 25 tersebut pihak para tergugat-asli harus membayar kepada penggugat-asli sebesar US $. 3,— (tiga US $) per meter kubik yang dijual menurut bill of lading (invoice) dan pembayaran tersebut harus dilakukan satu bulan setelah datum dari masing-masing shipment, pembayaran mana kemudian dinaikkan menjadi US $. 3,25 per meter kubik menurut agreement No. 4 tanggal 6 Juni 1971 yang dibuat di hadapan notaris Sinyal tersebut;'
bahwa menurut bukti-bukti yang diperoleh dalam rangka kerja sama agreement no. 25 ini para tergugat-asli telah mengeksport kayu dari pulau Sanana sampai pada tanggal 22 Januari 1972 sebanyak 22.450,910 meter kubik (bukti P-7), dengan demikian para tergugat- asli harus membayar kepada penggugat-asli sesuai agreement no. 25 tersebut sebanyak 22.450,910 x US $ 3,25 = US $ 72.565,45. Jumlah mana hingga sekarang belum dipenuhi walaupun sudah ditegor baik secara lisan maupun tertulis (bukti P-7),
bahwa selanjutnya menurut pasal 8 dari agreement tersebut para tergugat-asli harus pula membayar kepada penggugat-asli US $ 500 sebulan terhitung mulai 1 Desember 1969 sebagai biaya administrasi, biaya mana kemudian dinaikkan menjadi US $ 1000,— (seribu US $) sebulan menurut agreement no. 4 tanggal 3 Juni 1971 tersebut;
bahwa para tergugat-asli telah lalai memenuhi pembayaran administrasi tersebut sejak 1 Agustus 1971 sampai 31 Januari 1972 se
85
hingga penggugat asli harus menuntut 6 x US S 1000,— = US $ 6.000,—, bahwa untuk menjamin supaya penggugat-asli memperoleh kem
bali uang yang digugatnya itu penggugat-asli telah mohon kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar diletakkan Conservatoir beslag atas barang-barang milik para tergugat-asli dan selanjutnya penggugat- asli menuntut kepada Pengadilan Negeri tersebut supaya memberikan keputusan yang dapat dijalankan terlebih dahulu:1. Mengabulkan gugatan;2. Menyatakan sebagai hukum, bahwa para tergugat I dan tergugat
II terikat sepenuhnya pada segala ketentuan yang tercantum dalam agreement no, 25 tanggal 25 Nopember 1969 berikut agreement no. 4 tanggal 3 Juni 1971 yang dibuat di hadapan notaris Sinyal,
3. Menghukum para tergugat I dan tergugat II secara tanggung renteng untuk membayar kepada penggugat;a. hasil eksport kayu sebanyak 7 pengapalan (sesuai daftar ter
lampir) sebesar US $ 72.965.45 atau nilainya dalam rupiah;b. pembayaran biaya administrasi sebanyak 6 x US $ 1000 =
US $ 6000 (enam ribu US $) atau nilainya dalam rupiah;4. Mengadakan dan atau menguatkan sitaan Conservatoir beslag atas
barang-barang milik para tergugat baik bergerak maupun tidak bergerak;
5. Menyatakan keputusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu (uitvoorbaar bij voorraad),
6. Menghukum para tergugat membayar biaya perkara;
Menimbang, bahwa Tergugat-tergugat-asli telah mengajukan eksepsi atas dalil-dalil gugatan penggugat-asli tersebut pada pokoknya sebagai berikut:
bahwa yang menjadi dasar daripada gugatan ini adalah agreement no. 25 tanggal 25 Nopember 1969 dan agreement no. 4 tanggal 3 Juni 1971 dan terhadap hal-hal tersebut Tergugat-asli I telah mengajukan gugatan pada tanggal 27 Nopember 1971 dengan rol. No. 514/1971 G. Perkara tersebut hingga saat ini masih dalam taraf kasasi, oleh karena itu tergugat-asli mohon agar gugatan tersebut di atas dinyatakan tidak dapat diterima;
bahwa eksepsi tersebut telah ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,
Menimbang selanjutnya bahwa Tergugat-asli juga telah menyangkal akan kebenaran dalil-dalil gugatan penggugat-penggugat-asli ter-
86
sebut dan sebaliknya telah mengajukan gugatan balik/rekonpensi pada pokoknya sebagai berikut:
bahwa Penggugat rekonpensi/Tergugat-asli mohon agar segala sesuatu yang diajukan dalam konpensi dianggap termasuk dalam re- konpensi ini.
bahwa betul sesuai dengan dalil Tergugat-rekonpensi/Penggugat- asli dalam sub. 2 dan 3 surat gugatan antara Penggugat I rekonpensi/ Tergugat-asli I dengan Tergugat rekonpensi/Penggugat-asli dibuat perjanjian no. 25 dan No. 26 tanggal 25 Nopember 1969 di hadapan Notaris JDF SINYAL tentang keija sama dalam bidang eksploitasi kayu di kepulauan Sanana, Mandioli dan Kasiruta (P-2);
bahwa yang menjadi obyek perjanjian adalah HPH yang diperoleh Tergugat rekonpensi/penggugat-asli dari Dirjen Kehutanan Departemen Pertanian;
bahwa untuk memenuhi kewajibannya sesuai dengan agreement- agreement tersebut, para Penggugat rekonpensi/Tergugat-tergugat-asli sebagai pelaksana dari eksploitasi konsesi kayu tersebut telah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk menyediakan modal kerja dalam bentuk perkakas dan alat-alat dan biaya-biaya lainnya sejumlah Rp. 605.800.000,— (enam ratus lima juta delapan ratus ribu rupiah) dengan perincian sebagaimana diuraikan dalam gugatan rekonpensi;
bahwa selain itu oleh Penggugat rekonpensi/tergugat-asli telah dimasukkan ke pulau Sanana equipment lengkap dengan eksploitasi konsesi kayu dengan perincian sebagaimana diuraikan dalam gugatan rekonpensi,
bahwa tergugat rekonpensi/penggugat-asli tanpa izin penggugat rekonpensi/tergugat-asli telah mengembalikan HPH tersebut kepada Pemerintah dengan suratnya tanggal 20 Mei 1971 dan ternyata kemudian HPH tersebut memang dicabut oleh Pemerintah dengan S.K. Menteri Pertanian No. 356/Kpts/Um/8/l 971 (P-3),
bahwa perbuatan Tergugat rekonpensi/penggugat-asli tersebut merupakan perbuatan melanggar hukum karena telah begitu saja tanpa izin Penggugat rekonpensi/Tergugat-asli menghilangkan obyek perjanjian dalam agreement No. 25 jo No. 26 tersebut;
bahwa karena perbuatan Tergugat rekonpensi/Penggugat-peng- gugat-asli telah mengalami kerugian-kerugian selain uang modal dan equipment juga Penggugat rekonpensi/Tergugat-tergugat asli kehilangan keuntungan yang seharusnya didapat. Karena tindakan Tergugat rekonpensi/Penggugat-asli tersebut, Penggugat rekonpensi/Ter- gugat-tergugat-asli telah dilarang untuk melakukan pelaksanaan eks
87
ploitasi hutan tersebut sejak September sampai Desember 1971. Sedangkan para buruh tidak dapat begitu saja diberhentikan mendadak sehingga dalam keadaan tidak bekeija itu tetap harus digaji. Equipment yang telah dibeli guna memenuhi perjanjian no. 25 jo no. 26 tersebut pun menjadi percuma saja. Dan untuk menentukan besarnya rente yang sekarang berlaku 5% sebulannya dari seluruh pengeluaran-pengeluaran para Penggugat rekonpensi/Tergugat-tergugat-asli tersebut di atas,
bahwa karena perbuatan Tergugat rekonpensi/Penggugat-asli tersebut mengakibatkan pula adanya tuntutan-tuntutan dari pihak ketiga terhadap para Penggugat rekonpensi/Tergugat-asli khususnya yang melakukan tuntutan tersebut adalah PT. GREEN TIMBER JAYA,
bahwa untuk lebih menjamin hak Penggugat rekonpensi/Ter- gugat asli karena ada kekhawatiran Tergugat rekonpensi/Penggugat- asli akan menggelapkan barang-barangnya, maka para Penggugat rekon- pensi/pensi Tergugat-asli mohon agar Pengadilan Negeri Jakarta Pusat meletakkan sita jaminan atas barang-barang milik Tergugat rekonpensi/ Penggugat-asli dan selanjutnya para Penggugat rekonpensi/Tergugat- asli menuntut' kepada Pengadilan Negeri tersebut supaya memberi putusan yangidapat dijalankan terlebih dahulu sebagai berikut:1. Meletakan sita jaminan atas seluruh barang-barang bergerak
maupun tidak bergerak milik tergugat rekonpensi,2. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan tersebut,3. Menghukum tergugat, karena telah melakukan perbuatan me
lawan hukum mengembalikan hak pengusahaan hutan menjadi obyek, sengketa perjanjian no. 25 jo no. 26 tanggal 25 Nopem- ber 1969 di hadapan Notaris JDFT. SINYAL tanpa seizin penggugat, untuk membayar ganti-kerugian kepada Penggugat secara sekaligus dan segera setelah keputusan ini diucapkan:
uang biaya yang telah dikeluarkan penggugat sejumlah Rp. 605.800.000,— (enam ratus lima juta delapan ratus ribu rupiah).uang kehilangan keuntungan yang seharusnya didapat sejumlah 5% dari pada Rp. 605.800.000,— tiap bulannya dihitung sejak September 1971 sampai dengan lunas dibayar; bunga menurut Undang-Undang 6% setahunnya dari pada jumlah tersebut dalam sub I dan sub 2 terhitung sejak gugatan ini dimasukkan ke Paniteraan Pengadilan Negeri,
88
4. Menyatakan keputusan ini dapat dijalankan lebih dahulu walaupun ada banding, verzet atau kasasi;
5. Biaya menurut hukum,
bahwa terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengambil keputusan, yaitu keputusannya tanggal 21 Maret 1973 No. 310/1972 G., yang amarnya berbunyi sebagai berikut:
DALAM KONPENSI: dalam eksepsi:Menolak eksepsi para tergugat; dalam pokok perkara;Menolak seluruh gugatan penggugat;
DALAM REKONPENSI: dalam eksepsi:Menolak eksepsi tergugat; dalam pokok perkara:Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian;Menyatakan perbuatan tergugat perihal pengembalian Hak Pe
ngusahaan Hutan di kepulauan Sanana Kasiruta dan Mandioli adalah melanggar hukum;
Menghukum tergugat untuk membayar ganti-rugi kepada penggugat sekaligus dan seketika sebesar 10% x(R p. 300.000.000,— + Rp. 322.384.567,91) = Rp. 62.384.456,79 ditambah bunga sebesar 6% terhitung mulai saat keputusan tersebut diucapkan;
DALAM KONPENSI/REKONPENSI:Menghukum penggugat konpensi/tergugat rekonpensi untuk
membayar biaya-biaya dalam perkara ini yang hingga kini ditaksir sebesar Rp. 10.535,— (sepuluh ribu lima ratus tiga puluh lima rupiah;)keputusan mana dalam tingkat banding atas permohonan Penggugat telah dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dengan keputusannya tanggal 10 Juli 1975 No. 145/1973 PT. Perdata, yang amarnya berbunyi sebagai berikut:Menerima permohonan banding dari Penggugat-Pembanding, Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 21 Maret 1973 No. 310/1972 G., dalam konpensi yang dimohonkan banding kecuali perihal eksepsi,
89
MENGADILI SENDIRI:
Dalam pokok perkara:1. Tf5 ̂ Mengabulkan gugatan Penggugat-Pembanding untuk sebagian;2. r Menyatakan sebagai hukum bahwa para Tergugat Terbanding
.jj terikat sepenuhnya pada segala ketentuan yang tercantum dalajmagreement No. 25 tanggal 25 November 1969 berikut agreemejn| No. 4 tanggal 3 Juni 1971 yang dibuat di hadapan Notaris Sinyal sepanjang tidak mengenai hak Pengusahaan Hutan, sampai deri^afl selesainya shipment kayu tanggal 22 Januari 1072;
3. Menghukum para Tergugat Terbanding untuk membayar kepada Penggugat-Pembanding;a. Hasil eksport kayu sebanyak 7 (tujuh) pengapalan sebesar
$ 72.965,45 (tujuh puluh dua ribu sembilan ratus enani puluh lima U.S. dollar empat puluh lima U.S. dollar ken) atau iixM ̂nya dalam rupiah; **
b. Pembayaran biaya administrasi sebanyak 6 (enam) Mali = $ 6.000,— (enam ribu U.S. dollar) atau nilainya1 'dalaih%piah;
4. f Menyatakan permohonan pengesahan conservatoir beslag tidak, *■ dapat diterima; *r > m^ifsbi^enolak gugatan untuk selebihnya; ilssugn
•js 'snalemDalam rekonpensi: > M— . Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta' Pusat taftl^al
«d 21 Maret 1973 No. 310/1972 G. dalam rekonpensi yang 'di- mohonkan banding; *s.>l
Mengadili sendiri;— Menyatakan gugatan para Tergugat Terbanding/Penggugat dalaiin
rekonpensi tidak dapat diterima;«i&m
Dalam konpensi dan rekonpensi: • >— Menghukum para Tergugat Terbanding/Penggugat dalam rekpp.-
pensi untuk membayar biaya perkara dalam kedua tingkatan* biaya mana dalam tingkat banding diperkirakan sebesar ■ Rp* 1.165,— (seribu seratus enam puluh lima rupiah)” ; ,fRtbahwa sesudah putusan terakhir ini diberitahukan kepada ke
dua belah pihak pada tanggal 16 Oktober 1975 kemudian terhadapnya oleh Tergugat-Terbanding (dengan perantaraan kuasanya khusus, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 21 Oktober 1975) diajukdh permohonan untuk pemeriksaan kasasi secara lisan pada tanggal (24 Oktober 1975 sebagaimana ternyata dari surat keterangan No. 059/
90
75/Kas/310/1972 G. yang dibuat oleh Panitera Bagian Banding/Kasasi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, permohonan mana kemudian disusul oleh memori alasan-alasannya yang diterima di kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut pada tanggal 29 Oktober 1975;
bahwa setelah itu oleh Penggugat-Terbanding yang pada tanggal 11 Nopember 1975 telah diberitahu tentang memori kasasi dari Ter- gugat-Pembanding, diajukan jawaban memori kasasi yang diterima di kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 24 Nopember 1975;
Menimbang terlebih dahulu, bahwa dengan berlakunya Undang- Undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang telah mencabut Undang-Undang No. 19 tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (yang lama) dan Hukum Acara Kasasi seperti yang dimaksudkan dalam pasal 49 (4) Undang-Undang No. 13 tahun 1965 sampai kini belum ada, maka Mahkamah Agung menganggap perlu untuk menegaskan Hukum Acara Kasasi yang harus dipergunakan;
bahwa mengenai hal ini berdasarkan pasal 40 Undang-Undang No. 14 tahun 1970, maka pasal 70 Undang-Undang No. 13 tahun 1965 harus ditafsirkan sedemikian rupa, sehingga yang dinyatakan tidak berlaku itu bukan Undang-Undang No. 1 tahun 1950 secara keseluruhan, melainkan sekedar mengenai hal-hal yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 13 tahun 1965 kecuali kalau bertentangan dengan Undang-Undang No. 14 tahun 1970;
bahwa dengan demikian, maka yang berlaku sebagai Hukum Acara Kasasi adalah Hukum Acara Kasasi yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1950, sekedar tidak bertentangan dengan Undang-Undang No. 14 tahun 1970;
Menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta alasan-alasannya yang telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama diajukan dalam tenggang-tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam Undang-Undang, .maka oleh karena itu dapat diterima;
Menimbang, bahwa keberatan-keberatan yang diajukan oleh pemohon kasasi dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya: 1
1. bahwa sesuai dengan bunyi agreement no. 25 tanggal 25 Nopember 1969 yang dibenarkan pula oleh Pengadilan Tinggi Jakarta maka untuk perkara ini sebenarnya harus diselesaikan oleh Arbitrage. Sehingga sesuai dengan pasal 134 HIR, maka pemohon kasasi merasa sangat keberatan perkara ini diadili oleh Badan
91
Pengadilan. Sehingga dapat kiranya Mahkamah Agung menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara ini;
2. Akan tetapi bila Mahkamah Agung berpendapat lain, maka dengan ini diajukan jawaban dalam pokok perkara sebagai berikut:DALAM KONPENSI:bahwa putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 310/1972 G. telah dengan tepat memutus dan mempertimbangkan perkara ini dengan menolak seluruh gugatan asal.Karena Penggugat-asal/Termohon kasasi telah melakukan wan- prestasi dan tidak melaksanakan perjanjian yang ada dengan itikad baik seperti akan terlihat dari uraian di bawah ini;
3. bahwa Penggugat-asal/Termohon kasasi telah mengakui mengembalikan Hak Pengusahaan Hutan/Konsesi di Kepulauan Sanana, Kasiruta dan Mandioli No. 233/Kpts/Um/7/1969 kepada Pemerintah tanpa sepengetahuan dan seizin Pemohon kasasi I; Padahal perbuatan tersebut tidak dapat dibenarkan karena Penggugat-asal/Termohon kasasi terikat oleh perjanjian No. 25 tanggal 25 Nopember 1969 dan pemberian kuasa secara Irrevocable dari Penggugat-asal/Termohon kasasi kepada Pemohon kasasi I dibuat di hadapan Notaris JFBT Sinyal menurut akte No. 26 tanggal 25 Nopember 1969. Dengan surat kuasa mana eksploitasi Hutan Kayu tersebut diserahkan kepada Pemohon kasasi, sehingga tidak pada tempatnya untuk menyerahkannya tanpa izin Pemohon kasasi kepada Pemerintah;
4. bahwa dengan diserahkannya Hak Pengusahaan Hutan tersebut oleh Termohon kasasi kepada Pemerintah dengan suratnya tertanggal 20 Mei 1971 No. 0884/11/74, yang kemudian oleh Menteri Pertanian telah dikeluarkan Surat Keputusannya No. 356/ Kpts/Um/8/1971, tanggal 12 Agustus 1971-. Padahal Pemohon kasasi telah mengeluarkan biaya-biaya yang tidak sedikit untuk pelaksanaan perjanjian No. 25 jo No. 26 tersebut;
5. bahwa jelas termohon kasasi telah melanggar pasal 1338 BW dan hal ini sama sekali tidak dipertimbangkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta. Pasal 1338 BW mana menentukan bahwa perjanjian mengikat kedua belah pihak dan tidak dapat diputuskan secara sepihak. Pelaksanaannya juga harus secara itikad baik.
6. Pemohon kasasi sangat keberatan terhadap putusan Pengadilan
92
Tinggi Jakarta yang menghukum pemohon kasasi untuk membayar hasil eksport kayu dari tanggal 21 September 1971 sampai dengan tanggal 22 Januari 1972 dan uang administrasi dari tanggal 1 Agustus 1971 sampai dengan tanggal 31 Januari 1972, karena sejak termohon kasasi mengembalikan Hak Pengusahaan Hutan kepada Pemerintah atau setidak-tidaknya sejak adanya S.K. Menteri Pertanian tanggal 12 Agustus 1971 No. 356/Kpts/Um/8/ 1971, maka sebenarnya ia sudah memutuskan secara sepihak perjanjian No. 25 dengan pemohon kasasi, sehingga sejak tanggal tersebut ia tidak berhak lagi menuntut apa-apa lagi,
7. Apakah adil termohon kasasi yang telah' melakukan perbuatan melawan hukum itu masih saja dilindungi Pengadilan, bahkan kepadanya harus diserahkan uang hasil eksport kayu dan uang administrasi?Menurut Pengadilan Tinggi Jakarta adanya ”hak” Termohon kasasi terbukti dari P-6, P-8 yang katanya walaupun pemohon kasasi tidak sependapat dengan pertimbangan Pengadilan Tinggi Jakarta (halaman 3 alinea 6) yang menyatakan adanya ”hak” Termohon kasasi terbukti dari bukti P-6 dan P-8. Karena menurut pasal 1865 BW maka Termohon kasasi/Penggugat-asli yang harus membuktikan kebenaran isi bukti-bukti tersebut karena telah disangkal oleh Pemohon kasasi, apalagi bila diingat bahwa P-6 merupakan ’’eenzijdige verklaring” dari Termohon kasasi sendiri yang tidak benar isinya. Dan bukti P-5 dan P-8 tersebut dapat dipatahkan dengan adanya bukti Pemohon kasasi yaitu T-4 dan T-13 di mana jelas terbukti bahwa Termohon kasasi tidak berhak lagi menuntut uang tersebut, karena uang yang disetor Pemohon kasasi telah ditahan Pemerintah untuk pembayaran hutangnya Penggu- gat-asal/Termohon kasasi,
8. Lagipula mohon perhatian Mahkamah Agung tentang hal-hal tersebut di bawah ini.bahwa sangat disayangkan Pengadilan Tinggi Jakarta tidak mempertimbangkan adanya fakta-fakta sebagai berikut:Pemohon kasasi sebagai pelaksana eksploitasi dari konsesi-konsesi kayu atas nama PT. GAPKI, telah melakukan pelaksanaan Eksploitasi dari konsesi ini jauh sebelum adanya perkara ini, atas dasar S.K. Dinas Kehutanan Propinsi Maluku tanggal 8 Maret 1972 No. 182/VI/7 di mana antara lain diterangkan bahwa PT. METROPOLITAN (DATO WONG) resminya dilakukan atas nama Dinas Kehutanan Propinsi Maluku;
93
9. Sehingga seluruh deviden dari Eksport kayu yang ada resminya sementara adalah milik Dinas Kehutanan Propinsi Maluku (lihat bukti T-4/bukti Pemohon kasasi I) yaitu surat dari Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Maluku kepada Pimpinan Bank EXIM Indonesia Cabang Ambon di Ambon;
10. Selain itu PT. GAPKI/Termohon kasasi telah mempunyai hutang kepada Pemerintah (Dir. Jen. Kehutanan Propinsi Maluku), sehingga segala uang hasil eksport dan uang biaya administrasi, yang telah disetor Pemohon kasasi yang merupakan bagian dari Termohon kasasi telah ditahan/diambil oleh Pemerintah sebagai kompensasi hutang Termohon kasasi tersebut (bukti T-13). Tetapi ini sama sekali tidak dipertimbangkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta.
11. bahwa dari bukti T-13 surat yang ditujukan kepada PT. GAPKI/ Termohon kasasi dari Dinas Kehutanan Propinsi Maluku dihubungkan dengan T-4 telah terbukti bahwa uang yang telah disetor Pemohon kasasi sebagai hasil eksport kayu bagian PT. GAPKI/Termohon kasasi telah ditahan/diambil Pemerintah karena Termohon kasasi mempunyai hutang kepada Pemerintah. Dan dari bukti T-13 terbukti pula bahwa Termohon kasasi telah menerima uang dari Pemohon kasasi dari hasil eksport kayu ini sebesar Rp. 17.714.608,17 (tujuh belas juta tujuh ratus empat belas ribu enam ratus delapan 17/100 rupiah);
12. Mohon pula perhatian Pengadilan atas PENGAKUAN Termohon kasasi dalam repliknya sub 18 dan 21 bahwa hak-hak Termohon kasasi sebelum bulan September 1971 sudah diterimanya, tetapi anehnya Termohon kasasi dalam petitumnya no. 3b, menuntut ”hak”nya dihitung sejak tanggal 1 Agustus 1971;Jadi jelas adanya itikad buruk Termohon kasasi, yakni menuntut lagi apa yang sebenarnya ia telah terima.
13. Lihat juga bukti P-7 yang diajukan sendiri oleh Termohon kasasi, terlepas benar tidaknya seluruh isi P-7 tersebut, maka ditulis bahwa ”hak” Penggugat-asal/Termohon kasasi hanya sampai dicabutnya Hak Pengusahaan Hutan (tanggal 12 Agustus 1971). Sehingga jelas Keputusan Pengadilan Tinggi Jakarta yang mengabulkan gugatan Penggugat-asal/Termohon kasasi telah bertentangan dengan fakta-fakta dan bukti-bukti yang ada;
14. Terlampir pula bukti-bukti Pemohon kasasi III, surat dari Dinas Kehutanan Propinsi Maluku tanggal 2 Maret 1972 darimana sekali
94
lagi terbukti uang hak P.T. GAPKI/Termohon kasasi yang telah disetor oleh Pemohon kasasi telah ditahan Pemerintah karena P.T. GAPKI =/Termohon kasasi mempunyai hutang-hutang License fee, Ngase dan Pajak. Jadi jelas kewajiban Pemohon kasasi menyetor uang dari hak Termohon kasasi telah dipenuhi, hanya uang tersebut ditahan oleh Pemerintah, sehingga yang harus digugat bukan Pemohon kasasi tetapi Pemerintah.
15. bahwa hutang P.T. GAPKI/Termohon kasasi tersebut berjumlah US $ 30.000,- + Rp. 8.721.448,40 + Rp. 8.304.343,84. Jadi lebih besar hutang tersebut daripada uang US $ 72.965,45 yang dituntut Termohon kasasi sekarang (terlampir bukti Pemohon kasasi-4 surat tanggal 1 April 1972);
16. Terlampir pula surat P.T. GAPKI/Termohon kasasi tanggal 12 April 1972 kepada Bank EXIM Pusat Jakarta (P.u.K - 5). Dari surat mana telah terbukti karena DIAKUI oleh Termohon kasasi bahwa benar Pemerintah telah menahan uang P.T. GAPKI/Termohon kasasi hasil eksport kayu dari kerja sama Termohon kasasi dengan Pemohon kasasi yang berarti Termohon kasasi tidak berhak menuntut lagi uang tersebut dari Pemohon kasasi.Atas dasar uraian-uraian tersebut dapat kiranya Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta yang dikasasi ini;
17. Perlu dijelaskan bahwa dalam pemeriksaan banding Pemohon kasasi tidak mendapat kesempatan untuk membela diri karena berkas perkara yang dibanding dikirim ke Pengadilan Tinggi Jakarta tanpa Pemohon kasasi diberitahu sebagaimana menurut kebiasaan, diberi kesempatan untuk mempelajari atau menyusun kontra memori bandingnya;
DALAM REKONPENSI.18. bahwa Pemohon kasasi keberatan dengan keputusan Pengadilan
Tinggi Jakarta yang telah menyatakan gugatan Rekonpensi tidak dapat diterima dengan alasan gugatan ini sama dengan perkara rol. no. 541/1971 G dan dengan pasal 2 Perjanjian No. 25 karena:a. Perkara sekarang ini tidak sama dengan perkara rol No. 541/
1971 G. karena pihaknya yang berlainan. Dan petitumnya juga berbeda.
b. Para pihak dalam perkara No. 541/71 G adalah:— Dato Wong Heck Guong.
95
- P.T. GAPKI TRADING CO LTD.- P.T. GREEN TIMBER JAYA.
Para pihak dalam perkara no. 310/72 G. adalah:- Dato Wong Heck Guong.- P.T. GAPKI TRADING CO LTD.- P.T. METROPOLITAN TIMBER LTD.
Sehingga tidak pada tempatnya P.T. Jakarta menyatakan gugatan ini tidak dapat diterima;
19. Pengadilan Tinggi Jakarta mendasarkan keputusannya pada pasal 2 Agreement No. 25 yang menentukan bahwa Pemohon kasasi harus menanggung segala biaya dan resiko dalam pelaksanaan perjanjian tersebut. Pemohon kasasi keberatan dengan pertimbangan ini, karena pasal 2 ini baru berlaku dalam hal Termohon kasasi beritikad baik melaksanakan perjanjian tersebut. Tetapi seperti jelas dari PENGAKUAN Termohon kasasi, maka Termohon kasasi mengakui bahwa Termohon kasasi benar telah melakukan perbuatan melawan hukum, yakni mengembalikan Hak Pengusahaan Hutan Obyek perjanjian No. 25 tersebut kepada Pemerintah tanpa setahu Pemohon kasasi. Sehingga dengan adanya perbuatan curang tersebut maka pasal 2 tersebut TIDAK pada tempatnya untuk tetap dilaksanakan, Termohon kasasi sendiri telah melanggar pasal 1338 BW; sehingga kiranya Mahkamah Agung menolak pertimbangan Pengadilan Tinggi yang tidak benar tersebut;
20. Pengadilan Tinggi Jakarta juga tidak mempertimbangkan adanya pengeluaran-pengeluaran biaya dan pembelian-pembelian equipment-equipment oleh Pemohon kasasi yang menelan biaya yang tidak sedikit. Sesuai dengan bukti T-6 sampai dengan T-12 maka telah terbukti adanya pengeluaran biaya saja Rp. 605.800.000,— (enam ratus lima juta delapan ratus ribu rupiah) di samping biaya- biaya untuk equipment-equipment;
21. Adanya perbuatan melawan hukum:Telah terbukti dengan adanya pengakuan Termohon kasasi dan surat-surat bukti:T-l surat Termohon kasasi tanggal 20 Mei 1971 yang mengembalikan hak Pengusahaan Hutan kepada Pemerintah.T-2 Keputusan Menteri Pertanian No. 356/Keputusan/UM/8/1971 tanggal 12 Agustus 1971 yang membuktikan dicabutnya Hak Pengusahaan Hutan tersebut;
96
22. Tentang Uang ganti-rugi:Berdasarkan pasal 1267 BW, maka Pemohon kasasi berhak menuntut ganti-kerugian yang jumlahnya adalah sebesar 5% x Rp. 605.800.000,- tiap bulannya, terhitung sejak September 1971 sampai lunas dibayar. Atau sejumlah yang menurut Mahkamah Agung dianggap adil, sesuai dengan jurisprudensi, maka besarnya suatu kerugian karena wanprestasi atau perbuatan melawan hukum adalah dapat dikabulkan oleh Pengadilan berdasarkan rasa keadilan;Menimbang, bahwa alasan kasasi ad. 1 dapat dibenarkan dengan
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:1. Bahwa Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi Jakarta telah
menerima untuk diperiksa gugatan penggugat-asal dengan keputus- an-keputusan masing-masing sebagaimna diuraikan di muka;
2. Bahwa perselisihan perdata yang timbul antara pihak-pihak sekarang ini ialah di dalam melaksanakan perjanjian (agreement No. 25 tertanggal 25 Nopember 1969);
3. Di dalam ketentuan art. 11 dari agreement tersebut ditentukan bahwa:
’Tf there any dispute arising that cannot be settled by both parties amicably then the matter concerned is subject just to an arbitration consisting of three arbitrator, one arbitrator shall be elected by each party and the third arbitrator to be elected jointly by the two arbitrator to act as refree” ;
4. Ketentuan art. 11 tersebut adalah menyangkut kekuasaan absolut untuk menyelesaikan perselisihan dalam perkara ini;Di mana tegas-tegas ditentukan bahwa pada tingkat pertama bilamana timbul perselisihan (dalam melaksanakan agreement tersebut) yang tidak dapat diselesaikan oleh kedua belah pihak secara musyawarah maka Badan Arbitrage lah yang terdiri dari tiga orang yang telah disetujui oleh kedua belah pihak untuk menyelesaikan perselisihan tersebut; Ketentuan mana bagi pihak- pihak mempunyai kekuatan sebagai Undang-Undang yang harus ditaati, sedangkan ketentuan art. 12 hanyalah menentukan domisili yang dipilih oleh kedua belah pihak yaitu untuk itu dipilih Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
5. Menimbang, bahwa Pengadilan Negeri dalam pertimbangan putusannya tidak menyinggung sama sekali masaalah tersebut, sedang
97
kan Pengadilan Tinggi dalam pertimbangannya pada pokoknya antara lain sebagai berikut:’’bahwa pertama-tama meskipun antara kedua belah pihak dalam agreement no. 25 tanggal 25 Nopember 1969 diperjanjikan bahwa apabila ada sengketa akan diselesaikan dengan Arbitrage dahulu namun karena kedua belah pihak tidak mengajukan perlawanan ketika perkara ini diperiksa di Pengadilan Negeri, maka dengan demikian Pengadilan Negeri berwenang untuk mengadili perkara ini” ;
6. Menimbang bahwa pertimbangan Pengadilan Tinggi tersebut, hemat Mahkamah Agung keliru karena seolah-olah mengenai ke- wenangan absolut untuk menyelesaikan perselisihan tersebut, oleh Pengadilan Negeri digantungkan kepada ada-tidaknya hal tersebut diajukan sebagai eksepsi/perlawanan dalam pemeriksaan dipersidangan;Karena dalam tingkat pemeriksaan Pengadilan Negeri kedua belah pihak tidak menyinggung masaalah kompetensi absolut tersebut, lalu Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi berwenang untuk mengadili perkara ini;Hal ini berarti bertentangan dengan agreement art. 11 yang berlaku sebagai Undang-Undang bagi kedua belah pihak. Atas dasar salah satu pihak tidak mengajukan perlawanan ketentuan agreement art no. 11 dapat dikesampingkan;
7. Dengan demikian maka pertimbangan Pengadilan Tinggi tersebut adalah bertentangan dengan maksud dan pengertian yang terdapat dalam ketentuan pasal 134 HIR., karena mengenai kewenangan absolut ini Hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi harus menyatakan dirinya tidak berwenang manakala oleh suatu ketentuan Undang-Undang dinyatakan dirinya tidak berwenang untuk memeriksa;
8. Persetujuan yang terdapat dalam art. 11 adalah bersifat hukum keperdataan. Sekalipun demikian hal itu harus dihormati dan ditaati oleh Pengadilan karena sebagaimana dalam sistim Hukum Acara Perdata yang berlaku yakni walaupun Hukum Acara Perdata adalah merupakan ketentuan-ketentuan Hukum Publik dalam beberapa segi masih dapat disimpangi berlakunya oleh sesuatu persetujuan yang diciptakan oleh kedua belah pihak yang berselisih antara lain umpamanya dalam hal terjadinya suatu dading; sehingga kedudukan/kekuatan dari ketentuan art. 11 dari agree-
98
ment tersebut karena mengenai kekuasaan absolut harus ditempuh sesuai dengan ketentuan pasal 134 HIR.Demikian pula dalam masaaiah sekarang ini soal kewenangan menyelesaikan perselisihan antara pihak-pihak tersebut oleh mereka telah disepakati pertama-tama harus diselesaikan oleh Badan Arbitrage dan bukan oleh Pengadilan Negeri, ketentuan mana harus juga ditaati oleh Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas permohonan kasasi yang diajukan oleh pemohon-pemohon kasasi DATO WONG HECK GUONG dan kawan dapat diterima dengan membatalkan keputusan Pengadilan Tinggi Jakarta dan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Mahkamah Agung dengan mengadili lagi perkara ini menyatakan bahwa Pengadilan Tinggi maupun Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut baik dalam konpensi maupun dakam re- konpensi;
Menimbang, bahwa sudah selayaknya menghukum kedua belah pihak untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkatan peradilan masing-masing separoh bagian;
Memperhatikan pasal 40 Undang-Undang No. 14 tahun 1970, Undang-Undang No. 13 tahun 1965 dan Undang-Undang No. 1 tahun 1950;
M E N G A D I L I :
Menerima permohonan kasasi dari pemohon-pemohon kasasi; 1. DATO WONG HECK GUONG, 2. P.T. METROPOLITAN TIMBERS LTD tersebut;
Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 10 Juli 1975 No. 145/1973 PT-Perdata dan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 21 Maret 1973 No. 310/1972 G.;
MENGADILI LAGI
Menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi Jakarta tidak berwenang memeriksa dan mengadili gugatan konpensi maupun gugatan rekonpensi.
99
Menghukum Penggugat maupun Tergugat membayar biaya perkara di semua tingkat peradilan, baik pada tingkat pertama, tingkat banding maupun dalam tingkat kasasi dan biaya perkara dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebanyak Rp. 20.000,— (dua puluh ribu rupiah) masing-masing secara separoh-separoh;
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari: Kamis, tanggal 11 Agustus 1983 dengan Indro- harto, S. H. Ketua Muda yang ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Sidang, Ny. H. Martina Notowidagdo, S.H. dan Soegiri, S.H. sebagai Hakim-Hakim Anggota dan diucapkan dalam sidang terbuka pada hari: Jum’at, tanggal 30 September 1983 oleh Ketua Sidang tersebut dengan dihadiri oleh Ny. H. Martina Notowidagdo, S.H. dan Soegiri, S.H. Hakim-hakim Anggota dan Asna Samik Ibrahim, S.H. Panitera-Pengganti dengan tidak dihadiri oleh kedua belah pihak.
Catatan:
Pertimbangan Pengadilan Tinggi tersebut adalah bertentangan dengan maksud dan pengertian yang terdapat dalam ketentuan pasal 134 HIR, karena mengenai kewenangan absolut ini Hakim Pengadilan Negeri menyatakan dirinya tidak berwenang manakala oleh suatu ketentuan Undang-Undang dinyatakan dirinya tidak berwenang untuk memeriksa.
Persetujuan yang terdapat dalam pasal 11 adalah bersifat hukum keperdataan. Sekalipun demikian hal itu harus dihormati dan ditaati oleh Pengadilan karena sebagaimana dalam sistim hukum acara perdata yang berlaku, yakni walaupun hukum acara perdata adalah merupakan ketentuan-ketentuan hukum publik, dalam beberapa segi masih dapat disimpangi berlakunya oleh sesuatu persetujuan yang diciptakan oleh kedua belah pihak yang berselisih antara lain umpamanya dalam hal terjadinya suatu dading;sehingga kedudukan/kekuatan dari ketentuan pasal 11 dari agreement tersebut karena mengenai kekuasaan absolut harus ditempuh sesuai dengan ketentuan pasal 134 HIR.
Pasal 134 RID. yo pasal 615 dst. Rv.1
1. Dikutip dari: Pembinaan Wawasan Hukum Indonesia No. XV tahun 1988;
100
Tanggal 5 September 1959 No. 1/1959 Pern. Put. Wst.(Mr. R. Wiryono Prodjodikoro, Mr. M.H. Tirtamidjaja, Mr. R. Soebekti)
Indonesia Cotton Trading Co. Ltd.
— Perwasitan/Arbitrase; (01/320)— Banding terhadap Putusan Wasit/Arbitrase
Menurut pasal 108 (2) Undang-undang Mahkamah Agung dari putusan Panitia Arbitrase dapat dimintakan banding kepada Mahkamah Agung, tetapi kemungkinan minta banding ini dapat ditiadakan oleh kedua belah pihak dalam perjanjian Arbitrase, hal mana in casu terjadi.1
Pasal 641 Rv yo pasal 377 R.I.D.
Mahkamah Agung
1. Dikutip dari : Majalah Hukum dan Masyarakat. No. 1-2-3 tahun 1962 halaman 164;
101
MAHKAMAH AGUNG Mr. R. Wirjono Prodjodikoro (Ketua), Mr. M.H. Tirtamidjaja dan Mr. R. Subekti (Hakim- hakim anggota).Keputusan t.t. 5 — 9 — 1959.
Panitya Arbitrasi.Menurut pasal 108 (2) Undang-undang Mahkamah Agung dari
putusan Panitya Arbitrasi dapat dimintakan banding kepada Mahkamah Agung, tetapi kemungkinan minta banding ini dapat ditiadakan oleh kedua belah pihak dalam perjanjian Undang-undang Arbitrasi, hal mana in-casu terjadi.
Reg. No. 1/1959 Pern. put. Wst.
ATAS NAMA KEADILAN MAHKAMAH AGUNG
mengadili dalam tingkatan banding telah mengambil putusan sebagai berikut dalam perkara :
INDONESIA COTTON TRADING CO LTD., berkedudukan diJakarta, Pasar Pagi 12 Jakarta Kota, pembanding,
m e l a w a n :
FIRMA RAYUN, berkedudukan di Jakarta, Roa Malaka SelatanNo. 67 Jakarta Kota, terbanding;
Mahkamah Agung tersebut,Melihat surat-surat yang bersangkutan;Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa Firma
Rayun sebagai pihak penggugat dan Indonesia Cotton Trading Co Ltd, sebagai pihak tergugat telah minta kepada Panitya Arbitrasi dari Organisasi Exporteur Hasil Bumi Indonesia, disingkat O.E.H.I., di Jakarta untuk memberi arbitrasi mengenai perselisihan antara kedua belah pihak dan bahwa oleh pihak penggugat dituntut agar supaya pihak tergugat dihukum untuk membayar kepada pihak lawannya uang sejumlah Rp 124.051,43 ditambah dengan bunga atas jumlah itu serta biaya- biaya arbitrasi ini;
102
Menimbang, bahwa terhadap tuntutan tersebut Panitya Arbitrasi O.E.H.I. di Jakarta telah mengambil putusan pada tanggal 29 April 1959, yang diktumnya berbunyi sebagai beriku t:
Menghukum pihak tergugat untuk membayar kepada penggugat, dengan menerima bukti pembayaran yang sah, uang sebesar Rp 121.809,50 (seratus duapuluh satu ribu delapan ratus sembilan rupiah lima puluh sen), ditambah dengan bunga 6% setahunnya dihitung mulai tgl. 12 Nopember 1958 sampai hari dipenuhi semuanya;
Menolak tuntutan penggugat mengenai selainnya;Menghukum penggugat dan pihak tergugat untuk membayar biaya-
biaya arbitrasi ini, sampai serta penyimpanan- keputusan ini pada Kantor Panitera Pengadilan Negeri di Jakarta seluruhnya berjumlah Rp 7.500,— (tujuhribu limaratus rupiah), yakni penggugat sebesar Rp 150,— (seratus limapuluh rupiah) dan pihak tergugat sebesar Rp 7.350,— (tujuhribu tigaratus limapuluh rupiah);
Memerintahkan penggugat untuk membayar kepada O.E.H.I. seluruh biaya-biaya arbitrasi ini, sebesar Rp 7.500,—;
Menghukum pihak tergugat untuk membayar kembali kepada penggugat, dengan menerima bukti pembayaran yang sah, bagian dari pada biaya-biaya arbitrasi ini yang harus dibayar oleh pihak tergugat sebesar Rp. 73.50,—;
Menimbang, bahwa putusan arbitrasi ini telah diberitahukan kepada kedua belah pihak yang berperkara pada tanggal 30 April 1959;
Bahwa sesudah penerimaan putusan arbitrasi itu terhadapnya oleh tergugat dengan perantaraan kuasanya khusus telah diajukan permohonan untuk pemeriksaan banding dengan surat yang diterima di kepaniteraan Mahkamah Agung pada tanggal 1 Juni 1959, surat mana sekaligus memuat alasan-alasan permohonannya;
bahwa permohonan banding beserta memori alasan-alasan banding telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan sepatutnya;
Menimbang, bahwa terlebih dahulu harus dipertimbangkan soal apakah permintaan banding ini materiel dapat diterima atau tidak;
Menimbang, bahwa pada umumnya menurut pasal 108 (2) Undang undang Mahkamah Agung Indonesia terhadap perkara ini dapat dimohonkan banding;
Menimbang, bahwa akan tetapi menurut syarat-syarat umum buat penjualan hasil bumi (pasal 2 ayat 2) dan Reglemen Panitya Arbitrasi O.E.H.I. (Pasal 8 ayat 3), yang dipakai oleh dan berlaku antara kedua belah pihak pada waktu persetujuan yang bersangkutan dibuat, ke
103
putusan arbitrasi tidak akan dapat dibanding;Menimbang, bahwa hal demikian ini tidaklah bertentangan dengan
pasal 108 (2) Undang-undang Mahkamah Agung tersebut atau dengan sesuatu peraturan tentang ketertiban umum;
Menimbang, bahwa berdasarkan semua itu permohonan banding tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima;
Memperhatikan pasal-pasal Undang-undang yang bersangkutan dan pasal 120 Undang-undang Mahkamah Agung Indonesia;
M E M U T U S K A N :
Menyatakan bahwa permohonan banding dari pembanding : INDONESIA COTTON TRADING CO LTD tersebut tidak dapat diterima;
Menghukum pembanding untuk membayar biaya perkara dalam tingkatan ini yang ditetapkan banyaknya Rp. 38,75 (tigapuluh delapan rupiah tujuhpuluh lima sen).
104
Tanggal 10 Juli 1984 No. 1 Banding/Wasit/1981(Prof. Z. Asikin Kusumah Atmadja, SH., H. Danny, SH., Ny. Poerbo- wati Djoko Soedomo, SH.).
PT. Multi Plaza Properties.— Perwasitan/Arbitrase; (01/320)— Banding terhadap keputusan Wasit/Arbitrase,
Sesuai ketentuan pasal 15 yo pasal 198 U.U. No. 1 tahun 1950 tentang susunan, kekuasaan dan jalan pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia permohonan banding terhadap putusan wasit dapat diterima; Akan tetapi karena para pihak telah sepakat bahwa terhadap putusan wasit/arbitrase in casu tidak dapat diajukan banding (pasal 641 Rv yo pasal 377 R.I.D.), maka permohonan banding terhadap putusan arbitrase tersebut tidak dapat diterima.(Menurut pendapat Mahkamah Agung bahwa banding terhadap keputusan wasit tidak dapat diperhatikan, karena menurut pasal 13 alinea terakhir Akta Pengikatan tanggal 18 Maret 1977, Keputusan Panitia Arbitrase merupakan keputusan terakhir yang mengikat semua pihak, juga mengenai biaya-biaya Panitia Arbitrase).
Pasal 641 R.V. yo pasal 377 R.I.D.1
Mahkamah Agung R.I.
* Dikutip dari: Pembinaan Wawasan Hukum Indonesia, No. X tahun 1988;
105
PUTUSANReg. No. 1 BANDING/WASIT/1981
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH AGUNG
memeriksa perkara wasit dalam tingkat banding telah mengambil putusan sebagai berikut dalam perkara:
PT. MULTI PLAZA PROPERTIES, berkedudukan di Jalan Pi- nangsia Raya Jakarta Barat, dalam hal ini diwakili oleh kuasanya; TALAS SIANTURI, SH. berkantor di Jakarta, Jalan Gajah Mada
; No. 219 C dan Jalan Hayam Wuruk Glodok Baru, Lantai II Blok D-8-34-35, pembanding/semula fihak pertama;
melawan;
YAHYA WIJAYA bertempat tinggal di Jalan A-I No. 4 A, Teluk Gong Jakarta Utara, dalam hal ini diwakili oleh kuasanya:SHINTA ANASTASIA, SH. berkantor di Jalan Pademangan I Gg. IX/23 A - Jakarta Utara, terbanding/semula fihak kedua;
Mahkamah Agung tersebut,
Melihat surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa sekarang pembanding/semula fihak pertama telah mengajukan pemeriksaan ulangan terhadap putusan Wasit No. 01/XII/PAR/80 tanggal 15 Desember 1980 pada pokoknya berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut:
bahwa pemohon asli adalah pemilik gedung pusat pertokoan/ perkantoran (shopping center) yang dikenal dengan nama ’’Glodok Plaza” terletak di Jalan Pinangsia Raya Jakarta; dan termohon asli Yahya Wijaya adalah penyewa dari sebuah ruangan pertokoan No. 65
106
Blok A Lantai II di gedung Glodok Plaza tersebut;bahwa termohon asli telah ingkar janji, tidak melakukan pem
bayaran dan pelunasan angsuran-angsuran uang sewa ke-4, 5, 6 dan 6 seperti yang telah dipenkatkan semula dalam akte pengikatan sebagai suatu perikatan pendahuluan yang kemudian hari akan ditingkatkan menjadi perjanjian sewa-menyewa di hadapan notaris;
bahwa sebaliknya dari pemohon asli akan memperoleh tambahan pembayaran uang sewa berikut pembayaran-pembayaran denda ingkar janji dan lain-lain pembayaran sebagai akibat pemutusan hubungan sewa-menyewa, termohon asli dengan sangat ganjil telah mengajukan seorang arbiter Kami Kresno Widagdo, SH. untuk memeriksa/ memutuskan tuntutan pengembalian beberapa angsuran uang sewa, berikut ganti rugi (bukti P.P. — 14).
bahwa karena pemohon asli tidak merasa berhutang pada termohon asli, surat pemberitahuan wasit Kami Kresno Widagdo, SH. tersebut tidak dijawab secara tertulis, tapi secara lisan;
bahwa wasit Kami Kresno Widagdo, SH. teras melakukan sidang arbitrage sebagai wasit tunggal yang memutuskan/mengabulkan tuntutan termohon asli tersebut; (bukti PP — 15);
bahwa surat keputusan wasit tersebut tidak wajar dan melawan hukum yaitu:a. pada satu pihak wasit bertindak sebagai ’’Wasit” yang memberita
hukan telah dibuatnya Keputusan Wasit dan telah didaftarkannya Keputusan Wasit tersebut pada kepaniteraan Pengadilan Negeri
, Jakarta Pusat, danb. pada pihak lain Wasit telah bertindak sebagai kuasa atau ber
tindak untuk mewakili kepentingan dari termohon/pihak kedua;
bahwa berdasarkan pasal 15 dan pasal 103 s/d III UU. 1/1950 pemohon/pihak pertama dalam waktu 1 bulan setelah mendapat pem- beritahukan keputusan Wasit PP — 16, berhak mengajukan pemeriksaan ulangan kepada Ketua Mahkamah Agung dalam sengketa perwasitan;
bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, pemohon asli menuntut agar Mahkamah Agung memberikan putusan sebagai berikut:1. Membatalkan keputusan Wasit a quo;2. Menolak tuntutan/gugatan termohon/pihak kedua, setidak-tidak
nya menyatakan tuntutan/gugatan termohon/pihak kedua tidak dapat diterima;
107
3. Menyatakan termohon/pihak kedua telah ingkar janji dan melakukan perbuatan melawan hukum;
4. Menghukum termohon/pihak kedua untuk membayar kepada pemohon/pihak pertama kekurangan atau penggantian biaya- biaya/ongkos-ongkos sewa, pajak penjualan, biaya perawatan, listrik, meterai, denda angsuran, denda biaya perawatan dan pembatalan dan biaya administrasi sebesar Rp. 2.761.216,— (dua juta tujuh ratus enam puluh satu ribu dua ratus enam belas rupiah),
5. Menghukum termohon/pihak kedua untuk membayar ongkos- ongkos perkara;
Menimbang, bahwa menurut surat-surat yang terdapat dalam berkas ini Keputusan Wasit No. 01/XII/PAR/80 tanggal 15 Desember 1980 telah diletakkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 23 Desember 1980 kemudian diberitahukan kepada pembanding/semula fihak pertama pada tanggal 24 Desember 1980. Sedangkan pembanding/semula fihak pertama telah mengajukan permohonan banding pada tanggal 23 Januari 1981, maka sesuai pasal 15 yo pasal 108 UU. No. 1/1950 tentang Susunan, Kekuasaan dan jalan pengadilan Mahkaamah Agung Republik Indonesia permohonan banding tersebut harus dinyatakan diterima;
Memperhatikan jawaban tanggal 26 Juni 1982 atas permohonan banding Keputusan Wasit No. 01/XII/PAR/80 tanggal 15 Desember 1980 yang diajukan oleh banding/semula pihak kedua;
Menimbang, bahwa kata-kata pemohon/fihak pertama dalam permohonan pemeriksaan ulangan tersebut harus dibaca sebagai pembanding/semula fihak pertama sedangkan kata-kata termohon/fihak kedua harus dibaca sebagai terbanding/semula fihak kedua;
bahwa selanjutnya mengenai alasan-alasan banding yang diajukan oleh pembanding/semula fihak pertama, menurut pendapat Mahkamah Agung alasan-alasan tersebut tidak dapat diperhatikan, karena ternyata menurut pasal 13 alinea terakhir Akta Pengikatan tanggal 18 Maret 1977 ’’Keputusan Panitia Arbitrase merupakan keputusan terakhir yang mengikat untuk semua fihak, demikian juga mengenai biaya- biaya Panitia Arbitrase itu” ;
bahwa hal ini berarti para fihak telah bersepakat, terhadap putusan Panitia Arbitrase tidak dapat diajukan banding (pasal 641 RV. yo pasal 377 R.I.D.), oleh karena mana permohonan banding terhadap putusan Panitia Arbitrase tersebut tidak dapat diterima;
108
Menimbang, bahwa berdasarkan hal-hal yang dipertimbangkan di atas, maka permohonan banding yang diajukan oleh pemohon: PT. Multi Plaza Properties tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima;
Memperhatikan Undang-Undang No. 14 tahun 1970, Undang- Undang No. 1 tahun 1950 dan Undang-Undang No. 13 tahun 1965 serta Reglemen Indonesia yang dibaharui
MENGADILI:
Menyatakan, bahwa permohonan banding dari pemohon banding; PT. MULTI PLAZA PROPERTIES tersebut tidak dapat diterima;
Menghukum pembanding membayar biaya perkara dalam tingkat banding ini ditetapkan sebanyak Rp. 10.000,— (sepuluh ribu rupiah);
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari: Rabu, tanggal 14 Maret 1984 dengan Prof. Z. Asikin Kusumah Atmadja, SH. Ketua Muda yang ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Sidang, Th. Ketut Suraputra, SH. dan Ny. H. Poerbowati Djoko Soedomo, SH. sebagai Hakim-hakim Anggauta, dan diucapkan dalam sidang terbuka pada hari: SELASA, TANGGAL 10 JULI 1984 oleh Ketua Sidang tersebut dengan dihadiri oleh Danny, SH. dan Ny. H. Poerbowati Djoko Soedomo, SH. Hakim-hakim Anggauta, dan Martini, SH. Panitera Pengganti, dengan tidak dihadiri oleh kedua belah pihak.
109
KEPUTUSANNo. 64/Pdt/G/1984/PN. Jkt. Sel.
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengadili perkara-perkara perdata pada tingkat pertama, telah menjatuhkan putusan dalam perkara:
P.T. BAKRIE & BROTHERS, berkedudukan di Jalan Mataram No. 1, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, yang dalam hal ini memilih domisili tetap di Kantor Pengacara GANI DJEMAAT & PARTNERS, Jalan Imam Bonjol No. 78, Jakarta Pusat, selaku kuasa berdasarkan surat kuasa tertanggal 15 Februari 1984, yang selanjutnya disebut sebagai: PEMBANTAH;
Lawan:
TRADING CORPORA TION OF PAKISTAN LIMITED,berkedudukan di National Pres Trust Building, Ismail Ibrahim Chundrigar Road, Karachi,'Pakistan, dalam hal ini memilih domisili di Kantor Kuasanya Law Firm Nasution, Lubis & Hadiputranto di Hayam Wuruk Building Floor 12-A, Jalan Hayam Wuruk No. 8 Jakarta Pusat, selanjutnya disebut sebagai: TERBANTAH;
Pengadilan Negeri tersebut;Telah membaca surat bantahan Pembantah tanggal 1 Maret 1984; Telah mendengar kedua belah pihak yang berperkara;
TENTANG DUDUKNYA PERKARA :
Menimbang, bahwa Pembantah dengan surat bantahan tersebut di atas telah mengajukan bantahan sebagai berikut: 1
1. Bahwa Terbantah, selaku Pemohon dalam permohonannya (Fiat eksekusi) di Pengadilan Negeri di Jakarta Selatan terdaftar No. FoL 22/48/JS/1983 Eks. untuk pendaftaran dan pelaksanaan Award of Arbitration dari Federation of Oils, Seed and Fats
110
Associations Limited mendasarkan pada Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 34 tahun 1981 Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards, yang telah ditandatangani di New York pada tanggal 10 Juni 1958 dan telah mulai berlaku pada tanggal 7 Juni 1959 telah disahkan dan diberlakukan di Indonesia terhitung tanggal 5 Agustus 1981 (bukti P-1).
2. Bahwa Kepres No. 34 tahun 1981 bersifat limitatif, yaitu berlaku secara reciprocitive (timbal balik) antara negara-negara yang telah meratifisir New York Convention 1958 tersebut dan dalam hubungannya dengan permohonan fiat eksekusi ini, ialah: Pakistan sebagai domisili dari Pemohon/Terbantah dan Indonesia sebagai domisili Termohon/Pembantah.
3. Bahwa namun demikian di dalam Surat Permohonan Pemohon/ Terbantah tanggal 12 November 1983 butir 9 (sembilan) Terbantah mengemukakan: ’’Bahwa Inggris adalah merupakan salah satu anggota dari Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards karena telah mensahkan dan memberlakukan Convention tersebut terhitung tanggal 25 Februari 1975, karena putusan atau Awards of Arbitration dari Federation of Oils, Seed and Fats Limited tersebut (bukti dari Pemohon/Terbantah P-3 dan P-4) dapat dilaksanakan/eksekusi di Indonesia.
4. Karena di dalam perkara ini Negara-negara yang bersangkutan atau ’’Contracting States” adalah Pakistan dan Indonesia, dan bukannya Inggris dan Indonesia maka permohonan Pemohon/ Terbantah tersebut tidak memenuhi ketentuan Kepres No. 34 tahun 1981, yang berbunyi sebagai berikut:
’’Pernyataan (Declaration).Pursuant to the provision of Article I (3) of the Convention, the Government of the Republic of Indonesia declares that it will apply the Convention on the basis of reciprocity, to the recognition and enforcement of awards made only in the territory of another Contracting States, and it will apply the Convention only to differences arising out of legal relationships, whether contractual or not, which are considered as commercial under the Indonesian Law”. Ill
I l l
Teijemahan dalam bahasa Indonesia:
”'Pernyataan.Sesuai dengan ketentuan pasal I (3) dari Perjanjian, maka Pemerintah Republik Indonesia menyatakan, bahwa Pemerintah akan mempergunakan Perjanjian itu berdasarkan hal timbal balik, untuk pengakuan dan pelaksanaan keputusan-keputusan, yang dibuat hanya di wilayah dari negara lain yang mengadakan Perjanjian, dan bahwa Pemerintah akan mempergunakan Perjanjian itu hanya untuk perbedaan-perbedaan, yang timbul dari hubungan-hubungan hukum, apakah berdasar atas perjanjian atau tidak, yang dianggap komersil menurut Undang-undang Indonesia” .
5. Bahwa karena Awards yang dimohonkan oleh Pemohon/Terban- tah tidak dibuat dalam ’’territory of another Contracting State” in casu Pakistan, sebagai domidli dari Terbantah, maka berdasarkan ’’Pernyataan (Declaration)” dalam Kepres No. 34 tahun 1981 (F-l) tersebut di atas, yang hanya hendak memberlakukan Awards secara redprodtive, dalam hal ini harus dibaca antara ’’Pakistan dan Indonesia” , maka permohonan fiat eksekusi Pemohon/Terbantah, karena Pemohon/Terbantah tidak' mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan fiat eksekusi tersebut, maka permohonan itu harus ditolak dan paling banter Terbantah hanya dapat menggunakan putusan arbiter tersebut sebagai bahan bukti untuk mengajukan gugatan biasa.
6. Bahwa di samping itu prosedure pengambilan putusan oleh Badan Arbiter tersebut tidak mengindahkan rasa keadilan dan keputusan, di mana Pembantah selaku pihak yang disebut pihak penjual tidak didengar dan atau tidak diberi kesempatan untuk membela diri kenapa pelaksanaan kontrak No. 058/PO/11.N /1979 sampai menjadi gagal, apakah karena kelalaian Pembantah yang merupakan suatu kesalahan ataukah karena sebab lain yang bersifat force majeure yang tidak dapat dipersalahkan kepada Pembantah, sehingga putusan wasit a quo tidak memenuhi syarat untuk dieksekusi, satu dan lainnya akan Pembantah jelaskan berikut ini:6.1. Bahwa benar antara Pembantah/Termohon dan Terban-
tah/Pemohon telah ditandatangani Kontrak No : 058/ PO/1 l.N/1979 (Bukti P-2).
112
6.2. Bahwa untuk memenuhi Kontrak tersebut Pembantah telah menutup Kontrak Pembelian Minyak Kelapa Sawit mentah (Grude Palm (Oil) dengan pihak LARISA (S) PTS. LTD. dengan Kontrak No. CPC. 1/BBS/2/BC sebanyak2.000 metric Ton dengan harga US $ 670/MT (Bukti P-3 dan P-4).
6.3. Bahwa untuk pengangkutan 5.000 M/T minyak kelapa sawit mentah tersebut Pembantah telah mengadakan Charter Party dengan Maskapai ROSEMUSS SHIPPING INC Liberia (Bukti P-5).
6.4. Bahwa dengan demikian Pembantah selaku supplier minyak kelapa sawit mentah kepada Terbantah, telah mengadakan persiapan sebagaimana mestinya, yaitu:a. Mengadakan Kontrak Pembelian minyak kelapa sawit
mentah sebanyak 5.000 M/T dari Larisa (S) Pte. Ltd. (Bukti P-3 dan P-4 tersebut di atas) dan
b. Men-charter kapal dari Maskapai Rosemuss Shipping Inc. Liberia untuk mengangkut dan melever 5.000 M/T minyak kelapa sawit kepada Terbantah. (Bukti P-5 tersebut di atas).
6.5. Bahwa kemudian ternyata pihak Larisa (S) Pte. Ltd., dengan mana Pembantah telah mengadakan Kontrak Pembelian minyak kelapa sawit mentah sebanyak 2.000 M/T + 3.000 M/T untuk dilever kepada Terbantah, ternyata telah gagal, tidak dapat melever minyak kelapa sawit mentah tersebut kepada Pembantah.
6.6. Bahwa atas kegagalan Lariza (s) Pte. Ltd., tersebut Pembantah melalui kuasanya di Singapore telah mengajukan claim terhadap Lariza (s) Pte. Ltd., sebagaimana dapat dibuktikan dengan salah satu ’’AFFIDAVIT” dalam Suit No. 947 tahun 1980 (bukti P-6).
6.7. Bahwa sebagaimana akibat daripada kegagalan pelever- an minyak kelapa sawit mentah oleh Lariza (s) Pte. Ltd. kepada Pembantah, maka kapal yang telah dicharternya dari Maskapai Rosemuss Shipping dan pada tanggal pemuatan yang direncanakan telah siap di pelabuhan Singapore, tidak dimuatkan minyak kelapa sawit termaksud dan atas tidak jadinya pemuatan minyak kelapa sawit terse-
113
but pihak Maskapai Rosemuss Shipping telah mengajukan claim terhadap Pembantah sebesar US $ 1.264.252.69, sebagaimana dapat dibuktikan dengan ’’Ownering Dried Introduction” (bukti P-7).
6.8. Bahwa dari uraian di atas yang disertai dengan bukti-bukti nyata, kiranya dapat membuktikan pula bahwa Pembantah adalah penjual minyak kelapa sawit mentah kepada Terbantah, yang beritikad baik (ter goeder trouw), dan tidak dapatnya melever minyak kelapa sawit tersebut tersebab oleh kegagalan dari Lariza (s) Pte. Ltd, dari pihak mana Pembantah telah memesannya/membelinya, dan bukan karena suatu wanprestasi tetapi dikarenakan oleh hal-hal yang tidak dapat diatasi oleh Pembantah (force majeure).
6.9. Bahwa dalam Pasal 14 Contract No. 058/PO/11.N/1979 for Crude Palm Oil dated November 21, 1979 (bukti P-2) tentang ’’Performance Bond” ada ditentukan sebagai berikut:’’Penjual akan mengadakan Performance Bond (Surat Jaminan Pelaksanaan/Garansi Bank untuk pelaksanaan kontrak sebagaimana mestinya, yang akan dikeluarkan oleh Citibank of Pakistan Karachi untuk uang sebesar 3% dari nilai total barang dalam proforma yang ditentukan oleh Pembeli dalam 15 hari sejak diterima baiknya tawaran mereka tanggal 21.11.79” .a. Dalam hal ini Pembantah selaku penjual telah meme
nuhi kewajiban tersebut.b. Dengan telah dipenuhinya pengadaan ’’Performance
Bond” tersebut oleh Pembantah, selaku Pihak Penjual, maka pasal 14 tersebut, secara hukum mengikat kedua belah pihak, yaitu Pembantah selaku Penjual dan Terbantah selaku pembeli minyak kelapa sawit tersebut, pada ketentuan tersebut, yaitu:
1. Apabila Pembantah, selaku penjual tidak dapat melaksanakan kontrak (P-2) tersebut, maka ’’Performance Bond” tersebut untuk kepentingannya, yang merupakan hukuman bagi Pembantah selaku penjuaL
2. Dengan dilaksanakannya sanksi tersebut, maka persoalan Kontrak Jual Beli (P-2) telah selesai,
dan Terbantah tidak ada hak lagi untuk mengajukan claim-claim lainnya terhadap Pembantah.
6.10. Oleh karena dalam kasus ini Terbantah telah mempergunakan haknya atas ’’Performance Bond” sebesar US $ 94.021,75 dengan menerima pembayarannya dari Pembantah, maka tiada hak lain lagi bagi Terbantah untuk mengajukan claim-claim apapun terhadap pembantah. Sehingga dengan demikian, claim Terbantah melalui Badan Arbitrase, yang kemudian mengeluarkan Award- nya No. 2282 tanggal 8 September 1981 (P-2) adalah merupakan suatu tuntutan yang, tidak ada dasar hukumnya, sehingga Award tersebut harus ditolak.
Maka, berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas serta bukti-bukti yang menguatkan kebenaran hal-hal tersebut, maka Pembantah mohon sudi kiranya Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berkenan menerima bantahan ini, memeriksanya dan selanjutnya memutuskan:1. Menyatakan demi hukum, bahwa Pembantah adalah Pemban
tah yang baik;2. Menyatakan dengan diterimanya pembayaran ’’Performance
Bond” dalam pasal 14 Contract No.: 058/PO/ll.N/1979 tanggal 21 November 1979 (P-2) oleh Terbantah, maka persoalan kontrak tersebut telah selesai dan Terbantah, tidak ada lagi hak lain apapun untuk menuntut Pembantah.
3. Kenyataan demi hukum bahwa Award No. 2282 tanggal 8 September 1981 (P-8) batal demi hukum, karena mengandung putusan-putusan yang tidak berdasarkan hukum.
4. Menyatakan menolak permohonan pelaksanaan eksekusi Awards tersebut di atas.
5. Membebankan biaya perkara ini pada Terbantah, atau.
Dalam hal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berpendapat lain, memutuskan perkara ini dengan suatu putusan yang seadil-adilnya sesuai dengan hukum yang berlaku.
Menimbang, bahwa Pengadilan telah berusaha mendamaikan kedua belah pihak tapi tidak tercapai dan karena itu bantahan ini dilanjutkan: '
Menimbang, bahwa atas bantahan tersebut Terbantah pada da-
115
sarnya menolak bantahan seperti terurai dalam jawabannya dan selanjutnya para pihak telah melanjutkan perdebatannya- dengan saling mengajukan Replik, Duplik dan Kesimpulan;
Menimbang, bahwa karena bantahan ditolak maka Pembantah wajib menunjukkan kebenaran bantahannya;
Menimbang, bahwa untuk itu Pemerintah telah mengajukan bukti-bukti sebagai berikut:
Bukti P-l adalah mengenai L.M. R.I. no. 40/1981 mengenai Lembaga International Persetujuan. Yang menyangkut Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award” tanggal 10 Juni 1958 yang berlaku tanggal 7 Juni 1959” di mana dalam hal ini Pemerintah R.I. mengikuti Konvensi tersebut;
Bukti P-2 adalah menyangkut Kontrak no. 058/PO/l l/N/1979 tanggal 21 November 1979 antara P.T. Bakrie Brothers sebagai Pembantah dengan The Trading Corporation of Pakistan Limited, Terbantah, menyangkut pengiriman 5.000 metrik ton minyak Palm mentah (Crude Palm Oil of Indonesia/Malaysian seharga $ 619,75/metric ton-bukti ini adalah foto copy yang menurut Pembantah aslinya ada pada Terbantah dan atas hal ini terbantah tidak menyatakan apa-apa dan dalam kenyatannya terbantah dalam jawaban mengakui adanya kontrak tersebut (lihat bukti 6 surat jawaban).
Bukti P-3 dan P-4 berupa pesanan dari Bakrie Brothers Singapore pada Larisa Pte menyangkut 3.000 metrik ton Grude Palm Oil &2.000 metrik ton.
Bukti ini oleh Terbantah dianggap sebagai petunjuk bahwa Pembantah tidak beritikad baik dan karena dengan ini ditunjukkan bahwa Pembantah belum mempunyai persediaan minyak Palm sebesar5.000 metrik ton, dan menunjukkan pula sesungguhnya Pembantah tidak punya hubungan dengan Bakrie & Brothers Singapore tersebut;
Bukti P-5 adalah perjanjian pengangkutan 5.000 metrik ton Crude Palm Oil antara Bakrie & Brothers (Singapore) Pte. Ltd. dengan Rosemuss Shipping Incorporated Mauravia Liberia dari Singapore dengan tujuan Karachi dengan tanggal 27 Januari 1980.
Bukti P-6 adalah mengenai perkara perdata di Pengadilan Tinggi (High Court) Republik Singapore antara Bakrie Brothers (Singapore) Pte. Ltd. lawan Larisa (s) Pte. Ltd. (bukti ini hanya foto copy yang tidak bisa dicontoh karena aslinya tidak dapat diperlihatkan oleh Pembantah).
116
Bukti P-7 menyangkut persoalan arbitrase antara Rosemuss Shipping Inc. lawan Bakrie and Brothers (Singapore) menyangkut pencarteran Kapal M.t. Dona Seliva untuk membawa 5.000 metric ton Crude Palm Oil dari Singapore, menuju Karachi tanggal 11/20/ 80.
Bukti P-8 adalah bukti putusan dari Badan Arbitration, Federation of Oils Seed and Fats Association Ltd. adalah mengenai Putusan Arbitrase antara para anggota dalam FCSFA tersebut di mana dalam hal ini berdasar bukti P.l Indonesia telah turut serta di dalamnya;
Di dalam kesimpulan akhirnya Badan Administrasi tersebut membebani pihak Pembantah selaku Penjual (Sellers) untuk membayar kepada Terbantah, sebagai ganti rugi yang jumlahnya mencapai $ 98.510.74.
Bukti P-9 Surat Teguran dari Lee & Lee selaku Pengacara dari Bakrie & Brother Singapore kepada Larisa (s) Pte. Ltd. mengenai kewajibannya untuk memenuhi penjualan 5.000 metrik ton minyak Palm.
Bukti P-10 adalah Surat dari Bakrie.& Brothers Singapore kepada pengacaranya berisi informasi mengenai kasus 5.000 metrik ton antara Bakrie & Brother dengan Larisa Pte. Ltd. dilampiri gugatan di Hight Court Singapore antara Bakrie & Brother Singapore lawan P. T. Lariza.
P-l 1 merupakan surat blanko dari FCSFA yang isinya adalah mengenai cara-cara dan aturan-aturan memuat minyak Palm.
Menimbang, bahwa atas bukti-bukti P.3 sampai dengan P. 11 Terbantah menyatakan bahwa bukti tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan Pembantah mengingat apa yang dikemukakan dalam bukti-bukti tersebut adalah menyangkut Bakrie & Brothers (Singapore) Pte. Ltd. di mana Bakrie and Brothers Singapore yang tunduk pada hukum Singapore adalah lain dan tidak punya hubungan dengan Bakrie & Brothers Jakarta (Pembantah) dan karena itu Terbantah menolak bukti-bukti tersebut;
Menimbang, bahwa mengenai bukti P. 12 yang diajukan Pembantah setelah para pihak mengajukan kesimpulan masing-masing Terbantah menyatakan protesnya dan menolak pengajuan bukti tersebut.Pembantah dalam hal ini mengemukakan bahwa bukti tersebut adalah j ustru bukti yang diminta oleh Terbantah.
Menimbang, bahwa dalam perkara ini Terbantah sendiri me
117
ngajukan bukti T. I, II, T. III bukti-bukti tersebut adalah mengenai arbitration act 1975 yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia (bukti T. II-T. III);
Menimbang, bahwa untuk menyingkat perkara ini maka hal ikhwal yang tercantum dalam berita acara dianggap telah masuk dalam perkara ini;
TENTANG PERTIMBANGAN HUKUM
Menimbang, bahwa terlebih dahulu majelis mempertimbangkan mengenai keberatan Terbantah atau dimasukkannya bukti terakhir setelah kesimpulan yaitu dalam hal ini menyangkut bukti P. 12.
Menimbang, bahwa majelis berpendapat menurut acara pemeriksaan HIR pengajuan bahan-bahan bukti selalu diperkenankan sebelum putusan diucapkan. Pemeriksaan perkara menurut HIR haruslah tuntas (Uit), dalam hal ini perlu dikemukakan bahwa HIR pun tidak mengenal acara kesimpulan, di mana diartikan bahwa setelah kesimpulan para pihak dilarang mengajukan bukti-bukti lagi. HIR bersifat sederhana, mondeling prosedure, pemeriksaan secara langsung, keaktifan Hakim dalam memimpin persidangan dan tuntas;
Menimbang, bahwa berdasarkan hal tersebut keberatan Terbantah harus ditolak;
Menimbang, bahwa selanjutnya adalah mengenai maksud dari bantahan itu sendiri;
Menimbang, bahwa yang menjadi sengketa dalam perkara ini adalah menyangkut pelaksanaan (executie) atas Award of Arbrit- ation dari Federation of Oils, Seeds and Fat Association Limited No. 2282 tanggal 8 September 1981 vide ketetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan no. fol. 22/48/JS/1983 tanggal 13 Februari 1984 atas diri Pembantah;
Menimbang, bahwa Pembantah selaku Termohon executie dalam ketetapan tersebut di atas telah mengajukan keberatan atas pelaksanaan dari tersebut dengan alasan utama bahwa putusan arbritase tersebut tidak sah oleh karena: 1
1. Award tersebut dianut di Inggris, padahal menurut asas recip- rositet yang tercantum dalam Kepres no. 34 tahun 1981 Inggris tidak berhak memutus perkara arbitrase ini sebab negara yang
118
. . . (contracting States) adalah Indonesia dengan Pakistan, sekiranya hal tersebut bertentangan dengan Pernyataan (Declaration) dari Pemerintah R.I. sendiri.
2. Bahwa keputusan dari Award tersebut bertentangan dengan prosedure pengambilan putusan oleh Badan Arbitrase. Oleh sebab Pemerintah tidak, diberi kesempatan untuk membela diri dan tidak pernah didengar pendapatnya sehingga putusan Award tersebut tidak memenuhi syarat untuk diexecutie;
3. Bahwa Pembantah telah berusaha untuk memenuhi perjanjian no. 058/PO/l l.N /1979 (bukti P.2) semua gagal.
4. Bahwa Pembantah sendiri atas kegagalan tersebut telah memberikan ganti rugi berupa performance bond yang telah dipenuhi oleh Pembantah yang jumlahnya mencapai $ 94.821.75. Performance bond ini tercantum dalam pasal 12 dari kontrak no. 058/PO/l l .N/1979 tersebut di atas:
Menimbang, bahwa dari persidangan didapati hal-hal berikut:1. Bahwa antara Pembantah dan Terbantah telah mengadakan
transaksi jual beli 5.000 metrik ton minyak kelapa sawit.2. Bahwa Pembantah selaku penjual telah gagal memenuhi kon
trak tersebut.3. Bahwa untuk kontrak tersebut kedua belah pihak telah setuju
mengikatkan diri pada aturan-aturan FOSFA.4. Bahwa dalam hal teijadinya perselisihan kedua belah pihak se
tuju untuk menunjuk badan Arbritase.5. Bahwa mengenai badan arbitrase ini negara R.I. telah ikut serta
dalam konvensi mengenai arbitrase (New York Convention on the recognition and enforcement of Foreign Arbitral Award) dengan disertai suatu pernyataan asas recepresition.
6. Bahwa Pembantah telah menyerahkan $ 94.621.75 sebagai pembayaran Performance bond mengenai pembayaran ini Terbantah tidak secara tegas menolaknya dan karena itu dianggapi mengakuinya.
Menimbang, bahwa mengenai diperlakukan peraturan FOSFA/majelis berpendapat sesuai dengan pembantah bahwa berlakunyaFOSFA adalah bersifat timbal balik (bukti P. 1), yaitu dalam hal
119
ini akan berlaku di antara para pihak yang mengadakan perjanjian, di mana selain aturan-aturan dalam FOSFA sendiri, maka aturan di antara para Contracting States juga harus diperhatikan, jadi dalam hal ini menyangkut pula perlakuan antara hukum Pakistan dan hukum Indonesia;
Menimbang, bahwa Pembantah dan Terbantah telah melakukan suatu peijanjian jual beli 5.000 metrik ton minyak kelapa sawit, di mana untuk peijanjian tersebut kedua-duanya terikat oleh FOSFA tersebut di atas sebagai aturan umum bagi mereka yang melakukan transaksi jual beli minyak kelapa sawit. Keterikatan tersebut adalah sebagai akibat ratifikasi Pemerintah R.I. atas Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award. Secara tidak langsung mengakuinya sebagaimana terbukti bahwa Terbantah hanya mengemukakan Performance bond tersebut tidak ada relevansinya dalam perkara ini;
Menimbang, bahwa Terbantah mengatakan bahwa seolah-olah Pengadilan tidak berwenang menilai putusan arbritase tersebut di atas.
Menimbang, bahwa mengenai hal ini majelis menolak pendapat tersebut oleh karena justru dari pasal 7 : 1 conventie sendiri dapatlah ditarik kesimpulan ’’bahwa pengakuan dan pelaksanaan putusan dapat ditolak setelah salah satu pihak menyatakannya pada pihak yang berwenang”, yang dimaksud pihak yang berwenang di sini adalah jelas Pengadilan Negeri, karena badan inilah yang akan melaksanakan executie putusan arbirtase tersebut dan atas dasar itu Pengadilan bisa menilai putusan arbritase tersebut sesuai dengan jiwa dari Conventie itu sendiri di mana ketentuan-ketentuan dari hukum negara yang bersangkutan harus diperhatikan;
Menimbang, bahwa selanjutnya mengenai putusan arbritase itu sendiri yang diputus di negara Inggris, majelis sependapat dengan Terbantah bahwa karena Inggris juga adalah anggota Conventie, adalah menjadi tidak ada soal kalau arbitrase tersebut diajukan di Inggris, asal saja pengajuan tersebut sesuai dengan conventie itu sendiri.
Menimbang, bahwa mengenai apakah putusan arbitrase tersebut dapat dilaksanakan atau tidaknya di negara Indonesia sendiri, karena ada pernyataan penolakan dari pihak lain, haruslah terlebih dahulu dinilai dan dipertimbangkan;
Menimbang, bahwa mengingat asas reciprositas yang menyertai ratifikasi conventie tersebut oleh Pemerintah R.I. maka badan arbitrase di London tersebut haruslah selain memperhatikan aturan-
120
aturan Conventie dan FOSFA, juga memperhatikan aturan-aturan hukum yang berlaku di Indonesia dan Pakistan (lihat dari pasal V; 1 sub. a dan d. 1), di sini haruslah diartikan apakah putusan arbitrase tersebut sesuai pula dengan ketentuan arbitrase menurut hukum Indonesia seperti yang tercantum dalam pasal 631 sampai dengan 650 Reglement of de Rechts vordering (R.V.) serta praktek hukum di Indonesia;
Menimbang, bahwa dalam pengambilan putusan badan arbitrase haruslah mendengar kedua belah pihak yang bersangkutan terlebih dahulu, mengingat menurut hukum yang berlaku di Indonesia pada pihak masing-masing menunjuk seorang untuk mewakili di forum arbitrase tersebut: hal mana sesuai pula dengan pasal V : 1 sub. b Convensi itu sendiri;
Menimbang, bahwa dalam kenyataannya putusan arbitrase di London tidak terbukti telah mendengar pihak Pemerintah. Putusan tersebut didasarkan semata-mata atas permintaan pihak Tertuduh (lihat bukti P-8) sedang Award itu sendiri tidak merasa bertanggung jawab atas kebenaran keterangan-keterangan tadi;
Menimbang, bahwa selain dalam persetujuan no. 058/PO/l l.N/ 1979 tersebut di atas ada ditentukan klausula performance bond, yang diartikan Pembantah sebagai jaminan terlaksananya kontrak tersebut dan apabila kontrak tidak dipenuhi si yang bersalah dihukum membayar uang jaminan tersebut yang besarnya adalah 3% dari nilai total barang dalam proporms yang ditentukan oleh Pembeli;
Menimbang, bahwa Pembantah sebagaimana telah terbukti, akibat dari kegagalan memenuhi kontrak no. 058 telah menyerahkan performance bond kepada Terbantah;
Menimbang, bahwa mengenai hal ini majelis berpendapat sesuai dengan Pembantah bahwa performance bond tersebut merupakan jaminan pelaksanaan atas terlaksananya kontrak no. 058, sekiranya Pembantah telah membayar uang jaminan maka Terbantah tidak ada lagi hak untuk menuntut kerugian-kerugian lain.
Menimbang, bahwa berdasarkan hal tersebut majelis menganggap bahwa Pembantah telah berhasil membuktikan dalil-dalilnya dan karena itu harus dikabulkan;
Menimbang, bahwa karena bantahan dikabulkan, maka putusan arbitrase London no. 2282 tersebut di atas harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum untuk diexecutie.
Menimbang, bahwa karena bantahan telah dikabulkan, maka terbantah selaku pihak yang kalah harus dihukum membayar biaya
121
perkara ini;Memperhatikan pasal-pasal daripada Undang-Undang yang ber
sangkutan;
MENGADILI:
1. Mengabulkan bantahan Pembantah;2. Menyatakan bahwa Pembantah adalah Pembantah yang baik;3. Menyatakan Pembantah telah memenuhi kewajibannya dengan
membayar performance bond kepada Terbantah;4. Menyatakan Award of Arbitration No. 2282 tanggal 3 September
1984 tidak berkekuatan hukum dan karena itu tidak dapat dilaksanakan;
5. Menghukum Terbantah untuk membayar biaya perkara; yang hingga kini ditaksir sebesar Rp. 26.350,— (dua puluh enam ribu tiga ratus lima puluh rupiah);
Demikianlah diputus di Jakarta pada hari : KAMIS, tanggal 1 November 1984, dan pada hari itu juga diucapkan di muka umum oleh Kama : ENDANG SUTARDI, SH Hakim Ketua Majelis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan dibantu oleh L.O. SIAHAAN, SH dan Ny. TJ. I.R. DARMAWATI, SH masing-masing sebagai Hakim Anggota dengan dihadiri oleh Kuasa Pembantah, dan Terbantah dengan bantuan Panitera-Pengganti: S. NANA SUDJANA, Sm.Hk.
122
P U T U S A N Reg. No. 2944 K/Pdt/1983.
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH AGUNG
memeriksa perkara perdata dalam tingkat kasasi telah mengambil putusan sebagai berikut dalam perkara :
PT. NIZWAR, alamat Jalan Taman Matraman Timur No. 19A Jakarta Pusat, dalam hal ini diwakili oleh kuasanya :Harjono Tjitrosoebono, SH. bertempat tinggal di Jalan Plaju No. 1 Jakarta Pusat, pemohon kasasi dahulu termohon asli;
m e l a w a n :
NAVIGATION MARITIME BULGARE, Vama, Blvd. Chervenoer- meiski, memilih tempat kediaman hukum di kantor Pengacaranya Mr. Gr. S. Gautama (Gouw Giok Siong A) dijalan Medan Merdeka Timur No. 9 Jakarta Pusat, termohon kasasi dahulu pemohon asli;
Mahkamah Agung tersebut;Melihat surat-surat yang bersangkutan;Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa se
karang termohon kasasi semula pemohon asli telah mengajukan permohonan yang berbunyi sebagai berikut :
bahwa dalam keputusan Arbitrator di London tanggal 12 Juli 1978 dalam perkara antara :Client kami sebagai claimants denan PT. Nizwar sebagai Respondents maka telah diputuskan bahwa :— pihak PT. NIZWAR harus membayar client kami uang sejumlah
US $ 72.576.39 (tujuh puluh dua ribu lima ratus tujuh puluh enam 39/100 United States Dollars) ditambah dengan bunganya 7*A% setiap tahunnya terhitung sejak tanggal 1 Januari 1975 sampai lunas dibayar dan biaya arbitrase £ 250,- (dua ratus lima puluh poundsterling) (bukti terlampir P-l);
123
bahwa dengan adanya Staatsblad 1933 - 131 yo. 132 yo. 133 tentang Voorziening voor Indonesia ter uitvoering van het Verdrag nopens de tenuitvoerlegging van in het buitenland gewezen scheids- rechtterlijke uitspraken van 26 September 1927 dan Konvensi Geneva tanggal 26 September 1927 (lihat Kitab Undang-undang, Undang- undang dan Peraturan-peraturan Republik Indonesia dari Mr. W.A. Engelbrecht 1960, halaman 2841) yang berlaku baik untuk Indonesia maupun Negara Inggris, maka suatu keputusan Arbitrase luar negeri (dari Inggris) mempunyai kekuatan hukum sebagai suatu keputusan akhir Pengadilan yang dapat segera dilaksanakan melalui Pengadilan Negeri di Indonesia, setelah memperoleh (fiat executie);
Maka bersama ini atas nama client mohon supaya Bapak Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berkenan memberikan fiat executie dan memerintahkan kepada PT. NIZWAR, di Jalan Taman Matraman Timur No. 19 A, Jakarta Pusat untuk melaksanakah keputusan arbitrase London No. 1950 tanggal 12 Juli 1978, yaitu segera dan sekaligus membayar kepada pemohon asli, uang US $ 72.576.39 (tujuh puluh dua ribu lima ratus tujuh puluh enam 39/100 United States dollars) ditambah dengan bunganya sebesar 71/s>% setahun sejak tanggal 1 Januari 1975 sampai limas dibayar ditambah dengan biaya sejumlah £ 250,- (dua ratus lima puluh pound sterling);
bahwa berdasarkan permohonan tersebut Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan penetapan No. 2288/1979.P. tanggal 10 Juni 1981 telah memberikan putusan sebagai berikut :
Mengabulkan permohonan pemohon; bahwa berdasarkan permohonan tersebut Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Penetapan No. 2288/1979 P tanggal 10 Juni 1981 telah memberikan putusan sebagai berikut :
Memerintahkan kepada termohon i.c. PT. NIZWAR, beralamat di Jalan Taman Matraman Timur No. 19A Jakarta Pusat untuk melaksanakan keputusan Arbitrase London No. 1950, tanggal 12 Juli 1978 untuk dengan segera dan sekaligus membayar kepada pemohon uang US $ 72.576.39 (tujuh puluh dua ribu lima ratus enam 39/100 United States dollars) ditambah dengan bunganya sebesar IV2J0 setahun terhitung sejak tanggal 1 Januari 1975 sampai lunas dibayar ditambah dengan biaya arbitrase sejumlah £ 250,- (dua ratus lima puluh pound sterling);
Menghukum termohon membayar biaya perkara ini yang sampai pada hari ini kami taksir sebesar Rp 4.300,- (empat ribu tiga ratus rupiah);
124
Menimbang, bahwa menurut surat permohonan kasasi No. 060/ Srt.Pdt/G/1981. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada hari Rabu tanggal 1 Juli 1981 termohon asli telah mengajukan permohonan pemeriksaan dalam tingkat kasasi terhadap penetapan» No. 2288/Pdt.P/ 1979 tanggal 10 Juni 1981, sedangkan tidak diketahui kapan penetapan tersebut diberitahukan kepadanya;
Bahwa akan tetapi sesuai dengan surat pengantar tanggal 17 Oktober 1983 No. 107.DC.HT/Pan/6969/2288/79.P/1983 dan surat keterangan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 12 Oktober 1983 No. 060/Srt.Pdt.G/81 /PN.Jkt.Pst. pemohon kasasi tidak mengajukan risalah kasasi;
Menimbang terlebih dahulu, bahwa dengan berlakunya Undang- undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang telah mencabut Undang-undang No. 19 tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (yang lama) dan Hukum Acara Kasasi seperti yang dimaksudkan dalam pasal 49 (4) Undang-undang No. 13 tahun 1965 sampai kini belum ada, maka Mahkamah Agung menganggap perlu untuk menegaskan Hukum Acara Kasasi yang harus dipergunakan;
Bahwa mengenai hal ini berdasarkan pasal 40 Undang-undang No. 14 tahun 1970, maka pasal 70 Undang-undang No. 13 tahun 1965 harus ditafsirkan sedemikian rupa, sehingga yang dinyatakan tidak berlaku itu bukan Undang-undang No. 1 tahun 1950 secara keseluruhan, melainkan sekedar mengenai hal-hal yang telah diatur dalam Undang- undang No. 13 tahun 1965 kecuali kalau bertentangan dengan Undang-undang No. 14 tahun 1970;
Bahwa dengan demikian, maka yang berlaku sebagai Hukum Acara Kasasi adalah Hukum Acara Kasasi yang diatur dalam Undang-undang No. 1 tahun 1950, sekedar tidak bertentangan dengan Undang-undang No. 14 tahun 1970;
Menimbang, bahwa di samping itu meskipun permohonan kasasi harus dinyatakan tidak dapat diterima, Mahkamah Agung menganggap perlu demi kepastian hukum dan perkembangan hukum di Indonesia khususnya tentang hal pelaksanaan putusan Hakim Arbitrase Asing untuk memberikan pertimbangan sebagai berikut:
bahwa pada asasnya sesuai dengan Yurisprudensi di Indonesia putusan Pengadilan Asing dan putusan Hakim Arbitrase Asing tidak dapat dilaksanakan di Indonesia kecuali kalau antara Republik Indonesia dan Negara Asing yang bersangkutan HiaHakan
125
peijanjian tentang pelaksanaan putusan Pengadilan Asing/putusan Hakim Arbitrase Asing;bahwa meskipun menurut pasal 5 Peraturan Peralihan dari perjanjian Konperensi Meja Bundar perihal penyerahan Kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia, perjanjian-perjanjian Internasional yang berlaku untuk wilayah Indonesia tetap berlaku bagi Republik Indonesia namun hal ini tidak berarti Republik Indonesia mutlak terikat pada perjanjian Konperensi Meja Bundar tersebut maupun pada perjanjian-perjanjian Internasional yang dahulu oleh Pemerintah Kerajaan Belanda, dengan alasan Perjanjian Internasional tersebut (i.c. S. 1933 No. 132) terjadi pada waktu keadaan dunia Internasional sepenuhnya dikuasai oleh Negara-negara penjajah, dengan demikian prinsip State Succession berdasarkan Hukum Internasional juga dikuasai oleh keadaan tersebut, di mana kalau kelak suatu Negara jajahan memperoleh kemerdekaannya, maka Negara jajahan tersebut otomatis (sesuai passief Stelsel) terikat pada perjanjian-perjanjian Internasional yang telah diadakan oleh Negara penjajahnya;
Bahwa pada dewasa ini, dimulai setelah perang dunia ke II praktis keadaan dunia telah berubah, karena timbulnya kekuatan-kekuatan baru dalam bentuk Negara-negara yang sedang berkembang bahkan dunia sekarang dikuasai oleh aliran Interdependensi (saling ketergantungan) yang intinya ialah adanya Common concern dari family of nations tentang keadaan di dunia;
Bahwa selanjutnya mengenai keputusan Presiden Republik Indonesia No. 34 tahun 1981 tanggal 5 Agustus 1981 dan lampirannya tentang mengesahkan ’’Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards” sesuai dengan praktek hukum yang berlaku masih harus ada peraturan pelaksanaannya tentang apakah permohonan eksekusi putusan Hakim Arbitrase dapat diajukan langsung pada Pengadilan Negeri, kepada Pengadilan Negeri yang mana ataukah permohonan eksekusi diajukan melalui Mahkamah Agung dengan maksud untuk dipertimbangkan apakah putusan tersebut tidak mengandung hal-hal yang bertentangan dengan ketertiban hukum di Indonesia;
Bahwa berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas, permohonan pelaksanaan putusan Hakim Arbitrase Asing seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima;
126
Mepiperhatikan pasal 40 Undang-undang No. 14 tahun 1970, Undang-undang No. 13 tahun 1965 dan Undang-undang No. 1 tahun 1950;
M E N G A D I L I :
Menyatakan, bahwa permohonan kasasi dari pemohon kasasi : PT. NIZWAR tersebut tidak dapat diterima;
Menghukum pemohon kasasi semula termohon membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini ditetapkan, sebanyak Rp 10.000,— (sepuluh ribu rupiah);
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari : Senin tanggal 20 Agustus 1984 dengan Prof. Z. Asikin Kusumah Atmadja, SH. Ketua Muda yang ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Sidang Ny. H. Poerbowati Djoko Soedomo, SH. dan Danny, SH. sebagai Hakim-hakim Anggota dan diucapkan dalam sidang terbuka pada hari : KAMIS, TANGGAL 29 NOVEMBER 1984 oleh Ketua Sidang tersebut dengan dihadiri oleh Ny. H. Poerbowati Djoko Soedomo, SH. dan Danny, SH. Hakim-hakim Anggota, dan I.G.A. Retisni Radika, SH. Panitera Pengganti, dengan tidak dihadiri oleh kedua belah pihak.
127