aspek hukum.doc
TRANSCRIPT
Kata pengantar
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada saya sehingga saya
berhasil menyelesaikan Makalah ini yang alhamdulillah tepat pada
waktunya yang berjudul “Aspek Hukum Inform Concent”.Makalah ini
berisikan tentang inform concent atau yang lebih khususnya
membahas penerapan komunikasi antara dokter dan pasien,
Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita
semua tentang Aspek Hukum Inform Concent.
Saya menyadari bahwa dalam makalah ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang
bersifat membangun selalu saya harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.
Akhir kata, saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang
telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal
sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha
kita. Amin.
Pangkep,03 Januari 2013
Penyusun
Bab IPendahuluan
Informed Consent” terdiri dari dua kata yaitu “informed” yang
berarti telah mendapat penjelasan atau keterangan (informasi), dan
“consent” yang berarti persetujuan atau memberi izin. Jadi
“informed consent” mengandung pengertian suatu persetujuan
yang diberikan setelah mendapat informasi. Dengan demikian
“informed consent” dapat didefinisikan sebagai persetujuan yang
diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan
mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya
serta resiko yang berkaitan dengannya.
Menurut D. Veronika Komalawati, SH , “informed consent”
dirumuskan sebagai “suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas
upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya setelah
memperoleh informasi dari dokter mengenai upaya medis yang
dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai informasi
mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.
Di Indonesia perkembangan “informed consent” secara yuridis
formal, ditandai dengan munculnya pernyataan Ikatan Dokter
Indonesia (IDI) tentang “informed consent” melalui SK PB-IDI No.
319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan
PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang “Persetujuan Tindakan
Medik atau Informed Consent”. Hal ini tidak berarti para dokter dan
tenaga kesehatan di Indonesia tidak mengenal dan melaksanakan
“informed consent” karena jauh sebelum itu telah ada kebiasaan
pada pelaksanaan operatif, dokter selalu meminta persetujuan
tertulis dari pihak pasien atau keluarganya sebelum tindakan
operasi itu dilakukan.
Hak asasi manusia untuk hidup sehat yang dicanangkan
oleh masyarakat internasional sudah tumbuh menjadi tekad bangsa-
bangsa di Dunia untuk meyelengarakan kehidupan manusia yang
sejahtera, oleh karena itu istilah keseahtan harus diartikan “
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan social
yang memungkinkan setiap orang hidup proaktif secara social dan
ekonomi.
Tuntutan hak asasi manusia dibidang kesehatan mengubah
kedudukan pasien (patient rights) yang semula bersifat asimetris
karena kecendrungan professional yang mengutamakan efesiensi
professional, pasien dianggap orang sakit tanpa diperhitungkan
dalam arti dilupakan kedudukanya sebagai manusia yang
mempunyai hak asasi kesehatannya, sementara Menurut
pandangan paternalistik, hubungan anatara dokter dengan pasien,
dimana dokter berperan sebagai orang tua dari pasien dan
keluarga, segala informasi, keputusan, dan tindakan medis terhadap
pasien sepenuhnya ditangan dokter.
Hal ini berkaitan juga kecendrungan penayalahgunaan profesi
kesehatan yang didorong oleh kepentingan sumber mencari nafkah
melalui ilmu pengetahuan kesehatan yang cendrung mengorbankan
nilai-nilai etika menyimpang dari dalil hipokrates bahwa ilmu
kedokteran adalah ilmu yang mulia, yang seharusnya kelompok
professional altrustik untuk mementingkan kesejahteraan orang lain
ditas kepentingannya sendiri. .
Pelaksanaan informed concent wajib hukumnya bagi dokter
dan perawat, jika kewajiban informed concent ini diabaikan akan
dapat merugikan salah satu pihak, baik dokter maupun pasien, apa
bila pasien tidak puas dengan informasi yang diterima tentang
barbagai aspek penyakit mereka, atau dokter menganggap
informed concent merupakan suatu tugas yang dianggap sukar
untuk dikerjakan, maka akan mengakibatkan terjadinya tuntutan
hukum, terhadap dokter selaku penyelenggara pelayanan
kesehatan.
Bab IIPembahasan
1) pengertian informed concent
Informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan
komunikasi yang efektif antara dokter dengan pasien dan
bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak
akan dilakukan terhadap pasien. Informed consent dilihat dari aspek
hukum bukanlah sebagai perjanjian antara dua pihak, atau
perjanjian yang bersifat khusus, karena dalam pelayanan
kesehatan, dokter tidak bisa menjanjikan sesuatu dalam upaya
penyembuhan seseorang, akan tetapi seorang dokter akan selalu
berupaya semaksimal mungkin menurut standar pelayanan dan
keilmuan tertinggi yang dimiliki oleh dokter tersebut dalam upaya
penyembuhan dan penyelamatan nyawa seseorang, karena setiap
tindak dalam pelayanan kesehatan mengandung resiko, maka dari
itu informed concent lebih cendrung kearah persetujuan sepihak
atas layanan yang ditawarkan pihak lain.
Informed concent terdidri atas dua suku kata yaitu informed
dan concent, informed bearti telah diberitahukan, telah disampaikan
atau telah diinformasikan sedangkan concent bearti persetujuan,
dengan demikian informed concent dalam profesi kedokteran
adalah persetujuan yang diberikan pasien atau keluarga pasien
terhadap pelayanan kesehatan yang akan dijalani oleh seorang
pasien, setelah pasien tersebut mendapatkan informasi
( penjelasan) yang lengakap dari dokter yang akan melakukan
tindakan tersebut.
2) Aspek Hukum Inform Concent
Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa
tindakan medis (dokter, dan pasien) bertindak sebagai “subyek
hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban,
sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni
sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek
hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan yang
akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja
maupun oleh dua pihak.
Dalam masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa
tindakan medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik
Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat
melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum
pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat
diterapkan.
Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum
perdata, tolok ukur yang digunakan adalah “kesalahan kecil” (culpa
levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam tindakan medis
yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada
hukum perdata secara umum berlaku adagium “barang siapa
merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi”.
Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang
dipergunakan adalah “kesalahan berat” (culpa lata). Oleh karena itu
adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan medis
belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi
pidana.
Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh
pelaksana jasa tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan
dari pihak pengguna jasa tindakan medis (pasien), sedangkan
pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan
persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat
dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu perbuatan
melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena
pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan harus
menghormatinya;
Aspek Hukum Pidana, “informed consent” mutlak harus dipenuhi
dengan adanya pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan invasive (misalnya
pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan
pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien,
maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah
melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan
pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.
Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus
menyadari bahwa “informed consent” benar-benar dapat menjamin
terlaksananya hubungan hukum antara pihak pasien dengan dokter,
atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing
pihak yang seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih
banyak seluk beluk dari informed consent ini sifatnya relative,
misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu inforamsi
sudah atau belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit
untuk ditetapkan secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga
belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih
mendalam lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan dengan
informed consent ini.
3) Tujuan Inform Concent
Tujuan dari informed concent adalah agar pasien
mendapatkan informasi yang cukup untuk dapat mengambil
keputusan atas tindakan medis yang akan dijalani, kecuali jika
penyampaian informasi akan mempengaruhi psikis pasien, atau
pasien sendiri yang meminta dokter untuk tidak menyampaikan
informasi kepadanya. Dengan demikian dalam menyampaikan
informasi seorang dokter diharapkan tidak mengurangi materi
informasi sesuai dengan kebutuhan pasien serta tidak memaksa
pasien untuk segera memberikan keputusan setelah pasien
mendapatkan informasi.
Dalam penyampaian informasi ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan, yang dikenal dengan istilah 4 W, yaitu:
1. What : apa? ( yang perlu disampaikan )
2. When : kapan? ( disampaikan )
3. Who : siapa? ( yang harus menyampaikan )
4. Which : yang mana? ( yang perlu disampaikan )
1) Apa yang perlu disampaikan.
Penjelasan yang harus disampaikan kepada pasien ruang
lingkupnya cukup luas, penjelasan tersebut kemungkinan berbeda
bagi setiap individu, tergantung dari kondisi dan tindakan medis
yang akan dijalani dalam rangka tanggung jawab moril terhadap
pasien (Puoernomo B) Petugas kesehatan perlu memilih yang
terbaik dalam menyampaikan informasi, tanpa ada keterangan yang
disimpan atau terlupakan, tanpa mengabaikan keadaan psikis,
mental, sikap dari akibat ketakutan, serta kegoncangan jiwa pasien.
Pada dasarnya penjelasan dokter tersebut meliputi diagnose
penyakit, pemeriksaan, terapi, resiko, alternative, serta prognosis.
a) Diagnosa penyakit
Seorang dokter harus menjelaskan keadaan yang abnormal dari
tubuh pasien yang ditemui, sehingga diharapkan pasien mengetahui
tentang kondisi abnormal tersebut, baik diminta maupun tidak.
b) Pemeriksaan
Pasien berhak untuk menolak atau melanjutkan pemeriksaan serta
mengetahui hasil pemeriksaan dan tujuan pemeriksaan agar tidak
terjadi kesalahpahaman antara pasien dan dokternya, misalnya
pemeriksaan terhadap tumor, dokter harus menjelaskan tujuan
pemeriksaan pap smear, dan seandainya setelah dilakukan
pemeriksaan ternyata ditemukan keganasan pada tumor tersebut,
maka dokter harus menjelaskan kepada pasien dan untuk
keputusan selanjutnya diserahkan kepada pasien tersebut.
c) Pengobatan
Suatu pemulihan kesehatan yang diselenggarakan untuk
mengembalikan status kesehatan, dan mengembalikan fungsi
badan akibat cacat atau menghilangkan kecacatan yang dilakukan
oleh tenaga kesehatan sesuai dengan ilmu yang dimiliki serta
memiliki kewenangan untuk melakukan pengobatan dan dapat
dipertanggungjawabkan.
d) Resiko
Setiap tindakan medis memiliki resiko. Resiko yang mungkin terjadi
dalam melakukan pengobatan dan tindakan medis harus
disampaikan disertai dengan upaya antisipasi yang dilakukan oleh
dokter untuk menghindari terjadinya hal tersebut, seperti alergi,
idiosinkrotik,( kepekaan abnormal terhadap obat,protein atau zat-
zat lain berdasarkan kelainan genetika) bahkan mungkin kematian,
yang selama ini jarang diungkapkan oleh dokter.
e) Alternatif tindakan medis
Dokter harus mengungkapkan beberapa alternatif dalam proses
diagnosis dan terapi, dimana setiap proses harus dijelaskan apa
prosedur, manfaat, kerugian, dan efek yang mungkin dapat timbul
dari beberapa pilihan tersebut. Sebagai contoh pengobatan
terhadap penyakit hipertiroidisme, pengobatan untuk penyakit ini
terdapat 3 pilihan, dengan obat, iodium radioaktif, subtotal
tireidektomi, dokter harus menjelaskan masing-masing pengobatan
tersebut, dengan menyebutkan kerugian dan komplikasi yang
mungkin dapat terjadi.
f) Prognosis
Pasien berhak mengetahui tingkat keberhasilan dari suatu tindakan
medis, meskipun kondisi ini tidak bisa dipastikan, namun
berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh
seorang dokter, prediksi tindakan medis yang akan dijalani oleh
seorang pasien harus dijelaskan, komplikasi yang akan terjadi,
ketidaknyamanan, biaya dan resiko dari setiap pilihan, termasuk
tidak mendapatkan pengobatan atau tindakan. Pasien juga berhak
mengetahui apa yang diharapkan dan apa yang bakalan terjadi
sehubungan dengan tindakan tersebut, semua ini berdasarkan
kejadian dan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh seorang medis
2) Kapan disampaikan
Usahakan penyampaian informasi kepada pasien tidak terlalu
lama jaraknya antara awal pemeriksaan sampai keputusan tindakan
medik, karena kondisi seperti ini akan menimbulkan suatu
pertanyan dan persoalan bagi pasien jika penyampaian informasi
dengan tindakan medik memakan waktu yang cukup lama dan
kondisi ini juga akan berpengaruh terhadap penyakit dan tindakan
medis yang akan dilakukan
3) Siapa yang harus menyampaikan
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan No 585 Tahun 1989 Pasal
6, dijelaskan untuk tindakan bedah dan tindakan invatif lain harus
disampaikan oleh dokter yang akan melakukan tindakan dan tenaga
paramedic (bidan, perawat) yang terlibat dalam tindakan tersebut.
Dan jika dalam keadaan tertentu dokter tersebut tidak ada maka
informasi harus diberikan oleh dokter lain dengan pengetahuan atau
petunjuk yang bertanggungjawab. Asas untuk memperoleh
informasi dalam pengadaan persetujuan tindakan medik menjadi
unsur penting untuk menentukan tanggung jawab jika timbul eror
yang tidak diinginkan oleh dokter atau pihak yang bersangkutan
4) Yang mana yang akan diinformasikan
Mengenai informasi mana yang akan dijelaskan, seorang
medis harus menginformasikan seluruhnya tentang keadaan dan
kondisi pasien dan tidak ada hal-hal yang dirahasiakan, kecuali
dokter menilai dan pasien menolak untuk disampaikan informasi
tentang penyakitnya, yang akan dapat mempengaruhi kondisi
kesehatan pasien tersebut, maka informasi dapat disampaikan
kepada keluarga pasien. Sesuai dengan keputusan Menteri
Kesehatan No 585 Tahun 1989, meskipun penyampaian informasi
merupakan hal yang terpenting dalam informed concent yang harus
disampaikan kepada pasien, namun dalam kondisi tertentu
penyampaian informasi tidak berlaku, seperti keadaan emergensi.
Dalam kondisi seperti ini informasi mengenai hal-hal yang
berhubungan dengan tindakan medis tidak perlu disampaikan,
mengingat kondisi pasien yang tidak sadar dan tidak bisa
memberikan persetujuan, dan hal yang terpenting adalah
penyelamatan nyawa pasien, maka dalam kondisi seperti ini tidak
praktis lagi untuk menunda tindakan atau mempermasalahkan
informed consent, tindakan penyelamatan pasien merupakan hal
yang terpenting, karena di khawatirkan jika terlambat dilakukan
tindakan pasien akan celaka, ketentuan ini tercantum dalam
Permenkes No 585 Tahun 1989 Pasal 11 yang berbunyi, dalam hal
pasien yang tidak sadar atau pingsan serta tidak didampingi oleh
keluarga terdekat dan secara medik berada dalam keadaan gawat
dan atau darurat yang memerlukan tindakan medik segera, untuk
kepentingannya tidak perlu minta persetujuan dari siapapun.
4) Informed consent sebagai perlindungan hukum profesi
kesehatan kesehatan
Profesi kesehatan merupakan profesi yang memberikan
pelayanan kesehatan pada masyarakat, dan pelayanan kesehatan
tersebut ada kalanya tidak memuasakan dalam arti kegagalan
diagnosis maupun therapeutic. Dalam hal pelayanan kesehatan hal
pelayanan kesehatan diperlukan perlindungan hukum bagi’ Health
provider” dan health receiver” untuk mewujudkan “ hukum untuk
kesejahteraan social” sesuai dengan perkembangan zaman era
peningkatan masyarakat yang beradap.
Perlindungan hukum bagi provider diperlukan atisipasi untuk
meningkatkan kesadaran hukum yang berhubungan dengan jasa
pelayanan kesehatan serta kesadaran pula melakukan tugas sesuai
dengan standard profesi yang berlaku, salah satunya adalah
pelaksanaan informed
Consent dan rekam medic. Sebaliknya kesadaran hukum bagi
reciever diperlukan antisipasi untuk memenuhi hukum yang
menjamin kepentinganya tanpa mengorbankan profesi tertentu
dengan memperhatiakan asas proposional dan asas utilitas dari
perkembangan hukum yang dinamis.
Pemenuhan hak asasi manusia merupakan dasar utama
pengadaan informed consent dalam rangka pelayanan kesehatan
untuk kemanusiaan, serta bertujuan untuk melindungi pasien dari
segala tindakan medic dan perlindungan tenaga kesehatan
terutama dokter terhadap terjadinya akibat yang tak terduga serta
dianggap merugikan pihak lain.
Dalam rangka penyelengaraan pelayanan kesehatan sealin
bersifat azasi kemanusiaan dan azasi pemeliharaan kesehatan juga
diharapakan terlaksana hubungan yang lancar antara pasien denga
tenaga kesehatan, akan tetapi bisa menimbulkan masalah bila
terbentur antara 2 dilema prisip yaitu prisip memberikan kebaikan
kepada pasien yang bertolak dari sudut pandang “ nilai etika” dan
ilmu kesehatan berdasarka pengetahuan, pengalamam, dan
ketrampilan dokter dan perawat , kontra dengan prinsip
menghormati hak menentukan hak menentukan diri sendiri dari
sudut pandang pasien.
Memberikan penjelasan kepada pasien dalam rangka
memperoleh ijin persetujuan pasien untuk melakukan tindakan
medic , kadang kala terdapat pertimbangan demi maksud
memepringan penderitaan pasien atau demi maksud tidak
menakutkan perasaan pasien untuk ytidak menjadi goncang,
sehingga penjelasan yang tidak lengkap keran ada bagian yang
sengaja disimpan untuk menghindari akibat buruk kepada pasien,
suatu dari penjelasan yang tidak lengkap ini biasanya dalam kasus
yang terjadi terdapat” resiko besar” sebelumnya tidak terduga lebih
dahulu yang disebabkan oleh rasa tanggung jawab etika kedokteran
untuk memperlakukan hal yang terabaik terhadap pasien.
Setelah seorang dokter memiliki izin untuk menjalankan
praktik, muncul .hubungan hukum.dalam rangka pelaksanaan
praktik kedokteran yang masing-masing pihak (pasien dan dokter)
memiliki otonomi kebebasan, hak dan kewajiban) dalam menjalin
komunikasi dan interaksi dua arah. Hukum memberikan
perlindungan kepada kedua belah pihak melalui perangkat hukum
yang disebut informed consent. Objek, dalam hubungan hukum
tersebut adalah pelayanan kesehatan kepada pasien.Dikaitkan
dengan UUPK, perangkat hukum informed consent tersebut
diarahkan untuk:
a. Menghormati harkat dan martabat pasien melalui pemberian
informasi dan persetujuan atas tindakan yang akan dilakukan
b. Meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat
c. Menumbuhkan sikap positif dan iktikad baik,serta profesionalisme
pada peran dokter (dan dokter gigi) mengingat pentingnya harkat
dan martabat pasien
d. Memelihara dan meningkatkan mutu pelayanan sesuai standar
dan persyaratan yang berlaku.
Dalam palayanan kesehatan hal yang harus diutamakan dalam
hubungan ini adalah terbentuknya saling percaya dalam usaha
membangun kesederajatan di antara kedua belah pihak. Hak
individu di bidang kesehatan bertumpu pada lima prinsip, yaitu:
1. Hak menentukan diri sendiri” the right to self determination”
2. Hak memperoleh pemeliharaan kesehatan atau” the right to helt it
care”
3. Hak untuk memperileh informasai secara terbuka atau” the right to
information”
4. Hak asasi manusia “ the right to protection of privacy”
5. Hak untuk pendapat dokter kedua “ the right to second
opini”( Poernomo.B)
Hak tersebut berorientasi pada nilai sosial dan berorientasi pada
ciri atau karakteristik individual. Hak dan kewajiban yang timbul
dalam hubungan pasien dengan dokter (dan dokter gigi) meliputi
penyampaian informasi dan penentuan tindakan. Pasien wajib
memberikan informasi yang berkaitan dengan keluhannya dan
berhak menerima informasi yang cukup dari dokter/dokter gigi
(right to information), selanjutnya pasien berhak mengambil
keputusan untuk dirinya sendiri (right to self determination). Dokter
berhak mendapatkan informasi yang cukup dari pasien dan wajib
memberikan informasi yang cukup pula sehubungan dengan kondisi
ataupun akibat yang akan terjadi. Selanjutnya dokter berhak
mengusulkan yang terbaik sesuai kemampuan dan penilaian
profesionalnya (ability and judgement) dan berhak menolak bila
permintaan pasien dirasa tidak sesuai dengan norma, etika serta
kemampuan profesionalnya.Selain hal di atas, dokter wajib
melakukan pencatatan (rekam medik) dengan baik dan benar.
Secara tegas didalam UUPK telah mengatur materi muatan tentang
informed consent:
A. Prinsip otoritas pasien, diwujudkan dengan pengaturan
bahwasanya setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi harus
mendapat persetujuan. Persetujuan pasien baru dapat diberikan
setelah menerima informasi dan memahami segala sesuatu yang
menyangkut tindakan tersebut.UUPK Pasal 45
C. Prinsip pencatatan (rekam medik)26 yang wajib dibuat oleh
dokter. Beberapa literature menyatakan bahwa rekam medik
mempunyai nilai Administration, Legal, Finance,
Research,Education, dan Documentation (ALFRED).Dalam hukum
acara perdata maupun pidana dikenal: alat bukti dengan tulisan,
bertolak dari hal tersebut maka, selama ini rekam medic sebagai
catatan yang dibuat dokter (dan dokter gigi) dianggap dapat
digunakan sebagai: alat bukti dengan tulisan, meskipun di dalam
perkembangan selanjutnya, pendapat tersebut masih mungkin
ditinjau kembali. Rekam medic bukan alat bukti menurut undang-
undang,meskipun dapat digunakan sebagai petunjuk pembuktian
sepanjang dilakukan dengan benar sesuai ketentuan yang berlaku.
B.p
Hubungan antara dokter-pasien dalam pelaksanaan
informed consent diatur dengan peraturan-peraturan tertentu agar
terjadi keharmonisan dalam pelaksanaannya. Seperti diketahui
hubungan tanpa peraturan akan menyebabkan ketidakharmonisan
dan kesimpangsiuran. Namun demikian hubungan antara dokter
dan pasien tetap berdasar pada kepercayaan terhadap kemampuan
dokter untuk berupaya semaksimal mungkin membantu
menyelesaikan masalah kesehatan yang diderita pasien. Tanpa
adanya kepercayaan maka upaya penyembuhan dari dokter akan
kurang efektif. Untuk itu dokter dituntut melaksanakan hubungan
yang setara dengan dasar kepercayaan sebagai kewajiban
profesinya
Hubungan antara dokter dengan pasien yang seimbang atau
setara dalam ilmu hukum disebut hubungan kontraktual. Hubungan
kontraktual atau kontrak terapeutik terjadi karena para pihak, yaitu
dokter dan pasien masing-masing diyakini mempunyai kebebasan
dan mempunyai kedudukan yang setara. Kedua belah pihak lalu
mengadakan suatu perikatan atau perjanjian di mana masing-
masing pihak harus melaksanakan peranan atau fungsinya satu
terhadap yang lain.Peranan tersebut berupa hak dan
kewajiban.Hubungan karena kontrak atau kontrak terapeutik
dimulai dengan tanya jawab (anamnesis) antara dokter dengan
pasien, kemudian diikuti dengan pemeriksaan fisik. Kadang-kadang
dokter membutuhkan pemeriksaan diagnostik untuk menunjang dan
membantu menegakkan diagnosisnya yang antara lain berupa
pemeriksaan radiologi atau pemeriksaan laboratorium, sebelum
akhirnya dokter menegakkan suatu diagnosis. Sebagaimana telah
dikemukakan, tindakan medic mengharuskan adanya persetujuan
dari pasien informed consent yang dapat berupa tertulis dan lisan.
Informed consent di Indonesia diatur secara Lex Spesialis
melalui aturan-aturan yang mengatur secara khusus mengenai
informed consent. Secara operasional informed concent diatur oleh
Permenkes RI Nomor 585/MENKES/Per/IX/1989 tanggal 2 Desember
1989. Yang dirinci lebih lanjut dalam SK Yan Dik No. HK.
00.06.6.5.1866 Tahun 1999 tentang Pedoman Persetujuan Tindakan
Medis. Selain itu pengaturan informed concent juga bisa didapat
dalam UU Praktek Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004.
Menurut UU Praktek Kedokteran No 29 Tahun 2004 Pasal 39,
praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan kesepakatan
antara dokter dengan pasien; Pasal 45 yaitu (1) setiap tindakan
harus mendapat persetujuan pasien (2) persetujuan dimaksud
setelah pasien mendapat penjelasan lengkap (3) penjelasannya
mencakup: diagnosis, tujuan, alternatif, resiko, komplikasi dan
prognosis (4) persetujuan secara tertulis maupun lisan; Pasal 52
yaitu (a) pasien berhak mendapatkan penjelasan lengkap tentang
tindakan medis (b) meminta pendapat (c) menolak tindakan medis.
Komunikasi antara dokter dengan pasien merupakan sesuatu
yang sangat penting dan wajib. Kewajiban ini dikaitkan dengan
upaya maksimal yang dilakukan dokter dalam pengobatan
pasiennya. Keberhasilan dari upaya tersebut dianggap tergantung
dari keberhasilan seorang dokter untuk mendapatkan informasi
yang lengkap tentang riwayat penyakit pasien dan penyampaian
informasi mengenai penatalaksanaan pengobatan yang diberikan
dokter. Melihat pentingnya komunikasi timbal balik yang berisi
informasi ini, maka secara jelas dan tegas diatur
dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran Paragraf 2, Pasal 45 ayat (2), (3), Paragraf 6, Pasal 50
huruf (c), Paragraf 7, Pasal 52 huruf (a), (b), dan Pasal 53 huruf (a).
Paragraf 6 dan 7 dalam Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran secara jelas menyebutkan mengenai
hak dan kewajiban dokter dan hak dan kewajiban pasien yang di
antaranya memberikan penjelasan dan mendapatkan informasi. Hak
pasien sebenarnya merupakan hak yang asasi yang bersumber dari
hak dasar individual dalam bidang kesehatan (The Right of Self
Determination).
Meskipun sebenarnya sama fundamentalnya, hak atas
pelayanan kesehatan sering dianggap lebih mendasar. Dalam
hubungan dokter-pasien, secara relatif pasien berada dalam posisi
yang lebih lemah. Kekurangmampuan pasien untuk membela
kepentingannya yang dalam hal ini disebabkan ketidaktahuan
pasien pada masalah pengobatan, dalam situasi pelayanan
kesehatan menyebabkan timbulnya kebutuhan untuk
mempermasalahkan hak-hak pasien dalam menghadapi tindakan
atau perlakuan dari para profesional kesehatan. Berdasarkan hak
dasar manusia yang melandasi transaksi terapeutik
(penyembuhan), setiap pasien bukan hanya mempunyai kebebasan
untuk menentukan apa yang boleh dilakukan terhadap dirinya atau
tubuhnya, tetapi ia juga terlebih dahulu berhak untuk mengetahui
hal-hal mengenai dirinya. Pasien perlu diberi tahu tentang
penyakitnya dan tindakan-tindakan apa yang dapat dilakukan
dokter terhadap tubuhnya untuk menolong dirinya serta segala
risiko yang mungkin timbul kemudian.
Informed consent dilihat dari aspek hukum bukanlah sebagai
perjanjian antara dua pihak, atau perjanjian yang bersifat khusus,
karena dalam pelayanan kesehatan, dokter tidak bisa menjanjikan
sesuatu dalam upaya penyembuhan seseorang, akan tetapi seorang
dokter akan selalu berupaya semaksimal mungkin menurut standar
pelayanan dan keilmuan tertinggi yang dimiliki oleh dokter tersebut
dalam upaya penyembuhan dan penyelamatan nyawa seseorang,
karena setiap tindakan dalam pelayanan kesehatan mengandung
resiko, maka dari itu informed concent lebih cendrung kearah
persetujuan sepihak atas layanan yang ditawarkan pihak lain.
Bab III
Penutup
1) Kesimpulan
Melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara hukum
dari segala tindakan medis yang dilakukan tanpa
sepengetahuannya, maupun tindakan pelaksana jasa tindakan
medis yang sewenang-wenang, tindakan malpraktek yang
bertentangan dengan hak asasi pasien dan standar profesi medis,
serta penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan biaya tinggi
atau “over utilization” yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada
alasan medisnya;
Dalam inform concent ada beberapa hal yang harus di
perhatikan, antara lain :
1. What : apa? ( yang perlu disampaikan )
2. When : kapan? ( disampaikan )
3. Who : siapa? ( yang harus menyampaikan )
4. Which : yang mana? ( yang perlu disampaikan)
2) Saran
Saran saya agar dalam pelayanan kesehatan, baik tenaga medis
maupun tenaga non medis diharapkan agar lebih memperhatikan
dalam memberikan informasi, khususnya “inform concent” yang
baik dan jelas.
Daftar pustaka
http://drg-ezwandra.blogspot.com/2011/10/informed-consent-
sebagai-perlindungan.html diakses pada tanggal 03 Januari 2013
Guwandi,J, Informed Consent,Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.2004Guwandi, J, Tanya Jawab Persetujuan Tindakan Medis, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.1994Hanafiah,j,M.,Amir,A,1997,Etika kedokteran dan Hukum Kesehatan, edisi 3, EGC, Bandung
_______,2006, Kumpulan lengkap perundangan Hak Asasi Manusia, pustaka yustisia,Yogyakarta.Sampurno.s Health and Human righth otonomi pasien dan Informed Consent, prosiding seminar dan lokakarya,IDI Jakarta 2003
Daftar isi
Daftar isi …………………………………………………………………..….…. i
Kata pengantar …………………………………………...……………..
……... ii
Bab I Pendahuluan ………………..…………………………….……………...
3
Bab II Pembahasan ……………….……………………….…………………….
5
Pengertian inform concent ……………………....………….……..…..
5
Aspek Hukum Inform concent …………………………………....……
5
Tujuan Inform Concent …………………………………..……….……
7
Informed consent sebagai perlindungan hukum profesi
kesehatan.... 11
Bab III Penutup …………………………………………….......…...……..……
13
Kesimpulan ………………………………………………………..……..
13
Saran …………………………………………………………..………….
13
Daftar Pustaka ……………………………………………………..
……………. 14
Tugas mata kuliah : “HUKUM DAN ETIKA RUMAH
SAKIT”
Disusun oleh :
Nama : Kurnia Sri Rahayu
Nim : 2011 08 583
Program Pasca Sarjana Megister Management
Universitas Muhammadiyah Makassar
2013