artikeletikabirokrasidalampelayananpublik

14
1 PERANAN ETIKA BIROKRASI DALAM PEMBERIAN PELAYANAN KEPADA MASYARAKAT Oleh : Arman Razak, S. AP (Widyaiswara Balai Diklat Keagamaan Manado) Abstract : This article about Bureaucratic Ethics and Public Service, Ethics bureaucracy remains a major problem in the state bureaucracy - the developing countries is evident from the many scandals involving their bureaucracy. With the background of that view, it is natural that in a country new build also found the problem - the same problem. Even difficult to deny, although there needs to be a deeper study, that in developing countries the proportion of ethical issues is much greater. Ethics are indispensable in the practice of public administration to be relied upon, references, instructions on what to do by the public administration. Besides, it will affect the behavior of the bureaucracy was not only himself, but also the communities served. Society hopes a guarantee that the bureaucrats in running policy and provide public services financed by public funds always bases itself on ethical values in harmony with the position. Key Word: Bureaucratic Ethics, Public Service and Public Organizations Abstrak : Artikel ini tentang Etika Birokrasi dan Pelayanan Publik, Etika birokrasi masih menjadi masalah yang besar di dalam birokrasi negara Negara berkembang ini terlihat dari banyaknya skandal yang melibatkan birokrasi mereka. Dengan latar belakang pandangan itu, adalah wajar apabila di negara yang baru membangun ditemukan pula masalah - masalah yang sama. Bahkan sulit untuk dibantah, meskipun perlu ada kajian yang lebih dalam, bahwa di negara berkembang masalah etika ini proporsinya jauh lebih besar. Etika sangat diperlukan dalam praktek administrasi publik untuk dapat dijadikan pedoman, referensi, petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh administrasi publik. Disamping itu perilaku birokrasi tadi akan mempengaruhi bukan hanya dirinya sendiri, tetapi juga masyarakat yang dilayani. Masyarakat berharap adanya jaminan bahwa para birokrat dalam menjalankan kebijakan politik dan memberikan pelayanan publik yang dibiayai oleh dana publik senantiasa mendasarkan diri pada nilai etika yang selaras dengan kedudukannya. Kata Kunci : Etika Birokrasi, Pelayanan Publik dan Organisasi Publik

Upload: rangga-dasa-cipta-noor

Post on 17-Dec-2015

17 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

skripsi tentang birokrasi SIM

TRANSCRIPT

  • 1

    PERANAN ETIKA BIROKRASI DALAM PEMBERIAN

    PELAYANAN KEPADA MASYARAKAT

    Oleh :

    Arman Razak, S. AP (Widyaiswara Balai Diklat Keagamaan Manado)

    Abstract :

    This article about Bureaucratic Ethics and Public Service, Ethics bureaucracy remains a major problem in the state bureaucracy - the developing countries is evident from the many scandals involving their bureaucracy. With the background of that view, it is natural that in a country new build also found the problem - the same problem. Even difficult to deny, although there needs to be a deeper study, that in developing countries the proportion of ethical issues is much greater. Ethics are indispensable in the practice of public administration to be relied upon, references, instructions on what to do by the public administration. Besides, it will affect the behavior of the bureaucracy was not only himself, but also the communities served. Society hopes a guarantee that the bureaucrats in running policy and provide public services financed by public funds always bases itself on ethical values in harmony with the position.

    Key Word: Bureaucratic Ethics, Public Service and Public Organizations Abstrak :

    Artikel ini tentang Etika Birokrasi dan Pelayanan Publik, Etika birokrasi masih menjadi masalah yang besar di dalam birokrasi negara Negara berkembang ini terlihat dari banyaknya skandal yang melibatkan birokrasi mereka. Dengan latar belakang pandangan itu, adalah wajar apabila di negara yang baru membangun ditemukan pula masalah - masalah yang sama. Bahkan sulit untuk dibantah, meskipun perlu ada kajian yang lebih dalam, bahwa di negara berkembang masalah etika ini proporsinya jauh lebih besar. Etika sangat diperlukan dalam praktek administrasi publik untuk dapat dijadikan pedoman, referensi, petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh administrasi publik. Disamping itu perilaku birokrasi tadi akan mempengaruhi bukan hanya dirinya sendiri, tetapi juga masyarakat yang dilayani. Masyarakat berharap adanya jaminan bahwa para birokrat dalam menjalankan kebijakan politik dan memberikan pelayanan publik yang dibiayai oleh dana publik senantiasa mendasarkan diri pada nilai etika yang selaras dengan kedudukannya.

    Kata Kunci : Etika Birokrasi, Pelayanan Publik dan Organisasi Publik

  • 2

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. LATAR BELAKANG MASALAH

    Etika adalah dunianya filsafat, nilai, dan moral.Administrasi adalah dunia keputusan dan

    tindakan. Etika bersifat abstrak dan berkenaan dengan persoalan baik dan buruk, sedangkan

    administrasi adalah konkrit dan harus mewujudkan apa yang diinginkan (get the job done).

    Pembicaraan tentang etika dalam administrasi adalah bagaimana mengaitkan keduanya,

    bagaimana gagasan-gagasan administrasi seperti ketertiban, efisiensi, kemanfaatan,

    produktivitas dapat menjelaskan etika dalam prakteknya, dan bagaimana gagasan - gagasan

    dasar etika --mewujudkan yang baik dan menghindari yang buruk itu dapat menjelaskan

    hakikat administrasi.

    Setiap masyarakat atau bangsa pasti mempunyai pegangan moral yang menjadi

    landasan sikap, perilaku dan perbuatan mereka untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

    Dengan pegangan moral itu mana yang baik dan mana yang buruk, benar dan salah serta

    mana yang dianggap ideal dan tidak. Oleh karena itu dimana pun kita bermasyarakat,

    berbangsa dan bernegara peranan etika tidak mungkin dikesampingkan. Semua

    warganegara berkepentingan dengan etika.

    Sebagaimana diketahui, birokrasi atau administrasi publik memiliki kewenangan bebas

    untuk bertindak dalam rangka memberikan pelayanan umum serta menciptakan

    kesejahteraan masyarakat Untuk itu, kepada birokrasi diberikan kekuasaan regulatif, yakni

    tindakan hukum yang sah untuk mengatur kehidupan masyarakat melalui instrumen yang

    disebut kebijakan publik.

    Sebagai suatu produk hukum, kebijakan publik berisi perintah (keharusan) atau

    larangan. Barangsiapa yang melanggar perintah atau melaksanakan perbuatan tertentu

    yang dilarang, maka ia akan dikenakan sanksi tertentu pula. Inilah implikasi yuridis dari suatu

    kebijakan publik. Dengan kata lain, pendekatan yuridis terhadap kebijakan publik kurang

    memperhatikan aspek dampak dan / atau kemanfaatan dari kebijakan tersebut. Itulah

    sebabnya, sering kita saksikan bahwa kebijakan pemerintah sering ditolak oleh masyarakat

    (public veto) karena kurang mempertimbangkan dimensi etis dan moral dalam masyarakat.

    Oleh karena itu, suatu kebijakan publik hendaknya tidak hanya menonjolkan nilai-nilai benar

    salah, tetapi harus lebih dikembangkan kepada sosialisasi nilai-nilai baik buruk. Sebab,

  • 3

    suatu tindakan yang benar menurut hukum, belum tentu baik secara moral dan etis.

    Dalam wacana kebijakan publik, telah lama didengungkan akan makna pentingnya

    orientasi pada pelayanan publik. Titik fokusnya pun terarah pada pemenuhan kebutuhan-

    kebutuhan publik, bukan pada si pembuat kebijakan tersebut. Namun demikian semakin

    dikaji dan ditelaah kedalaman makna dari konsepsi pelayanan publik tersebut, maka dalam

    dunia nyata semakin jauh makna hakiki dari pelayanan publik tersebut diimplementasikan

    secara tepat.

    Organisasi publik (pemerintah) sebagai institusi yang membawa misi pelayanan publik,

    akhir-akhir ini semakin gencar mengkampanyekan dan saling berlomba untuk memberikan

    dan mengimplementasikan makna hakiki dari pelayanan publik tersebut, namun demikian di

    dalam pelaksanaannya masih jauh dari harapan yang diinginkan. Secara umum ada dua hal

    yang sangat berperan bagi organisasi pemerintah (birokrasi) di dalam mengimplementasikan

    konsepsi mengenai pelayanan publik tersebut. Yang pertama adalah faktor komitmen untuk

    melaksanakan kebijakan yang sudah ada. Disini birokrasi dituntut untuk mempunyai

    komitmen yang jelas melalui visi dan misi organisasi untuk melaksanakan fungsi pelayanan

    dengan baik. Yang kedua adalah faktor aparatur pelaksana (birokrat) yang menjalankan

    fungsi pelayanan tersebut. Disini setiap individu yang menjalankan fungsi pelayanan harus

    mengacu pada komitmen organisasional yang telah dituangkan di dalam visi dan misi

    organisasi tersebut. Jika kedua hal tersebut dijadikan sebagai acuan di dalam pelaksanaan

    fungsi pelayanan, maka akan membentuk suatu etika yang dijadikan sebagai pedoman di

    dalam setiap perilaku birokrat untuk melaksanakan tugasnya dengan sepenuh hati.

    Isu tentang etika birokrasi di dalam pelayanan publik di Indonesia selama ini kurang

    dibahas secara luas dan tuntas sebagaimana terdapat di negara maju, meskipun telah

    disadari bahwa salah satu kelemahan dasar dalam pelayanan publik di Indonesia adalah

    masalah moralitas. Etika sering dilihat sebagai elemen yang kurang berkaitan dengan dunia

    pelayanan publik. Padahal, dalam literatur tentang pelayanan publik dan administrasi publik,

    etika merupakan salah satu elemen yang sangat menentukan kepuasan publik yang dilayani

    sekaligus keberhasilan organisasi di dalam melaksanakan pelayanan publik itu sendiri.

    Sejalan dengan pesatnya perkembangan zaman dan semakin kompleksnya persoalan

    yang dihadapi oleh birokrasi, maka telah terjadi pula perkembangan di dalam

    penyelenggaraan fungsi pelayanan publik, yang ditandai dengan adanya pergeseran

    paradigma dari rule government yang lebih menekankan pada aspek peraturan perundang-

  • 4

    undangan yang berlaku menjadi paradigma good governance yang tidak hanya berfokus

    pada kehendak atau kemauan pemerintah semata, tetapi melibatkan seluruh komponen

    bangsa, baik birokrasinya itu sendiri pihak swasta dan masyarakat (publik) secara

    keseluruhan.

    Alasan mendasar mengapa pelayanan publik harus diberikan adalah adanya

    publicinterest atau kepentingan publik yang harus dipenuhi oleh pemerintah karena

    pemerintahlah yang memiliki tanggung jawab atau responsibility. Dalam memberikan

    pelayanan ini pemerintah diharapkan secara profesional melaksanakannya, dan harus

    mengambil keputusan politik secara tepat mengenai siapa mendapat apa, berapa banyak,

    dimana, kapan, dsb. Padahal, kenyataan menunjukan bahwa pemerintah tidak memiliki

    tuntunan atau pegangan kode etik atau moral secara memadai. Asumsi bahwa semua

    aparat pemerintah adalah pihak yang telah teruji pasti selalu membela kepentingan publik

    atau masyarakatnya, tidak selamanya benar. Banyak kasus membuktikan bahwa

    kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, partai dan bahkan struktur yang lebih tinggi justru

    mendikte perilaku seorang birokrat atau aparat pemerintahan

    B. IDENTIFIKASI MASALAH

    Aparatur Pemerintah (Birokrat) dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat

    masih mengesampingkan nilai moral dan etika . Birokrat masih beranggapan masalah Etika

    sering dilihat sebagai elemen yang kurang berkaitan dengan dunia pelayanan publik

    C. PERUMUSAN MASALAH

    Berdasarkan latar belakang masalah di atas yang menjadi rumusan masalah adalah

    bagaimana meningkatkan pelayanan kepada masyarakat yang berlandaskan etika dari

    birokrat.

    D. TUJUAN PENULISAN

    Yang menjadi tujuan penulisan dari artikel ini untuk mengetahui sejauhmana peran etika

    birokrat dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

  • 5

    BAB II

    KONSEP DAN PEMBAHASAN

    A. Kerangka Teoritis

    1. Pengertian Etika

    Etika merupakan seperangkat nilai sebagai pedoman, acuan, referensi, acuan, penuntun

    apa yang harus dilakukan dalam menjalankan tugasnya, tapi juga sekaligus berfungsi

    sebagai standar untuk menilai apakah sifat, perilaku, tindakan atau sepak terjangnya dalam

    menjalankan tugas dinilai baik atau buruk. Oleh karenanya, dalam etika terdapat sesuatu nilai

    yang dapat memberikan penilaian bahwa sesuatu tadi dikatakan baik, atau buruk.

    2. Prinsip Nilai Etika Administrasi Negara.

    Etika menurut Bertens (1977) seperangkat nilai-nilai dan norma-norma moral yang

    menjadi pegangan dari seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah

    lakunya.Sedangkan Darwin (1999) mengartikan Etika adalah prinsip-prinsip moral yang

    disepakati bersama oleh suatu kesatuan masyarakat, yang menuntun perilaku individu dalam

    berhubungan dengan individu lain masyarakat.Selanjutnya Darwin (1999) juga mengartikan

    Etika Birokrasi (Administrasi Negara) adalah sebagai seperangkat nilai yang menjadi acuan

    atau penuntun bagi tindakan manusia dalam organisasi. Dengan mengacu kedua pendapat

    ini, maka etika mempunyai dua fungsi, yaitu pertama sebagai pedoman, acuan, referensi bagi

    administrasi negara (birokrasi publik) dalam menjalankan tugas dan kewenangannya agar

    tindakannya dalam birokrasi sebagai standar penilaian apakah sifat, perilaku, dan tindakan

    birokrasi publik dinilai abik, buruk, tidak tercela, dan terpuji. Seperangkat nilai dalam etika

    birokrasi yang dapat digunakan sebagai acuan, referensi, penuntun, bagi birokrasi publik

    dalam menjalan tugas dan kewenangannya antara lain, efisiensi, membedakan milik pribadi

    dengan milik kantor, impersonal, merytal system, responsible, accountable, dan

    responsiveness.

    Akuntabilitas administrasi negara dalam pengertian yang luas melibatkan lembaga-

    lembaga publik (Agencies) dan birokrat untuk mengendalikan bermacam-macam harapan

    yang berasal dari dalam dan dari luar organisasinya. Strategi untuk mengendalikan harapan-

    harapan dari akuntabilitas administrasi publik tadi akan melibatkan dua faktor kritis, yaitu

  • 6

    bagaimana kemampuan mendefinisikan dan mengendalikan harapan-harapan yang

    diselenggarakan oleh manajemen pemerintahan. Kedua derajat kontrol keseluruhan terhadap

    harapan-harapan yang telah didefiniskan para birokrat tadi.

    3. Pengertian Pelayanan Publik

    Setiap warga Negara berhak mendapatkan pelayanan dan berhak atas pemenuhan

    kebutuhan dasar dan peningkatan kehidupan yang layak ini dengan amanat dari UUD

    1945.Berkaitan dengan pelayanan, ada dua istilah yang perlu diketahui, yaitu melayani dan

    pelayanan.Pengertian melayani adalah membantu menyiapkan (mengurus) apa yang

    diperlukan seseorang. Sedangkan pengertian pelayanan adalah usaha melayani kebutuhan

    orang lain (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1995).

    Sebagai perwujudan amanah Negara kemudian dilahirkan Undang-Undang No. 25 Tahun

    2009 yang mengatur tentang Pelayanan Publik.Pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa pelayanan

    publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan

    pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan

    penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administrasif yang disediakan oleh

    penyelenggara pelayanan publik.

    Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Meneg PAN) Nomor

    63/KEP/M.PAN/7/2003, memberikan pengertian pelayanan publik yaitu segala kegiatan

    pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya

    pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan

    perundang - undangan.

    Pelayanan prima merupakan terjemahan dari istilah Excellent Service yang secara

    harfiah berarti pelayanan yang sangat baik dan atau pelayanan yang terbaik.Disebut sangat

    baik atau terbaik, karena sesuai dengan standar pelayanan yang berlaku atau dimiliki oleh

    instansi yang memberikan pelayanan. Apabila instansi pelayanan belum memiliki standar

    pelayanan, maka pelayanan disebut sangat baik atau terbaik atau akan menjadi prima,

    manakala dapat atau mampu memuaskan pihak yang dilayani (pelanggan). Jadi pelayanan

    prima dalam hal ini sesuai dengan harapan pelanggan.

    LAN (2003), memberikan kriteria-kriteria pelayanan tersebut antara lain:(1)

    Kesederhanaan,;(2) Reliabilitas, meliputi konsistensi dari kinerja;(3) Tanggungjawab dari para

    petugas pelayanan, yang meliputi pelayanan sesuai dengan urutan waktunya; (4) Kecakapan

  • 7

    para petugas pelayanan,; (5) Pendekatan kepada pelanggan dan kemudahan kontak

    pelanggan dengan petugas,; (6) Keramahan,; (7) Keterbukaan,; (8) Komunikasi antara

    petugas dan pelanggan; (9) Kredibilitas, meliputi adanya saling percaya antara pelanggan dan

    penyedia pelayanan; (10) Kejelasan dan kepastian, yaitu mengenai tata cara, rincian biaya

    layanan dan tata cara pembayarannya, jadwal waktu penyelesaian layanan tersebut; (11)

    Keamanan, yaitu usaha untuk memberikan rasa aman dan bebas pada pelanggan;(12)

    Mengerti apa yang diharapkan pelanggan,;(13) Kenyataan, meliputi bukti-bukti atau wujud

    nyata dari pelayanan; (14) Efisien, yaitu bahwa persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada

    hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapai ; (15) Ekonomis, yaitu agar pengenaan

    biaya pelayanan harus ditetapkan secara.

    Berdasarkan penjelasan di atas pelayanan dapat diartikan memproses pelayanan kepada

    masyarakat / customer, baik berupa barang atau jasa melalui tahapan, prosedur,

    persyaratan-persyaratan, waktu dan pembiayaan yang dilakukan secara transparan untuk

    mencapai kepuasan penerima layanan.

    B. Pembahasan

    1. Masalah Etika dalam Birokrasi

    Uraian di atas mencoba menunjukkan bahwa masalah etika dalam administrasi adalah

    masalah yang menjadi kepedulian dan keprihatinan para pakar di bidang ini. Ia menjadi

    masalah di negara yang paling maju sekali pun, yakni di negara seperti Amerika Serikat

    yang telah berdiri selama dua seperempat abad, yang konstitusi dan gagasan-gagasan

    idealnya menjadi contoh bagi konstitusi dan gagasan-gagasan dasar banyak negara lain,

    dan yang administrasinya juga menjadi rujukan administrasi di banyak negara lain.18

    Negara-negara lain yang telah lanjut usia nya, seperti Inggris, Prancis, dan Jepang, juga

    mengalami masalah yang sama, yaitu persoalan dalam etika birokrasinya. Di negara-

    negara itu birokrasi diandalkan untuk menjadi pelindung dan pengayom masyarakat, yang

    bersifat jujur dan adil, dan keseluruhan sistemnya diarahkan untuk menjamin adanya hal

    itu.

    Namun, ternyata mereka tetap saja menghadapi masalah dalam birokrasinya, yang

    terlihat dari banyaknya skandal yang melibatkan birokrasi mereka. Dengan latar belakang

    pandangan itu, adalah wajar apabila di negara yang baru membangun ditemukan pula

  • 8

    masalahmasalah yang sama. Bahkan sulit untuk dibantah, meskipun perlu ada kajian

    yang lebih dalam, bahwa di negara berkembang masalah etika ini proporsinya jauh lebih

    besar.

    Pandangan itu didukung oleh observasi yang umum dalam kondisi administrasi di

    negara-negara berkembang seperti antara lain sebagai berikut.Pertama, belum tercipta

    tradisi administrasi yang baik, yang menjaga timbulnya masalah etika seminimal

    mungkin.Negara berkembang sedang mengembangkan administrasinya, yang sesuai

    dengan kebudayaannya, tetapi mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku umum.Negara-

    negara itu tidak mempunyai banyak rujukan, karena tidak dapat melanjutkan administrasi

    yang berasal dari masa kolonial, yang tujuan keberadaannya berbeda dengan

    administrasi dalam negara yang merdeka.Kedua, adanya keterbatasan dalam sumber

    daya, yang menyebabkan pengembangan administrasi yang baik tidak bisa cepat

    berjalan. Keterbatasan itu adalah baik dalam hal sumber dana maupun sumber daya

    manusia (SDM). SDM administrasi sangat terbatas kualitas, kompetensi, dan

    profesionalismenya, dan keadaan itu diperberat oleh imbalan yang rendah karena

    keterbatasan dana pemerintah.Ketiga, administrasi hidup dalam suatu sistem politik, dan

    di banyak negara berkembang sistem politik itu sendiri masih berkembang.Peran politik

    yang besar itu, acapkali tidak diimbangi dengan kebertanggungjawaban (accountability)

    kepada rakyat seperti layaknya dalam sebuah sistem demokrasi.

    Dengan demikian, masalah etika dalam administrasi negara yang sedang membangun

    jauh lebih rumit dibandingkan dengan masalah etika di negara yang sudah maju, yang

    dari uraian di atas juga kita ketahui sudah cukup rumit. Dengan kata lain, variabelnya

    lebih luas dan ketidakpastiannya lebih besar. Oleh karena itu, akan sangat keliru apabila

    orang berpendapat bahwa memperbaiki birokrasi di negara berkembang adalah pekerjaan

    mudah.

    Upaya memperbaiki birokrasi termasuk didalamnya upaya menanamkan etika sebagai

    nilai utama dalam administrasi, yang tercermin baik dalam etika perorangan maupun etika

    organisasi adalah pekerjaan yang memerlukan kesabaran, dan hasilnya pun tidak dapat

    diharapkan akan spektakuler, tetapi akan lebih banyak bersifat inkremental.

  • 9

    2. Etika Birokrasi Dalam Pelayanan Publik

    Etika administrasi negara dari American society for Public Administration Perhimpunan

    Amerika untuk Administrasi Negara), menyebutkan prinsip-prinsip etika pelayanan sebagai

    berikut:

    a. Pelayanan terhadap publik harus diutamakan;

    b. Rakyat adalah berdaulat, dan mereka yang bekerja di dalam pelayanan publik secara

    mutlak bertanggung jawab kepadanya;

    c. Hukum yang mengatur semua kegiatan pelayanan publik. Apabila hukum atau

    peraturan yang ada bersifat jelas, maka kita harus mencari cara terbaik untuk

    memberi pelayanan publik;

    d. Manajemen yang efesien dan efektif merupakan dasar bagi administrator publik.

    Penyalahgunaan, pemborosan, dan berbagai aspek yang merugikan tidak dapat

    ditolerir;

    e. Sistem merit dan kesempatan kerja yang sama harus didukung, diimplementasikan

    dan dipromosikan;

    f. Mengorbankan kepentingan publik demi kepentingan pribadi tidak dapat dibenarkan;

    g. Keadilan, kejujuran, keberanian, kesamaan, kepandaian, dan empathy merupakan

    nilai-nilai yang dijunjung tinggi dan secara aktif harus dipromosikan;

    h. Kesadaran moral memegang peranan penting dalam memilih alternatif keputusan;

    i. Administrator publik tidak semata-mata berusaha menghindari kesalahan, tetapi juga

    berusaha mengejar atau mencari kebenaran.

    Selanjutnya asas-asas etika itu dituangkan dalam sebuah kode etika yang memuat 5

    asas etika dan 7 asas mutu yang wajib di indahkan dan dijalankan oleh para anggota

    perhimpunan yang menjadi administrator negara, yaitu sebagai berikut :

    a. Menunjukkan ukuran baku tertinggi tentang keutuhan watak pribadi, kebenaran,

    kejujuran, dan ketabahan dalam semua kegiatan umum, agar supaya membangkitkan

    keyakinan dan kepercayaan rakyat terhadap pranata-pranata negara;

    b. Menghindari sesuatu kepentingan atau kegiatan yang berada dalam pertentangan

    dengan penuaian dari kewajiban-kewajiban resmi;

    c. Mendukung, melaksanakan, dan memajukan penempatan tenaga kerja menurut

    penilaian kecakapan serta tata-acara tindakan yang tidak membeda-bedakan guna

  • 10

    menjamin kesempatan yang sama pada penerimaan, pemilihan, dan kenaikan

    pangkat terhadap orang-orang yang memenuhi persyaratan dari segenap unsur

    masyarakat;

    d. Menghapuskan semua pembedaan tak sah, kecurangan, dan salah pengurusan

    keuangan negara serta mendukung rekan-rekan kalau mereka berada dalam kesulitan

    karena usaha yang bertanggungjawab untuk memperbaiki pembedaan, kecurangan,

    salah urus, atau salah penggunaan yang demikian;

    e. Melayani masyarakat secara hormat, penuh perhatian, sopan, dan tanggap dengan

    mengakui bahwa pelayanan kepada masyarakat adalah di atas pelayanan terhadap

    diri sendiri;

    f. Berjuang kearah keunggulan berkeahlian perseorangan dan menganjurkan

    pengembangan berkeahlian dan termasuk mereka yang berusaha memasuki bidang

    administrasi negara;

    g. Menghampiri tugas organisasi dan kewajiban-kewajiban kerja dengan suatu sikap

    yang positif dan secara membangun mendukung tata hubungan yang terbuka, daya

    cipta, pengabdian, dan welas asih;

    h. Menghormati dan melindungi keterangan berdasarkan hak-hak istimewa yang dapat

    diperoleh dalam pelaksanaan kewajiban-kewajiban resmi;

    i. Menjalankan wewenang kebijaksanaan apapun yang dimiliki menurut hukum untuk

    memajukan kepentingan umum atau masyarakat;

    j. Menerima sebagai suatu kewajiban pribadi tanggung jawab untuk mengikuti

    perkembangan baru terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul dan

    menangani urusan masyarakat dengan kecakapan berkeahlian, kelayakan, sikap tak

    memihak, efisiensi, dan daya guna;

    k. Menghormati, mendukung, menelaah, dan bilamana perlu berusaha untuk

    menyempurnakan konstitusi-konstitusi negara serikat dan negara bagian serta hukum-

    hukum lainnya yang mengatur hubungan-hubungan diantara badan-badan

    pemerintah, pegawai-pegawai, nasabah-nasabah, dan semua warga negara

    Dari paparan tersebut di atas maka dapat pula dikatakan bahwa etika sangat diperlukan

    dalam praktek administrasi publik untuk dapat dijadikan pedoman, referensi, petunjuk

    tentang apa yang harus dilakukan oleh administrasi publik. Disamping itu perilaku

    birokrasi tadi akan mempengaruhi bukan hanya dirinya sendiri, tetapi juga masyarakat

  • 11

    yang dilayani. Masyarakat berharap adanya jaminan bahwa para birokrat dalam

    menjalankan kebijakan politik dan memberikan pelayanan publik yang dibiayai oleh dana

    publik senantiasa mendasarkan diri pada nilai etika yang selaras dengan kedudukannya.

    Birokrasi merupakan sebuah sistem, yang dalam dirinya terdapat kecenderungan untuk

    terus berbuat bertambah baik untuk organisasinya maupun kewenangannya (big

    bureaucracy, giant bureaucracy), perlu menyandarkan diri pada nilai-nilai etika. Dengan

    demikian maka etika (termasuk etika birokrasi) mempunyai dua fungsi, yaitu : pertama

    sebagai pedoman, acuan, referensi bagi administrasi negara (birokrasi publik) dalam

    menjalankan tugas dan kewenangannya agar tindakannya dalam organisasi tadi dinilai

    baik, terpuji dan tidak tercela; kedua, etika birokrasi sebagai standar penilaian apakah

    sifat, perilaku dan tindakan birokrasi publik dinilai baik, tidak tercela dan terpuji.

    Seperangkat nilai dalam etika birokrasi yang dapat digunakan sebagai acuan,

    referensi, penuntun bagi birokrasi publik dalam melaksanakan tugas dan

    kewenangannya antara lain adalah : (1) efisiensi, artinya tidak boros, sikap, perilaku dan

    perbuatan birokrasi publik dikatakan baik jika mereka efisien; (2) membedakan milik

    pribadi dengan milik kantor, artinya milik kantor tidak digunakan untuk kepentingan

    pribadi; (3) impersonal, maksudnya dalam melaksanakan hubungan kerjasama antara

    orang yang satu dengan lainnya secara kolektif diwadahi oleh organisasi, dilakukan

    secara formal, maksudnya hubungan impersonal perlu ditegakkan untuk menghindari

    urusan perasaan dari pada unsur rasio dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab

    berdasarkan peraturan yang ada dalam organisasi. Siapa yang salah harus diberi sanksi

    dan yang berprestasi selayaknya mendapatkan penghargaan; (4) merytal system, nilai ini

    berkaitan dengan rekrutmen dan promosi pegawai, artinya dalam penerimaan pegawai

    atau promosi pegawai tidak di dasarkan atas kekerabatan, namun berdasarkan

    pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), sikap (attitude), kemampuan (capable),

    dan pengalaman (experience), sehingga menjadikan yang bersangkutan cakap dan

    profesional dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dan bukan spoil system

    (adalah sebaliknya); (5) responsible, nilai ini adalah berkaitan dengan

    pertanggungjawaban birokrasi publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya; (6)

    accountable, nilai ini merupakan tanggung jawab yang bersifat obyektif, sebab birokrasi

    dikatakan akuntabel bilamana mereka dinilai obyektif oleh masyarakat karena dapat

    mempertanggungjawabkan segala macam perbuatan, sikap dan sepak terjangnya

  • 12

    kepada pihak mana kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki itu berasal dan mereka

    dapat mewujudkan apa yang menjadi harapan publik (pelayanan publik yang profesional

    dan dapat memberikan kepuasan publik); (7) responsiveness, artinya birokrasi publik

    memiliki daya tanggap terhadap keluhan, masalah dan aspirasi masyarakat dengan

    cepat dipahami dan berusaha memenuhi, tidak suka menunda-nunda waktu atau

    memperpanjang alur pelayanan.

    Berkaitan dengan nilai-nilai etika birokrasi sebagaimana digambarkan di atas, maka

    dapat pula dikatakan bahwa jika nilai-nilai etika birokrasi tersebut telah dijadikan sebagai

    norma serta diikuti dan dipatuhi oleh birokrasi publik dalam melaksanakan tugas da

    kewenangannya, maka hal ini akan dapat mencegah timbulnya tindakan kolusi, korupsi

    dan nepotisme, ataupun bentuk-bentuk penyelewengan lainnya dalam tubuh birokrasi,

    kendatipun tidak ada lembaga pengawasan. Namun demikian harus dimaklumi pula

    bahwa etika birokrasi belum cukup untuk menjamin tidak terjadi perilaku KKN pada tubuh

    birokrasi. Hal yang lebih penting adalah kembali kepada kepribadian dari masing-masing

    pelaku (manusianya). Dengan kata lain bahwa kontrol pribadi dalam bentuk keimanan

    dan keagamaan yang melekat pada diri setiap individu birokrat sangat berperan dalam

    membentuk perilakunya. Dengan adanya kontrol pribadi yang kuat pada diri setiap

    individu maka akan dapat mencegah munculnya niat untuk melakukan tindakan-tindakan

    mal-administrasi (penyelewengan).

    Menurut Keban (2001) Kode etik pelayanan publik di Indonesia masih terbatas pada

    beberapa profesi seperti ahli hukum dan kedokteran sementara kode etik untuk profesi

    yang lain masih belum nampak. Ada yang mengatakan bahwa kita tidak perlu kode etik

    karena secara umum kita telah memiliki nilai-nilai agama, etika moral Pancasila, bahkan

    sudah ada sumpah pegawai negeri yang diucapkan setiap apel bendera. Pendapat

    tersebut tidak salah, namun harus diakui bahwa ketiadaan kode etik ini telah memberi

    peluang bagi para pemberi pelayanan untuk mengenyampingkan kepentingan publik.

    Kehadiran kode etik itu sendiri lebih berfungsi sebagai alat kontrol langsung bagi perilaku

    para pegawai atau pejabat dalam bekerja. Dalam konteks ini, yang lebih penting adalah

    bahwa kode etik itu tidak hanya sekedar ada, tetapi juga dinilai tingkat implementasinya

    dalam kenyataan. Bahkan berdasarkan penilaian implementasi tersebut, kode etik

    tersebut kemudian dikembangkan atau direvisi agar selalu sesuai dengan tuntutan

    perubahan jaman.

  • 13

    Kita mungkin perlu belajar dari negara lain yang sudah memiliki kedewasaan beretika.

    Di Amerika Serikat, misalnya, kesadaran beretika dalam pelayanan publik telah begitu

    meningkat sehingga banyak profesi pelayanan publik yang telah memiliki kode etik.

    Salah satu contoh yang relevan dengan pelayanan publik aalah kode etik yang dimiliki

    ASPA (American Society for Public Administration) yang telah direvisi berulang kali dan

    terus mendapat kritikan serta penyempurnaan dari para anggotanya. Nilai-nilai yang

    dijadikan pegangan perilaku para anggotanya antara lain integritas, kebenaran,

    kejujuran, ketabahan, respek, menaruh perhatian, keramahan, cepat tanggap,

    mengutamakan kepentingan publik diatas kepentingan lain, bekerja profesional,

    pengembangan profesionalisme, komunikasi terbuka dan transparansi, kreativitas,

    dedikasi, kasih sayang, penggunaan keleluasaan untuk kepentingan publik, beri

    perlindungan terhadap informasi yang sepatutnya dirahasiakan, dukungan terhadap

    sistim merit dan program affirmative action.

    BAB III

    KESIMPULAN

    Dalam praktek pelayanan publik saat ini di Indonesia, seharusnya kita selalu memberi

    perhatian terhadap dilema diatas. Atau dengan kata lain, para pemberi pelayanan publik

    harus mempelajari norma-norma etika yang bersifat universal, karena dapat digunakan

    sebagai penuntun tingkah lakunya. Akan tetapi norma-norma tersebut juga terikat situasi

    sehingga menerima norma-norma tersebut sebaiknya tidak secara kaku. Bertindak seperti ini

    menunjukan suatu kedewasaan dalam beretika. Dialog menuju konsensus dapat membantu

    memecahkan dilema tersebut.

    Kelemahan kita terletak pada ketiadaan atau terbatasnya kode etik. Demikian pula

    kebebasan dalam menguji dan mempertanyakan norma-norma moralitas yang berlaku belum

    ada, bahkan seringkali kaku terhadap norma-norma moralitas yang sudah ada tanpa melihat

    perubahan jaman. Kita juga masih membiarkan diri kita didikte oleh pihak luar sehingga belum

    nilai nilai etik yang tercermin bukan lahir dari rahim bangsa sendiri.

    DAFTAR PUSTAKA

    Adam Malik. 1979. Etika Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Press.

  • 14

    Budi Winanrno. 2002. Teori dan Proses dan Kebijakan Publik. Jakarta : MedPress

    Keban, T Yeremias. Etika Pelayanan Publik: Pergeseran Paradigma, Dilema dan Implikasinya

    bagi Pelayanan Publik di Indonesia. Majalah Perencanaan Pembangunan Edisi

    24 Th 2001.

    Sutopo; Adi Suryanto. Pelayanan Prima Modul Diklat Pra Jabatan Golongan III. Lembaga

    Administrasi Negara Republik Indonesia; 2006

    Wahyudi Kumorotomo.2007. Etika Adminstrasi Negara. Jakarta:Rajawali Press

    Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan

    Publik

    Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-pokok

    Kepegawaian.

    Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2005 Tentang Penyusunan dan

    Penerapan Standar Pelayanan Minimal

    http://www.jetis.org/2012/10/etika-birokrasi-di-dalam-pelayanan.html

    www.jetis.org/2012/10/etika-birokrasi-di-dalam-pelayanan.html

    http://ilmupemerintahan.wordpress.com/tag/birokrasi-etika-pelayanan-publik/