bab 1 pendahuluan -...

12
1 BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Praktek prostitusi merupakan perbuatan yang merusak moral dan mental dan dapat menghancurkan keutuhan keluarga, namun dalam hukum positif sendiri tidak melarang pelaku praktek prostitusi tetapi hanya melarang bagi siapa yang menyediakan tempat atau memudahkan terjadinya praktek prostitusi. Dalam praktek prostitusi terdapat adanya mucikari, mucikari tersebut merupakan orang yang penghasilannya di peroleh dari perbuatan cabul yang dilakukan oleh wanita-wanita yang tinggal bersama dia serumah dengan para langganannya. Mucikari diatur dalam Pasal 296 KUHP menyatakan bahwa : “ Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain dan menjadikannya sebagai pekerjaan atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah ”. Pasal 506 KUHP juga berlaku untuk mucikari yang rumusannya sebagai berikut : “ Barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam pidana kurungan paling lama satu tahun ”. berdasarkan kedua Pasal tersebut dapat dikatakan terdapat pelarangan mengenai suatu perbuatan seorang yang mendapatkan keuntungan dari perbuatan cabul dan dapat menjadi mata pencahariannya. Dalam hal ini perbuatan tersebut dilakukan oleh seorang

Upload: tranminh

Post on 06-Mar-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 1 PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8314/1/T1_312007078_BAB I.pdf · yang disebabkan hubungan seksual terutama HIV-AIDS.5 Ditinjau dari

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG.

Praktek prostitusi merupakan perbuatan yang merusak moral dan mental

dan dapat menghancurkan keutuhan keluarga, namun dalam hukum positif

sendiri tidak melarang pelaku praktek prostitusi tetapi hanya melarang bagi siapa

yang menyediakan tempat atau memudahkan terjadinya praktek prostitusi. Dalam

praktek prostitusi terdapat adanya mucikari, mucikari tersebut merupakan orang

yang penghasilannya di peroleh dari perbuatan cabul yang dilakukan oleh

wanita-wanita yang tinggal bersama dia serumah dengan para langganannya.

Mucikari diatur dalam Pasal 296 KUHP menyatakan bahwa : “ Barang siapa

dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain

dengan orang lain dan menjadikannya sebagai pekerjaan atau kebiasaan, diancam

dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda

paling banyak lima belas ribu rupiah ”. Pasal 506 KUHP juga berlaku untuk

mucikari yang rumusannya sebagai berikut : “ Barang siapa menarik keuntungan

dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian,

diancam pidana kurungan paling lama satu tahun ”. berdasarkan kedua Pasal

tersebut dapat dikatakan terdapat pelarangan mengenai suatu perbuatan seorang

yang mendapatkan keuntungan dari perbuatan cabul dan dapat menjadi mata

pencahariannya. Dalam hal ini perbuatan tersebut dilakukan oleh seorang

Page 2: BAB 1 PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8314/1/T1_312007078_BAB I.pdf · yang disebabkan hubungan seksual terutama HIV-AIDS.5 Ditinjau dari

2

mucikari. Disini para mucikari menggunakan seorang wanita untuk melakukan

cabul dengan orang lain atau dapat disebutkan sebagai Pekerja Seks Komersial

yang selanjutnya disebut PSK.

Praktek prostitusi telah ada di daerah Salatiga kelurahan Sarirejo yang

dikenal dengan sebutan Sembir. Tempat prostitusi ini umumnya terdiri dari

rumah-rumah kecil yang dikelola oleh mucikari atau germo yang dulunya sering

digunakan masyarakat sekitar untuk melakukan hubungan intim (seks). Peraturan

Daerah (PerDa) yang melarang segala bentuk pelacuran di Salatiga masih

berlaku. Bahkan pada 1937 di masa kolonial, dalam perda tersebut sudah

disebutkan Ver Ordening Ter Beteugeling Van De Straat Prostitue (peraturan

yang membatasi prostitusi). Dua tahun kemudian diperbarui menjadi Salatigase

Bordeel Verorneing Dua ketetapan itu dipertegas pada era kemerdekaan dengan

Perda Nomor 62 Tahun 1954. Perda terakhir ini hingga sekarang belum pernah

direvisi, diubah ataupun diganti sehingga masih tetap berlaku. Terakhir terdapat

Keputusan Wali Kota Madya Nomor 462.3/328/1998 tanggal 1 Juli 1998 tentang

Penghentian dan Penghapusan Segala Bentuk Kegiatan Tuna Susila dan Usaha

Rehabilitasi serta Resosialisasi dalam Sistem Lokalisasi di Sarirejo1.

Pada kenyataannya, pada tahun 2011 setelah adanya Peraturan Daerah

(Perda) nomor 4 tahun 2011 pasal 2 dan pasal 3 tentang Rencana Tata Ruang

Wilayah Kota Salatiga adalah menjadikan kota Salatiga sebagai alat operasional

pelaksanaan pembangunan di wilayah kota Salatiga, menjadikan pedoman untuk

1http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/04/16/183339/Penataan-Sarirejo-

Jangan-Rugikan-Siapa-pun

Page 3: BAB 1 PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8314/1/T1_312007078_BAB I.pdf · yang disebabkan hubungan seksual terutama HIV-AIDS.5 Ditinjau dari

3

memformulasikan kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah Salatiga,

mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, keseimbangan perkembangan wilayah

kota Salatiga serta keserasian, memberikan arahan bagi penyusunan indikasi

program utama dalam RTRW kota, pengarahan lokasi investasi yang

dilaksanakan Pemerintah dan/atau masyarakat dan penetapan ketentuan

pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kota2.

Pemerintah telah merubah tempat tersebut yang dulunya menjadi tempat

prostitusi di daerah sarirejo ini yang kini dikenal atau dijuluki oleh masyarakat

setempat sebagai tempat untuk wisata karaoke bagi masyarakat di daerah

salatiga. Tetapi masih saja disalahvgunakan oleh masyarakat untuk melakukan

hubungan intim (seks), dimana masyarakat sekitar daerah Salatiga ini melihat

bahwa selain mereka yang bekerja sebagai pemandu karaoke ada juga sebagian

dari mereka yang menjajahkan dirinya untuk melakukan hubungan intim kepada

setiap orang yang ingin melakukan hubungan intim.

Prostitusi dapat diartikan juga sebagai perbuatan cabul oleh orang lain dengan

orang lain dan menjadikannya sebagai pekerjaan atau kebisaan. Dengan

demikian, pelaku prostitusi melakukan perbuatan tersebut selain untuk memenuhi

kebutuhan seksnya, juga untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.

Prostitusi di kenal juga sebagai penyakit sosial yang hidup di tengah-tengah

masyarakat, yang keberadaannya seperti kebiasaan manusia pada umumnya dan

terus berkembang dalam bentuk-bentuk tindakan prostitusi itu sendiri.

2 Peraturan daerah kota salatia nomor 4 tahun 2011,tentang rencana tata Ruang Wilayah kota

Salatiga

Page 4: BAB 1 PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8314/1/T1_312007078_BAB I.pdf · yang disebabkan hubungan seksual terutama HIV-AIDS.5 Ditinjau dari

4

Peran dari Kepolisian Salatiga dilihat dari Undang-Undang No.2 Tahun

2002 Tentang Kepolisan dinyatakan tentang tugas dan wewenang Kepolisian

adalah menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat agar dapat

menyelenggarakan proses pembangunan nasional dan tercapainya tujuan nasional

yang terjamin keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum serta mencegah, dan

menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk lainnya yang

meresahkan masyarakat.

Dalam hukum pidana, dikenal adanya delik formal dan delik materiil. Delik

formal adalah delik yang dianggap selesai dengan perbuatan itu, atau dengan

perkataan lain titik beratnya berada pada perbuatan tersebut.3 Berdasarkan

penjelasan delik tersebut diketahui bahwa suatu tindak pidana tersebut ada karna

adanya perbuatan yang dilakukan. Berkaitan dengan Pasal 296 KUHP perbuatan

yang dilakukan adalah memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dan dengan

orang lain. Sedangkan jika dilihat dari delik biasa perbuatan tindak pidana yang

sudah termasuk dalam peraturan perundang-undangan dianggap perbuatan tindak

pidana. Berkaitan dengan Pasal 296 KUHP perbuatan ini sudah dianggap tindak

pidana dan melanggar aturan serta norma-norma yang ada.

Sesuai dengan tugas dan wewenang kepolisian yang telah dijelaskan di

dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.2 Tahun 2002 Pasal 1 ayat 4 dan

5 tentang Tugas dan Wewenang Kepolisian, seharusnya praktek seperti ini yang

terjadi di daerah salatiga khususnya daerah sembir tidak boleh dibiarkan, supaya

3 Prof. Dr. Teguh Prasetyo, S.H.,M.Si.,Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali Pers, 2011. Hal.59.

Page 5: BAB 1 PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8314/1/T1_312007078_BAB I.pdf · yang disebabkan hubungan seksual terutama HIV-AIDS.5 Ditinjau dari

5

penegakan hukum terhadap kejahatan kesusilaan dan atau perdagangan orang

dapat dilaksanakan dan dapat terlaksana dengan baik.

Prostitusi berasal dari bahasa Latin pro-stituere, yang berarti membiarkan

diri berbuat zina.4 Sedang prostitue adalah pelacur yang dikenal pula dengan

istilah WTS atau wanita tuna susila. Pelacur sering dianggap sebagai wanita yang

tidak pantas kelakuannya dan bisa mendatangkan penyakit, baik kepada orang

lain yang bergaul dengan dirinya, maupun kepada diri sendiri. Prostitusi adalah

profesi yang menjual jasa untuk memuaskan kebutuhan seksual pelanggan.

Biasanya pelayanan ini dalam bentuk menyewakan tubuhnya. Sehingga prostitusi

bersifat negatif dan dapat digolongkan sebagai kejahatan terhadap masyarakat.

Prostitusi merupakan permasalahan yang sering menjadi wacana

pembicaraan masyarakat di Salatiga. Prostitusi sering dikaitkan dengan masalah

ekonomi dan sosial yang melanda Indonesia sehingga berdampak pada

peningkatan skala dan kompleksitas yang di hadapi kaum wanita Indonesia.

Kemiskinan yang tiada berujung seringkali membuat para wanita Indonesia

menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan dengan

cara menjual diri. Kondisi tersebut merupakan fenoma yang banyak terjadi

bahkan tidak hanya di Indonesia bahkan juga terjadi di beberapa Negara Asia

seperti Malaysia, Singapura, Vietnam, Thailand dan banyak Negara lainnya.

Revolusi media cetak dan elektronikpun membawa dampak negatif terhadap

masyarakat Indonesia seperti melemahnya hubungan kekerabatan antar keluarga,

komunikasi antar keluarga, dan lingkungan sosial bahkan menurunnya nilai

4 WYS Poerwadarminto, Kamus Besar Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990.

Page 6: BAB 1 PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8314/1/T1_312007078_BAB I.pdf · yang disebabkan hubungan seksual terutama HIV-AIDS.5 Ditinjau dari

6

moral seseorang dimata masyarakat luas. Hal tersebut juga seringkali

memunculkan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang mengkoordinir

atau mengakomodasikan para pekerja seks. Keadaan ini membuat banyak para

pekerja seks maupun pengguna jasa pekerja seks beresiko tinggi tertular penyakit

yang disebabkan hubungan seksual terutama HIV-AIDS.5

Ditinjau dari sudut wanita sebagai PSK atau pelaku prostitusi, terdapat

berbagai persoalan hidup yang hanya dapat diselesaikan hanya dengan satu jalan

yaitu menjajahkan dirinya sendiri demi memenuhi kebutuhan hidup. Prostitusi

sendiri sebenarnya sangat bertentangan dengan hukum di Indonesia yang diatur

dalam Pasal 296 KUHP yang menyatakan :

“Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan

cabul oleh orang lain dengan orang lain dan menjadikannya sebagai

pekerjaan atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama

satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu

rupiah.”6

Meskipun undang-undang di Indonesia tidak ada yang melarang prostitusi,

ada beberapa peraturan perundang-undangan dan regulasi pemerintah yang

menyentuh aktivitas seksual atas dasar kesepakatan bersama, atau istilah adalah

seks komersial. Sejumlah pemerintah daerah memiliki peraturan daerah yang

melarang pendirian lokalisasi. Dengan dasar hukum ini, aktivitas seksual atas

dasar kesepakatan bersama di antara dua orang atau lebih dalam sebuah tempat

5 Gunawan, Rudy (2000). „Sex sebagai Simbol‟. Jakarta: Grasindo.

6 Kitab Undang-Undang Hukum pidana pasal 296

Page 7: BAB 1 PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8314/1/T1_312007078_BAB I.pdf · yang disebabkan hubungan seksual terutama HIV-AIDS.5 Ditinjau dari

7

yang bersifat pribadi atau "dipersiapkan" dapat dikategorikan sebagai tindakan

kriminal. Ketentuan yang didasarkan pada definisi ini seharusnya sudah dibuang

jauh-jauh. Berdasarkan prinsip universal tentang hak asasi manusia, setiap orang

dewasa memiliki hak beraktivitas apa saja yang dianggap "menyenangkan" bagi

tubuh mereka, yang dalam hal ini adalah seks.

Mengingat permasalahan prostitusi merupakan masalah yang rumit, maka

diperlukan adanya suatu proses refleksi oleh semua pihak yang terkait mulai dari

pemerintah, akademisi, kaum intelektual, dan masyarakat secara umum. Untuk

memicu terjadinya hal tersebut diperlukan adanya penyadaran, bahwa kesadaran

praktis yang selama ini ada dan oleh masyarakat sudah tidak berjalan lagi, yang

terbukti dengan terpuruknya nasib para pekerja seks. Dengan tergoncangnya

kesadaran praktis untuk kembali ke tahap kesadaran diskursif dimungkinkan

adanya perubahan sosial pada prostitusi di negara kita dan bahkan di dunia.

Terdapat faktor-faktor penyebab suatu prostitusi. Ada dua faktor yang

menjadi penyebab prostitusi yaitu :

(a) Faktor internal

Faktor internal adalah yang datang dari individu wanita itu

sendiri, yaitu yang berkenaan dengan hasrat, rasa frustasi, kualitas

konsep diri, dan sebagainya. Tidak sedikit dari para pelacur ini

merupakan korban perkosaan, sehingga mereka berpikir bahwa

mereka sudah kotor dan profesi sebagai pelacur merupakan satu-

Page 8: BAB 1 PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8314/1/T1_312007078_BAB I.pdf · yang disebabkan hubungan seksual terutama HIV-AIDS.5 Ditinjau dari

8

satunya yang pantas bagi mereka. Karena kehidupan kelam yang

mereka alami dulu membuat hati dan moral mereka terpuruk.

(b) Faktor eksternal

Faktor eksternal adalah sebab yang datang bukan secara

langsung dari individu wanita itu sendiri, melainkan karena ada faktor

luar yang mempengaruhinya untuk melakukan hal yang demikian.

Faktor eksternal ini bisa berbentuk desakan kondisi ekonomi,

pengaruh lingkungan, kegagalan kehidupan keluarga, dan sebagainya.

Selain faktor internal dan eksternal ada beberapa peristiwa sosial

penyebab timbulnya pelacuran, antara lain:

1. Tidak adanya undang-undang yang melarang pelacuran, juga tidak

ada larangan terhadap orang-orang yang melakukan relasi seks

sebelum atau diluar pernikahan. Hal ini semakin memperbanyak

jumlah pelacur, karena tidak adanya sanksi yang tegas yang perlu

mereka patuhi.

2. Merosotnya norma-norma susila dan keagamaan. Masyarakat

sekarang sudah bersifat acuh tak acuh dan cenderung tidak

memperdulikan sehingga mereka hanya mengurusi kehidupan

pribadi tanpa memperdulikan norma-norma susila dan keagamaan

dalam masyarakat.

3. Bertemunya macam-macam kebudayaan asing dan kebudayaan-

kebudayaan setempat. Hal ini tidak terlepas dari asimilasi

Page 9: BAB 1 PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8314/1/T1_312007078_BAB I.pdf · yang disebabkan hubungan seksual terutama HIV-AIDS.5 Ditinjau dari

9

kebudayaan, dimana kebudayaan Barat membuat norma-norma

susila dan keagamaan semakin merosot.

Kepolisian Salatiga sudah semestinya mempunyai tugas dan tanggung

jawab dalam menangani masalah-masalah yang ada, seperti kasus prostitusi di

salatiga ini. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Undang-Undang No.2 Tahun

2002 Pasal 1 ayat (4 dan 5), perihal Tugas dan Tanggung Jawab Kepolisian

adalah memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum sesuai dengan

peraturan perundang-undangan, dan juga menjaga kondisi dinamis masyarakat

sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional

dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya

keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketentraman,

yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan

kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala

bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainya yang dapat

meresahkan masyarakat7

Polisi dalam menangani kasus prostitusi ini belum menemui adanya kasus

tindak pidana prostitusi ini, dikarenakan masih ada juga tempat-tempat karaoke

yang sering menjadikan tempat tersebut sebagai tempat prostitusi secara

tersembunyi yang belum diketahui oleh pihak kepolisian, dan kepolisian harus

lebih sigap dan siap untuk mengatasi kasus prostitusi di daerah Salatiga ini

7 Undang-Undang Republik Indonesia No.2 tahun 2002 pasal 1 ayat 4 dan 5, tentang kepolisian

Republik Indonesia.

Page 10: BAB 1 PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8314/1/T1_312007078_BAB I.pdf · yang disebabkan hubungan seksual terutama HIV-AIDS.5 Ditinjau dari

10

khususnya di kelurahan Sidorejo agar praktek prostitusi tidak terjadi lagi dan

tidak menggangu kenyamanan dan ketertiban masyarakat sekitar.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi inti

permasalahan dalam penelitan ini adalah :

Tindakan hukum apa yang diambil oleh pihak Polres Salatiga dalam

menanggulangi masalah prostitusi di kota Salatiga khususnya di lokalisasi

Sarirejo?

C. Tujuan Penelitian.

Menganalisis strategi dan langkah hukum yang diambil Polres Salatiga

terhadap prostitusi di kota Salatiga.

D. Manfaat Penelitian.

1. menganalisis strategi dan langkah-langkah yang akan diambil Polres Salatiga

dengan cara mengelompokkannya menjadi dua cara yakni :

a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan

sumbangan pemikiran dan pengembangan ilmu hukum khususnya

hukum pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP).

b. Secara Praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi penegak

hukum di Indonesia juga masyarakat luas khususnya masyarakat kota

Page 11: BAB 1 PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8314/1/T1_312007078_BAB I.pdf · yang disebabkan hubungan seksual terutama HIV-AIDS.5 Ditinjau dari

11

Salatiga untuk ikut dan berperan serta dalam menanggulangi masalah

prostitusi di kota Salatiga.

E. Metode Penelitian.

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis yuridis normatif, dimana

penelitian normatif adalah penelitian yang mengacu pada norma-norma dan

asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan8, dan

juga dilengkapi dengan penelitian yuridis sosiologis.

2. Bahan hukum

Penelitian menggunakan tiga jenis data yang meliputi :

a. Bahan hukum primer, KUHP, Undang-Undang Kepolisian Republik

Indonesia No.2 tahun 2002, dan Perda no.4 tahun 2011

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang meliputi teori-teori para ahli

atau pakar hukum yang relevan dengan penelitian ini.

c. Bahan tersier, dimana bahan tersebut merupakan bahan penunjang bagi

hukum primer dan sekunder antara lain kamus umum, majalah, jurnal

ilmiah dan surat kabar sebatas dipandang masih relevan dengan

penelitian ini.

8 Rony Hanitijo Soemitro., metode penelitian hukum, Jakarta : ghalia Indonesia 1982, hal.24

Page 12: BAB 1 PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8314/1/T1_312007078_BAB I.pdf · yang disebabkan hubungan seksual terutama HIV-AIDS.5 Ditinjau dari

12

3. Tekhnik pengumpulan Bahan hukum

Tekhnik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara kepustakaan

atau library research. Teknik ini mengumpulkan literatur yang relevan

dengan penelitian ini, sedangkan bahan hukum data primer dilakukan

wawancara terhadap pihak kepolisian.

4. Unit analisis.

Analisis yang digunakan adalah analisis yuridis kualitatif terkait dengan

pelaksanaan Peranan Polres Salatiga Dalam Menangani Prostitusi. Dengan

menggunakan penalaran hukum deduktif dan interprestasi hukum.