asuhan keperawatan pada pasien dengan cidera otak bedah f
TRANSCRIPT
ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. A DENGAN CIDERA OTAK DI RUANG FLAMBOYAN RUMAH SAKIT DR.
SOETOMO SURABAYA
Oleh :
Kelompok 1C-2
1. Kusuma Wijaya 010510884B
2. Martina Sidang 010610349B
3. Asri Mas’ulah 010610199B
4. Yeni Anggraeni 010610336B
5. Chairul Huda A. H 010610299B
6. Shilky Khanifa 010610078B
7. Ratih Laksitadevi 010610244B
PROGRAM PROFESI NERS MUDAFAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA2010
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cedera kepala akibat trauma sering kita jumpai di lapangan. Di Amerika
Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000
kasus. Dari jumlah di atas, 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit
dan lebih dari 100.000 penderita menderita berbagai tingkat kecacatan akibat
cedera kepala tersebut.Di negara berkembang seperti Indonesia, perkembangan
ekonomi dan industri memberikan dampak frekuensi cedera kepala cenderung
semakin meningkat.
Distribusi kasus cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif
antara 15–44 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan
dengan perempuan. Penyebab cedera kepala terbanyak adalah akibat kecelakaan
lalu lintas, disusul dengan jatuh (terutama pada anak-anak).Cedera kepala
berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma.Karena itu,
sudah saatnya petugas kesehatan harus dapat melakukan penanganan yang optimal
bagi penderita cedera kepala.Seperti negara-negara berkembang lainnya, kita tidak
dapat memungkiri bahwa masih terdapat banyak keterbatasan, di antaranya
keterbatasan pengetahuan dan keterampilan petugas kesehatan, keterbatasan alat-
alat medis, serta kurangnya dukungan sistem transportasi dan komunikasi. Hal ini
memang merupakan tantangan bagi kita dalam menangani pasien dengan trauma,
khususnya trauma kepala
1.2 Rumusan masalah
1. Bagaimana konsep teori dari cidera kepala?
2. Bagaimana asuhan keperawatan yang timbul pada pasien dengan cidera
kepala?
1.3 Tujuan
1. Tujuan umum
Mengetahui konsep teori, masalah keperawatan dan asuhan keperawatan
pasien dengan cidera kepala
2. Tujuan khusus
2.1 Mengetahui pengertian cidera kepala
2.2Mengetahui etiologi, klasifikasi, patofisiologi, manifestasi klinis,
pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaan pasien dengan cidera
kepala.
2.3 Mengetahui masalah keperawatan dan asuhan keperawatan pasien
dengan cidera kepala.
1.4 Manfaat
Mengetahui asuhan keperawatan yang tepat untuk pasien dengan cidera
kepala. Sehingga dapat mengetahui tindakan apa yang paling tepat untuk
pasien cidera kepala.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Cidera kepala adalah kerusakan neurologis yang terjadi akibat adanya
trauma pada jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder
dari trauma yang terjadi (Sylvia anderson Price, 1985).
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan
utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan
lalu lintas (Mansjoer Arif,dkk ,2000).
Cedera kepala yaitu adanya deformitas berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan
(accelerasi – descelarasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh
perubahan peningkatan pada percepatan factor dan penurunan percepatan, serta
rotasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat
perputaran pada tindakan pencegahan.
2.2 Etiologi
Cidera kepala dapat disebabkan karena beberapa hal diantaranya adalah :
a. Oleh benda / serpihan tulang yang menembus jaringan otak misal :
kecelakaanlalu lintas atau kecelakaan kerja, dipukul dan terjatuh.
b. Trauma saat lahir misal : sewaktu lahir dibantu dengan forcep atau vacum.
c. Trauma pada olah raga
d. Kejatuhan benda
e. Luka tembak
2.3 Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat
terpenuhi, energi yang dihasilkan di dalam sel – sel syaraf hampir seluruhnya
melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi
kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan
fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar
metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg % karena akan menimbulkan
koma, kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan tubuh, sehingga
bila kadar oksigen plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala – gejala
permulaan disfungsi cerebral. Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha
memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolisme anaerob yang dapat
menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau
kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob.
Hal ini akan menyebabkan oksidasi metabolisme anaerob. Hal ini akan
menyebabkan asidosis metababolik. Dalam keadaan normal Cerebral Blood Flow
(CBF) adalah 50 – 60 ml / menit 100 gr. Jaringan otak yang merupakan 15 % dari
cardiac output.
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup, aktifitas
atypical myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udema paru. Perubahan
otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P aritmia,
fibrilasi atrium dan ventrikel serta takikardi. Akibat adanya perdarahan otak akan
mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler akan
menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh persyarafan
simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak
begitu besar.
Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantaranya karena terjatuh,
dipukul, kecelakaan, dan trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan terjadinya
gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh. Bila trauma ekstra kranial akan dapat
menyebabkan adanya laserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan
karena mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi terus –
menerus dapat menyebabkan hipoksia sehingga tekanan intra kranial akan
meningkat. Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan meneyebabkan
robekan dan terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intra kranial dapat
mengakibatkan laserasi, perdarahan, dan kerusakan jaringan otak bahkan bisa
terjadi kerusakan susunan syaraf kranial tertama motorik yang mengakibatkan
terjadinya gangguan dalam mobilitas.
Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua macam cedera otak, yaitu
cedera otak primer dan cedera otak sekunder. Cedera otak primer adalah cedera
yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma, dan merupakan suatu
fenomena mekanik dan umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak
yang bisa kita lakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang
sedang sakit bisa mengalami proses penyembuhan yang optimal. Sedangkan
cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan (on going
process) sesudah atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih merupakan
fenomena metabolik.
Proses berkelanjutan tersebut sebenarnya merupakan proses alamiah. Tetapi,
bila ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi dan tidak ada upaya untuk
mencegah atau menghentikan proses tersebut maka cedera akan terus berkembang
dan berakhir pada kematian jaringan yang cukup luas. Pada tingkat organ, ini akan
berakhir dengan kematian/kegagalan organ. Cedera otak sekunder disebabkan
oleh keadaan-keadaan yang merupakan beban metabolik tambahan pada jaringan
otak yang sudah mengalami cedera (neuron-neuron yang belum mati tetapi
mengalami cedera). Beban ekstra ini bisa karena penyebab sistemik maupun
intrakranial. Berbeda dengan cedera otak primer, banyak yang bisa kita lakukan
untuk mencegah dan mengurangi terjadinya cedera otak sekunder.
2.4 Klasifikasi
Cidera kepala dapat diklasifikasikan menjadi dua :
1. Cidera kepala terbuka
2. Cidera kepala tertutup
1. Cidera kepala terbuka
Luka terbuka pada lapisan-lapisan galea tulang tempurung kepala duramater
disertai cidera jaringan otak karena impressi fractura berat.Akibatnya, dapat
menyebabkan infeksi di jaringan otak.Untuk pencegahan, perlu operasi dengan segera
menjauhkan pecahan tulang dan tindakan seterusnya secara bertahap.
Fractura Basis Cranii
Fractura ini dapat terletak di depan, tengah, atau di belakang. Gejala fractura di
depan:
1. Rhino liquore disertai lesi di sinus-frontalis pada ethmoidal, spenoidal, dan
arachnoidal.
2. Pneunoencephalon, karena pada fractura basis cranii udara dari sinus maksilaris
masuk ke lapisan selaput otak encepalon.
3. Monokli haematoma, adalah haematoma pada biji mata, karena pada orbita mata
dan biji lensa mata memberi gejala pendarahan intracranialis pula.
Fractura bagian tengah basis cranii antara lain memberi gejala khas menetesnya
cairan otak bercampur darah dari telinga: otoliquor, melalui tuba eustachii. Gambaran
rontgen sebagai tanda khas pada fractura basis cranii selalu hanya memperlihatkan
sebagian.Karena itu, dokter-dokter ahli forensik selalu menerima kalau hanya ada satu
tanda-tanda klinik.
Gejala-gejala klinis lain yang dapat dilihat pada fractura basis cranii antara lain
anosmia (I); gangguan penglihatan (II); gangguan gerakan-gerakan biji mata (III,IV, V);
gangguan rasa di wajah (VI); kelumpuhan facialis (VII); serta ketulian bukan karena
trauma octavus tetapi karena trauma pada haemotympanon. Pada umumnya, N. VIII - XII
jaringan saraf otak tidak akan rusak pada fractura basis cranii. Kalau fractura disebut
fractura impressio maka terjadi dislocatio pada tulang-tulang sinus tengkorak kepala.Hal
ini harus selalu diperhatikan karena kemungkinan ini akibat contusio cerebri.
2. Cidera kepala tertutup
Pada tulang kepala, termasuk di antaranya selaput otak, terjadi keretakan-
keretakan.Dalam keadaan seperti ini, timbul garis/linea fractura sedemikian rupa
sehingga menyebabkan luka pada daerah periferia a. meningia media, yang menyebabkan
perdarahan arteri. Haematoma dengan cepat membesar dan gambaran klinik juga cepat
merembet, sehingga tidak kurang dari 1 jam terbentuk haematomaepiduralis. Penentuan
diagnosis sangat berarti lucidum intervalum (mengigat waktu yang jitu dan tepat).Jadi,
pada epiduralis haematoma, sebenarnya jaringan otak tidak rusak, hanya tertekan
(depresi).Dengan tindakan yang cepat dan tepat, mungkin pasien dapat ditolong.Paling
sering terdapat di daerah temporal, yaitu karena pecahnya pembulnh darah kecil/perifer
cabang-cabang a. meningia media akibat fractura tulang kepala daerah itu (75% pada Fr.
Capitis).
a. Epiduralis haematoma
Pada frontal, parietal, occipital dan fossa posterior, sin.transversus. Foto rontgen
kepala sangat berguna, tetapi yang lebih penting adalah pengawasan terhadap pasien.Saat
ini, diagnosis yang cepat dan tepat ialah CT scan atau Angiografi. Kadangkala kita sangat
terpaksa melakukan "Burr hole Trepanasi", karena dicurigai akan terjadi epiduralis
haematoina. Dengan ini sekaligus bisa didiagnosis dan dekompresi, sebab terapi untuk
epiduralis haematoma adalah suatu kejadian yang gawat dan harus segera ditangani.
b. Subduralis haematoma akut
Kejadian akut haematoma di antara durameter dan corteks, dimana pembuluh darah
kecil sinus vena pecah atau terjadi perdarahan.Atau jembatan vena bagian atas pada
interval yang akibat tekanan lalu terjadi perdarahan.Kejadiannya keras dan cepat, karena
tekanan jaringan otak sehingga darah cepat tertuangkan dan memenuhi rongga antara
durameter dan corteks. Kejadian dengan cepat memberi tanda-tanda meningginya tekanan
dalam jaringan otak (TIK = Tekanan Intra Kranial). Pada kejadian akut haematoma,
lucidum intervalum akan terasa setelah beberapa jam sampai 1 atau 2 hari. Tanda-tanda
neurologis-klinis di sini jarang memberi gejala epileptiform pada perdarahan dasar
duramater.Akut hematoma subduralis pada trauma kapitis dapat juga terjadi tanpa
Fractura Cranii, namun pembuluh darah arteri dan vena di corteks terluka.Pasien segera
pingsan/ koma.Jadi, di sini tidak ada "free interval time".Kadang-kadang pembuluh darah
besar seperti arteri dan sinus dapat juga terluka.Dalam kasus ini sering dijumpai
kombinasi dengan intracerebral haematoma sehingga mortalitas subdural haematoma akut
sangat tinggi (80%).
c. Subrachnoidalis Haematoma
Kejadiannya karena perdarahan pada pembuluh darah otak, yaitu perdarahan pada
permukaan dalam duramater.Bentuk paling sering dan berarti pada praktik sehari-hari
adalah perdarahan pada permukaan dasar jaringan otak, karena bawaan lahir aneurysna
“pelebaran pembuluh darah”.Ini sering menyebabkan pecahnya pembuluh darah
otak.Gambaran klinik tidak menunjukkan gejala-gejala penyakit tetapi terjadi gangguan
ingatan karena timbulnya gangguan meningeal.Akut Intracerebralis Haematoma terjadi
karena pukulan benda tumpul di daerah korteks dan subkorteks yang mengakibatkan
pecahnya vena yang besar atau arteri pada jaringan otak.Paling sering terjadi dalam
subkorteks.Selaput otak menjadi pecah pula karena tekanan pada durameter bagian bawah
melebar sehingga terjadilah "subduralis haematoma", disertai gejala kliniknya.
d. Contusio Cerebri
Di antara yang paling sering adalah bagian yang berlawanan dengan tipe centralis -
kelumpuhan N. Facialis atau N. Hypoglossus, atau kelumpuhan syaraf-syaraf otak,
gangguan bicara, yang tergantung pada lokalisasi kejadian cidera kepala. Contusio pada
kepala adalah bentuk paling berat, disertai dengan gegar otak encephalon dengan
timbulnya tanda-tanda koma, sindrom gegar otak pusat encephalon dengan tanda-tanda
gangguan pernapasan, gangguan sirkulasi paru - jantung yang mulai dengan bradikardia,
kemudian takikardia, meningginya suhu badan, muka merah, keringat profus, serta
kekejangan tengkuk yang tidak dapat dikendalikan (decebracio rigiditas).
Cedera kepala bisa diklasifikasikan dalam berbagai aspek, tetapi untuk kepentingan
praktis di lapangan dapat digunakan klasifikasi berdasarkan beratnya cedera.Penilaian
derajat beratnya cedera kepala dapat dilakukan menggunakan Glasgow Coma Scale, yaitu
suatu skala untuk menilai secara kuantitatif tingkat kesadaran seseorang dan kelainan
neurologis yang terjadi.Ada tiga aspek yang dinilai, yaitu reaksi membuka mata (eye
opening), reaksi berbicara (verbal respons), dan reaksi gerakan lengan serta tungkai
(motor respons).
Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya gejala
yang muncul setelahcedera kepala.Ada beberapa klasifikasi yang dipakai dalam
menentukan derajat cederakepala.Klasifikasi yaitu berdasarkan Glascow coma
scale ( GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan neurologis
dandipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera kepala.
Dengan Glasgow Coma Scale (GCS), cedera kepala dapat diklasifikasikan
menjadi:
a. Cedera Kepala Ringan (CKR).
GCS 13– 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran ( pingsan ) kurang dari 30 menit
atau mengalami amnesia retrograde. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada
kontusio cerebral
maupun hematoma
b. Cedera Kepala Sedang ( CKS)
GCS 9 –12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograd lebih dari30 menit tetapi
kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Cedera Kepala Berat (CKB)
GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi
amnesia lebihdari 24 jam. Dapat mengalami kontusio cerebral, laserasi atau
hematoma intracranial.
Glasgow Coma Scale
Reaksi membuka mata
4 Buka mata spontan
3 Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara
2 Buka mata bila dirangsang nyeri
1 Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun
Reaksi berbicara
5 Komunikasi verbal baik, jawaban tepat
4 Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang
3 Dengan rangsangan, reaksi hanya kata, tak berbentuk kalimat
2 Dengan rangsangan, reaksi hanya suara, tak terbentuk kata
1 Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun
III.Reaksi gerakan lengan/tungkai
6 Mengikuti perintah
5 Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan
4 Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan
3 Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal
2 Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal
1 Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi
2.5 Manifestasi Klinis
Cidera otak karena terkenanya benda tumpul berat ke kepala, cidera akut dengan
cepat menyebabkan pingsan (coma), yang pada akhirnya tidak selalu dapat
disembuhkan.Karena itu, sebagai penunjang diagnosis, sangat penting diingat arti
gangguan vegetatif yang timbul dengan tiba-tiba dan cepat berupa sakit kepala, mual,
muntah, dan puyeng.Gangguan vegetatif tidak dilihat sebagai tanda-tanda penyakit dan
gambaran penyakit, namun keadaannya reversibilitas.
Pada waktu sadar kembali, pada umumnya kejadian cidera tidak diingat (amnezia
antegrad), tetapi biasanya korban/ pasien tidak diingatnya pula sebelum dan sesudah
cidera (amnezia retrograd dan antegrad). Timbul tanda-tanda lemah ingatan, cepat lelah,
amat sensitif, negatifnya hasil pemeriksaan EEG, tidak akan menutupi diagnosis bila
tidak ada kelainan EEG.
Koma akut tergantung dari beratnya trauma/ cidera.Akibatnya juga beraneka
ragam, bisa terjadi sebentar saja dan bisa hanya sampai 1 menit. Catatan kesimpulan
mengenai cidera kepala akan lebih kalau terjadi koma berjam-jam atau seharian, apalagi
kalau tidak menampakkan gejala penyakit gangguan syaraff. Menurut dokter ahli
spesialis penyakit syaraf dan dokter ahli bedah syaraf, gegar otak akan terjadi jika coma
berlangsung tidak lebih dari 1 jam. Kalau lebih dari 1 jam, dapat diperkirakan lebih berat
dan mungkin terjadi komplikasi kerusakan jaringan otak yang berkepanjangan.
2.6 Pemeriksaan Penunjang
a. Spinal X ray
Membantu menentukan lokasi terjadinya trauma dan efek yang terjadi (perdarahan
atau ruptur atau fraktur).
b. CT Scan
Memeperlihatkan secara spesifik letak oedema, posisi hematoma, adanya jaringan
otak yang infark atau iskemia serta posisinya secara pasti.
c. Myelogram
Dilakukan untuk menunjukan vertebrae dan adanya bendungan dari spinal
aracknoid jika dicurigai.
d. MRI (magnetic imaging resonance)
Dengan menggunakan gelombang magnetik untuk menentukan posisi serta besar/
luas terjadinya perdarahan otak.
e. Thorax X ray
Untuk mengidentifikasi keadaan pulmo.
f. Pemeriksaan fungsi pernafasan
Mengukur volume maksimal dari inspirasi dan ekspirasi yang penting diketahui
bagi penderita dengan cidera kepala dan pusat pernafasan (medulla oblongata).
g. Analisa Gas Darah
Menunjukan efektifitas dari pertukaran gas dan usaha pernafasan.
2.7 Penatalaksanaan
Penderita trauma saraf spinal akut yang diterapi dengan metilprednisolon (bolus 30
mg/kg berat badan dilanjutkan dengan infus 5,4 mg/kg berat badan per jam selama 23
jam), akan menunjukkan perbaikan keadaan neurologis bila preparat itu diberikan dalam
waktu paling lama 8 jam setelah kejadian (golden hour). Pemberian nalokson (bolus 5,4
mg/kg berat badan dilanjutkan dengan 4,0 mg/kg berat badan per jam selama 23 jam)
tidak memberikan perbaikan keadaan neurologis pada penderita trauma saraf spinal akut.
Metilprednisolon yang diberikan secara dini dan dalam dosis yang akurat, dapat
memperbaiki keadaan neurologis akibat efek inhibisi terjadinya reaksi peroksidasi lipid.
Dengan kata lain, metilprednisolon bekerja dengan cara:
a. Menyusup masuk ke lapisan lipid untuk melindungi fosfolipid dan komponen
membran lain dari kerusakan.
b. Mempertahankan kestabilan dan keutuhan membran.
c. Mencegah perembetan kerusakan sel-sel lain di dekatnya.
d. Mencegah berlanjutnya iskemia pascatrauma.
e. Memutarbalikkan proses akumulasi kalsiun intraseluler.
f. Menghambat pelepasan asam arakhidonat.
2.8 WOC (terlampir)
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN CIDERA OTAK
1. Pengkajian
a. Pengumpulan data klien baik subyektif maupun obyektif pada gangguan sistem
persyarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi,
jenis injuri dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya.
b. Identitas klien dan keluarga ( penanngungjawab ) : nama, umur, jenis kelamin,
agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat golongan darah, penghasilan,
hubungan klien dengan penanggungjawab.
c. Riwayat kesehatan
Tingkat kesadaran / GCS < 15, convulsi, muntah, takipnea, sakit kepala, wajah
simetris atau tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi secret pada saluran
pernapasan, adanya liquor dari hidung dan telinga serta kejang. Riwayat penyakit
dahulu barulah diketahui dengan baik yang berhubungan dengan sistem
persyarafan maupun penyakit sistem – sistem lainnya, demikian pula riwayat
penyakit keluarga yang mempunyai penyakit menular.
d. Pemeriksaan Fisik
1. Aktifitas / istirahat
S : Lemah, lelah, kaku dan hilang keseimbangan
O : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, guadriparese,goyah dalam
berjalan ( ataksia ), cidera pada tulang dan kehilangan tonus otot.
2. Sirkulasi
O : Tekanan darah normal atau berubah, nadi bradikardi, takhikardi dan
aritmia.
3. Integritas ego
S : Perubahan tingkah laku / kepribadian
O : Mudah tersinggung, bingung, depresi dan impulsive
4. Eliminasi
O : bab / bak inkontinensia / disfungsi.
5. Makanan / cairan
S : Mual, muntah, perubahan selera makan
O : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, disfagia).
6. Neuro sensori :
S : Kehilangan kesadaran sementara, vertigo, tinitus, kehilangan pendengaran,
perubahan penglihatan, diplopia, gangguan pengecapan / pembauan.
O : Perubahan kesadara, koma.
Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, atensi dan kinsentarsi)
perubahan pupil (respon terhadap cahaya), kehilangan penginderaan,
pengecapan dan pembauan serta pendengaran. Postur (dekortisasi, desebrasi),
kejang. Sensitive terhadap sentuhan / gerakan.
7. Nyeri / rasa nyaman
S : Sakit kepala dengan intensitas dan lokai yang berbeda.
O : Wajah menyeringa, merintih.
8. Repirasi
O : Perubahan pola napas ( apnea, hiperventilasi ), napas berbunyi, stridor ,
ronchi dan wheezing.
9. Keamanan
S : Trauma / injuri kecelakaan
O : Fraktur dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan ROM, tonus otot
hilang kekuatan paralysis, demam,perubahan regulasi temperatur tubuh.
10.Intensitas sosial
O : Afasia, distarsia
2. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan oedema cerebri,
meningkatnya aliran darah ke otak.
2. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan intra
kranial.
3. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan depresi pada pusat napas
di otak.
4. Ketidakefektifan kebersihan jalan napas berhubungan dengan penumpukan
sputum
5. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan haluaran
urine dan elektrolit meningkat.
6. Gangguan kebutuhan nutrisi berhubungan dengan kelemahan otot untuk
menguyah dan menelan.
7. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan spastisitas kontraktur,
kerusakan saraf motorik
8. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kesadaran,
peningkatan tekanan intra kranial
9. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kerusakan kulit
kepala
10. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasai, tidak
adekuatnya sirkulasi perifer.
11. Kecemasan keluarga berhubungan dengan keadaan yang kritis pada pasien.
3. Intervensi Keperawatan
1) Gangguan perfusi jaringan b/ d oedema cerebri, meningkatnya aliran darah ke
otak.
Tujuan
Gangguan perfusi jaringan dapat diatasi setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 2 x 24 jam
Kriteria hasil
Mampu mempertahankan tingkat kesadaran
Fungsi sensori dan motorik membaik.
Tanda-tanda vital kembali normal (TD: 120/80 mmHg, Nadi: 80-
100x/mnt).
Intervensi
Intervensi Rasional
1. pantau status neurologist
secara teratur.
2. evaluasi kemampuan
membuka mata (spontan,
rangsang nyeri).
3. kaji respon motorik terhadap
respon yang sederhana.
4. pantau TTV dan catat
hasilnya.
Mengkaji adanya kecenderungan
pada tingkat kesadaran dan
potensial peningkatan TIK dan
bermanfaat dalam menentukan
lokasi, perluasan dan
perkembangan kerusakan SSP
Menentukan tingkat kesadaran
Mengukur kesadaran secara
keseluruhan dan kemampuan
untuk berespon pada rangsangan
eksternal. Dikatakan sadar bila
pasien mampu meremas atau
melepas tangan pemeriksa.
Peningkatan tekanan darah
sistemik yang diikuti dengan
penurunan tekanan darah
diastolik merupakan tanda
peningkatan TIK .
Peningkatan ritme dan disritmia
merupakan tanda adanya depresi
atau trauma batang otak pada
pasien yang tidak mempunyai
kelainan jantung sebelumnya.
Nafas yang tidak teratur
5. anjurkan orang terdekat
untuk berbicara dengan
pasien.
6. kolaborasi pemberian cairan
sesuai indikasi melalui IV
dengan alat kontrol.
menunjukan adanya peningkatan
TIK
Ungkapan keluarga yang
menyenangkan klien tampak
mempunyai efek relaksasi pada
beberapa klien koma yang akan
menurunkan TIK
Pembatasan cairan diperlukan
untuk menurunkan Oedema
cerebral: meminimalkan fluktuasi
aliran vaskuler, tekanan darah
(TD) dan TIK
2) Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan intra
kranial.
Tujuan
Rasa nyeri berkurang/dapat ditolerir setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 2 x 24 jam
Kriteria hasil
Pasien mengatakan nyeri berkurang.
Pasien menunjukan skala nyeri menurun sampai angka 3.
Ekspresi wajah klien rileks.
Nadi : 80-100x/mnt
Intervensi
Intervensi Rasional
1. Teleti keluhan nyeri, catat
intensitasnya, lokasi dan lama.
2. Catat kemungkinan
patofisiologi yang khas,
misalnya adanya infeksi, trauma
servikal.
3. Berikan kompres dingin pada
kepala.
Mengidentifikasi karakteristik nyeri
merupakan faktor yang penting untuk
menentukan terapi yang cocok serta
mengevaluasi keefektifan dari terapi.
Pemahaman terhadap penyakit yang
mendasarinya membantu dalam
memilih intervensi yang sesuai.
Meningkatkan rasa nyaman dengan
menurunkan vasodilatasi.
3) Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kesadaran,
peningkatan tekanan intra kranial
Tujuan
Fungsi persepsi sensori kembali normal setelah dilakukan perawatan selama 3x
24 jam
Kriteria hasil
Mampu mengenali orang dan lingkungan sekitar.
Mengakui adanya perubahan dalam kemampuannya.
Intervensi
Intervensi Rasional
1. Evaluasi secara teratur
perubahan orientasi,
kemampuan berbicara, alam
perasaan, sensori dan proses
pikir.
2. pantau kesadaran sensori
dengan sentuhan, panas/ dingin,
benda tajam/ tumpul dan
kesadaran terhadap gerakan.
3. bicara dengan suara yang
lembut dan pelan. Gunakan
kalimat pendek dan sederhana.
Pertahankan kontak mata.
4. Kolaborasi pada ahli fisioterapi,
terapi okupasi, terapi wicara dan
terapi kognitif.
Fungsi cerebral bagian atas biasanya
terpengaruh lebih dahulu oleh
adanya gangguan sirkulasi,
oksigenasi. Perubahan persepsi
sensori motorik dan kognitif
mungkin akan berkembang dan
menetap dengan perbaikan respon
secara bertahap
Semua sistem sensori dapat
terpengaruh dengan adanya
perubahan yang melibatkan
peningkatan atau penurunan
sensitivitas atau kehilangan sensasi
untuk menerima dan berespon sesuai
dengan stimuli.
Pasien mungkin mengalami
keterbatasan perhatian atau
pemahaman selama fase akut dan
penyembuhan. Dengan tindakan ini
akan membantu pasien untuk
memunculkan komunikasi.
Pendekatan antar disiplin ilmu dapat
menciptakan rencana
panatalaksanaan terintegrasi yang
berfokus pada masalah klien
BAB 4
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Trauma kepala atau cedera kepala adalah kekerasan pada kepala yang
dapat menyebabkan kerusakan yang kompleks di kulit kepala, tulang tempurung
kepala, selaput otak, dan jaringan otak itu sendiri. Cedera memegang peranan
yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya konsekuensi patofisiologis
dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan (akselerasi) terjadi jika benda yang
sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan
benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul.
Fokus penanganan korban dengan cedera kepala pada area pra rumah sakit
adalah menyelamatkan nyawa dan mencegah kecacatan. Pada fase pra rumah sakit
titik berat diberikan pada menjaga kelancaran jalan nafas, kontrol adanya
perdarahan dan syok, stabilisasi pasien dan transportasi ke rumah sakit terdekat.
4.2 Saran
1. Perawat hendaknya mampu memberikan asuhan keperawatan pada klien
dengan trauma kepala secara holistik didasari dengan pengetahuan yang
mendalam mengenai penyakit tersebut.
2. Klien dan keluarganya hendaknya ikut berpartisipasi dalam penatalaksaan
serta meningkatkan pengetahuan tentang penyakit trauma kepala yang
dideritanya.
DAFTAR PUTAKA
Asikin Z. (1991). Simposium Keperawatan Penderita Cidera kepala Penatalaksanaan Penderita dengan Alat Bantu Napas. (Jakarta).
Carpenito, Lynda Jual. (2000). Diagnosa Keperawan Aplikasi pada Praktik Klinis Edisi 6. Jakarta: EGC
Doenges. M. E. (1989). Nursing Care Plan. Guidelines For Planning Patient Care (2 nd ). Philadelpia, F.A. Davis Company
Guyton, Arthur C and Hall, John E. (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 9. Jakarta: EGC
Harsono. (1993) Kapita Selekta Neurologi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Kariasa I Made. (1997). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Cedera Kepala. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Jakarta.
Long; BC and Phipps WJ. (1985). Essensial of Medical Surgical Nursing : A Nursing process Approach St. CV. Mosby Company.
Price, Sylvia Anderson dan Lorraine McCarty Wilson. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC
Sudoyo, Aru, dkk. (2006). Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI
Smeltzer, Suzanne C. Dan Brenda G. Bare. (2006). Buku Ajar Keperewatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth Volume 2 Edisi 8. Jakarta: EGC
Tabrani. (1998). Agenda Gawat Darurat. Penerbit Alumni. Bandung