aspek anemia penyakit kronik pada lansia

27
BEBERAPA ASPEK ANEMIA PENYAKIT KRONIK PADA LANJUT USIA SURYADI PANJAITAN Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN Proses menua adalah sebuah proses yang mengubah orang dewasa sehat menjadi rapuh disertai dengan menurunnya cadangan hampir semua sistim fisiologis dan disertai pula dengan meningkatnya kerentanan terhadap penyakit dan kematian. 1 Pendapat lain mengatakan bahwa menua merupakan suatu proses menghilangnya secara perlahan–lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri /mengganti diri serta mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan kemampuan untuk memperbaiki kerusakan yang diderita. Dengan demikian manusia secara progresif akan kehilangan daya tahan terhadap infeksi dan akan makin banyaknya distorsi metabolik dan struktural yang disebut sebagai “ Penyakit degeneratif “, yang mana ini nantinya akan menyebabkan kita menghadapi akhir hidup dengan episode terminal yang dramatik seperti stroke, infark miokard, koma asidotik, metastase kanker, dan sebagainya. Ada pula yang menganalogikan menuanya manusia seperti ausnya suku cadang suatu mesin yang bekerjanya sangat kompleks, dimana bagian– bagiannya saling mempengaruhi secara fisik/somatik. 2 Dari pengamatan selama ini, terlihat bahwa penyakit kronik pada 50 tahun terakhir ini dianggap sebagai penyebab nomor satu terjadinya morbiditas dan mortalitas, serta menghabiskan tiga per empat dari total biaya perawatan kesehatan. 3 Untuk orang–orang lanjut usia (lansia) memang prevalensi dan akumulasi penyakit kronik meningkat. Hal ini mungkin disebabkan oleh menurunnya atau berubahnya respons terhadap stres, termasuk stres terhadap penyakit. Demikian juga dengan intensitas gejala dan persepsi terhadap penyakit juga berkurang. 4 Berbagai penyakit kronik yang dialami pasien lansia seringkali menyebabkan masalah yang muncul ke permukaan berbeda dibandingkan dengan masalah pada pasien usia muda. Awitan (onset) mungkin tidak jelas, manifestasi klinis juga tidak khas. Banyak gejala dan tanda tidak disebabkan oleh penyakitnya sendiri melainkan oleh respons tubuh terhadap penyakit–penyakit tersebut. 1 Salah satu penyakit yang sering diderita orang–orang lansia yaitu anemia dan ini merupakan kelainan hematologi yang paling sering dijumpai pada lansia. Prevalensinya meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. 5,6 Ada pendapat yang mengatakan bahwa menurunnya hemoglobin pada lansia adalah konsekuensi normal dari pertambahan usia, tetapi hal ini telah dibantah oleh karena 80% penyebabnya telah diketahui. 5 Dari suatu hasil studi juga terlihat bahwa pada kelompok lansia yang cukup sehat secara fisik dan sosio – ekonomi, anemia sangat jarang dijumpai. Prevalensi anemia pada lansia meningkat secara signifikan setelah usia 75 tahun. 7 Insidensinya pada laki–laki lebih rendah dibandingkan wanita sebelum usia 55 tahun, tetapi setelah usia 55 tahun anemia lebih sering dijumpai pada laki–laki. 8 Penyebab anemia yang paling sering pada lansia yaitu penyakit kronik dan defisiensi besi. 5 Selain sering ditemukan pada lansia, anemia penyakit kronik juga sering ditemukan pada pasien–pasien yang sedang mengalami perawatan di rumah sakit, serta pada ©2003 Digitized by USU digital library 1

Upload: aya405

Post on 26-Nov-2015

59 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

vg

TRANSCRIPT

  • BEBERAPA ASPEK ANEMIA PENYAKIT KRONIK PADA LANJUT USIA

    SURYADI PANJAITAN

    Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran

    Universitas Sumatera Utara

    BAB I PENDAHULUAN

    Proses menua adalah sebuah proses yang mengubah orang dewasa sehat menjadi rapuh disertai dengan menurunnya cadangan hampir semua sistim fisiologis dan disertai pula dengan meningkatnya kerentanan terhadap penyakit dan kematian.1 Pendapat lain mengatakan bahwa menua merupakan suatu proses menghilangnya secara perlahanlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri /mengganti diri serta mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan kemampuan untuk memperbaiki kerusakan yang diderita. Dengan demikian manusia secara progresif akan kehilangan daya tahan terhadap infeksi dan akan makin banyaknya distorsi metabolik dan struktural yang disebut sebagai Penyakit degeneratif , yang mana ini nantinya akan menyebabkan kita menghadapi akhir hidup dengan episode terminal yang dramatik seperti stroke, infark miokard, koma asidotik, metastase kanker, dan sebagainya. Ada pula yang menganalogikan menuanya manusia seperti ausnya suku cadang suatu mesin yang bekerjanya sangat kompleks, dimana bagianbagiannya saling mempengaruhi secara fisik/somatik.2 Dari pengamatan selama ini, terlihat bahwa penyakit kronik pada 50 tahun terakhir ini dianggap sebagai penyebab nomor satu terjadinya morbiditas dan mortalitas, serta menghabiskan tiga per empat dari total biaya perawatan kesehatan.3 Untuk orangorang lanjut usia (lansia) memang prevalensi dan akumulasi penyakit kronik meningkat. Hal ini mungkin disebabkan oleh menurunnya atau berubahnya respons terhadap stres, termasuk stres terhadap penyakit. Demikian juga dengan intensitas gejala dan persepsi terhadap penyakit juga berkurang.4 Berbagai penyakit kronik yang dialami pasien lansia seringkali menyebabkan masalah yang muncul ke permukaan berbeda dibandingkan dengan masalah pada pasien usia muda. Awitan (onset) mungkin tidak jelas, manifestasi klinis juga tidak khas. Banyak gejala dan tanda tidak disebabkan oleh penyakitnya sendiri melainkan oleh respons tubuh terhadap penyakitpenyakit tersebut.1

    Salah satu penyakit yang sering diderita orangorang lansia yaitu anemia dan ini merupakan kelainan hematologi yang paling sering dijumpai pada lansia. Prevalensinya meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.5,6 Ada pendapat yang mengatakan bahwa menurunnya hemoglobin pada lansia adalah konsekuensi normal dari pertambahan usia, tetapi hal ini telah dibantah oleh karena 80% penyebabnya telah diketahui.5 Dari suatu hasil studi juga terlihat bahwa pada kelompok lansia yang cukup sehat secara fisik dan sosio ekonomi, anemia sangat jarang dijumpai. Prevalensi anemia pada lansia meningkat secara signifikan setelah usia 75 tahun.7 Insidensinya pada lakilaki lebih rendah dibandingkan wanita sebelum usia 55 tahun, tetapi setelah usia 55 tahun anemia lebih sering dijumpai pada lakilaki.8 Penyebab anemia yang paling sering pada lansia yaitu penyakit kronik dan defisiensi besi.5 Selain sering ditemukan pada lansia, anemia penyakit kronik juga sering ditemukan pada pasienpasien yang sedang mengalami perawatan di rumah sakit, serta pada

    2003 Digitized by USU digital library 1

  • orangorang yang menderita penyakit infeksi kronis, radang hati kronis, radang sendi kronis dan penyakit vaskular kolagen aktif.7,9,10

    Untuk masalah lansia ini Amerika Serikat (USA: United States Of America) telah memberikan perhatian yang cukup besar. Ini terlihat dari penggunaan dana perawatan kesehatan yang lebih besar pada lansia yaitu sebesar US $ 4200 per kapita dibandingkan US $ 1700 untuk ratarata seluruh populasi. Di Indonesia, pemerintah dan masyarakatnya telah mulai memberikan perhatian terhadap lansia.11 Ini terbukti dengan dimasukkannya masalah lansia ke dalam Tap MPR pada tahun 1993 dan dicanangkannya setiap tanggal 29 Mei (mulai tahun 1996) sebagai Hari Lanjut Usia Nasional .12 Untuk kita ketahui bahwa jumlah lansia di Indonesia pada tahun 2000 diperkirakan sebesar 7,28% dari seluruh populasi dan pada tahun 2020 diperkirakan menjadi 11,34%. Sedangkan jumlah lansia di seluruh dunia pada tahun 2000 diperkirakan ada sekitar 600 juta orang, dimana dua diantara tiga lansia akan hidup dan bertempat tinggal di negaranegara sedang berkembang.2

    BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

    2.1 LANJUT USIA (LANSIA)

    Salah satu tolak ukur kemajuan suatu bangsa seringkali dilihat dari usia harapan hidup penduduknya. Demikian juga dengan Bangsa Indonesia sebagai suatu negara berkembang dengan perkembangannya yang cukup baik, maka harapan hidup penduduknya diproyeksikan makin tinggi yaitu dapat mencapai lebih dari 70 tahun pada tahun 2000. Sebagai perbandingan buat kita, yaitu Jepang dengan usia harapan hidup penduduknya yang tertinggi di dunia, dimana pria dapat mencapai 76 tahun dan wanita 82 tahun.2 Namun sebaliknya sebagian masyarakat menganggap bahwa orangorang lansia identik dengan banyaknya keluhan. Lansia acapkali juga diidentikkan dengan berbagai macam hendaya dan morbiditas sehingga suatu gejala sering dianggap lumrah untuk seusianya dan tidak diupayakan dilakukannya evaluasi yang adekuat.1,13

    Di negaranegara dunia timur termasuk Indonesia dengan kultural sosio budaya ketimuran, masyarakatnya masih menempatkan orangorang lansia pada tempat yang terhormat dan mendapatkan penghargaan yang tinggi.12

    2.1.1 Batasan umur lansia

    Negaranegara maju di Eropa dan Amerika menganggap batasan umur lansia adalah 65 tahun dengan pertimbangan bahwa pada usia tersebut orang akan pensiun. Tetapi akhirakhir ini telah dicapai konsensus yang ditetapkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO: World Health Organization) bahwa sebagai batasan umur lansia adalah 60 tahun.14

    2.1.2 Status kesehatan lansia

    Kesehatan dan status fungsional seorang lansia ditentukan oleh resultante dari faktorfaktor fisik, psikologik dan sosio-ekonomik. Faktor-faktor tersebut tidak selalu sama besar peranannya sehingga selalu harus diperbaiki bersamaan dengan perawatan pasien secara menyeluruh. Di negara - negara sedang berkembang faktor sosio-ekonomik/finansial hampir selalu merupakan kendala yang penting.14

    2003 Digitized by USU digital library 2

  • 2.1.3 Perjalanan penyakit lansia Pada umumnya perjalanan penyakit lansia adalah kronik (menahun),

    diselingi dengan eksaserbasi akut. Selain dari pada itu penyakitnya bersifat progresif dan sering menyebabkan kecacatan (invalide) yang lama sebelum akhirnya penderita meninggal dunia. Penyakit yang progresif ini berbeda dengan penyakit pada usia remaja/dewasa yaitu tidak memberikan proteksi atau imunitas tetapi justru menjadikan orang lansia rentan terhadap penyakit lain karena daya tahan tubuh yang makin menurun.14

    2.1.4 Sifat penyakit lansia

    Sifat penyakit pada orang-orang lansia perlu sekali untuk dikenali supaya kita tidak salah ataupun terlambat menegakkan diagnosis, sehingga terapi dan tindakan lain yang mengikutinya dengan segera dapat dilaksanakan. Sebab penyakit pada orangorang lansia umumnya lebih bersifat endogen daripada eksogen. Hal ini kemungkinan disebabkan karena menurunnya fungsi berbagai alat tubuh karena proses menjadi tua. Selain itu produksi zatzat untuk daya tahan tubuh akan mengalami kemunduran. Oleh karena itu faktor penyebab eksogen (infeksi) akan lebih mudah hinggap. Seringkali juga terjadi penyebab penyakit pada lansia tersembunyi (occult), sehingga perlu dicari secara sadar dan aktif. Keluhankeluhan pasien lansia sering tidak khas, tidak jelas, atipik dan asimptomatik. Oleh karena sifatsifat atipik, asimptomatik atau tidak khas tadi, akan mengakibatkan variasi individual munculnya gejala dan tandatanda penyakit meskipun macam penyakitnya sama.14

    2.1.5 Diagnosis penyakit pada lansia

    Membuat diagnosis penyakit pada lansia pada umumnya lebih sukar dibandingkan pasien usia remaja/dewasa. Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis pasien lansia kita perlu melakukan observasi penderita agak lebih lama, sambil mengamati dengan cermat tandatanda dan gejalagejala penyakitnya yang juga seringkali tidak nyata. Dalam hal ini allo-anamnese dari pihak keluarga perlu digali. Seringkali sebab penyakitnya bersifat ganda (multiple) dan kumulatif, terlepas satu sama lain ataupun saling mempengaruhi timbulnya.14

    2.1.6 Pola penyakit lansia

    Pada tahun 1988 di Konfrensi UCLA, Solomon dkk menyampaikan istilah 13 i yaitu tentang kemunduran dan kelemahan yang dialami oleh lansia. Isinya antara lain: 1. Imobilitas (Immobility), 2. Instabilitas/Terjatuh (Instability/Falls), 3. Gangguan intelektual/Demensia (Intelectual impairment/Dementia), 4. Isolasi/Depresi (Isolation/Depression), 5. Inkotinensia (Incontinence), 6. Impoten (Impotence), 7. Imunodefisiensi (Immunodeficiency), 8. Infeksi (Infection), 9. Kelelahan/Malnutrisi (Inanition/Malnutrition), 10. Impaksi/Konstipasi (Impaction/Constipation), 11. Iatrogenesis, 12. Insomnia, 13. Gangguan (Impairment): penglihatan, pendengaran, pengecapan, penciuman, komunikasi, integritas kulit dan convalescence.11

    Dari Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 1986 untuk usia 55 tahun ke atas, dilaporkan bahwa penyakit kardiovaskular menempati peringkat pertama yaitu 15,7 per 100 pasien, kemudian diikuti oleh penyakit muskuloskeletal 14,5 , TB paru 13,6 dan Bronkitis asma 12,1. Sedangkan dari penelitian bersama Badan Kesehatan Dunia (WHO: World Health Organization) dengan 4 negara di Asia Tenggara

    2003 Digitized by USU digital library 3

  • termasuk Indonesia pada tahun 1990 untuk para lansia (usia 60 tahun ke atas) penyakit artritis / reumatik menempati peringkat pertama yaitu 49,0% (Tabel 1).11 Tabel 1 Studi komunitas lansia oleh Badan Kesehatan Dunia

    (WHO) di Jawa Tengah tahun 1990 11

    No Penyakit/Keluhan % W : P 01 Artritis / Reumatik 49,0 W > P 02 Hipertensi + PJK 15,2 W > P 03 Bronkitis / Dispnea 7,4 W < P 04 Diabetes melitus 3,3 W = P 05 Jatuh 2,5 W > P 06 Stroke / Paralisis 2,1 07 TB paru 1,8 W = P 08 Patah tulang 1,0 W = P 09 Kanker 0,7 W = P 10 Masalah kesehatan berpengaruh

    kepada aktivitas hidup seharihari (ADL: Activity Of Daily Living)

    29,3

    2.2 A N E M I A

    Anemia sebenarnya bukanlah merupahkan diagnosa akhir dari sesuatu penyakit akan tetapi merupakan hasil dari berbagai gangguan dan hampir selalu membutuhkan evaluasi lanjutan atau boleh juga dikatakan bahwa anemia merupakan salah satu gejala dari sesuatu penyakit dasar.14-17 Ada juga yang mengatakan bahwa anemia merupakan ekspresi kompleks gejala klinis suatu penyakit yang mempengaruhi mekanisme patogenesis gangguan eritropoesis (produksi eritrosit), perdarahan, atau penghancuran eritrosit.18

    Insidensi anemia bervariasi tetapi diperkirakan sekitar 30% penduduk dunia menderita anemia, dimana prevalensi tertinggi berada di negaranegara sedang berkembang.19

    2.2.1 Defenisi anemia

    Seseorang dikatakan menderita anemia apabila konsentrasi hemoglobin pada orang tersebut lebih rendah dari nilai normal hemoglobin yang sesuai dengan jenis kelamin dan umur dari orang tersebut. Oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO: World Health Organization) telah ditetapkan batasan anemia yaitu untuk wanita apabilah konsentrasi hemoglobinnya di bawah 12 gr/dL (7,5 mmol/L) dan untuk pria apabilah konsentrasi hemoglobinnya di bawah 13 gr / dL (8,1 mmol / L).6,14,16,17,20-23

    2.2.2 Klasifikasi anemia 2.2.2.1 Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi eritrosit

    Anemia berdasarkan morfologi eritrosit dibagi atas: mikrositikhipokromik (MCV < 80 fl, MCHC < 30 g/l), normositiknormokromik (MCV 80100 fl, MCHC 30 35 g/l) dan makrositiknormokromik (MCV > 100 fl, MCHC > 35 g/l). (Tabel 2) 17,23

    2003 Digitized by USU digital library 4

  • Tabel 2 Anemia berdasarkan morfologi eritrosit 17,23

    No

    Mikrositik Hipokromik MCV < 80 fl

    MCHC < 30 g/l

    Normositik Normokromik MCV 80 100 fl MCHC 30-35 g/l

    Makrositik Normokromik MCV > 100 fl

    MCHC > 35 g/l 1

    Defisiensi besi

    Hemolitik

    Megaloblastik (defisiensi B12,

    asam folat) 2

    Sideroblastik

    Kegagalan sumsum tulang (penyakit kronik, aplastik,

    gagal ginjal, mielodisplastik,

    mieloptisis)

    Bukan megaloblastik (gangguan hati, peminum berat,

    hemolitik, aplastik)

    3 Talasemia Perdarahan 4 Atransferinemia

    Ket: MCV : Volume korpuskuler ratarata MCHC : Konsentrasi hemoglobin korpuskuler ratarata 2.2.2.2 Klasifikasi anemia berdasarkan beratringan .

    Anemia berdasarkan berat ringannya dibagi atas 3 tingkatan yaitu ringan, sedang, dan berat. (tabel 3) 24

    Tabel 3 Anemia berdasarkan berat ringan 24

    Anemia ringan Anemia sedang Anemia berat HEMO

    GLOBIN (gr/dL)

    > 10 12

    8 10

    < 8

    2.2.3 Mekanisme terjadinya anemia

    Ada beberapa mekanisme untuk terjadinya anemia, yaitu: 15

    1. Kehilangan darah, misalnya perdarahan 2. Menurunnya umur hidup sel darah merah (eritrosit), misalnya anemia

    hemolitik 3. Kelainan pada pembentukan sel darah merah (eritrosit), misalnya kelainan

    sintesis hemoglobin 4. Berkumpul dan dihancurkannya eritrosit di dalam limpa yang membesar 5. Meningkatnya volume plasma, misalnya kehamilan, splenomegali

    2.2.4 Tanda dan gejala anemia berdasarkan beratringannya anemia Manifestasi gejala dan keluhan anemia tergantung dari beberapa faktor antara lain: 17

    1. Penurunan kapasitas daya angkut oksigen dari darah serta kecepatan dari penurunannya

    2. Derajat serta kecepatan perubahan dari volume darah 3. Penyakit dasar penyebab anemianya 4. Kapasitas kompensasi sistem kardiopulmonal

    2003 Digitized by USU digital library 5

  • Adapun tanda dan gejala anemia yang dijumpai berdasarkan beratringannya anemia adalah sebagai berikut: (Tabel 4) 24

    Tabel 4 Tanda dan gejala anemia berdasarkan beratringan 24

    No Anemia ringan Anemia sedang Anemia berat 1 Kelelahan Kelelahan Overwhelming 2 Peningkatan detak

    jantung Sulit konsentrasi Kelelahan

    3 Penurunan perfusi jaringan

    Detak jantung > 100 x / menit

    Pening

    4 Dilatasi sistem vaskular Berdebardebar Pusing 5 Ekstraksi O2 jaringan

    naik Dispnea saat

    aktivasi Depresi

    Gangguan tidur 6 Dispnea saat

    istirahat 2.2.5 Hubungan anemia dengan lansia

    Anemia merupakan salah satu gejala sekunder dari sesuatu penyakit pada lansia.24 Anemia sering dijumpai pada lansia 25,26 dan meningkatnya insidensi anemia dihubungkan dengan bertambahnya usia telah menimbulkan spekulasi bahwa penurunan hemoglobin kemungkinan merupakan konsekuensi dari pertambahan usia. Tetapi ada 2 alasan untuk mempertimbangkan bahwa anemia pada lansia merupakan tanda dari adanya penyakit, yaitu: 1. Kebanyakan orangorang lansia mempunyai jumlah sel darah merah normal, demikian juga dengan hemoglobin dan hematokritnya, 2. Kebanyakan pasien pasien lansia yang menderita anemia dengan hemoglobin < 12 gr / dL, penyakit dasarnya telah diketahui. 5

    Prevalensi anemia pada lansia adalah sekitar 844%, dengan prevalensi tertinggi pada lakilaki usia 85 tahun atau lebih. Dari beberapa hasil studi lainnya dilaporkan bahwa prevalensi anemia pada lakilaki lansia adalah 2740% dan wanita lansia sekitar 1621%. 5,27

    Sebagai penyebab tersering anemia pada orangorang lansia adalah anemia penyakit kronik dengan prevalensinya sekitar 35%, diikuti oleh anemia defisiensi besi sekitar 15%. Penyebab lainnya yaitu defisiensi vitamin B12, defisiensi asam folat, perdarahan saluran cerna dan sindroma mielodisplastik.5,22

    Meningkatnya perasaan lemah, lelah dan adanya anemia ringan janganlah dianggap hanya sebagai manifestasi dari pertambahan usia.26 Oleh karena keluhan-keluhan tersebut di atas merupakan gejala telah terjadinya anemia pada lansia. Selain gejalagejala tersebut di atas, palpitasi, angina dan klaudikasio intermiten juga akan muncul oleh karena biasanya pada lansia telah terjadi kelainan arterial degeneratif.15 Muka pucat dan konjungtiva pucat merupakan tanda yang dapat dipercayai bahwa seorang lansia itu sebenarnya telah menderita anemia. 5,28

    Pada lansia penderita anemia berbagai penyakit lebih mudah timbul dan penyembuhan penyakit akan semakin lama. Yang mana ini nantinya akan membawa dampak yang buruk kepada orangorang lansia.21 Dari suatu hasil studi dilaporkan bahwa lakilaki lansia yang menderita anemia, resiko kematiannya lebih besar dibandingkan wanita lansia yang menderita anemia. Juga dilaporkan bahwa lansia yang menderita anemia oleh karena penyakit infeksi mempunyai resiko kematian lebih tinggi.27 Penelusuran diagnosis

    2003 Digitized by USU digital library 6

  • anemia pada lansia memerlukan pertimbangan klinis tersendiri. Dari evaluasi epidemiologis menunjukkan walaupun telah dilakukan pemeriksaan yang mendalam, ternyata masih tetap ada sekitar 1525% pasien anemia pada lansia yang tidak terdeteksi penyebab anemianya. 21

    2.3 ANEMIA PENYAKIT KRONIK

    Anemia penyakit kronik dikenal juga dengan nama anemia gangguan kronik, anemia sekunder, atau anemia sideropenik dengan siderosis retikuloendotelial. 5,6,29-32

    Pengenalan akan adanya anemia penyakit kronik dimulai pada awal abad ke 19, dimana pada waktu itu pada pasienpasien tuberkulosis sering ditemukan muka pucat. Lalu Cartwright dan Wintrobe pada tahun 1842 memperlihatkan adanya benda benda kecil di sampel darah pasien demam tifoid dan cacar air. Juga pada penyakit infeksi lainnya seperti siphilis dan pneumonia. Nama yang dipergunakan waktu itu adalah Anemia penyakit infeksi. Pada tahun 1962 setelah dilakukannya suatu studi tentang infeksi dan ditemukannya gambaran yang sama pada penyakitpenyakit kronik bukan infeksi seperti artritis reumatoid, nama anemia penyakit kronik diperkenalkan. 32,33

    Anemia penyakit kronik merupakan anemia terumum ke-dua yang sering dijumpai di dunia, tetapi mungkin merupakan yang paling umum dijumpai pada pasienpasien yang sedang dirawat di rumah sakit. Anemia penyakit kronik bukanlah diagnosis primer tetapi merupakan respons sekunder normal terhadap berbagai penyakit di bagian tubuh manapun. 34

    2.3.1 Defenisi anemia penyakit kronik

    Anemia penyakit kronik adalah anemia yang timbul setelah terjadinya proses infeksi atau inflamasi kronik.35 Biasanya anemia akan muncul setelah penderita mengalami penyakit tersebut selama 12 bulan. 15,32,36

    Tumor dulunya memang merupakan salah satu penyebab anemia penyakit kronik, namun dari hasil studi yang terakhir tumor tidak lagi dimasukkan sebagai penyebab anemia penyakit kronik. 37-39

    2.3.2 Etiologi anemia penyakit kronik

    Anemia penyakit kronik dapat disebabkan oleh beberapa penyakit/kondisi seperti infeksi kronik misalnya infeksi paru, endokarditis bakterial; inflamasi kronik misalnya artritis reumatoid, demam reumatik; lainlain misalnya penyakit hati alkaholik, gagal jantung kongestif dan idiopatik: ( Tabel 5 ) 5,29,31,32,36,37,40-43

    2003 Digitized by USU digital library 7

  • Tabel 5 Etiologi anemia penyakit kronik 5,29,31,32,36,37,40-43

    No

    Infeksi kronik

    Inflamasi kronik

    Lainlain Idio pa tik

    01 Infeksi paru: abses,emfisema,

    tuberkulosis, bronkiektasis

    Artritis reumatoid

    Penyakit hati alkaholik

    02 Endokarditis bakterial

    Demam reumatik Gagal jantung kongestif

    03 Infeksi saluran kemih kronik

    Lupus eritematosus sistemik (LES)

    Tromboplebitis

    04 Infeksi jamur kronik

    Trauma berat

    Penyakit jantung iskemik

    05 Human immunodeficiency

    virus (HIV)

    Abses steril

    06 Meningitis Vaskulitis 07 Osteomielitis Luka bakar 08 Infeksi sistem

    reproduksi wanita

    Osteoartritis (OA)

    09 Penyakit inflamasi pelvik

    (PID: pelvic inflamatory

    disease)

    Penyakit vaskular kolagen (Collagen vascular disease)

    10 Polimialgia 11 Trauma panas 12 Ulkus dekubitus 13 Penyakit chron

    2.3.3 Patogenesis anemia penyakit kronik

    Mekanisme bagaimana terjadinya anemia pada penyakit kronik sampai dengan sekarang masih banyak yang belum bisa dijelaskan walaupun telah dilakukan banyak penelitian.43 Ada pendapat yang mengatakan bahwa sitokinsitokin proses inflamasi seperti tumor nekrosis faktor alfa (TNF ), interleukin 1 dan interferon gama () yang diproduksi oleh sumsum tulang penderita anemia penyakit kronik akan menghambat terjadinya proses eritropoesis.30,44 Pada pasien artritis reumatoid interleukin 6 juga meningkat tetapi sitokin ini bukan menghambat proses eritropoesis melainkan meningkatkan volume plasma. Pada pasien anemia penyakit kronik eritropoetin memang lebih rendah dari pasien anemia defisiensi besi, tetapi tetap lebih tinggi dari orang orang bukan penderita anemia.26 Dari sejumlah penelitian disampaikan beberapa faktor yang kemungkinan memainkan peranan penting terjadinya anemia pada penyakit kronik, antara lain : 5,15,17,26,27,29,31,37,39,40,43,45-47

    1. Menurunnya umur hidup sel darah merah (eritrosit) sekitar 2030% atau menjadi sekitar 80 hari. Hal ini dibuktikan oleh Karl tahun 1969 pada percobaan binatang yang menemukan pemendekan masa hidup eritrosit

    2003 Digitized by USU digital library 8

  • segera setelah timbul panas. Juga pada pasien artritis reumatoid dijumpai hal yang sama.

    2. Tidak adanya reaksi sumsum tulang terhadap adanya anemia pada penyakit kronik. Reaksi ini merupakan penyebab utama terjadinya anemia pada penyakit kronik. Kejadian ini telah dibuktikan pada binatang percobaan yang menderita infeksi kronik, dimana proses eritropoesisnya dapat ditingkatkan dengan merangsang binatang tersebut dengan pemberian eritropoetin.

    3. Sering ditemukannya sideroblast berkurang dalam sumsum tulang disertai deposit besi bertambah dalam retikuloendotelial sistem, yang mana ini menunjukkan terjadinya gangguan pembebasan besi dari sel retikuloendotelial yang mengakibatkan berkurangnya penyedian untuk eritroblast.

    4. Terjadinya metabolisme besi yang abnormal. Gambaran ini terlihat dari adanya hipoferemia yang disebabkan oleh iron binding protein lactoferin yang berasal dari makrofag dan mediator leukosit endogen yang berasal dari leukosit dan makrofag. Hipoferemia dapat menyebabkan kegagalan sumsum tulang berespons terhadap pemendekan masa hidup eritrosit dan juga menyebabkan berkurangnya produksi eritropoetin yang aktif secara biologis.

    5. Adanya hambatan terhadap proliferasi sel progenitor eritroid yang dilakukan oleh suatu faktor dalam serum atau suatu hasil dari makrofag sumsum tulang.

    6. Kegagalan produksi transferin.

    2.3.4 Gambaran klinis anemia penyakit kronik Anemia pada penyakit kronik biasanya ringan sampai dengan sedang

    dan munculnya setelah 12 bulan menderita sakit. Biasanya anemianya tidak bertambah progresif atau stabil,29,32,48,49 dan mengenai berat ringannya anemia pada seorang penderita tergantung kepada berat dan lamanya menderita penyakit tersebut.19,29 Gambaran klinis dari anemianya sering tertutupi oleh gejala klinis dari penyakit yang mendasari (asimptomatik).29,32,48,49 Tetapi pada pasienpasien dengan gangguan paru yang berat, demam, atau fisik dalam keadaan lemah akan menimbulkan berkurangnya kapasitas daya angkut oksigen dalam jumlah sedang, yang mana ini nantinya akan mencetuskan gejala.32 Pada pasienpasien lansia, oleh karena adanya penyakit vaskular degeneratif kemungkinan akan ditemukan gejalagejala kelelahan, lemah, klaudikasio intermiten, muka pucat dan pada jantung keluhannya dapat berupa palpitasi dan angina pektoris serta dapat terjadi gangguan serebral.5,15,50 Tanda fisik yang mungkin dapat dijumpai antara lain muka pucat, konjungtiva pucat dan takikardi.50

    2.3.5 Diagnosa anemia penyakit kronik Diagnosis anemia penyakit kronik dapat ditegakkan melalui beberapa

    pemeriksaan, antara lain dari: 5,26,29,32,33,39,41,45,52

    1. Tanda dan gejala klinis anemia yang mungkin dapat dijumpai, misalnya muka pucat, konjungtiva pucat, cepat lelah, lemah, dan lainlain.

    2. Pemeriksaan laboratorium, antara lain: a. Anemianya ringan sampai dengan sedang, dimana hemoglobinnya

    sekitar 711 gr/dL. b. Gambaran morfologi darah tepi: biasanya normositik-normokromik

    atau mikrositik ringan. Gambaran mikrositik ringan dapat dijumpai pada sepertiga pasien anemia penyakit kronik.

    2003 Digitized by USU digital library 9

  • c. Volume korpuskuler ratarata (MCV: Mean Corpuscular Volume): normal atau menurun sedikit ( 80 fl).

    d. Besi serum (Serum Iron): menurun (< 60 mug / dL). e. Mampu ikat besi (MIB = TIBC: Total Iron Binding Capacity): menurun

    (< 250 mug / dL). f. Jenuh transferin (Saturasi transferin): menurun (< 20%). g. Feritin serum: normal atau meninggi (> 100 ng/mL).

    Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan sumsum tulang dan konsentrasi protoporfirin eritrosit bebas (FEP: Free Erytrocyte Protophorphyrin), namun pemeriksaannya jarang dilakukan. Menginterpretasi hasil pemeriksaan sumsum tulang kemungkinannya sulit, oleh karena bentuk dan struktur selsel sumsum tulang dipengaruhi oleh penyakit dasarnya. Sedangkan konsentrasi protoporfirin eritrosit bebas memang cenderung meninggi pada pasien anemia penyakit kronik tetapi peninggiannya berjalan lambat dan tidak setinggi pada pasien anemia defisiensi besi. Peninggiannya juga sejalan dengan bertambah beratnya anemia. Oleh karena itu pemeriksaan konsentrasi protoporfirin eritrosit bebas lebih sering dilakukan pada pasien pasien anemia defisiensi besi.5,29,32

    2.3.6 Penatalaksanaan anemia penyakit kronik Tidak ada terapi spesifik yang dapat kita berikan untuk anemia

    penyakit kronik, kecuali pemberian terapi untuk penyakit yang mendasarinya.5,19,20,26,29,3133,37,50 Biasanya apabila penyakit yang mendasarinya telah diberikan pengobatan dengan baik, maka anemianya juga akan membaik.31,43,53 Pemberian obatobat hematinik seperti besi, asam folat, atau vitamin B12 pada pasien anemia penyakit kronik, tidak ada manfaatnya.27

    Belakangan ini telah dicoba untuk memberikan beberapa pengobatan yang mungkin dapat membantu pasien anemia penyakit kronik, antara lain: 1. Rekombinan eritropoetin (Epo), dapat diberikan pada pasienpasien

    anemia penyakit kronik yang penyakit dasarnya artritis reumatoid, Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), dan inflamatory bowel disease. Dosisnya dapat dimulai dari 50100 Unit/Kg, 3x seminggu, pemberiannya secara intra venous (IV) atau subcutan (SC). Bila dalam 23 minggu konsentrasi hemoglobin meningkat dan/atau feritin serum menurun, maka kita boleh menduga bahwa eritroit respons. Bila dengan dosis rendah responsnya belum adekuat, maka dosisnya dapat ditingkatkan sampai 150 Unit/Kg, 3x seminggu. Bila juga tidak ada respons, maka pemberian eritropoetin dihentikan dan dicari kemungkinan penyebab yang lain, seperti anemia defisiensi besi.5,31,37,45 Namun ada pula yang menganjurkan dosis eritropoetin dapat diberikan hingga 10.00020.000 Unit, 3x seminggu.32

    2. Transfusi darah berupa packed red cell (PRC) dapat diberikan, bila anemianya telah memberikan keluhan atau gejala. Tetapi ini jarang diberikan oleh karena anemianya jarang sampai berat.14,31,51,54

    3. Prednisolon dosis rendah yang diberikan dalam jangka panjang. Diberikan pada pasien anemia penyakit kronik dengan penyakit dasarnya artritis temporal, reumatik dan polimialgia. Hemoglobin akan segera kembali normal demikian juga dengan gejalagejala polimialgia akan segera hilang dengan cepat. Tetapi bila dalam beberapa hari tidak ada perbaikan, maka pemberian kortikosteroid tersebut segera dihentikan.19,33,43,47

    2003 Digitized by USU digital library 10

  • 4. Kobalt klorida, juga bermanfaat untuk memperbaiki anemia pada penyakit kronik dengan cara kerjanya yaitu menstimulasi pelepasan eritropoetin, tetapi oleh karena efek toksiknya obat ini tidak dianjurkan untuk diberikan. 3032,35

    BAB III PENELITIAN SENDIRI

    3.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN

    Salah satu tujuan hidup manusia adalah menjadi tua tetapi tetap sehat.Dikutip dari 13 Oleh karena itu proses menua memang tidak identik menjadi sakit atau proses menua bukanlah akumulasi penyakit, walaupun proses menua dan penyakit yang terkait usia sering saling berkaitan dalam bentuk yang samar dan rumit sehingga sulit untuk membedakan ke duanya.Dikutip dari 1 Secara fisiologis proses menua merupakan erosi bertahap dan teratur dari organ atau sistem organ serta penurunan kendali homeostasis, keduanya menyebabkan berkurangnya daya cadangan faali. Penurunan tersebut dapat hanya terlihat pada waktu aktivitas fisik maksimal. Manifestasi berbagai penyakit atau masalah pada pasien lansia seringkali berbeda dengan orang muda. Prevalensi dan akumulasi penyakit kronik yang meningkat pada lansia sering memberikan gejala yang mengaburkan atau menutupi gejala penyakit atau masalah akut yang baru dialami karena adanya tumpang tindih antara gejala dan tanda penyakit kronik dan akut. 1,13

    Berbagai kelainan hematologi dapat terjadi pada lansia, misalnya anemia oleh karena kekurangan zat besi, penyakit kronik, keganasan dan lainlain. Dalam beberapa hal memang ada perbedaan dengan usia muda, misalnya dalam hal penyebab, pengelolaan, maupun prognosis.55 Anemia sering dijumpai pada lansia dan terjadinya anemia pada orangorang lansia bukanlah konsekuensi normal dari pertambahan usia tetapi oleh karena telah adanya penyakit.7,27 Maka sebaiknya dilakukan evaluasi lanjutan walaupun gejala klinis tidak ada.21 Dari suatu studi dilaporkan bahwa insidensi anemia pada lansia berumur 6574 tahun adalah sekitar 12% per tahun, dan pada lansia berumur di atas 84 tahun meningkat menjadi 13% per tahun,21 sedangkan bila dilihat dari perbandingan jenis kelamin, maka pada usia 7174 tahun baik lakilaki maupun wanita insidensinya adalah sama, yaitu sekitar 8,6%, tetapi pada usia sama atau lebih dari 90 tahun prevalensinya pada lakilaki lebih tinggi yaitu 41% sedangkan wanita 21%.56 Sedangkan di Indonesia seperti yang dilaporkan dari RSUP Cipto Mangunkusumo, dimana selama tahun 2000 di ruang rawat akut geriatri tercatat sekitar 10,3% pasien lansia yang dirawat oleh karena menderita anemia karena berbagai penyebab dan di unit rawat jalan sekitar 12,3% pasien lansia juga menderita anemia.7,21 Dari ruang rawat inap RSUP H.Adam Malik Medan dilaporkan bahwa selama 3 tahun (Januari 2000Desember 2002) ditemukan 591 (31,74%) pasien lansia menderita anemia dari 1881 pasien penderita anemia oleh karena berbagai penyebab.57 Penyebab anemia tersering pada orangorang lansia adalah anemia penyakit kronik dengan prevalensinya 3045%.5

    Ada sekitar 16% pasien anemia pada lansia yang tidak ditemukan penyebabnya walaupun telah dilakukan pemeriksaan secara menyeluruh, oleh karena itu pendekatan diagnostik anemia pada pasien lansia memerlukan waktu dan teknologi penunjang yang lebih. Pertimbangan klinis sangat menentukan langkah selanjutnya.21

    2003 Digitized by USU digital library 11

  • Pada tahun 2000 jumlah populasi lansia di negaranegara Eropa diperkirakan sekitar 20%, sedangkan di Amerika Serikat jumlah lansianya sekitar 11% dari seluruh populasi.14 Indonesia sebagai salah satu negara berkembang dengan keberhasilan pembangunannya, usia harapan hidup penduduknya meningkat dan ini dampaknya adalah bertambahnya jumlah lansia.11 Menurut laporan dari data demografi penduduk internasional yang dikeluarkan oleh Bureau Of The Cencus USA pada tahun 1993, bahwa Indonesia pada tahun 1990 sampai tahun 2025 akan mempunyai kenaikan lansia sekitar 414%. Angka ini merupakan yang paling tinggi di seluruh dunia.2,14 Laporan lain mengatakan bahwa pertambahan penduduk lansia di Indonesia diproyeksikan melebihi 20 juta orang dan ini sama dengan pertambahan lansia di Brazil. Bahkan pada tahun 2000 Indonesia merupakan negara urutan ke4 dengan jumlah lansia paling banyak sesudah Cina, India, dan Amerika Serikat. Keadaan ini akan mengakibatkan terjadinya perubahan struktur masyarakat Indonesia, dari masyarakat/populasi muda pada tahun 1971 menjadi populasi yang lebih tua pada tahun 2020. Piramida penduduk Indonesia berubah dari bentuk dengan basis lebar (fertilitas tinggi) menjadi piramida berbentuk kubah mesjid atau bawang (fertilitas dan mortalitas rendah). Pergeseran ini mengakibatkan perubahan dalam strategi pelayanan kesehatan, dengan lain perkataan lebih minta perhatian dan prioritas untuk penyakitpenyakit usia dewasa dan lansia. Untuk masalah lansia ini pemerintah dan masyarakat Indonesia memang telah memberikan perhatian tetapi masih berjalan lambat. Sedangkan Amerika Serikat telah memberikan perhatian yang cukup besar, ini terlihat dari penggunaan anggaran kesehatannya melebihi 30% hanya untuk orangorang lansia. 14

    3.2 Perumusan Masalah

    Adakah hubungan anemia dengan penyakit kronik pada lansia ?

    3.3 Hipotesa Proses infeksi kronik dan inflamasi kronik merupakan etiologi tersering dari anemia penyakit kronik

    3.4 Tujuan Penelitian Untuk mengetahui etiologi anemia penyakit kronik pada lansia

    3.5 Manfaat Penelitian Dengan mengetahui etiologi anemia penyakit kronik pada lansia, maka kita sebagai klinisi dapat lebih waspada dan mempertimbangkan apakah penderita lansia yang datang kepada kita telah menderita anemia penyakit kronik, sekaligus dapat memberikan terapi terbaik yang dapat kita berikan

    3.6 Bahan dan Cara Penelitian 3.6.1 Desain Penelitian

    Penelitian dilakukan dengan metode cross - sectional yang bersifat deskriptif analitik

    3.6.2 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dimulai bulan September 2002 s/d Januari 2003 Tempat penelitian RSUP H. Adam Malik Medan

    2003 Digitized by USU digital library 12

  • 3.6.3 Subjek Penelitian Orangorang lansia (Usia 60 tahun) dengan penyakit penyerta infeksi kronik (Infeksi paru: TB paru, Emfisema, Abses, Bronkiektasis; Infeksi saluran kemih kronik; Endokarditis bakterial; Infeksi jamur kronik, HIV), Inflamasi kronik (Artritis reumatoid, Osteoartritis, Lupus eritematosus sistemik/LES, Penyakit vaskular kolagen, Polimialgia, Penyakit chron), Penyakit jantung (kongestif dan iskemik), dan Penyakit hati kronik yang berobat jalan ke Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP H. Adam Malik Medan

    3.6.4 Kriteria Inklusi Semua lansia (Usia 60 tahun) dengan penyakit infeksi kronik (Infeksi Paru: TB paru, Emfisema, Abses, Bronkiektasis; Infeksi saluran kemih kronik; Endokarditis bakterial; Infeksi jamur kronik, HIV), Inflamasi kronik (Artritis reumatoid, Osteoartritis, Lupus eritematosus sistemik/LES, Penyakit vaskular kolagen, Polimialgia, Penyakit chron), Penyakit jantung (kongestif dan iskemik), dan Penyakit hati kronik.

    3.6.5 Kriteria eksklusi a. Lansia yang menderita penyakit infeksi kronik, inflamasi kronik, penyakit

    jantung dan penyakit hati kronik tetapi sedang dalam keadaan eksaserbasi akut

    b. Lansia yang menderita penyakit gagal ginjal dan tumor c. Tidak bersedia diikutkan dalam penelitian

    3.6.6 Prosedur Penelitian Seluruh peserta dilakukan pemeriksaan : a. Fisik diagnostik : anamnesis dan pemeriksaan fisik

    b. Laboratorium : hemoglobin, morfologi darah tepi, volume korpuskuler ratarata (MCV), besi serum (SI), mampu ikat besi (MIB = TIBC), jenuh transferin dan feritin serum

    3.6.7 Perkiraan besar sampel Rumus yang digunakan : n 1 = n 2 = (z 2 PQ + z P 1 Q1 + P2 Q2) 2

    ( P1 - P2 ) 2

    Dimana, z = 1,960 ; z = 0,842 ; P1 = 0,40; Q1 = (1 P1) = 0,60 P2 = 0,16 ; Q2 = (1 P2) = 0,84 ; P = (P1 + P2) = 0,28 Q = ( 1 P ) = 0,72

    Maka: n 1 = n 2 = (1,960 2 x 0,28 x 0,72 + 0,842 0,40 x 0,60 + 0,16 x 0,84) 2

    ( 0,40 0,16 ) 2

    = ( 1,960 x 0,6349 + 0,842 0,24 + 0,1344 ) 2

    0,0576

    = ( 1,2444 + 0,5151 ) 2

    0.0576

    = 3,0958 = 53,7465 ~ 54

    0,0576

    2003 Digitized by USU digital library 13

  • 3.6.8 Analisa data Pengelolaan data secara analitik. Uji kai kwadrat menguji antara masing masing variabel. Data diolah dengan memakai perangkat lunak komputer SPSS 10, dianggap bermakna bila nilai p < 0,05.

    3.7 HASIL PENELITIAN Pasien lansia penderita penyakit kronik yang ikut dalam penelitian ini sebanyak 60 orang, terdiri dari 43 orang (71,7 %) lakilaki dan 17 orang (28,3 %) wanita dengan usia ratarata 66,28 4,95 tahun, dimana usia termuda 61 tahun dan tertua 79 tahun. 3.7.1 Distribusi lansia menurut umur.

    Usia ratarata lakilaki adalah 66,58 5,22 tahun dan wanita 65,53 4,26 tahun. Secara uji statistik tidak ada perbedaan bermakna antara usia dengan jenis kelamin lansia (p : 0,463). (Tabel 1)

    Tabel 1 Distribusi lansia menurut usia

    Jenis Kelamin

    n X

    ( usia ) SD p

    Laki-laki

    43 66,58 5,22

    Wanita

    17 65,53 4,26

    0,463

    Uji T p : 0,463 3.7.2 Distribusi penyakit kronik pada lansia.

    Pasien lansia yang ikut dalam penelitian ini, sebagian besar menderita Penyakit Reumatik yaitu 58,3 %, diikuti oleh Penyakit Jantung 48,4 %, Hipertensi 33,4%, Diabetes melitus 18,4 %, Penyakit Paru 15,0 %, dan Hepatitis kronis 11,6 %. (Tabel 2)

    2003 Digitized by USU digital library 14

  • Tabel 2 Distribusi penyakit kronik pada lansia

    Jenis Kelamin

    Laki-laki Wanita

    J u m l a h No P e n y a k i t

    n % n % n %

    1

    Penyakit Reumatik (Osteoartritis,Artritis reumatoid, Spondiloartrosis, Spondilitis lumbalis)

    24 40,0 11 18,3 35 58,3

    2 Penyakit Jantung (Gagal jantung kongestif, PJK)

    22 36,7 7 11,7 29 48,4

    3 Hipertensi 13 21,7 7 11,7 20 33,4 4 Diabetes melitus 4 6,7 7 11,7 11 18,4

    5 Penyakit Paru (Emfisema paru, TB paru, Bronkitis kronis, Bronkiektasis)

    8 13,3 1 1,7 9 15,0

    6 Hepatitis kronis 5 8,3 2 3,3 7 11,6 7 Dislipidemia 5 8,3 2 3,3 7 11,6

    8 Pembesaran kelenjar prostat (BPH= Benign Prostate Hypertrophy)

    1 1,7 0 0,0 1 2,3

    9 Osteoporosis 0 0,0 1 1,7 1 1,7

    10 Struma nodular non-toknik (SNNT)

    1 1,7 0 0,0 1 1,7

    3.7.3 Distribusi beratringannya anemia menurut jenis kelamin. Dari 26 orang pasien lansia penderita penyakit kronik yang juga menderita anemia, ternyata 24 orang menderita anemia ringan (92,3%) terdiri dari 19 orang lakilaki (73,1%) dan 5 orang wanita (19,2%), 1 orang lakilaki menderita anemia sedang (3,9%) dan 1 orang wanita menderita anemia berat (3,9%). (Tabel 3)

    Tabel 3 Distribusi beratringannnya anemia menurut jenis kelamin .

    A N E M I A (Hb)

    Ringan 10 12 gr/dL

    Sedang 8 10 gr/dL

    Berat < 8 gr/dL

    J u m l a h Jenis Kelamin

    n % n % n % n % Laki-laki 19 73,1 1 3,9 0 0,0 20 77,0 Wanita 5 19,2 0 0,0 1 3,9 6 23,1 Ju m l a h 24 92,3 1 3,9 1 3,9 26 100

    2003 Digitized by USU digital library 15

  • 3.7.4 Hubungan antara terjadinya anemia pada lansia dengan jenis kelamin.

    Dari 60 orang pasien lansia penderita penyakir kronik yang ikut dalam penelitian ini, 25 orang menderita anemia penyakit kronik (41,7%) terdiri dari 20 orang lakilaki (33,3%) dan 5 orang wanita (8,3%) serta 1 orang wanita menderita anemia defisiensi besi (1,7%). Secara uji statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara terjadinya anemia pada lansia yang menderita penyakit kronik dengan jenis kelamin lansia tersebut (p : 0,161). (Tabel 4)

    Tabel 4 Hubungan antara terjadinya anemia pada lansia dengan jenis kelamin

    L A N S I A

    Dengan Anemia

    peny.kronik

    Dengan Anemia def. besi

    Dengan Penyakit kronik

    Non-anemia

    J u m l a h Jenis Kelamin

    n % n % n % n % Laki-laki 20 33,3 0 0,0 23 38,3 43 71,1 Wanita 5 8,3 1 1,7 11 18,3 17 28,3

    J u m l a h 25 41,7 1 1,7 34 56,7 60 100,0

    Uji Chi Square X2 : 3,655 df : 2 p : 0,161 3.7.5 Hubungan antara terjadinya anemia pada lansia dengan usia.

    Dari 25 orang lansia penderita anemia penyakit kronik, 12 orang (20,0%) berusia 6569 tahun , 8 orang (13,3%) berusia 6064 tahun, 3 orang (5,0%) berusia > 75 tahun, dan 2 orang (3,3%) berusia 7074 tahun. Sedangkan penderita anemia defisiensi besi ada 1 orang (1,7%) berusia 7074 tahun. Secara uji statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara terjadinya anemia pada lansia penderita penyakit kronik dengan usia lansia tersebut (p : 0,103). (Tabel 5)

    Tabel 5 Hubungan antara terjadinya anemia pada lansia dengan umur

    L A N S I A

    Dengan Anemia

    peny.kronik

    Dengan Anemia def. besi

    Dengan Penyakit kronik

    Non-anemia

    J u m l a h U s i a ( tahun )

    n % n % n % n % 60-64 8 13,3 0 0,0 17 28,3 25 41,7 65-69 12 20,0 0 0,0 11 18,3 23 38,3 70-74 2 3,3 1 1,7 4 6,7 7 11,7 75 3 5,0 0 0,0 2 3,3 5 8,3

    J u m l a h 25 41,7 1 1,7 24 56,7 60 100,

    0

    Uji Chi Square X 2 : 10,562 df : 6 p : 0, 103

    2003 Digitized by USU digital library 16

  • 3.7.6 Hubungan antara terjadinya anemia pada lansia dengan pekerjaan. Dari 25 orang lansia penderita anemia penyakit kronik, 19 orang (31,7%) mempunyai pekerjaan sebelumnya (pensiunan) sebagai pegawai, 4 orang (6,7%) sebagai ibu rumah tangga, sedangkan petani dan wiraswasta masingmasing 1 orang (3,4%). Lansia yang menderita anemia defisiensi besi (1,7%) pekerjaannya hanya sebagai ibu rumah tangga. Secara uji statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara terjadinya anemia pada lansia penderita penyakit kronik dengan pekerjaan lansia tersebut (p : 0,555). (Tabel 6)

    Tabel 6 Hubungan antara terjadinya anemia pada lansia dengan pekerjaan

    L A N S I A

    Dengan Anemia

    Peny.kronik

    Dengan Anemia

    Def. Besi

    Dengan Penyakit Kronik Non-

    Anemia

    J u m l a h No Pekerjaan

    n % n % n % n % 1 Pensiunan 19 31,7 0 0,0 23 38,3 42 70,0

    2 Ibu Rumah

    Tangga ( IRT ) 4 6,7 1 1,7 7 11,7 12 20,0

    3 Petani 1 1,7 0 0,0 1 11,7 2 3,3 4 Wiraswasta 1 1,7 0 0,0 3 5,0 4 6,7 J u m l a h 25 41,7 1 1,7 34 56,7 60 100

    Uji Chi Square X 2 : 4,914 df : 6 p: 0,555

    3.7.7 Penyebab anemia penyakit kronik pada lansia. Penyebab anemia penyakit kronik pada lansia yang ikut dalam penelitian ini adalah

    proses infeksi kronik (infeksi paru), inflamasi kronik (Osteoartritis, Artritis reumatoid), Penyakit jantung kongestif, Penyakit jantung koroner (PJK), dan Hepatitis kronik. (Tabel 7)

    Tabel 7 Penyebab anemia penyakit kronik pada lansia

    No Infeksi Kronik Inflamasi Kronik Lain-lain

    1 Infeksi paru: Emfisema paru,

    TB paru, Bronkitis kronis, Bronkiektasis

    Osteoartritis (OA) Penyakit jantung

    kongestif

    2 Artritis reumatoid

    (AR) Penyakit jantung

    koroner (PJK) 3 Hepatitis kronik

    3.7.8 Hubungan antara anemia pada lansia dengan gambaran klinis

    Dari 25 orang lansia penderita anemia penyakit kronik, ternyata 24 orang (92,3 %) tidak mempunyai keluhan, dan hanya 1 orang (3,9 %) yang mempunyai keluhan dan ini sama dengan lansia penderita anemia defisiensi besi (3,9 %) yang juga menunjukkan adanya keluhan dengan anemianya. Secara uji statistik tidak ada

    2003 Digitized by USU digital library 17

  • perbedaan yang bermakna gejala klinis anemia antara anemia penyakit kronik dengan anemia defisiensi besi (p : 0,77). (Tabel 8)

    Tabel 8 Hubungan antara anemia pada lansia dengan gejala klinis

    L A N S I A

    Dengan Anemia

    peny.kronik

    Dengan Anemia def. besi

    J u m l a h G e j a l a K l i n i s

    N % N % n % Tanpa gejala ( asimptomatik ) 24 92,3 0 0,0 24 92,3

    Dengan gejala 1 3,9 1 3,9 2 7,7

    J u m l a h 25 96,2 1 3,9 26 100,0

    Uji Fisher Exact p : 0,77 3.7.9 Hubungan antara gambaran morfologi darah tepi dengan anemia

    pada lansia. Gambaran morfologi darah tepi dari 25 orang lansia yang menderita anemia penyakit kronik adalah normositiknormokromik, dan seorang lansia penderita anemia defisiensi besi gambaran morfologi darah tepinya adalah mikrositikhipokromik. (Tabel 9)

    Tabel 9 Gambaran morfologi darah tepi pada lansia penderita anemia

    L A N S I A

    Dengan Anemia

    peny.kronik

    Dengan Anemia def. besi

    J u m l a h Gambaran Morfologi Darah Tepi

    N % n % n % Normositik Normokromik 25 96,2 0 0,0 25 96,2 Mikrositik - Hipokromik 0 0,0 1 3,9 1 3,9 Makrositik Normokromik 0 0,0 0 0,0 0 0,0

    J u m l a h 25 96,2 1 3,9 26 100,0

    3.7.10 Hubungan antara nilai laboratoriumdiagnostik untuk anemia

    penyakit kronik dengan jenis kelamin lansia. Hemoglobin ratarata pada lakilaki lansia adalah 12,15 0,915 gr/dL dan wanita 11,40 0,485 gr/dL. Secara uji statistik, tidak ada perbedaan bermakna antara hemoglobin lakilaki dan wanita pada lansia yang menderita anemia penyakit kronik (p : 0,093). Volume korpuskuler ratarata (MCV) pada lakilaki lansia adalah 81,40 18,21 fl dan wanita 85,20 3,96 fl. Secara uji statistik, tidak ada perbedaan bermakna antara volume korpuskuler ratarata lakilaki dan wanita pada lansia yang menderita anemia penyakit kronik (p : 0,767).

    2003 Digitized by USU digital library 18

  • Mampu ikat besi ( MIB = TIBC ) pada lakilaki lansia adalah 244,10 5,94 mug/dL dan wanita 232,60 11,78 mug/dL. Secara uji statistik, tidak ada perbedaan bermakna antara lakilaki dan wanita pada lansia yang menderita anemia penyakit kronik (p : 0,094). Feritin serum pada lakilaki lansia adalah 230,35 147,41 ng/mL dan wanita 223,00 112,84 ng/mL. Secara uji statistik, tidak ada perbedaan bermakna antara lakilaki dan wanita pada lansia yang menderita anemia penyakit kronik (p : 0,918). Besi serum (SI) pada lakilaki lansia adalah 42,75 3,46 mug/dL dan wanita 35,00 1,73 mug / dL. Secara uji statistik, ada perbedaan bermakna antara lakilaki dan wanita pada lansia yang menderita anemia penyakit kronik (p : 0,000). Jenuh transferin pada lakilaki lansia adalah 17,55 1,19 % dan wanita 15,20 1,30 %. Secara uji statistik, ada perbedaan bermakna antara lakilaki dan wanita pada lansia yang menderita anemia penyakit kronik (p : 0,001). (Tabel 10)

    Tabel 10 Hubungan antara nilai laboratorium diagnostik anemia penyakit kronik pada lansia dengan jenis kelamin

    Nilai Lab. Diagnostik

    n X SD p

    1 Hemoglobin ( gr / dL ) Laki-laki 20 12,15 0,915

    Wanita 5 11,40 0,485

    0,093 a)

    2 Volume korpuskuler rata-rata ( MCV ) ( fl )

    Laki-laki 20 81,40 18,21

    Wanita 5 85,20 3,96 0,767 b)

    3 Mampu ikat besi ( MIB = TIBC ) ( mug / dL ) Laki-laki 20 244,10 5,94

    Wanita 5 232,60 11,78

    0,094 a)

    4 Feritin serum ( ng/mL ) Laki-laki 20 230,35 147,41

    Wanita 5 223,00 112,84

    0,918 a)

    5 Besi serum ( SI ) ( mug/dL ) Laki-laki 20 42,75 3,46

    Wanita 5 35,00 1,73

    0,000 a)*

    6 Jenuh transferin ( % ) Laki-laki 20 17,55 1,19

    Wanita 5 15,20 1,30

    0,001 a)*

    Keterangan : a) Uji T

    b) Uji Mann Whitney a)* Signifikan

    BAB IV PEMBAHASAN

    Proses menua merupakan fenomena biologis universal yang ditandai dengan

    evolusi dan maturasi organisme secara progresif, dapat diperkirakan tetapi tidak dapat dielakkan hingga meninggal.13 Namun proses menua bukanlah sebuah proses biologis sederhana melainkan sebuah perubahan kompleks yang terjadi seiring

    2003 Digitized by USU digital library 19

  • dengan waktu pada setiap individu. Sejumlah perubahan yang terjadi selama proses menua berlangsung pada berbagai tingkat organisasi biologi, dari tingkat molekul, sel, organ sampai pada organisme. Perubahan pada satu tingkat tertentu mungkin mempengaruhi fungsi yang lain. Namun sampai dengan sekarang belum diketahui secara pasti pada tingkat organisasi biologi mana proses menua bermula, apakah pada tingkat molekul, sel, organ, atau organisme. Oleh karena itu proses menua masih merupakan suatu misteri kehidupan yang masih belum dapat diungkap dan mungkin merupakan suatu masalah yang paling sulit untuk dipecahkan. Menurut The Baltimore Longitudinal Study of Aging, proses menua dibedakan atas 2 bagian yaitu proses menua normal (primary aging) dan proses menua patologis (secondary aging). Proses menua normal merupakan suatu proses yang ringan (benign), ditandai dengan turunnya fungsi secara bertahap tetapi tidak ada penyakit sama sekali sehingga kesehatan tetap terjaga baik. Sedangkan proses menua patologis ditandai dengan kemunduran fungsi organ sejalan dengan umur tetapi bukan akibat umur bertambah tua, melainkan akibat penyakit yang muncul pada umur tua.1 Secara kronologis proses menua seseorang berbeda dari orang lain dan juga berbeda untuk masingmasing organ/sistem organ pada individu yang sama.Dikutip dari 13 Manusia berupaya dengan segala macam cara agar sedapat mungkin dapat menunda atau melambatkan jalannya proses menua, sehingga akan mengakibatkan menurunnya angka mortalitas.14 Di negaranegara maju usia harapan hidup penduduknya pada tahun 1995-2000 sudah mencapai 63,9 tahun, dan diperkirakan pada tahun 2020-2025 mencapai 75,4 tahun. Sedangkan di negaranegara sedang berkembang usia harapan hidup penduduknya pada tahun 19952000 mencapai 62,5 tahun, dan pada tahun 20202025 diharapkan sudah mencapai 69,6 tahun.14 Jepang merupakan negara yang mempunyai usia harapan hidup yang tertinggi di dunia, dimana pria dapat mencapai 76 tahun dan wanita 82 tahun.2 Di negaranegara sedang berkembang, usia harapan hidup seseorang yang dapat mencapai usia 60 tahun, ratarata 15 tahun. Ini artinya orang tersebut dapat mencapai usia rata rata 75 tahun.14 Pada penelitian kami ini, lansia yang ikut dalam penelitian berusia rata rata 66,28 4,95 tahun, dimana usia termuda 61 tahun dan tertua 79 tahun. Usia ratarata lakilaki adalah 66,58 5,22 tahun, sedangkan wanitanya 65,53 4,26 tahun. Secara uji statistik yang kami lakukan memang tidak ada perbedaan usia yang bermakna antara lansia lakilaki dan wanita, tetapi kami melihat usia harapan hidup penduduk kita sebagai salah satu negara berkembang menunjukkan peningkatan.

    Menurut Agate, kaum lansia merupakan tenaga kerja yang handal dan berpengalaman, lebih dapat dipercaya (reliable), lebih teliti (more accurate) dan jarang mangkir kerja. Bahkan menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) tenaga kerja lansia merupakan tenaga yang setara dengan tenaga muda, malahan dinyatakan merupakan gudang kebijaksanaan dan contoh dalam sikap etika. Namun di Indonesia saat ini golongan lansia masih berkualitas rendah, dimana 71,2% belum pernah mengalami pendidikan formal (tidak pernah sekolah) terutama kaum wanitanya, khususnya di daerah pedesaan. Penyebabnya adalah sisasisa penjajahan jaman dulu. Banyak diantara mereka merupakan tenaga kerja tidak terlatih (unskilled worker)

    Di daerah perkotaan pekerja profesional pada lakilaki lansia 21,2% dan wanitanya 7,5%, sedangkan di pedesaan pekerja profesional lakilaki lansia hanya 4,2% dan wanita 0,7%.12 Keadaan ini didukung dari suatu hasil studi mengenai komunitas lansia di Jawa Tengah pada tahun 1991 mengenai pekerjaan lansia, ditemukan sebagian besar lansia mempunyai pekerjaan sebagai tenaga tidak terlatih dan hanya sedikit yang bekerja sebagai tenaga profesional.14 Padahal menurut penelitian BoedhiDarmojo tentang lansia di Kodya Semarang, bahwa tingkat pendidikan seorang lansia berbanding positif langsung dengan tingkat kesehatan

    2003 Digitized by USU digital library 20

  • lansia.14 Pada penelitian kami ini sebagian besar lansia (70,0%) mempunyai pekerjaan sebelumnya sebagai pegawai (pensiunan), berwiraswasta 6,7%, petani 3,3%, sedangkan 20% hanya sebagai ibu rumah tangga. Kami juga mencoba menghubungkan apakah seorang lansia yang mempunyai pekerjaan lebih baik mempunyai kecenderungan lebih kecil untuk menderita anemia, ternyata hasilnya adalah tidak. Artinya setiap lansia yang menderita penyakit kronik mempunyai kesempatan yang sama besar untuk menderita anemia dan tidak ada hubungannya dengan pekerjaan lansia tersebut. Perubahan yang berhubungan dengan proses menua normal sebagian besar merupakan akibat kehilangan atau penurunan secara bertahap. Kehilangan tersebut sebenarnya sudah dimulai sejak awal usia muda, tetapi pada sebagian besar sistem organ kehilangan tersebut baru bermakna secara fungsional setelah terjadi kehilangan yang besar. Secara umum digunakan hukum 1% artinya sebagian sistem organ mengalami kehilangan atau penurunan fungsi 1% setiap tahun, dimulai sejak usia 30 tahun.1 Penyakitpenyakit yang diderita lansia kebanyakan bersifat endogenik, multipel, kronik, bersifat/bergejala atipik, tanpa menyebabkan imunitas malahan menjadi lebih rentan terhadap penyakit/komplikasi yang lain.14 Abnormalitas sistem imun memberikan konstribusi pada sebagian besar penyakit akut dan kronik pada lansia.60 Oleh karena itu diagnosis haruslah ditegakkan dengan sangat cermat dan hatihati. Dari suatu hasil penelitian mengenai lansia (usia 60 tahun ke atas) yang dilakukan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) bersama dengan 4 negara Asia Tenggara termasuk Indonesia pada tahun 1990, penyakit artritis/reumatik menempati peringkat pertama yaitu 49,0%.11 Pada penelitian ini, ternyata penyakit yang paling banyak diderita lansia adalah juga penyakit reumatik/artritis yaitu 58,3%, diikuti oleh penyakit jantung 48,4%, hipertensi 33,4%, diabetes melitus 18,4%, penyakit paru 15,0%, hepatitis kronik dan dislipidemia masingmasing 11,6%, pembesaran kelenjar prostat (BPH) 2,3%, sedangkan osteoporosis dan struma nodular nontoksik (SNNT) masingmasing 1,7%. Anemia merupakan ekspresi kompleks gejala klinis dari suatu penyakit yang mempengaruhi mekanisme eritopoesis (produksi eritrosit), perdarahan, atau penghancuran eritrosit.18 Anemia sering dijumpai pada lansia, namun tingginya prevalensi anemia pada lansia bukanlah disebabkan karena usia yang bertambah tua.25 Dari hasil penelitian Gerbrand Izaks dkk, prevalensi anemia pada lakilaki lansia adalah 2740%, sedangkan wanita 1620%.26 Sebagai penyebab tersering anemia pada orang orang lansia adalah anemia penyakit kronik yaitu sekitar 3045%, diikuti oleh anemia defisiensi besi 1530%.5,22 Pada penelitian ini, dari 60 orang lansia yang ikut dalam penelitian 26 orang (43,3%) menderita anemia, terdiri dari 20 orang lakilaki (33,3%) dan 6 orang wanita (10,0%). Pada lakilaki penyebab anemia kebanyakan adalah anemia penyakit kronik (33,3%), sedangkan yang menderita anemia defisiensi besi tidak ada dijumpai. Pada wanita penyebab anemianya adalah anemia penyakit kronik (8,3%) dan anemia defisiensi besi (1,7%). Namun pada penelitian ini, kami tidak melihat adanya hubungan bahwa lansia lakilaki penderita penyakit kronik mempunyai kecenderungan untuk menderita anemia dibandingkan wanitanya yang juga penderita penyakit kronik. Prevalensi anemia pada lansia meningkat secara signifikan setelah usia 75 tahun.7 Dari suatu studi juga dilaporkan bahwa insidensi anemia pada lansia yang berusia 6574 tahun adalah 12%, dan yang berusia di atas 84 tahun meningkat menjadi 13% per tahun.21 Pada penelitian ini, lansia yang paling banyak menderita anemia berusia antara 6569 tahun (20%), diikuti oleh lansia yang berusia antara 6064 tahun (13,3%), kemudian usia antara 7074 dan berusia 75 tahun masing masing 5,0%. Namun pada penelitian ini, kami juga tidak melihat adanya hubungan bahwa lansia yang lebih tua penderita penyakit kronik, mempunyai resiko yang lebih

    2003 Digitized by USU digital library 21

  • besar untuk menderita anemia dibandingkan dengan lansia yang lebih muda penderita penyakit kronik. Anemia penyakit kronik merupakan anemia yang paling sering dijumpai pada lansia dan juga sering dijumpai di praktek kita seharihari.5,44 Di Amerika Serikat, anemia penyakit kronik ini merupakan jenis anemia terbanyak ke dua pada orang dewasa.29 Anemia penyakit kronik dapat disebabkan oleh beberapa penyakit/kondisi, antara lain infeksi kronik (infeksi paru, endokarditis bakterial, dll), inflamasi kronik (osteoartritis, artritis reumatoid, lupus eritematosus sistemik, dll), lainlain (penyakit hati alkaholik, gagal jantung kongestif, dan penyakit jantung iskemik), dan idiopatik.5,29,31,32,36,37,40-43 Pada penelitian ini, penyebab anemia penyakit kronik pada lansia adalah infeksi kronik (infeksi paru antara lain emfisema paru, TB paru, bronkitis kronis, dan bronkiektasis), inflamasi kronik antara lain osteoartritis dan artritis reumatoid, dan lainlain yaitu penyakit jantung kongestif, penyakit jantung koroner serta hepatitis kronik. Pada anemia penyakit kronik, beratringannya anemia berbanding lurus dengan aktivitas penyakit, tetapi anemianya jarang bertambah berat atau hemoglobinnya jarang di bawah 10 g/dL.5,51 Kita harus lebih waspada bila seorang lansia datang dengan penyakit kronik, oleh karena kemungkinan lansia tersebut juga telah menderita anemia. Gejala klinis dari anemia penyakit kronik sering tertutupi oleh gejala klinis dari penyakit yang mendasari (asimptomatik),29,32,49 tetapi pada pasienpasien lansia oleh karena adanya penyakit vaskular degeneratif kemungkinan akan dapat ditemukan gejalagejala lekas lelah, lemah, klaudikasio intermiten, muka pucat, palpitasi, angina pektoris dan gangguan serebral.5,15,50 Pada penelitian ini, sebagian besar (92,3%) lansia yang menderita anemia penyakit kronik tidak mempunyai keluhan (asimptomatik) dan hanya 3,9% yang mempunyai gejala klinis. Keluhannya yaitu lekas lelah dan muka pucat. Sedangkan pada lansia yang menderita anemia defisiensi besi mempunyai gejala klinis berupa vertigo, lekas lelah, muka pucat, takikardi dan konjungtiva pucat. Munculnya gejala klinis pada pasien lansia yang menderita anemia penyakit kronik dan anemia defisiensi besi kemungkinan ada hubungannya dengan beratringannya anemia yang dialami oleh lansia tersebut atau dengan perkataan lain tidak ada perbedaan gambaran klinis antara anemia penyakit kronik dengan anemia defisiensi besi pada derajat anemia (beratringan) yang sama. Untuk mengetahui seorang lansia penderita penyakit kronik telah menderita anemia, pemeriksaan laboratorium diagnostik untuk anemia penyakit kronik memang sangat membantu. Oleh karena selain dari pada penderita anemia penyakit kronik umumnya tidak mempunyai keluhan (asimptomatik) dan secara pemeriksaan fisik diagnostik juga tidak ada ditemukan gambaran yang karakteristik dari anemianya, pasienpasien lansia pada umumnya juga keluhankeluhannya tidak khas dan jelas, atipik dan tidak jarang keluhannya tidak ada (asimptomatik). Pada penelitian ini, dari beberapa pemeriksaan laboratorium yang dilakukan kami mendapatkan hasil sebagai berikut: 1. Gambaran morfologi darah tepi anemia penyakit kronik biasanya adalah

    normositiknormokromik atau mikrositik ringan, sedangkan anemia defisiensi besi adalah mikrositikhipokromik.5,32,58,59 Pada penelitian ini, semua lansia yang menderita anemia penyakit kronik gambaran morfologi darah tepinya juga adalah normositiknormokromik dan pada lansia yang menderita defisiensi besi mikrositikhipokromik.

    2. Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan batasan anemia, dimana untuk wanita hemoglobin di bawah 12 gr/dL dan pria di bawah 13 gr/dL.26 Pada anemia penyakit kronik hemoglobinnya berkisar 711 gr/dL.32 Pada penelitian ini, hemoglobin ratarata lakilaki lansia penderita anemia penyakit kronik adalah 12,15 0,915 gr/dL dan wanita 11,40 0,485 gr/dL.

    2003 Digitized by USU digital library 22

  • 3. Volume korpuskuler ratarata (MCV) pada anemia penyakit kronik adalah normal atau menurun sedikit ( 80 fl).29,32 Pada penelitian ini volume korpuskuler ratarata lakilaki lansia penderita anemia penyakit kronik adalah 81,40 18,21 fl dan wanita 85,20 3,96 fl.

    4. Mampu ikat besi (MIB = TIBC) pada anemia penyakit kronik adalah < 250 mug/dL.5 Pada penelitian ini, mampu ikat besi ratarata lakilaki lansia penderita anemia penyakit kronik adalah 244,10 5,94 mug/dL dan wanita 232,60 11,78 mug/dL.

    5. Feritin serum pada anemia penyakit kronik adalah normal atau meninggi (> 100 ng/mL).5,32 Pada penelitian ini, feritin serum lakilaki lansia penderita anemia penyakit kronik adalah 230,35 147,41 ng/mL dan wanita 223,00 112,84 ng/mL.

    6. Besi serum (SI) pada anemia penyakit kronik adalah menurun (< 60 mug/dL).5,32 Pada penelitian ini, besi serum ratarata lakilaki lansia penderita anemia penyakit kronik adalah 42,75 3,46 mug/dL dan wanita 35,00 1,73 mug/dL.

    7. Jenuh transferin pada anemia penyakit kronik adalah menurun (< 20%).5,32 Pada penelitian ini, jenuh transferin ratarata lakilaki lansia penderita anemia penyakit kronik adalah 17,55 1,19% dan wanita 15,20 1,30%.

    Dari seluruh pemeriksaan laboratorium diagnostik untuk anemia penyakit kronik yang kami lakukan, pada umumnya tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara laki laki dan wanita lansia penderita penyakit kronik, kecuali besi serum dan jenuh transferin pada lakilaki lansia menunjukkan perbedaan yang signifikan dibandingkan wanita lansia. Namun secara keseluruhan, pemeriksaan laboratorium diagnostik untuk anemia penyakit kronik yang tersebut di atas memang sangat membantu kami didalam menegakkan diagnosis anemia penyakit kronik pada lansia.

    BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

    5.1 KESIMPULAN 5.1.1 Anemia penyakit kronik sering ditemukan pada orangorang lansia yang

    menderita penyakit kronik, dimana pada penelitian ini mencapai 41,7%. 5.1.2 Munculnya anemia penyakit kronik pada seorang lansia penderita penyakit kronik

    tidak ada hubungannya dengan umur, jenis kelamin, ataupun pekerjaan dari lansia tersebut.

    5.1.3 Sebagian besar (92,3%) lansia yang menderita anemia penyakit kronik tidak mempunyai gejala klinis (asimptomatik).

    5.1.4 Pemeriksaan laboratorium diagnostik, seperti morfologi darah tepi, volume korpuskuler rata rata (MCV), besi serum (SI), mampu ikat besi (MIB = TIBC), jenuh transferin dan feritin serum sangat membantu di dalam menegakkan diagnosis anemia penyakit kronik pada lansia.

    5.1.5 Besi serum dan jenuh transferin mempunyai perbedaan yang bermakna antara lakilaki dan wanita lansia penderita anemia penyakit kronik.

    5.1.6 Penyakit reumatik merupakan penyakit yang paling banyak diderita orangorang lansia (58,3%), diikuti oleh penyakit jantung (48,4%), dan hipertensi (33,4%).

    5.2 SARAN 5.2.1 Perhatian kita sebagai klinisi terhadap lansia, khususnya pada lansia penderita

    penyakit kronik perlulah lebih kita tingkatkan.

    2003 Digitized by USU digital library 23

  • 5.2.2 Perlu penelitian lanjutan untuk mencari penyebab terjadinya perbedaan yang signifikan dari besi serum dan jenuh transferin pada lakilaki lansia dibandingkan wanita lansia penderita anemia penyakit kronik.

    Kepustakaan Abdulmuthalib, Atmakusuma Dj. Penatalaksanaan Anemia Pada Pasien Dengan

    Kemoterapi. Dalam: Setiati S, Alwi I, Kasjmir YI, Atmakusuma D, Lydia A, Syam AF, editor. Current Diagnosis and Treatment in Internal Medicine. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2001. p. 12732

    Anemia Chronic Disease. Available from: Medical Encyclopedia http : // www. nlm. nih . gov / medlineplus / ency / article / 000565. htm

    Anemia in Elderly Indicates Underlying Disease. Available from : Doctors Guide. 1999 May 11. http : // www. psl group. Com / dg / FD07 . htm

    Ania BJ, Suman VJ, Fairbanks VF, Melton LJ. Prevalence of Anemia in Medical Practice: Community versus referal patients. Mayo Clin Proc 1994 Aug; 69 (8): 8089

    BitShawish H, Mosley JE. Anemia of Chronic Disease. In: Anemia in The Elderly. Available from: Anemia in The Elderly, www. cyberounds . com

    BoedhiDarmojo R, Pranarka K. Geriatri dan Gerontologi di Indonesia. Dalam: Suyono HS, Waspadji S, Lesmana L, Alwi I, Setiati S, Sundaru H et al, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. ed 3. Jilid II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2001. p. 24952

    BoedhiDarmojo R. Demografi dan Epidemiologi Populasi Lanjut Usia. Dalam: Boedhi-Darmojo R, Martono HH, editor. Buku Ajar Geriatri. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.1999. p. 3555

    BoedhiDarmojo R. Gerontologi Sosial. Masalah Sosial dan Psikologik Golongan Lanjut Usia. Dalam: BoedhiDarmojo R, Martono HH, editor. Buku Ajar Geriatri. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 1999. p. 1434

    BoedhiDarmojo R. Teori Proses Menua. Dalam: BoedhiDarmojo R, Martono HH. Buku Ajar Geriatri. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 1999. p. 313

    Bunch C. The Blood in Systemic Disease. In: Lim KJ, Mustaffa BE, Karim MS, Wang F, Deva MP, Zainal N, editors. Medicine International. far east ed. The Medicine Publishing Company Ltd 2000; 00 (2): 868

    Cohen HJ, Crawford J. Hematologic Problems. In: Calkins E, Davis PJ, Ford AB, editors. The Practice of Geriatrics. Philadelphia: WB Saunders Company. 1986. p. 51931

    Cuthbert RJG, Ludlam CA. Haematological Changes in Systemic Disease. In: Ludlam CA, editor. Clinical Haematology. low priced ed. ELBS. 1992. p . 30121

    Effendy S, Abdulmuthalib. Pendekatan Diagnosis dan Pengobatan Anemia. Dalam: Alwi I, Setiati S, Sudoyo AW, Bawazier LA, Kasjmir YI, Mansjoer A, editor. Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UI. 2001. p . 6374 ParkerWilliams. Investigation and Management of Anaemia. In: Lim KJ, Mustaffa BE, Kasim MS, Wang F, Deva MP, Zainal N, editors. Medicine International. far east ed. The Medicine Publishing Company Ltd. 2000; 00 (2): 1420

    Ersley AJ. Anemia of Chronic Disease. In: Beutler E, Lichtman AM, Coller SB, Kipps JT, Seligsohn U, editors. Williams Hematology. 6 th ed. vol 1. New York: Mc Graw Hill. 2001. p. 4817

    2003 Digitized by USU digital library 24

  • Fairbanks VF, Beutler E. Iron Deficiency. In: Beutler E, Lichtman AM, Coller SB, Kipps JT, Seligsohn U, editors. Wlliams Hematology. 6 th ed. vol 1. New York: Mc Graw Hill. 2001. p. 44770

    Firkin F, Penington D, Chesterman C, Rush B. Anaemia in Systemic Disorders, Diagnosis in Normochromic Normocytic Anaemias. In: de Gruchys Clinical Haematology in Medical Practice. 5 th ed. Blackwell Scientific Publication. 1989. p. 3845

    Fitzsimons EJ, Brock JH. The Anaemia of Chronic Disease. BMJ 2001 April 7; 322: 8112

    Goldstein ML. Hematologic Disorders in The Elderly. In: Rossman I, editor. Clinical Geriatrics. third ed. London: JB Lippincott Company. 1986. p . 38891

    Goodnough, Skikne B, Brugnara C. Erythropoetin, Iron and Erythropoiesis. Blood 2000 August 1; 96 (3): 82333

    Haen PJ. Iron Deficiency Anemia. In: Principles of Hematology. Wm C Brown Publishers. 1995. p. 11725

    Haen PJ. Other MicrocyticHypochromic Anemias. In: Principles of Hematology. Wm C Brown Publishers. 1995. p . 12639

    Hillman RS. Iron Deficiency and Other Hypoproliferatife Anemias. In: Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, Wilson JD, Martin JB, Kasper DL et al, editors. Harrisons Principles of Internal Medicine. 14 th ed. vol 1. New York: Mc Graw Hill. 1998. p . 63845

    Hoffbrand AV, Pettit JE. Anaemia Defisiensi Besi dan Anaemia Hipokrom Lain. Dalam: Kapita Selekta Haematologi. ed 2. EGC. 1996. p . 2945

    HughesJones NC, Wickramasinghe. Anemia dan Polisitemia: Pengertian Umum. Dalam: Santoso K, editor. Catatan Kuliah Hematologi. ed 5. Jakarta: EGC. 1994. p .1524

    Hutton RD. Assesment of Patient With Anaemia. In: Ludlam CA, editor. Clinical Haematology. low priced ed. ELBS. 1992. p. 310

    Intragumtornchai T, Rojnukkarin P, Swasdikul D, Vajanamarhutue C, Israsena S. Anemias in Thai Patients with Cirrhosis. International Journal of Hematology 1997; 65: 365 - 73

    Isbagio H, Setiati S. Proses Menua, Teori dan Implikasi Klinisnya. Dalam: Suyono HS, Waspadji S, Lesmana L, Alwi I, Setiati S, Sundaru H et al, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. ed 3. Jilid II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2001. p . 25763

    Isbister JP, Pittglio DH. Anemia. Dalam: Hematologi Klinik. Jakarta: Hipokrates. 1999. p. 3845

    Joosten E, Pelemans W, Hiele, et al. Prevalence and Causes of Anaemia in Geriatric Hospitalized Population. Gerontology 1992; 38 (12): 1117

    Kane RL, Ouslander JG, Abrass IB. Anemia. In: Essentiale of Clinical Geriatrics. New York: Mc Graw Hill. 1984. p . 20911

    Koury MJ. The Anemia of Chronic Disease: TNF involvement in erythroid apoptosis. Blood 2002 July 15; 100 (2): 12

    Kumar P, Clark M. Anaemia of Chronic Disease. In: Clinical Medicine. third ed. ELBS. 1994. p . 303

    Leonardo Sa, Papelbaum M. Anemia of Chronic Disease. Available from : Hematology http : // www . medstudents . com . br / hemat / hemat 5 . htm

    Linch DC, Yates AP, Watts MJ. Classification of Anaemia. In: Haematology. New York: Churchil-Livingstone. 1996. p . 3

    Linker CA. Anemia of Chronic Disease. In: Tierney LM, Mc Phee SJ, Papadokis MA, editors. Current Medical Diagnosis & Treatment. 38 th ed. Appleton & Lange. 1999. p . 487 8

    2003 Digitized by USU digital library 25

  • Lorig K, Holman H. Self Management Education. Context, Defenition, Outcomes and Mechanisme. Available from: http : // www. stanford . edu / group / perc lorig @ leland . stanford . edu

    Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W. Anemia Pada Penyakit Kronik. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran. ed 3. Jilid I. Jakarta: Media Aesculapius FKUI. 2001. p. 5489

    Means RT. The Anemia of Chronic Disorders. In: Lee Gr, Foerster J, Lukens J, Paraskevas F, Greer J, Rodgers GM, editors. Wintrobes Clinical Hematology. 10 th ed. vol 2. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 1999. p . 1011 21

    Miller KB. Hematologic Disease and Cancer. In: Harrington JT, editor. Consultation in Internal Medicine. St Louis: Mosby. 1997. p . 42948

    Mori M. Anemia in The Elderly. Asian Med Journal 1992; 35 (4): 20913 Moya CE, Shah S, Sodeman TM. Eritrosit. Dalam: Suyono J, editor. Sodeman

    Patofisiologi. ed 7. Jilid II. Jakarta: Hipokrates. 1995. p . 30444 Provan D, OShaughnessy DF. Recent Advances in Haematology. BMJ 1999 April 10;

    318: 9913 S Kar A. Anaemia Pada Penyakit Kronis. Dalam: Pedoman Kuliah Mata Pelajaran

    Hematologi Klinik. 1995. p . 41 S Kar A. Diagnosis dan Manajemen Anemia. Dalam: Zain LH, Siregar GA, Isnanta R,

    Zulkhairi, Anam I, Lardo S, editor. Buku Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) IV Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUSU. Medan: 2003. p. 45-54

    S Kar A. Profil pasien anemia di ruang rawat inap RSUP H.Adam Malik Medan. MKI. In press 2003.

    Saba HI. Anemia in Cancer Patients: Introduction and Overview. Available from: File : // C : \ My Documents \ CRA 1. htm

    Salive ME, CornoniHuntley J, Gurdlnik JM, et al. Anemia and Hemoglobin Levels in Older Persons: Relationship With Age, Gender, and Health Status. J Am Geriatr Soc 1992 May; 40 (5): 48996

    Sastroasmoro S, Ismael S. DasarDasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: Binarupa Aksara. 1995.

    Sears DA. Anemia of Chronic Disease. Available from: PMID 1578957 (PubMed indexed for Medline)

    Sheth TN, Choudhry NK, Bowes M, Detsky A. The Relation of Conjunctival Pallor to The Presence of Anemia. J Gen Intern Med 1997 Feb; 12 (2): 1026

    Smith DL. Anemia of Chronic Disease. In: Anemia in Elderly. American Family Physician 2000 October 1; 62 (7): 110

    Soejono CH, Setiati S, Hakim L, Bahar A. Kekhususan Manifestasi Penyakit Pada Geriatri. Dalam: Suyono HS, Waspadji S, Lesmana L, Alwi I, Setiati S, Sundaru H et al, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. ed 3. Jilid II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2001. p . 27085

    Soejono CH. Anemia Pada Pasien Geriatri. Dalam: Alwi I, Setiati S, Sudoyo AW, Bawazier LA, Kasjmir YI, Mansjoer A, editor. Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2001. p. 7580

    Spivak JL. Anemia Associated With Systemic Disease. In: Stabo JD, Hellmann DB, Ladenson PW, Petty BG, Traill TA, editors. The Principles and Practice of Medicine. 23 th ed. StamfordConnecticut: Appleton & Lange. 1996. p. 7303

    Suharti CP, Soenarto. Kelainan Hematologi Pada Usia Lanjut. Dalam: BoedhiDarmojo R, Martono HH, editor. Buku Ajar Geriatri. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 1999. p. 22941

    Supandiman I. Anemia Pada Penyakit Kronik. Dalam: Suyono HS, Waspadji S, Lesmana L, Alwi I, Setiati S, Sundaru H et al, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. ed 3. Jilid II Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2001. p. 5156

    2003 Digitized by USU digital library 26

  • Supandiman I. Anemia. Dalam: Hematologi Klinik. Bandung: Penerbit Alumni. 1997. p . 17

    Supartondo, Soejono CH. Pendekatan Klinis Pada Pasien Geriatri. Dalam: Suyono HS, Waspadji S, Lesmana L, Alwi I, Setiati S, Sundaru H et al, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. ed 3. Jilid II. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2001. p. 2649

    Urabe A. Establishing Diagnosis of Anemia. Asian Med Journal 1999; 42 (2): 5155 Waterbury L. Anemia dengan MCV Normal dengan Indeks Retikulosit Rendah yang

    tidak sesuai. Dalam: Buku Saku Hematologi. ed 3. Jakarta: EGC. 1998. p. 6477

    Wibisono BH, Hadisaputro S. Aspek Imunologik Pada Usia Lanjut. Dalam: BoedhiDarmojo R, Martono HH. Buku Ajar Geriatri. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 1999. p. 56-72

    2003 Digitized by USU digital library 27

    BEBERAPA ASPEK ANEMIA PENYAKIT KRONIK PADA LANJUT USIABAB IBAB IITINJAUAN KEPUSTAKAAN

    Salah satu tolak ukur kemajuan suatu bangsa seringkali dilihat dari usia harapan hidup penduduknya. Demikian juga dengan Bangsa Indonesia sebagai suatu negara berkembang dengan perkembangannya yang cukup baik, maka harapan hidup penNegaranegara maju di Eropa dan Amerika menganggaNoPenyakit/KeluhanNoHipokromik

    MCHC 30-35 g/lDefisiensi besiHemolitik

    Tabel 5 Etiologi anemia penyakit kronik 5,29,31,32,36,37,40-43Artritis reumatoidDemam reumatikAbses sterilBAB III

    3.7 HASIL PENELITIAN

    NoP e n y a k i tJu m l a h

    J u m l a hJ u m l a hPensiunanJ u m l a h

    NoHubungan antara anemia pada lansia dengan gambaran klinis

    G e j a l a K l i n i sL A N S I A

    J u m l a h

    Gambaran MorfologiDarah TepiL A N S I A

    J u m l a hHubungan antara nilai laboratoriumdiagnostik unt

    No

    BAB IVBAB V

    KESIMPULAN DAN SARANKepustakaan