bab 1 editing (1)

79
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persoalan gizi dalam pembangunan kependudukan masih merupakan persoalan yang dianggap menjadi masalah utama dalam tatanan kependudukan dunia. Oleh karena itu, persoalan ini menjadi salah satu butir penting yang menjadi kesepakatan global dalam Milleneum Development Goals (MDGs). Setiap negara secara bertahap harus mampu menguranggi jumlah balita yang bergizi buruk atau gizi kurang sehingga mencapai 15 persen pada tahun 2015. (UNICEF, 2009) Tercatat satu dari tiga anak di dunia meninggal setiap tahun akibat buruknya kualitas nutrisi. Sebuah riset juga menunjukkan setidaknya 3,5 juta anak meninggal tiap tahun karena kekurangan gizi serta buruknya kualitas makanan (UNICEF, 2009). Badan kesehatan dunia (WHO) memperkirakan bahwa 54 persen kematian anak disebabkan oleh keadaan gizi yang buruk. Sementara masalah gizi di Indonesia

Upload: nur-darda-hajatulail

Post on 22-Dec-2015

55 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

hiuoip

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 1 EDITING (1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Persoalan gizi dalam pembangunan kependudukan masih merupakan persoalan

yang dianggap menjadi masalah utama dalam tatanan kependudukan dunia. Oleh karena

itu, persoalan ini menjadi salah satu butir penting yang menjadi kesepakatan global dalam

Milleneum Development Goals (MDGs). Setiap negara secara bertahap harus mampu

menguranggi jumlah balita yang bergizi buruk atau gizi kurang sehingga mencapai 15

persen pada tahun 2015. (UNICEF, 2009)

Tercatat satu dari tiga anak di dunia meninggal setiap tahun akibat buruknya

kualitas nutrisi. Sebuah riset juga menunjukkan setidaknya 3,5 juta anak meninggal tiap

tahun karena kekurangan gizi serta buruknya kualitas makanan (UNICEF, 2009). Badan

kesehatan dunia (WHO) memperkirakan bahwa 54 persen kematian anak disebabkan oleh

keadaan gizi yang buruk. Sementara masalah gizi di Indonesia mengakibatkan lebih dari

80 persen kematian anak (WHO, 2011). Diperkirakan 165 juta anak usia dibawah lima

tahun diseluruh dunia yang terkena stunted mengalami penurunan dibandingkan dengan

sebanyak 253 juta tahun 1990. Tingkat prevalensi stunting tinggi di kalangan anak di

bawah usia lima tahun terdapat di Afrika (36%) dan Asia (27%), dan sering belum diakui

sebagai masalah kesehatan masyarakat.(UNICEF, 2012)

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Mousa pada tahun 2004 di wilayah

Qashqa’i, Iran, menunjukkan hasil bahwa intervensi pendidikan kesehatan dan gizi pada

Page 2: BAB 1 EDITING (1)

2

orang tua atau keluarga yang mempunyai anak balita akan merubah perilaku dari

keluarga itu terutama dalam hal pengasuhan dan pemberian makan pada anak sehingga

akan meningkatkan status gizi anak balita di keluarga itu.

Berdasarkan peringkat Human Development Index (HDI), pada tahun 2011

Indonesia berada pada urutan ke -124 dari 187 negara, jauh di bawah Negara ASEAN

lainnya. Faktor-faktor yang menjadi penentu HDI yang dikembangkan oleh United

Nations Development Program (UNDP) adalah pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.

Ketiga faktor tersebut sangat berkaitan dengan status gizi masyarakat (Akhmadi, 2009).

Prevalensi nasional gizi buruk pada balita adalah 5,4% dan gizi kurang pada balita

adalah 13 %. Keduanya menunjukkan bahwa target Rencana Pembangunan Jangka

Menengah untuk pencapaian program perbaikan gizi sekitar 20% dan target Millenium

Development Goals (MDGs) tahun 2015 sekitar 18,5% telah tercapai pada tahun 2007.

Namun demikian, sebanyak 19 provinsi mempunyai prevalensi gizi buruk dan gizi

kurang diatas prevalensi nasional. (Riskesdas, 2007).

Tujuan utama pembangunan nasional adalah peningkatan kualitas sumber daya

manusia yang dilakukan secara berkelanjutan. Indonesia sehat 2010 merupakan visi

pembangunan kesehatan. Visi pembangunan di bidang gizi adalah mewujudkan keluarga

mandiri sadar gizi untuk mencapai status gizi masyarakat / keluarga yang optimal

(Depkes RI, 2000).

Peningkatan derajat kesehatan masyarakat sangat diperlukan dalam mengisi

pembangunan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia. Salah satu upaya peningkatan

derajat kesehatan adalah perbaikan gizi masyarakat, gizi yang seimbang dapat

Page 3: BAB 1 EDITING (1)

3

meningkatkan ketahanan tubuh, dapat meningkatkan kecerdasan dan menjadikan

pertumbuhan yang normal (Depkes RI, 2004). Namun sebaliknya gizi yang tidak

seimbang menimbulkan masalah yang sangat sulit sekali ditanggulangi oleh Indonesia,

masalah gizi yang tidak seimbang itu adalah Kurang Energi Protein (KEP), Kurang

Vitamin A (KVA), Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) dan Anemia Gizi

Besi (Depkes RI, 2004).

Dampak krisis ekonomi terhadap status gizi masyarakat yang diamati adalah

meningkatnya prevalensi kurang energi protein (KEP) terutama pada kelompok usia 6-23

bulan dari 29,0% pada Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 1995 menjadi

30,5% pada SUSENAS 1998, meningkatnya kasus Kurang Energi Protein (KEP)

dibeberapa kabupaten / kota, serta kasus gizi buruk, marasmus dan kwashiorkor makin

sering dilaporkan. Data akhir Juli 1999 menunjukkan bahwa jumlah kasus gizi buruk

yang dilaporkan sekitar 10.000 kasus dari 210 kabupaten / kota di Indonesia.

Kurang Energi Protein (KEP) masih merupakan masalah utama di Indonesia,

mengingat angka prevalensi KEP terutama pada anak balita masih cukup tinggi. Menurut

Depkes RI, pada awal Pelita V masih ada sekitar 10,8% anak balita yang menderita gizi

kurang dan gizi buruk. Sedang pada orang dewasa, KEP sering dijumpai pada ibu hamil

dan ibu menyusui terutama yang berpenghasilan rendah. Keadaan KEP tersebut secara

langsung atau tidak langsung dapat berpengaruh terhadap tingginya angka kematian bayi

dan balita. KEP pada ibu hamil dapat mengakibatkan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR),

yaitu berat lahir kurang dari 2500 gram, bayi lahir mati, atau bahkan bias mengakibatkan

kematian pada ibu.

Page 4: BAB 1 EDITING (1)

4

Faktor penyebab timbulnya gizi kurang pada anak balita adalah faktor yang

mempengaruhi secara langsung yakni kurangnya asupan makanan dan penyakit infeksi

yang mungkin diderita si anak. Serta ada pula faktor yang dapat mempengaruhi secara

tidak langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga yang rendah, pola pengasuhan anak

yang salah serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan yang kurang memadai

Data SUSENAS didapatkan prevalensi balita gizi buruk yang cenderung

meningkat setiap tahunnya. Tahun 2001 prevalensi gizi buruk 6,3% tahun 2002

prevalensi gizi buruk 7,47%, tahun 2003 prevalensi gizi buruk 8,55% (Depkes, 2006).

Tahun 2005 prevalensi gizi buruk 8,8% dan untuk provinsi DKI Jakarta terdapat 7,3%

gizi buruk dan 15,03% gizi kurang (BPS, 2006).

Berdasarkan data statistik di atas dapat dilihat bahwa prevalensi gizi kurang dan

gizi buruk di DKI Jakarta lebih rendah dari rata-rata nasional, namun jika tidak

ditanggulangi maka angka prevalensi DKI Jakarta dapat meningkat dengan cepat karena

DKI Jakarta merupakan ibukota negara yang juga wilayah urban yang memiliki

permasalahan kesehatan yang sangat komplek.

Berdasarkan data statistik dan kaitannya dengan faktor-faktor yang

mempengaruhi di atas, penulis memilih judul “Hubungan Pengetahuan, Sikap dan

Perilaku Ibu Tentang Gizi Terhadap Status Gizi Balita di Puskesmas Kecamatan

Jagakarsa”. Dengan mengetahui hubungan-hubugan antara faktor-faktor tersebut

diharapkan dapat membantu mengurangi angka kejadian bayi dengan status gizi kurang

bahkan buruk di Indonesia dan lebih khususnya di wilayah kecamatan Jagakarsa, Jakarta

Selatan.

Page 5: BAB 1 EDITING (1)

5

B. Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu dengan status gizi

anak balita di Puskesmas Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan ?

C. Tujuan penelitian

Umum:

Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi balita

Khusus:

1) Untuk mengetahui gambaran pengetahuan ibu tentang gizi balita di Puskesmas

Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan

2) Untuk mengetahui gambaran sikap dan perilaku ibu terhadap gizi balita di Puskesmas

Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan

3) Untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan ibu dengan status gizi anak balita di

Puskesmas Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan

4) Untuk mengetahui hubungan antara sikap ibu dengan status gizi anak balita di

Puskesmas Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan

5) Untuk mengetahui hubungan antara perilaku ibu dengan status gizi anak balita di

Puskesmas Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan

Page 6: BAB 1 EDITING (1)

6

D. Manfaat Penelitian

Dari penelitian yang dilakukan ini dapat memberi manfaat:

a. Bagi penulis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengalaman dan pengetahuan

dalam memahami permasalahan yang ada khususnya permasalahan gizi di kalangan

balita.

b. Bagi masyarakat

Dapat meningkatkan pengetahuan serta pemahaman tentang pentingnya

kecukupan gizi. Sehingga diharapkan dapat memberikan dampak terhadap pola perilaku

pemberian gizi yang dilakukan orang tua terhadap balita mereka khususnya yang

mengalami gizi kurang, yang pada akhirnya kasus gizi kurang di kalangan masyarakat

dapat menurun secara nyata.

c. Bagi puskesmas

Dapat memberikan gambaran serta masukan kepada puskesmas setempat

sehingga dapat diketahui faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap gizi balita

serta faktor-faktor apa saja yang memperbaiki gizi balita khususnya di lingkungan

setempat sehingga dapat diketahui solusi serta pemecahan masalah yang tepat dalam

menanganinya.

Page 7: BAB 1 EDITING (1)

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

A. Tinjauan Pustaka

1. Pengetahuan

a. Definisi Pengetahuan

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari “Tahu” dan ini terjadi setelah

orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan

terjadi melalui panca indra manusia, yaitu: indra penglihatan, pendengaran,

penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui

pendidikan, pengalaman orang lain, media massa maupun lingkungan

(Notoatmodjo, 2003).

Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya

tindakan seseorang. Pengetahuan diperlukan sebagai dukungan dalam

menumbuhkan rasa percaya diri maupun sikap dan perilaku setiap hari, sehingga

dapat dikatakan bahwa pengetahuan merupakan fakta yang mendukung tindakan

seseorang (Notoatmodjo, 2003).

Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi

perilaku baru dalam diri orang tersebut menjadi proses berurutan :

1.Awarenes, dimana orang tersebut menyadari pengetahuan terlebih dahulu

terhadap stimulus (objek).

2.Interest, dimana orang mulai tertarik pada stimulus.

Page 8: BAB 1 EDITING (1)

8

3.Evaluation, merupakan suatu keadaan mempertimbangkan terhadap baik

buruknya stimulus tersebut bagi dirinya.

4.Trial, dimana orang telah mulai mecoba perilaku baru.

5.Adaptation, dimana orang telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan

kesadaran dan sikap.

b. Tingkat Pengetahuan

Notoatmodjo mengemukakan yang dicakup dalam domain kognitif yang

mempunyai enam tingkatan, pengetahuan mempunyai tingkatan sebagai berikut

(Notoatmodjo, 2003):

a. Tahu (Know)

Kemampuan untuk mengingat suatu materi yang telah dipelajari, dari

seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang diterima. Cara kerja untuk

mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain :

menyebutkan, menguraikan, mengidentifikasikan dan mengatakan.

b. Memahami (Comprehension)

Kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui

dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

c. Aplikasi (Aplication)

Kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi

atau kondisi yang sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan sebagai pengguna

hukum-hukum, rumus, metode, prinsip-prinsip dan sebagainya.

Page 9: BAB 1 EDITING (1)

9

d. Analisis (Analysis)

Kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek dalam suatu

komponen-komponen, tetapi masih dalam struktur organisasi dan masih ada

kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis dapat dilihat dari penggunaan kata

kerja seperti kata kerja mengelompokkan, menggambarkan, memisahkan.

e. Sintesis (Sinthesis)

Kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian dalam bentuk

keseluruhan yang baru, dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk

menyusun formulasi baru dari formulasi yang ada.

f. Evaluasi (Evaluation)

Kemampuan untuk melakukan penelitian terhadap suatu materi atau objek

tersebut berdasarkan suatu cerita yang sudah ditentukan sendiri atau

menggunakan kriteria yang sudah ada (Notoatmodjo, 2003).

b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Menurut Lukman yang dikutip oleh Hendra (2008), ada beberapa faktor yang

memperngaruhi pengetahuan, yaitu:

1) Umur

Singgih (1998), mengemukakan bahwa makin tua umur seseorang maka

proses – proses perkembangan mentalnya bertambah baik, akan tetapi pada

umur tertentu, bertambahnya proses perkembangan mental ini tidak secepat

ketika berumur belasan tahun. Selain itu, Abu Ahmadi (2001), juga

mengemukakan bahwa daya ingat seseorang itu salah satunya dipengaruhi oleh

umur. Dari uraian ini maka dapat disimpulkan bahwa bertambahnya umur dapat

Page 10: BAB 1 EDITING (1)

10

berpengaruh pada pertambahan pengetahuan yang diperolehnya, akan tetapi

pada umur – umur tertentu atau menjelang usia lanjut kemampuan penerimaan

atau mengingat suatu pengetahuan akan berkurang.

Untuk keperluan perbandingan maka WHO menganjurkan pembagian –

pembagian umur sebagai berikut :

I. Menurut tingkat kedewasaan :

0– 14 tahun : bayi dan anak - anak

15 – 49 tahun : orang muda dan dewasa

50 tahun ke atas : orang tua 8

II.Interval 5 tahun :

Kurang dari 1 tahun,

1– 4 tahun,

5 – 9 tahun,

10 – 14 tahun dan sebagainya (Notoatmodjo, 2007).

Menurut Depkes RI yang dikutip oleh Hardiwinoto, pembagian kategori umur,

yaitu :

1. Masa balita : 0 – 5 tahun,

2. Masa kanak – kanak : 5 – 11 tahun,

3. Masa remaja awal : 12 – 16 tahun,

4. Masa remaja akhir : 17 – 25 tahun,

5. Masa dewasa awal : 26 – 35 tahun,

6. Masa dewasa akhir : 36 – 45 tahun,

7. Masa lansia awal : 46 – 55 tahun,

Page 11: BAB 1 EDITING (1)

11

8. Masa lansia akhir : 56 – 65 tahun,

9. Masa manula : 65 – sampai atas (Depkes RI, 2009).

2) Intelegensi

Intelegensi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk belajar dan berpikir

abstrak guna menyesuaikan diri secara mental dalam situasi baru. Intelegensi

merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hasil dari proses belajar.

Intelegensi bagi seseorang merupakan salah satu modal untuk berpikir dan

mengolah berbagai informasi secara terarah sehingga ia menguasai lingkungan

(Khayan,1997). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perbedaan

intelegensi dari seseorang akan berpengaruh pula terhadap tingkat

pengetahuan.

3) Lingkungan

Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

pengetahuan seseorang. Lingkungan memberikan pengaruh pertama bagi

seseorang, di mana seseorang dapat mempelajari hal – hal yang baik dan juga

hal – hal yang buruk tergantung pada sifat kelompoknya. Dalam lingkungan

seseorang akan memperoleh pengalaman yang akan berpengaruh pada cara

berpikir seseorang.

Page 12: BAB 1 EDITING (1)

12

4) Sosial budaya

Sosial budaya mempunyai pengaruh pada pengetahuan seseorang.

Seseorang memperoleh suatu kebudayaan dalam hubungannya dengan orang

lain, karena hubungan ini seseorang mengalami suatu proses belajar dan

memperoleh suatu pengetahuan.

5) Pendidikan

Menurut Notoatmodjo (1997), pendidikan adalah suatu kegiatan atau

proses pembelajaran untuk mengembangkan atau meningkatkan kemampuan

tertentu sehingga sasaran pendidikan itu dapat berdiri sendiri. Menurut Wied

hary A. (1996), menyebutkan bahwa tingkat pendidikan turut pula menentukan

mudah atau tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan yang

mereka peroleh, pada umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang makin

baik pula pengetahuannya.

6) Informasi

Menurut Wied Hary A. (1996), informasi akan memberikan pengaruh

pada pengetahuan seseorang. Meskipun seseorang memiliki pendidikan yang

rendah tetapi jika ia mendapatkan informasi yang baik dari berbagai media

misalnya televisi, radio atau surat kabar, maka hal itu akan dapat meningkatkan

pengetahuan seseorang.

Informasi tidak terlepas dari sumber informasinya. Menurut Notoatmodjo

(2003) dalam Rahmahayani (2010), sumber informasi adalah asal dari suatu

informasi atau data yang diperoleh.

Page 13: BAB 1 EDITING (1)

13

7) Sumber informasi dokumenter

Merupakan sumber informasi yang berhubungan dengan dokumen resmi

maupun dokumen tidak resmi. Dokumen resmi adalah bentuk dokumen

yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan di bawah tanggung jawab

instansi resmi. Dokumen tidak resmi adalah segala bentuk dokumen yang

berada atau menjadi tanggung jawab dan wewenang badan instansi tidak

resmi atau perorangan. Sumber primer atau sering disebut sumber data

dengan pertama dan hukum mempunyai wewenang dan tanggung jawab

terhadap informasi tersebut.

8) Pengalaman

Pengalaman merupakan guru yang terbaik. Pepatah tersebut dapat

diartikan bahwa pengalaman merupakan sumber pengetahuan atau

pengalaman itu suatu cara memperoleh kebenaran pengetahuan. Oleh sebab

itu, pengalaman pribadi pun dapat digunakan sebagai upaya untuk

memperoleh pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang

kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan

yang dihadapi pada masa lalu (Notoatmodjo, 1997 dalam Rahmahayani,

2010).

Page 14: BAB 1 EDITING (1)

14

2. Sikap

a. Pengertian Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap

suatu stimulus atau objek (Notoadmojo, 2003). Manifestasi sikap itu tidak dapat

langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup

b. Komponen Pokok Sikap

Dalam buku Notoadmojo 2003, Allport menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai

3 komponen pokok:

a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek

b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek

c. Kecenderungan untuk bertindak

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh. Dalam

penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi

memegang peranan penting.

c. Berbagai Tingkatan Sikap

1) Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan

stimulus yang diberikan(objek)

2) Merespon (Responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan

tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap

Page 15: BAB 1 EDITING (1)

15

3) Menghargai (Valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu

masalah adalah indikasi sikap tingkat tiga.

4) Bertanggung Jawab (Responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan

segala resiko merupakan sikap paling tinggi.

3. Perilaku

Menurut Notoatmodjo (2003) pengaruh pengetahuan terhadap perilaku dapat

bersifat langsung maupun melalui perantara sikap. Suatu sikap belum otomatis terwujud

dalam bentuk praktek. Untuk terwujudnya sikap agar menjadi suatu perbuatan yang nyata

(praktek) diperlukan faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan. Perilaku

kesehatan merupakan respon seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit

dan penyakit, sistem seseorang terhadap sakit atau penyakit adalah cara manusia

merespon baik secara pasif (mengetahui, bersikap dan, mempersepsi tentang suatu

penyakit yang ada pada dirinya dan diluar dirinya) maupun secara aktif (praktik) yang

dilakukan sehubungan dengan penyakit tersebut.

Perilaku kesehatan di bidang kesehatan menurut Azwar (1995) dipengaruhi oleh

beberapa faktor yaitu: a) Latar belakang: latar belakang seseorang yang meliputi norma -

norma yang ada, kebiasaan, nilai budaya dan keadaan sosial ekonomi yang berlaku dalam

masyarakat, b) Kepercayaan: dalam bidang kesehatan, perilaku seseorang sangat

dipengaruhi oleh kepercayaan orang tersebut terhadap kesehatan. Kepercayaan yang

dimaksud meliputi manfaat yang akan didapat, hambatan yang ada, kerugian dan

Page 16: BAB 1 EDITING (1)

16

kepercayaan bahwa seseorang dapat terserang penyakit, c) Sarana : tersedia atau tidaknya

fasilitas kesehatan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dan d) Cetusan seseorang

yang mempunyai latar belakang pengetahuan yang baik dan bertempat tinggal dekat

dengan sarana kesehatan, bisa saja belum pernah memanfaatkan sarana kesahatan

tersebut. Suatu ketika orang tersebut terpaksa minta bantuan dokter karena mengalami

perdarahan ketika melahirkan bayi kejadiaan itu dapat memperkuat perilaku orang

tersebut untuk memanfaatkan sarana kesehatan yang sudah ada.

4. Status Gizi dan Penilaian Status Gizi

a. Definisi Status Gizi

Status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk

variable tertentu atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variable ternetu.

Contoh: gondok endemic merupakan keadaan tidak seimbangnya pemasukan dan

pengeluaran yodium dalam tubuh (Dewa Nyoman Supriasa, 2008).

Status gizi merupakan hasil keseimbangan antara konsumsi zat-zat gizi

dengan kebutuhan gizi untuk berbagai proses biologis dari organisme tersebut.

Apabila dalam keseimbangan normal maka individu tersebut berada dalam keadaan

normal. Terpenuhinya kebutuhan zat gizi ditentukan oleh dua faktor utama, pertama

asupan makanan dan kedua adalah utilisasi biologik zat gizi (Savitri, 1994).

b. Penilaian Status Gizi

Penilaian status gizi dapat diartikan sebagai suatu proses pengumpulan

formasi, analisis dan membuat interpretasi berdasarkan informasi yang dikumpulkan.

Page 17: BAB 1 EDITING (1)

17

Secara garis besar pengumpulan informasi yang menyangkut penilaian gizi dapat

dilakukan dengan sara-cara:

a. Pengukuran Antropometri

b. Penilaian klinis pemeriksaan fisik

c. Tes biokimia/ laboratorium

d. Test fungsional

e. Statistik vital

f. Penilaian faktor ekologi

Pada prinsipnya, penilaian status gizi anak serupa dengan penilaian pada

periode kehidupan lain. Pemeriksaan yang perlu lebih diperhatikan tentu saja

bergantung pada bentuk kelainan yang bertalian dengan kejadian penyakit tertentu.

Kurang kalori protein, misalkan lazim menjangkiti anak. Oleh karena itu,

pemeriksaan terhadap tanda dan gejala kea rah sana termasuk pula kelainan lain yang

menyertainya, perlu dipertajam (Arisman, 2009).

Anamnesis tentang asupan pangan harus mencantumkan pula (selain

wawancara asupan pangan) pertanyaan yang terkait dengan baik secara sistemik

maupun topikal; frekuensi ngemil (snacking); jumlah makanan yang disantap antara

dua waktu makan; asupan minuman bergula, seperti jus, kopi, teh, dan soda; obat atau

kondisi yang mempengaruhi sekresi air ludah (mengurangi atau menambah); penyakit

kronik misalnya gangguan makan, DM, HIV, atau penyakit jantung; mutu makanan

yang disantap secara umum setiap hari; penggunaan suplementasu vitamin dan

Page 18: BAB 1 EDITING (1)

18

mineral; penggunaan botol (diisi susu atau jus buah, atau digunakan sekedar untuk

mengempeng). Sebagian makanan bersifat protektif terhadap enamel sementara

sisanya bertabiat merusak. Substansi yang berkemampuan mengurangi kepekaan dan

protein susu. Jeruk sitrun diyakini merangsang sekresi air ludah; sementara berbagai

obat, radioterapi kanker mulur dipastikan mereduksi pengaliran saliva.

Anamnesis juga wajib mencantumkan pola konsumsi obat karena

kemungkinan interaksi antara makanan dan obat. Obat (baik yang diperloleh dengan

resep dokter maupun dibeli sendiri) berpotensi mengganggu pencernaan, penyerapan,

metabolism, utilisasi, serta ekskresi berbagai zat gizi. Obat bahkan memiliki

kehandalan dalam mengganggu status gizi, sehingga berat badan pengguna beberapa

obat tertentu merosot, disamping terkondisi pula untuk meajdi anoreksia. Antasida

berbasis alumunium dan magnesium hidroksida yang digunakan dalam dosis tinggi,

misalnya akan menguras cadangan fosfat sedemikian rupa sehingga kekurangan

fosfat kemudian mendapat tempat. Dari sini kelemahan otot, anoreksia dan gagal

jantung kongestif gampang sekali munvul. Sebaliknya, tidak sedikit zat (status) gizi

yang juga berkemampuan memengaruhi kerja obat dengan jalan mengubah alur

metabolism dan fungsi obat ; di samping zat gizi itu sendiri juga memiliki khasiat

farmakologi pada keadaan tertentu.

Sebagai contoh, kebutuhan akan vitamin A meningkat oleh konsumsi bersama

dengan anti kejang (phenytoin) dan antikolesterol (cholesteryalmine). Kebutuhan

akan vitamin D juga meningkat oleh keberadaan obat pengikat asam empedu

(colestipol). Kebutuhan akan vitamin K juga ebrtambah oleh phenytoin. Kadar

karoten dipengaruhi oleh pil KB. Kadar asam folat terkurangi oleh keberadaan

Page 19: BAB 1 EDITING (1)

19

phenytoin, pil KB, dan antikejang. Kadar vitamin B6 dan B12 juga berkurang oleh pil

KB.

Pemeriksaan klinis diarahkan untuk mencari kemungkinan adanya bintik

bitot, xerosis konjungtiva, anemia, pembesaran kelenjar parotis, kheilosis angular,

fluorosis, karies, gondok, serta hepato dan splenomegali

Penilaian antropometris yang penting dilakukan adalah penimbangan berat

dan pengukurang tinggi badan, lingkar lengan dan lipatan kulit triseps. Pemeriksaan

ini penting, terutama pada anak prasekolah yang berelas ekonomi social rendah.

Pengamatan anak usia sekolah dipusatkan terutama pada percepatan tumbuh. Uji

pertumbuhan pada golongan usia ini setidaknya diselenggarakan setahun sekali

karenalaju pertumbuhan pada fase ini relative lambat. Sebagai patokan, pertambahan

berat anak usia 5-10 tahun berkisar sampai 10%-nya, sementara tinggi badan hanya

bertambah sekitar 2 cm setahun.

Uji biokimiawi yang penting adalah pemeriksaan kadar hemoglobin, serta

pemeriksaan hapusan darah untuk malaria. Pemeriksaan tinja cukup hanya

pemeriksaan occult blood dan telur cacing saja

Penilaian status gizi dapat diartikan sebagai suatu proses pengumpulan

formasi,analisis dan membuat interpretasi berdasarkan informasi yang dikumpulkan.

Secara garis besar pengumpulan informasi yang menyangkut penilaian gizi dapat

dilakukan dengan cara-cara:

Page 20: BAB 1 EDITING (1)

20

a. Pengukuran Antropometri

b. Penilaian klinis pemeriksaan fisik

c. Tes biokimia/ laboratorium

d. Test fungsional

e. Statistik vital

f. Penilaian faktor ekologi

Antropometri merupakan salah satu metode untuk penentuan status gizi,

praktis dilaksanakan di lapangan, telah lama dikenal di Indonesia baik untuk

penentuan status gizi perorangan maupun masyarakat (Depkes RI, 1995). Untuk

penilaian status gizi, antropometri disajikan dalam bentuk indeks yang dikaitkan

dengan variabel lain, seperti berat badan menurut umur (BB/U), panjang badan

atau tinggi badan menurut umur (PB/U atau TB/U) dan berat badan menurut

tinggi badan atau panjang badan (BB/TB atau BB/PB). Masing-masing indeks

antropometri memiliki baku rujukan atau nilai patokan untuk memperkirakan

status gizi seseorang.

Status gizi yang digambarkan oleh masing-masing indeks mempunyai arti

yang berbeda-beda. Jika antropometri ditujukan untuk mengukur seseorang yang

kurus kering (wasting), kecil pendek (stunting) atau keterhambatan pertumbuhan,

maka indeks BB/TB dan TB/U adalah cocok digunakan. Kurus kering dan kecil

pendek ini umumnya menggambarkan keadaan lingkungan yang tidak baik,

ketertinggalan dan akibat sakit yang menahun. Cara pengukuran lain yang paling

Page 21: BAB 1 EDITING (1)

21

banyak digunakan adalah indeks BB/U atau melakukan penilaian dengan melihat

perubahan berat badan pada saat pengukuran dilakukan. Penggunaan indeks BB/U

sangat mudah dilakukan akan tetapi kurang dapat menggambarkan kecenderungan

perubahan situasi gizi dari waktu ke waktu.

Penilaian Status gizi secara tidak langsung.

Penilaian ini meliputi: 1) Survei konsumsi makanan, 2) statistik vital, 3)

faktor ekologi. Adapun survei konsumsi makanan adalah metode penentuan status

gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang

dikonsumsi. Pengumpulan data konsurnsi makanan dapat memberikan gambaran

tentang konsurnsi berbagai zat gizi pada masyarkat, keluarga dan individu. Survei

ini dapat mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan zat gizi.

Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan menganalisis

data beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian bedasarkan umur, angka

kesakitan dan kernatian akibat penyebab tertentu dan data lain yang berhubungan

dengan gizi.

Bengoa mengungkapkan bahwa malnutrisi merupakan masalah ekologi

sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis dan lingkungan budaya.

Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung dan keadaan ekologi seperti

iklim, tanah, irigasi dan lain-lain.

c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi

Page 22: BAB 1 EDITING (1)

22

Menurut Apriaji (1986) faktor- faktor yang mempengaruhi status gizi

seseorang terdiri dari dua bagian yaitu faktor internal dan faktor ekternal.

Faktor internal terdiri dari a) status kesehatan, b) nilai cerna, c) umur, d) jenis

kelamin, e) kegiatan dan aktivitas. Status kesehatan akan menentukan kebutuhan zat

gizi seseorang, misalnya kebutuhan orang yang baru sembuh dari sakit bebeda dengan

kebutuhan orang yang sehat, hal ini disebabkan karena sel - sel tubuh yang baru

sembuh perlu dganti sehingga akan membutuhkan zat gizi lebih banyak.

Nilai cerna suatu bahan makanan tergantung pada beberapa faktor diantaranya

umur bahan makanan, komposisi asam amino suatu bahan makanan, lamanya

pernasakan dan pemakaian bahan pelarut dalam pemasakan. Bahan makanan yang

diambil pada umur mudah akan memiliki nilai cerna yang lebih tinggi, bahan

makanan bersumber dari hewani mempunyai nilai cerna yang lebih tinggi

dibandingkan dengan bahan makanan sumber nabati, pemasakan dengan waktu

singkat dan suhu yang rendah mempunyai nilai cerna yang lebih tinggi serta

pemakaian bahan pelarut (cuka atau asam) akan mempunyai nilai cerna yang rendah

dalam bahan makanan karena terjadi pengerasan dinding sel makanan dan

penggumpalan protein.

Umur seseorang sangat mempengaruhi kebutunan gizinya. Hal ini dapat

dilihat pada anak usia balita yang berada dalam masa pertumbuhan memerlukan

makanan yang bergizi relatif lebih banyak dibandingkan dengan orang dewasa.

Kebutuhan zat gizi pada pria akan lebih besar dari pada wanita karena mempunyai

kegiatan lebih banyak seperti aktivitas fisik sehingga memerlukan energi dan protein

Page 23: BAB 1 EDITING (1)

23

yang lebih banyak. Sebaliknya wanita akan mernerlukan zat besi lebih banyak karena

wanita secara teratur mengalami menstruasi.

Kegiatan dan aktivitas seseorang sangat menentukan besar atau kecilnya

kebutuhan zat gizi, misalnya seseorang dengan pekerjaan yang berat akan

memerlukan energi dan zat - zat gizi yang lebih besar dibandingkan dengan orang

mempunyai pekerjaan sedang atau ringan. Khusus pada anak balita juga memerlukan

energi yang lebih banyak untuk proses tumbuh kembang.

Faktor eksternal merupakan faktor yang berpengaruh diluar tubuh seseorang,

antara lain: a) tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi, b) latar belakang sosial

budaya, c) daya beli, d) kebersihan lingkungan.

Tingkat pendidikan seseorang tidak menjamin apakah dia mampu atau tidak

dalam menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi, sedangkan tingkat

pengetahuan gizi seseorang terutama pengetahuan gizi ibu sangat berpengaruh dalam

pemeliharaan dan peningkatan kesehatan serta gizi anak balitanya. Pendidikan

terutama pendidikan ibu berpengaruh sangat kuat terhadap kelangsungan anak dan

bayinya. Pada masyarakat dengan rata –rata pendidikan rendah menunjukan

prevalensi gizi kurang yang tinggi dan sebaliknya pada masyarakat yang

pendidikannya cukup tinggi prevalensi gizi kurangnya rendah (Abunain,1988)

Ibu yang pendidikan tinggi akan memilih jenis dan jumlah makanan untuk

keluarga dengan mempertimbangan syarat gizi disamping mempertimbangkan faktor

selera oleh karena itu ibu rumah tangga pada umumnya yang mengatur dan

menentukan segala urusan makanan dan kebutuhan keluarga (Suhardjo,1986)

Seseorang yang pendidikannya lebih tinggi mempunyai pengertian yang lebih

baik akan kesehatan gizi dengan menangkap informasi dan menafsirkan informasi

Page 24: BAB 1 EDITING (1)

24

tersebut guna kelansungan hidupnya lebih – lebih pada jaman kemajuan ilmu

tehnologi. Dengan berbekal pendidikan yang cukup seseorang ibu akan lebih banyak

memperoleh informasi serta lebih tanggap terhadap permasalahan yang

dihadapi.Dengan demikian mereka dapat memilih serta menentukan aternatif lebih

baik untuk kepentingan rumah tangganya termasuk dalam menentukan pemberian

makanan bagi balita yang ada dirumah tangga tersebut (Biro Pusat Statistik,1993)

Latar belakang sosial budaya diuraikan sebagai berikut: kebiasaan dalam

suatu keluarga yang lebih mengutamakan bapak, dimana bapak haruslah mendapat

porsi makanan lebih banyak dan lebih baik dengan alasan bapak adalah pencari

nafkah dan sebagai kepala keluarga, hal ini bisa merugikan anggota keluarga lain

karena tidak mendapatkan makanan yang sesuai terutama pada anak balita.

Disamping itu masih ada kepercayaan untuk memantang makanan tertentu yang

dipandang dari segi gizi sebenarnya mengandung zat gizi yang baik.

Kemampuan keluarga untuk membeli makanan dipengaruhi oleh besar

kecilnya tingkat pendapatan keluarga karena jika tingkat pendapatan rendah relatif

akan kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya apalagi dalam berbagai jenis

makanan yang beraneka ragam. Kebersihan lingkungan secara tidak lansung

berpengaruh terhadap status gizi seseorang, namun faktor lingkungan yang kurang

bersih dapat menyebabkan meningkatnya penyakit pada anak seperti penyakit infeksi

dan kecacingan.

d. Kurang Energi Protein

Kurang Energi Protein (KEP) adalah gizi buruk yang merupakan suatu istilah

teknis yang umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi

Page 25: BAB 1 EDITING (1)

25

buruk itu sendiri adalah bentuk terparah (akut) dari proses terjadinya kekurangan gizi

menahun atau kekurangan gizi tingkat berat. Gizi buruk yang disertai dengan tanda-

tanda klinis disebut marasmus, kwashiorkor dan kombinasi marasmus kwashiorkor

(Soekirman (2000).

Almatsier (2004) mengatakan KEP adalah sindroma gabungan antara dua

jenis kekurangan energi dan protein, dimana sindroma ini merupakan salah satu

masalah gizi di Indonesia. Beberapa tipe Kurang Energi Protein (KEP) dapat

disebutkan, bahwa KEP atau gizi buruk pada tingkat ringan atau sedang, belum

menunjukkan gejala sakit. Masih seperti anak-anak lain, masih bermain dan

sebagainya, tetapi bila diamati dengan seksama badannya mulai kurus. Sedangkan

bagi KEP yang tingkat berat yang disertai dengan gejala klinis disebut marasmus atau

kwashiorkor, dimasyarakat lebih dikenal sebagai “busung lapar”.

Jika kondisi KEP cukup berat dikenal dengan istilah marasmus dan

kwashiorkor, masing-masing dengan gejala yang khas, dengan kwashiorkor dan

marasmik ditengah-tengahnya. Pada semua derajat maupun tipe KEP ini terdapat

gangguan pertumbuhan disamping gejala-gejala klinis maupun biokimiawi yang khas

bagi tipenya. Klasifikasi KEP digunakan untuk menentukan prevalensi KEP disuatu

daerah dengan melihat derajat beratnya KEP, hingga dapat ditentukan persentase gizi

kurang dan berat di daerah tersebut (Pudjiadi, 2005).

Untuk tingkat Puskesmas penentuan KEP yang dilakukan dengan menimbang

BB anak dibandingkan dengan umur dan menggunakan KMS dan tabel baku median

WHONCHS KEP berat bila hasil penimbangan BB/U kurang dari 60% baku median

WHONCHS.

Page 26: BAB 1 EDITING (1)

26

Gejala klinis ada tiga jenis yaitu kwashiorkor, marasmus dan marasmic

kwashiorkor (Depkes RI, 1999). Untuk tingkat RSU kabupaten/ kota penemuan KEP

dilakukan dengan menimbang dan mengukur tinggi badan dibandingkan dengan umur

dan table BB/U dan table TB/U baku median WHO-NCHS. KEP berat bila BB/U

<60% baku median WHO-NCHS dan atau BB/TB < 60% baku median WHO-NCHS

(Depkes RI, 1999).

Data baku WHO-NCHS indeks BB/U, TB/U dan BB/TB disajikan dalan dua

versi yakni persentil (persentile) dan skor simpang baku (standar deviation score = z).

Menurut Waterlow,et,al, gizi anak-anak dinegara-negara yang populasinya relative

baik (well-nourished), sebaiknya digunakan “presentil”, sedangkan dinegara untuk

anak-anak yang populasinya relative kurang (under nourished) lebih baik

menggunakan skor simpang baku (SSB) sebagai persen terhadap median baku

rujukan ( Djumadias Abunaim,1990).

Tabel 1 Penilaian Status Gizi berdasarkan Indeks BB/U,TB/U, BB/TB Standart

Baku Antropometeri WHO-NCHS

NoIndeks yang

dipakai

Batas

PengelompokanSebutan Status Gizi

1 BB/U < -3 SD Gizi buruk

- 3 s/d <-2 SD Gizi kurang

- 2 s/d +2 SD Gizi baik

> +2 SD Gizi lebih

Page 27: BAB 1 EDITING (1)

27

2 TB/U < -3 SD Sangat Pendek

- 3 s/d <-2 SD Pendek

- 2 s/d +2 SD Normal

> +2 SD Tinggi

3 BB/TB < -3 SD Sangat Kurus

- 3 s/d <-2 SD Kurus

- 2 s/d +2 SD Normal

> +2 SD Gemuk

Menurut Jellifle (1994) banyak anak-anak dari golongan ekonomi

marginal menunjukan pertumbuhan abnormal. Hal ini diketahui dari berat

badannya pada tahun-tahun pertama hidupnya.

1) Enam bulan pertama kehidupannya

Pertumbuhan baik sekali berkat protein, kalori, vitamin yang cukup

dari aliran ASI yang baik dan bersih. Anak juga dilindungi dari infeksi-infeksi

oleh antibodi yang didapat dari ibu selama dalam kandungan.

2) Enam bulan berikutnya

Pertumbuhan sedang-sedang saja, tetapi ASI tidak mencukupi lagi

untuk memasok protein, kalori dan zat besi. Kadang-kdang perlu makanan

lain yang biasanya berupa pati atau karbohidrat dengan sedikit protein.

3) Tahun ke-2 dan ke-3

Page 28: BAB 1 EDITING (1)

28

Pertumbuhannya buruk atau tidak ada pertumbuhan, bukan berat

badan menurun untuk waktu lama karena kurang protein, kebiasaan makan

karbohidrat (makanan berpati), kadang-kadang sedikit ASI, ditambah sedikit

protein seperti susu sapi, daging, ikan atau polong-polongan dan sering

terkena infeski misalnya campak, diare, malaria, infeksi paru dan kecacingan.

KEP mungkin terjadi pada setiap saat dari tiga periode tersebut, tetapi

tidak pernah ditemukan pada bayi yang muda yang mendapat ASI dengan

sangat memuaskan (Jellifle, 1994). Judiono dkk (2001) meneliti berat badan

lahir dengan status gizi pada bayi 0-6 bulan di kabupaten dan kotamadya

Sumedang, propinsi Jawa Barat menyimpulkan bahwa bayi usia 4 bulan yang

lahir dengan kondisi berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai resiko KEP

10,2 kali sedangkan pada bayi usia 6 bulan risiko tersebut meningkat 23,3 kali

lebih besar untuk mengalami KEP dibandingkan dengan bayi lahir berat badan

normal.

Menurut UNICEF (1988) faktor - faktor yang mempengaruhi status

gizi anak balita dan penyebab kurang gizi pada balita di masyarakat yaitu:

penyebab langsung dan tidak langsung. Makanan dan penyakit dapat secara

langsung menyebabkan gizi kurang. Timbulnya gizi kurang tidak hanya

dikarenakan asupan makanan yang kurang, tetapi juga penyakit. Anak yang

mendapat cukup makanan tetapi sering menderita sakit, pada akhirnya dapat

menderita gizi kurang. Demikian pula pada anak yang tidak memperoleh

Page 29: BAB 1 EDITING (1)

29

cukup makan, maka daya tahan tubuhnya akan melemah dan akan mudah

terserang penyakit (Supariasa et al, 2002).

Sedangkan penyebab tidak langsung ada tiga yaitu:

(1) ketahanan pangan,

(2) pola pengasuhan anak,

(3) pelayanan kesehatan dan lingkungan.

Setiap keluarga diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan

seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup baik jumlah maupun mutu

gizinya. Pola pengasuhan anak kurang memadai. Setiap keluarga dan mayarakat

diharapkan dapat menyediakan waktu, perhatian, dan dukungan terhadap anak

agar dapat tumbuh kembang dengan baik fisik, mental dan sosial. Juga

disebabkan adanya system dan fasilitas pelayanan kesehatan dan lingkungan

kurang memadai. Sistem pelayanan kesehatan yang ada diharapkan dapat

menjamin penyediaan air bersih dan sarana pelayanan kesehatan dasar yang

terjangkau oleh setiap keluarga yang membutuhkan. Ketiga faktor ini saling

berhubungan, ketahanan pangan keluarga terkait dengan ketersediaan pangan,

harga pangan dan daya beli keluarga serta pengetahuan tentang gizi dan

kesehatan. Pola pengasuhan anak berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh

lain dalam hal kedekatannya dengan anak, cara memberikan makan maupun

pengetahuan tentang jenis makanan yang harus diberikan sesuai umur dan

kebutuhan, memberi kasih sayang dan sebagainya.

Faktor tidak langsung yang lain adalah akses atau keterjangkauan anak

dan keluarga terhadap air bersih dan pelayanan kesehatan yang baik seperti

Page 30: BAB 1 EDITING (1)

30

imunisasi, pemeriksaan kehamilan, penimbangan anak, pendidikan kesehatan dan

gizi serta sarana kesehatan. Pokok masalah di masyarakat adalah kurangnya

pemberdayaan keluarga dan kurangnya pemanfaatan sumber daya masyarakat

berkaitan dengan berbagai faktor langsung maupun tidak langsung sehingga akan

menurunkan tingkat pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan (Supariasa et al,

2002).

Akar masalah adalah adanya krisis ekonomi, politik dan sosial yang

menimpa Indonesia sejak tahun 1997 yang akhirnya dapat meningkatkan angka

pengangguran, inflasi dan kemiskinan dan menimbulkan keresahan sosial.

Keadaan tersebut telah memicu munculnya kasus-kasus gizi buruk akibat

kemiskinan dan ketahanan pangan keluarga yang tidak memadai. (Tabor et al,

2000).

Page 31: BAB 1 EDITING (1)

31

Gambar 2 Faktor penyebab kurang gizi (Sumber: Depkes RI, 2001) Disesuaikan dari

bagan UNICEF, 1988, The State of the World’s Children 1998, OxfordUniv. Press)

Penjaringan kasus gizi buruk dapat dimulai dari pemantauan arah

pertumbuhan secara cermat yang dapat dilakukan secara rutin di Posyandu. Bila

ditemukan balita gizi buruk harus segera dicari kemungkinan penyebabnya dan

segera ditentukan solusinya, kemudian dilakukan kembali pemeriksaan

anthropometri dan tanda-tanda klinis. Anak dengan masalah ini harus dirujuk ke

Pos Kesehatan Desa. Oleh Bidan desa dilakukan pemeriksaan ulang klinis,

antropometris, pertumbuhan. Jika secara klinis dan anthropometris ditemukan

tanda-tanda gizi buruk tanpa komplikasi, anak bias dirawat oleh bidan/PKD

dengan supervisi Puskesmas. Jika gizi buruk disertai komplikasi maka anak harus

dirujuk ke Puskesmas atau RS. Penderita gizi buruk harus dilaporkan dalam 24

jam ke Puskesmas yang selanjutnya akan dilaporkan ke Dinas Kesehatan, seperti

halnya pada penyakit wabah harus segera dilakukan tindakan-tindakan pelacakan.

(Pelatihan TOT fasilitator PKD, 2005)

e. Pemberian Makan Anak dibawah lima tahun

Pelaksanaan pemberian makanan yang sebaik-baiknya kepada bayi dan anak

bertujuan:

a. Memberikan nutrien yang cukup untuk kebutuhan, memelihara kesehatan dan dan

memulihkannya bila sakit, melaksanakan berbagai jenis aktivitas pertumbuhan

dan perkembangan fisik serta psikomotor.

Page 32: BAB 1 EDITING (1)

32

b. Mendidik kebiasaan yang baik tentang memakan dan menyukai makanan yang

diperlukan (Hassan dan Alatas, 1998).

Merencanakan pengaturan makan untuk seorang bayi dan anak:

a. Menentukan jumlah kebutuhan dari setiap nutrien dengan menggunakan data

tentang kebutuhan nutrien.

b. Menentukan jenis bahan makanan yang dipilih untuk menerjemahkan nutrien

yang diperlukan dengan menggunakan daftar komposisi nutrien dari berbagai

macam bahan makanan.

c. Menentukan jenis makanan yang akan diolah sesuai dengan hidangan (menu)

yang dikehendaki.

d. Menentukan jadwal untuk waktu makan dan menentukan hidangan.

e. Memperhatikan masukan yang terjadi terhadap hidangan tersebut. Perlu

dipertimbangkan kemungkjinan faktor kesukaan dan factor ketidaksukaan

terhadap suatu makanan juga anoreksia (Hassan dan Alatas, 1998).

Faktor-faktor yang diperhatikan untuk pengaturan makan yang cepat adalah:

a. Umur

b. Berat badan

c. Diagnosis penyakit, tahap serta keadaan penyakit

d. Keadaan mulut sebagai penerima makanan

e. Kebiasaan makan, kesukaan dan ketidaksukaan, akseptabilitas dari makanan dan

toleransi anak terhapad makanan yang diberikan (Hassan & Alatas, 1998).

Page 33: BAB 1 EDITING (1)

33

Pemasukan kalori yang tinggi hanya dapat terjadi jika makanan diberikan

lebih sering. Pembagian makanan dalam 3 kali pemberian sehari jelas tidak dapat

ditampung oleh anak yang memiliki lambung kecil. Untuk anak 1-2 tahun hanya

mampu menerima jumlah yang diperlukan itu jika dibagi dalam 6-8 kali pemberian

sehari, untuk anak yang labih besar 4-6 kali pemberian sehari (Morley, 1997

Suhardjo, 1996).

Makanan untuk bayi sehat terdiri dari:

a. Makanan utama yaitu ASI. Jika ASI sama sekali tidak ada dapat diberikan

makanan buatan sebagai penggantinya.

b. Makanan pelengkap terdiri dari buah-buahan, biscuit, makanan padat bayi yaitu

bubur susu, nasi tim, atau makanan lain yang sejenis.

Keuntungan ASI (Hassan & Alatas, 1998):

a. Makanan alami, ideal fisiologik.

b. Mengandung nutrien untuk keperluan pertumbuhan bayi yang sangat tepat.

c. Selalu dalam keadaan segar, suhu optimal dan bebas dari basil patogen.

d. Mendukung zat anti/ zat kekebalan.

Pemberian makanan bayi yang berhasil dengan baik memerlukan fungsi

koordinatif yang terjadi dengan serasi antara ibu dan bayinya, yang seharusnya dimulai

dari semenjak pengalaman makan untuk yang pertama sekali, yang akan berlanjut terus

selama ketergantungan anak yang bersangkutan. Dengan segera menegakkan dan

mengembangkan cara-cara memberi makan yang menimbulkan kenyamanan dan

Page 34: BAB 1 EDITING (1)

34

kepuasan akan besar sekali ikut membantu terwujudnya perasaan, kesejahteraan

emosional pada bayi serta ibu yang bersangkutan (Behrman & Vaughan, 1994).

Penetapan kecukupan pengadaan ASI, jika bayi yang bersangkutan dapat merasa

puas dan kenyang pada setiap akhir masa menetek, kemudian tidur selama 2-4 jam, di

samping ia berhasil mendapatkan penambahan berat badan yang mencukupi maka

dianggap bahwa pengadaan ASI mencukupi (Behrman & Vaughan, 1994).

Menjelang uisa akhir tahun pertama dan selama tahun kedua, sebagai akibat

penurunan kecepatan pertumbuhan yang berjalan dengan tepat, maka terdapat pula

pengurangan pemasukan kalori secara berangsur-angsur, pada bayi tersebut per kilogram

BB (Behrman & Vaughan, 1994).

Tabel 2. Kebutuhan energi dan protein sehari anak umur 1-5 tahun

Umur

(tahun)

Berat badan

(kg)

Energi Protein

K.Kal/kg/hari K.Kal/org/hari Gr/kg/hari Gr/org/hari

1 8,9 105 900 2,5 22

2 11,2 100 1100 28

3 13,1 100 1300 33

4 14,8 98 1500 3,0 44

5 16,5 91 1500 50

Sumber: penuntun Diit anak RSCM, 1998

Kadang-kadang anak tidak berminat terhadap suatu makanan tertentu yang

disajikan. Orang tua biasanya kurang mengenali keadaan ini sehingga terjadi pemaksaan

Page 35: BAB 1 EDITING (1)

35

makanan pada bayi, reaksi alamiah yang akan diperlihatkan adalah pemberontakan dan

mulai timbul permasalahan pada waktu makan. Kegemaran atau ketidaksukaan yang kuat

anak-anak terhadap makanan tertentu, sejauh itu masih memungkinkan serta dapat

dipenuhi hendaknya dihormati juga. Pola serta kebiasaan makan yang berkembang dalam

2 tahun pertama kehidupan, besar kemungkinannya akan bertahan selama beberapa

tahun. Makan sendiri merupakan suatu langkah penting artinya dalam perkembangan rasa

kepercayaan pada diri anak sendiri serta timbulnya rasa tanggung jawab, menjelang akhir

tahun kedua kebanyakan anak bisa makan sendiri (Behrman & Vaughan, 1994).

Anjuran pemberian makanan anak balita (Depkes RI, 1999):

a. 0-6 bulan : ASI, frekuensi sesuai keinginan anak.paling sedikit 8 kali sehari. Jangan

diberi makanan atau minuman lain selain ASI.

b. 6-12 bulan : ASI frekuensi sesuai dengan keinginan anak. Paling sedikit 8 kali sehari.

Makanan pendamping ASI 2 kali sehari tiap kali 2 sendok makan. Yang diberikan

setelah pemberian ASI. Jenis makanan ini adalah bubur tim lumat ditambah kuning

telur/ayam/ikan/ tempe/tahu/daging sapi/wortel/ bayam/ kacang hijau/ santan/minyak.

Kemudian berangsur-angsur bubur nasi ditambah telur/ayam/ikan/tempe/tahu/daging

sapi/ wortel/ bayam/ kacang hijau/ santan/ minyak. Makanan tersbut diberikan 3 kali

sehari. Pemberian makan sebagai berikut: umur 6 bulan : 6 sendok makan; 7 bulan : 7

bulan sendok makan; 8 bulan : 8 sendok makan; 9 bulan: 9 sendok makan; 10 bulan:

10 sendok makan; 11 bulan: 11 sendok makan. Makan selingan 2 kali sehari seperti

bubur kacang hijau, pisang, biskuit, nagasari, dsb, diantara waktu makan.

Page 36: BAB 1 EDITING (1)

36

c. 12-24 bulan : ASI sesuai keinginan anak. Nasi lembek yang ditambah kuning telur,

ayam, ikan, tempe, tahu, daging sapi, wortel, bayam, bubur kacang hijau, santan, dan

minyak, diberikan 3 kali sehari. Makanan selingan 2 kali sehari diantara waktu

makan.

d. 24-51 bulan: makanan yang biasa dimakan dalam keluarga 3 kali sehari. Makanan

sampingan 2 kali sehari diberikan diantara waktu makan.

Petunjuk pada pemberian makanan rutin ( Ebrahim, 1983).

a. Tidak memaksakan suatu makanan. Anak harus menikmati sendiri makanannya,

b. setiap pemberian makanan harus dengan main-main tanpa paksaan.

c. Setiap makanan yang baru akan ditolak pada mulanya. Ketika memulai makanan

yang baru harus diberikan sedikit-sedikit untuk memberikan kesempatan kepada anak

untuk membandingkan seleranya pada makanan tersebut.

d. Makanan yang diberikan harus bervariasi setiap harinya dan setiap kali pemberian

makanan.

5. Kerangka Teori

Dari uraian diatas maka diambil kerangka teori sebagai berikut :

(Bagan 1.3. kerangka teori)

Page 37: BAB 1 EDITING (1)

37

Sumber : Modifikasi : Green, Lawrence & Kreuter Mrshall (2005), TRA dan tinjauan pustaka.

B. Kerangka Konsep

Sumber informasi dari media

Sumber informasi dari tenaga kesehatan

Pendidikan ibu Predisposising factors :

Pengetahuan ibu

Sikap ibu

Umur ibu Perilaku ibu terhadap pola pemberian makan kepada anak

Status gizi balita

Enabling factors :

Ketersediaan pelayanan kesehatan

Kemampuan/ keterampilan tenaga kesehatan

Reinforcing factors :

Dukungan suami

Dukungan keluarga

Dukungan tenaga kesehatan

Environmemnt factors :

Ekonomi

Sosial budaya

Page 38: BAB 1 EDITING (1)

38

Berdasarkan kajian teori diatas dapat dibuat kerangka konsep sebagai berikut:

Gambar 3. Kerangka Konsep

PENGETAHUAN Praktik

Perilaku

SIKAP

ASUPAN GIZI

STATUS GIZI

Keterangan:

Variabel yang diteliti

Variabel yang tidak

diteliti

Page 39: BAB 1 EDITING (1)

39

C. Hipotesis

Ada hubungan antara pengetahuan, sikap, perilaku ibu dengan status gizi anak

balita.

1. Makin tinggi pengetahuan ibu, makin baik status gizi anak balita.

2. Makin baik sikap ibu, makin baik status gizi anak balita.

3. Makin baik perilaku ibu, makin baik status gizi anak balita

Page 40: BAB 1 EDITING (1)

40

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan

tahun 2014.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober tahun 2014.

B. Rancangan Penelitian

Rencana penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik observasional yang

dilakukan dengan pendekatan cross-sectional, dimana tiap subjek penelitian hanya di

observasi sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau variable

subyek pada saat pemeriksaan. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan, sikap dan

perilaku ibu terhadap status gizi balita di Puskesmas Kecamatan Jagakarsa, Jakarta

Selatan.

C. Variabel dan Definisi Operasional Variabel

1. Variabel

Variabel independen : Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Ibu

Variabel dependen : Status gizi balita

Page 41: BAB 1 EDITING (1)

41

2. Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional adalah batasan-batasan yang diamati dan diteliti untuk

mengarahkan kepada pengukuran atau pengamatan terhadap variabel bersangkutan

serta pengembangan instrumen atau alat ukur.

Tabel 3.1. Definisi Operasional

No Variabel

Definisi

Operasional Cara Ukur AlatUkur Hasil Ukur Skala

1 Pengetahuan

Ibu

Pengetahuan ibu

adalah tingkat

pemahaman ibu

tentang

pertumbuhan

balita,

perawatan dan

pemberian

makan anak

balita, pemilihan

dan pengolahan

makanan balita.

Data tentang

pengetahuan

dikumpulkan

dengan

kuesioner yang

berisikan

pertanyaan

dengan dua

kemungkinan

jawaban. Bila

jawaban benar

diberi nilai 1 dan

salah diberi

nilai 0 untuk tiap

pertanyaan.

Kuesioner

pengetahun

tentang

pertumbuh-

an balita,

perawatan

dan

pemberian

makan anak

balita,

pemilihan

dan

pengolahan

makanan

balita

1. Baik 76-

100%

2. Kurang

<56%

Ordinal

Page 42: BAB 1 EDITING (1)

42

2 Sikap Ibu sikap ibu berupa

penilaian

terhadap status

gizi anak balita,

cara pemberian

makanan untuk

anak balita,

pertumbuhan

anak balita.

Data tentang

sikap

dikumpulkan

dengan

kuesioner yang

berisikan

pernyataan

dengan lima

kemungkinan

jawaban

menurut skala

Likert. Pada

pernyataan

positif, nilai 4

bila sangat

setuju (SS), nilai

3 bila

setuju (S), nilai

2 bila ragu- ragu

(R), nilai 1 bila

tidak setuju

(TS), nilai 0 bila

sangat

Kuesioner

sikap

tentang gizi

anak balita

1.Baik 76-

100%

2. Kurang

<56%

Katego

rikal

Page 43: BAB 1 EDITING (1)

43

tidak setuju

(STS). Pada

pernyataan

negatif nilai 4

bila sangat tidak

setuju (STS), 3

bila

tidak setuju

(TS), 2 bila

ragu-ragu (R), 1

bila setuju (S), 0

bila sangat

setuju (SS).

3. Perilaku ibu Perilaku ibu

tentang

pemberian gizi

anak balita

dalam penelitian

ini adalah

tindakan nyata

dari ibu anak

balita dalam

memberikan

Data

tentang perilaku

dikumpulkan

dengan 2

bila jarang

(J), 1 bila

sering (S),

0 bila

Wawancara

terpimpin

dan

kuisioner

a. Kurang

(<60%)

b. cukup

(60-

75%)

c. baik (75%)

(Arikunto,

Katego

rikal

Page 44: BAB 1 EDITING (1)

44

makanan kepada

anak balita,

mulai dari cara

memilih,

mengolah bahan

makanan sampai

dengan

pemberiannya.

selalu (SL).

kuesioner yang

berisikan

pernyataan

dengan empat

kemungkinan

jawaban

menurut skala

Likert. Pada

pernyataan

positif nilai 3

bila selalu

dilakukan (SL),

nilai 2 bila

sering (S), nilai

1 bila kadang-

kadang, nilai 0

bila tidak

pernah (T). Pada

pernyataan

negatif nilai 3

bila tidak pernah

(T).

2009)

4. Penilaian Status gizi anak Ditentukan Timbangan (1) Status gizi Kategor

Page 45: BAB 1 EDITING (1)

45

status gizi balita adalah

status gizi

antropometri

pada anak balita

yang

ditentukan

dengan

menggunakan

indikator berat

badan terhadap

umur (BB/U)

dalam

kilogram per

bulan (WAZ,

WEIGHT FOR

AGE) : (1) Gizi

Obesitas: skor Z

> +3; (2)

Gizi Over

Weight: +3 >

skor Z > +2; (3)

Gizi Baik: +2 >

skor Z > -2; (4)

Gizi Under

dengan

menggunakan

indikator berat

badan terhadap

umur (BB/U)

dalam

kilogram per

bulan (WAZ,

WEIGHT FOR

AGE): (1) Gizi

Obesitas: skor Z

> +3; (2)

Gizi Over

Weight: +3 >

skor Z > +2; (3)

Gizi Baik: +2 >

skor Z > -2; (4)

Gizi Under

Weight: skor Z <

-2.

dacin,

Kartu

Menuju

Sehat

(KMS),

Tabel baku

antropomet-

ri

standar

WHO-

NCHS.

tidak normal

(status gizi

buruk, gizi

kurang dan

gizi

lebih) dan (2)

Status gizi

normal (status

gizi baik).

ikal

Page 46: BAB 1 EDITING (1)

46

Weight: skor Z <

-2.

D. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi penelitian adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang

diteliti tersebut (Notoatmodjo,2005). Populasi dalam penelitian ini adalah ibu yang

memiliki anak balita yang berkunjung ke Puskesmas Kecamatan Jagakarsa, Jakarta

Selatan

2. Sampel

Sampel penelitian adalah sebagian objek yang diambil dari keseluruhan

objek yang akan diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi

(Notoatmodjo,2005). Sampel akan diambil dengan menggunakan teknik random

sampling ialah dengan teknik pengambilan sampel dimana semua individu, diberi

kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel.

Penlitian ini sampel yang diambil adalah ibu yang mempunyai anak balita

yang berkunjung di Puskesmas Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan

Perhitungan Besaran sampel

Besar sampel penelitian, untuk populasi kurang dari 1.000 digunakan rumus

sebagai berikut :

Page 47: BAB 1 EDITING (1)

47

n = N

1+ N(d2)

N = jumlah populasi = 120 ibu balita

d = preseisi 0,1 (10%)

n = 120

1+120(0,12)

= 54 ibu balita

Kriteria inklusi ;

- Ibu memiliki anak balita

- Ibu yang berkunjung ke Puskesmas Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan.

- Bersedia menjadi subjek penelitian

Kriteria eksklusi

- Menolak memberi tanda tangan pada lembar persetujuan responden

- Menolak menjadi sampel atau subjek penelitian

E. Pengukuran dan Pengamatan Variabel Penelitian

Variabel bebas pada penelitian ini adalah pengetahuan, sikap dan perilaku ibu dan

variabel terkait adalah status gizi balita.

a. Pengetahuan : variabel ini berskala ordinal dengan pengukuran yang dilakukan

berdasarkan jawaban atas wawancara dengan menggunakan kuesioner pengetahuan.

Page 48: BAB 1 EDITING (1)

48

b. Sikap : variabel ini berskala kategorikal dengan pengukuran yang

dilakukan berdasarkan jawaban atas wawancara dengan menggunakan kuesioner

sikap.

c. Perilaku : variabel ini berskala kategorikal dengan pengukuran yang

dilakukan berdasarkan jawaban atas wawancara dengan menggunakan kuesioner

perilaku.

d. Status gizi balita : variabel ini berskala kategorikal dan pengukuran ditentukan

dengan menggunakan indikator berat badan terhadap umur (BB/U) dalam kilogram

per bulan (WAZ, WEIGHT FOR AGE)

F. Prosedur Pengambilan Data

Dalam melakukan penelitian, peneliti mengajukan izin terlebih dahulu kepada

institusi terkait dalam hal ini di Puskesmas Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan setelah

mendapat izin, peneliti melakukan penelitian dengan menekankan masalah etika, seperti :

1. Informed Consent

Merupakan cara persetujuan antara peneliti dan responden penelitian,dengan

memberikan lembar persetujuan (informed consent). Informed consent tersebut diberikan

sebelum penelitian dilakukan dengan memberikan lembar persetujuan untuk menjadi

responden. Tujuan dari Informed consent adalah agar subjek mengerti maksud dan tujuan

peneliti.

2. Confidentiality

Merupakan masalah etika dengan menjamin kerahasiaan data dari pihak

responden sebagai hasil penelitin baik informasi maupun masalah lainnya. Sehingga,

informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti.

Page 49: BAB 1 EDITING (1)

49

3. Privacy

Identitas atau segala bentuk baik yang menyangkut responden tidak akan

diketahui oleh orang lain sehingga responden dapat secara benar menjawab kuesioner

tanpa rasa takut dan menjawab. Dan menjaga kerahasiaan serta tidak mempublikasikan

kasus peneliti pada masyarakat umum.

4. Hasil penelitian ini tidak akan menyebarluaskan tentang informasi responden pada

masyarakat umum.

G. Teknik Pengambilan Data

Data pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh

melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner, Kuesioner terdiri dari

identitas,pengetahuan,sikap dan tingkat pendidikan ibu tentang imunisasi campak.

Sedangkan data sekunder diperoleh dari data puskesmas.

Pengumpulan data dilakukan oleh penulis dan satu orang enumerator (petugas gizi

puskesmas) dan dibantu oleh kader desa.

Cara pelaksanaan :

- Memilih responden berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi

- Responden mengisi lembar informed consent

- Waktu pengisian kuesioner adalah 10 menit

- Saat pengisian kuesioner tidak ada waktu istirahat dan kuesioner tidak boleh dibawa

pulang.

Page 50: BAB 1 EDITING (1)

50

H. Pengolahan Data

Menurut Arikunto (2002) pengolahan data dilakukan melalui empat tahapan yang

meliputi editing,coding/scoring,entry dan tabulating.

a. Editing

Editing adalah proses pengecekan jumlah kuesioner,kelengkapan data diantaranya

kelengkapan identitas,lembar kuesioner dan kelengkapan isian kuesioner,sehingga

apabila terdapat ketidaksesuaian dapat dilengkapi segera oleh peneliti.

b. Coding/scoring

Coding/scoring merupakan tindakan untuk melakukan pemberian kode atau angka

untuk memudahkan pengolahan data.

1. Tingkat pengetahuan pada kuesioner yang berisikan pertanyaan dengan dua

kemungkinan jawaban. Bila jawaban benar diberi nilai 1 dan salah diberi nilai 0 untuk

tiap pertanyaan.

2. Sikap ibu diberikan kode sebagai berikut: pada pernyataan positif, nilai 4 bila sangat

setuju (SS), nilai 3 bila setuju (S), nilai 2 bila ragu- ragu (R), nilai 1 bila tidak setuju

(TS), nilai 0 bila sangat tidak setuju (STS). Pada pernyataan negatif nilai 4 bila sangat

tidak setuju (STS), 3 bila tidak setuju (TS), 2 bila ragu-ragu (R), 1 bila setuju (S), 0 bila

sangat setuju (SS).

3. Perilaku ibu diberikan kode sebagai berikut: dikumpulkan dengan 2 bila jarang (J), 1

bila sering (S), 0 bila selalu (SL). Kuesioner yang berisikan pernyataan dengan empat

kemungkinan jawaban menurut skala Likert. Pada pernyataan positif nilai 3 bila selalu

Page 51: BAB 1 EDITING (1)

51

dilakukan (SL), nilai 2 bila sering (S), nilai 1 bila kadang-kadang, nilai 0 bila tidak

pernah (T). Pada pernyataan negatif nilai 3 bila tidak pernah (T). Sedangkan untuk

sikap ibu diberikan kode angka 4=sangat setuju (SS), 3=setuju(S),2= tidak

setuju(TS),1= sangat tidak setuju(STS).

4. Kategori status gizi diberikan kode sebagai berikut: (1) Gizi Obesitas: skor Z > +3; (2)

Gizi Over Weight: +3 > skor Z > +2; (3) Gizi Baik: +2 > skor Z > -2; (4) Gizi Under

Weight: skor Z < -2.

c. Entry

Entry data (memasukan data).Entry data yaitu suatu proses memasukan data yang

diperoleh menggunakan fasilitas komputer dengan menggunakan sistem atau program

perangkat lunak komputer.

d. Tabulating

Tahap terakhir yang dilakukan dalam proses pengolahan data adalah tabulating

(pentabulasian) merupakan tahap ketiga yang dilakukan setelah proses editing dan

coding. Kegiatan tabulating dalam penelitian meliputi pengelompokan data sesuai dengan

tujuan penelitian kemudian dimasukkan kedalam tabel-tabel yang telah ditentukan

berdasarkan kuesioner yang telah ditentukan skornya.

I. Analisis Data

Data berskala kategorikal dideskripsikan dalam frekuensi dan persen. Data kontinu

dideskripsikan dalam parameter mean, standar deviasi, minimum, maksimum. Pengaruh

pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu dianalisis dengan model regresi logistik, sebagai berikut

Page 52: BAB 1 EDITING (1)

52

dengan:

p = probabilitas status gizi normal (baik)

1-p = probabilitas status gizi tidak normal (status gizi buruk, status gizi kurang dan status gizi

lebih)

X1 = sikap ibu

X2 = pengetahuan ibu

X3 = perilaku ibu

Hubungan variabel ditunjukkan dengan OR (CI 95%). Analisis data dilakukan

dengan tahap penyuntingan, pemasukan data ke komputer, pembersihan data dan analisis

statistik. Pemasukan data dilakukan dengan program Excell dan pengolahan data difokuskan

dengan program SPSS for Windows versi 15. 0. Analisis data diawali secara deskriptif untuk

melihat karakteristik dari data. Data disajikan dalam bentuk grafik dan tabel. Kemudian

dianalisis dengan regresi logistic multivariat. Hubungan antar variabel ditunjukkan dengan

OR (CI 95%).