azas-azas yang terdapat dalam uu no. 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan...
DESCRIPTION
Dalam UULH ada terdapat beberapa azas yang harus diterapkan agar terwujud kepastian hukum dan keadilan lingkungan, apa saja itu, temukan disini...!!!TRANSCRIPT
AZAS-AZAS YANG TERDAPAT DALAM UNDANG-UNDANG NO. 32
TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN
LINGKUNGAN HIDUP
Oleh :Agung Yuriandi
Medan2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Azas pencemar membayar termaktub di dalam Undang-Undang No. 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ada satu lagi azas
yang dinamakan dengan azas subsidiaritas. Tidak terlepas dengan azas lainnya, yaitu :
azas tanggung jawab, azas keberlanjutan, dan azas keadilan.
Di dalam lingkungan hidup Indonesia harus ada azas-azas yang tersebutkan di
atas, gunanya adalah agar lebih menjamin kepastian hukum, kemanfaatan ekonomi,
sosial, dan budaya yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi
lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal
dan kearifan lingkungan.1
1 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059.
1
Azas-azas yang tersebut di atas adalah salah satu dari sekian banyak kemauan
bangsa asing melalui globalisasi dan perdagangan bebas dunia. Suka tidak suka hal-
hal tersebut harus dimasukkan di dalam peraturan perundang-undangan yang disebut
dengan ratifikasi.2
Pengertian azas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah dasar,
landasan, fundamen, prinsip, dan jiwa atau cita-cita. Azas adalah suatu dalil umum
yang dinyatakan dalam istilah umum dengan tidak menyebutkan secara khusus cara
pelaksanaannya. Azas dapat juga disebut pengertian-pengertian dan nilai-nilai yang
menjadi titik tolak berpikir tentang sesuatu.3
Jadi, dengan kata lain Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tersebut dibuat dengan
menggunakan azas-azas yang disebutkan pertama tadi. Awal mula berfikir sehingga
mendapatkan undang-undang tersebut. Hal ini dilakukan agar lebih terjamin
keberlangsungan dari alam itu sendiri yang sudah tidak didukung oleh daya tampung
dan daya dukungnya.
Berkurangnya daya dukung dan daya tampung lingkungan disebabkan oleh
perkembangan zaman yang sangat pesat sekali. Pertambahan perusahaan-perusahaan
2 Menurut Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4012. Dalam penjelasan bagian I alinea keempat menerangkan bahwa : ”Dalam praktiknya, bentuk pengesahan terbagi dalam empat kategori, yaitu : (a). ratifikasi (ratification) apabila negara yang mengesahkan suatu perjanjian internasional turut menandatangani naskah perjanjian; (b). aksesi (accesion) apabila negara yang mengesahkan suatu perjanjian internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian; (c). penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval) adalah pernyataan menerima atau menyetujui dari negara-negara pihak pada suatu perjanjian internasional atas perubahan perjanjian-perjanjian internasional berlaku setelah penandatanganan”.
3 Satyagraha, Azas Hukum, http://komunitasmahasiswa.info/2008/12/azas-hukum/., dilihat pada 17 Mei 2009, sebagaimana dikutip Agung Yuriandi, ”Azas Subsidiaritas Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Makalah : Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2009), hal. 1.
2
industri yang membuang limbahnya kemana-mana juga akibat dari Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang tidak beres. Seluruhnya
menggunakan uang tunai dalam membuatnya tanpa memperhatikan lingkungan. Izin
AMDAL tersebut dibuat oleh Konsultan Lingkungan Hidup dan disahkan oleh
Pejabat Daerah.
B. Rumusan Permasalahan
Dengan azas yang begitu baik tersirat dalam peraturan perundang-undangan
lingkungan hidup tersebut. Maka dalam penulisan ini, dapat ditarik rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana penerapan azas pencemar membayar, azas subsidiaritas, azas
tanggung jawab, azas keberlanjutan, dan azas keadilan terhadap pengelolaan
lingkungan hidup di Indonesia?
2. Bagaimana situasi dan kondisi lingkungan hidup di Indonesia apabila azas-
azas yang terdapat dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tersebut tidak berjalan
dengan baik dan semestinya?
C. Konsep Teori
Hukum lingkungan diartikan sebagai hukum yang mengatur tatanan
lingkungan (lingkungan hidup), dimana lingkungan mencakup semua benda dan
3
kondisi, termasuk di dalamnya manusia dan tingkah perbuatannya yang terdapat
dalam ruang dimana manusia berada dan mempengaruhi kelangsungan hidup serta
kesejahteraan manusia serta jasad-jasad hidup lainnya. Dalam pengertian secara
modern, hukum lingkungan lebih berorientasi pada lingkungan atau Environmental-
Oriented Law, sedang hukum lingkungan yang secara klasik lebih menekankan pada
orientasi penggunaan lingkungan atau Use-Oriented Law.4
Hukum lingkungan modern ditetapkan ketentuan dan norma-norma guna
mengatur tindak perbuatan manusia dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dari
kerusakan dan kemerosotan mutunya demi untuk menjamin kelestariannya agar dapat
secara langsung terus-menerus digunakan oleh generasi sekarang maupun generasi-
generasi mendatang. Dengan berorientasi kepada lingkungan ini, maka hukum
lingkungan modern memiliki sifat utuh menyeluruh atau komprehensif integral,
selalu berada dalam dinamika dengan sifat dan wataknya yang luwes.5
Sebaliknya, hukum lingkungan klasik menetapkan ketentuan dan norma-
norma dengan tujuan terutama sekali untuk menjamin penggunaan dan eksploitasi
sumber-sumber daya lingkungan dengan berbagai akal dan kepandaian manusia guna
mencapai hasil semaksimal mungkin, dan dalam jangka waktu yang sesingkat-
singkatnya. Hukum lingkungan klasik bersifat sektoral, serta kaku (rigid) dan sukar
berubah.
4 Ibrahim, “Hukum Lingkungan”, http://magisterhukum.unila.ac.id/wp-content/uploads/2010/02/lingkungan-dan-hukum-lingkungan-yang-baru.pdf., hal. 4, diakses pada 09 Februari 2011.
5 Mohammad Askin, “Tugas Hukum Lingkungan”, http://www.scribd.com/doc/24793711/Tugas-Hukum-Lingkungn., hal 2, diakses pada 09 Februari 2011.
4
Menurut Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan, bahwa sistem pendekatan
terpadu atau utuh harus diterapkan oleh hukum agar mampu mengatur lingkungan
hidup manusia secara tepat dan baik, sistem pendekatan ini telah melandasi
perkembangan hukum lingkungan di Indonesia. Drupsteen mengemukakan, bahwa
hukum lingkungan (millieu recht) adalah hukum yang berhubungan dengan
lingkungan alam (naturalijk milleu) dalam arti seluas-luasnya. Ruang lingkupnya
berkaitan dengan dan ditentukan oleh ruang lingkup pengelolaan lingkungan.6
Mengingat pengelolaan lingkungan dilakukan terutama oleh pemerintah,
maka hukum lingkungan sebagian besar terdiri atas hukum pemerintahan
(bestuurecht). Hukum lingkungan merupakan instrumen yuridis bagi pengelolaan
lingkungan hidup, dengan demikian hukum lingkungan pada hakekatnya merupakan
suatu bidang hukum yang terutama sekali dikuasai oleh kaidah-kaidah hukum tata
usaha negara atau hukum pemerintahan. Untuk itu dalam pelaksanaannya aparat
pemerintah perlu memperhatikan Azas-Azas Umum Pemerintahan yang Baik
(AAUPB) atau disebut juga dengan (Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur/
General Principles of Good Administration). Hal ini dimaksudkan agar dalam
pelaksanaan kebijaksanaannya tidak menyimpang dari tujuan pengelolaan lingkungan
hidup.7
6 Ibid.7 Riana Kesuma Ayu, “Hukum Lingkungan Dalam Bidang Ilmu Hukum”,
http://riana.tblog.com/post/1970028689., diakses pada 09 Februari 2011.
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
A. Penerapan Azas Pencemar Membayar, Azas Subsidiaritas, Azas Tanggung
Jawab, Azas Keberlanjutan, dan Azas Keadilan terhadap Lingkungan
Hidup di Indonesia
Menurut Otto Soemarwoto, masalah lingkungan sudah ada sejak pertama kali
bumi ini diciptakan. Ahli ekologi ini menghubungkannya dengan kejadian yang
dikisahkand alam kitab suci Injil dan Qur’an, dimana peristiwa air bah pada zaman
Nabi Nuh AS adalah sebuah masalah lingkungan. Runtuhnya peradaban
Mesopotamia telah dinilai sebagai sebab dari masalah lingkungan, yaitu adanya
proses salinasi yang tinggi dari air sungai Tigris dan Euphrat, yang menyebabkan
rusaknya lahan-lahan pertanian.8 Akan tetapi karena waktu itu tingkat frekuensi atau
intensitas masalah tersebut belum begitu banyak dan populer, maka masyarakat
menganggap hal itu sebagai yang kurang berarti dan kutukan dari Tuhan.9
Jadi, apabila lingkungan tidak dilestarikan dan dibudidayakan juga dijaga
maka dengan kata lain lingkungan itu akan marah dan dapat memusnahkan apa saja
yang ada di atasnya. Cara pemusnahan dapat berupa banjir ataupun tidak
seimbangnya alam akibat hilangnya salah satu rantai makanan.
1. Azas Pencemar Membayar (the polluter-pays)
Azas ini ditujukan kepada salah satu pangkal tolak berfikir kebijaksanaan
lingkungan yang juga tercermin dari ketentuan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu siapa yang membayar
8 Otto Soemarwoto, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan, (Djambatan, 1983), sebagaimana dikutip N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Edisi Kedua, (Jakarta : Erlangga, 2004), hal. 41.
9 Ibid.
7
pencemaran. Pada prinsipnya pencemar membayar mengandung makna bahwa
pencemar harus memikul biaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran. Oleh
sebab itu kebijakan prinsip lingkungan ini ditujukan untuk pencegahan pencemaran,
dan sarana yang digunakan pemeirntah adalah sarana peraturan/ pengaturan berupa
izin dan sarana ekonomi yang terdiri dari pungutan (charges) dan uang jaminan yang
tujuan dari pungutan dan uang jaminan adalah membiayai upaya pencegahan dan
penanggulangan pencemaran. Disamping itu pungutan pencemaran menjadi insentif
bagi pencemar untuk menghilangkan atau mengurangi pencemaran.10
Tingkah laku manusia telah membawa dampak besar terhadap ketahanan atau
daya dukung lingkungan (environment carrying capacity). Aksi dan tingkah laku
berupa pemenuhan kebutuhan dasar dan rupa-rupa kebutuhan lain sampai pada
keinginan-keinginan yang variatif, tidak terlepas pula dari loncatan modernisasi. Jika
situasinya dibanding misalnya dengan cara-cara prateknologi modern seperti berburu,
menebang pohon, berladang, menambang barang-barang tambang yang masih
sederhana, maka corak tingkah laku seperti itu tidaklah seberapa berpengaruh pada
keseimbangan lingkungan, karena masih dapat pulih melalui sistem mata rantai
ekosistem lain. Tetapi kini, praktek-praktek hidup manusia bukan lagi sekedar
menutupi kebutuhan, melainkan telah berpusat pada keinginan yang serba tidak
terbatas.11
Misalnya teknologi penangkapan ikan dengan sistem trawl adalah untuk
menghasilkan ikan dari laut semaksimal mungkin pada gilirannya bertujuan untuk
10 Krishna Adi Pujangga, “Laporan Pengantar Hukum Indonesia Hukum Lingkungan”, http://www.scribd.com/doc/44528154/Laporan-Pengantar-Hukum-Indonesia-Hukum-Lingkungan., diakses pada 09 Februari 2011.
11 N.H.T. Siahaan, Loc.cit., hal. 55.
8
mencapai kesejahteraan manusia di bidang pangan dan gizi. Memang seperti di
Indonesia, berita-berita kekurangan gizi dan malnutrisi, merupakan berita harian yang
sepertinya tidak lagi peka di telinga, karena terlalu sering berita itu disuguhkan para
pembuat berita.12
Ketika Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) berhasil mencapai
tingkatan-tingkatannya, ternyata manusia kerap lupa dan gagal untuk berkomitmen
pada janjinya bahwa IPTEK adalah sarana yang digunakan untuk memecahkan
masalah-masalah sosial. Begitu kapal-kapal penangkap ikan lengkap dengan sarana
teknologinya beroperasi dan berhasil menjaring sejumlah besar ikan laut, maka yang
terjadi masyarakta pemukiman pantai yang kebanyakan adalah nelayan menjadi
semakin miskin, dan ikan-ikan dari laut pun hampir tidak bisa disentuh hanya sebagai
sumber makanan dan gizi bagi masyarakat dan keluarganya, karena populasi ikan
sudah habis dijaring oleh trawl milik kapal besar perusahaan-perusahaan raksasa.13
Hal inilah yang menjadikan the polluter-pays atau pencemar membayar.
Dengan adanya pencemaran atau sulitnya nelayan untuk menangkapi ikan dengan
cara-cara tradisional maka perusahaan-perusahaan raksasa yang bergerak dalam
pengolahan ikan kaleng harus bertanggung jawab penuh untuk menghidupi para
nelayan pinggir pantai. Cara yang ditempuh adalah dengan menampung pekerja dari
nelayan-nelayan itu sendiri, ataupun dengan cara memberikan ikan-ikan kecil kepada
nelayan dengan harga yang terjangkau dan wajar. Cara-cara tersebut dapat ditempuh
apabila diawasi dan direncanakan dengan baik dan benar.
12 Ibid. 13 Ibid.
9
Perusahaan-perusahaan pengalengan ikan tersebut harus memiliki hati nurani
untuk menjalankan peraturan yang berlaku. Bukan saja dengan menghubungi pihak
pejabat daerah, meminta izin, lalu langsung beroperasi. Hal itu sudah pasti hanya
menguntungkan pihak pejabat yang tidak tahu menahu masalah kemana uang bayaran
untuk dikeluarkan izin tersebut disalurkan. Lebih baik langsung perusahaan tadi
memberikan lapangan pekerjaan dan memberikan hasil tangkapan mereka kepada
para nelayan untuk menjual. Masyarakat dengan sendirinya akan senang dan welcome
terhadap mereka.
2. Azas Subsidiaritas
Pencemaran air di Sungai Deli, Kotamadya Medan, Sumatera Utara diduga
kuat berasal dari limbah 50 (lima puluh) perusahaan industri besar yang beroperasi di
sepanjang sungai tersebut. Hasil temuan dari kajian Badan Lingkungan Hidup (BLH)
menemukan terdapat 58 (lima puluh delapan) tumpukan sampah di sepanjang sungai.
Di hilir terdapat pencemaran cuprum dan amoniak, sementara di tengah Sungai Deli
ditemukan limbah-limbah organik dari limbah domestik dan hotel, sementara di hulu
sungai terdapat pencemaran yang berasal dari proses erosi.14
Seperti yang disebutkan pada alinea sebelumnya bahwa terjadi banyak polusi
lingkungan baik itu pencemaran tanah, air, dan udara. Namun, begitulah potret dari
keadaan lingkungan sekitar kita. Hal tersebut merupakan akibat dari ketidakbecusan
pemerintah dalam menangani masalah lingkungan ini yang hanya mengandalkan 14 Antara News, “Pencemaran Sungai Deli Medan dari Limbah Industri”,
http://www1.antaranews.com/berita/207787/pencemaran-sungai-deli-medan-dari-limbah-industri., diakses pada 09 Februari 2011.
10
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (BAPEDALDA). Kewenangan
yang diberikan tersebut disalahgunakan dengan asal-asalan mengeluarkan izin
lingkungan terhadap perusahaan-perusahaan pemohon.
Dengan begitu banyaknya pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh
oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Maka dalam Undang-Undang No. 32
Tahun 2009 tentang Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang memakai
azas subsidiaritas dalam menangani kasus pencemaran lingkungan. Penegakan hukum
kasus lingkungan hidup dapat ditempuh dengan 3 (tiga) jalur, yaitu15 :
a. Jalur Administrasi;
b. Jalur Pidana; dan
c. Jalur Perdata.
Penegakan hukum lingkungan yang mengedepankan model pidana
administratif didasarkan pada sulitnya pembuktian yang dilakukan dengan jalur
pidana lingkungan hidup dan banyaknya industri atau kegiatan usaha yang mendapat
izin dari pemerintah ternyata melakukan pencemaran atau perusakan lingkungan
hidup. Sanksi yang diberikan lebih ditekankan kepada penjatuhan pidana denda
daripada menjatuhkan pidana penjara. Sekiranya, penerapan penuntutan melalui jalur
pidana merupakan tindakan terakhir dalam menghadapi kasus lingkungan hidup
apabila sanksi perdata tidak cukup untuk mengganti kerugian yang ditimbulkan oleh
sebuah perusahaan/industri pencemar.16
15 Suhaidi, “Modul Perkuliahan : Hukum Tata Lingkungan”, (Medan : Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2009).
16 Azamul Fadhly Noor, “Azas Subsidiaritas dalam UU Pokok Lingkungan Hidup (PLH)”, http://azamul.wordpress.com/2007/07/04/asas-subsidiaritas-dalam-uu-pokok-lingkungan-hidup-plh/., diakses pada 25 Mei 2009, sebagaimana dikutip Agung Yuriandi, Op.cit., hal. 6.
11
Pencemaran dan perusakan lingkungan hidup terjadi karena adanya sengketa
dan pihak-pihak yang dirugikan. Penyelesaian sengketa menurut Undang-Undang No.
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dapat
ditempuh melalui 2 (dua) jalur, yaitu17 :
a. Luar Pengadilan;
Penyelesaian sengketa dengan menggunakan jalur luar pengadilan bersifat
optional atau pilihan dan sukarela atau voluntary. Para pihak dapat memilih jalur ini
dalam menyelesaikan sengketa tetapi harus bersifat sukarela. Jika, satu pihak saja
yang setuju menggunakan jalur ini maka tidak bisa dilakukan. Harus kedua belah
pihak menyatakan penyelesaian sengketa dengan cara luar pengadilan atau dalam
bahasa Inggris disebut dengan Alternative Dispute Resolution (ADR).18
Pada prakteknya dari dulu Indonesia sudah menggunakan jalur luar
pengadilan karena azas musyawarah mufakat dan menggunakan sistem win win
solution berdasarkan musyawarah yang dituangkan dalam bentuk perjanjian. Dengan
kata lain, sama-sama menang dengan tidak merugikan salah satu pihak.19
Biasanya korban pencemaran tidak mengerti tentang hukum sedangkan
pencemar mengerti tentang hukum karena menggunakan lawyer. Namun, dapat
menggunakan pihak ketiga yang harus dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah
No. 54 tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa
17 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059. Pada Pasal 84 ayat (1) menyebutkan bahwa : “penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan”.
18 Agung Yuriandi, Op.cit., hal. 6. 19 Ibid.
12
Lingkungan Hidup. Lembaga ini dapat dibentuk melalui masyarakat dan pemerintah
supaya bargaining position dalam menyelesaikan sengketa terpenuhi.20
Jalur luar pengadilan adalah jalur sukarela, dan kedua belah pihak harus
setuju. Pihak ketiga juga dapat menyelesaikan sengketa juga dengan persetujuan
kedua belah pihak.21 Di Medan sudah ada Biro Lingkungan Hidup oleh
BAPEDALDA. Biasanya dalam perjanjian, salah satu pihak tidak setuju dengan isi di
dalam perjanjian tersebut maka tidak terpenuhilah kesepatakan untuk menyelesaikan
sengketa menggunakan jalur luar pengadilan.22 Jika sudah dipilih jalur ini maka
tertutup kemungkinan untuk menggunakan jalur pengadilan, kecuali23 :
1. Salah satu pihak tidak setuju; dan
2. Dinyatakan tidak berhasil secara tertulis oleh salah satu atau para pihak
(dalam konteks perjanjian).
b. Jalur Pengadilan.
Penyelesaian sengketa menurut jalur pengadilan, dapat dilakukan dengan
perdata ataupun pidana, yang lebih diutamakan adalah hukum perdata berkaitan
dengan ”Azas Subsidiaritas”.24 Penerapan hukum pidana merupakan jalan terakhir
apabila hukum perdata, administrasi, dan alternatif penyelesaian sengketa tidak
efektif lagi. Hal ini untuk mencapai kepastian hukum dan keadilan yang merupakan
20 Ibid.21 Ibid.22 Ibid.23 Ibid.24 Penerapan prinsip subsidiaritas dilakukan apabila hukum sanksi administrasi dan sanksi
pidana tidak efektif.
13
tujuan dari hukum itu sendiri. Jadi, apabila seseorang penanggung jawab pada
perusahaan yaitu direktur sebagai pengurus yang bertanggung jawab. Maka, jika
pencemarannya melebihi apa yang telah ditentukan standarnya maka harus dihukum
dengan seberat-beratnya/maksimal. Agar menimbulkan efek jera terhadap perusahaan
lainnya.
Penyelesaian sengketa melalui peradilan diatur pada bagian ketiga Undang-
Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, terdiri dari25 :
1. Ganti kerugian dan pemulihan lingkungan;
2. Tanggung jawab mutlak;
3. Hak gugat pemerintah dan pemerintah daerah;
4. Hak gugat masyarakat;
5. Hak gugat organisasi lingkungan hidup; dan
6. Gugatan administratif.
Dalam undang-undang ini mengenal apa yang dinamakan azas Ultimatum
Remedium, yakni mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya
terakhir setelah penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan
azas ini, hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap
pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan.26
25 Ferli Hidayat, “Penerapan UU No. 32 tahun 2009 Dalam Penyelesaian Sengketa Hukum”, http://ferli1982.wordpress.com/2010/12/21/113/., diakses pada 09 Februari 2011.
26 Ibid.
14
3. Azas Tanggung Jawab (strict liability)
Prinsip pertanggungjawaban mutlak (strict liability) merupakan prinsip
pertanggung jawaban hukum (liability) yang telah berkembang sejak lama yang
berawal dari sebuah kasus di Inggris yaitu Rylands v. Fletcher tahun 1868. Dalam
kasus ini Pengadilan tingkat kasasi di Inggris melahirkan suatu kriteria yang
menentukan, bahwa suatu kegiatan atau penggunaan sumber daya dapat dikenai strict
liability jika penggunaan tersebut bersifat non-natural atau di luar kelaziman, atau
tidak seperti biasanya.27
Pertanggung jawaban hukum konvensional selama ini menganut asas
pertanggung jawaban berdasarkan kesalahan (liability based on fault), artinya bahwa
tidak seorangpun dapat dikenai tanggung jawab jika pada dirinya tidak terdapat
unsur-unsur kesalahan. Dalam kasus lingkungan doktrin tersebut akan melahirkan
kendala bagi penegakan hukum dipengadilan karena doktrin ini tidak mampu
mengantisipasi secara efektif dampak dari kegiatan industri modern yang
mengandung resiko-resiko potensial.28
Pertanggung jawaban mutlak pada awalnya berkembang dinegara-negara yang
menganut sistem hukum anglo saxon atau common law, walaupun kemudian
mengalami perubahan perkembangan dibeberapa negara untuk mengadopsinya.
Beberapa negara yang menganut asas ini antara lain Inggris, Amerika, Belanda,
Thailand.29
27 Mas Achmad Santosa, et.al., Penerapan Azas Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability) di Bidang Lingkungan Hidup, http://www.icel.or.id/penerapan-asas-tanggung-jawab-mutlak-strict-liability-di-bidang-lingkungan-hidup/., diakses pada 09 Februari 2011.
28 Ibid.29 Ibid.
15
Di Indonesia asas ini dimuat dalam Pasal 88 Undang-Undang No. 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam pasal ini
pengertian tanggungjawab mutlak/strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu
dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti kerugian. Dimana
besarnya ganti kerugian yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak
lingkungan hidup menurut pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu.30
4. Azas Keberlanjutan (sustainable development)
Azas ini dimaksudkan adalah untuk mempertahankan daya dukung dan daya
tampung dari alam itu sendiri. Apabila ada yang melakukan pencemaran lingkungan
baik itu perorangan atau pun subjek hukum lainnya dapat dikenakan sanksi untuk
mengembalikan alam itu seperti semula. Pembangunan nasional merupakan
rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh
kehidupan masyarakat, bangsa dan negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan
tujuan nasional yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Pembangunan berkelanjutan dirumuskan sebagai pembangunan yang
memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan
generasi mendatang. Pembangunan berkelanjutan mengandung makna jaminan mutu
kehidupan manusia dan tidak melampaui kemampuan ekosistem untuk
30 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059. Pada Pasal 88 menyebutkan bahwa : “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”.
16
mendukungnya. Dengan demikian pengertian pembangunan berkelanjutan adalah
pembangunan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pada saat ini tanpa mengurangi
kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan
mereka. Konsep ini mengandung dua unsur : (a). Kebutuhan, khususnya kebutuhan
dasar bagi golongan masyarakat yang kurang beruntung, yang amat perlu
mendapatkan prioritas tinggi dari semua negara; (b). Keterbatasan. Penguasaan
teknologi dan organisasi sosial harus memperhatikan keterbatasan kemampuan
lingkungan untuk memenuhi kebutuhan manusia pada saat ini dan di masa depan.31
Dalam paradigma ekonomi, pembangunan berkelanjutan dapat diterjemahkan
sebagai pemeliharaan kapital. Ada empat variasi kebijakan mengenai pembangunan
berkelanjutan32 :
1. Kesinambungan yang sangat lemah (very weak sustainabillity) atau
“Hartwick-Solow sustainability” yang hanya mensyaratkan kapital dasar
total yang harus dipelihara. Kesinambungan ini dapat dicapai dengan
memastikan bahwa tingkat/ laju konsumsi berada di bawah Hicksian
income, dimana Hicksian income ini didefinisikan sebagai tingkat
konsumsi maksimum yang dapat membangun kondisi masyarakat yang
lebih sejahtera di akhir periode pembangunan dibandingkan dengan
kondisi awalnya. Diasumsikan natural capital dapat disubsitusi dengan
kapital buatan manusia (man-made capital) tanpa batas. Dengan kata lain,
31 “Keberlanjutan Pembangunan”, http://okto-sumberdayaalam-okto.blogspot.com/2009/11/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html., diakses pada 09 Februari 2011.
32 Idris Kartawijaya, “Pembangunan Berkelanjutan”, http://tbidris.wordpress.com/2008/03/31/pembangunan-berkelanjutan/., diakses pada 09 Februari 2011.
17
deplesi sumberdaya alam tidak diperhitungkan dalam penilaian kegiatan
ekonomi.
2. Kesinambungan yang lemah (weak sustainability), mensyaratkan
pemeliharaan kapital total, dengan kendala bahwa modal alami yang
penting (critical natural capital) harus dilestarikan. Misalnya : bila
sumberdaya air dan keragaman spesies merupakan hal yang penting bagi
stabilitas ekosistem, sumberdaya tersebut tidak dapat dikorbankan bagi
alasan-alasan pertumbuhan ekonomi.
3. Kesinambungan yang kuat (strong sustainability) mensyaratkan bahwa
tidak ada substitusi bagi modal alami (natural capital), karena natural
capital ini memperkuat kesejahteraan manusia dan degradasi natural
capital tersebut dapat dikembalikan kondisinya ke kondisi awal.
Kesinambungan yang kuat mensyaratkan pemeliharaan kapital total,
dengan kendala bahwa agregrat kapital total harus dilestarikan.
4. Kesinambungan yang sangat kuat (very strong sustainability)
mensyaratkan bahwa kesinambungan sistem ekologi adalah esensi
pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Pembangunan yang
bergantung pada sumberdaya (resource-dependent “development”)
diperbolehkan, namun demikian, pertumbuhan yang bergantung pada
sumberdaya (resources-dependent “growth”) tidak dapat dibenarkan.
Interpretasi ini mensyaratkan pemisahan setiap komponen dari natural
capital. Pada kenyataannya, very strong sustainability lebih merupakan
sistem daripada suatu konsep ekonomi.
18
5. Azas Keadilan
Pada azas ini secara tersirat mengatakan bahwa pemerintah harus dapat
berlaku adil terhadap masyarakat dan pelaku usaha. Sebagai contoh : apabila ada
terdapat di suatu daerah sebuah gunung yang mengandung butiran-butiran pasir
berupa emas. Maka, pemerintah dengan sigap langsung mengambil alih hak atas
tanah dari masyarakat tersebut. Pengambil alihan hak atas tanah itu didukung juga
oleh perusahaan-perusahaan emas yang tidak segan-segan mengeluarkan biaya yang
sangat besar untuk itu.
Namun, hal tersebut sudah pasti sangat memprihatinkan masyarakat sekitar,
karena pembagian hasil keuntungan tidak layak. Jika hak atas tanah tersebut sudah
beralih pengelolaannya kepada perusahaan tadi, maka masyarakat sekitar tidak dapat
lagi mengusahakan emas pada daerah tersebut. Contohnya dapat dilihat pada Gunung
Pagaralam di Indonesia yang mengandung bongkahan batu berupa emas.
Studi yang dilakukan Van Vollenhoven Institute (VVI), menunjukkan antara
tahun 1989-2002 terdapat setidaknya 41 sengketa baik sengketa akibat pencemaran
lingkungan maupun perusakan lingkungan di Indonesia. Banyaknya kasus itu
menunjukkan kurang efektifnya penanganan kasus lingkungan di Indonesia.
Penyelesaian kasus pencemaran baik melalui pengadilan maupun mediasi memiliki
kekuatan dan kelemahan. VVI mengkaji kasus-kasus itu untuk mengetahui
bagaimana kasus ditangani pengadilan maupun melalui mediasi. VVI mendapatkan
19
bahwa dari 23 kasus yang diajukan ke pengadilan, hanya 13% yang dimenangkan
penggugat.33
Sementara untuk kasus pencemaran lingkungan yang diselesaikan melalui
mediasi, sebanyak 82% dari 17 kasus yang diteliti mencapai kesepakatan, dan hanya
64% tuntutan kompensasi telah dipenuhi dan dibayar oleh perusahaan. Adapun waktu
yang ditempuh untuk mencapai kesepakatan pun cukup lama yaitu antara satu hingga
lima tahun. Walaupun persentase pencapaian kesepakatan dan pembayaran
kompensasi cukup tinggi namun keberlanjutan pencemaran dan sengketa juga masih
cukup tinggi yakni masing-masing mencapai 58% dan 47%.34
Hal di atas menunjukkan angka yang tidak memuaskan disebabkan oleh
penegak-penegak hukum yang masih melakukan korupsi. Seberapa bagus undang-
undang itu dibuat jika pengawas dan penegak hukumnya itu lemah, maka tujuan
hukum tidak berjalan yaitu keadilan dan kepastian hukum. Terkait dengan budaya
hukum yang berlaku pada suatu masyarakat, apabila budayanya baik, maka hukum
yang diterapkan juga baik dan berjalan. Namun, apabila budayanya tidak baik, hukum
tidak berjalan, dan tujuan hukum tidak tercapai.
33 “Bappenas : Akses Keadilan Lingkungan Perlu Ditingkatkan”, http://www.antaranews.com/berita/244680/bappenas-akses-keadilan-lingkungan-perlu-ditingkatkan., diakses pada 09 Februari 2011.
34 Ibid.
20
B. Situasi dan Kondisi di Indonesia Apabila Penerapan Azas-Azas Hukum
Lingkungan Tidak Berjalan Dengan Baik Terhadap Lingkungan Hidup di
Indonesia
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa di dalam Undang-Undang
No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa
azas-azas yang terdapat di dalamnya, antara lain :
1. Azas Pencemar Membayar (the polluter pays);
2. Azas Subsidiaritas;
3. Azas Tanggung Jawab (strict liability);
4. Azas Keberlanjutan (sustainable development);
5. Azas Keadilan.
Dari kelima azas tersebut timbul pertanyaan selanjutnya bagaimana apabila
azas-azas yang tersebut di atas tidak berjalan dengan semestinya. Seperti dapat dilihat
pada kejadian-kejadian yang merugikan lingkungan sekitar kita. Contohnya saja
dapat dilihat pada pencemaran air di Sungai Deli. Artinya, kebijaksanaan pemerintah
dalam penanganan permasalahan lingkungan saat ini masih dipandang tidak berjalan
dengan baik dan tidak didasari dengan penelitian yang baik pula. Masalah terbesar
dalam lingkungan adalah ledakan penduduk yang mengakibatkan semakin beratnya
masyarakat untuk bertahan hidup atau beban lingkungan.35
Kondisi tersebut di atas diperparah lagi dengan kebijaksanaan pembangunan
yang tidak memperhatikan prinsip keberlanjutan (sustainable development). Jadi,
35 Ferdian Rikudo, “Ekologi dan Lingkungan Hidup”, http://ferdianrikudo.wordpress.com/2010/09/26/ekologi-dan-lingkungan-hidup/., diakses pada 10 Februari 2011.
21
semakin maju suatu masyarakat maka akan berkurang daya dukung dan daya
tampung lingkungan dan alam disebabkan oleh ketidakberpihakan pemerintah dalam
mendukung alam dan lingkungan. Apalagi dengan kultur budaya yang sudah berubah,
tidak seperti dulu lagi yang mengedepankan kebersamaan dan tolong menolong.
Sekarang masyarakat sudah tidak peduli satu sama lain. Kebutuhan masyarakat
meningkat bukan saja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, tetapi juga untuk
menumpuk harta kekayaan. Hal inilah yang menjadikan alam dan lingkungan
berkurang daya dukung dan daya tampungnya.
Diperparah lagi dengan bencana lingkungan, terlihat dari besarnya peluang
krisis energi yang dihadapi, buruknya pengelolaan Rencana Umum Tata Ruang Kota
(RUTRK) yang carut marut, terjadinya bencana alam dimana-mana, rusaknya hutan
Indonesia serta sekelumit masalah pencemaran lingkungan lainnya yang tidak pernah
terselesaikan.36 Belum lagi masalah keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk
pembangunan. Orang-orang yang berhubungan dengan lingkungan secara langsung
tidak pernah memperhatikan lingkungannya.
Beralih ke masalah tanggung jawab langsung (strict liability) yang
mengatakan bahwa unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu untuk
mengejar pelaku agar membayar ganti rugi terhadap pencemaran lingkungan yang
dilakukannya. Sebagai contoh : Perusahaan X melakukan pencemaran di daerah
sungai. Hal itu tidak perlu dibuktikan lagi apabila sudah dilihat hanya ada 1 (satu)
perusahaan yang beroperasi di daerah sungai tersebut. Maka, pihak penegak hukum
dalam hal ini Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah (PPLHD) untuk
36 Ibid.
22
melakukan penegakan hukum. Bentuk sanksi dapat berupa sanksi pidana,
administrasi, maupun perdata.
PPLHD adalah suatu badan yang mengawasi lingkungan di daerah. PPLHD
berada di bawah BAPEDALDA. Dalam konteks Sumatera Utara, BAPEDALDA
dibawahi oleh Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara. Menurut Pasal 10 ayat (3)
huruf b, mengatakan bahwa “RPPLH diatur dengan peraturan daerah provinsi untuk
RPPLH provinsi”.37
BAB III
PENUTUP
37 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059.
23
A. Kesimpulan
Setelah melakukan studi kepustakaan pada tulisan yang berjudul “Azas-Azas
yang Terdapat Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup”, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Azas pencemar membayar, azas subsidiaritas, azas keberlanjutan, azas
tanggung jawab, dan azas keadilan merupakan hal yang penting untuk
ditegakkan dengan baik dan benar. Didukung dengan pengawas yang baik
pula. Seperti yang dikatakan oleh Lawrence M. Friedman mengenai “Sistem
Hukum”, bahwa apabila hukum itu ingin bergerak bagus dan mencapai
tujuannya yaitu keadilan dan kepastian maka harus memiliki : substansi
hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Jika, pengawasannya sudah baik,
dalam hal ini adalah pemerintah dan organisasi lingkungan maka substansi
hukum sudah jalan dan otomatis strukturnya berjalan dengan dilandasi budaya
hukum yang baik dan berwawasan lingkungan;
2. Apabila azas-azas yang terdapat dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Tidak Berjalan,
maka yang terjadi adalah berkurangnya daya dukung dan daya tampung alam
dan lingkungan.
B. Saran
Setelah menarik kesimpulan maka saran yang didapat, antara lain :
24
1. Sebaiknya diberikan pengetahuan kepada perusahaan-perusahaan skala kecil
maupun besar agar lebih memperhatikan lingkungannya;
2. Pihak pengawas lingkungan agar bersinergi dengan instansi terkait lainnya
untuk melakukan penyuluhan-penyuluhan dan sosialisasi lingkungan; dan
3. Sebaiknya pemerintah lebih peduli terhadap lingkungan bukan berorientasi
pendapatan daerah saja melainkan harus mengembalikan alam seperti semula
agar anak cucu dan generasi penerus dapat terus hidup baik dan dapat
memenuhi kebutuhan hidup mereka.
DAFTAR PUSTAKA
25
Buku
Siahaan, N.H.T., Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Edisi Kedua, Jakarta : Erlangga, 2004.
Suhaidi, “Modul Perkuliahan : Hukum Tata Lingkungan”, Medan : Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2009.
Yuriandi, Agung., ”Azas Subsidiaritas Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Makalah, Medan : Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2009.
Artikel Internet
“Bappenas : Akses Keadilan Lingkungan Perlu Ditingkatkan”, http://www.antaranews.com/berita/244680/bappenas-akses-keadilan-lingkungan-perlu-ditingkatkan., diakses pada 09 Februari 2011.
“Keberlanjutan Pembangunan”, http://okto-sumberdayaalam-okto.blogspot.com/2009/11/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html., diakses pada 09 Februari 2011.
Antara News, “Pencemaran Sungai Deli Medan dari Limbah Industri”, http://www1.antaranews.com/berita/207787/pencemaran-sungai-deli-medan-dari-limbah-industri., diakses pada 09 Februari 2011.
Askin, Mohammad., “Tugas Hukum Lingkungan”, http://www.scribd.com/doc/24793711/Tugas-Hukum-Lingkungn., hal 2, diakses pada 09 Februari 2011.
Ayu, Riana Kesuma., “Hukum Lingkungan Dalam Bidang Ilmu Hukum”, http://riana.tblog.com/post/1970028689., diakses pada 09 Februari 2011.
26
Hidayat, Ferli., “Penerapan UU No. 32 tahun 2009 Dalam Penyelesaian Sengketa Hukum”, http://ferli1982.wordpress.com/2010/12/21/113/., diakses pada 09 Februari 2011.
Ibrahim, “Hukum Lingkungan”, http://magisterhukum.unila.ac.id/wp-content/uploads/2010/02/lingkungan-dan-hukum-lingkungan-yang-baru.pdf., hal. 4, diakses pada 09 Februari 2011.
Kartawijaya, Idris., “Pembangunan Berkelanjutan”, http://tbidris.wordpress.com/2008/03/31/pembangunan-berkelanjutan/., diakses pada 09 Februari 2011.
Pujangga, Krishna Adi., “Laporan Pengantar Hukum Indonesia Hukum Lingkungan”, http://www.scribd.com/doc/44528154/Laporan-Pengantar-Hukum-Indonesia-Hukum-Lingkungan., diakses pada 09 Februari 2011.
Rikudo, Ferdian., “Ekologi dan Lingkungan Hidup”, http://ferdianrikudo.wordpress.com/2010/09/26/ekologi-dan-lingkungan-hidup/., diakses pada 10 Februari 2011.
Santosa, Mas Achmad., et.al., Penerapan Azas Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability) di Bidang Lingkungan Hidup, http://www.icel.or.id/penerapan-asas-tanggung-jawab-mutlak-strict-liability-di-bidang-lingkungan-hidup/., diakses pada 09 Februari 2011.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059.
27