askep hiv/aids
DESCRIPTION
IRMA PUNYATRANSCRIPT
KATA PENGANTAR
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Jumlah orang yang terinfeksi HIV terus meningkat pesat dan
tersebar luas diseluruh dunia. WHO meyebutkan bahwa 16,3 penderita
HIV-AIDS telah meninggal terhitung sejak ditemukannya penyakit
tersebut dan memperkirakan bahwa pada tahun 2000 jumlah penderita
yang terinfeksi HIV akan mencapai 40 orang. Di Indonesia sejak
ditemukan pertama kali dijumpai kasus infeksi HIV pada tahun 1987
hingga bulan januari 2001, telah dilaporkan 1226 kasus infeksi HIV dan
461 kasus AIDS secara kumulatif, dimana 235 dari pasien AIDS tersebut
telah meninggal dunia. Di asia tenggara pada tahun 2002 diperkkirakan
ada 6,1 juta ODHA. Di Indonesia sendiri ada 90.000-130.000 ODHA.
Apbila angka kelahiran di Indonesia adalah 2,5% maka setiap tahun akan
ada 2.250-3.250 bayi yang lahir dari ibu yang positif menderita HIV.
Lebih dari 90% penularan HIV dari ibu ke anak terjadi selama dalam
kandungan, persalinan dan menyusui dan hanya 10% ditularkan lewat
transfusi darah yang tercemar HIV maupun lainnya (Depkes 2003)
Perjalanan klinis pasien dari tahap terinfeksi HIV sampai tahap AIDS
adalah sejalan dengan penurunan derajat imunitas pasien, terutama
imunitas seluler. Penurunan imuitas biasanya diikuti dengan peningkatan
resiko dan derajat keparahan infeksi oporttnis serta penyakit kaganasan.
B. TUJUAN PENULISAN
1. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian HIV/AIDS
2. Mahasiswa mampu menjelaskan penyebab/cara penularan virus
HIV/AIDS
3. Mahasiswa mampu menjelaskan pencegahan HIV/AIDS
4. Mahasiswa mampu menjelaskan cara penanganan/intervensi
HIV/AIDS
5. Mahasiswa mampu menjelaskan penatalaksanaan non farmakologis
dan farmakologis
6. Mahasiswa mampu menjelaskan tindakan yang dapat diberikan
keluarga pada pasien saat dipulangkan (home care)
7. Mahasiswa mampu menjelaskan danmemberikan pendidikan
kesehatan tentang pencegahan dini HIV/AIDS
BAB II
A. Konsep Penyakit
1. Definisi
a. Sindrom imundifisiensi yang di dapat (aids, acquired
immunodeficiency syndrome) diartikan dalam bentuk paling berat
dari keadaan sakit terus menerus yang berkaitan dengan infeksi
human immunodeficiency virus (HIV). (Smeltzer Suzanne C, Bare
Brendo G 2002)
b. AIDS (acquired immunodeficiency syndrome) dapat diartikan
sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh
menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (human
immunodeficiency virus) yang termasuk famili retroviridae. AIDS
merupakan tahap akhir dari infeksi HIV, (Zubairi djoerban,
Samsurijal Djauzi, 2006).
c. AIDS adalah suatu penyakit virus yang menyebabkan kolpasnya
sistem imun dan bagi kebanyakan penderita kematian dalam
sepuluh tahun setelah diagnosis, (Elizabeth J. Corwin, 2009)
2. Etiologi
HIV yang dahulu disebut virus limfotrofik sel T manusia tipe III
(HTLV-III) atau virus limfadenofati (LAV) adalah suatu retrovirus
mengubah asam ribonukleatnya (RNA) menjadi asam deoksiribonukleat
(DNA) setelah masuk dalam sel pejamu. HIV-1 dan HIV-2 adalah
lentivirus sitopatik dengan HIV-1 menjadi penyebab utama AIDS di
seluruh dunia. Genon HIV mengode sembilan protein yang esensial
untuk semua asfek siklus hidup virus. Dari segi struktur genomik, virus-
virus memiliki perbedaan bahwa protein HIV-1 yang membantu
pelepasan virus, tampaknya diganti oleh protein pada HIV-2.
Meningkatkan infektivitas (daya tular) dan mungkin merupakan
duplikasi dari protein lain. Diperkirakan meningkatkan transkripsi virus.
HIV-2,yang pertama kali diketahui dalam serum dari para perempuan
Afrika Barat (warga senegal) pada tahun 1985,menyebabkan penyakit
klinis tetapi tampaknya kurang patogenik dibandingkan dengan HIV-1.
3. Patofisiologi
HIV tergolong kedalam kelompok virus yang tergolong sebagai
retrovirus yang menunjukan bahwa virus tersebut membawa materi
genetiknya dalam asam ribonukleat (RNA) dan bukan dalam asam
deoksiribonukleat (DNA). Virion HIV (partikel virus yang lengkap yang
dibungkus oleh selubung pelindung) mengandung RNA dalam inti
berbentuk peluru yang terpancung dimana p24 merupakan komponen
structural yang utama. Tombol (knob) yang menonjol lewat dinding virus
terdiri dari protein gp120 yang terkait pada protein gp41. Bagian yang
secara selektif berkaitan dengan sel-sel CD4 positif (CD4+) adalah gp120
dari HIV
Sel sel CD+ mencakup monosit, makrofag dan limfosit T4 helper
(yang dinamakan sel sel CD4 + kalau dikaitkan dengan infeksi HIV);
limfosit T4 helper ini merupakan sel yang paling banyak diantara tiga sel
diatas. Sesudah terikat dengan membrane sel T4 helper , HIV akan
menginjeksikan dua utas benang RNA yang identik ke dalam sel T4
helper. Dengan menggunakan enzim yang dikenal sebagai reverse
transcriptase, HIV akan melakukan pemrograman ulang materi genetic
dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat double-stranded DNA (DNA
utas ganda). DNA ini akan disatukan kedalam nucleus sel T4 sebagai
sebuah provirus dan kemudian terjadi infeksi yang permanen.
Siklus replikasi HIV dibatasi dalam stadium ini sampai sel yang
terinfeksi diaktifkan. Aktivasi sel yang terinfeksi dapat dilaksanakan oleh
antigen, mitogen, sitokin (TNF alfa atau interleukin 1) atau produk gen
virus sepertisitomagalovirus (CMV; cytomegalovirus). Virus Epstein-
Barr, herpes simpleks dan hepatitis. Sebagai akibatnya, pada saat sel T4
yang terinfeksi di aktifkan, replikasi serta pembentukan tunas HIV akan
terjadi dan sel T4 akan dihancurkan. HIV yang baru dibentuk ini
kemudian dilepas kedalam plasma darah dan menginfeksi sel sel CD4 +
lainnya.
Infeksi monosit dan makrofag tampaknya berlangsung secara
persisten dan tidak menyebabkan kematian sel yang bermakna, tetapi sel
sel ini menjadi reservoir bagi HIV sehingga virus tersebut dapat
tersembunyi dari system imun dan terangkut ke seluruh tubuh lewat
system ini untuk menginfeksi berbagai jaringan tubuh. Sebagian besar
jaringan ini dapat mengandung molekul CD4 + atau memiliki
kemampuan untuk memproduksinya. Sejumlah penelitian
memperlihatkan bahwa sesudah infeksi inisial, kurang lebih 25% dari sel
sel kelenjar limfe akan terinfeksi oleh HIV pula. Replikasi virus akan
berlangsung selama perjalanan infeksi HIV; tempat primernya adalah
jaringan limfoid. Ketika system imun terstimulasi. Replikasi virus akan
terjadi dan virus tersebut akan menyebar ke plasma darah yang
mengakibatkan infeksi berikutnya pada sel sel CD4+ yang lain.
Penelitian yang lebih mutakhir menunjukan bahwa system imun pada
infeksi HIV lebih aktif dari pada yang diperkirakan sebelumnya
sebagaimana dibuktikan oleh produksi sebanyak dua milyar limfosit
CD4+ per hari. Keseluruhan populasi sel sel CD4+ perifer akan
mengalami pergantian (turn over) setiap 15 hari sekali (Ho et al, 1995).
Kecepatan produksi HIV diperkirakan berkaitan dengan status
kesehatan orang yang terjangkit virus tersebut. Jika orang tersebut tidak
sedang berperang melawan infeksi yang lain, reproduksi HIV berjalan
dengan lambat. Namun, reproduksi HIV tampaknya akan dipercepat
kalau penderitanya sedang menghadapi infeksi lain atau kalau system
imunya terstimulasi. Keadaan ini dapat menjelaskan periode laten yang
diperlihatkan oleh sebagian penderita sesudah terinfeksi HIV. Sebagai
contoh, seorang pasien mungkin bebas dari gejala selama berpuluhan
tahun: kendati demikian. Sebagian besar orang yang terinfeksi HIV
(sampai 65%) tetap menderita penyakit HIV atau AIDS yang simtomatik
dalam waktu 10 tahun sesudah orang tersebut terinfeksi (pinching,
1992).
Dalam respon imun, limfosit T4 memainkan beberapa peranan
yang penting, yaitu:mengenali antigen yang asing, mengaktifkan limfosit
B yang memproduksi antibodi, menstimulasi limfosit sitotoksik,
memproduksi limfokin dan mempertahankan tubuh terhadap infeksi
parasit. Kalau fungsi limfosit T4 terganggu, mikroorganisme yang
biasanya tidak menimbulkan penyakit akan memiliki kesempatan untuk
menginvasi dan menyebabkan sakit yang serius. Infeksi dan malignasi
yang timbul sebagai akibat dari gangguan system imun dinamakan
infeksi oportunistik.
4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis penyakit AIDS menyebar luas dan pada
dasarnya dapat mengenai setiap sistem organ. Penyakit yang berkaitan
dengan infeksi HIV dan penyakit AIDS terjadi akibat infeksi, malignansi
atau efek langsung HIV pada jaringan tubuh. Pembahasan berikut ini
dibatasi pada manifestasi klinis dan akibat infeksi HIV berat yang paling
sering ditemukan.
a. Respiratorius
Pneumonia pneumocytis carinii. Gejala napas pendek, sesak
napas (dispnea), batuk-batuk, nyeri dada dan demam akan menyertai
berbagai infeksi oportunis, seperti yang disebabkan oleh
Mycobacterium Avium Intracellulare (MAI), sitomegalovirus (CMV)
dan Legionella. walaupun begitu, infeksi yang paling sering
ditemukan di antara penderita AIDS adalah Pneumonia Pneoumocytis
Carinii (PCP) yang merupakan penyakit oportunis pertama yang
dideskripsikan berkaitan dengan AIDS. Pneumonia ini merupakan
manifestasi pendahuluan penyakit AIDS pada 60% pasien. Tanpa
terapi profilaktik, PCP akan terjadi pada 80% orang-orang yang
terinfeksi HIV. Pneumocytis carinii awalnya diklasifikasikan sebagai
protozoa , namun sejumlah penelitian dan pemeriksaan analisis
terhadap struktur RNA ribosomnya menunjkkan bahwa
mikroorganisme ini merupakan jamur (fungus). Kendati demikian,
struktur dan sensitivitas antimikrobanya sangat berbeda dengan jamur
penyabab penyakit yang lain. Pneumocytis carinii hanya menimbulkan
penyakit pada hospes yang kekebalannya terganggu , jamur ini
menginvasi dan berproliferasi dalam alveoli pulmonalis sehingga
terjadi konsilidasi parenkim paru.
Gambaran klinik PCP pada pasien AIDS umumnya tidak
begitu akut bila dibandingkan dengan pasien gangguan kekbalan
karena keadaan lain. Periode waktu antara awitan gejala dan
penegakan diagnosis yang benar bisa beberapa minggu hingga
beberapa bulan. Penderita AIDS pada mulanya hanya memperlihatkan
tanda-tanda dan gejala yang tidak khas seperti demam, menggigil,
batuk nonproduktif, napas pendek , dispnea dan kadang-kadang nyeri
dada. PCP dapat ditemukan karena tidak terdapat krepitasi.
Konsentrasi oksigen dalam darah arterial pada pasien yang bernapas
dengan udara ruangan dapat mengalami penurunan yang ringan,
keadaan ini menunjukkan hipoksemia minimal.
Bila tidak diatasi, PCP akan berlanjut dengan menimbulkan
kelainan paru yang signifikan dan pada akhirnya kegagalan
pernapasan. Beberapa pasien memperlihatkan awitan yang dramatis
dan perjalanan penyakit yang fulminan yang meliputi hipoksemia,
sianosis, takipnea dan perubahan status mental. Kegagalan pernapasan
dapat terjadi dalam waktu 2 hingga 3 hari setelah timbulnya gejala
pendahuluan.
Diagnosis pasti PCP dapat ditegakkan dengan mengenali
mikroorganisme dalam jaringan paru atau sekret bronkus. Penegakan
diagnosis ini dilaksakan dengan prosedur seperti induksi sputum,
layase ronkial-alveolar dan biopsi transbronkial (melalui bronkoskopi
serat optik).
Kompleks Mycobacterium avium. Penyakit kompleks
Mycobacterium avium (MAC: Mycobacterium avium Complex)
muncul sebagai penyebab utama infeksi bakteri pada pasien-pasien
AIDS. Mikroorganisme yang termasuk kedalam MAC adalah
mycobacterium avium, mycobacterium interacellulare dan
mycobacterium scrofulaceum. MAC, yaitu suatu kelompok baksil
tahan asam, biasanya menyababkan infeksi pernapasan karena juga
sering dijumpai dalam traktus gastrointestinal, nodus limfatikus dan
sumsum tulang. Sebagian pasien AIDS sudah menderita penyakit
yang menyabar luas ketika diagnosis ditegakkan dan biasanya dengan
keadaan umum ya ng buruk. Infeksi MAC akan disertai dengan angka
mortalitas yang tinggi.
Mycobacterium tuberculosis yang berkaitan dengan HIV
cenderung terjadi di antara para pemakai obat bius IV dan kelompok
lain dengan prevalensi infeksi tuberkulosis yang sebelumnya sudah
tinggi.berbeda dengan infeksi oportunis lainnya, penyakit tuberkulosis
(TB) cenderung terjadi secara dini dalam perjalanan infeksi HIV dan
biasanya mendahului diagnosis AIDS. Terjadinya tuberkulosis secara
dini ini akan disertai dengan pembentukan granuloma yang
mengalami pengkijuan (kaseasi) sehingga timbul kecurigaan ke arah
diagnosis Tuberkulosis. Pada stadium ini, penyakit Tuberkulosis akan
bereaksi baik dengan terapi antituberkulosis. Penyakit tuberkulosis
yang terjadi kemudian dalam perjalanan infeksi HIV ditandai dengan
tidak terdapatnya respon tes kulit tuberkulin karena sistem kekebalan
yang sudah terganggu tidak mampu lagi bereaksi terhadap antigen
tuberkulosis. Dalam stadium infeksi HIV yang lanjut, penyakit
tuberkulosis disertai dengan penyebaran ke tempat-tempat
ekstrapulmoner seperti sistem saraf pusat, tulang, perikardium,
lambung, peritoneum dan skrotum. Strain multipel baksil tuberkulosis
yang resisten-obat kini bermunculan dan kerapkali berkaitan dengan
ketidakpatuhan pasien dalam menjalani pengbatan antituberkulosis.
b. Gastrointestinal
Manifestasi gastrointestinal penyakit AIDS mencakup
hilangnya selera makan, mual, vomitus, kandidiasis oral serta
esofagus, dan diare kronis. Diare merupakan masalah bagi 50%
hingga 90% dari keseluruhan pasien AIDS. Pada sebagian kasus,
gejala gastrointestinal dapat berhubungan dengan efek langsung HIV
pada sel-sel yang melapisi intestinum. Sebagian mikroorganisme
patogen enteral yang paling sering ditemukan dan teridentifikasi
dalam pemeriksaan kultur feses atau biopsi intestinum adalah
Cryptosporidium muris, salmonela, CMV, Clostridium difficile dan
M.avium-intracellulare. Bagi pasien AIDS, diare dapat membawa
dampak yang serius sehubungan dengan terjadinya penurunan berat
badan yang nyata (lebih dari 10% berat badan), gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit, ekskoriasi kulit parineal,
kelemahan dan ketidakmampuan untuk melaksanakan kegiatan yang
biasa dilakukan dalam kehidupan sehari-sehari.
Kandidasis oral, suatu infeksi jamur hampir terdapat secara
universal pada semua penderita AIDS serta keadaan yang
berhubungan dengan AIDS. Infeksi ini umumnya mendahului infeksi
serius lainnya. Kandidiasis oral ditandai oleh bercak-bercak putih
seperti krim dalam rongga mulut. Kalau tidak diobati, kandidiasis oral
akan berlanjut dengan mengenai esofagus dan lambung. Tanda-tanda
dan gejala yang menyertai mencakup keluhan menelan yang sulit serta
nyeri dan rasa sakit dibalik sternum (nyeri retrosternal). Sebagian
pasien juga menderita lesi oral yang mengalami ulserasi dan menjadi
rentan terutama terhadap penyebaran kandidiasis ke sistem tubuh yang
lain.
Sindrom pelistutan. Sindrom pelistutan (wasting syndrom)
kini diikutsertakan dalam definisi kasus yang diperbarui untuk
penyakit AIDS. Kriteria diagnostiknya mencakup penurunan berat
badan yang tidak dikehendaki yang melampaui 105% dari berat badan
dasar, diare yang kronis selama lebih dari 30 hari atau kelemahan
yang kronis, dan deman yang kambuh atau menetap tanpa adanya
penyakit lain yang dapat menjelaskan gejala ini. Malnutrisi protein-
energi yang terjadi bersifat multifaktor. Pada sebagian keadaan sakit
yang berkaitan dengan AIDS, pasiennya akan mengalami keadaan
hipermetabolik dimana terjadi pembakaran kalori yang berlebih dan
kehilangan lean body mass. Keadaan ini serupa dengan keadaan stres
seperti sepsis serta trauma serta dapat menimbulkan kegagalan organ.
Pembedaan antara keadaan kakeksia (pelisutan) dan malnutrisi atau
antara kakeksia dan penurunan berat badan yang biasa terjadi sangat
penting mengingat gangguan metabolik pada sindrom pelisutan tidak
dapat diubah dengan dukungan nutrisi saja.
Anoreksia, diare, malabsorpsi gastrointestinal dan
kekurangan gizi pada penyakit kronis semuanya turut menyebabkan
sindrom pelisutan. Kendati demikian pelisutan jaringan yang progresif
terlihat pula pada beberapa pasien dengan gangguan gastrointestinal
yang ringan dan tanpa diare (Medynski, 1993). TNF (Tumor necrosis
factor) dan interleukin-1 (IL-1) merupakan sitokin yang memainkan
peranan penting dalam sindrom pelisutan yang berhubungan dengan
AIDS. Keduanya bekerja langsung pada hipotalamus untuk
menimbulkan anoreksia. Demam yang ditimbulkan oleh sitokin akan
mempercepat metabolisme tubuh sebanyak 14% untuk setiap
kenaikan suhu sebasar 1o F. TNF menyebabkan penggunaan lipid yag
tidak efisien dengan menurunkan jumlah enzim yang diperlukan oleh
metabolisme lemak, sementara IL-1 memicu pelepasan asam amino
dari jaringan otot.
Hipertrigliseridemia yang terlihat pada penderita AIDS
disebabkan oleh kenaikan kadar sitokin yang terjadi secara menahun
dan bertahan pada penderita AIDS selama berbulan-bulan tanpa
menimbulkan pelisutan jaringan serta kehilangan lean body mass.
Infeksi dan keadaan sepsis yang menyebabkan kenaikan sepintas
kadar TNF, IL-1dan mediator sel lainnya di atas kadar yang sudah
meninggi secara menahun umumnya akan terlihat sepintas kadar TNF
ddan IL-1 inilah yang memicu pelisutan otot.
c. Kanker
Penderita AIDSmemiliki insidensi penyakit kanker yang lebih
tinggi daripada insidens yang biasa terjadi. Keadaan ini mungkin
berkaitan dengan stimulasi HIV terhadap se-sel kanker yang sedang
tumbuh atau berkaitan dengan defisiensi kekebalan yang
memungkinkan substansi penyebab kanker, seperti virus, untuk
mengubah bentuk sel-sel yang rentan menjadi sel-sel malignan.
Sarkoma Kaposi, tipe tertentu limfoma sel-B dan karsinoma serviks
yang invasif diikutsertakan dalam klasifikasi CDC untuk kelainan
malignitas (malignansi) yang berhubungan dengan AIDS. Karsinoma
kulit, lambung, pankreas, rektum dan kandung kemih juga lebih sering
dijumpai daripada yang diperkirakan pada pasien-pasien AIDS.
Sarkoma Kaposi. Sarkoma Kaposi (dilafalkan KA-po-sheez),
yaitu kelainan malignitas yang berkaitan dengan HIV yang paling
sering ditemukan, merupakan penykit yang melibatkan lapisan endotel
pembuluh darah dan limfe. Ketika pertama kali ditemukan pada tahun
1872 oleh Dr. Moritz Kaposi, penyakit sarkoma Kaposi ini secara
khas ditemukan sebagai lesi kulit di bagian ekstermitas bawah pada
laki-laki berusia lanjut keturunan Eropa Timur. Penyakit tersebut
berjalan lambat dan mudah diobati, bentuk ini sering dinamakan
sebagai sarkoma Kaposi yang klasik. Bentuk endemik sarkoma
Kaposi yang ditemukan pada anak-anak dan leleaki muda di daerah
ekuatorial Afrika merupakan bentuk yang lebih virulen dibandingkan
bentuk klasik.
Sarkoma Kaposi akuisita terjadi pada orang-orang yang
diobati dengan perparat imunosupresif dan umumnya terdapat pada
pasien yang menjalani transplantasi organ. Pada pasien semacam ini,
sarkoma Kaposi akuisita biasanya akan sembuh setelah takaran obat
imunosupresif dikurangi atau pemberian obat tersebut dihentikan.
Pada penderita AIDS, sarkoma Kaposi epidemik paling sering
dijumpai di antara para biseksual dan homoseksual laki-laki.
Meskipun histopatologi semua bentuk sarkoma Kaposi pada dasarnya
sama, manifestasi klinis berbeda dari sarkoma Kaposi yang
berhubungan dengan AIDS memperlihatkan penyakit yang lebih
agresif dan beragam yang berkisar mulai dari kutaneus setempat
hingga kelainan yang menyebar dan mengenai lebih dari satu sistem
organ.
Lesi kutaneus yang dapat timbul pada setiap bagian tubuh
biasanya berwarna merah muda kecoklatan hingga ungu gelap.
Lesinya dpat datar atau menonjol dan dikelilingi oleh
ekimosis(bercak-bercak perdarahan) serta edema. Perkembangan lesi
yang cepat meliputi daerah-daerah kulit yang luas akan disertai
dengan deformitas ekstensif.
Lokasi dan ukuran beberapa lesi dapat menimbulkan stasis
aliran vena, limfedema serta rasa nyeri . Lesi ulseratif akan merusak
integritas kulit dan meningkatkan ketidaknyamanan pasien serta
kerentanannya terhadap infeksi .Lokasi kelainan viseral yang paling
sering ditemukan adalah nodus limfatikus (kelenjar limfe), traktus
gastrointestinal dan paru-paru. Kelainan pada organ internal pada
akhirnya dapat menimbulkan kegagalan organ, perdarahan infeksi dan
kematian . Diagnosis sarkoma kaposi dipastikan dengan biopsi lesi
yang dicurigai . Prognosis tergantung pada luasnya tumor , adanya
gejala konstitusional dan hitung CD4+ . Kematian dapat terjadi akibat
perkembangan tumor, kendati lebih sering disebabkan oleh komplikasi
penyakit HIV yang lain.
Limfoma sel-B . Limfoma sel-B merupakan malignansi paling
sering kedua yang terjadi diantara pasien-pasien AIDS. Limfoma yang
berkaitan dengan AIDS biasnaya berbeda dengan yang terjadi dalam
populasi umum. Penderita AIDS umunya berusia jauh lebih muda
daripada populasi biasa yang terkena limfoma non-hodgkin(NHL).
disamping itu limfoma yang berhubungan dengan AIDS cenderung
berkembang diluar kelenjar limfe; limfoma ini paling sering dijumpai
pada otak, sumsum tulang dan traktus gastrointestinal. Tipe limfoma
ini secara khas memiliki derajat yang lebih tinggi yang memnunjukan
sifat peretumbuhan yang agresif dan resisten terhadap terapi .
Perjalanan limfoma yang berhubungan dengn AIDS mencakuplokasi
organ terkena yang multipel dan komplikasi yang terkait dengan
terjadinya infeksi oportunis. Meskipun kemoterapi kombinasi yang
agresif kerapkali memberikan hasil yang baik pada limfoma non
hodgkin yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV., namun kemoterapi
kombinasi ini kurang kurang berhasil pada penderita HIV karena
toksisitasnya yang hebat pada hematologi dan adanaya kompilkasi
infeksi oportunis yang terjadi akibat terapi.
d. neurologik
Diperkirakan ada 80% dari semua pasien AIDS yang
mengalami bentuk kelainan neurologi tertentu selama menjalani
infeksi HIV. Banyak kelainan neuropatologik yang kurang dilaporkan
mengingat pasien-pasien tersebut dapat menderita kelainan neurologik
tanpa tanda-tanda atau gejala yang jelas. Komplikasi neurologik
meliputi fungsi saraf sentral, perifer dan otonom.Ganggua fungsi
neurologik dapat terjadi akibat efek langsung HIV pada jaringan
sistem saraf, infeksi oportunis, neoplasma primer atau metastatik,
perubahan serebrovaskuler, ensefalopati metabolik atau komplikasi
sekunder karena terapi.Respon sistem imun terhadap infeksi HIV
dalam sistem saraf pusat mencakup inflamasi, atrofi, degenerasi, dan
nekrosis.
Ensefalopati HIV disebut juga komplek demensia AIDS ,
ensefalopati HIV terjadi sedikitnya pada dua per tiga pasien AIDS.
Bukti akhir menunjukan bahwa kompleks demensia AIDS tersebut
merupakan akibat langsung infeksi HIV. HIV ditemukan dengan
jumlah yang besar dalam otak maupun cairan serebrospinalis pasien-
pasien ADC. Sel-sel otak yang terinfeksi HIV didominasi oleh sel-sel
CD4+ yang berasal dari monosit/makrofag. Infreksi HIV diyakini
akan memicu toksin akan limfokin yang mengakibatkan disfungsi
seluler atau yang mengganggu fungsi neurotransmiter ketimbang
menyebabkan kerusakan seluler.Keadaaan i i merupakan sindrom
klinis yang ditandai oleh penururnan progresif pada fungsi kognitif ,
perilaku dan motorik. tanda dan gejalanya dapat samar serta sulit
dibedakan dengan kelelahan,depresi atau efek terapi yang merugikan
terhadap infksi dan malignansi.
manisfestasi dini mencakup gangguan daya ingatan , sakit
kepala, kesulitan berkonsentrasi, konfungsi progresif, pelambatan
psikomotorik, apatis dan ataksia. Stadium lanjut mencakup gangguan
kognitif global , kelambatan dalam respons verbal, gangguan afektif
seperti pandangan yang kososng , hiperrefleksi paraparesis spastik,
psikosis, halusinasi, termor, inkontinensia, serangan kejang, mutisme
dan kematian. Tindakan memastikan diagnosa ensefalopati HIV
mungkin sulit dilakukan . evaluasi neurologik ekstensif mencakup
pemindaian CT yang dapat menunjukan atrofi serebral yang difus
dan pelebaran ventrikulus. Pemeriksaan lain yang dapat mendeteksi
abnormalitas adalah MRI( magnetic resonance imaging), analisis
cairan serebrospinal melalui pungsi lumbal dan biopsi otak.
Cryptococcus neoformans. infeksi jamur yaitu cryptococcus
neoformans , merupakan infeksi oportunis paling sering keempat yang
terrdapat diantara pasien-pasien AIDS dan penyebab infeksi paling
sering ketiga yang menyebabkan kelainan neurologik.Meningitis
kriptokokus ditandai oleh gejala seperti demam/panas , sakit kepala,
keadaan tidak enak badan (malaise), kaku kuduk, mual, vomitus,
perubahan status mental dan kejang-kejang. Diagnsis ditegakkan
dengan analisis cairan serebrospinal.
Leukoensefalopati multifokal progresiva. Leukoensefalitis
multifokal progresiva(PML) merupakan kelainan sistem saraf pusat
dengan demielinisasi yang disebabkan oleh virus J.C. (diberi nama
demikian menurut nama pasien yang kulturnya menumbuhkan virus
tersebut ); virus ini menginfeksi oligodendroglia. PML mengenai
kurang lebih 3% pasien-pasien AIDS. Manifestasi klinis dapat dimulai
dengan konfusi mental dan mengalami perkembangan cepat yang
akhirnya mencakup gejala kebutaan , afasia , paresis(paralisis ringan)
serta kematian.Infeksi sistem saraf yang sering ditemukan lainnya
adalah toxoplasma gondi, CMV dan M, tiberculosis.
Kelainan neurologik lainnya. Manifestasi neurologik lain
mencakup neuropati sentral dan perifer. Mielopati vaskuler
merupakan kelainan degeneratif yang mengenai kolumna leteralis dan
posterior medula spinalis sehingga terjadi paraparesis spastik
progresiv , ataksia, serta inkontinensia. Neuropati perifer yang
berhubungan dengan HIV diperkirakan merupakan kelainan
demielinisasi dengan disertai rasa nyeri serta patirasa pada
ekstremitas, kelemahan, penurunan refleks tendon yang dalam,
hipotensi ortostatik dan impotensi.
e. Struktur integumen
Manifestasi kulit menyertai infeksi HIV dan infeksi oportunis
serta malignansi yang mendampinginya. Infeksi oportunis seperti
herpes zozter dan herpes simpleks akan disertai dengan pembentukan
vesikel yang nyeri yang merusak integritas kulit. moluskum
kontagiosum merupakan infeksi virus yang ditandai oleh
pembentukan plak yang disertai deformitas.dermatitis seboreika akan
disertai ruam yang difus.bersisik dengan indurasi yang mengenai kulit
kepal serta wajah.penderita AIDS juga dapat memperlihtakan
folikulitis menyeluruh yang disertai dengan kulit yang kering dan
mengelupas atau dengan dermatitis atopic seperti ekezema atau
psoriasis.hingga 60% penderita yang diobati
trimetopimsulfametoksazol(TMP/SMZ) untuk mengatasi pneumonia
pneumocystis carinii akan mengalami ruam yang berkaitan denga obat
dan berupa pruritus yang di sertai pembentukan papula serta macula
berwarna merah muda.terepas dari penyebab ruam ini ,pasien akan
mengalami gangguan rasa nayaman dan mengahadapi resiko untuk
menderita infeksi tambahan akibat rusaknya keutuhan kulit.
f. Manifestasi klinik spesifik pada wanita
Kadindasis vagina yang persisten atau rekuren dapat menjadi
tanda pertama yang akan menunjukkan infeksi HIV pada wanita.ulkus
genitalis yang terjadi di masa lalu atau sekarang merupakan faktor
resiko bagi penularan infeksi HIV.wanita dengan infeksi HIV lebih
rentan terhadap ulkus genitalis serta kandiloma akuminata(veneral
wart). Dan akan mengalami peningkatan frekuensi serta kekambuhan
kedua penyakit kelamin tersebut.penyakit menular seksual yang
ulseratif seperti syangkroid,sfilisdan herpes lebih berat pada wanita
ini. Human papillomavirus(HPV) menyebabkan kondiloma akuminata
dan merupakan faktor resiko untuk terjadinya neoplasia intra epitel
serviks.kini semakin jelas bahwa wanita yang menderita infeksi HIV
memiliki kemungkinan sepuluh kali lebih besar untuk menderita
intraepitel serviks dari pada wanita yang tidak terinfeksi HIV.antara
hasil sediaan –apus papanicoloau yang abnormal dan hasil HIV
seropositif terhadap kaitan yang erat. Wanita seropositif dengan
karisnoma serviks akan ditemukan dengan stadium penyakit yang
lebih lanjut dan menderita penyakit yang lebih persisten serta rekuren
dengan interval yang lebih singkat untuk terjadinya kekambuhan dan
kematian bila dibandingkan dengan wanita yang tidak menderita HIV
(Gibbs & Zeeman,1993)
Wanita yang memerlukan perawatan dirumah sakit untuk
penyakit imflamasi pelvic(PID;pelpic imflammatory disease)
menderita infeksi HIV dengan persentase yang signifikan.wanita-
wanita ini menghadapi peningkatan resiko untuk menderita PID,dan
inflamasi yang menyertai PID dapat memeperbesar potensi penularan
infeksi HIV.lebih lanjut wanita yang menderita infeksi HIV akan
terdapat insedensi yang lebih tinggi untuk terjadinya abnormaliatas
menstruasi yang mencakup amenore atau perdarahan pervagianm
diantara saat-saat haid bila dibandingkan dengan wanita tanpa infeksi
HIV.
5. PenatalaksanaanUpaya penanganan medis meliputi beberapa cara pendekatan yang
mencakup penanganan infeksi yang berhubungan dengan HIV serta
malignansi, penghentian replikasi virus HIV lewat preparat antivirus,
penguatan serta pemulihan sistem imun melalui penggunaan preparat
imunomodulator. Perawatan suportif merupakan tindakan yang penting
karena efek infeksi HIV dan penyakit AIDS yang sangat menurunkan
keadaan keadaan umum pasien; efek tersebut mencakup malnutrisi,
kerusakan lukit, kelemahan, imobilitas dan perubahan status mental.
a. Obat-obat untuk infeksi yang berhubungan dengan HIV
Infeksi umum. Trimetoprim-sulfametoksazol, yang disebut
pula TMP-SMZ (Bactrim, Septra). Merupakan preparat antibakteri
untuk mengatasi berbagai mikroorganisme yang menyebabkan
infeksi. Pemberian secar IV kepada pasien-pasien dengan fungsi
gastrointestinal yang normal tidak memberikan keuntungan apa pun.
Penderita AIDS yang diobati dengan TPM-SMZ dapat mengalami
efek yang merugikan dengan insedensi tinggi yang tidak lazim
terjadi, seperti demam, ruam, leucopenia, trombositopenia dan
gangguan fungsi renal. Akhir-akhir ini telah dilakukan terapi
desensitisasi dengan hasil yang baik untuk mengurangi reaksi yang
berhubungan dengan pengunaan obat TPM-SMZ.
Pneumonia. Pneumocystis CARINII (PCP). Dalam beberapa
tahun terakhir ini terjadi banyak kemajuan dalam pengobatan PCP.
Sebagai obat pilihan untuk PCP pada pasien-pasien penyakit AIDS
dan pasien-pasien yang kekebalannya terganggu tanpa infeksi HIV,
preparat TMP-SMZ sudah tersedia dalam bentuk suntikan IV
maupun preparat oral.
Pentamidin. Suatu obat antiprotozoa, digunakan sebagai
preparat alternative untuk melawan PCP. Jika terjadi efek yang
merugikan atau jika pasien tidak memperlihatkan perbaikan klinis
ketika diobati dengan TPM-SMZ. Petugas kesehatan dapat
merekomendasikan pentamidin. Penyuntikan intramuscular harus
dihindari karena berpotensi utnuk terbentuknya abses steril yang
nyeri. Penyuntikan pentamidin IV dapat menyebabkan hipotensi
berat jika diberikan terlalu cepat. Efek pentamidin yang merugikan
juga mencakup gangguan metabolism glukosa (dengan diabetes
mellitus yang nyata). Kerusakan ginjal, gangguan fungsi dan
neutropenia. Keberasilan awal prepararat pentadimin berbententuk
aerosol telah membuat preparat ini digunakan pengobatan bagi PCP
yang ringan hingga sedang; kendati demikian , preparat ini ternyata
kuranmg begitu efektif dan lebih mahal harganya bila dibandingkan
dengan preparat TMP dan SMZ. Dan eksaserbasi dini sring terjadi.
Karena keterbatasan inilah, preparat inhalasi pentamidin hanya
digunakan untuk pasien PCP yang ringan hingga sedang yang tidak
menunjukan manfaat tambahan, pengunaan preparat kombinasi ini
harus dihindari karena dapt mengakibatkan efek kumulatif yang
toksik.
Kombinasi trimetoprim oral (proloprim, Trimpek) dan
dapson (Avlosulfon, DDS) terbukti sangat efektif untuk PCP yang
ringan hingga sedang . obat-obat lain yang tengah dievakuasi sebagai
terapi penyelamat bagi pasien-pasien yang tidak berhasil
disembuhkan atau yang tidak responsive dengan terapi konvesional
mencakup preparat klindamisin IV (Closin HCL), primaquin oral,
trimetrexate, hidrosinaftokuinon, dan atovaquone (Mepron).
Pemberian kprtikosteroid sistemik mungkin bermanfaat bagi
sebagian pasien dengan PCP yang ringan hingga berat, namun
demikian , data-data yang membenarkan penggunaan kortikosteroid
untuk terapi PCP yang ringan atau terapi penyelamatan masih belum
ada.
Kompleks Mycobacterium avium. Terapi kompleks
Mycobacterium avium (MAC; mycobacterium avium complex)
masih belum ditentukan dengan jelas dan meliputi penggunaan lebih
dari satu macam obat selama periode waktu yang lama. Tetapi
kombinasi dengan etambutol. Rimfapin, klofazimin (Lamprene) dan
siproproksasin (cipro) dengan atau tanpa amikasin ternyata disertai
dengan efek toksisitas obat, tidak menghasilkan kesembuhan secara
bacterial dan juga meberikan prognosis penyakit yang buruk.
Klaritomisin (Biaxin) dan azitromisin (Zithromax)), yaitu preparat
antibiotic yang lebih baru dalam pengobatan MAC, Rifabutin
ternyata efektif untuk mencegah MAC pada penderita infeksi HIV
dengan jumlah sel CD4 + sebesar 200/mm² atau kurang.
Meninghitis. Terapi primer yang yang mutakhir untuk
meninghitis kriptokokus afalah amfoterisin B IV dengan atau tanpa
Flusitosin atau Flukonasol (Diflucan). Keadaan pasien harus
dipantau untuk mendeteksi efek yang potensial merugikan dan serius
dari amfoterisin B, yang mencangkup reaksi anafilaksis, gangguan
renal serta hepar, gangguan keseimbangan elektrolit, anemia, panas
dan menggigil. Pemberian amfoterisin B intratekal telah digunakan
sebagai penganti pemberian intravena dalam bentuk kombinasi
dengan pemberian intravena pada pasien-pasien yang tidak
responsive terhadap cara terapi yang terakhir ini. Sebelum
flukonasol yang merupakan preparat antifungus yang baru itu
disetujui dan digunakan untuk terapi supresif seumur hidup, kejadian
relaps yang frekuen dan angka mortalitas yang tinggi kerapkali
mengharuskan terapi yang lama dengan amfoterisin B IV. Pada
sebagian kasus, pasien terus mendapatkan amfoterisin B IV di
rumah. Preparat flukonazol aral digunakan sebagasi terapi surpresif
kalau pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukan hasil yang
negative untuk mikroorganisme tersebut. Pbat ini tidak begitu toksik
dan lebih ditoleransi oleh pasien ketimbang amfoterisin B.
Retinitis Sitomegalovirus. Retinitis yang disebabkan oleh
sitomegalovirus (CMV: Cytomegalovirus) merupakan penyebab
utama kebutaan pada penderita penyakit AIDS. Pada tahun 1989,
FDA menyetujui penggunaan gansiklovir untuk mengobati retinitis
CMV. Karena gansiklovir tidak mematikan virus tetapi lebih
mengendalikan pertumbuhanya, obat ini harus diberikan sepanjang
sisa usia pasien. Penghentian pengobatan ini akan diikuti oleh
eksaserbasi retinitis tersebut dalam waktu 1 bulan. Pada awalnya,
gansiklovir disuntikan IV setiap 8 hingga 12 jam sekali selama 2
hingga 3 minggu. Terapi pemeliharaan diberikan sekali sehari
selama 5 hingga 7 hari dalam seminggu. Pada sebagian pasien ,
retinitis CMV tetap berlanjut sekali pun terapi diberikan, efek
merugikan yang membuat pendidikan pasien pemantauan rawat jalan
sangat penting adalah supresi sumsum tulang (yang akan
menurunkan jumlah sel darah putih dan trombosit),kandidiasis oral
dan gangguan hepar serta ginjal.
Akses vena jangka panjang harus dibuat dan kepada pasien
serta orang-orang yang merawatnya perlu diajarkan tehnik
pemberian gansiklovir di rumah. Reaksi merugikan yang sering
terjadi pada pemberian gansiklovir adalah neutropenia berat yang
membatasi penggunaan zidopudin (ZDV, AZT) bersama gansiklovir.
Bagi pasien yang tidak dapat mentolerir pemberian gansiklovir
secara sistemik karena terjadinya neutropenia yang berat, infeksi
pada lokasi akses vena atau keharusan untuk memakai sidovudin,
maka penyuntikan gansiklovir intravitreus merupakan terapi yang
efektif.
Foskarnet (foskavir), yaitu preparat lain yang digunakan
untuk mengobati retinitis CMV, disuntikan intravena setiap 8 jam
sekali selama 2 hingga 3 minggu. Terapi pemeliharaan diberikan
selama 2 hingga 3 jam sebanyak lima kali seminggu. Preparat ini
dapat diberikan bersama zidovulin. Reaksi merugikan yang lazim
terjadi pada pemberian foskarnet adalah nefrotoksisitas yang
mencangkup gagal ginjal akut dan gangguan keseimbangan elektrolit
yang mencangkup hipokalsemia, hiperfosfatemia serta
hipomagnesemia; semua keadaan ini dapat membawa kematian.
Efek merugikan lainya yang lazim dijumpai adalah serangan kejang-
kejang , gangguan gastrointestinal , anemia, flebitis pada infuse dan
nyeri pungung bawah. Obat-obat lain yang sednag dievaluasi untuk
terapi retinitis CMV adalah asiklovir (Zovirax), alfa-interferon dan
terapi kombinasi dengan glasiklovir (Cytovene) serta immono
glubolin.
Keadaan lain. Asiklovir dan foskarnat kini digunakan
untukm mengobati ensefalitis yang disebabkan oleh herpes simpleks
atau herpes zoster. Pirimetamin (Daraprim) dan sulfadiazine atau
klindamisin (Cleosin HCL) digunakan untuk pengobatan maupun
terapi supresif seumur hidup bagi infeksi Toxoplasmosis gondii.
Kandidiassis esophagus atau oral diobati secara topical dengan obat
isap (troches) oral klotrimazol (Mycelex) atau suspense nistatin.
Infeksi kronis yang membandel oleh kandidiasis (thrush) atau lesi
esophagus diobati dengan ketokonazol atau flukonazol.
b. Penatalaksanaan Diare Kronik
Meskipun banyak bentuk diare yang infeksius akan bereaksi
terhadap pengobatan, namun infeksi tersebut tidak jarang terjadi
kembali sehingga menjadi masalah kronik. Terapi dengan oktreotid
asetat (Sandostatin), yaitu suatu analog sintetik somatostatin,
ternyata efektif untuk mengatasi dieare yang berat dan kronik.
Konsentrasi reseptor somatostatin yang tinggi ditemukan dalam
traktus gastrointestinal maupun jaringan lainya. Somatostatin akan
menhambat banyak fungsi fisiologis yang mencangkup motilitas
gastrointestinal dan sekresi intestinal air serta elektrolit.
c. Penatalaksanaan Sindrom Pelisutan
Penatalaksanaan sindrom pelisutan mencakup penangan
penyebab yang mendasari infeksi oportunitis sistemik maupun
gastrointestinal. Malnutrisi sendiri akan memperbesar resiko infeksi
oportunitis . terapi nutrisi harus disatukan dalam keseluruhan
rencana penatalaksanaan dan harus disesuaikan untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi pasien, terapi nutrisi bias dilakukan mulai dari diet
oral dan pemberian makanan lewat sonde (terapi nutrisi enteral)
hingga dukungan nutrisi parenteral jika diperlukan. Sebagaimana
halnya dengan semua pasien , diet seimbang merupakan terapi
nutrisi yang esensial bagi penderita infeksi HIV. Jumlah kalori yang
diperlukan harus dihitung bagi semua penderita infeksi AIDS dengan
penurunan berat badan yang tidak jelas penyebabnya; penghitungan
jumlah kalori ini dilakukan untuk mengevaluasi status nutrisi pasien
dan memulai terapi nutris yang tepat. Tujuanya adalah untuk
mempertahankan berat badan ideal pasien dan kalau perlu menaikan
berat badanya . pedoman berikut ini dapat dipakai untuk menghitung
jumlah kalori dan asupan protein yang diperlukan (Hoyt &
Staats.1991).
Kalori : 35 hingga 44 kilokalori/kilogram berat badan/hari
Protein : 2 hingga 2.5 gram protein/kilogram berat badan/hari
Suplemen oral dapat diberikan untuk melengkapi diet yang kurang
mengandung kalori dan protein. Idealnya suplemen oral tersebut
harus bebas laktosa (banyak pasien infeksi HIV yang menderita
intoleransi laktosa). Untuk kalori dan protein yang mudah dicerna
rendah lemak, dengan mengandung lemak yang mudah dicerna
selama itu, suplemen oral harus pula memilikicitarasa yang enak.
Tidak mahal dan dapat diterima pasien tanpa menimbulkan diare.
Advera merupakan suplemen nutrisi yang dibuat khusus untuk
penderita infeksi HIV dan penyakit AIDS. Nutrisi parenteral
merupakan pilihan akibat biayanya yang tinggi dan resiko yang
menyertai termasuk infeksi.
Penggunaan preparat stimulant selera makan memberikan
hasil yang memuaskan pada pasien-pasien anoreksia yang
berhubungan dengan penyakit AIDS. Megestrol asetat (Megace),
Yaitu suatu preparat sintetik progesteron oral yang digunakan untuk
pengobatan kanker payudara akan menggalakan kenaikan berat
badan yang signifikan dan menghambat sintesis sitokin H. preparat
ini sudah.
6. Komplikasia. Penyakit paru-paru utama
Pneumonia pneumocystis (PCP) jarang dijumpai pada orang sehat
yang memiliki kekebalan tubuh yang baik, tetapi umumnya
dijumpai pada orang yang terinfeksi HIV. Penyebab penyakit ini
adalah fungi/jamur Pneumocystis jirovecii. Sebelum adanya
diagnosis, perawatan, dan tindakan pencegahan rutin yang efektif di
negara-negara Barat, penyakit ini umumnya segera menyebabkan
kematian. Di negara-negara berkembang, penyakit ini masih
merupakan indikasi pertama AIDS pada orang-orang yang belum
dites, walaupun umumnya indikasi tersebut tidak muncul kecuali
jika jumlah CD4 kurang dari 200 per µL. Tuberkulosis (TBC)
merupakan infeksi unik di antara infeksi-infeksi lainnya yang terkait
HIV, karena dapat ditularkan kepada orang yang sehat
(imunokompeten) melalui rute pernapasan (respirasi). Ia dapat
dengan mudah ditangani bila telah diidentifikasi, dapat muncul pada
stadium awal HIV, serta dapat dicegah melalui terapi pengobatan.
Namun demikian, resistensi TBC terhadap berbagai obat merupakan
masalah potensial pada penyakit. Meskipun munculnya penyakit ini
di negara-negara Barat telah berkurang karena digunakannya terapi
dengan pengamatan langsung dan metode terbaru lainnya, namun
tidaklah demikian yang terjadi di negara-negara berkembang tempat
HIV paling banyak ditemukan. Pada stadium awal infeksi HIV
(jumlah CD4 >300 sel per µL), TBC muncul sebagai penyakit paru-
paru. Pada stadium lanjut infeksi HIV, ia sering muncul sebagai
penyakit sistemik yang menyerang bagian tubuh lainnya
(tuberkulosis ekstrapulmoner). Gejala-gejalanya biasanya bersifat
tidak spesifik (konstitusional) dan tidak terbatasi pada satu
tempat.TBC yang menyertai infeksi HIV sering menyerang sumsum
tulang, tulang, saluran kemih dan saluran pencernaan, hati, kelenjar
getah bening (nodus limfa regional), dan sistem syaraf
pusat.Dengan demikian, gejala yang muncul mungkin lebih
berkaitan dengan tempat munculnya penyakit ekstrapulmoner.
b. Penyakit saluran pencernaan utama
Esofagitis adalah peradangan pada kerongkongan (esofagus), yaitu
jalur makanan dari mulut ke lambung. Pada individu yang terinfeksi
HIV, penyakit ini terjadi karena infeksi jamur (jamur kandidiasis)
atau virus (herpes simpleks-1 atau virus sitomegalo). Ia pun dapat
disebabkan oleh mikobakteria, meskipun kasusnya langka.
Diare kronis yang tidak dapat dijelaskan pada infeksi HIV dapat
terjadi karena berbagai penyebab, antara lain infeksi bakteri dan
parasit yang umum (seperti Salmonella, Shigella, Listeria,
Kampilobakter, dan Escherichia coli), serta infeksi oportunistik
yang tidak umum dan virus (seperti kriptosporidiosis,
mikrosporidiosis, Mycobacterium avium complex, dan virus
sitomegalo (CMV) yang merupakan penyebab kolitis). Pada
beberapa kasus, diare terjadi sebagai efek samping dari obat-obatan
yang digunakan untuk menangani HIV, atau efek samping dari
infeksi utama (primer) dari HIV itu sendiri. Selain itu, diare dapat
juga merupakan efek samping dari antibiotik yang digunakan untuk
menangani bakteri diare (misalnya pada Clostridium difficile). Pada
stadium akhir infeksi HIV, diare diperkirakan merupakan petunjuk
terjadinya perubahan cara saluran pencernaan menyerap nutrisi,
serta mungkin merupakan komponen penting dalam sistem
pembuangan yang berhubungan dengan HIV.
c. Penyakit syaraf dan kejiwaan utama
Infeksi HIV dapat menimbulkan beragam kelainan tingkah laku
karena gangguan pada syaraf (neuropsychiatric sequelae), yang
disebabkan oleh infeksi organisma atas sistem syaraf yang telah
menjadi rentan, atau sebagai akibat langsung dari penyakit itu
sendiri.
a) Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit
bersel-satu, yang disebut Toxoplasma gondii. Parasit ini
biasanya menginfeksi otak dan menyebabkan radang otak akut
(toksoplasma ensefalitis), namun ia juga dapat menginfeksi dan
menyebabkan penyakit pada mata dan paru-paru
b) Meningitis kriptokokal adalah infeksi meninges (membran yang
menutupi otak dan sumsum tulang belakang) oleh
jamur Cryptococcus neoformans. Hal ini dapat menyebabkan
demam, sakit kepala, lelah, mual, dan muntah. Pasien juga
mungkin mengalami sawan dan kebingungan, yang jika tidak
ditangani dapat mematikan.
c) Leukoensefalopati multifokal progresif adalah penyakit
demielinasi, yaitu penyakit yang menghancurkan selubung
syaraf (mielin) yang menutupi serabut sel syaraf (akson),
sehingga merusak penghantaran impuls syaraf. Ia disebabkan
oleh virus JC, yang 70% populasinya terdapat di tubuh manusia
dalam kondisi laten, dan menyebabkan penyakit hanya ketika
sistem kekebalan sangat lemah, sebagaimana yang terjadi pada
pasien AIDS. Penyakit ini berkembang cepat (progresif) dan
menyebar (multilokal), sehingga biasanya menyebabkan
kematian dalam waktu sebulan setelah diagnosis.
d. Kanker dan tumor ganas (malignan)
Sarkoma Kaposi. Pasien dengan infeksi HIV pada dasarnya
memiliki resiko yang lebih tinggi terhadap terjadinya beberapa
kanker. Hal ini karena infeksi oleh virus DNA penyebab mutasi
genetik,yaitu terutama virus Epstein-Barr (EBV), virus
herpes Sarkoma Kaposi (KSHV), dan virus papiloma manusia
(HPV). Sarkoma Kaposi adalah tumor yang paling umum
menyerang pasien yang terinfeksi HIV. Kemunculan tumor ini pada
sejumlah pemuda homoseksual tahun 1981 adalah salah satu
pertanda pertama wabah AIDS. Penyakit ini disebabkan oleh virus
dari subfamili gammaherpesvirinae, yaitu virus herpes manusia
yang juga disebut virus herpes Sarkoma Kaposi (KSHV). Penyakit
ini sering muncul di kulit dalam bentuk bintik keungu-unguan,
tetapi dapat menyerang organ lain, terutama mulut, saluran
pencernaan, dan paru-paru. Kanker getah bening tingkat tinggi
(limfoma sel B) adalah kanker yang menyerang sel darah putih dan
terkumpul dalam kelenjar getah bening, misalnya seperti limfoma
Burkitt (Burkitt's lymphoma) atau sejenisnya (Burkitt's-like
lymphoma), diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL), dan limfoma
sistem syaraf pusat primer, lebih sering muncul pada pasien yang
terinfeksi HIV. Kanker ini seringkali merupakan perkiraan kondisi
(prognosis) yang buruk. Pada beberapa kasus, limfoma adalah
tanda-tanda utama AIDS. Limfoma ini sebagian besar disebabkan
oleh virus Epstein-Barr atau virus herpes Sarkoma Kaposi. Kanker
leher rahim pada wanita yang terkena HIV dianggap tanda utama
AIDS. Kanker ini disebabkan oleh virus papiloma manusia. Pasien
yang terinfeksi HIV juga dapat terkena tumor lainnya,
seperti limfoma Hodgkin, kanker usus besar bawah (rectum),
dan kanker anus.
Namun demikian, banyak tumor-tumor yang umum seperti kanker
payudara dan kanker usus besar (colon), yang tidak meningkat
kejadiannya pada pasien terinfeksi HIV. Di tempat-tempat
dilakukannya terapi antiretrovirus yang sangat aktif (HAART)
dalam menangani AIDS, kemunculan berbagai kanker yang
berhubungan dengan AIDS menurun, namun pada saat yang sama
kanker kemudian menjadi penyebab kematian yang paling umum
pada pasien yang terinfeksi HIV.
B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
pengkajian keperawatan mencakup pengenalan faktor resiko yang
potensial, termasuk praktik seksual yang beresiko dan pengguanaan obat
bius IV. status fisik dan psikologis pasien yang harus dinilai. semua faktor
yang mempengaruhi fungsi sistem imun perlu digali dengan seksama.
a. Status nutrisi
Dimulai dengan menanyakan riwayat diet dan mengenali faktor-
faktor yang dapat mengganggu asupan oral seperti anoreksia, mual,
vomitus, nyeri oaral dan kesulitan menelan. disamping itu, kemampuan
pasien membeli dan mempersiapkan makanan harus dinilai.
penimbangan berat badan, pengukuran antropometrik, pemeriksaan
kadar BUN( blood urea nitrogen), protein serum, albumin, dan tranferin
akan memberikan parameter status nutrisi yang objektif.
b. kulit dan membran mukosa
Diinspeksi setiap hari untuk menemukan tanda-tanda lesi, ulserasi
dan infeksi.
Rongga mulut diperiksa untuk memantau gejala kemerahan,
ulserasi, dan adanya bercak puti- putih seperti krim yang menunjukkan
kandidiasis. daerah perianal harus diperiksa untuk menemukan
ekskoriasi dan infeksi pada pasien dengan diare yang profus.
pemeriksaan kultur luka dapat dilakukan untuk mengidentifikasi
mikroorganisme yang infeksius.
c. Status respiratorius
Dimulai dari pemantauan pasien untuk mendeteksi gejala batuk,
produksi sputum, nafas yang pendek, ortopnea, takipnea, dan nyeri
dada. keberadaan suara pernafasan dan sifatnya harus diperiksa. ukuran
fungsi paru yang lain mencakup foto rontgen, toraks, hasil pemeriksaan
gas darah arteri dan hasil tes faal paru.
d. status neurologi
Ditentukan dengan menilai tingkat kesadaran pasien., orientasinya
terhadap orang, tempat serta waktu dan ingatan yang hilang. pasien juga
dinilai untuk mendeteksi gangguan sensorik( perubahan visual, sakit
kepala, patirasa, parestesia pada ekstremitas) serta gangguan
motorik(perubahan gaya jalan, paresis, atau paralisi) dan kejang.
e. status cairan dan elektrolit
Dimulai dengan memeriksa kulit serta membran mukosa untuk
menentukan turgor dan tingkat kekeringannya. peningkatan rasa haus,
penurunan haluaran urin, tekanan darah yang rendah dan penurunan
tekanan darah sistolik antara 10 dan 15mmHg dengan disertai kenaikan
frekuensi denyut nadi ketika pasien duduk, denyut nadi yang lemah
serta cepat,dan berat jenis urin sebesar 1,025 atau lebih, menunjukkan
dehidrasi.
Gangguan keseimbangan elektrolit seperti penurunan kadar
natrium, kalium, kalsium, magnesium,dan klorida dalam serum secara
khas akan terjadi karena diare hebat. pemeriksaan pasien juga dilakukan
untuk menilai tanda-tanda dan gejala deplesi elektrolit.
tanda-tanda ini mencakup penurunan status mental, kedutan otot, kram
oto, denyut nadi yang tidak teratur, mual serta vomitus, dan pernafasan
yang dangkal.
f. tingkat pengetahuan
Pasien dan penyakitnya serta cara penularan penyakit harus
dievaluasi. disamping itu, tingkat pengetahuan keluarga dan sahabat
perlu dinilai. reaksi psikologis pasien terhadap diagnosis penyakit AIDS
merupakan informasi penting yang harus digali. reaksi dapat bervariasi
antara pasien yang satu dengan yang lainnya dan dapat mencakup
penolakan, amarah, rasa takut, malu, menarik diri dari pergaulan sosial
dan depresi. pemahaman tentang cara pasien menghadapi sakitnya dan
riwayat stres utama yang pernah dialami sebelumnya seringkali
bermanfaat. sumber-sumber yang dimiliki pasien untuk memberikan
dukungan kepadanya juga harus diidentifikasi.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang mungkin dibuat sangat luas karena sifat penyakit
AIDS yang amat kompleks. Berdasarkan data-data hasil penilaian,
diagnosa yang utama bagi penderita penyakit AIDS dapat mencakup
keadaan berikut ini:
a. Kerusakan intregitas kulit yang berhubungan dengan manifestasi HIV,
kskoriasi dandiare pada kulit
b. Diare yang berhubungan dengan kuman patogen usus dan/atau infeksi
HIV
c. Resiko terhadap infeksi yang berhubungan dengan imunodefisiensi
d. Intoleransi aktifitas yang berhubungan dengan keadaan mudah letih,
kelemahan, malnutrisi,gangguan keseimbangan caiaran dan elektrolit
dan ipoksia yang menyertai infeksi paru
e. Perubaan pola pikir yang berhubungan dengan penyempitan rentang
perhatian, gangguan daya ingat , kebingungan, disorientasi yang
menyertai ensefalopati HIV
f. Bersihan saluran nafas tidak efektif berhubungan dengan pneumonia
pneumocytis carinii(ppc), peningkatan sekresi bronkus dan penurunan
kemampuan untuk batuk yang menyertai kelemahan serta keadaan
mudah letih.
g. Nyeri yang berubungan dengan gangguan intregitas kulit perianal
akibat diare, sarkoma kaposi, dan neuropati perifer.
h. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan
dengan penurunan asupan oral.
i. Isolasi yang berhubungan dengan stigma penyakit, penarikan diri dari
sistem pendukung, prosedur isolasi dan ketakutan bila dirinya menulari
orang lain.
j. Berduka diantsipasi berhubungan dengan perubahan gaya hidup serta
peranannya, dan dngan prognosis yang tidak menyenangkan.
k. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan cara-cara mencegah
penyakit HIV dan perawatan mandiri
4. Evaluasi
Hasil yang Diharapkan :
a. Mempertahankan imegritas kulit.
b. Mendapatkan kembali kebiasaan defekasi yang normal.
c. Tidak mengalami infeksi.
d. Mempertahankan tingkat toleransi yang memadai terhadap
aktivitas.
e. Mempertahankan tingkat proses berpikir yang lazim.
f. Mempertahankan klirens saluran napas yang efektif,
g. Mengalami peningkatan rasa nyaman, penurunan rasa nyeri.
h. Mempertahankan status nutrisi yang memadai ,
i. Mengalami pengurangan perasaan terisolir dari pergaulan sosial,
j. Melewati proses kesedihan/duka cita.
k. Melaporkan peningkatan pemahaman tentang penyakit AIDS serta
turut berpartisipasi sebanyak mungkin dalam kegiatan perawatan-
mandiri .
l. Tidak adanya komplikasi . Intervensi yang terpilih dan hasil-
akhimya dibicarakan dalam rencana asuhan keperawatan.
BAB III
PENUTUP
AIDS adalah sindroma yang menunjukkan defisiensi imun seluler pada
seseorang tanpa adanya penyebab yang diketahui untuk dapat menerangkan
tejadinya defisiensi, tersebut seperti keganasan, obat-obat supresi imun,
penyakit infeksi yang sudah dikenal dan sebagainya.
Penyebab adalah golongan virus retro yang disebut human
immunodeficiency virus (HIV). HIV pertama kali ditemukan pada tahun 1983
sebagai retrovirus dan disebut HIV-1. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan
lagi retrovirus baru yang diberi nama HIV-2. HIV-2 dianggap sebagai virus
kurang pathogen dibandingkaan dengan HIV-1. Maka untuk memudahkan
keduanya disebut HIV. Sedangkan upaya pencegahan penularan penyakit di
unit-unit pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas dll. Meliputi:
1. Menghindari kontak langsung dengan cairan tubuh, bila menangani
cairan tubuh klien gunakan alat pelindung seperti sarung tangan,
masker, kaca mata pelindung, sepatu boot, schot yang disesuaikan
dengan tindakan yang dilakukan
2. Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan
3. Dekontaminasi cairan tubuh
4. Memakai alt kedokteran sekali pakai atau sterilisasi semua alat
kedokteran yang dipergunakan. Jangan memakai jarum suntik lebih
dari satu kali.
5. Pemeliharaan kebersihan tempat pelayanan kesehatan
6. Membuang limbah secara benar
DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer Suzanne C, Bare Brendo G 2002 Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner, Suddart, Edisi 8, vol 3, Jakarta: EGC
Corwin J.,Elizabeth. 2009. Buku Saku Patofisiologi Jakarta : EGC
Doenges, ME and Moor House, Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi ke 3,
Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta.
Sudoyo W., Aru, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 3 Edisi 4.
Jakarta : FK UI