asuhan keperawatan angiofibroma
DESCRIPTION
Juvenile angiofibroma merupakan tumor jinak hipervaskuler di nasofaring dengan gambaran epidemiologi dan pola pertumbuhan yang khas. Tumor secara khas mengenai remaja laki-laki pada masa prapubertas, dengan gejala klinis yang khas epistaksis berulang dan sumbatan hidung unilateral. Juvenile angiofibroma nasofaring merupakan tumor jarang di kepala dan leher, tetapi merupakan tumor yang paling sering di nasofaring. Meskipun secara histologi termasuk tumor jinak, tetapi tumor sering menunjukkan perilaku destruktif lokal dan agresif, mempunyai kecenderungan kuat untuk berdarah dan mempunyai angka kekambuhan yang tinggi. Biopsi merupakan hal yang berbahaya karena potensi terjadi perdarahan besar.Umumnya terdapat pada rentang usia 7 s/d 21 tahun dengan insidens terbanyak antara usia 14-18 tahun4 dan jarang pada usia diatas 25 tahun2. Tumor ini merupakan tumor jinak nasofaring terbanyak5 dan 0,05% dari seluruh tumor kepala dan leher. Dilaporkan insidennya antara 1 : 5.000 – 1 : 60.000 pada pasien THT2.Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai jenis teori banyak diajukan. Diantaranya teori jaringan asal dan faktor ketidak-seimbangan hormonal. Secara histopatologi tumor ini termasuk jinak tetapi secara klinis ganas karena bersifat ekspansif dan mempunyai kemampuan mendestruksi tulang. Tumor yang kaya pembuluh darah ini memperoleh aliran darah dari arteri faringealis asenden atau arteri maksilaris interna7. Angiofibroma kaya dengan jaringan fibrosa yang timbul dari atap nasofaring atau bagian dalam dari fossa pterigoid. Setelah mengisi nasofaring, tumor ini meluas ke dalam sinus paranasal, rahang atas, pipi dan orbita serta dapat meluas ke intra kranial setelah mengerosi dasar tengkorak.Gejala klinik terdiri dari hidung tersumbat (80-90%); merupakan gejala yang paling sering, diikuti epistaksis (45-60%); kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala (25%); khususnya bila sudah meluas ke sinus paranasal, pembengkakan wajah (10-18%) dan gejala lain seperti anosmia, rhinolalia, deafness, pembengkakan palatum serta deformitas pipi2-6. Tumor ini sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus sangat hati-hati karena sentuhan jari pada permukaan tumor dapat menimbulkan perdarahan yang ekstensif.Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang seperti x-foto polos, CT scan, angiografi atau MRI. Dijumpai tanda Holman-Miller pada pemeriksaan x-foto polos berupa lengkungan ke depan dari dinding posterior sinus maksila. Biopsi tidak dianjurkan mengingat resiko perdarahan yang masif dan karena teknik pemeriksaan radiologi yang modern sekarang ini dapat menegakkan diagnosis dengan tingkat ketepatan yang tinggi. Tumor ini dapat didiagnosis banding dengan polip koana, adenoid hipertrofi, dan lain-lain.Penatalaksanaan tumor ini adalah dengan pembedahan (ekstirpasi tumor), radioterapi, terapi hormonal, sitostatika. Pembedahan merupakan pilihan utama, dan dapat dilakukan dengan beberapa macam metode yaitu pendekatan transpalatal, rinotomi lateral, degloving, kraniotomi. Pengobatan lain seperti pembedahan hormonal, sitostika maupun radioterapi dilakukan bila tumor tidak dapat dioperasi atau diberikan sebelum operasi untuk mengecilkan tumor dan mengurangi perdarahan durante operasi.TRANSCRIPT
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
TINJAUAN TEORI KASUS
ANGIOFIBROMA NASOFARING JOUVENILLE (ANJ)
2.1 Definisi
Angiofibroma Nasofaring Juvenile (ANJ) merupakan jenis tumor
jinak hipervaskuler di nasofaring dengan gambaran epidemologi dan pola
pertumbuhan yang khas (Nicolai et al, 2012). Tumor ini banyak diderita
oleh remaja laki-laki pada masa pubertas, dengan gejala klinis yang khas
epitaksis berulang dan sumbatan hidung unilateral (Garca et al, 2010).
Secara histologis, ANJ terdiri dari komponen pembuluh darah dan jaringan
ikat. Secara klinis tumor ini bersifat seperti tumor ganas karena mempunyai
daya ekspansi yang amat merusak dan medorong jaringan di sekitarnya,
seperti ke sinus paranasal, pipi, mata dan tengkorak (Hajar & Hafni, 2005).
2.2 Etiologi
Penyebab yang pasti dari angiofibroma belum diketahui secara pasti.
Berapa teori telah diajukan oleh beberapa ahli yang pada dasarnya dapat
dibagi menjadi dua kelompok, yaitu berdasarkan jaringan tampat asal
tumbuh tumor dan adanya gangguan hormonal (Hajar & Hafni, 2005)..
Pada teori berdasarkan jaringan asal tumbuh, diduga bahwa tumor
terjadi karena pertumbuhan abnormal jaringan fibrokartilago embrional di
daerah oksipitalis os sfenoidalis (Hajar & Hafni, 2005)..
Sedangkan teori hormonal menyatakan bahwa terjadinya
angiofibroma diduga karena ketidakseimbangan hormonal, yaitu adanya
kekurangan hormon androgen atau kelebihan esterogen. Anggapan ini
didasarkan atas adanya hubungan erat antara tumor dengan jenis kelamin
dan usia penderita serta hambatan pertumbuhan pada semua penderita
angiofibroma nasofaring (Hajar & Hafni, 2005)..
1
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
2
2.3 Stadium dan Klasifikasi
Untuk menentukan perluasan tumor, dibuat sistem staging. Ada 2
sistem yang paling sering digunakan yaitu Sessions dan Fisch.
1. Klasifikasi menurut Sessions sebagai erikut :
1) Stage IA : Tumor terbatas pada nares posterior dan/atau nasofaring
2) Stage IB : Tumor melibatkan nares posterior dan/atau nasofaring
dengan perluasan ke satu sinus paranasal.
3) Stage IIA : Perluasan lateral minimal ke dalam fossa pterygomaksila.
4) Stage IIB : Mengisi seluruh fossa pterygomaksila dengan atau tanpa
erosi ke tulang orbita.
5) Stage IIIA : Mengerosi dasar tengkorak; perluasan intrakranial yang
minimal.
6) Stage IIIB : Perluasan ke intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke
dalam sinus kavernosus.
2. Klasifikasi menurut Fisch :
1) Stage I : Tumor terbatas pada kavum nasi, nasofaring tanpa destruksi
tulang.
2) Stage II :Tumor menginvasi fossa pterygomaksila, sinus paranasal
dengan destruksi tulang.
3) Stage III :Tumor menginvasi fossa infra temporal, orbita dan/atau
daerah parasellar sampai sinus kavernosus.
4) Stage IV : Tumor menginvasi sinus kavernosus, chiasma optikum
dan/atau fossa pituitary.
2.4 Patofisiologi
Juvenile angiofibroma nasofaring muncul dari foramen
sphenopalatina dan mengenai fossa pterigopalatina dan kavum nasi
posterior. Tumor berkembang dengan cara erosi tulang dan mendesak
struktur di sekitarnya, dan dapat mencapai basis kranii.
Pertumbuhan lesi memiliki kecenderungan khas mengikuti lapisan
submukosa, tumbuh di dekat tempat yang mempunyai resistensi rendah dan
menginvasi tulang cancellous basisphenoid, sehingga pola penyebarannya
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
3
dapat diprediksi. Dari fossa pterigopalatina, tumor tumbuh ke medial ke
dalam nasofaring, fossa nasalis dan akhirnya menuju sisi kontralateral.
Pertumbuhan ke lateral dapat meluas ke fossa sphenopalatina dan
infratemporalis, melalui fissura pterigo-maksilaris yang melebar dengan
gambaran khas pergeseran ke anterior dari dinding posterior maksilaris,
sampai berhubungan dengan otot mastikator dan jaringan lunak pipi.
Pertumbuhan ke posterior dapat mengenai arteri karotis interna melalui
kanalis vidian, sinus kavernosus melalui foramen rotundum dan apeks orbita
melalui fissura orbitalis inferior. Proptosis dan atrofi nervus optikus terjadi
jika fissure orbitalis sudah terkena tumor. Keterlibatan tulang terjadi melalui
dua mekanisme utama yaitu: (1) resorpsi karena tekanan langsung dengan
aktivasi osteoklast atau (2) langsung tersebar di sepanjang arteri perforanates
ke dalam akar cancellous dari prosesus pterigoideus. Perluasan ke posterior
berikutnya dapat mengenai clivus dan ala mayor sphenoid, biasanya dengan
erosi tabula interna fossa kranialis media dan dapat meluas ke intrakranial.
Pelebaran fissura orbitalis superior merupakan tanda perluasan tumor ke
intrakranial.
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
4
2.5 Tanda dan Gejala
Gejala dan tanda Angiofibroma Nasofaring Juvenile (ANJ) terkait
dengan perluasan tumor ke rongga hidung, orbita dan basis kranii. Gejala
yang khas adalah obstruksi hidung unilateral yang progresif (80-90 %)
dengan rhinorrhea dan epistaksis unilateral berulang (45-60 %). Gejala yang
lain adalah sakit kepala (25 %), nyeri wajah, otitis media unilateral,
rinosinusitis kronis, proptosis dan gangguan penglihatan. Sakit kepala dan
nyeri wajah dapat timbul sebagai akibat sumbatan sinus paranasal. Otitis
media unilateral disebabkan gangguan pada tuba eustachius. Perluasan
tumor ke dalam rongga sinonasal dapat menyebabkan rinosinusitis kronis.
Proptosis dan gangguan penglihatan mengindikasikan keterlibatan orbita.
Pembengkakan pipi, defisit neurologis, gangguan penciuman dan otalgia
juga dapat terjadi.
2.6 Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis Angiofibroma Nasofaring Juvenile (ANJ) terutama
didasarkan pada riwayat penyakit, pemeriksaan rongga hidung dan
pencitraan. Secara endoskopi dapat terlihat massa lobulated besar di
belakang khonka nasalis media, mengisi khoana dengan permukaan halus
dan hipervaskularisasi yang jelas. Karena secara epidemiologi dan temuan
endoskopi adalah khas, maka biopsi mutlak merupakan kontraindikasi
karena risiko perdarahan masif yang cukup besar.
Pemeriksaan radiologi memegang peranan penting dalam
diagnosis, penentuan stadium dan penatalaksanaan. Pemeriksaan radiologi
berperan dalam menunjukkan perluasan tumor primer, khususnya dalam
menilai invasi sphenoid karena merupakan tempat utama terjadinya
kekambuhan, sebuah gambaran yang jelas menunjukkan asal dari
angiofibroma. Pemeriksaan radiologi juvenile angiofibroma nasofaring
dapat dilakukan dengan foto polos, CT scan, MRI dan arteriografi.
Gambaran foto polos pada Water’s atau submental view dapat menunjukkan
erosi di sinus sphenoidalis dan penonjolan dinding posterior sinus maksilaris
atau Holman-Miller sign.
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
5
CT scan dan MRI juvenile angiofibroma nasofaring menunjukkan
massa inhomogen yang timbul dari ruang mukosa atau submukosa
nasofaring, dengan penyangatan yang kuat dan homogen disertai erosi basis
kranii atau perluasan intrakranial. CT scan berperan dalam follow-up setelah
pembedahan untuk mendeteksi sisa tumor, menilai ukuran setelah
radioterapi atau menilai pengecilan tumor. CT scan merupakan pemeriksaan
sebelum operasi yang paling penting karena dapat menunjukkan destruksi
struktur tulang dan pelebaran foramen dan fisura pada basis kranii akibat
penyebaran tumor. Keterlibatan tulang dan penyebaran tumor paling baik
dilihat pada potongan aksial atau koronal irisan tipis. CT scan aksial dan
koronal dapat menggambarkan asal dan perluasan lesi. Temuan termasuk
massa nasofaring, penonjolan ke anterior dari dinding posterior sinus
maksilaris (Holman-Miller sign) dengan massa di fossa pterigopalatina,
pelebaran foramen sphenopalatina, opasitas di sinus paranasal, erosi tulang
sphenoid dengan massa di sinus, erosi palatum durum, erosi dinding medial
sinus maksilaris, deviasi septum nasi, dan perluasan intrakranial.
Arteriografi mempunyai nilai diagnostik dan terapetik, dengan
melakukan embolisasi feeding vessel tumor. Keduanya dapat dilakukan
terpisah atau bersama. Pola retikuler yang khas biasanya terlihat pada awal
fase arteri, dengan blush homogen padat yang menetap sampai fase vena.
Adanya awal draining vein jarang terjadi.
Identifikasi suplai darah preoperatif merupakan hal yang penting
untuk menentukan strategi pembedahan yang tepat. Meskipun pemeriksaan
dengan menggunakan Magnetic Resonance Angiography (MRA) dapat
membantu dalam penilaian vaskular, gambaran lengkap dari semua
pembuluh darah memerlukan angiografi. Feeding vessel Angiofibroma
Nasofaring Juvenile berasal sistem karotis eksternal terutama dari cabang
arteri maksilaris interna distal, umumnya cabang sphenopalatina, palatina
desenden, dan alveolar posterior superior. Terkadang arteri faringealis
asenden ikut mensuplai tumor.
Arteriografi sebelum pembedahan diindikasikan untuk menentukan
luasnya lesi, jumlah vaskularisasi dan asal feeding vessel. Dalam
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
6
menentukan batas tumor, penilaian perluasan intrakranial sangat penting
karena operasi dapat menyebabkan bahaya lain. Gambaran angiografi
merupakan ciri khas, dan diagnosis preoperatif biasanya memungkinkan
dikerjakan sebelum biopsi.
2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan ANJ dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti
terapi hormonal, kemoterapi, radioterapi, dan pembedahan (ekstirpasi
tumor). Penanganan ANJ tergantung dari luas dan besarnya tumor, apabila
masih terbatas dalam nasofaring dan rongga hidung cukup dilakukan
ekstirpasi tumor, tetapi jika tumor sudah mencapai ke dalam kranium maka
radioterapi merupakan cara pengobatan pilihan (Nutrisno et al, 2000).
Pembedahan merupakan pilihan utama penatalaksanaan ANJ
sedangkan tumor yang tidak dapat dioperasi diberikan pengobatan radiasi.
Pengobatan hormonal digunakan untuk mengecilkan tumor yang inoperabel
(Soepardi et al, 2007).
Beberapa pendekatan bedah yang dapat dilakukan anatara lain adalah
pendekatan transpalatal, pendekatan rinotomi lateral, dan pendekatan
midfacial degloving atau kombinasi dengan kraniotomi frontotemporal
apabila invasi sudah meluas ke intrakranial (Soepardi et al, 2007).
Pendekatan transpalatal dilakukan untuk tumor yang berada di nasofaring
meluas ke daerah nasal posterior atau tumor yang sudah mendorong palatum
ke bawah. Pendekatan midfacial degloving dilakukan untuk tumor yang
berada di nasofaring dan meluas ke kavum nasi, sedangkan pendekatan
rinotomi lateral dilakukan untuk tumor yang meluas ke sinus paranasal atau
yang sudah mendestruksi dinding sinus. Kekurangan dari pendekatan
rinotomi lateral adalah dapat memberikan jaringan parut pada wajah bekas
(Hajar & Hafni, 2005).
Pembedahan didahului oleh embolisasi intra-arterial 24-48 jam
preoperatif untuk mengurangi perdarahan selama operasi. Material yang
digunakan untuk embolisasi ini terdiri dari mikropartikel nonabsorpsi seperti
Ivalon dan Terbal (Asrole, 2002). Sebelum dilakukan operasi pengangkatan
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
7
tumor selain dilakukan embolisasi untuk mengatasi perdarahan, yang banyak
dilakukan adalah ligasi arteri karotis eksternal dan anastesi dengan tekhnik
hipotensi.
Pengobatan hormopnal diberikan pada pasien dengan stadium 1 dan
II dengan preparat testosteron reseptor bloker (flutamid). Pengobatan
radioterapi dapat dilakukan dengan stereotaktik radioterapi (gamma knife)
atau jika tumor meluas ke intrakranial dengan radioterapi konformal tiga
dimensi. Kombilnasi radioterapi prabedah dan hormonal dilakukan selama 6
minggu sebelum operasi pada tumor yang sudah meluas ke jaringan
sekitarnya dan mendestruksi dasar tengkorak (Soepardi et al, 2007).
2.8 Komplikasi
1. Anemia berat akibat epistaksis yang berulang
2. Otitis media akibat sumbatan astium tuba eustachius
3. Sinusitis akibat sumbatan astium sinus
4. Disfagia dan sumbatan jalan nafas akibat tumor meluas ke orofaring
akan menekan palatum molle
5. Bila tumor ke daerah sekitarnya: exophtalmus/ptosis akibat penekanan
kavum orbita, deformitas tulang pipi dan hidung akibat ekstensi ke sinus
dan kavum nasi, paresis dan paralisis akibat ekstensi ke intrakranial
biasanya gangguan saraf II, III, IV, dan VI.
2.9 Prognosis
ANJ merupakan tumor dengan kekambuhan yang tinggi, rata-rata
sebesar 32% sampai 40-50% pada kasus dengan invasi basis kranii.
Kekambuhan dapat terjadi 3-4 bulan setelah operasi. Angka kekambuhan
tinggi terutama bila sudah mengenai basis kranii seperti sinus sphenoid,
basis pterigoid, clivus, sinus kavernosus dan fossa anterior. Pemeriksaan
ulang sebaiknya dilakukan setiap 6-8 bulan setelah 3 tahun dilakukan
operasi (Nicolai et al, 2012).
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
TINJAUAN ASKEP TEORI UMUM
ANGIOFIBROMA NASOFARING JOUVENILLE (ANJ)
3.1 Pengkajian
1. Faktor herediter atau riwayat kanker pada keluarga misal ibu atau nenek
dengan riwayat kanker.
2. Lingkungan yang berpengaruh seperti iritasi bahan kimia, asap sejenis
kayu tertentu.
3. Kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu dan
kebiasaan makan makanan yang terlalu panas serta makanan yang
diawetkan (daging dan ikan).
4. Golongan sosial ekonomi yang rendah juga akan menyangkut keadaan
lingkungan dan kebiasaan hidup (Efiaty & Nurbaiti, 2001).
5. Tanda dan gejala :
a. Aktivitas
Kelemahan atau keletihan. Perubahan pada pola istirahat; adanya faktor-
faktor yang mempengaruhi tidur seperti nyeri, ansietas.
b. Sirkulasi
Akibat metastase tumor terdapat palpitasi, nyeri dada, penurunan
tekanan darah, epistaksis/perdarahan hidung.
c. Integritas ego
Faktor stres, masalah tentang perubahan penampilan, menyangkal
diagnosis, perasaan tidak berdaya, kehilangan kontrol, depresi, marah,
menarik diri.
d. Eliminasi
Perubahan pola defekasi konstipasi atau diare, perubahan eliminasi urin,
perubahan bising usus, distensi abdomen.
e. Makanan/cairan
Kebiasaan diit buruk (rendah serat, aditif, bahan pengawet), anoreksia,
mual/muntah, mulut rasa kering, intoleransi makanan, perubahan berat
badan, kakeksia, perubahan kelembaban/turgor kulit.
8
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
f. Neurosensori
Sakit kepala, tinitus, tuli, diplopia, juling, eksoftalmus.
g. Nyeri/kenyamanan
Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri telinga (otalgia), rasa
kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan.
h. Pernapasan
Merokok (tembakau, mariyuana, hidup dengan seseorang yang merokok)
.Lingkungan
Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen, pemajanan matahari lama /
berlebihan, demam, ruam kulit.
i. Interaksi sosial
Ketidakadekuatan/kelemahan sistem pendukung.
3.2 Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan kompresi/destruksi jaringan saraf
Tujuan : rasa nyeri teratasi atau terkontrol
Kriteria hasil: mendemonstrasikan penggunaan ketrampilan relaksasi
nyeri. Intervensi :
1) Tentukan riwayat nyeri misalnya lokasi, frekuensi, durasi.
2) Berikan tindakan kenyamanan dasar (reposisi, gosok punggung) dan
aktivitas hiburan.
3) Ajarkan penggunaan ketrampilan manajemen nyeri (teknik relaksasi,
visualisasi, bimbingan imajinasi) musik, sentuhan terapeutik.
4) Evaluasi penghilangan nyeri atau kontrol.
5) Kolaborasi : berikan analgesik sesuai indikasi, misalnya: morfin,
metadon atau campuran narkotik.
2. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia,
mual muntah sekunder
Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi.
Kriteria hasil :
1) Melaporkan penurunan mual dan insidens muntah.
9
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
2) Mengkonsumsi makanan dan cairan yang adekuat.
3) Menunjukkan turgor kulit normal dan membran mukosa yang
lembab.
4) Melaporkan tidak adanya penurunan berat badan tambahan
Intervensi :
1) Sesuaikan diet sebelum dan sesudah pemberian obat sesuai dengan
kesukaan dan toleransi pasien.
2) Berikan dorongan higiene oral yang sering.
3) Berikan antiemetik, sedatif dan kortikosteroid sesuai indikasi.
4) Pastikan hidrasi cairan yang adekuat sebelum, selama dan setelah
pemberian obat, kaji masukan dan haluaran.
5) Pantau masukan makanan tiap hari.
6) Ukur TB, BB dan ketebalan kulit trisep (pengukuran antropometri) .
7) Dorong pasien untuk makan diet tinggi kalori, kaya nutrien dengan
masukan cairan adekuat.
8) Kontrol faktor lingkungan (bau dan panadangan yang tidak sedap
dan kebisingan).
3. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan
sekunder imunosupresi
Tujuan : tidak terjadi infeksi
Kriteria hasil :
1) Menunjukkan suhu normal dan tanda-tanda vital normal
2) Tidak menunjukkan tanda-tanda inflamasi : edema setempat, eritema,
nyeri.
3) Menunjukkan bunyi nafas normal, melakukan nafas dalam untuk
menegah disfungsi dan infeksi respiratori.
Intervensi :
1) Kaji pasien terhadap bukti adanya infeksi :Periksa tanda vital, pantau
jumlah leukosit, tempat masuknya patogen, demam, menggigil,
perubahan respiratori atau status mental.
10
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
2) Tingkatkan prosedur cuci tangan yang baik pada staf dan
pengunjung, batasi pengunjung yang mengalami infeksi.
3) Tekankan higiene personal
4) Pantau suhu dan kaji semua sistem (pernafasan, kulit)
4. Resiko perdarahan berhubungan dengan gangguan sistem hematopoetik
Tujuan : perdarahan dapat teratasi
Kriteria hasil :
1) Tanda dan gejala perdarahan teridentifikasi.
2) Tidak menunjukkan adanya epistaksis
Intervensi :
1) Kaji terhadap potensial perdarahan : pantau jumlah trombosit
2) Kaji terhadap perdarahan : epsitaksis
3) Instruksikan cara-cara meminimalkan perdarahan: minimalkan
penekanan/ gesekan pada hidung.
3.3 Evaluasi
1. Nyeri berkurang atau hilang
2. Nutrisi seimbang atau anoreksi, mual, muntah berkurang atau hilang
3. Tidak terjadi tanda-tanada infeksi
4. Tidak terjadi tanda-tanda perdarahan
11
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Angiofibroma Nasofaring Juvenile (ANJ) merupakan jenis tumor
jinak hipervaskuler di nasofaring dengan gambaran epidemologi dan pola
pertumbuhan yang khas. Tumor ini banyak diderita oleh remaja laki-laki
pada masa pubertas, dengan gejala klinis yang khas epitaksis berulang dan
sumbatan hidung unilateral. Secara histologis, ANJ terdiri dari komponen
pembuluh darah dan jaringan ikat. Secara klinis tumor ini bersifat seperti
tumor ganas karena mempunyai daya ekspansi yang amat merusak dan
medorong jaringan di sekitarnya, seperti ke sinus paranasal, pipi, mata dan
tengkorak.
Masalah keperawatan yang menjadi fokus utama adalah resiko
perdaraha. Peran perawat sangat penting dalam mencegah masalah tersebut.
Gejala awal pada kasus dengan Angiofibroma Nasofaring Juvenile (ANJ)
adalah epistaksis yang berulang. Sebagai perawat penting untuk memberikan
penjelasan kepada pasien dan keluarga untuk mencegah terjadinya epistaksis
seperti: tidak boleh terlalu capek, istirahat yang cukup, menghindari trauma
pada hidung, mencegah iritasi pada hidung (menghindari udara panas dalam
jangka waktu yang panjang). Health education tersebut mencegah
bertambah beratnya penyakit Angiofibroma Nasofaring Juvenile (ANJ).
5.2 Saran
5.1.1Perawat
Perawat memiliki perawanan penting dalam kasus
Angiofibroma Nasofaring Juvenile (ANJ), yaitu mencegah gejala
epistaksis yang berulang. Dengan cara memberikan penjelasan kepada
pasien dan keluarga untuk mencegah terjadinya epistaksis seperti:
tidak boleh terlalu capek, istirahat yang cukup, menghindari trauma
pada hidung, mencegah iritasi pada hidung (menghindari udara panas
dalam jangka waktu yang panjang).
12
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
5.1.2 Pasien dan keluarga
Setelah dilakukan KIE (komunikasi, informasi, dan education) oleh
perawat, baik pasien dan keluarga diarapkan dapat menerapkan untuk mencegah
terjadinya epistaksis yang berulang.
5.1.3 Mahasiswa
Dengan adanya laporan seminar kasus praktik klinik profesi, mahasiswa
mampu memahami dan mengetahui asuhan keperawatan klien dengan
Angiofibroma Nasofaring Juvenile (ANJ) mulai dari pengkajian, pemeriksaan
fisik yang mungkin ditemukan, diagnosa keperawatan, dan intervensi yang perlu
dilakukan.
13
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
Nurseairlangga
.org
DAFTAR PUSTAKA
Nicolai, et al 2012, Juvenile Angiofibroma: Evolution of Management, “International Journal of Pediatric”, hal 1-11
Garca et al 2010, Jvenile Nasopharyngeal Angiofibroma, Eur J Gen Med, vol. 7, no. 4, hal. 657-663
Hajar & Hafni 2005, Angiofibroma Nasofaring Belia, Majalah Kedokteran Nusantara vol. 38, no. 3, Departemen Ilmu Penyakit THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik Medan
Nutrisno et al, 2000, Tumor Hidung yang Berdarah di RS Karyadi Semarang, Cermin Dunia Kedokteran no.52, hal. 3-5
Soepardi et al 2007, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher edisi ke-6, Fakultas Kedokteran Indonesia, Jakarta
Asrole 2002, Angiofibroma Nasofaring Belia, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan
Efiaty AS, Nurbaiti I. 2001. Angiofibroma Nasofaring Belia. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke 5. Jakarta : Balai Penerbit FK UI
14