bab 1-akhir
DESCRIPTION
gerusTRANSCRIPT
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Penyalahgunaan bahan alkohol sebagai bahan minuman keras sangat banyak
terjadi. Kasus-kasus kematian terkait dengan minuman keras oplosan sudah sering
dilaporkan di Indonesia. Salah satunya adalah berita yang dari kabupaten Blitar yang
mengabarkan 40 orang sedang menggelepar sekarat akibat menegak minuman keras
oplosan pada acara pernikahan (Arif & Bachtiar, 2012). Berdasarkan laporan hasil
Riset Kesehatan Dasar NTB tahun 2007, konsumsi alkohol selama 12 bulan terakhir
di Provinsi Nusa Tenggara Barat mencapai 2% lebih rendah dari angka nasional
(3,2%) (Riskesdas NTB, 2007).
Seringkali pembuat miuman keras oplosan tidak memperhatikan jenis bahan
dan kadar yang digunakan dalam membuat minuman keras oplosan. Etanol adalah
bahan kimia yang diperoleh dari hasil fermentasi bahan-bahan seperti buah dan biji-
bijian yang normalnya di gunakan dalam pembuatan minuman keras, tetapi harus
melalui beberapa kali penyaringan dan kadar yang ditetapkan oleh pemerintah adalah
sekitar 1-55% (Syarifudin, 2010).
Peminum kronis dapat mengalami berbagai gangguan syaraf mulai dari
dementia (gangguan kecerdasan), bingung, kesulitan berjalan dan kehilangan
memori. Berdasarkan penelitian, efek pada otak yang diakibatkan oleh keracunan
metanol adalah kerusakan pada retina mata dan nekrosis putamen bilateral dengan
2
atau tanpa perdarahan, edema serebri, herniasi, dan perubahan patologi sel-sel otak
(Trisna, 2010).
Dalam pembuatan minuman keras oplosan, zat-zat seperti etanol, metanol atau
etilen glikol sering dicampur dengan bahan-bahan seperti minuman berenergi, nanas,
Pepsi, obat nyamuk, spiritus, deterjen, dan DPM (D-3-methoxy-N-methyl-morphinan,
dimana dalam dosis tertentu digunakan untuk mengurangi batuk) (Trisna, 2010).
Dalam kasus minuman keras yang menyebabkan kematian, minuman keras yang
diminum juga dicampurkan dengan MSG (monosodium glutamate) bahan penyedap
rasa sejenis vetsin (Arif& Bachtiar, 2012).
Alkohol bisa menghilangkan kecemasan dalam pikiran. Selain itu alkohol bisa
memberikan rasa manis sehingga membuat minuman dan makanan menjadi enak
(Sudarmaji, 1982), sedangkan MSG mempunyai pengaruh sebagai penyedap rasa.
Hal inilah yang mungkin menjadi penyebab orang yang mengkonsumsi alkohol lupa
berapa banyak alkohol yang telah diminum karena didalamnya ada campuran MSG
yang memberikan rasa nikmat sehingga tidak sadar bahwa volume yang dikonsumsi
sudah mencapai kadar toksik.
Khususnya pada sistem neurologik, efek yang bisa ditimbulkan akibat
mengkonsumsi MSG adalah depresi, perasaan yang tidak stabil, migrain, pusing,
sakit kepala ringan, hilang keseimbangan, disorientasi, bingung, cemas, sering panik,
hiperaktivitas, gangguan perilaku anak, gangguan perhatian, letargi, mudah
mengantuk atau susah tidur, skiatrik, gagap, kesemutan atau paralisis (Arisman,
2009).
3
Otak adalah organ yang sangat kritis, terdiri dari berbagai struktur yang sangat
menunjang fungsi tubuh, merupakan pusat integrasi dan koordinasi organ-ogran
sensorik dan sistem efektor perifer tubuh, dan berfungsi sebagai pengatur informasi
yang masuk, simpanan pengalaman, impuls yang keluar dan tingkahlaku (Wilson,
2005). Kerusakan yang terjadi pada otak bisa diketahui dengan cara melihat
perubahan yang terjadi pada struktur organnya.
Kematian akibat minuman keras yang dioplos dengan bahan kimia telah
dilaporkan, serta penelitian yang membahas minuman oplosan dengan bahan
campuran yang lain juga sudah dilaporkan, antara lain tentang pengaruh pemberian
etanol dan metanol pada gambaran histopatologis hepar dan ginjal (Sumarni, 2010).
Penelitian lainnya adalah tentang pengaruh pemberian alkohol 20% secara akut dan
kronik pada tikus bisa yang menyebabkan toksik pada ginjal (Guhardi, 2012). Hal ini
menunjukkan bahwa lamanya paparan juga berpengaruh terhadap kerusakan organ.
Sedangkan penelitian tentang pengaruh pemberian oplosan MSG dan etanol terhadap
gradasi kerusakan otak belum pernah dilaporkan, sementara penggunaan MSG sendiri
sebagai Adjuvan sudah diketahui.
Hal inilah yang mendorong peneliti untuk mengetahui bagaimana pengaruh
pemberian oplosan etanol dan MSG dosis letal sejumlah 4 ml dengan dosis yang
bervariasi yaitu perbandingan 1:3, 1:4, dan 1:5 terhadap gradasi kerusakan otak tikus
Wistar.
4
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah
pengaruh pemberian oplosan MSG dan etanol 10% dosis bertingkat terhadap gradasi
kerusakan otak tikus Wistar.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah pengaruh
pemberian oplosan MSG dan etanol 10% dosis bertingkat terhadap gradasi kerusakan
otak tikus Wistar.
1.3.2 Tujuan khusus
Tujuan dari penelitian ini adalah
1. Mengetahui gradasi kerusakan otak tikus Wistar yang telah diberi paparan
etanol 10% sebanyak 4 ml.
2. Mengetahui gradasi kerusakan otak tikus Wistar yang telah diberi paparan
MSG dosis letal sebanyak 4 ml.
3. Mengetahui gradasi kerusakan otak tikus Wistar yang telah diberi paparan
oplosan MSG dan etanol 10% dosis letal dengan perbandingan 1: 3 sebanyak
4 ml.
4. Mengetahui gradasi kerusakan otak tikus Wistar yang telah diberi paparan
oplosan MSG dan etanol 10% dosis letal dengan perbandingan 1: 4 sebanyak
4 ml.
5
5. Mengetahui gradasi kerusakan otak tikus Wistar yang telah diberi paparan
oplosan MSG dan Etanol 10% dosis letal dengan perbandingan 1:5 sebanyak
4 ml.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Untuk peneliti
Memberi pengetahuan bagi mahasiswa tentang efek penggunaan
alkohol khususnya oplosan MSG dan etanol bagi kesehatan.
1.4.2 Untuk pemerintah
Menjadi bahan informasi masalah kesehatan mengenai efek pemberian
oplosan MSG dan etanol sehingga bisa digunakan sebagai acuan dalam
mengambil keputusan terkait dengan kesehatan masyarakat.
1.4.3 Untuk masyarakat
Menjadi bahan acuan bagi masyarakat dalam mengkonsumsi etanol
dan MSG supaya mengetahui batas normal yang boleh dikonsumsi.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Monosodium Glutamate
2.1.1 Definisi MSG
Monosodium glutamat (MSG) adalah garam sodium “L glutamate acid” yang
mudah larut dalam air dan tidak berbau, dibuat melalui proses fermentasi dari tetes-
gula (molases) oleh bakteri Brevibacterium lactofermentum. Dari fermentasi ini
dihasilkan asam glutamat. Asam glutamat kemudian ditambah soda (Natrium
karbonat) sehingga terbentuk MSG, kemudian dimurnikan dan dikristalisasi
(Simanjuntak, 2010).
Gambar 2.1.1. Struktur kimia MSG, dikutip dari Kauffman, 2004
Asam glutamat digolongkan menjadi salah satu asam amino non essensial
tubuh manusia dapat memproduksi glutamat sendiri. Glutamat dibuat dalam tubuh
manusia dan memainkan peran esensial dalam metabolisme. Hampir dua kilogram
glutamat terdapat secara alami dalam otak, ginjal, hati dan pada jaringan lain pada
tubuh manusia (Simanjuntak, 2010). Selain di produksi dalam tubuh, glutamat juga
terdapat dalam beberapa makanan. Dalam urutan makin tinggi, beberapa diantaranya
7
mengandung kadar tinggi seperti: susu, telur, daging, ikan, ayam, kentang, jagung,
tomat, brokoli, jamur, anggur, kecap, saus dan keju (Ardyanto, 2004).
Saat ini, menghindari bahan penyedap rasa berupa MSG tidak mudah karena
masyarakat sudah terbiasa menggunakannya sehari-hari. Bahkan saat ini kadar MSG
yang digunakan semakin bertambah dan tidak sesuai dengan kadar yang
diperbolehkan. Hal ini terjadi akibat naiknya ambang rasa enak diotak yang
disebabkan oleh MSG. Akibat dari hal ini tentunya adalah terjadinya berbagai
keadaan yang bisa merusak keseimbangan atau homeostasis tubuh.
2.1.2 Metabolisme MSG
MSG pertama sekali ditemukan oleh Ritthausen (1866), dan berhasil diisolasi
dari rumput laut oleh Ikeda (1908), dengan rumus kimia MSG adalah
C5H8O4NNaH2O, terdiri atas natrium sebanyak 12%, glutamat 78% dan air 10%
(Simanjuntak, 2010).
MSG diketahui bisa merangsang selera akibat dari kombinasi rasa yang khas
dari efek sinergis MSG dengan 5 ribonukleotida yang terdapat di dalam makanan,
yang bekerja pada membran sel reseptor kecap (Simanjuntak 2010, dari Widharto et
al.). Mekanisme kerja MSG bisa sampai menimbulkan efek rasa sedap di otak
dimulai dari adanya MSG yang larut dalam air ataupun ludah, kemudian zat ini
berdisosiasi dengan cepat menjadi garam bebas dalam bentuk anion glutamat,
kemudian ion ini akan membuka saluran Ca2+ pada sel saraf yang terdapat kuncup
perasa sehingga memungkinkan ion Ca2+ memasuki sel sehingga menimbulkan
8
depolarisasi reseptor. Depolarisasi selanjutnya menimbulkan potensial aksi yang
sampai ke otak untuk kemudian diterjemahkan oleh otak sebagai rasa lezat.
Pada pemberian secara oral, MSG akan di serap dan di metabolisme di usus.
Asam glutamat kemudian di transaminasikan dengan piruvat menjadi alanin. Alanin
kemudian diubah menjadi ketoglutarat atau oksaloasetat oleh asam amino
dikarboksilat. Proses ini mengakibatkan berkurangnya jumlah asam amino
dikarboksilat yang dilepas ke dalam darah porta. Asam glutamat dan asam aspartat
yang lolos dari metabolisme mukosa usus dibawa ke hati melalui vena porta.
Sebagian asam glutamat dan aspartat dikonversi menjadi glukosa dan laktat sebelum
memasuki pembuluh darah perifer. Hati mempunyai kemampuan terbatas
memetabolisme asam glutamat menjadi metabolit lain. Karena itu, apabila kadar
glutamat melebihi kemampuan kapasitas hati untuk metabolismenya, maka kadar
glutamat plasma akan meningkat (Simanjuntak, 2010).
Kadar asam glutamat dalam darah manusia mulai meningkat setelah
konsumsi MSG 30 mg/kg berat badan/hari, yang berarti sudah mulai melampaui
kemampuan metabolisme tubuh (Ardyanto, 2004 dalam Jurnal Nutritional Sciences
tahun 2000). Jika kondisi tubuh bagus dan masih terkendali, kadar ini akan kembali
normal dalam jangka waktu 3 jam. Peningkatan yang signifikan baru mulai terjadi
pada konsumsi 150 mg/kg berat badan/hari. Efek ini makin kuat bila konsumsi
ini bersifat jangka pendek dan besar atau dalam dosis tinggi (3 gr atau lebih dalam
sekali makan) (Ardyanto, 2004).
9
Khususnya di otak, memang terdapat asam amino glutamat yang berfungsi
sebagian neurotransmiter untuk menjalarkan rangsang antar neuron. Tetapi bila
terakumulasi di sinaps akan bersifat eksitotoksik bagi otak. Karena itu ada kerja
dari glutamate transporter protein untuk menyerapnya dari cairan ekstraseluler.
Selain kerja glutamate transporter protein, ada enzim glutamine sintetase yang
bertugas merubah amonia dan glutamat menjadi glutamin yang tidak berbahaya
dan bisa dikeluarkan dari otak (Ardyanto, 2004).
Gambar 2.1.2 Kerja glutamate di otak, di kutip dari Pitenger, 2011
Selain di otak, reseptor untuk glutamat juga ditemukan di beberapa bagian
tubuh lain seperti tulang, jantung, ginjal, hati, plasenta dan usus. MSG yang
menyebar di seluruh tubuh termasuk akan menembus sawar darah otak dan terikat
oleh reseptornya. Sayangnya, seperti disebutkan sebelumnya, asam glutamat bebas
ini bersifat eksitotoksik sehingga dihipotesiskan akan bisa merusak neuron otak bila
10
sudah melebihi kemampuan otak mempertahankannya dalam kadar rendah
(Ardyanto, 2004).
2.1.3 Efek MSG secara umum
Pada awalnya, penelitian mengenai Monosodium Glutamat dimulai sejak
adanya suatu sindrom yang diderita oleh pelanggan rumah makan di cina. Para
pelanggan yang keluar dari rumah makan tersebut mengalami pusing-pusing, mual,
jantung berdebar lebih kencang dan rasa tegang di tegkuk (Alao dkk, 2010).
Kadar MSG yang boleh di konsumsi oleh masyarakat masih belum jelas di
tetapkan, akan tetapi melihat hasil penelitian untuk batasan metabolisme (30
mg/kg/hari) berarti rata-rata dalam sehari dibatasi penambahan maksimal 2,5– 3,5 g
MSG (berat badan 50–70 kg), dan tidak boleh dalam dosis tinggi sekaligus
(Ardyanto, 2004).
Mengkonsumsi MSG sebanyak 2-3 gram secara rutin bisa memicu sindrom
restoran cina, hal ini diperkenalkan oleh Dr. Robert Ho an Kwok pada akhir tahun
1968. Sementara mengkonsumsi dosis sebanyak 5 gr mampu memicu sindrom
restoran cina tersebut, karena RDA yang dianjurkan maksimal 2 gram (Arisman,
2009).
Efek toksik dari paparan MSG selain berupa Chinese Restaurant Syndrome,
juga didapatkan gejala berupa rasa panas di leher, lengan dan dada, diikuti kaku-kaku
otot dari daerah tersebut menyebar sampai ke punggung. Gejala lain berupa rasa
panas dan kaku di wajah diikuti nyeri dada, sakit kepala, mual, berdebar-debar
dan kadang sampai muntah. Gejala ini mirip dengan Chinese Restaurant
11
Syndrome, tetapi kemudian lebih tepat disebut MSG Complex Syndrome
(Ardyanto, 2004).
2.1.4 Efek MSG terhadap otak
Monosodium glutamate bisa menghasilkan eksositotoksin yang biasanya
berupa asam amino yang dapat bereaksi dengan reseptor khusus diotak melalui
mekanisme tertentu yang belum diketahui dengan pasti sehingga menyebabkan
kerusakan sel-sel otak tertentu. Glutamat adalah salah satu dari asam amino tersebut.
Sebenarnya, asam amino ini adalah neurotransmiter yang normal pada otak tapi
konsentrasinya tidak lebih dari 8-12 mikrogram. Jika kadar glutamat melebihi angka
tersebut sifat asam amino ini akan menjadi toksik (Arisman, 2009).
Didalam otak ada Blood Brain Barier yang bertugas untuk menjaga otak dari
hal-hal yang bersifat merusak bagi otak. Glutamat yang akan masuk kedalam otak
akan ditahan oleh sawar ini. Tapi jika kadarnya melebihi kemapuan sawar ini untuk
menahannya, maka tentu saja glutamate bisa lolos menembus sawar ini dan akan
merusak sel-sel otak.
Khususnya pada sistem neurologis, efek yang bisa ditimbulkan akibat
mengkonsumsi MSG adalah depresi, perasaan yang tidak stabil, migrain, pusing,
sakit kepala ringan, hilang keseimbangan, disorientasi, bingung, cemas, sering panik,
hiperaktivitas, gangguan perilaku anak, gangguan perhatian, letargi, mudah
mengantuk atau susah tidur, gagap, kesemutan atau paralisis (Arisman, 2009).
Ardyanto pada tahun 2004 menyebutkan dari Jurnal Neurochemistry International
12
bahwa pemberian MSG sebanyak 4 mg/g berat badan ke bayi tikus
menimbulkan neurodegenerasi berupa jumlah neuron lebih sedikit dan rami dendrit
(jaringan antar sel syaraf otak) lebih renggang.
Efek samping dari mengkonsumsi MSG pada otak yang khususnya pada telah
ditunjukkan dari hasil penelitian yang mengamati perubahan biokimia dan histologis
dari jaringan tersebut. Hasilnya menunjukkan bahwa ditemukan adanya degenerasi
dari sel saraf dan peningkatan alkaline posfatase yang mengindikasikan adanya lesi
pada otak. Hal ini berakibat pada gangguan lokomosi, berfikir, ingatan, berbicara,
perilaku seksual dan sosial. Berdasarkan hasil penelitian ini, memperjelas fungsi dari
otak sebagai organ yang berfungsi untuk membuat keputusan dan pembentuk prilaku
(Alao dkk, 2010).
2.2 Etanol
2.2.1 Definisi etanol
Etanol merupakan senyawa dengan rumus molekul C2H5OH, larut dalam air,
diserap sempurna dari saluran cerna. Uapnya juga bisa diserap melalui paru-paru
(Katzung, 1997). Etanol adalah senyawa yang terdapat dalam alkohol minuman keras.
Senyawa ini didapatkan dari hasil fermentasi buah-buahan atau gandum yang sudah
dikenal sejak lama sebagai minuman yang menghangatkan tubuh dinegara-negara
beriklim dingin. Namun, belakangan ini digunakan untuk bersenang-senang (Hapsari,
2007).
Minuman keras atau yang dikenal dengan nama minuman beralkohol, bahan
dasar utamanya adalah etanol yang mempunyai batas kadar yang telah ditetapkan
13
oleh pemerintah 1%-55 dan etanol yang ada dalam minuman beralkohol tersebut
bukan etanol yang dibuat atau digunakan untuk industri tetapi etanol yang diproses
dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan
destilasi atau fermentasi tanpa destilasi dari buah dan biji bijian misalnya anggur,
gandum, beras dan lain-lain (Syarifudin, 2010).
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Tentang
Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol pada Bab I, Pasal 1 menetapkan
bahwa yang dimaksud dengan minuman beralkohol adalah minuman yang
mengandung etanol yang diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung
karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi, baik
dengan cara memberikan perlakuan terlebih dahulu atau tidak, menambahkan bahan
lain atau tidak, maupun yang diproses dengan cara mencampur kosentrat dengan
etanol atau dengan cara pengenceran minuman mengandung etanol.
2.2.2 Standarisasi pembuatan tuak
Tuak adalah minuman yang berasal dari hasil fermentasi air Aren atau nira.
Minuman sangat digemari di daerah-daerah tertentu di Indonesia, salah satu
contohnya adalah Bali. Di daerah ini, tuak sudah menjadi minuman yang biasa di
konsumsi sehari-hari dan digunakan dalam upacara keagamaan (Sari, 2007).
Nira adalah cairan yang keluar yang keluar dari bunga aren (Arenge pinata)
dan memiliki rasa manis karena mengandung glukosa. Selain mengandung glukosa,
kandungan lain yang terdapat dalam nira adalah sebagai berikut:
14
Tabel 2.2.2 komposisi nira segar
Komposisi bahan Kadar kandungan (gr/100 ml)
Total padatan 15,20-19,70
Sukrosa 12,30-17,40
Abu 0,11-0,41
Protein 0,23-0,32
Vitamin C 16,0-30,0
Berat jenis pada 290C 1,058-1,007
Dikutip dari Setyamidjaja dalam Sari, 2007
Proses penyadapan nira dimulai setelah dilakukannya pemotongan pada
bagian mayang dari bunga atau tandan pohon aren. Air nira akan keluar dari bagian
yang dipotong tadi kemudian akan ditampung. Seorang paragat (penyadap nira)
menyadap tuak dua kali sehari, yaitu pagi dan sore (Lay, 2011).
Ketika nira baru keluar dari bunga aren, ia akan menjadi minuman yang
menyegarkan. Tapi jika nira di diamkan, ia akan mengalami fermentasi dengan
bantuan bakteri Saccharomyces cerevisiae , Pseudomonas lindueri atau Acetobacter
subixidant (Lay, 2011& Sari, 2007) atau zat tertentu seperti kulit kayu (Shigehira,
1997) yang akan menyebabkan air ini menjadi minuman beralkohol atau tuak.
Kadar alkohol yang terdapat pada nira tergantung seberapa lama proses
fermentasi tersebut berlangsung. Pada pengolahan nira menjadi alkohol melalui
proses fermentasi, faktor penentu dari proses fermentasi tersebut adalah mikroba
atau ragi yang digunakan dan kondisi lingkungan (Lay, 2011).
15
Alkohol yang terdapat pada suatu minuman yakni salah satunya nira
belum dapat diukur besar kadar alkoholnya karena alkohol tersebut membentuk
suatu ikatan dengan molekul lainnya sepeti CO2, air serta zat – zat asam
lainnya yang terdapat pada nira. Hal inilah yang menyebabkan harus di
destilasi terlebih dahulu sebelum dilakukan pengamatan kadar alkohol pada nira
(Sari, 2007).
Pemisahan alkohol dari cairan nira tentunya mempergunakan metode
distilasi. Dimana destilasi atau penyulingan merupakan suatu metode pemisahan
bahan kimia berdasarkan perbedaan kecepatan atau kemudahan menguap
(volatilitas) bahan. Dalam penyulingan, air nira di didihkan sampai menguap. Zat
yang memiliki titik didih terendah tentunya akan menguap terlebih dahulu. Dimana
pada cairan nira, alkohol merupakan zat yang memiliki titik didih paling
rendah. Uap yang dihasilkan akan didinginkan oleh kondensor sehingga uap
yang diperoleh dapat diubah menjadi cairan kembali (Sari, 2007).
Pemisahan alkohol dengan zat lain yang terkandung dalam Nira telah
dilakukan dengan destilasi. Alkohol hasil dari destilasi kemudian akan dihitung
kadarnya menggunakan mesin chromatograph. Mesin chromatograph ialah mesin
yang digunakan untuk memproses suatu makanan atau minuman sehingga dapat
diketahui kadar alkoholnya. Setelah mesin chromatograph memproses cairan alkohol
pada nira, maka hasilnya akan muncul pada mesin chromatopac yang berbentuk
grafik (Sari, 2007).
16
Hasil pengukuran kadar alkohol berdasarkan lamanya penyimpanan air nira
berdasarkan suatu penelitian yang dilakukan oleh Sari dkk adalah:
Tabel 2.2.2 tabel hasil pengukuran kadar alkohol pada nira
2.2.3 Metabolisme etanol
Alkohol dimetabolisme dihati dalam dua tahap dan dikatalisasi aldehyde
dehydrogenase dengan NAD+ sebagai akseptor hidrogen (Robert & Lustig , 2010).
Setelah alkohol di cerna, zat ini kemudian diabsorpsi untuk pertama kalinya di
usus kecil menuju ke vena yang mengumpulkan darah dari lambung dan usus dan
dari vena porta, dimana hal ini meningkatkan konsentrasi akohol yang menuju ke
hepar. Di hepar, etanol akan mengalami metabolisme. Konsentrasi alkohol rata-rata
Blood Alkohol Concentration (BAC) di tentukan oleh seberapa cepat alkohol di
kosongkan dari lambung dan seberapa panjang metabolisme yang dilalui selama di
lambung dan hepar (Zakhari S, 2006).
17
Metabolisme alkohol juga menghasilkan Asetaldehid, suatu zat dengan
toksisitas dan reaktivitas yang tinggi. Zat ini berperan terhadap kerusakan jaringan,
molekul yang terbentuk hasil dari reaksi yang timbulkan oleh Asetaldehid yang bisa
merusak jaringan diketahui sebagai reactive oxygen species (ROS). Mengkonsumsi
alkohol secara kronik dan metabolisme alkohol yang berlebih dikaitkan dengan
konsekuensi patologis dan kerusakan jaringan (Zakhari S, 2006).
Selain di hepar, alkohol juga di metabolisme di jaringan ekstrahepatik yang
sedikit mengandung ADH seperti di otak, dengan enzim cytochrome P450 dan
catalase. Secara umum, metabolisme alkohol berlangsung melalui dua jalur oksidatif,
yang juga menambah oksigen atau membuang hydrogen (melalui jalur ADH,
sitokrom P450, dan enzim katalase), dan jalur nonoksidatif (Zakhari S, 2006).
Gambar 2.2.3 Metabolisme alkohol Jalur oksidatif. Dikutip dari Zakhari S,
2006).
18
Enzim alkohol dehydrogenase (ADH), sitokrom P450 2E1 (CYP2E1), dan
katalase semuanya berkontribusi pada metabolisme oksidatif dari alkohol.
ADH ada di cairan sel seperti sitosol, enzim ini mengkonversi etanol menjadi
ssetaldehid. Asetaldehid dari hasil metabolisme atanol di perifer sulit untuk
memasuki otak, akibat terhalang oleh BBB. Untuk itu, asetaldehid yang terdapat di
otak adalah hasil dari produksi sendiri yang terjadi di dalamnya (Zimatkin B, 2007).
Reaksi ini melibatkan elektron-elektron pembawa, nicotinamide adenine dinucleotide
(NAD+), yang di reduksi oleh dua elektron untuk membentuk NADH. ADH,
merupakan jalur utama metabolisme oksidatif di hepar. Metabolisme etanol dengan
ADH mengasilkan asetaldehid (suatu zat toksik dan reaktif). Pada konsentrasi yang
tinggi, alkohol di eliminasi dengan cepat karena aktifitas enzim yang meningkat
(Zakhari S, 2006).
Katalase, belokasi di salah satu badan sel yang disebut dengan peroksisom,
membutuhkan hidrogen peroksida (H2O2) untuk mereduksi alkohol. Enzim ini
mampu mengoksidasi etanol. Asetaldehid umumnya di metabolisme oleh aldehid
degidrogenase 2 (ALDH2) di mitokondria untuk membentuk asetat dan NADH
(Zakhari S, 2006).
Enzim sitokrom p450 atau CYP2E1, dominan terdapat di mikrosom, di
asumsikan berperan penting dalam memetabolisme etanol menjadi asetaldehid ketika
konsentrasi etanol meningkat. Sitokrom P450 terbagi atas CYP2E1, 1A2, dan 3A4,
yang dominan terdapat di mikrosom, atau vesikel. CYP2E1 di induksi oleh konsumsi
alkohol secara kronik dan enzim ini penting untuk memetabolisme etanol menjadi
19
aldehid pada konsentrasi yang tinggi (Km = 8 to 10 mM,). Enzim ini juga bisa
mengoksidasi etanol di jaringan lain selain di hepar, yaitu di otak, dimana aktivitas
ADH sangat lambat. Ia juga memproduksi ROS, termasuk hidroksi etil, anion
superoksida, dan radikal hidroksil, yang meningkatkan resiko kerusakan jaringan.
Metabolisme etanol oleh ADH dan CYP2E1 menghasilkan produk molekul
yang reaktif seperti asetaldehid dan ROS yang bisa berinteraksi dengan protein yang
dikenal dengan protein building blocks seperti asam amino dan molekul lain di sel
(Zakhari S, 2006).
Seperti dijelaskan di awal, metablisme etanol oleh enzim CYP2E1 dan
oksidasi NADH oleh rantai trasnsport elektron menghasilkan ROS. Proses ini
menghasilkan zat yang disebut malondialdehyde (MDA) dan 4-hydroxy-2-nonenal
(HNE), kedua zat ini bisa bereaksi dengan protein. Asetaldehid dan MDA bisa
bereaksi dengan protein untuk menghasilkan MDA–acetaldehyde–protein adduct
(MAA) yang stabil. Semua zat diatas bisa menginduksi respon imun. Lebih jauh lagi,
produk MAA bisa menginduksi proses inflamasi (Zakhari S, 2006).
CYP2E1, terdapat di beberapa jaringan seperti di jaringan hepar, otak,
jantung, paru, dan di sel darah putih seperti neutrofil dan makrofag. Efek toksik
akibat metabolisme etanol yang diinduksi oleh enzim ini berhubungan dengan di
hasilkannya ROS, terutama superoksida, dan radikal hidroksil. Produksi ROS ini
berkontribusi terhadap kerusakan jaringan yang disebabkan oleh etanol. Zat ini selain
menimbulkan respon imun, juga meningkatkan apoptosis (Zakhari S, 2006)
20
Efek dari etanol pada metabolisme karbohidrat sedang diteliti. Metabolisme
etanol oleh alkohol dehidrogenase semakin menurunkan rasio NAD/NADH yang
merupakan zat yang sangat penting dalam efeknya pada hati yang nantinya akan
berpengaruh pada efek alkohol di otak dan jaringan lain akibat transport alkohol dari
hati tersebut. Selain itu etanol meningkatkan penggunaan asetat di perifer dan
menurunkan koenzin A bebas di otak. Etanol juga menghambat glukoneogenesis
hepatis dengan menurunkan kestabilan konsentrasi piruvat. Etanol juga menghambat
glikolisis di hati dan otak sehingga pada otak kemungkinan untuk terjadi hipoksia
cukup besar. Pada hati, penghambatan ini bisa pada tingkat 3-glyceraldehyde
phosphate dehydrogenase. Etanol menghambat siklus asam trikarboksilat dengan
mekanisme yang belum jelas sepenuhnya termasuk menurunkan rasio
malat/oksaloasetat atau menghambat sitrat sintase dan isositrat dehidrogenase.
Selain itu, etanol menghambat metabolisme galaktosa dengan menghambat enzim
kuncinya yaitu uridine diphosphate galactose 4-epimerase (Badawi A. 1997).
2.2.4 Efek etanol secara umum
Mengkonsumsi alkohol dapat menghilangkan efek cemas sehingga
menghasilkan suatu efek ueforia. Efek inilah yang dicari oleh pecandu alkohol. Akan
tetapi, jika alkohol yang dikonsumsi berlebihan maka bisa menimbulkan suatu efek
toksik. Apalagi jika diperhatikan sekarang ini, banyak alkohol oplosan yang di
edarkan. Akibat dari hal ini adalah maraknya berita yang mengabarkan pecandu
alkohol yang masuk rumah sakit bahkan meninggal dunia karena mengkonsumsi
alkohol oplosan.
21
Di Amerika, diperkirakan sekitar 7% dari orang dewasa dan 19% remaja
peminum alkohol atau yang mempunyai masalah dengan minuman alkohol sejumlah
100.000 meninggal pertahun atau 5% semunya meninggal (Brust J, 2010).
Alkohol akan lebih mudah mengakibatkan toksisitas ketika perut dalam
keadaan kosong. Jika seseorang meminum alkohol saat perut sedang penuh dengan
makanan, maka akan kurang toksisitasnya karena kesempatannya untuk diserap oleh
dinding perut menjadi berkurang dan efeknya keotak menjadi lebih perlahan (Murti,
2004).
Ada banyak akibat yang bisa ditimbulkan oleh etanol. Efek tidak
langsungnya adalah intoksikasi, penarikan diri, trauma otak, infeksi sistem saraf,
hipoglikemia, gagal jantung, dan penyakit Marchiafava-Bignami. Etanol juga
merupakan neurotoksin dan pada dosis yang suffisien bisa menyebabkan demensia
yang parah (Brust J, 2010).
Efek dari mengkonsumsi alkohol jangka panjang adalah diabetes, ulserasi dari
lambung dan usus halus, depresi psikologi yang berat, fatty liver, gangguan sistem
saraf pusat, malnutrisi, dan osteoporosis (Robert & Lustig , 2010).
2.2.5 Efek etanol terhadap otak
Mengkonsumsi akohol secara kronik bisa menimbulkan banyak efek yang
tidak baik seperti perubahan emosi dan personalitas seperti kemampuan untuk belajar,
mengingat, dan masalah persepsi. Neuropatologis dan sistem pencitraan seperti MRI
telah mampu melihat perubahan yang terjadi pada alkoholism yaitu adanya atropi dari
sel-sel saraf dan penurunan volume otak ( Berman dkk, 1997).
22
Pada tingkat molekular, diketahui bahwa alkohol mempengaruhi fungsi otak
dengan jalan bereaksi dengan glutamat, gamma-aminobutyric acid (GABA), dan
neurotransmitter lain (Berman dkk, 1997. Jalurnya adalah dengan mempengaruhi
sistem neurotransmitter, seperti menghambat eksistasi reseptor glutamat dan
memfasilitasi penghambatan reseptor GABA. Kemungkinan efek kedepan dari
meningkatnya pengaturan reseptor glutamat dan penurunan pengaturan reseptor
GABA yang disertai dengan seringnya meminum alkohol bisa menghasilkan akibat
seperti tremor, halusinasi, seizura, agitasi dan ketidak stabilan diri (Brust J, 2010).
Pada proses molekular, etanol menginduksi pecahnya strand DNA yang
mungkin menyebabkan matinya neuronal. Pada binatang protein adduct formation
dengan metabolit etanol yaitu acetaldehyde telah ditemukan di korteks bagian lobus
Frontal dan subtansia alba yang menandakan kerusakan (Brust J, 2010).
Dosis yang aman dalam mengkonsumsi etanol masih belum bisa di tetapkan.
Dari hasil telaah sumber didapatkan orang yang mengkonsumsi etanol secara berat
(rata-rata 418 gr etanol/minggu) dikorelasikan dengan penurunan volume lobus
Frontal, sedangkan peminum alkohol yag mengkonsumsi secara sedang ( kira-kira
181 gr/minggu) dan yang mengkonsumsi secara ringan (kira-kira 88 gr/minggu)
masih belum ditemukan penurunan volume (Brust J, 2010).
2.3 Oplosan Etanol dan Monosodium glutamate
2.3.1 Definisi etanol dan MSG
Oplosan etanol dan glutamat adalah campuran larutan yang dibuat
menggunakan bahan etanol (tuak) dan monosodium glutamat.
23
2.3.2. Efek toksik oplosan etanol dan MSG
Dari hasil kajian kepustakaan, pada suatu penelitian eksperimental dengan
metode dua buah kelompok mencit yaitu kelompok perlakuan dan kelompok kontrol
masing-masing diberikan perlakuan dengan memberikan Monosodium glutamat
(MSG) (untuk kelompok perlakukan) pada hari ke 2,4,6,8,dan 10 postnatal dan
injeksi larutan salin (untuk kelompok kontrol) dengan hari pemberian yang sama.
Hasil dari penelitian ini yang diamati setelah 6 bulan dari perlakukan adalah
didapatkan kerusakan perubahan anatomi dan perilaku kearah yang buruk pada
kelompok perlakukan.
Penelitian selanjutnya menggunakan kelompok mencit yang telah diberikan
perlakuan dengan Monosodium glutamat beserta kelompok kontrol diberikan
perlakuan dengan mengijeksikan etanol secara kronik selama 30 hari dan didapatkan
hasil yang lebih signifikan yaitu terjadi penurunan berat badan lebih besar pada
kelompok perlakukan daripada kelompok kontrol, dan penurunan volume otak
dengan perbedaan yang signifikan pada kelompok perlakukan daripada kelompok
kontrol. Kaitannya dengan pengaruh pemberian perlakuan ini terhadap otak adalah
dikatakan bahwa tikus yang diberikan perlakuan dengan monosodium glutamate
memiliki berat otak yang lebih rendah daripada tikus kontrol (Sepulveda, Guerrero
dkk, 2002).
Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa pemberian Monosodium Glutamat
pada mencit sejak neonates yang dilajutkan dengan penginduksian etanol akan
meningkatkan kerusakan pada fungsi-fungsi tubuhnya khususnya pada sistem
24
neurologis (Sepulveda, Guerrero dkk, 2002). Akan tetapi, belum ada penelitian yang
secara langsung melihat efek pencampuran MSG dan etanol pada otak.
2.4 Anatomi Otak
Otak terdiri dari cerebrum, cerebellum, dan trunchus encephali yang dibentuk
oleh mesencephalon, pons dan medulla oblongata (Sukardi, 1984).
Gambar 2.4. anatomi otak, dikutip dari Seeley, 2004
Berikut adalah perkembangan divisi dari otak
1. Prosencephalon yang terdiri thelencephalon dan diencephalon. Thelencephalon
terdiri dari hemispherium cerebri dan thelencephalon medium, sedangkan
diecephalon terdiri dari thalamus, metathalamus, hypothalamus, subthalamus,
dan epithalamus.
2. Mesencephallon terdiri dari tectum mesencephali, tegmentum mesencephali,
pedunculus cerebri
25
3. Rhombencephalon terdiri dari metencephalon, dan myellencephalon.
Metencephalon tersusun atas pons dan cerebellum, sedangkan myellencephalon
tersusun dari medulla oblongata
4. Korteks serebri
a. Lobus Frontalis
Lobus Frontalis adalah salah satu lobus diotak yang berada dibagian depan.
Pada lobus Frontalis, terdapat daerah-daerah atau area yang yang sangat vital karena
merupakan pusat dari berbagai fungsi yang ada di tubuh manusia.
Didaerah lobus Frontalis dikenal sejumlah daerah arsitektural sel-sel antara
lain sebagai berikut yaitu area 4 (area motorik) yang meliputi sebagian besar gyrus
precentralis dan bagian anterior lobules parasentralis. Selain itu terdapat area 6 (area
premotorik), area brodman 8 (area opto kinetik Frontal), pusat bicara Brocca yaitu
didaerah 44 dan 45, dan area prefrontalis yang terletak disebelah anterior area 6 dan 8
(Sukardi 1984).
Korteks prefrontalis secara umum dipakai untuk menunjuk ujung depan otak
(pole atau lobus anterior). Tiga hal berikut yang diatur oleh lobus prerontalis adalah
membuat keputusan, merencanakan masa depan, dan membuat keputusan (Sukardi
1984).
Korteks Pre Frontal adalah bagian otak yang memiliki sirkuit paling banyak
dan paling lengkap ke dan dari seluruh bagian otak lain. Dinamika neural di cortex
pre Frontal (CPF) ini sangat aktif karena terlibat dalam setiap kegiatan diwilayah
26
otak lain. Faktanya, dalam kehidupan sehari-hari kegiatan berfikir manusia terjadi
sebagai hubungan dinamis antara CPF dan sistem limbik (terutama amigdala). Jika
hal ini terganggu, maka akan terjadi suatu keadaan yang sangat patologis.
Korteks Prefrontal sering disebut sebagai pusat eksekusi manusia dan menjadi
bagian penting dari kepribadian. Fungsi eksekutif tersebut meliputi antara lain atensi,
memori, penyimpanan memori, perencanaan, intergrasi temporal, pembuatan
keputusan, monitoring dan kontrol penghambatan (Pasiak, 2012 dan Sukardi 1984).
Area prefontalis ini terutama sangat penting pada masa anak-anak, karena
pada masa ini pola tingkah laku sedang terbentuk, jadi sangat berpengaruh pada
tingkatan kecerdasan emosional.
2.5 Histologi Otak
Otak adalah bagian dari susunan saraf pusat. Otak, terutama pada bagian
serebrum paling banyak disusun oleh neuron. Neuron mempunyai bagian-bagian
yaitu perikarion atau soma, badan sel utama yang mengandung inti, dan satu atau
lebih cabang-cabang sel yang ramping, sering amat panjang dan bercabang-cabang.
Cabang-cabang ini mempunyai dua jenis yaitu dendrit yang biasanya bercabang dan
banyak, bersama dengan perikarion untuk membentuk daerah utama untuk menerima
rangsang serta akson , lebih ramping dari dendrit dan hanya satu yang timbul dari
setiap soma atau badan sel (Paparo, 1996)
Didalam susunan sistem saraf pusat, salah satunya otak terdapat jaringan saraf
yang dinamakan neuraglia, suatu jaringan yang berfungsi untuk menyatukan jaringan
27
sistem saraf pusat. Neuralgia terdiri atas astrosit, oligodendrosit, mikroglia, dan sel-
sel ependim yang mempunyai fungsi masing-masing.
Perubahan yang bisa terjadi akibat dari gangguan pada sistem saraf pusat
akibat mengkonsumsi Monosodium glutamate dan Etanol jika dilihat secara
makroskopis adalah berupa penurunan volume dari otak dan secara mikroskopis
didapatkan adanya neurodegeneratif dari komponen sistem saraf diatas.
28
Gambar 2.5 Gambaran histologiotak normal (kiri) dan abnormal (kanan), dikutip dari
Abbas M,dkk, 2011
2.6 Pathology otak
Otak adalah organ yang membutuhkan energi dan oksigen terbesar.
Kerusakan jaringan otak yang disebabkan oleh kehilangan sel otak di area-area yang
ada diotak dihubungkan dengan gangguan mobilitas, belajar, dan mengingat.
Saat ini, sedang dikembangkan penelitian tentang otak normal dan otak sehat.
Otak normal lebih umum dikaitkan dengan dengan usia dan fase perkembangan yang
dicitrakan atau digambarkan oleh sejumlah alat pemeriksa otak, terutama yang
memeriksa anatominya (Pasiak, 2012).
Indikator utama radiologis dari otak normal meliputi volume ruang
intrakranial, substansia grisea, subsansia alba, dan cairan serebrospinalis.
Otak sehat dikaitkan dengan keterampilan berfikir. Karena keunggulan
manusia terletak pada kemampuanya berfikir. Keterampilan berfikir dirujuk secara
neurobiologis sebagai koordinasi-hubungan sirkuit neural-antara korteks preFrontalis
(CPF) dan sistem limbik (terutama amygdala) (Pasiak, 2012).
Suatu jejas atau cedera yang terjadi di sususnan saraf pusat adalah suatu
kehancuran karena ketidak mampuan dari neuron saraf pusat untuk meregenerasi
kambali koneksi dari axon dan dendrit yang dimiliki. Konsekuensinya adalah tidak
hanya pada putusnya komunikasi antara neuron yang sehat, tapi peningkatan kaskade
kejadian dari degenerasi dan kematian sel (Horner & Gage, 2000).
29
Kerusakan atau hilangnya mitokondria adalah penyebab primer dari semua
gangguan neurodegenerative yang terjadi, mulai dari penyakit Parkinson sampai
demensia (Flagg, 2011).
Karena sel otak banyak dan sering terpapar dengan energi dan oksigen tingkat
tinggi, khususnya mitokondria mudah diserang dan mengalami kerusakan akibat
stress oksidatif. Seiring dengan berjalannya waktu, sel kehilangan kemampuan untuk
mengatur transfer energi dengan efisien. Sebagaimana sel-sel neuron mengalami
kehilangan fungsinya, Mitokondria mengakumulasi kerusakan struktural dan
fungsional, yang mana kemudian berkembang menjadi lingkaran setan yang semakin
membuat kerusakan. Kerusakan oksidatif mitokondrial sekarang diakui sebagai
kontributor terbesar penyebab penuaan.
2.7 Kajian Penelitian Terdahulu
No Judul Penelitian Peneliti Metode Penelitian Hasil 1 Perbedaan
Gambaran Histopatologi Ginjal dan Hepar Tikus Wistar yang diberi Paparan Metanol dibandingkan dengan Oplosan Metanol dan Etanol
Rani Sumarni
Penelitian ini meggunakan 4 kelompok hewan coba. Satu kelompok sebagai kontrol negatif dan serta tiga kelompok berikutnya sebagai kelompok perlakuan, kelompok pertama (K) tidak diberi perlakuan apapun, dan 3 kelompok perlakuan. Kelompok perlakuan 1 (P1) yang diberi metanol 40% dengan dosis 9 gr/kgbb,
Tidak ada perbedaan yang bermakna antara gambaran histopatologi jaringan ginjal maupun hepar tikus Wistar yang diberi paparan metanol dibandingkan dengan oplosan metanol dan etanol.
30
kelompok berikutnya yaitu kelompok perlakuan 2 (P2) yang di berikan oplosan metanol 40% dengan dosis 9 gr/kgbb dan etanol 40% dengan dosis 10 gr/kgbb, dan terakhir kelompok perlakuan 3 (P3) diberi oplosan metanol dan etanol setengah dari dosis kelompok perlakuan kedua.
2 Perbedaan Gambaran Kerusakan Histopatologi Hepar dan Ginjal Tikus Wistar Setelah Habituasi Alkohol 10% dan 40%
Yogi Guhardi
Penelitian ini menggunakan 3 kelompok objek penelitian. Masing-masing terdiri dari 6 tikus. Kelompok satu(kontrol tanpa alkohol), kelompok 2 diiberi alkohol kadar 40% 4ml/hari/ekor, kelompok 3 diberi alkohol kadar 10% 4ml/hari/ekor.
Terdapat perbedaan yang bermakna tingkat kerusakan sel hati dan ginjal pada habituasi alkohol 40% dibandingkan alkohol 10%. Tingkat kerusakan sel hati dan ginjal lebih tinggi pada habituasi alkohol 40% di bandingkan dengan alkohol 10%.
3 Pengaruh Lama Pemberian Metanol 50 % per Oral Terhadap Jumlah Nekrosis Neuron pada Putamen Tikus Wistar
Yulia Trisna
Sampel berupa 20 tikus Wistar, yang dibagi secara acak menjadi empat kelompok dengan masing – masing lima tikus. Kelompok K adalah kelompok kontrol yang tidak diberi metanol, kelompok P1 diberi metanol50% 6 ml/kgbb per oral selama 5 hari, kelompok P2 diberi
Pemberian metanol pada semua kelompok perlakuan dengan berbagaiperbedaan lama paparan, menyebabkan peningkatan jumlah nekrosis neuron yang bermakna (p<0,005) dibanding kontrol. Jumlah nekrosis terbesar didapatkan pada hari ke 15 sebanyak 43,8%.
31
metanol 50% 6 ml/kgbb per oral selama 10 hari, kelompok P3 diberi metanol 50% 6 ml/kgbb per oral selama 15 hari. Setelah pemberian metanol selama hari yang ditentukan, selanjutnya tikus didekapitasi lalu dihitung jumlah nekrosis neuron. Sampel berupa 20 tikus Wistar, yang dibagi secara acak menjadi empat kelompok dengan masing – masing lima tikus. Kelompok K adalah kelompok kontrol yang tidak diberi metanol, kelompok P1 diberi metanol 50% 6 ml/kgbb per oral selama 5 hari, kelompok P2 diberi metanol 50% 6 ml/kgbb per oral selama 10 hari, kelompok P3 diberi metanol 50% 6 ml/kgbb per oral selama 15 hari. Setelah pemberian metanol selama hari yang ditentukan, selanjutnya tikus didekapitasi lalu dihitung jumlah
32
nekrosis neuron.4 Oxidative Stress
is The Primary Event: Effects of Etanol Consumption in Brain. Indian Journal of Clinical Biochemistry
Subir Kumar Das, Hiran K.R, Sukhes Mukherjee, D.M. Vasudevan
Tikus Wistar diberi paparan etanol dengan konsentrasi bervariasi selama 4 minggu dan dilihat perubahan biokimia pada otak.
Pemberian 1,6 g etanol/hari selama 4 minggu dapat menyebabkan stress oksidatif pada otak, namun tidak menimbulkan perubahan degeneratif. Perubahan tingkat antioksidan kemungkinan merupakan proses adaptif.
5 Pengaruh Pemberian Dekstrometorfan Dosis Bertingkat Per Oral Terhadap Gambaran Histopatologi Otak Tikus Wistar
Aditya Tjandra
Penelitian menggunakan rancangan post test only kontrol group design. jumlah sampel 24 ekor tikus Wistar yang dibagi menjadi 4 kelompok. Tiap kelompok terdiri dari 6 ekor. K adalah kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan. P1 diberi dekstrometorfan per oral ½ x dosis letal, P2 diberi dekstrometorfan per oral dosis letal, dan P3 diberi dekstrometorfan per oral 2 x dosis letal. Tikus Wistar yang mati diambil otaknya sedangkan pada hari ke-7, tikus Wistar yang belum mati didekapitasi, kemudian dibuat
Terdapat pengaruh pemberian dekstrometorfan terhadap gambaran histopatologi otak tikus Wistar. Terbukti dengan di dapatkan perbedaan jumlah kerusakan sel neuron pada otak tikus Wistar . Penilaian meliputi nekrosis sel. Data jumlah sel otak besar yang mengalami nekrosis dengan menggunakan uji normalitas Shapiro-Wilk dan didapatkan bahwa distribusi data normal (p>0,05). Selanjutnya dilakukan analisis dengan uji One Way ANOVA, dan didapatkan normal (p>0,05) sehingga
33
preparat jaringan otak. Data yang diamati adalah jumlah kerusakan sel otak tikus Wistar
hasil uji ANOVA bernilai valid. Kemudian dilakukan uji Post Hoc yang menggambarkan bahwa terdapat perbedaan bermakna (p<0,05) antara kelompok K-P1, K-P2, K-P3, P1-P2, P1-P3, P2-P3.
6 Evaluation of Monosodium glutamate Induced Neurotoxicity and Nephrotoxicity in Adult Male Albino Rats
Marwa A. Abass dan Manal R. Abd El-Haleem
Sebanyak 36 ikus albino dibagi menjadi 3 kelompok (masing-masing 12 ekor) yaitu, kelopok kontrol negatif, kelompok kontrol positif (menerima 2ml salin secara oral selama 28 hari) dan kelompok Monosodium Glutamate (menerima 830 mg/kg/BB secara oral selama 28 hari) . Serum kreatinin, dan kadar nitrogen urea darah , analisis urine untuk melihat ekskresi albumin dan dilakukakan pemeriksaan histopatologi pada organ ginjal serebrum pada semua kelompok penelitian.
Hasil menunjukkan bahwa terdapat peningkatan serum kreatinin. Level Blood Ureum Nitrogen dikomparasikan dengan kelompok kontrol dan hal ini disertai dengan peningkatan eksresi albumin pada urine.Terdapat juga perubahan pada gambaran histopatologis serebrum dan ginjal yang diperiksa, yaitu berupa perubahan neurodegenerative seperti bentukan vakuolisasi, pyknosis, saelitosis dan kongesti pleksus choroidal di korteks serebral. Kemudian diginjal ditemukan pembengkakan di gari endothelium dari grumerulus yang diasosiasikan dengan
34
atrofi area glumerular. Selain itu, didapatkan juga degenerasi hidrofik dari tubulus dengan dilatasi dan adanya hialin cats. ruang intertubular menunjukkan dilatasi dan kongsti dari pembuluh darah kortikal dengan focal hemorrhage diantara tubulus. Jadi, dapat disimopulkan bahwa pemberian Monosodium Glutamate dapat memberikan pengaruh neurotoxic dan nephrotoxic effects
2.8 Kerangka Teori
Influks elektrolit ke sel
Peningkatan permeabilitas membran sel
Pembengkakan sel atau gliaosis
Dosis pemberian MSG dan
Etanol
Lama perlakuan Jalur pemberian
Kondisi Blood Brain Barier
Akumulasi etanol dan
MSG
Metabolisme meningkat
Metabolisme utama di hepar Organ lainotak
Jalur absorbsi
Peningkatan ROS dan Asetaldehid
35
BAB IIIKERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konsep
Keterangan :
= Dilakukan dalam penelitian
= Tidak dilakukan dalam penelitian
3.2 Hipotesis
Ada pengaruh pemberian oplosan MSG dan etanol 10% dosis bertingkat
terhadap gradasi kerusakan otak tikus Wistar.
Monosodium Glutamat
Efek terhadap Otak Tikus Wistar
Oplosan Monosodium Glutamat dan Etanol
Etanol
Gambaran Kerusakan Otak
36
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan metode eksperimental melalui percobaan di
laboraturium. Rancangan percobaannya disusun secara Rancangan Acak Kelompok
(RAK) dengan pengambilan data setelah perlakuan (Post Test Only Kontrol Group
Design) atau dengan kata lain dengan rancangan randomized kontrol group post test
only design. Dalam penelitian ini terdapat 6 kelompok penelitian. Tiga kelompok
kontrol dan tiga kelompok perlakuan. Kelompok kontrol Negatif (KN) menggunakan
Aquades 4 ml, kelompok kontrol 1 (K1) menggunakan etanol kadar 10% sebanyak 4
ml, kelompok kontrol 2 (K2) menggunakan MSG yang diambil dari larutan dosis
letal 16,6 gr/kgBB sebanyak 4 ml serta tiga kelompok perlakuan yaitu kelompok
perlakuan 1 (P1) yang diberi paparan oplosan MSG dan etanol 10% dengan
perbandingan 1:3 sebanyak 4 ml, kelompok perlakuan 2 (P2) yang diberi paparan
oplosan MSG dan etanol 10% dengan perbandingan 1:4 sebanyak 4 ml, dan
37
kelompok perlakuan 3 (P3) yang diberi paparan oplosan MSG dan etanol 10%
dengan perbandingan 1:5 sebanyak 4 ml.
Skema terkait dengan rancangan penelitian tersebut dapat dilihat pada bagan berikut
ini
H
Keterangan :
H : Populasi
O1KN
O3K2R
O5P2
O6P3
K1 O2
P1 O4
38
R : Randomisasi
KN : Kelompok kontrol negatif menggunakan aquades
K1 : Kelompok kontrol menggunakan etanol alami kadar 10% sebanyak 4 ml
K2 : kelompok kontrol menggunakan MSG yang diambil dari larutan dosis letal
16,6 gr/Kb/BB sebanyak 4 ml.
P1 : Kelompok Perlakuan yang diberikan oplosan MSG dan etanol 10% dengan
perbandingan 1:3 sebanyak 4 ml
P2 : Kelompok Perlakuan yang diberikan oplosan MSG dan etanol 10% dengan
perbandingan 1:4 sebanyak 4 ml
P3 : Kelompok Perlakuan yang diberikan oplosan MSG dan etanol 10% dengan
perbandingan 1:5 sebanyak 4 ml
O : Observasi (pengamatan terhadap masing-masing perlakuan, berupa
pengambilan organ otak untuk pemeriksaan gambaran histopatologi)
O1 : Gambaran histopatologi otak tikus Wistar kelompok kontrol negatif
O2 : Gambaran histopatologi otak tikus Wistar pada K1
O3 : Gambaran histopatologi otak tikus Wistar pada K2
O4 : Gambaran histopatologi otak tikus Wistar pada P1
O5 : Gambaran histopatologi otak tikus Wistar pada P2
O6 : Gambaran histopatologi otak tikus Wistar pada P3
39
4.2 Alur penelitian
Tikus Wistar diadaptasi dan diberikan pakan konsentrat selama 7 hari
Berat badan tikus Wistar ditimbang
Kelompok perlakuan (P)
KN (kontrol aquades)
P2 (tikus Wistar + oplosan MSG dan etanol 10% dengan perbandingan 1:4 sebanyak 4 ml)
36 ekor tikus Wistar
P1 (tikus Wistar + oplosan MSG dan etanol 10% dengan perbandingan 1:3 sebanyak 4 ml)
Kelompok kontrol (K)
Bius eter
7 kali paparan dengan jarak pemberian 2 hari
P3 (tikus Wistar + oplosan MSG dan etanol 10% dengan perbandingan 1:5 sebanyak 4 ml)
K1(kontrol etanol)
K2 (kontrol MSG)
Populasi yang telah memenuhi kriteria inklusi
40
4.3 Populasi
Populasi dari penelitian ini adalah tikus Wistar yang memenuhi kriteria
inklusi selama berlangsungnya penelitian yaitu pada bulan Juni- Agustus 2012.
4.4 Sampel
Sampel yang digunakan penelitian ini adalah tikus Wistar yang memenuhi
kriteria inklusi yang dibagi menjadi enam kelompok.
4.4.1 Besar sampel
Besar sampel yang akan digunakan sesuai dengan kriteria WHO untuk
penelitian eksperimental yaitu sedikitnya menggunakan lima ekor hewan coba dan
tambahan satu ekor untuk tiap kelompok perlakuan. Pada penelitian ini digunakan
enam kelompok penelitian, tiga kelompok kontrol dan tiga kelompok perlakuan
dengan jumlah masing-masing hewan coba tiap kelompok kontrol adalah 6 ekor dan
tiap kelompok perlakuan adalah 6 ekor, sehingga jumlah sampel yang dibutuhkan
adalah 36 ekor tikus Wistar.
4.4.2 Kriteria inklusi dan ekslusi
Dekapitasi dan pengambilan organ otak
Preparasi jaringan dengan formalin 10%
Pembuatan slide
Pemeriksaan jaringan
Analisis data
41
Kriteria inklusi dari penelitian ini adalah
1. Tikus Wistar yang berjenis kelamin jantan
2. Berat badan 100-150 gr
3. Kondisi tikus Wistar yang digunakan sehat (aktif bergerak), tidak mempunyai
penyakit atau cacat secara anatomi
Kriteria ekslusi dari penelitian ini adalah
1. Tikus Wistar yang mati sebelum perlakuan
2. Tikus Wistar yang mati sebelum penelitian selesai
4.4.3 Cara pemilihan sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara simple random sampling. Sampel
yang termasuk dalam kriteria inklusi dipilih secara acak, untuk menghindari bias
karena variasi faktor umur dan berat badan, kemudian dibagi menjadi enam
kelompok, yaitu tiga kelompok kontrol dan tiga kelompok perlakuan dengan jumlah
sampel 36 ekor tikus Wistar.
4.5 Variabel dan Definisi Operasional Variabel
4.5.1 Variabel penelitian
Variabel Bebas. Variabel bebas dari penelitian ini adalah dosis bertingkat paparan
MSG dan etanol.
Variabel Tergantung. Variabel tergantung dari penelitian ini adalah gradasi
kerusakan otak tikus Wistar.
4.5.2 Definisi Operasional
42
a. Dosis paparan oplosan MSG dan etanol
Dosis paparan oplosan MSG dan etanol adalah jumlah dosis oplosan MSG
dan etanol 10% yang diberikan secara oral kepada hewan coba yaitu sebanyak 4 ml
yang diambil dari larutan oplosan MSG dosis letal 16,6 kg/BB dan etanol fermentasi
kadar 10% sesuai dengan perbandingan dibutuhkan di masing-masing kelompok.
b. Jenis paparan
Etanol yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah etanol alami dengan
kadar 10% karena sifat etanol yang iritatif (Desprinita, 2010) dan jenis paparan MSG
yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah MSG merek Ajinomoto. MSG dibuat
melalui proses fermentasi dari tetes gula-molase/tapioca menggunkaan bakteri
Corynebacterium glutamicus (Setiawati, 2008).
c. Gradasi kerusakan otak
Gradasi kerusakan otak adalah suatu tingkat, bagian, atau derajat pada skala
kerusakan (Stedman, 2005).
Pengamatan dibawah mikroskop adalah untuk melihat tanda-tanda kerusakan
sel neuron pada otak. Dikatakan mengalami kerusakan jika terdapat vakuolisasi,
piknosis, gliaosis, satelitosis dan kongesti plexus kroidal pada otak (Abbas & Abd El-
Haleem, 2011).
4.6 Waktu dan Tempat Penelitian
43
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus 2012 di tiga tempat, yaitu :
1. Laboratorium Imunobiologi Fakultas Peternakan Universitas Mataram sebagai
pemeliharaan, tempat pelaksanaan penelitian dan pengambilan organ otak tikus
Wistar.
2. Laboratorium Patologi Anatomi RSI Siti Hajar Mataram sebagai tempat
pembuatan preparat organ otak hewan coba.
3. Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Mataram sebagai
tempat pembacaan dan dokumentasi preparat organ otak hewan coba.
4.7 Alat dan Cara Pengumpulan Data
4.7.1 Alat
Alat-alat yang diperlukan dalam penelitian ini antara lain :
1. Kandang untuk hewan coba
2. Timbangan analitik
3. Timbangan MSG dengan merek Precisa 205-A-SCS
4. Alat untuk perlakuan hewan coba: spuit dispossible 5 cc
5. Sonde
6. Stirrer
7. Alat untuk membuat larutan: Gelas ukur, mikro pipet, gelas Beker , Blue
tip.
8. Gunting
9. Pinset
10. Sarung tangan steril
44
11. Masker
12. Bak paraffin
13. Alat untuk membuat preparat histologi jaringan otak : microtome untuk
mengiris jaringan, paraffin untuk proses pemendaman, serta Hematoksilin
dan Eosin untuk pewarnaan.
14. Mikroskop cahaya untuk mengamati sediaan jaringan otak tikus Wistar
15. Kamera digital untuk mendokumentasikan kegiatan selama penelitian dan
hasil temuan gambaran histopatologi sediaan jaringan otak tikus Wistar.
4.7.2 Bahan
1. Tikus Wistar
2. Pakan tikus Wistar
3. Aquades
4. Etanol fermentasi kadar 10%
5. MSG merek Ajinomoto
6. Alkohol 70% untuk sterilisasi alat seksio dan bak paraffin
7. Larutan MSG dan etanol dengan perbandingan 1:3, 1:4, dan 1:5
8. Larutan MSG dan aquades dengan perbandingan 1:2
9. Dietil eter untuk membius hewan coba sebelum pengambilan organ
10. Formalin 10 % untuk mengawetkan organ
45
4.7.3 Cara Pengumpulan Data
Pengamatan gambaran mikroskopis otak meliputi perubahan pada sel neuron
otak. Perubahan neurodegenerative meliputi vakuolisasi, piknosis, satelitosis dan
kongesti plexus kroidal pada otak (Abbas & Abd El-Haleem, 2011).
Kriteria normal bila tidak ditemukan:
1. Vakuolisasi
2. Piknotik
3. Satelitosis
4. Kongesti plexus kroidal
5. Gliaosis
Derajat kerusakan jaringan otak dikuantitatifkan sebagai berikut:
0 = tidak terjadi kerusakan jaringan otak
+ = bila ditemukan 1 kriteria di atas
++ = bila ditemukan 2-3 kriteria di atas
+++ = bila ditemukan 4-5 kriteria di atas
4.8 Prosedur Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Menyiapkan kandang lengkap dengan pakan dan minum. Tikus Wistar
yang didapatkan dari laboraturium anatomi Universitas Mataram sebanyak
36 ekor diadaptasi di dalam kandang selama 7 hari (diberi makan dan
minum sepuasnya).
46
2. Menimbang berat badan semua tikus dan menghitung berat badan dari
seluruh tikus.
3. Pembuatan tuak fermentasi
Proses pembuatan tuak membutuhkan waktu yang lama. Pohon aren
yang digunakan sebagai penghasil tuak harus di proses terlebih dahulu dan
membutuhkan beberapa tahapan yang penting. Berikut tahapan pembuatan
tuak:
1. Langkah pertama dalam pengambilan tuak adalah memilih pohon aren
yang sudah memiliki mayang bunga aren. Tanda dari pohon aren yang
sudah bisa diambil airnya adalah pohon yang sudah memiliki mayang
bunga dan bunganya tersebut sudah mulai mekar.
2. Pohon aren ini kemudian mulai di rawat, dengan cara dibersihkan dari
bekas pelepah dedaunannya.
3. Setelah dibersihkan, tandan mayang bunga aren tadi kemudian di
pukul-pukul selama kurang lebih 10 hari dari ujung sampai ke
pangkalnya dengan tujuan supaya air nira yang akan keluar menjadi
lancar.
4. Pemukulan tandang bunga aren dilanjutkan dengan mengayun-
ayunkan tandan bunga tersebut.
5. Setelah cukup sesuai dengan hari yang dibutuhkan, tandan ini
kemudian potong sampai dengan batas bunga mayang tersebut.
47
6. Pohon aren yang sudah siap untuk menghasilkan tuak kemudian di
“sadep” oleh para penyadap dengan cara menggantungkan botol ke
tempat keluarnya air nira tadi.
7. Apabila sudah penuh, penyadap akan datang ke kebun untuk
mengambil sebanyak 2 kali sehari yaitu pada waktu pagi dan sore hari.
8. Tuak yang sudah ada di dalam botol kemudian di campur dengan kayu
purut yang berfungsi untuk memberikan warna agak kemerahan dan
sebagai pemanis serta bahan fermentasi agar tuak yang dihasilkan
berupa tuak manis.
4. Pembuatan oplosan menggunakan MSG dengan dosis letal dan etanol 10
% sesuai kebutuhan masing-masing kelompok yaitu dengan perbandingan
1: 3, 1:4, dan 1:5.
5. Pembagian kelompok tikus yaitu kelompok konrol negatif/tikus yang tidak
mendapat perlakuan apapun, hanya mendapat pakan konsentrat, dan 2
kelompok kontrol yang masing-masing diberikan etanol 10% dan MSG
dosis letal 16,6 gr/kbBB sebanyak 4 ml. Kemudian 3 kelompok tikus
perlakuan dengan pemberian oplosan MSG dan etanol 10% sebanyak 4 ml
sesuai dengan perbandingan dimasing-masing kelompok.
6. Dua kelompok kontrol (yaitu kelompok 1-2), kelompok kontrol satu diberi
oplosan etanol kadar 10% sejumlah 4 ml/hari dan kelompok kontrol dua
diberi larutan MSG dan aquades dengan perbandingan 1: 2 sebanyak 4
ml/hari selama 7 kali dengan interval pemberian selama 2 hari.
48
7. Tiga kelompok perlakuan (yaitu kelompok 1-3) diberi oplosan MSG dan
etanol kadar 10% sesuai dengan kebutuhan masing-masing kelompok
yaitu kelompok perlakuan 1 dengan perbandingan 1:3, kelompok
perlakuan 2 dengan perbandingan 1:4, dan kelompok perlakuan 3 dengan
perbandingan 1:5 sebanyak 4 ml/ ekor selama 7 kali dengan interval
pemberian selama 2 hari.
8. Tikus Wistar diberi perlakuan secara oral dengan menggunakan sonde
9. Setelah itu, pengambilan organ otak tikus Wistar dengan cara seksio.
Sebelum diambil organnya, tikus dibius menggunakan Dietil eter.
10. Menyiapkan larutan formaldehyde 10% untuk mengawetkan organ.
11. Organ yang tersimpan dalam larutan formaldehyde 4 % dikirim ke
laboratorium untuk dilakukan pembuatan preparat histopatologi.
1. Setelah difiksasi, serebrum di simpan di balok paraffin dan dilakukan
proses pemotongan organ.
2. Otak di belah melalui potongan coronal dengan ketebalan 5 μ
menggunakan microtome.
3. Irisan lobus Frontal diletakkan di kaca objek dan dilakukan pemulasan
menggunakan bahan pewarna Eosin dan Hematoksilin.
12. Pembacaan preparat dan analisis data.
49
4.9 Cara Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini akan dinalisis dengan formula
kruskal wallis untuk melihat ada tidaknya perbedaan gambaran kerusakan pada
kelompok kontrol dan perlakuan, dilanjutkan dengan formula Mann-Whitney untuk
mengetahui perbedaan gambaran kerusakan antar kelompok.
BAB VANALISA DATA
Data yang dianalisis adalah data primer yang diambil dari penelitian ini. Data
penelitiannya berupa pengamatan derajat kerusakan pada gambaran histopatologi
otak otak tikus Wistar setiap kelompok yang telah terpapar etanol, MSG, oplosan
etanol dan MSG yang diberi perlakuan secara oral dengan menggunakan sonde
setelah 7 kali paparan. Setelah dilakukan entry ,coding dan pleaning data, kemudian
diolah dengan program SPSS 16.00 for Windows. Karakteristik data dianalisis secara
deskriptif untuk mengetahui distribusi data yang meliputi mean , median, standar
deviasi , nilai maksimum dan nilai minimum yang ditampilkan dalam tabel. Untuk
mengetahui tingkat gradasi kerusakan otak tikus Wistar yang bermakna pada 2
kelompok dilakukan analisis, jika tidak memenuhi syarat uji parametrik dilakukan uji
Mann-Whitney.
50
BAB VIJADWAL PELAKSANAAN
Rencana Kegiatan
Februari Maret April MeiJuni Juli Agustus september1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Penyusunan proposalPerijinan pelaksanaan penelitianAdaptasi tikus WistarPelaksanaan penelitian
Pengolahan data
Analisis dataPenyusunan laporan
51
BAB VII
HASIL PENELITIAN
4.1 Data Hasil Penelitian
Berikut ini adalah data mengenai derajat kerusakan sel otak tikus Wistar
pada 3 kelompok kontrol yaitu kontrol negatif menggunakan Aquades (KN), kontrol
etanol (KI), kontrol MSG (K2), dan 3 kelompok perlakuan yaitu perlakuan oplosan
MSG dan etanol perbandingan 1:3 (P1), perlakuan oplosan MSG dan etanol
perbandingan 1:4 (P2) dan perlakuan oplosan MSG dan etanol perbandingan 1: 5
(P3).
Tabel 1. Menunjukkan data hasil data hasil pemeriksaan histopatologi otak
tikus Wistar pada tiga kelompok kontrol dan tiga kelompok perlakuan.
No.
sampel
KN K1 K2 P1 P2 P3
1 0 0 0 0 0 0
52
2 0 0 0 0 0 0
3 0 0 0 0 0 1
4 0 0 0 0 0 1
5 0 0 0 0 0 1
6 0 0 0 0 0 1
Pengamatan gambaran mikroskopis otak meliputi perubahan pada sel neuron
otak. Perubahan neurodegeneratif meliputi vakuolisasi, piknosis, gliaosis, satelitosis
dan kongesti plexus kroidal pada (Abbas & Abd El-Haleem, 2011).
Kriteria normal bila tidak ditemukan:
1. Piknotik
2. Satelitosis
3. Kongesti plexus koroidal
4. Gliaosis
5. Vakuolisasi
Derajat kerusakan jaringan otak dikuantitatifkan sebagai berikut:
0 = tidak terjadi kerusakan jaringan otak
+ = bila ditemukan 1 kriteria di atas
++ = bila ditemukan 2-3 kriteria di atas
+++ = bila ditemukan 4-5 kriteria di atas
4.2 Persentase Kerusakan Sel Otak Tikus Wistar
Persentase kerusakan sel otak pada kelompok kontrol dan perlakuan
ditampilkan pada tabel berikut ini: Tabel 2. Menunjukkan persentase kerusakan sel
otak pada kelompok kontrol dan perlakuan
53
Jenis kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan
Persentase kerusakan sel otak
Kontrol Aquades 0%
Kontrol etanol 0%
Kontrol MSG 0%
Oplosan MSG dan etanol 1:3 0%
Oplosan MSG dan etanol 1:4 0%
Oplosan MSG dan etanol 1: 5 66,66%
Tabel 2 menunjukkan presentase kerusakan sel otak yang tertinggi adalah
kelompok perlakukan tiga dengan presentase 66,66 % dan yang terendah adalah pada
semua kelompok kontrol dan perlakuan satu dan dua dengan rerata 0%.
4.3 Uji Perbandingan Gambaran Histopatologi Jaringan Otak Tikus Wistar
Tabel 3. Uji Kruskal Wallis perbedaan gambaran histopatologi otak tikus Wistar.
Berikut adalah tabel hasil uji Kruskal Wallis mengenai derajat kerusakan otak tikus
Wistar
Jenis kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan
Derajat kerusakan otak
Mean rank
Kontrol Aquades 16,50
Kontrol etanol 16,50
Kontrol MSG 16,50
Oplosan MSG dan etanol 1:3 16,50
Oplosan MSG dan etanol 1:4 16,50
Oplosan MSG dan etanol 1:5 28,50
P* 0.001
*Uji kruskal wallis
54
Dari uji Kruskal-Wallis, diperoleh nilai p=0,001. Oleh karena nilai p<0,05,
maka dapat diambil kesimpulan bahwa paling tidak terdapat 2 kelompok perbedaan
gambaran histopatologi jaringan otak tikus Wistar yang diberi oplosan MSG dan
etanol dengan perbandingan 1:3, 1:4, dan 1:5
4.4 Perbedaan Gambaran Kerusakan Sel Otak Tikus Wistar Antar Kelompok
Tabel 4. Hasil Uji Mann Whitney perbandingan gambaran histopatologi jaringan otak
tikus Wistar antar kelompok
Jenis kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan
Asymp. Sig. (2-tailed)
KN dengan K1
KN dengan K2
KN dengan P1
1.000
1.000
1.000
KN dengan P2 1.000
KN dengan P3 0,019
P1 dengan P2 1.000
P1 dengan P3 0.019
P2 dengan P3
P*
0,019
<0,05
*uji Mann Whitney
Hasil uji perbedaan persentase kerusakan sel otak seluruh kelompok
menunjukkan perbedaan bermakna terjadi antara kelompok kontrol dengan kelompok
perlakuan tiga (p=0,019) dan perlakuan satu dengan perlakuan tiga(p=0,019), juga
55
antara kelompok perlakuan dua dan kelompok perlakuan tiga (p=0,019) dimana
p<0,05.
BAB VIII
PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat korelasi bermakna antara
pemberian oplosan etanol dan MSG dosis bertingkat dengan gradasi kerusakan sel
otak pada tikus Wistar. Semakin tinggi dosis oplosan etanol dan MSG yang
diberikan, semakin tinggi pula kerusakan yang ditimbulkan pada sel otak. Kerusakan
yang bermakna terdapat pada kelompok perlakuan 3 yang diberikan oplosan MSG
dan etanol dengan perbandingan 1:5 sejumlah 4 ml sedangkan pada kelompok yang
lain didapatkan sel otak yang normal.
Mengkonsumsi alkohol secara akut bisa meningkatkan fungsi dari
neurotransmitter inhibisi yaitu GABA dengan segala efek toksiknya. Begitu pula saat
seseorang mengkonsumsi MSG, akan terjadi peningkatan fungsi dari neurotransmitter
eksitasi yaitu glutamat. Menurut teori, jika suatu potensial inhibisi postsinaptik
cenderung untuk mengurangi besarnya potensial membran ke nilai yang lebih negatif
lagi, padahal pada saat yang sama potensial eksitasi postsinaptik cenderung untuk
meningkatkan potensial, maka kedua pengaruh ini akan saling meniadakan satu sama
56
lain baik secara keseluruhan atau sebagian saja. Selain itu,” kontak pendek” inhibisi
dari potensial membrane itu dapat meniadakan sebagian besar potensial eksitasi
(Guyton, 1997). Berdasarkan teori tersebut, jika MSG dan etanol dicampurkan, maka
akan terjadi efek yang berlawanan. Akan tetapi, karena jumlah etanol yang diberikan
lebih banyak dari MSG, maka kemungkinan untuk kelompok perlakuan
menyebabkan kerusakan lebih besar bisa terjadi. Pada kelompok ini, jumlah
perbadingan etanol yang diberikan lebih banyak daripada jumlah MSG, sehingga efek
toksik akibat etanol lebih terlihat. Sedangkan pada kelompok lain tidak bermakna
karena perbadingan jumlah etanol dan MSG yang diberikan masih dalam batas yang
bisa ditoleransi oleh ditambah dengan adanya jarak pemberian selama 2 hari sebagai
waktu untuk dilakukannya recovery pada sel otak, walaupun untuk recovery
sempurna membutuhkan waktu beberapa minggu sampai bulan (Zahr M N 2010, dan
Meer, 2010).
Gambaran perubahan jaringan otak yang terlihat saat pemeriksaan berupa
vakuolisasi, piknosis, satelitosis , gliaosis dan kongesti plexus kroidal pada otak.
Vakuolisasi dan piknosis adalah perubahan bentuk dari sel saraf, dimana piknosis
adalah sel saraf yang mengkerut dan vakuolisasi adalah bentuk bervakuola dengan
adanya sel neutrofil di sekitar sel yang rusak. Gambaran kongesti pleksus koroidal
dan gliaosis menunjukkan edema atau pembengkakan yang terjadi serta satellitosis
merupakan akumulasi sel neuroglial di sekitar neuron saat neuron mengalami
kerusakan (Abbas & El-Haleem, 2011).
57
Para peneliti menganggap bahwa efek toksik yang dihasilkan oleh MSG dan
etanol itu berasal dari zat ROS dan Asetaldehide . Reactive oxygen spesies (ROS)
adalah suatu zat radikal bebas. Zat ini terbentuk ketika terjadi ketidak seimbangan
antra ROS yang terbentuk dengan sistem pertahaan tubuh yaitu superoxide dismutase
(SOD), catalase (CAT), and glutathione peroxidase (GPx) (Contini dkk, 2012). ROS
khususnya, aktif di otak dan jaringan neuronal sebagai asam amino eksitatori dan
neurotransmitter, dimana metabolisme dari ROS pada otak adalah sumber dari stress
oksidatif utama. Sel glial dan neuron khususnya sangat sensitive pada radikal bebas
yang dihasilkan ROS yang akan meningkatkan kerusakan di otak (Uttara, 2009).
Salah satu sumber terbentuknya ROS adalah mengkonsumsi MSG. Reseptor
glutamate dibagi menjadi lima kelompok yaitu NMDA (N-metil-D-aspartat), AMPA
(asam α amino-3-hidroksi-5-metil-4-isoksazol propionate), kainat , L-AP4 , dan
reseptor metabotropik. Penyuntikan kainat ke dalam striatum tikus menyebabkan
kematian neuron, tetapi mempertahankan sel glia dan akson. Agen ini bekerja dnegan
menyebabkan pelepasan glutamin yang berlebihan (Murray dkk, 2003).
Reseptor NMDA adalah reseptor yang terpenting dan memegang peranan
penting dalam mengontrol kemampuan otak untuk beradaptasi pada pengaruh
lingkungan dan genetilk(Gonzales,1997). Reseptor NMDA akan terbuka ketika
ditepati oleh agonis seperti glutamat, dan dalam keadaan terbuka, reseptor ini
memungkinkan masuknya ion Ca2+ dan Na+ kedalam sel neuron. Jika reseptor NMDA
mendapat rangsangan kronis, keadaan ini memungkinkan akumulasi ion Ca2+ yang
toksik bagi sel jika terdapat dalam kadar tinggi serta dapat mengakibatkan kematian
58
sel. Disamping itu, influk Ca2+ dan Na+ bisa menyebabkan pembengkakan osmotik
dan kerusakan sel (Murray dkk, 2003). Pembengkakan ini akan terlihat sebagai
gliosis saat pemeriksaan.
Glutamat yang merupakan komponen MSG menginduksi stress oxidatif yang
berhubungan dengan kematian endotelial oleh apoptosis, dan Heme oksigenase (HO-
1) dan Heme oksigenase (HO-2) adalah pelindung dari efek toksisitas glutamat. Pada
sel endothelial serebral, glutamat (0.1–2.0 mM) meningkatkan pembentukan ROS,
termasuk radikal superoksidase, dan produk pemicu apoptosis seperti NF-κB nuclear
translocation, aktifasi caspase-3, fragmentasi DNA, dan integritas sel (Parfenova dkk,
2005).
Terkait dengan pengaruh etanol, pemeriksaan neuropatologis di otak dari
peminum alkohol kronik mengindikasikan kemunculan dari neurodegenerasi,
perenggangan jarak antar dendrit yang kecil dan perubahan sinaps. Mengkonsumsi
alkohol secara kronik dan berlebihan bisa meningkatkan lesi oksidatif di sel saraf.
Dengan mekanisme yang belum terlalu dipahami, EtOH (etanol) menginduksi
aktivitas metabolisme enzim P450-2E1 (CYP2E1) dan meningkatkan pembentukan
(ROS) di otak. Ekspresi dari enzim CYP2E1 sangat penting, karena merupakan enzim
yang mengkatalisis EtOH menjadi ROS dan asetaldehid (AA), bisanya di substansia
alba. Oksidatif stres dihubungkan dengan disekresikannya faktor inflamasi oleh
makrofag atau protein viral yang menyebabkan terganggunya blood-brain barrier
(BBB). Pada konsentrasi nontoksik, penurunan kerapatan BBB oleh aktivasi myosin
light chain (MLC) kinase (MLCK), meningkatkan posforilasi dari protein MLC/TJ
59
dan memudahkan migrasi monosit melewati BBB. Para peneliti menganggap bahwa
hasil dari matabolisme EtOH yaitu AA dan ROS mengaktivasi MLCK, meningkatkan
posforilasi dari protein MLC/TJ dan menghasilkan penurunan integritas BBB serta
meningkatkan migrasi monosit melewati BBB (Haorah, 2005) . Kerusakan organ
terkait dengan asetaldehida juga mungkin dimediasi melalui sitokin inflamasi
(misalnya, faktor tumor nekrosis dan interferon), serta kemampuan mengikat protein
tertentu (Pratama dkk, 2011).
Untuk hasil dari oplosan MSG dan etanol sendiri, masih di teliti, akan tetapi
jika MSG dan alkohol di diberikan pada suatu hewan secara bergantian bisa
menimbulkan efek yang toksik, karena dari hasil penelitian, pemberian MSG pada
mencit sejak neonatus yang dilanjutkan dengan penginduksian etanol akan
meningkatkan kerusakan pada fungsi-fungsi tubuhnya khususnya pada sistem
neurologis. Efek seperti ini sebagian besar dihasilkan akibat dari modifikasi
farmakodinamik. Seperti diketahui, neurotoksisitas MSG menurunkan aktivitas GAD
(glutamic acid decarboxylase) pada beberapa area di sistem saraf pusat yang
konsekwensinya adalah menurunkan isi dari GABA. Dibawah kondisi ini, penurunan
isi dari neurotransmitter penghambat di otak akan menyebabkan peningkatan jumlah
reseptor GABA (up-regulation), merupakan fenomena neuropalstisitas yang
meningkatkan fasilitasi penghambatan GABAergik terhadap etanol (Sepulveda,
Guerrero dkk, 2002).
60
BAB IX
SIMPULAN DAN SARAN
9.1 Simpulan
Dari penelitian tentang gambaran histopatologi otak pada tikus Wistar pasca
habituasi oplosan MSG dan etanol 10% dapat disimpulkan bahwa:
1. Terdapat perbedaan kerusakan yang bermakna antara pemberian oplosan
MSG dan etanol 10% dosis bertingkat dengan gradasi kerusakan otak pada
tikus Wistar .
2. Dari hasil pengamatan histopatologi jaringan otak, didapatkan kerusakan
tertinggi pada pemberian oplosan MSG dan etanol 10% dengan perbandingan
1:5 .
9.2 Saran
1. Diperlukan penelitian yang lebih lanjut untuk membuktikan derajat kerusakan
otak akibat paparan oplosan MSG dan etanol secara kronis.
61
2. Diperlukan penelitian yang lebih lanjut untuk melihat efek dari pemberian
oplosan MSG dan etanol pada sistem hematologi .
3. Diharapkan pada penelitian lebih lanjut dapat menggunakan dosis dan jumlah
yang lebih tinggi dengan frekuensi pemberian yang lebih sering.
DAFTAR PUSTAKA
Abass, M. A. & Abd El-Haleem, M. R. (2011). Evaluation of Monosodium
Glutamate Induced Neurotoxicity and Nephrotoxicity in Adult Male Albino
Rats. Dalam Journal of American Science, 7 (8): 264-76. Tersedia dalam:
http://www.jofamericanscience.org/journals/am-sci/am0708/028_6313am070
8_264_276.pdf . (Diakses pada 30 Maret 2012).
Andrew,Sudhir.1980. Food And Beverage Service Training Manual. New Delhi:
Mcgraw Hill Publishing Company limited.
Anonimous. Intraventricular haemorrhages IVH .tersedia dalam:
http://www.thewomens.org.au/uploads/downloads/HealthInformation/FactShe
ets/English/IVH.pdf ( Diakses: March 24th , 2012)
Ardyanto T, 2004. MSG dan Kesehatan : Sejarah, Efek dan Kontroversinya.
Vol.1/XVI: 52-56. Tersedia dalam:
http://si.uns.ac.id/profil/uploadpublikasi/kedokteran/MSG%20dan
%20Kesehatan%20Sejarah,%20Efek%20dan%20Kontroversinya.pdf.
(Diakses pada 15 Februari, 2013).
62
Arif & Bachtiar. 2012. Korban kritis pesta minuman keras Oplosan. Tersedia dalam:
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/461478/ (Diakses
pada 25Februari , 2012)
Arisman.2009. Keracunan Makanan. Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta: EGC
Badawi A. 1997. Alcohol and Alcoholism : A Review of the Effects of Alcohol on
Carbohydrate Metabolism. Vol 12 (3): 120-136. Tersedia dalam:
http://alcalc.oxfordjournals.org/content/12/3/120.abstract. (Diakses pada 11
Februari, 2013).
Contini M, et al. 2012. Food and Public Health : Kidney and Liver Functions and
Stress Oxidative Markers of Monosodium Glutamate-Induced Obese Rats.
Vol 2(5): 168-177. Tersedia dalam:
http://article.sapub.org/10.5923.j.fph.20120205.08.html. (Diakses: pada 4
Februari 2013).
Djuarni, Nies; sachribunga. 1998. Tatalaksana Makanan Indonesia Timur. Badan
Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri
Das, Subir Kumar, et al. 2007. Oxidative Stress is the Primary Event: Effects of
Ethanol Consumption in Brain. Indian Journal of Clinical Biochemistry, 22
(1) pp. 99-104. Kerala: Amrita Institute of Medical Sciences. Available at :
http://medind.nic.in/iaf/t07/i1/iaft07i1p99.pdf (Diakses pada 15 Maret 2012)
Gonzales RA, Jaworski JN. (1997). Alcohol and Glutamate. Alcohol Health and
Research World, Vol.21, No.2. Tersedia dalam:
http://pubs.niaaa.nih.gov/publications/arh21-2/120.pdf (Diakses pada 5
Maret 2012)
Guyton , Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Jakarta: EGC
63
Haorah, et al. 2005. Alcohol-induced oxidative stress in brain endothelial cells causes
blood-brain barrier dysfunction. Tersedia dalam:
http://www.jleukbio.org/content/78/6/1223.full.pdf+html. . Diakses pada 5
Februari 2013.
Laporan Riskesdas 2007 Nusa Tenggara Barat. Tersedia dalam:
http://www.batukar.info/system/files/RISKESDASLAPORAN%20PROV.
%20NTB.pdf. (Diakses pada 22 Februari , 2012)
Lay. 2011. Prospek Agro-Industri Aren (Arenga pinnata). Tersedia dalam :
http://perkebunan.litbang.deptan.go.id/upload.files/File/publikasi/
perspektif/Perspektif%20v%2010%20n%201%202011/N-1%20Abner
%20Lay%20_aren_.pdf. Diakses pada 21 februari 2013.
Meer V. 2010. Brain Reorganization after Experimental Stroke: Functional and
Structural MRI Correlates. Tersedia dalam:
http://igitur-archive.library.uu.nl/dissertations/2011-0331-200602/meer.pdf.
(Diakses pada 17 Februari 2013).
Murray dkk. 2003. Biokimia Harper edisi ke 25. Jakarta: EGC
Pasiak T. 2012. Tuhan dalam Otak Manusia. Mizania: EGC
Parfenova et al. 2005. American Journal of Physiology: Glutamate induces oxidative
stress and apoptosis in cerebral vascular endothelial cells: contributions of
HO-1 and HO-2 to cytoprotection. vol. 290 no. 5 C1399-C1410. Tersedia
dalam: http://ajpcell.physiology.org/content/290/5/C1399.full. (Diakses pada
4 Februari 2013).
Pittenger C et al. 2011. Pharmachology & Therapeutics: Glutamate Abnormalities In
Obsessive Compulsive Disorder: Neurobiology, Pathophysiology, And
64
Treatment. Vol 132, issue 3.p 314-332. Tersedia dalam:
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0163725811001847.
(Diakses pada 11 Februari 2013 )
Rani Sumarni. 2010. Perbedaan Gambaran Histopatologi Ginjal dan Hepar Tikus
Wistar yang diberi Paparan Metanol dibandingkan dengan Oplosan Metanol
dan Etanol. Mataram: Fakultas Kedokteran UniversitasMataram.
Sari EK & Mahardika AL. (2007). Pengaruh Perbedaan Lama Penyimpanan Nira
Terhadap Kadar Alkohol yang Dihasilkan. Dalam
http://id.scribd.com/mobile/doc/21448228 (Diakses 22 Agustus 2012)
Shigehiro. 1997. Tuak Dalam Masyarakat Batak Toba: Laporan Singkat Tentang
Aspek Social-Budaya Penggunaan Nira. Tersedia dalam: http://bambi.u-
shizuoka-ken.ac.jp/~kiyou4228021/11_3/11_3_5.pdf. Diakses pada 21
februari 2013.
Simanjuntak L. 2010. Pengaruh Pemberian Vitamin C Terhadap Gambaran
Histologis Hati Mencit (Mus Musculus L) Yang Dipapari Monosodium
Glutamate. Tersedia dalam:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22270/7/Cover.pdf. (Diakses
pada 15Februari, 2013)
Sudarmadji, Slamet. 1982. Bahan-Bahan Pemanis. Yogyakarta: Agritech
Syarifudin, dkk. 2010.Dasar-dasar Kimia Organik. Binarupa Aksara: Jakarta
Uttara et al. 2009. Current Neuropharmacology: Oxidative Stress and
Neurodegenerative Diseases: A Review of Upstream and Downstream
Antioxidant Therapeutic Options. vol 7, p 65-74. Tersedia dalam:
65
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2724665/pdf/CN-7-65.pdf.
(Diakses pada 5 February 2013).
Yogi Guhardi .2012. Perbedaan Gambaran Kerusakan Histopatologi Hepar dan
Ginjal Tikus Wistar Setelah Habituasi Alkohol 10% dan 40%. Mataram:
Fakultas Kedokteran UniversitasMataram
Yulia. 2010. Pengaruh Lama Pemberian Metanol 50 % per Oral Terhadap Jumlah
Nekrosis Neuron pada Putamen Tikus Wistar. Tersedia dalam:
http://eprints.undip.ac.id/23833/1/Yulia.pdf ( Diakses pada 15 Maret 2012)
Zahr, M N dkk. 2010. Biol Psychiatry;Brain Injury and Recovery Following Binge
Ethanol: Evidence from In Vivo Magnetic Resonance Spectroscopy. Vol
67:846 – 854. Tersedia dalam:
http://www.stanford.edu/~rohlfing/publications/2010-zahr-biolpsych-
brain_injury_recovery_binge_ethanol_mr_spectroscopy.pdf. (Diakses pada 17
February 2013)
Zakhari S, 2006. Overview: How Is Alcohol Metabolized by the Body?. Tersedia
dalam: http://pubs.niaaa.nih.gov/publications/arh294/245-255.htm. (Diakses
pada 11 Februari 2013)
Zimatkin, Buben A. 2007. Alcohol and Alcoholism : Ethanol oxidation in the living
brain. 42 (6): 529-532. Tersedia dalam:
http://alcalc.oxfordjournals.org/content/42/6/529.full. (Diakses pada 11
Februari, 2013
66
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1. Etichal Clearence
67
Lampiran 2. Data hasil penelitian
Kelompok Sampel Dosis Derajat Kerusakan Jaringan secara mikroskopis
68
0 1 2 3
KN
1
4 ml
- - - -
2 - - - -
3 - - - -
4 - - - -
5 - - - -
6 - - - -
K1
1
4 ml
- - - -
2 - - - -
3 - - - -
4 - - - -
5 - - - -
6 - - - -
K2
1
4 ml
- - - -
2 - - - -
3 - - - -
4 - - - -
5 - - - -
6 - - -
P1
1
4 ml
- - - -
2 - - - -
3 - - - -
4 - - - -
5 - - - -
6 - - - -
P2 1 4 ml - - - -
2 - - - -
3 - - - -
69
4 - - - -
5 - - - -
6 - - - -
P3
1
4 ml
- - - -
2 - - - -
3 - √ - -
4 - √ - -
5 - √ - -
6 - √ - -
Lampiran 3. Hasil Pengukuran Berat Badan Tikus
No Berat badan (gram)
1 146,6
2 154,1
3 148,5
4 157,7
5 138,2
6 139,2
7 124,2
8 122,1
9 124,6
10 125,3
11 123,3
12 154,1
13 156,6
14 157,3
15 156,6
16 162,4
70
17 163,0
18 163,2
19 147,3
20 128,7
21 148,3
22 133,7
23 150,1
24 163,2
25 144
26 146,5
27 137,3
28 146,2
29 137,3
30 154,6
31 139,8
32 148,7
33 145,4
34 126,6
35 150,3
36 132,8
Rata-rata 144
Standar
deviasi
12,60557
Lampiran 4. Perhitungan dosis
Kelompok 1 (KN)146,6154,1148,5
Berat semua tikus : 884,3 gramRata-rata berat tikus: 147,4 gr Dosis: 6 ekor x 4 ml= 24 ml. Dibutuhkan aquades sebanyak 24 ml untuk 6 ekor
Mean ± standar deviasi
71
157,7138,2139,2
tikus. Masing-masing diberikan sebanyak 4 ml
Kelompok 2124,2122,1124,6125,3123,3154,1
Berat semua tikus: 773,6 grRata-rata berat badan tikus : 128,9 grDosis : 6 ekor x 4 ml=24 ml. Dibutuhkan etanol fermentasi 10% sebanyak 24 ml untuk 6 ekor tikus. Masing-masing diberikan sebanyak 4 ml
Kelompok 3156,6157,3156,6162,4163,0163,2
Berat semua tikus : 959 grRata-rata berat tikus: 159,8 grDosis: kebutuhan MSG : 959 gr x 0,0166 gr/grBB= 15,91 gr.Perbandingan MSG dan aquades 1:2 15,91 gr:31,83ml. campuran menghasilkan larutan sejumlah 47,74 ml.Diberikan kepada 6 ekor tikus masing-masing 4 ml. kebutuhan larutan6 ekor x 4 ml=24 ml.Sisa larutan 47,74-24 ml= 23,74 ml
Kelompok perlakuan I (1:3)147,3128,7148,3133,7150,1163,2
Berat semua tikus : 871,3 grRata-rata berat tikus: 145,21 grDosis: kebutuhan MSG: 871,3 gr x 0,0166 gr/grBB= 14.46 gr.V MSG=m/ρ14,46gr/1,538 gr/cm3=9,40 ml Perbandingan MSG dan etanol 10% 1:39,40 ml:28,2 ml.Hasil pencampuran 37,6 ml.Diberikan kepada 6 ekor tikus masing-masing 4 ml. kebutuhan larutan 6 ekor x 4 ml=24 ml. Sisa larutan 37,6-24 ml=13,6 ml
Kelompok perlakuan 2 (1:4)144146,5137,3
Berat semua tikus : 865,9 grRata-rata berat tikus: 144,3 grDosis: kebutuhan MSG: 865,9 gr x 0,0166 gr/grBB= 14.37 gr.
72
146,2137,3154,6
V MSG=m/ρ14,37gr/1,538 gr/cm3=9,34 ml . Perbandingan MSG dan etanol 10% 1:49,34 ml:37.38 ml.Hasil pencampuran 46,72 ml.Diberikan kepada 6 ekor tikus masing-masing 4 ml. kebutuhan larutan 6 ekor x 4 ml=24 ml. Sisa larutan 46,72-24 ml=22.72 ml
Kelompok perlakuan 3 (1:5)139,8148,7145,4126,6150,3132,8
Berat semua tikus : 834,6 grRata-rata berat tikus: 140,6 grDosis: kebutuhan MSG: 834,6 gr x 0,0166 gr/grBB= 14.00 gr.V MSG=m/ρ14,00gr/1,538 gr/cm3=9,10 ml .Perbandingan MSG dan etanol 10% 1:59,10 ml:45.52 ml.Hasil pencampuran 54,62 ml.Diberikan kepada 6 ekor tikus masing-masing 4 ml. kebutuhan larutan 6 ekor x 4 ml=24 ml. Sisa larutan 54,62-24 ml=30.62 ml
Keterangan : ρ MSG=1.538 gr/cm3
ρ Etanol =0,789 gr/cm3
lethal dose MSG= 0,0166 gr/grBB (Anachemia, 2010)
lethal dose etanol= 10.000 mg/kgBB (Loomis,1970)
Lampiran 5. Perhitungan untuk Analisis Data
1. Data Kerusakan sel otak
73
Case Processing Summary
Perlaku
an
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
histopatologiotak KN 6 100.0% 0 .0% 6 100.0%
K1 6 100.0% 0 .0% 6 100.0%
K2 6 100.0% 0 .0% 6 100.0%
P1 6 100.0% 0 .0% 6 100.0%
P2 6 100.0% 0 .0% 6 100.0%
P3 6 100.0% 0 .0% 6 100.0%
2. Presentase kerusakan sel otak tikus Wistar
Jenis kelompok Perhitungan Presentase
KN 0/6x 100 % 0%
KI 0/6x100% 0%
K2 0/6x100% 0%
P1 0/6x100% 0%
P2 0/6x100% 0%
P3 4/6x100% 66.66%
3. Uji Shafiro WilkUji normalitas perbedaan gambran histopatologi otak tikus Wistar yang terpapar
oplosan MSG dan etanol 10% dengan perbadingan 1:3, 1:4, dan 1:5.
74
Tests of Normalityb,c,d,e,f
perlaku
an
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic df Sig.
histopatologiotak P3 .407 6 .002 .640 6 .001
a. Lilliefors Significance Correction
b. histopatologiotak is constant when perlakuan = KN. It has been omitted.
c. histopatologiotak is constant when perlakuan = K1. It has been omitted.
d. histopatologiotak is constant when perlakuan = K2. It has been omitted.
e. histopatologiotak is constant when perlakuan = P1. It has been omitted.
f. histopatologiotak is constant when perlakuan = P2. It has been omitted.
4. Uji normalitas Uji normalitas perbedaan gambran histopatologi otak tikus Wistar yang terpapar
oplosan MSG dan etanol 10% dengan perbadingan 1:3, 1:4, dan 1:5 setelah
transformasi data
75
Descriptivesa,b,c,d,e
Perlakuan Statistic Std. Error
histopatologiotak P3 Mean .67 .211
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound .12
Upper Bound 1.21
5% Trimmed Mean .69
Median 1.00
Variance .267
Std. Deviation .516
Minimum 0
Maximum 1
Range 1
Interquartile Range 1
Skewness -.968 .845
Kurtosis -1.875 1.741
a. histopatologiotak is constant when perlakuan = KN. It has been omitted.
b. histopatologiotak is constant when perlakuan = K1. It has been omitted.
c. histopatologiotak is constant when perlakuan = K2. It has been omitted.
d. histopatologiotak is constant when perlakuan = P1. It has been omitted.
e. histopatologiotak is constant when perlakuan = P2. It has been omitted.
5. Uji Kruskal-Wallis Perbedaan presentase gambaran histopatologi otak tikus Wistar yang terpapar
oplosan MSG dan etanol 10% dengan perbandingan 1:3, 1:4, dan 1:5 di setiap
kelompok
76
Ranks
perlaku
an N Mean Rank
histopatologiotak KN 6 16.50
K1 6 16.50
K2 6 16.50
P1 6 16.50
P2 6 16.50
P3 6 28.50
Total 36
Test Statisticsa,b
histopatologiotak
Chi-Square 21.875
Df 5
Asymp. Sig. .001
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: perlakuan
6. Uji Mann- Whitney Perbandingan gambaran histopatologi otak tikus Wistar yang terpapar oplosan
MSG dan etanol 10% dengan perbandingan 1:3, 1:4, dan 1:5 antar semua
kelompok
Ranks
perlaku
an N Mean Rank Sum of Ranks
histopatologiotak KN 6 6.50 39.00
K1 6 6.50 39.00
Total 12
77
Test Statisticsb
histopatologiotak
Mann-Whitney U 18.000
Wilcoxon W 39.000
Z .000
Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 1.000a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: perlakuan
Ranks
perlaku
an N Mean Rank Sum of Ranks
histopatologiotak KN 6 6.50 39.00
K2 6 6.50 39.00
Total 12
Test Statisticsb
histopatologiotak
Mann-Whitney U 18.000
Wilcoxon W 39.000
Z .000
Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 1.000a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: perlakuan
78
Ranks
perlaku
an N Mean Rank Sum of Ranks
histopatologiotak KN 6 6.50 39.00
P1 6 6.50 39.00
Total 12
Test Statisticsb
histopatologiotak
Mann-Whitney U 18.000
Wilcoxon W 39.000
Z .000
Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 1.000a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: perlakuan
Ranks
perlaku
an N Mean Rank Sum of Ranks
histopatologiotak KN 6 6.50 39.00
P2 6 6.50 39.00
Total 12
79
Test Statisticsb
histopatologiotak
Mann-Whitney U 18.000
Wilcoxon W 39.000
Z .000
Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 1.000a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: perlakuan
Ranks
perlaku
an N Mean Rank Sum of Ranks
histopatologiotak KN 6 4.50 27.00
P3 6 8.50 51.00
Total 12
Test Statisticsb
histopatologiotak
Mann-Whitney U 6.000
Wilcoxon W 27.000
Z -2.345
Asymp. Sig. (2-tailed) .019
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .065a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: perlakuan
80
Ranks
perlaku
an N Mean Rank Sum of Ranks
histopatologiotak P1 6 6.50 39.00
P2 6 6.50 39.00
Total 12
Test Statisticsb
histopatologiotak
Mann-Whitney U 18.000
Wilcoxon W 39.000
Z .000
Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 1.000a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: perlakuan
Test Statisticsb
histopatologiotak
Mann-Whitney U 18.000
Wilcoxon W 39.000
Z .000
Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 1.000a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: perlakuan
81
Ranks
perlaku
an N Mean Rank Sum of Ranks
histopatologiotak P2 6 4.50 27.00
P3 6 8.50 51.00
Total 12
Test Statisticsb
histopatologiotak
Mann-Whitney U 6.000
Wilcoxon W 27.000
Z -2.345
Asymp. Sig. (2-tailed) .019
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .065a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: perlakuan
Lampiran 6. Dokumentasi Proses Penelitian
82
Gambar 3. Kandang Hewan Percobaan Gambar 4. Stirrer
Gambar 5. Timbangan Gambar 6. Larutan oplosan
83
Gambar 7. Tabung organ Gambar 8. Bahan pembiusan
Gambar 9. Tikus galur Wistar Gambar 10. Proses pembedahan
Gambar 10. Proses penyondean gambar 11. Proses pembiusan
84
Gambar 12. Bahan pembedahan Gambar 13. Pengambilan organ otak
Gambar 14. Proses pengawetan Gambar 15. Pengambilan otak
Gambar 16. Formalin 10% Gambar 17. Sampel organ
85
86
Lampiran 6. Gambar Histopatologi Jaringan Otak
Gambar 18. (KN). Otak tikus normal
dengan perbesaran 40. Ganglion dan
astrosit normal (tanda panah)
Gambar 19. (KN) otak tikus dengan
pembesaran 400. ganglion dan astrosit
normal ( tanda panah)
Gambar 20.(P3). Otak tikus dengan
pembesaran 400. Sedikit pelebaran
Gambar 21. (P3). Otak tikus dengan
pembesaran 400. Ukuran sel bertambah
87
sitoplasma (anak panah) karena Sitoplasma menggelembung yang
disebut gliaosis (anak panah)