artikel diversifikasi pangan-mocaf-neny mariyani
DESCRIPTION
mocafTRANSCRIPT
DIVERSIFIKASI KOMODITAS UNGGULAN PANGAN DEMI MENGURANGI KETERGANTUNGAN TEPUNG TERIGU IMPOR
Diversifikasi pangan merupakan salah satu target utama untuk mewujudkan program
ketahanan pangan yang merupakan program prioritas pembangunan nasional Kementerian
Pertanian dalam 2010-2014. Hal ini sejalan dengan harapan Indonesia ke depan sebagai
pemasok kebutuhan pangan di dunia, seperti disampaikan dalam “Jakarta Food Security
Summit 2012.”
Komoditas unggulan pangan yang sejalan dengan road map ketahanan pangan nasional
diantaranya pertanian pangan seperti ubi kayu (singkong), kelapa sawit, kakao, peternakan,
makanan dan minuman serta perikanan. Di Indonesia, ketergantungan konsumsi masyarakat
terhadap tepung terigu masih sangat tinggi. Berdasarkan data dari Asosiasi Produsen Tepung
Terigu Indonesia (Aptindo), konsumsi tepung terigu nasional pada tahun 2011 mencapai 4.75
juta ton, lebih tinggi dari 2010 sekitar 4.3 juta ton. Hal tersebut sangat memprihatinkan karena
di satu sisi Indonesia yang memiliki kekayaan alam yang sangat potensial untuk melakukan
diversifikasi pangan untuk menurunkan ketergantungan akan terigu.
Berkaitan dengan diversifikasi pangan, Indonesia memiliki potensi dalam pengembangan
pangan non beras seperti ubi kayu. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi
ubi kayu di Indonesia tahun 2011 adalah kurang lebih sekitar 24 juta ton. Ketersediaan ubi
kayu yang melimpah ini, apabila dikelola dengan baik diharapkan dapat mengurangi
ketergantungan masyarakat akan tepung terigu sebagai bahan baku produksi pangan olahan
seperti roti, mie, dan lainnya. Di Indonesia, kapasitas produksi gandum masih relatif rendah,
yaitu kurang lebih 10% dari total kebutuhan gandum untuk produksi tepung terigu dalam
negeri. Hal ini disebabkan karena tanaman gandum (subtropis) sebagai bahan baku utama
tepung terigu kurang cocok ditanam di iklim Indonesia yang tropis. Rendahnya produksi
gandum menyebabkan produksi tepung terigu pun masih relatif rendah. Berdasarkan data dari
Aptindo, kapasitas produksi tepung terigu di Indonesia sekitar 300 ribu ton per tahun.
Salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan kekurangan tepung terigu di Indonesia
adalah menciptakan produk subtitusi sebagai alternatif pengganti tepung terigu. Ubi kayu
(manihot esculenta crantz) merupakan salah satu komoditi pangan lokal yang berpotensi
sebagai bahan baku untuk mensubtitusi tepung terigu, hal ini didukung oleh produktivitas
yang tinggi, budidaya yang mudah dan harga yang murah. Tepung singkong yang telah
dimodifikasi dikenal juga sebagai mocaf (Modified Cassava Flour).
Mocaf adalah produk tepung dari singkong yang diproses menggunakan prinsip
memodifikasi sel singkong secara fermentasi dimana selama proses itu berlangsung
didominasi oleh Bakteri Asam Laktat (BAL). Mikroba yang tumbuh menghasilkan enzim
pektinolitik dan selulolitik (enzim yang bisa memecah pektin dan selulosa) yang dapat
menghancurkan dinding sel singkong, sehingga terjadi liberalisasi granula pati. Mikroba
tersebut juga menghasilkan enzim-enzim yang menghidrolisis pati menjadi gula dan
selanjutnya mengubahnya menjadi asam-asam organik, terutama asam laktat. Hal ini
menyebabkan perubahan karakteristik dari tepung yang dihasilkan berupa naiknya viskositas,
kemampuan gelasi, daya rehidrasi dan kemudahan melarut. Demikian pula cita rasa mocaf
yang netral mampu menutupi cita rasa singkong pada produk. Hal utama yang membedakan
mocaf dengan tepung singkong biasa adalah warnanya yang putih dan aroma serta rasanya
yang netral, sehingga bila diaplikasikan ke produk tidak akan mengubah sifat sensori produk
standarnya yang telah ada di pasaran.
Kunci pembuatan mocaf terletak pada proses fermentasinya yang menyebabkan
terbentuknya tekstur yang berbeda. Jika tepung singkong dibuat dari singkong yang dikupas,
dipotong-potong menjadi chips, dikeringkan kemudian ditepungkan. Sedangkan mocaf dibuat
dengan cara singkong dipotong-potong menjadi chips, kemudian difermentasikan, dikeringkan
dan digiling.
Proses fermentasi secara umum dapat dilakukan secara spontan dan tidak spontan.
Fermentasi tidak spontan dilakukan dengan penambahan kultur starter pada prosesnya. Kultur
starter yang digunakan biasanya berasal dari golongan Bakteri Asam Laktat. Akan tetapi kini
juga telah dikembangkan pembuatan mocaf dengan menggunakan kultur starter Acetobacter
xylinum. Acetobacter xylinum ternyata juga mampu mendegradasi selulosa pada singkong
sehingga diperoleh mocaf. Proses fermentasi spontan (tanpa penambahan kultur starter) pada
pembuatan tepung mocaf diharapkan dapat menurunkan biaya produksi, namun perlu dikaji
lebih lanjut mengenai kontinuitas dan keseragaman produk yang dihasilkan.
Kadar air mocaf yang dihasilkan dengan pengeringan optimal pada umumnya lebih
rendah dibandingkan kadar air tepung terigu. Kadar air yang lebih rendah pada mocaf
menyebabkan tepung ini relatif lebih tahan terhadap pertumbuhan kapang, sehingga dari segi
umur simpan (shelf life) akan lebih panjang dibandingkan tepung terigu. Kadar protein pada
pada mocaf lebih rendah bila dibandingkan tepung terigu. Kandungan protein pada tepung
akan menentukan kandungan glutennya. Gluten adalah senyawa protein yang memberikan
elastisitas dan kekenyalan tepung. Tepung terigu lebih kenyal dan elastis karena kandungan
glutennya yang tinggi. Hal inilah yang menyebabkan mocaf belum mampu mensubtitusi 100%
produk-produk yang membutuhkan elastisitas dan kekenyalan tinggi. Kadar serat yang rendah
pada tepung terigu menyebabkan tepung ini memiliki karakteristik lebih lembut dan gelasi
yang lebih tinggi dibandingkan mocaf. Dari komposisi ini, untuk aplikasinya pada pangan
olahan perlu dikaji lebih lanjut mengenai formulasi kombinasi antara mocaf dan tepung terigu
yang digunakan.
Berbagai studi mengenai aplikasi mocaf pada produk olahan banyak diteliti dan
dikembangkan. Beberapa hasil penelitian aplikasi mocaf pada produk olahan diantaranya roti
tawar dengan penggunaan mocaf sebanyak 30% menggantikan tepung terigu, pada pembuatan
mie kering, penggunaan mocaf sebanyak 40% mampu memberikan karakteristik yang
mendekati mie kering bila menggunakan 100% tepung terigu, pembuatan beras tiruan dengan
kombinasi penggunaan 70% mocaf dan 30% tepung beras dengan penambahan 3% tepung
porang. Pembuatan cookies bisa menggunakan 100% mocaf, 30% mocaf pada produk puding
dan 25% mocaf pada produk spageti memberikan hasil yang terbaik.
Melihat hasil kajian di atas, mocaf memiliki potensi relatif tinggi sebagai komoditi
subtitusi tepung terigu sebesar kurang lebih 30% secara umum pada produk olahan pangan.
Keuntungan lain dari mocaf adalah harganya yang lebih murah dibandingkan tepung terigu
yakni berkisar Rp. 5500/kg. Berdasarkan data Disperindag, harga tepung terigu di pasaran
domestik masih terbilang tinggi, yakni rata-rata Rp. 7000/kg. Tingginya harga terigu di pasar
domestik ini sering dikeluhkan oleh konsumen rumah tangga. Diharapkan dengan harga mocaf
yang relatif lebih murah, memungkinkan untuk dilakukannya industrialisasi mocaf dalam
skala besar. Dalam hal ini perlu dukungan pemerintah dalam pengembangan dan sosialiasi
mocaf sebagai produk subtitusi tepung terigu, sehingga ketergantungan akan tepung terigu
dapat dikurangi. Ke depan dalam pengembangan produk olahan perlu dikaji lebih lanjut
mengenai formulasi, alat produksi, ketersediaan bahan baku baik kualitas dan kuantitasnya,
serta konsistensi produk dalam skala yang lebih besar.
Adanya diversifikasi produk olahan dari mocaf diharapkan dapat memperkaya konsumsi
pangan alternatif disamping produk berbahan baku beras dan tepung terigu. Ketergantungan
akan tepung terigu impor juga akan berkurang, sehingga akan menurunkan biaya produksi
bagi industri pangan. Tercapainya target diversifikasi pangan berbasis sumber daya lokal ini
diharapkan dapat turut serta dalam membangun ketahanan pangan nasional.
Juni 2012Neny Mariyani
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Pangan IPB