bab 2 landasan teori dan kerangka …thesis.binus.ac.id/asli/bab2/2009-2-00390-mn bab 2.pdfdari...
TRANSCRIPT
10
BAB 2
LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia merupakan faktor terpenting dalam organisasi untuk
mencapai tujuannya. Karena pada dasarnya sumber daya manusia merupakan sumber ide,
penggerak, dan penentu dalam setiap aktivitas perusahaan.
Ada beberapa definisi dari pengertian manajemen sumber daya manusia,
diantaranya sebagai berikut:
Menurut Panggabean (2004:p15), manajemen sumber daya manusia adalah suatu
proses yang terdiri atas perencanaan, pengorganisasian, pemimpinan, dan pengendalian
kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan analisis dan evaluasi pekerjaan, pengadaan,
pengembangan, kompensasi, promosi, dan pemutusan hubungan kerja guna mencapai
tujuan yang telah ditetapkan.
Lain halnya yang dikatakan oleh Dessler (2005:p4), yang mendefinisikan manajemen
sumber daya manusia sebagai praktek dan kebijakan yang dilibatkan untuk menyelesaikan
aspek personal atau sumber daya manusia dalam posisi manajemen, termasuk merekrut,
seleksi, pelatihan, penghargaan, dan penilaian.
Berdasarkan pendapat Byars dan Rue (2006:p4), mengatakan bahwa: “Human
resource management encompasses those activities designed to provide for and coordinate
the human resources of an organization”. Dari definisi menurut Byars dan Rue, dapat
dikatakan bahwa manajemen sumber daya manusia meliputi suatu aktivitas yang dirancang
untuk menyediakan dan mengkoordinir sumber daya manusia dari suatu organisasi.
11
2.1.1.1 Fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia
Berdasarkan pendapat Byars dan Rue (2006:p5). Enam fungsi manajemen sumber
daya manusia, adalah sebagai berikut:
1. Perencanaan, Perekrutan dan Pemilihan.
Membuat suatu analisis untuk menetapkan syarat spesifik dari pekerjaan
seorang karyawan dalam organisasi. Meramalkan persyaratan sumber daya
manusia organisasi yang harus mencapai sasaran. Menerapkan dan
mengembangkan suatu rencana untuk memenuhi persyaratan tersebut.
Merekrut sumber daya manusia yang diperlukan untuk mencapai sasaran dan
untuk mengisi pekerjaan di dalam organisasi.
2. Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pengembangan dimulai dari pengarahan terhadap karyawan baru, dan pelatihan
karyawan sebagai bentuk dari pengembangan keterampilan. Membangun tim
yang efektif dalam struktur organisasi. Merancang sistem untuk menilai kinerja
yang sudah dicapai oleh karyawan. Serta membantu karyawan dalam
mengembangkan rencana karir.
3. Pemberian Kompensasi dan Keuntungan
Menerapkan sistem kompensasi dan keuntungan untuk semua karyawan, serta
memastikan bahwa kompensasi dan keuntungan diberikan secara adil dan
konsisten. Kompensasi merupakan segala bentuk penghargaan yang diberikan
oleh organisasi kepada karyawan atas kontribusi yang diberikan kepada
organisasi, yang terdiri dari gaji pokok, insentif dan kesejahteraan karyawan
(Panggabean, 2004:p17).
4. Kesehatan dan Keselamatan
12
Merancang dan menerapkan program untuk memastikan keselamatan dan
kesehatan karyawan. Memberi pertolongan kepada karyawan terhadap masalah
pribadi yang dapat mempengaruhi prestasi kerja mereka.
5. Hubungan Tenaga Kerja
Bertindak sebagai perantara antara organisasi dan perserikatan. Merancang
keluhan dan disiplin yang menangani suatu sistem.
6. Riset Sumber Daya Manusia
Menyediakan suatu informasi dasar mengenai sumber daya manusia. Merancang
dan menerapkan sistem komunikasi karyawan.
Sedangkan menurut Ivancevich (2007:p10), kontribusi manajemen sumber daya
manusia membuat suatu organisasi berjalan efektif, meliputi hal berikut ini:
• Membantu organisasi untuk mencapai tujuannya
• Memanfaatkan kemampuan dan keterampilan dari kekuatan pekerja secara
efisien
• Menyediakan organisasi dengan karyawan yang terlatih dan termotivasi
dengan baik
• Meningkatkan secara penuh kepuasan kerja karyawan dan aktualisasi diri.
Mengembangkan dan memelihara kualitas dari kehidupan kerja yang membuat
ketenaga-kerjaan di suatu organisasi menginginkannya.
• Mengkomunikasikan kebijakan manajemen sumber daya manusia kepada
seluruh karyawan
• Membantu memelihara kebijakan etis dan perilaku sosial yang bertanggung
jawab
• Mengelola perubahan untuk keuntungan yang bersifat timbal balik dari
individu, kelompok, dan masyarakat
13
Dalam prakteknya, Byars dan Rue (2006:p6) menjelaskan tentang fungsi
utama dari departemen sumber daya manusia yang memberikan bantuan kepada
para manajer operasional mengenai berbagai hal tentang sumber daya manusia.
Oleh karena itu, biasanya departemen sumber daya manusia berusaha untuk
memahami peran dan tindakan karyawan dalam kapasitasnya sebagai penasehat.
Dalam memberi masukan terhadap para manajer operasional, departemen sumber
daya manusia biasanya mengorganisasikan dan mengkoordinasikan perekrutan dan
pelatihan; memelihara arsip pribadi; bertindak sebagai penghubung antar
manajemen; tenaga kerja dan pemerintah; serta mengkoordinir program
keselamatan.
Ada 3 jenis bantuan yang diberikan oleh departemen sumber daya manusia,
dan dapat dilihat pada ganbar 2.1 berikut :
Gambar 2.1
Tiga Jenis Bantuan yang Diberikan oleh Departemen Sumber Daya Manusia
Sumber: Byars dan Rue (2006:p6)
Human Resource Department
Specific Services
Operating Manager
Advice
Coordination
14
Semua fungsi dihubungkan secara terpisah antara manajer operasional
dengan departemen sumber daya manusia. Dalam Specific Service (layanan spesifik),
departemen sumber daya manusia membantu dalam menjaga arsip para karyawan
dan tahap awal penanganan dari orientasi karyawan. Sedangkan dalam kapasitasnya
sebagai penasehat (advice), departemen sumber daya manusia mengatur berbagai
macam hal dan berbagai peluang ketenaga-kerjaan secara merata. Departemen
sumber daya manusia juga mengkoordinasikan penilaian kinerja dan kompensasi
yang berguna bagi manajer operasional. Dalam fungsinya, departemen sumber daya
manusia bertindak sesuai kapasitasnya sebagai penasehat dan tidak mempunyai
otoritas lebih atas manajer operasional.
2.1.2 Teori Kontrak Psikologis
Kontrak psikologis bukan suatu dokumen tertulis antara seseorang dengan
organisasi, tetapi suatu pemahaman yang tersirat dari kontribusi timbal balik. Setiap individu
mempunyai persepsi dari kewajiban timbal balik yang ia miliki dengan perusahaan (Gibson,
et. al, 2004:p116).
Definisi kontrak psikologis itu sendiri menurut Baron dan Greenberg (2003:p405)
adalah: “ a person’s beliefs about what is expected of another in a relationship “. Sehingga
dapat diketahui bahwa kontrak psikologis adalah kepercayaan seseorang tentang sesuatu
yang diharapkan tentang berbagai macam hal dalam suatu hubungan. Hubungan yang
dimaksud adalah hubungan karyawan dengan atasan maupun sesama rekan kerja. Mungkin
ada beberapa perbedaan pendapat mengenai kontrak psikologis, karena apa yang seseorang
harapkan tidak sama persis dengan orang lain harapkan.
Sedangkan, Robinson dan Rousseau (1994) dalam Arnold, et. Al (2005:p532)
menyimpulkan kontrak psikologis sebagai kepercayaan individu mengenai tingkatan dan
15
kondisi dari perjanjian timbal balik antara masing-masing individu dan pihak lain. Suatu
kepercayaan yang membentuk janji yang telah dibuat, adapun tingkatan maupun kondisi dari
kontrak tersebut telah diterima oleh kedua belah pihak.
Dari sudut pandang karyawan, kontrak psikologis adalah suatu perjanjian yang
mereka pikir akan mereka miliki dari perusahaan sehubungan dengan apa yang telah mereka
berikan kepada perusahaan melalui kinerja mereka, dan apa yang mereka harapkan sebagai
balasan (Arnold, et. Al, 2005:p532)
2.1.2.1 Jenis Kontrak Psikologis
2.1.2.1.1 Kontrak Relasional
Menurut Baron & Greenberg, kontrak relasional merupakan jenis dari kontrak
psikologis dimana kontrak ini menggambarkan suatu hubungan jangka panjang dan luas.
Esensi kontrak relasional merupakan gambaran dari harapan untuk membangun hubungan
jangka panjang dari karyawan terhadap organisasi atau sebaliknya. Oleh karena itu
perspektif dari hubungan ini dibangun dalam bentuk loyalitas (Suryanto, 2008:p121).
Masing-masing pihak berharap hubungan dalam kontrak ini dapat menjadi hubungan yang
saling berkaitan (reciprocity).
Lebih lanjut, kontrak relasional tidak terbatas waktu, memperkenalkan suatu
hubungan yang terus menerus antara karyawan dan organisasi, melibatkan pertukaran uang
dan non monetary reward seperti loyalitas dan timbal balik, dukungan, reward terhadap
karir, dukungan seperti pelatihan dan kesempatan pengembangan jangka panjang dalam
organisasi.
16
2.1.2.1.2 Kontrak Transaksional
Kontrak transaksional adalah bagian dari kontrak psikologis yang secara singkat
menggambarkan suatu hubungan yang memiliki fokus dalam hal ekonomi (Greenberg &
Baron, 2003:p405). Menurut Suryanto (2008:p121), esensi kontrak transaksional itu sendiri
adalah harapan untuk membangun hubungan dalam kerangka pertukaran ekonomi dan oleh
karena itu hubungan tersebut dibangun tidak dalam bentuk loyalitas dan dalam jangka waktu
panjang. Hubungan ketenagakerjaan dalam kontrak transaksional akan berakhir apabila
kinerja karyawan dianggap buruk atau hubungan kontrak tersebut memang sudah berakhir.
Menurut Rousseau (2001) dalam Baron dan Greenberg (2003:p405), pada dasarnya
kontrak transaksional merupakan pengaturan kontrak kerja dengan jangka waktu yang
dibatasi dan fokusnya terletak kepada aspek ekonomis, jenis pekerjaan yang sempit dan
keterlibatan minimal karyawan dalam organisasi. Arthur dan Rousseau (1996) dalam Djlantik
dan Soetjipto (2006:p19) mengemukakan bahwa kontrak psikologi telah bergeser dari
kontrak relasional menjadi kontrak transaksional, dengan kata lain kontrak lama karyawan
yang berkinerja dengan baik akan mendapat jaminan pekerjaan dari organisasi yang akan
membantu karyawan dalam perencanaan karir dan penyediaan promosi sebagai jaminan
pengembangan karir karyawan. Akan tetapi dalam kontrak psikologi yang baru, karyawan
akan bertanggung jawab terhadap karirnya dan berkomitmen terhadap pengembangan karir
tersebut.
Berdasarkan definisi pada uraian sub bab 2.1.2.1.1 dan sub bab 2.1.2.1.2, dibawah
ini dapat terlihat pada gambar 2.2, perbandingan karakter antara kontrak transaksional dan
kontrak relasional.
17
Gambar 2.2
Jenis Kontrak Psikologis:
Perbandingan Karakter dari Kontrak Transaksional dan Kontrak Relasional.
Sumber: Rousseau (2001) dalam Baron & Greenberg (2003:p406)
Kontrak Transaksional
Memperhatikan Faktor Ekonomi
Jangka Pendek
Statis, Jarang berubah
Membatasi
Tergambar dengan baik
Kontrak Relasional
Memperhatikan Individu
Jangka Panjang
Dinamis, Sering berubah
Luas dan Menyebar
Sangat subyektif
Batasan Waktu
Fokus Utama
Stabilitas Hubungan
Lingkup Hubungan
Kewujudan Terminologi
18
2.1.2.2 Kontrak Psikologis dan Ekonomi
Pada saat karyawan bergabung dengan suatu perusahaan, mereka membuat suatu
kontrak psikologis yang tidak tertulis dengannya, meskipun pada umumnya mereka
melakukannya secara tidak sadar. Menurut Davis dan Newstrom (1985:p44), kontrak
psikologis menetapkan syarat keterlibatan psikologis masing-masing karyawan dengan suatu
sistem. Karyawan setuju untuk mencurahkan tenaga dan loyalitasnya dalam kadar tertentu,
tetapi sebaliknya mereka menuntut lebih dari sekedar imbalan ekonomi. Mereka berusaha
memperoleh rasa aman, perlakuan sebagai manusia, hubungan yang baik dengan orang-
orang, dan dukungan untuk memenuhi harapan. Seperti yang terlihat dalam gambar 2.3,
kontrak psikologis adalah pelengkap dari kontrak ekonomi mengenai upah, waktu kerja, dan
kondisi kerja.
Apabila perusahaan hanya mementingkan kontrak ekonomi, kepuasan kerja dan
prestasi karyawan cenderung rendah karena harapan mereka tidak terpenuhi. Sebaliknya,
apabila harapan psikologis dan ekonomi mereka terpenuhi, karyawan cenderung merasa
puas, tetap menjadi bagian dari perusahaan, dan menjadi orang yang berprestasi tinggi.
Seperti yang terlihat dalam Gambar 2.3, perusahaan menanggapi dengan cara yang
serupa terhadap kontrak psikologis dan kontrak ekonomi yang dilihatnya. Perusahaan
mengharapkan adanya tanggapan dari karyawan seperti prestasi yang tinggi dan kerja sama.
Apabila ada hasil seperti itu, karyawan dipertahankan dan mungkin dipromosikan. Akan
tetapi, apabila kerja sama dan prestasi itu tidak memenuhi harapan, perusahaan mungkin
mengambil tindakan perbaikan dan bahkan pemberhentian terhadap karyawan.
19
Gambar 2.3
Kontrak Psikologis dan Kontrak Ekonomi
Sumber: Davis dan Newstrom (1985:p44)
2.1.2.3 Pelanggaran Kontrak Psikologis
Suatu pelanggaran kontrak psikologis digambarkan sebagai persepsi seseorang
bahwa organisasi telah gagal dalam memenuhi atau telah mengingkari satu atau lebih
kewajiban (Gibson, et. al, 2008:p122). Persepsi mempunyai suatu teori tentang bagian dari
emosi atau bagian dari perasaan seperti diuraikan oleh Robinson dan Morrison (1997:p226-
256) dalam Gibson, et. al (2004:p117). Suatu pelanggaran yang dilakukan organisasi bisa
saja mempengaruhi, tidak hanya kepercayaan dari seseorang tetapi juga apa yang dirasakan
sebagai kewajiban akan sokongan terhadap organisasi.
Pelanggaran yang bersifat kecil tidak dapat dirasakan secara intensif. Beda dengan
pelanggaran utama yang diakibatkan oleh kinerja yang kurang baik, sabotase pekerjaan,
Karyawan
Perusahaan
Kontrak Psikologis
Kontrak Ekonomi
Karyawan : Apabila harapan terpenuhi:
• Kepuasan kerja tinggi • Prestasi tinggi • Tetap bertahan di
perusahaan Apabila harapan tidak terpenuhi:
• Kepuasan kerja rendah • Prestasi rendah • Mungkin mengundurkan
diri
Perusahaan : Apabila harapan terpenuhi:
• Karyawan dipertahankan • Kemungkinan promosi
Apabila harapan tidak terpenuhi: • Tindakan perbaikan;
disiplin • Kemungkinan
pemberhentian
20
ketidakhadiran, atau keluar dari organisasi. Suatu pola dari tanggapan terhadap pelanggaran
yang terjadi dapat diidentifikasikan sebagai berikut (Robinson, Kratz, Rousseau, 1994:p137-
152) dalam Gibson, et. al (2004:p117):
• Voice (suara)
Suara orang berhubungan dengan pelanggaran dan usaha untuk memperbaiki
kembali kontrak psikologis
• Silence (kesunyian)
Kesunyian dapat dikonotasikan sebagai pemenuhan terhadap keinginan atasan yang
telah dijalankan tetapi tidak dilandaskan dengan komitmen
• Retreat (tempat pengasingan)
Tempat pengasingan yang ditunjukkan oleh kealpaan, kelalaian dari tanggung
jawab, dan kepasifan.
• Destruction (perusakan)
Di langkah ini karyawan dapat membalas dendam melalui kemunduran dari
pekerjaan, sabotase, menyembunyikan perkakas atau dokumen, pencurian, atau
bahkan kekerasan.
Para manajer perlu menyadari akan pentingnya kontrak psikologis dalam
menyerahkan karyawan dan atasan suatu kepercayaan dan mengembangkan hubungan dari
waktu ke waktu.
Dapat terlihat pada tabel 2.1 dibawah ini, terdapat pelanggarang kontrak psikologis
dari masing-masing persepsi dan emosi karyawan sebagai berikut :
21
Tabel 2.1
Pelanggaran Kontrak Psikologis dari Masing-masing Persepsi dan Emosi
Karyawan
No. Pelanggaran Definisi
1. Keamanan
kerja
Tidak adanya keamanan kerja dan kesempatan yang baik
tentang pemutusan hubungan kerja
2. Pelayanan
karyawan
Gagal dalam memberikan perhatian dan pelayanan
karyawan selama jam kerja ataupun diluar jam kerja
3. Umpan balik
pekerjaan
Lemahnya perhatian dan sedikit usaha dalam menyediakan
umpan balik pekerjaan yang berarti
4. Otonomi
pekerjaan
Gagal mengizinkan karyawan agar memiliki kebebasan
dalam membuat keputusan pekerjaan, terkait tentang
bagaimana cara melaksanakan pekerjaan itu
5. Pelatihan Gagal memberikan pelatihan dan pelatih yang cukup sesuai
6. Promosi Mengingkari janji untuk memberikan promosi ketika kinerja
mencapai hasil yang sempurna
Sumber: Rosseau dalam Gibson, et. al (2004:p118)
2.1.3 Kepuasan Kerja
2.1.3.1 Definisi Kepuasan Kerja
Pada dasarnya kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individu. Setiap individu
akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku pada
dirinya. Makin tinggi penilaian terhadap kegiatan dirasakan sesuai dengan keinginan individu,
maka makin tinggi kepuasannya terhadap kegiatan tersebut. Dengan demikian, kepuasan
22
merupakan evaluasi yang menggambarkan seseorang atas perasaan sikapnya senang atau
tidak senang, puas atau tidak puas.
T. Hani (2000:p193) mengemukakan bahwa kepuasan kerja adalah keadaan
emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dimana para karyawan
memandang pekerjaan mereka. Dengan kata lain, kepuasan kerja mencerminkan perasaan
seseorang terhadap pekerjaannya.
Sementara menurut Kreitner dan Kinicki (2007:p192) menyatakan: “Job satisfaction
is an affective or emotional response toward various facet’s of one’s job”. Dari sini dapat
diartikan bahwa kepuasan kerja merupakan suatu tanggapan emosional terhadap berbagai
aspek pekerjaan.
Sedangkan, menurut Locke (1976) dalam Luthans (2006:p243) menyimpulkan
bahwa kepuasan kerja adalah keadaan emosi yang senang atau emosi positif yang berasal
dari penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang.
Gezels dan Guba (1957) dalam Panggabean (2004:p129) juga mendefinisikan
kepuasan kerja sebagai fungsi dari tingkat keserasian antara apa yang diharapkan dengan
apa yang dapat diperoleh. Hakikat kepuasan kerja itu sendiri sebenarnya merupakan tujuan
utama seseorang dalam bekerja, agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Apabila
kebutuhannya sudah terpenuhi sesuai dengan keinginannya maka dapat memberikan nilai
dan kepuasan tersendiri bagi pribadi orang tersebut. Begitu pula sebaliknya apabila tidak
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya atau tidak tercapai yang menjadi tujuannya maka
orang terserbut merasa bahwa pekerjaan yang dilaksanakan tidak memberikan rasa
kepuasan. Berbagai macam sikap atau pola pikiran yang orang-orang lakukan selama bekerja
mengarah pada kepuasan kerja.
23
2.1.3.2 Teori Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja dibahas dalam berbagai model teori dari kepuasan kerja itu sendiri.
Setiap teori umumnya menggambarkan determinan dari kepuasan kerja. Seperti dikutip Rivai
(2004:p475-p477), teori tentang kepuasan kerja yang cukup dikenal adalah:
a. Teori Keadilan (Equity Theory)
Teori ini mengemukakan bahwa orang akan merasa puas atau tidak tergantung
keadilan dalam suatu situasi, terutama situasi kerja. Komponen utama dalam teori
keadilan adalah input, hasil, keadilan, dan ketidakadilan. Input adalah faktor bernilai
bagi karyawan yang dianggap mendukung pekerjaannya, seperti pendidikan,
pengalaman, kecakapan, jumlah tugas dan peralatan yang digunakan untuk
melengkapi pekerjaannya. Hasilnya adalah sesuatu yang dianggap bernilai oleh
seorang karyawan yang diperoleh dari pekerjaannya, seperti: gaji, bonus, status,
penghargaan dan kesempatan untuk mengaktualisasi diri. Sedangkan masing-masing
individu selalu membandingkan dirinya dengan seseorang di perusahaan yang sama
atau di tempat lain, atau bisa juga membandingkan dirinya dengan pengalaman
kerja di masa lalu.
b. Teori Keinginan Relatif (Relative Deprivation Theory)
Menurut teori ini ada enam keputusan penting menyangkut kepuasan dengan
pembayaran, yaitu:
• Perbedaan antara apa yang diharapkan dengan kenyataan
• Perbedaan antara pengeluaran dengan penerimaan
• Ekspektasi untuk menerima pembayaran lebih
• Perasaan untuk memperoleh lebih dari yang diinginkan
• Perasaan secara personal tidak bertanggung jawab terhadap hasil yang buruk
24
Suatu kepuasan kerja dapat ditingkatkan atau tidak tergantung dari imbalan
sesuai dengan ekspektasi dan kebutuhan karyawan. Jika kinerja yang lebih baik
dapat meningkatkan imbalan bagi karyawan secara adil dan seimbang, maka
kepuasan kerja akan meningkat.
c. Teori Ketidaksesuaian (Discrepancy Theory)
Teori ini mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara
sesuatu yang seharusnya diterima dengan kenyataan yang dirasakan. Sehinggga
apabila kepuasan yang diperoleh melebihi dari apa yang diinginkan, maka orang
akan menjadi lebih puas lagi. Tetapi, apabila sesuatu yang seharusnya diterima
berbeda dengan kenyataan yang ada, maka terdapat discrepancy. Karena kepuasan
kerja seseorang tergantung pada selisih antara sesuatu yang dianggap akan
didapatkan dengan apa yang dicapai.
d. Teori Kesetaraan (Equity Model Theory)
Teori ini menjelaskan kepuasan dan ketidakpuasan dengan pembayaran. Perbedaan
antara jumlah yang diterima dengan jumlah yang dipersepsikan oleh karyawan lain
merupakan penyebab utama terjadinya ketidakpuasan. Untuk itu pada dasarnya ada
tiga tingkatan karyawan, yaitu:
• Memenuhi kebutuhan dasar karyawan
• Memenuhi harapan karyawan sedemikian rupa, sehingga mungkin karyawan
tersebut tidak mau pindah kerja ke tempat lain
• Memenuhi keinginan karyawan dengan mendapat lebih dari apa yang
diharapkan.
e. Teori Motivasi Dua Faktor
Teori ini dikemukakan oleh Herzberg yang dikenal dengan Herzberg’s Two Factor
Theory atau sering disebut sebagai Teori Motivasi Kesehatan (Motivation-Hygiene
25
Theory). Seperti yang dijelaskan oleh Gitosudarmo dan Sudita (2008:p35) bahwa
dari hasil penelitian Herberg menyimpulkan dua hal atau dua faktor sebagai berikut:
• Kondisi ekstrinsik pekerjaan (extrinsic job condistions), yang apabila kondisi itu
tidak ada, menyebabkan ketidakpuasan diantara karyawan. Faktor-faktor ini
berkaitan dengan keadaan pekerjaan yang meliputi hal-hal seperti: gaji; jaminan
pekerjaan; kondisi kerja; status; kebijakan perusahaan; kualitas supervisi;
kualitas hubungan antarpribadi dengan atasan, bawahan dan sesama pekerja;
serta jaminan sosial.
• Kondisi intrinsik pekerjaan (intrinsic job conditions), yang apabila kondisi
tersebut ada dapat berfungsi sebagai motivator, yang secara konsisten dikaitkan
dengan kepuasan kerja serta dapat menghasilkan prestasi kerja yang baik.
Tetapi jika faktor-faktor tersebut tidak ada, tidak akan menyebabkan adanya
ketidakpuasan. Faktor-faktor tersebut adalah: prestasi; pengakuan; pekerjaan
itu sendiri; tanggung jawab; kemajuan-kemajuan; serta pertumbuhan dan
perkembangan pribadi.
Sedangkan, teori kepuasan kerja menurut Munandar (2006:p354) adalah:
1. Teori Pertentangan (Discrepancy Teory)
Menurut Locke dalam Munandar, menyebutkan bahwa kepuasan atau
ketidakpuasan terhadap beberapa aspek dari pekerjaan mempertimbangkan
dua nilai, yaitu pertentangan yang dipersepsikan antara apa yang diinginkan
seseorang individu dengan apa yang diterima; dan pentingnya apa yang
diinginkan individu. Menurut Locke seseorang individu akan merasa puas atau
tidak puas merupakan sesuatu yang bersifat pribadi, tergantung bagaimana ia
mempersepsikan adanya kesesuaian atau pertentangan antara keinginan-
keinginannya dan apa yang ia dapatkan.
26
2. Model dari Kepuasan Bidang/Bagian (Facet Satisfaction)
Menurut Lawler orang akan puas dengan bidang tertentu dari pekerjaan
mereka (rekan kerja, atasan, dan gaji), jika jumlah dari bidang yang mereka
persepsikan harus mereka terima untuk bekerja sama dengan jumlah yang
mereka terima secara aktual.
Lawler juga menjelaskan bahwa, jumlah dari bidang yang
dipersepsikan orang dapat dikatakan sesuai tergantung dari bagaimana orang
tersebut mempersepsikan masukan pekerjaaan, ciri-ciri pekerjaan, dan
bagaimana mereka mempersepsikan masukan dan keluaran dari orang lain
yang dijadikan sebagai pembanding. Model ini diringkas dalam Gambar 2.3.
27
Gambar 2.4
Model Kepuasan Bidang
Sumber: Lawler (1973) dalam Munandar (2006:p356)
Untuk menentukan tingkat kepuasan kerja karyawan, Lawler
memberikan nilai bobot kepada setiap bidang sesuai dengan nilai pentingnya
bagi individu, kemudian Lawler mengkombinasikan semua skor kepuasan
bidang yang dibobot ke dalam satu skor total.
3. Teori Proses-Bertentangan (Opponent-Process Theory)
Kemampuan Pengalaman Pelatihan Usaha Usia Tua Pendidikan Performa Loyalitas Penghargaan
Tingkat kesulitan Jumlah waktu Tanggung Jawab
Hasil yang dirasakan dari referensi
Hasil yang sebenarnya diterima
Persepsi pribadi mengenai masukan pekerjaan
Persepsi akan masukan dan hasil dari referensi lain
Karakteristik pekerjaan yang dirasakan
A
Mengetahui jumlah yang
harus diterima
B
Mengetahui jumlah yang
diterima
A=B kepuasan A>B ketidakpuasan A<B bersalah,
ketdakadilan, ketidaksenangan
28
Landy dalam Munandar memandang kepuasan kerja dari perspektif yang
berbeda secara mendasar daripada pendekatan yang lain. Teori ini
menekankan bahwa orang ingin mempertahankan suatu keseimbangan
emosional (emotional equilibrium).
Teori proses-bertentangan mengasumsikan bahwa kondisi emosional
yang ekstrim tidak memberikan kemaslahatan. Kepuasan atau
ketidakpuasan kerja (dengan emosi yang berhubungan) memacu
mekanisme fisiologikal dalam sistem pusat saraf yang membuat aktif
emosi yang bertentangan atau berlawanan.
Teori ini menyatakan bahwa jika seseorang memperoleh ganjaran pada
pekerjaan mereka merasa senang, sekaligus ada rasa tidak senang (yang
lebih lemah). Setelah beberapa saat rasa senang menurun dan dapat
menurun sedemikian rupa sehingga seseorang merasa agak sedih
sebelum kembali ke normal. Ini disebabkan karena emosi tidak senang
(emosi yang berlawanan) berlangsung lebih lama.
Berdasarkan asumsi dapat dikatakan bahwa kepuasan kerja bervariasi secara
mendasar dari waktu ke waktu, yang mengakibatkan kepuasan kerja perlu diukur secara
periodik dengan interval waktu yang sesuai.
29
2.1.3.3 Hubungan Kepuasan Kerja dengan Aspek lain
Dari sudut pandang masyarakat dan individu, kepuasan kerja merupakan hasil yang
diinginkan. Tetapi, dari sudut pandang keefektifan organisasi dan manajerial yang pragmatis,
penting untuk mengetahui bagaimana kepuasan kerja berhubungan dengan aspek lain.
Menurut Robbins (2003:p80) dan Luthans (2006:p246) kepuasan kerja berhubungan dengan
tiga aspek lain, yaitu:
a. kepuasan kerja dan kinerja
Kepuasan kerja cenderung berefek pada kinerja karyawan (Robbins, 2001:p151).
Menurut Koys dalam Luthans (2006:p246), Kesimpulan terbaik mengenai kepuasan
dan kinerja adalah karena terdapat hubungan yang pasti di dalamnya, kepuasan
lebih mempengaruhi kinerja daripada kinerja mempengaruhi kepuasan. Kinerja yang
tinggi menyebabkan peningkatan dari kepuasan kerja hanya jika tenaga kerja
mempersepsikan bahwa apa yang telah dicapai perusahaan sesuai dengan apa yang
diterima (gaji) yaitu adil dan wajar, serta diasosiasikan dengan kinerja yang unggul.
Dengan kata lain bahwa kinerja menunjukkan tingkat kepuasan kerja seorang
karyawan, karena perusahaan dapat mengetahui aspek-aspek pekerjaan dari tingkat
keberhasilan yang diharapkan.
b. kepuasan kerja dan pergantian karyawan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lee & Mowday (1987); Tett & Meyer
(1993) dalam Luthans (2006:p247), dikatakan bahwa terdapat hubungan negatif
antara kepuasan dan pergantian karyawan. Kepuasan kerja yang tinggi belum tentu
membuat pergantian karyawan menjadi rendah, tetapi jika terdapat ketidakpuasan
kerja, maka pergantian karyawan mungkin tinggi. Secara khusus, tingkat kepuasan
kurang penting dalam meramalkan keluarnya karyawan untuk mereka yang
berkinerja tinggi, karena lazimnya organisasi melakukan upaya yang cukup besar
30
untuk menahan mereka dan bahkan mungkin ada tekanan halus untuk mendorong
mereka agar keluar (Robbbins, 2003:p81).
c. kepuasan kerja dan ketidakhadiran
Menurut Hackett (1989) dalam Luthans (2006:p247) mengemukakan adanya
hubungan negatif yang lemah antara kepuasan dan ketidakhadiran. Masuk akal
apabila dinyatakan bahwa karyawan yang tingkat kepuasannya rendah, lebih besar
kemungkinannya tidak kerja dan karyawan yang tingkat kepuasannya tinggi dapat
memotivasi seorang karyawan untuk beraktivitas setiap hari.
2.1.3.4 Faktor yang mempengaruhi Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja karyawan berhubungan dengan kualitas kehidupan atau lingkungan
kerja dalam perusahaan. Berikut ini adalah faktor-faktor yang berkaitan dengan kerja yang
mempengaruhi dan menentukan kepuasan kerja (Siagian, 2004:p66):
• Kerja yang secara mental menantang
Karyawan cenderung menyukai pekerjaan yang memberikan mereka kesempatan untuk
menggunakan keterampilan dan kemampuan mereka, menawarkan beragam tugas dan
kebebasan kerja, serta umpan balik mengenai seberapa baik mereka bekerja.
• Imbalan yang pantas
Karyawan menginginkan sistem kompensasi yang adil berdasarkan tuntutan pekerjaan
dan tingkat keterampilan individu.
• Kondisi kerja yang mendukung
Karyawan peduli akan lingkungan kerja yang baik untuk kenyamanan pribadi maupun
memudahkan mengerjakan tugas dengan baik.
• Rekan kerja yang mendukung
Karyawan membutuhkan kerja yang mengisi kebutuhan akan interaksi sosial.
31
• Kesesuaian dengan pekerjaan
Kecocokan yang tinggi antara kepribadian seorang karyawan dengan pekerjaannya akan
menghasilkan kepuasan kerja.
Sedangkan menurut Luthans (2006:p244), faktor yang mempengaruhi kepuasan
kerja yang dapat dilihat dari lima dimensi sebagai berikut:
1. Pekerjaan itu sendiri
Kepuasan kerja merupakan sumber utama kepuasan. Menurut Judge, Bono, dan Locke
(2000) dalam Luthans, dikatakan bahwa karakteristik dan kompleksitas pekerjaan
menghubungkan antara kepribadian dan kepuasan kerja; dan jika persyaratan kreatif
pekerjaan terpenuhi, maka mereka cenderung merasa puas (Shalley, Gilson, dan
Blum;2000 dalam Luthans). Ada beberapa unsur yang paling penting dari kepuasan kerja
yang menyimpulkan bahwa pekerjaan yang menarik dan menantang, serta
perkembangan karir merupakan hal penting untuk setiap karyawan (Robbins,
2002:p149).
2. Gaji
Para karyawan menginginkan sistem gaji dan kebijakan promosi yang mereka
persepsikan sebagai adil, tidak meragukan dan segaris dengan pengharapan mereka.
Karyawan melihat gaji sebagai refleksi dari bagaimana manajemen memandang
kontribusi mereka terhadap perusahaan. Tetapi, banyak juga orang yang bersedia
menerima uang lebih kecil untuk bekerja di lokasi yang diinginkan atau pada pekerjaan
yang kurang menuntut atau mempunyai keleluasaan yang lebih besar dalam pekerjaan
yang mereka lakukan dan jam kerja.
3. Promosi
Kesempatan promosi memiliki pengaruh yang berbeda pada kepuasan kerja. Hal ini
dikarenakan promosi memiliki sejumlah perbedaan bentuk dan memiliki berbagai
32
penghargaan, seperti adanya indikasi bahwa promosi yang diberikan tidak sesuai dengan
harapan masing-masing individu.
4. Penyelia
Penyelia merupakan sumber penting lain dari kepuasan kerja, dapat dikatakan bahwa
ada dua dimensi gaya pengawasan yang mempengaruhi kepuasan kerja. Yang pertama
adalah berpusat pada karyawan, diukur menurut tingkat dimana penyelia menggunakan
ketertarikan personal dan peduli pada karyawan. Hal itu dimanifestasikan secara umum
dalam cara-cara meneliti seberapa baik kerja karyawan, memberikan nasihat dan
bantuan pada individu, dan berkomunikasi dengan rekan kerja secara personal maupun
dalam konteks pekerjaan.
5. Kelompok Kerja
Pada umumnya, rekan kerja atau anggota tim yang kooperatif merupakan sumber
kepuasan kerja yang paling sederhana pada karyawan. Penelitian menurut Vegt, Emans,
dan Vliert (2001:p51-69) mengindikasikan bahwa kelompok yang memerlukan saling
ketergantungan antar anggota dalam menyelesaikan pekerjaan, akan memiliki kepuasan
kerja yang lebih tinggi.
6. Kondisi Kerja
Kondisi kerja memiliki pengaruh yang kecil terhadap kepuasan kerja. Dengan kata lain,
efek lingkungan kerja pada kepuasan kerja sama halnya dengan efek kelompok kerja.
Jika segalanya berjalan baik, tidak ada masalah kepuasan kerja; jika segalanya berjalan
buruk, masalah ketidakpuasan kerja akan muncul.
Sementara itu, DeSantis dan Durst (1996) dalam Panggabean (2004:p130)
mengemukakan bahwa kepuasan kerja dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang dapat
dikelompokkan ke dalam empat kelompok, yaitu:
a. Monetary, non monetary
33
Dalam hal ini, monetary berhubungan langsung dengan aspek finansial seperti
kompensasi yang bekaitan dengan gaji, upah, insentif, dan tunjangan. Lain halnya
dengan non monetary yang lebih berhubungan dengan pekerjaan dan lingkungan
pekerjaan tersebut.
b. Karakteristik pekerjaan (job characteristics)
Karakteristik pekerjaan berkaitan dengan pekerjaan itu sendiri dimana ia berkaitan
dengan cara bagaimana karyawan menilai tugas-tugas yang ada dalam pekerjaannya.
Karakteristik pekerjaan terdiri atas keanekaragaman keterampilan (skill variety), identitas
tugas (task identity), keberartian tugas (task significance), otonomi (autonomy), dan
umpan balik pekerjaan (feedback) (Glison dan Durick, 1988;Rosseau, 1978 dalam
Panggabean, 2004:p129).
c. Karakteristik kerja (work characteristics)
Karakteristik kerja yang juga disebut dengan the nature of environment adalah faktor-
faktor yang diduga dapat membantu atau menghalangi karyawan dalam pelaksanaan
tugas.
d. Karakteristik individu
Karakteristik individu terdiri atas jenis kelamin, tingkat pendidikan, umur, masa kerja,
status perkawinan, jumlah tanggungan, dan posisi (Panggabean, 2004:p18)
34
2.1.3.5 Efek ketidakpuasan kerja
Ada konsekuensi ketika seorang karyawan suka dan tidak suka terhadap pekerjaan
yang mereka jalankan. Robbins & Judge (2007:p83) menunjukkan empat tanggapan yang
berbeda satu sama lain dalam dimensi kontruktif/desktruktif dan aktif/pasif, dengan
gambaran di bawah ini:
a. Exit, merupakan perilaku yang diarahkan ke arah meninggalkan organisasi, termasuk
mencari suatu posisi yang baru seperti halnya berhenti.
b. Voice, dengan aktif dan secara konstruktif mencoba untuk meningkatkan berbagai
macam kondisi, termasuk dengan mengusulkan suatu peningkatan, mendiskusikan
permasalahan dengan atasan, dan membentuk aktivitas perserikatan.
c. Loyalty, dengan pasif tetapi secara optimis menunggu sampai kondisi menjadi lebih
baik, termasuk yang menjamin organisasi ketika menghadapi berbagai macam kritik
dari luar dan mempercayai organisasi dan manajemen nya untuk melakukan hal
yang benar.
d. Neglect, secara pasif membiarkan kondisi-kondisi menjadi bertambah buruk, atau
keterlambatan yang semakin parah, usaha yang dikurangi, dan tingkat kesalahan
yang meningkat.
Robbins (2003:p82) mengemukakan bahwa perilaku Exit dan Neglect dapat
mencakup variabel kinerja seperti produktivitas, ketidakhadiran, dan perputaran
karyawan. Tetapi model ini dapat memperluas tanggapan karyawan dalam hal Voice
dan Loyalty, sebagai perilaku membangun yang mengizinkan seseorang untuk
memaklumi situasi yang tidak menyenangkan atau untuk menghidupkan kembali
kondisi kerja yang dapat menyebabkan kepuasan.
35
2.1.3.6 Mengukur Kepuasan Kerja
Ada dua macam pendekatan yang secara luas dipergunakan dalam melakukan
pengukuran kepuasan kerja (Robbins, 2003:p73), yaitu:
• Single global rating, yaitu tidak lain dengan meminta individu merespons atas satu
pertanyaan.
• Summation score, yaitu mengidentifikasi elemen kunci dalam pekerjaan dan
menanyakan perasaan karyawan tentang masing-masing elemen.
Greenberg dan Baron (2003:p151) dalam Wibowo (2007:p310) menunjukkan adanya
tiga cara untuk melakukan pengukuran kepuasan kerja, yaitu:
1. Rating Scales dan Kuesioner
Merupakan pendekatan pengukuran kepuasan kerja yang paling umum dipakai
dengan menggunakan kuesioner dimana rating scales secara khusus disiapkan
2. Critical Incident
Individu menjelaskan kejadian yang menghubungkan pekerjaan yang mereka
rasakan itu memuasakan atau tidak
3. Interviews
Merupakan prosedur pengukuran kepuasan kerja dengan melakukan wawancara
tatap muka dengan pekerja
Alat ukur merupakan usaha yang sistematis untuk mengembangkan indeks kepuasan
kerja, terdiri atas empat pertanyaan dimana masing-masing diminta untuk memilih tujuh
jawaban dengan menggunakan skala interval dari yang paling setuju (7) sampai yang
paling tidak setuju (1) (Brayfield dan Rothe, 1951 dalam Panggabean, 2004:p132), alat
ukur yang dimaksud adalah:
a). Job Descriptive Index (JDI)
36
Merupakan indeks yang digunakan untuk menilai kepuasan kerja secara
keseluruhan (overall job satisfaction) dengan menggunakan kepuasan terhadap
pengawasan, rekan kerja, pekerjaan itu sendiri, pembayaran, dan promosi.
b). Minnessota Satisfaction Questionnaire (MSQ)
Merupakan skala rating untuk menilai kepuasan kerja dimana orang-orang
menunjukkan sejauh mana mereka puas terhadap beberapa aspek pekerjaan
mereka. Skor yang tinggi mencerminkan skor kepuasan kerja yang tinggi juga.
c). Pay Satisfaction Questionnaire (PSQ)
Merupakan sebuah daftar pertanyaan yang ditujukan untuk menilai kepuasan
kerja terhadap beberapa aspek pembayaran.
d). Job Diagnostic Survey (JDS)
Alat ukur ini menunjukkan kaitan kepuasan kerja dengan lima dimensi inti dari
karakteristik pekerjaan, yaitu keanekaragaman keterampilan, identitas tugas,
keberartian tugas, otonomi, dan umpan balik.
2.1.4 Kinerja
2.1.4.1 Definisi Kinerja
Menurut Irawan (2000:p11), kinerja adalah hasil kerja yang nyata, dapat diamati,
dan dapat diukur. Suprihanto (2000:p7) menyebutkan istilah kinerja yaitu hasil kerja
seseorang selama periode tertentu dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, misalnya
standar dan target. Menurut Mangkunegara (2001:p67), istilah kinerja berasal dari kata Job
performance atau actual peformance yang dapat didefinisikan sebagai prestasi kerja atau
prestasi sesungguhnya yang dapat dicapai oleh seseorang. Sedangkan menurut Byars dan
Rue (2006:p222) : “ Performance refers to the degree of accomplishment of the tasks that
make up an employee’s job. It reflects how well an employee is fulfilling the requirements of
37
a job “. Dalam hal ini, kinerja mengacu pada tingkat dari pemenuhan tugas dalam menyusun
suatu pekerjaan karyawan. Sehingga dapat dikatakan bahwa kinerja mencerminkan seberapa
baik seorang karyawan dapat memenuhi persyaratan dari suatu pekerjaan.
2.1.4.2 Penilaian Kinerja
Suatu penilaian kinerja merupakan sistem formal yang berstruktur, yang digunakan
untuk mengukur, mengevaluasi, dan mempengaruhi atribut-atribut karyawan yang
berhubungan dengan pekerjaan, perilaku dan hasil (Hellriegel, 2002:p341). Sedangkan,
Bohlander dan Scott (2004:p529) mendefinisikan bahwa penilaian kinerja adalah suatu
proses yang dilakukan oleh pihak manajemen untuk memonitor cara karyawan bekerja dan
menilai apakah cara mereka bekerja sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan perusahaan.
Lain lagi dengan pendapat yang dikemukakan oleh Byars dan Rue (2006:p223) yang
mengemukakan penilaian kinerja sebagai suatu proses mengevaluasi dan
mengkomunikasikan kepada karyawan tentang bagaimana dia melakukan suatu pekerjaan
dan penetapan rencana, yang bertujuan untuk membuat suatu peningkatan terhadap dirinya.
Kegunaan penilaian kinerja seperti yang dikemukakan oleh Rivai (2004:p315) ditinjau dari
berbagai perspektif pengembangan perusahaan, khususnya manajemen SDM, yaitu:
a) Perbaikan kinerja
b) Umpan balik pelaksanaan kerja yang bermanfat bagi karyawan, manajer dan
spesialis personil dalam bentuk kegiatan untuk meningkatkan atau
memperbaiki kinerja karyawan
c) Penyesuaian kompensasi
d) Penilaian kinerja membantu pengambil keputusan dalam penyesuaian ganti-
rugi, menentukan kenaikkan upah-bonus atau kompensasi lainnya
e) Keputusan penempatan
38
f) Membantu dalam promosi, keputusan penempatan, perpindahan, dan
penurunan pangkat pada umumnya didasarkan pada masa lampau atau
mengantisipasi kinerja
g) Pelatihan dan pengembangan
h) Kinerja yang buruk mengindikasikan adanya suatu kebutuhan untuk latihan.
Demikian juga, kinerja baik dapat mencerminkan adanya potensi yang belum
digunakan dan harus dikembangkan
i) Kesempatan kerja yang adil
j) Penilaian kinerja yang akurat terkait dengan pekerjaan dapat memastikan
bahwa keputusan penempatan internal tidak bersikap diskriminatif
k) Umpan balik ke SDM
l) Kinerja baik atau jelek di seluruh perusahaan mengindikasikan seberapa baik
departemen SDM berfungsi
Sementara itu Suprihanto (2000:p8), menyatakan bahwa tujuan penilaian
pelaksanaan kinerja adalah sebagai berikut:
• Untuk mengetahui keadaan keterampilan dan kemampuan setiap karyawan
secara rutin
• Untuk digunakan sebagai dasar perencanaan bidang personalia, khususnya
penyempurnaan kondisi kerja, peningkatan mutu dan hari kerja
• Dapat digunakan sebagai dasar pengembangan dan pendayagunaan karyawan
secara optimal sehingga dapat mengarahkan jenjang karir dan kenaikan jabatan
• Mendorong terciptanya hubungan timbal balik yang sehat antara atasan dan
bawahan
• Mengetahui kondisi organisasi secara keseluruhan dari bidang personalia,
khususnya kinerja karyawan
39
• Secara pribadi bagi karyawan dapat mengetahui kekuatan dan kelemahan
masing-masing sehingga dapat memacu perkembangannya. Sebaliknya bagi
atasan yang menilai akan lebih memperhatikan dan mengenal bawahannya
sehingga dapat memotivasi bawahannya dalam bekerja
• Hasil evaluasi kinerja dapat bermanfaat bagi penelitian dan pengembangan di
bidang personalia secara keseluruhan.
2.1.4.3 Komponen Penilaian Kinerja
Pendapat yang dikemukakan oleh Higins dalam Umar (1999:p269), bahwa variabel
kinerja terdiri atas komponen-komponen mutu pekerjaan, kejujuran, inisiatif, kehadiran,
sikap, kerjasama, keandalan, pengetahuan tentang pekerjaan, tanggung jawab, dan
pemanfaatan waktu. Selain itu sebagaimana dikutip oleh Warno (2000:p17) memberikan
penjelasan bahwa kinerja dapat dilihat berdasarkan kualitas kerja, kuantitas kerja, sampel
dari suatu tugas yang merupakan bagian pekerjaan, waktu yang dibutuhkan untuk
mempelajari suatu tugas, dan jumlah promosi yang pernah dilampaui.
Sedangkan Gomes (2000:p142) mengemukakan bahwa kriteria kinerja karyawan
meliputi:
a. Quantity of work, yaitu jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu
periode waktu yang ditentukan
b. Quality of work, yaitu kualitas kerja yang dicapai berdasarkan syarat-
syarat kesesuaian dan kesiapannya
c. Creativeness, yaitu keaslian gagasan yang dimunculkan dan tindakan-
tindakan untuk menyelesaikan persoalan yang timbul
d. Cooperation, yaitu kesediaan untuk bekerja sama dengan orang lain
40
e. Dependability, yaitu kesadaran dan dapat dipercaya dalam hal kehadiran
dan penyelesaian kerja
f. Initiative, yaitu semangat untuk melaksanakan tugas-tugas baru dalam
memperbesar tanggung jawabnya
g. Personal qualities, yaitu menyangkut kepribadian, kepemimpinan,
keramah-tamahan dan integritas pribadi.
2.1.4.4 Metode Penilaian Kinerja
Penilaian kinerja dapat dilakukan dengan berbagai metode, tergantung pada
kegunaannya. Menurut Mondy dan Noe (1990:p404) dalam Panggabean (2004:p68),
metode-metode penilaian kinerja yang dapat digunakan adalah sebagai berikut:
1. Rating Scales (Skala Rating)
Dalam penggunaan metode ini hasil penilaian kinerja dicatat dalam suatu skala. Skala
tersebut dibagi dalam tujuh atau lima kategori yang bersifat kualitatif, yaitu dari
sangat memuaskan sampai dengan tidak memuaskan. Cara ini banyak digunakan
karena sangat sederhana dan dapat digunakan untuk menilai lebih banyak orang
dalam waktu yang relatif singkat.
2. Critical Incidents (Insiden-insiden Kritis)
Metode dari penilaian kinerja dimana penilai berusaha mencatat peristiwa yang
menggambarkan perilaku positif maupun negatif karyawan (Byars and Rue,
2008:p228). Penilaian dilakukan pada saat-saat kritis saja, yaitu waktu dimana perilaku
karyawan dapat membuat bagiannya sangat berhasil atau bahkan sebaliknya. Metode
penilaian ini tidak dapat berdiri sendiri melainkan harus digabung dengan metode lain.
41
3. Essay
Dalam metode ini penilai menyiapkan pernyataan tertulis yang menggambarkan
kekuatan individu, kelemahan, dan kinerja masa lalu (Byars and Rue, 2008:p228).
Metode ini cenderung menggambarkan kinerja karyawan yang luar biasa daripada
kinerjanya sehari-hari. Setelah kinerja ditinjau ulang, evaluasi yang positif bisa menjadi
negatif apabila penilai tidak dapat menuliskannya dengan baik.
4. Work Standards (Standar Kerja)
Metode ini membandingkan kinerja karyawannya dengan standar yang ditetapkan
terlebih dahulu. Keuntungan dari metode ini adalah penilaian kinerja berdasarkan
faktor yang sangat objektif.
5. Ranking
Metode ini menempatkan semua karyawan yang dinilai dalam suatu urutan-urutan
ranking, dengan membandingkan karyawan yang satu dengan karyawan lainnya untuk
menentukan siapa yang lebih baik, kemudian penempatan karyawan diurutkan dari
yang terbaik sampai yang terburuk.
6. Forced Distribution (Distribusi yang Dipaksakan)
Metode ini mengasumsikan karyawan dalam lima kategori yaitu dari kategori yang
paling baik (10%), yang baik (20%), yang cukup (40%), yang buruk (20%), dan
sisanya (10%).
7. Forced-choice and Weighted Checklist Performance Report (Pemilihan yang
Dipaksakan dan Laporan Pemeriksaan Kinerja Tertimbang)
Laporan ini memerlukan penilai untuk memilih karyawan mana yang dapat mewakili
kelompoknya. Faktor yang dinilai adalah perilaku karyawan, dan penilai memberikan
nilai positif atau negatif. Namun, penilai tidak peduli dengan bobot penilaiannya.
8. Behaviorally Anchored Scales
42
Metode penilaian didasarkan catatan penilai yang menggambarkan perilaku karyawan
yang sangat baik atau sangat jelek dalam kaitannya dengan pelaksanaan kerja.
9. Metode Pendekatan Management By Objective (MBO)
Dalam pendekatan ini, karyawan dan penyelia secara bersama-sama menentukan
sasaran organisasi, tujuan individu dan saran-saran untuk meningkatkan produktivitas
organisasi. Menurut Byars dan Rue (2008:p224), proses MBO terdiri dari langkah-
langkah berikut ini:
• menetapkan secara jelas dalam menggambarkan pernyataan tentang sasaran
kerja oleh karyawan
• Mengembangkan rencana tindakan yang menandakan bagaimana sasaran
tersebut dapat dicapai
• Membiarkan karyawan untuk menerapkan rencana tindakan
• Mengukur prestasi secara objektif
• Mengambil tindakan korektif jika diperlukan
• Menetapkan sasaran baru untuk masa depan
2.2 Penelitian terdahulu
Dibawah ini adalah beberapa jurnal dari penelitian sebelumnya :
1. David J. McDonald and Peter J. Makin (2000). Kontrak Psikologis,
Komitmen Organisasi dan Kepuasan Kerja dari Karyawan Kontrak.
Proporsi kekuatan pekerja dalam kontrak sementara seorang karyawan
meningkat, karena suatu organisasi menggunakan non permanen staff (karyawan
kontrak) sebagai sumber daya yang fleksibel. Rousseau dan Wade-Benzoni
mengemukakan bahwa karyawan kontrak mempunyai kontrak psikologis yang
berbeda dengan karyawan tetap di dalam organisasi. Karyawan kontrak, telah
43
dibuktikan, akan memiliki kontrak transaksional, dengan penekanan unsur-unsur
ekonomi dari kontrak tersebut sedangkan karyawan tetap akan memiliki kontrak
relasional, melibatkan komitmen pada organisasi, dan ketertarikan akan kepuasan
kerja. Perbedaan ini, telah dibuktikan, akan mempengaruhi perilaku dan sikap
karyawan. Pengujian artikel ini dapat memberi saran bagi karyawan pada sektor
organisasi yang luas. Hasilnya memberikan gambaran yang konsisten dalam saran
yang beragam. Tingkat dari kontrak relasional dan kontrak transaksional dari
karyawan tetap maupun karyawan kontrak tidak berbeda secara signifikan. Sebagai
tambahan, mereka memiliki tingkat yang lebih tinggi, dan lebih rendah dibanding
tingkat kepuasan kerja dan komitmen terhadap organisasi.
2. Surya Dharma dan Haedar Akib (2005). Pengaruh Kepuasan Kerja pada
Kinerja: Sebuah Pendekatan Teoritis
Teoritisi dan praktisi sepaham bahwa kepuasan dan kinerja berpengaruh
satu sama lain, namun tidak menjelaskan apakah kepuasan kerja mempengaruhi
kinerja atau sebaliknya? tulisan ini menjelaskan kepuasan kerja dan kinerja, serta
pengaruhnya satu sama lain. Studi terdahulu menjelaskan bahwa kepuasan kerja
merupakan faktor determinan bagi kinerja pekerja. Teori dua faktor dari Herzberg
mendukung bahwa pemenuhan faktor higienis merupakan prasyarat bagi kepuasan,
sekaligus mencegah ketidakpuasan, sedangkan faktor motivasi menyebabkan
kepuasan. Penelitian belakangan menunjukan bahwa kepuasan kerja masih relevan
sebagai faktor determinan bagi kinerja. Namun, selain kedua faktor tersebut ada
faktor ganjaran yang mempengaruhi kepuasan kerja dengan kinerja sekaligus.
44
3. Anabella Davila, Marta M. Elvira (2007). Kontrak Psikologis dan
Manajemen Kinerja di Meksiko.
Tujuan dari penelitian ini adalah menggunakan teori kontrak psikologis untuk
menyelidiki praktek manajemen kinerja di Meksiko, memberi perhatian tertentu pada
dampak dari budaya nasional, faktor sosial, dan struktural. Penelitian ini menguji isi
kontrak psikologis dari sudut pandang kedua belah pihak dalam hubungan
ketenagakerjaan (manajer dan karyawan) dalam konteks penilaian kinerja.
Wawancara dan fokus grup yang diselenggarakan pada dua tingkat organisatoris
dalam tiga organisasi yang berbeda, penemuan mengorganisir sekitar tiga pokok:
sistem penilaian kinerja, perjanjian (terpenuhi atau tidak terpenuhi), dan sumber-
sumber dari kondisi dan tingkatan sebagai isi dari kontrak psikologis untuk mengelola
dan ambil bagian dalam sistem evaluasi kinerja. Masing-masing pokok dari penelitian
menggambarkan dan membedakan sudut pandang antara manajer dan karyawan,
oleh karena sifat sensitif budaya tentang penilaian kinerja. Penemuan membantu
para manajer mengimplementasikan proses ini dengan menjelaskan tentang dasar
kontrak psikologis di Meksiko. Secara rinci, karyawan mengalami perilaku socio-
emotional yang mengiringi evaluasi kinerja dan terlibat dalam suatu proses pada
level komitmen yang berbeda. Manajer maupun karyawan menanggapi menurut
kebutuhan mereka dan apa yang mereka rasa sebagai penghargaan dari
perusahaan. Penilaian kinerja diterima sebagai sedikit perhatian dari pembelajaran
tentang kontrak psikologis, meskipun hal ini merupakan kunci praktek dimana
penghargaan dan perjanjian kerja dihubungkan dengan kinerja yang telah dibuat.
Dalam pembelajaran ini, penelitian membawa dua arus riset secara bersama dan
menggunakannya pada pengaturan budaya tunggal.
45
2.3 Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran adalah rangkaian faktor-faktor yang mendukung dalam penyusunan
serta menyelidiki penanganan perusahaan mengenai kepuasan karyawan yang bekerja di PT.
Indopos Intermedia Press. Dalam skripsi ini menyelidiki hubungan antara kontrak psikologis
dengan kepuasan kerja, dimana kepuasan kerja mempengaruhi kinerja karyawan. Hubungan
antara kontrak psikologis terhadap kepuasan kerja dengan kinerja karyawan dapat dilihat
dalam skema kerangka pemikiran di bawah ini:
Gambar 2.5
Kerangka Pemikiran
Kontrak Psikologis (X)
- Keamanan Kerja - Pelayanan - Umpan balik pekerjaan - Otonomi Pekerjaan - Pelatihan - Promosi
Kepuasan Kerja (Y)
- Pekerjaan itu Sendiri
- Gaji - Promosi - Supervisor - Kelompok
Kerja - Kondisi Kerja
Kinerja Karyawan (Z)
- Kuantitas Kerja - Kualitas Kerja -Kreatifitas - Kooperatif - Inisiatif - Kualitas Pribadi - Keandalan
46
2.4 Hipotesis
Berdasarkan dari identifikasi permasalahan yang diajukan dan tujuan penelitian serta
landasan teori diatas, maka hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut:
H1 : Kontrak psikologis berpengaruh secara signifikan terhadap kepuasan
kerja
H2 : Kepuasan Kerja berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja
karyawan
H3 : Kontrak psikologis berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja
karyawan
H4 : Kontrak Psikologis & Kepuasan Kerja berpengaruh secara signifikan
terhadap Kinerja Karyawan