bab 2 osteomielitis fix
TRANSCRIPT
P a g e | 1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengue
(DBD) merupakan penyakit infeksi tropik endemik di Indonesia. Angka
kesakitan dan kematian DHF di berbagai negara sangat bervariasi tergantung pada
berbagai faktor, separti: status kekebalan dari populasi, kepadatan vektor dan
frekuensi penularan, prevalensi Serotype Virus Dengue dan keadaan cuaca.
Penderita penyakit DHF jika tidak mendapat perawatan yang memadai dapat
mengalami perdarahan yang hebat, syok dan dapat mengakibatkan kematian. Oleh
karena itu semua kasus DHF sesuai dengan kriteria WHO harus mendapat
perawatan ditempat pelayanan kesehatan ataupun Rumah Sakit. Sebenarnya
penyakit DHF dapat dicegah dengan menghindari gigitan nyamuk Aedes Aegypti
atau Aedes Algopicna. Selain itu pencegahan dapat dilakukan dengan
mengupayakan perbaikan lingkungan yaitu melenyapkan tempat bertelur dan
beristirahatnya nyamuk, baik secara alami ataupun menggunakan insektisida.
Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian DHF antara lain: Faktor hospes
(host), lingkungan (environment) yaitu kondisi geografis (ketinggian dari
permukaan laut, curah hujan, angin, kelembaban, musim), kondisi demografis
(kepadatan mobilitas, perilaku, adat istiadat, sosioekonomi, penduduk), jenis dan
kepadatan nyamuk sebagai penular penyakit.1,2,5,6
Di Indonesia pada tahun 1994 DHF mencapai angka incidence rate 9,7 per
100.000 penduduk. Bahkan pada tahun 2004 telah terjadi kejadian luar biasa
dengan angka kejadian sebanyak 64.000 kasus (incidence rate sebesar 29,7 per
100.000 penduduk) dengan jumlah kematian sebanyak 724 orang.1,2
Dua dari beberapa penyebab kematian utama pada pasien dengan kasus
DBD/DHF di rumah sakit karena ; pemeriksaan penyaring yang kurang ketat
terhadap pasien yang datang ke sarana pelayanan kesehatan, dan keterlambatan
pasien datang ke sarana pelayanan kesehatan. Hal ini dapat dimengerti antara lain
P a g e | 2
karena manifestasi klinik infeksi virus Dengue dapat berupa keadaan
asimptomatik maupun simptomatik yang relatif minimal hingga menimbulkan
kematian yang dapat saja mengalihkan perhatian petugas kesehatan dari
kemungkinan infeksi virus dengue.1,2
Berdasarkan banyaknya angka kejadian demam dengue terutama DHF
dengan banyaknya kemungkinan penyakit yang memiliki gejala klinik tersebut
serta diperlukan diagnosis dan pemberian terapi yang tepat dan sesuai dengan
klinisnya maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai DHF.
I.2. Rumusan Masalah
Permasalahan yang dijadikan bahasan utama makalah ini antara lain :
1. Apakah pengertian osteomielitis?
2. Apa penyebab osteomielitis?
3. Bagaimana patogenesis osteomielitis?
4. Apakah manifekstasi klinis dari osteomielitis dan bagaimana cara
menentukan derajat osteomielitis tersebut?
5. Bagaimana cara menegakkan diagnosis osteomielitis?
6. Pemeriksaan penunjang apa saja yang perlu dilakukan untuk menegakkan
diagnosis osteomielitis?
7. Apa saja diagnosis banding pada keadaan osteomielitis?
8. Apa saja terapi atau tindakan yang dilakukan untuk menangani kondisi
osteomielitis?
9. Apa saja yang dilakukan untuk mencegah terjadinya osteomielitis?
10. Apa saja komplikasi yang dapat terjadi pada pasien osteomielitis?
I.3. Tujuan
Sehubungan dengan masalah tersebut di atas, penelitian ini bertujuan :
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari pembuatan referat ini adalah untuk memberikan
pengetahuan mengenai osteomielitis kepada tenaga medis khususnya dokter
dan calon dokter
P a g e | 3
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui pengertian osteomielitis
b. Mengetahui apa saja penyebab terjadinya osteomielitis
c. Mengetahui patogenesis osteomielitis
d. Mengetahui manifestasi klinis osteomielitis serta menentukan derajat
osteomielitis
e. Mengetahui cara menegakkan diagnosis osteomielitis
f. Mengetahui pemeriksaan penunjang apa saja yang dibutuhkan untuk
menegakkan diagnosa osteomielitis
g. Mengetahui macam-macam diagnosa banding osteomielitis
h. Mengetahui terapi atau tindakan yang dilakukan pada pasien
osteomielitis
i. Mengetahui pencegahan osteomielitis
j. Mengetahui komplikasi pada paien osteomielitis
I.4. Manfaat
Menambah ilmu pengetahuan dan sebagai sumber informasi mengenai
osteomielitis, khususnya untuk mengenali patogenesis, manifestasi klinik pada
pasien osteomielitis serta cara penanganan dan prognosis yang mungkin terjadi
akibat penyakit osteomielitis tersebut.
P a g e | 4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Definisi Osteomielitis
Osteomielitis adalah suatu proses inflamasi akut ataupun kronis dari tulang
dan struktur-struktur disekitarnya akibat infeksi dari kuman kuman piogenik.
Dalam kepustakaan lain dinyatakan bahwa osteomielitis adalah radang tulang
yang disebabkan oleh organism piogenik, walaupun berbagai agen infeksi lain
juga dapat menyebabkannya. Ini dapat tetap terlokalisasi atau dapat tersebar
melalui tulang, melibatkan sumsum, korteks, jaringan kanselosa dan
periosteum.
II.2. Etiologi Osteomielitis
Biasanya mikroorganisme dapat menginfeksi tulang melalui tiga cara yaitu
melalui pembuluh darah, langsung melalui area lokal infeksi (seperti selulitis)
atau melalui trauma, termasuk iatrogenik seperti dislokasi sendi atau fiksasi
internal.
Pada balita, infeksi dapat menyebar ke sendi dan menyebabkan arthritis.
Pada anak-anak yang biasanya terinfeksi adalah tulang panjang. Abses
subperiosteal dapat terbentuk karena periosteum melekat longgar di
permukaan tulang, sedangkan pada orang dewasa tulang yang paling sering
terinfeksi adalah tulang belakang dan tulang panggul.
Tibia bagian distal, femur bagian distal, humerus, radius dan ulna bagian
proksimal dan distal, vertebra, maksila, dan mandibula merupakan tulang yang
paling beresiko untuk terkena osteomielitis karena merupakan tulang yang
banyak vaskularisasinya. Bagaimanapun, abses pada tulang dapat dipicu oleh
trauma di daerah infeksi. Infeksi dapat disebabkan oleh Staphylococcus
aureus, yang merupakan flora normal yang dapat ditemukan di kulit dan
mukosa membran.
P a g e | 5
Umur Organisme
Neonatus (lebih kecil daro 4
bulan)
S.aureus, Enterobacter, Streptococcus
group A, Streptococcus group B
Anak-anak (4 bulan – 4 tahun) S.aureus, Streptococcus group A,
Haemophilus influenza, Enterobacter
Anak-anak, remaja (4 tahun-
dewasa)
S.aureus (80%), Streptococcus group
A, H. influenza, Enterobacter
Orang dewasa S.aureus, kadang Enterobacter dan
Streptococcus
Selain bakteri, jamur dan virus juga dapat menginfeksi langsung melalui
fraktur terbuka, operasi tulang atau terkena benda yang terkontaminasi.
Osteomielitis kadang dapat merupakan komplikasi sekunder dari tuberkulosis
paru. Pada keadaan ini, bakteri biasa menyebar ke tulang melalui sistem
sirkulasi, pertama yang terinfeksi adalah sinovium (karena kadar oksigen
yang tinggi) sebelum menginfeksi tulang. Pada osteomielitis tuberkulosis,
tulang panjang dan tulang belakang merupakan satu-satunya tulang yang
terinfeksi.
Osteomielitis dapat juga disebabkan potongan besi yang mengenai tulang
pada saat pembedahan untuk memperbaiki fraktur. Spora bakteri dan jamur
dapat juga mengenai sendi tulang yang terlibat. Osteomielitis juga dapat
terjadi akibat penyebaran infeksi jaringan lunak. Infeksi tersebut meyebar ke
tulang dalam beberapa hari sampai beberapa minggu. Tipe penyebaran ini
biasa terjadi pada orang yang lebih tua. Infeksi dapat dimulai dari kerusakan
akibat trauma, terapi radiasi, kanker, atau pada kulit yang luka yang
disebabkan sedikitnya sedikit sirkulasi darah pada tulang atau pada penyakit
diabetes. Infeksi sinus, gusi atau gigi dapat meyebar ke tulang-tulang kepala.
Penyebab osteomielitis biasanya adalah Staphylococcus aureus, bakteri gram
positif seperti Streptococcus pyogenes atau S. Pneumoniae. Pada anak
dibawah 4 tahun bakteri gram negatif Haemophilus influenzae (insiden
bervariasi dari 5-50%). Bakteri gram negatif lainnya : Escherichia coli,
P a g e | 6
Pseudomonas aeruginosa, Proteus mirabilis dan Bacteroides fragilis
anaerobik biasanya menyebabkan infeksi tulang akut.
Penyebab osteomielitis pada anak-anak adalah kuman Staphylococcus
aureus (89-90%), Streptococcus (4-7%), Haemophilus influenza (2-4%),
Salmonella typhii dan Eschericia coli (1-2%). Pada anak infeksi melalui
aliran darah berasal dari abrasi kecil pada kulit, bisul, infeksi pada gigi atau
pada saat lahir dari infeksi tali pusat. Pada dewasa sumber infeksi berasal dari
kateter ureter, jarum dan semprit arteri yang tidak pada tempatnya atau kotor.
Organisme lain ditemukan pada pecandu heroin dan kelainan oportunistik
pada pasien dengan mekanisme immune defence compromised . Pasien
dengan sickle-cell disease mudah terinfeksi Salmonella.
II.3. Epidemiologi Osteomielitis
Prevalensi keseluruhan adalah 1 kasus per 5.000 anak. Prevalensi neonatus
adalah sekitar 1 kasus per 1.000 kejadian. Sedangkan kejadian pada pasien
dengan anemia sel sabit adalah sekitar 0,36%. Prevalensi osteomielitis setelah
trauma pada kaki sekitar 16% (30-40% pada pasien dengan DM). insidensi
osteomielitis vertebral adalah sekitar 2,4 kasus per 100.000 penduduk.
Osteomielitis hematogen akut banyak ditemukan pada anak-anak, anak laki-
laki lebih sering terkena dibanding perempuan (3:1). Tulang yang sering
terkena adalah tulang panjang dan tersering adalah femur, tibia, humerus,
radius, ulna, fibula. Pada dewasa infeksi hematogen biasanya paling banyak
pada tulang vertebra dibandingkan tulang panjang.
Orang dewasa terkena karena menurunnya pertahanan tubuh karena
kelemahan, penyakit ataupun obat-obatan. Diabetes juga berhubungan dengan
osteomielitis, imunosupresi sementara baik yang didapat ataupun di induksi
meningkatkan faktor predisposisi, trauma menentukan tempat infeksi,
kemungkinan disebabkan oleh hematom kecil atau terkumpulnya cairan di
tulang. Morbiditas dapat signifikan dan dapat termasuk penyebaran infeksi
lokal ke jaringan lunak yang terkait atau sendi; berevolusi menjadi infeksi
kronis, dengan rasa nyeri dan kecacatan; amputasi ekstremitas yang terlibat;
infeksi umum; atau sepsis. Sebanyak10-15% pasien dengan osteomielitis
P a g e | 7
vertebral mengembangkan temuan neurologis atau kompresi corda spinalis.
Sebanyak 30% dari pasien anak dengan osteomielitis tulang panjang dapat
berkembang menjadi trombosis vena dalam (DVT). Perkembangan DVT juga
dapat menjadi penanda adanya penyebarluasan infeksi.
Komplikasi vaskular tampaknya lebih umum dijumpai dengan
Staphylococcus Aureus yang resiten terhadap methacilin yang didapat dari
komunitas (Community-Acquired Methicillin-Resistant Staphylococcus
Aureus / CA-MRSA) dari yang sebelumnya diakui.
1. Mortalitas
Tingkat mortalitas rendah, kecuali yang berhubungan dengan sepsis atau
keberadaan kondisi medis berat yang mendasari.
2. Ras
Tidak ada peningkatan kejadian osteomielitis dicatat berdasarkan ras.
3. Jenis kelamin
Pria memiliki resiko relatif lebih tinggi, yang meningkatkan melalui masa
kanak-kanak, memuncak pada masa remaja dan jatuh ke rasio rendah pada
orang dewasa.
4. Usia
Secara umum, osteomielitis memiliki distribusi usia bimodal.
Osteomielitis akut hematogenous merupakan suatu penyakit primer pada
anak. Trauma langsung dan fokus osteomielitis berdekatan lebih sering
terjadi pada orang dewasa dan remaja dari pada anak. Osteomielitis
vertebral lebih sering pada orang tua dari 45 tahun.
P a g e | 8
II.4. Patogenesis Osteomielitis
Infeksi dalam sistem muskuloskeletal dapat berkembang melalui beberapa
cara. Kuman dapat masuk ke dalam tubuh melalui luka penetrasi langsung,
melalui penyebaran hematogen dari situs infeksi didekatnya ataupun dari
struktur lain yang jauh, atau selama pembedahan dimana jaringan tubuh
terpapar dengan lingkungan sekitarnya.
Osteomielitis hematogen adalah penyakit masa kanak-kanak yang
biasanya timbul antara usia 5 dan 15 tahun.Ujung metafisis tulang panjang
merupakan tempat predileksi untuk osteomielitis hematogen. Diperkirakan
bahwa end-artery dari pembuluh darah yang menutrisinya bermuara pada
P a g e | 9
vena-vena sinusoidal yang berukuran jauh lebih besar, sehingga
menyebabkan terjadinya aliran darah yang lambat dan berturbulensi pada
tempat ini. Kondisi ini mempredisposisikan bakteri untuk bermigrasi melalu
celah pada endotel dan melekat pada matriks tulang. Selain itu, rendahnya
tekanan oksigen pada daerah ini juga akan menurunkan aktivitas fagositik
dari sel darah putih. Dengan maturasi, ada osifikasi total lempeng fiseal dan
ciri aliran darah yang lamban tidak ada lagi. Sehingga osteomielitis
hematogen pada orang dewasa merupakn suatu kejadian yang jarang terjadi.
Infeksi hematogen ini akan menyebabkan terjadinya trombosis pembuluh
darah lokal yang pada akhirnya menciptakan suatu area nekrosis avaskular
yang kemudian berkembang menjadi abses. Akumulasi pus dan peningkatan
tekanan lokal akan menyebarkan pus hingga ke korteks melalui sistem Havers
dan kanal Volkmann hingga terkumpul dibawah periosteum menimbulkan
rasa nyeri lokalisata di atas daerah infeksi. Abses subperiosteal kemudian
akan menstimulasi pembentukan involukrum periosteal (fase kronis). Apabila
pus keluar dari korteks, pus tersebut akan dapat menembus soft tissues
disekitarnya hingga ke permukaan kulit, membentuk suatu sinus drainase.
Faktor-faktor sistemik yang dapat mempengaruhi perjalanan klinis
osteomielitis termasuk diabetes mellitus, immunosupresan, penyakit
imundefisiensi, malnutrisi, gangguan fungsi hati dan ginjal, hipoksia kronik,
dan usia tua. Sedangkan faktor-faktor lokal adalah penyakit vaskular perifer,
penyakit stasis vena, limfedema kronik, arteritis, neuropati, dan penggunaan
rokok.
P a g e | 10
II.5. Klasifikasi Osteomielitis
Beberapa sistem klasifikasi telah digunakan untuk mendeskripsikan
ostemielitis. Sistem tradisional membagi infeksi tulang menurut durasi dari
timbulnya gejala : akut, subakut, dan kronik. Osteomielitis akut diidentifikasi
dengan adanya onset penyakit dalam 7-14 hari. Infeksi akut umumnya
berhubungan dengan proses hematogen pada anak. Namun, pada dewasa juga
dapat berkembang infeksi hematogen akut khususnya setelah pemasangan
prosthesa dan sebagainya.
P a g e | 11
Durasi dari osteomielitis subakut adalah antara 14 hari sampai 3 bulan.
Sedangkan osteomielitis kronik merupakan infeksi tulang yang perjalanan
klinisnya terjadi lebih dari 3 bulan. Kondisi ini berhubungan dengan adanya
nekrosis tulang pada episentral yang disebut sekuester yang dibungkus
involukrum.
Sistem klasifikasi lainnya dikembangkan oleh Waldvogel yang
mengkategorisasikan infeksi muskuloskeletal berdasarkan etiologi dan
kronisitasnya : hematogen, penyebaran kontinyu (dengan atau tanpa penyakit
vaskular) dan kronik. Penyebaran infeksi hematogen dan kontinyu dapat
bersifat akut meskipun penyebaran kontinyu berhubungan dengan adanya
trauma atau infeksi lokal jaringan lunak yang sudah ada sebelumnya seperti
ulkus diabetikum.
Cierny-Mader mengembangkan suatu sistem staging untuk osteomielitis
yang diklasifikasikan berdasarkan penyebaran anatomis dari infeksi dan
status fisiologis dari penderitanya. Stadium 1 – medular, stadium 2 – korteks
superfisial, stadium 3 – medular dan kortikal yang terlokalisasi, dan stadium
4 – medular dan kortikal difus.
II.6. Manifestasi Klinis Osteomielitis
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik, atau
dapat berupa demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue
atau sindrom syok dengue (SSD). 1,5,6
Pada umumnya pasien mengalami fase demam 2-7 hari, yang diikuti oleh
fase kritis selam 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan
tetapi mempunyai risiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan
tidak adekuat. 1,5,6
P a g e | 12
II.7. Pemeriksaan penunjang DHF
II.7.1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien
tersangka demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin,
hematokrit, jumlah trombosit dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya
limfositosis relative disertai gambaran limfosit plasma biru. 1,5,6
Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture)
ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reserve
Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih
rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibody spesifik
terhadap dengue berupa antibody total, IgM maupun IgG. 1,5,6
Parameter Laboratoris yang dapat diperiksa antara lain :
a Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui
limfositosis relatif (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit
plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah total leukosit yang pada fase
syok akan meningkat.
b Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.
Gambar 2.4
P a g e | 13
c Hematokrit: Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya
peningkatan hematokrit ≥ 20% dari hematokrit awal, umumnya
dimulai pada hari ke-3 demam.
d Hemostasis: Dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer,
atau FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan
pembekuan darah.
e Protein/albumin: Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran
plasma.
f SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase): dapat meningkat.
g Ureum, Kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal.
h Elektrolit: sebagai parameter pemantauan pemberian cairan.
i Golongan darah: dan cross macth (uji cocok serasi): bila akan
diberikan transfusi darah atau komponen darah.
j Imuno serologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap
dengue. IgM: terdeksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-
3, menghilang setelah 60-90 hari. IgG: pada infeksi primer, IgG mulai
terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi
hari ke-2.
k Uji HI: Dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat
pulang dari perawatan, uji ini digunakan untuk kepentingan surveilans.
l NS1: Antigen NS 1 dapat dideteksi pada awal demam hari pertama
sampai hari ke delapan. Sensitivitas antigen NS1 berkisar 63% - 93,4%
dengan spesifisitas 100% sama tingginya dengan spesifisitas gold
standard kultur virus. Hasil negative antigen NS1 tidak menyingkirkan
adanya infeksi virus dengue.
P a g e | 14
II.7.2. Pemeriksaan radiologis
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks
kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat
dijumpai pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya
dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi badan sebelah
kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan
USG.1,5,6
II.8. Diagnosis DHF
Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari),
timbul gejala prodormal yang tidak khas seperti : nyeri kepala, nyeri tulang
belakang dan perasaan lelah. 1,5,6
Gambar 2.5
P a g e | 15
II.8.1. Demam Dengue (DD)
Merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan dua
atau lebih manifestasi klinis sebagai berikut:
a. Nyeri kepala
b. Nyeri retro-orbital
c. Mialgia / artralgia
d. Ruam kulit
e. Manifestasi perdarahan (petekie atau uji bending positif)
f. Leukopenia
g. Pemeriksaan serologi dengue positif, yang ditemukan pasien DD/DBD
yang sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama.
II.8.2. Demam Berdarah Dengue (DBD)
Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua
hal ini di bawah ini dipenuhi :
a. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.
b. Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut :
a) Uji bendung positif
b) Petekie, ekimosis, atau purpura
c) Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau
perdarahan dari tempat lain
d) Hematemesis atau melena
e) Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul)
f) Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran
plasma) sebagai berikut :
Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai
dengan umur dan jenis kelamin.
Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
P a g e | 16
Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau
hipoproteinemia.
Dari keterangan di atas terlihat bahwa perbedaan utama antara DD
dan DBD adalah pada DBD ditemukan adanya kebocoran plasma. (WHO,
1997)
II.9. Diagnosis Banding DHF
Diagnosis banding perlu dipertimbangkan bilamana terdapat kesesuaian
klinis dengan demam tifoid, campak, influenza, chikungunya, Idiophatic
Trombocytopenia Purpura (ITP) dan leptospirosis. 1,5,6
Sindrom Syok Dengue (SSD)
Seluruh kriteria di atas untuk DBD disertai kegagalan sirkulasi dengan
manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (≤ 20 mmHg),
hipotensi dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin dan lembab serta
gelisah.
Tabel 1. Perbandingan diagnosa penunjang
P a g e | 17
II.10. Derajat penyakit DHF
Untuk menentukan penatalaksanaan pasien infeksi virus dengue, perlu
diketahui klasifikasi derajat penyakit seperti tertera pada tabel. 1,5,6
II.11. Penatalaksanaan DHF
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demem dengue, prinsip utamanya
adalah terapi simtomatik dan suportif. Dengan terapi suportif dan simtomatik
yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 1%, seperti: 1,5,6
1. Demam Dengue dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase demam,
pasien dianjurkan : 5
a. Tirah baring, selama masih demam.
b. Obat antipiretik atau kompres hangat apabila diperlukan.
c. Obat analgetik atau sedative ringan.
d. Pemberian cairan dan elektrolit per oral.
Tabel. 2.2
P a g e | 18
e. Monitor suhu, trombosit dan hematokrit
f. Kontrol setiap hari sampai demam turun
2. Demam Berdarah Dengue ( DBD ) :
a. Tidak berbeda dengan Demam Dengue, bersifat simtomatik dan suportif
serta penggantian volume plasma.
b. Bila pasien mengalami kesulitan dalam makan masukan nutrisi dengan
NGT atau cairan intravena untuk mencegah dehidrasi dan
hemokonsentrasi berat.
c. Transfusi trombosit bila terjadi penurunan trombosit yang significant.
d. Pemantauan tanda-tanda vital setiap 2 jam dan trombosit dan hematokrit
tiap 6 jam.
Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling
penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga,
terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan,
maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi
dan hemokonsentrasi secara bermakna. 1,5,6
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama
dengan Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi
Medik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia telah menyusun protokol
penatalakanaan DBD pada pasien dewasa berdasarkan kiteria:
Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai
indikasi
Praktis dalam penatalaksanaannya
Mempertimbangkan cost effectiveness
Protokol ini terbagi dalam 5 kategori : 1,5,6
Protokol 1 : Penanganan tersangka (probable) DBD dewasa tanpa syok.
Protokol ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan
pertama pada penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat Darurat
dan juga dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat.
Seseorang yang tersangka menderita DBD Unit Gawat Darurat dilakukan
pemeriksaan hemoglobin (Hb), Hematokrit (Ht), dan trombosit, bila :
P a g e | 19
Hb, Ht, dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000,
pasien dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke
poliklinik dengan waktu 24 jam berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb,
Ht, leukosit dan trombosit tiap 24 jam) atau bila keadaan penderita
memburuk segera kembali ke Unit Gawat Darurat.
Hb, Ht normal tetapi trombosit < 100.000 dianjurkan untuk dirawat
Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk
dirawat.
Protokol 2 : Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat
Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa
syok maka di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti
rumus berikut ini :
Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan, sesuai rumus berikut :
1500 + {20 x (BB dalam kg – 20)}
Contoh volume rumatan untuk BB 55 kg: 1500 + {20 X (55-20)} = 2700 ml.
Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, tiap 24 jam :
Bila Hb, Ht, meningkat 10-20% dan trombosit <100.000 jumlah
pemberian cairan tetap seperti rumus di atas tetapi pemantauan Hb, Ht,
trombo dilakukan tiap 12 jam.
Gambar 2.6. protokol 1 penatalaksanaan
P a g e | 20
Bila Hb, Ht meningkat > 20% dan trombosit <100.000 maka pemberian
cairan sesuai dengan protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan
Ht>20%.
Protokol 3 : Penatalaksaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%
Meningkatnya Ht > 20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit
cairan sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah
dengan memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Pasien
kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang
ditandai dengan tanda-tanda hematokrit turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah
stabil, produksi urin meningkat maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 5
ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila
keadaan tetap menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dikurangi
menjadi 3ml/kgBB/jam. Bila dalam pemantauan keadaan tetap membaik maka
pemberian cairan dapat dihentikan 24-48 jam kemudian.
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/kgBB/jam tadi
keadaan tetap tidak membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi
meningkat, tekanan nadi menurun < 20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita
harus menaikkan jumlah cairan infus menjadi 10ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian
dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan menunjukkan perbaikan maka
jumlah cairan dikurangi menjadi 5ml/kgBB/jam tetapi bila keadaan tidak
Gambar 2.7. protokol 2 penatalaksanaan
P a g e | 21
menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dinaikkan menjadi
15ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisinya menjadi memburuk
dan didapatkan tanda-tanda syok maka pasien ditangani seuai dengan protokol
tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka
pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan awal.
Protokol 4 : Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa
Perdarahan spontan dan massif pada penderita DBD dewasa adalah:
perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan
Gambar 2.8. protokol 3 penatalaksanaan
P a g e | 22
tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau
hematoskesia), perdarahan saluran kencing (hematuria), perdarahan otak atau
perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam.
Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap seperti
keadaan DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan
dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb,Ht, dan
thrombosis serta hemostasis harus segera dilakukan dengan pemeriksaan Hb, Ht,
dan tromboit sebaiknya dilakukan tiap 4-6 jam.
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris
didapatkan tanda-tanda koagulasi intravascular diseminata (KID). Transfusi
komponen darah diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan
defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan aPTT yang memanjang), PRC
diberikan bila nilai Hb kurang dari 10g/dl. Transfusi trombosit hanya diberikan
pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan massif dengan jumlah trombosit
< 100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.
Gambar 2.9.
P a g e | 23
Protokol 5 : Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada dewasa
Bila kita dihadapkan dengan Sindrom Syok Dengue (SSD) maka hal
pertama yang harus diingat adalah bahwa renjatan harus diatasi oleh karena itu
penggantian cairan intravascular yang hilang harus segera dilakukan. Angka
kematian SSD sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DBD tanpa
renjatan, dan renjatan dapat terjadi karena keterlambatan penderita DBD
mendapatkan pertolongan/pengobatan, penatalaksaan yang tidak tepat termasuk
kurangnya kewaspadaan terhadap tanda-tanda renjatan dini, dan penatalaksanaan
renjatan yang tidak adekuat.
Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan.
Selain resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit.
Pemeriksaan-pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer
lengkap (DPL), hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida,
serta ureum dan kreatinin.
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml.kgBB dan
dievaluasi setelah 15-20 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan
tekanan darah sistolik 100mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi
nadi lebih dari 100 kali per menit dengan volume cukup, akral teraba hangat, dan
kulit tidak pucat serta dieresis 0,5-1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi
menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit kemudian keadaan tetap
stabil pemberian cairan menjadi 3ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam setelah renjatan
teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup maka
pemberian cairan preinfus harus dihentikan (karena jika reabsorpsi cairan plasma
yang mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit,
cairan infus terus diberijan maka keadaan hipervolemi, edema paru atau gagal
jantung dapat terjadi).
Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus
dilakukan terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadi renjatan (karena
selain proses patogenesis penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid
hanya sekitar 20% saja yang menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam saat
pemberian). Oleh karena itu, untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi
dengan baik, diperlukan pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan
P a g e | 24
darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung dan nafas, pembesaran hati, nyeri tekan
daerah hipokondrium kanan dan epigastrik, serta jumlah dieresis. Diuresis
diusahakan 2ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar hemoglobin, hematokrit dan
jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk pemantauan perjalanan penyakit.
Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi,
maka pemberian cairan krostaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB,
dan kemudain dievaluasi setelah 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi,
maka perhatikan nilai hematokrit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti
perembesan plasma masih berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan
pilihan, tetapi bila nilai hematokrit menurun, berarti telah terjadi perdarahan maka
penderita diberikan transfusi darah segar 10 ml/kgBB dan dapat diulang sesuai
kebutuhan.
Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui
sifat-sifat cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan tetesan
cepat 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan masih
belum teratasi maka untuk memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan
kateter vena sentral, dan pemberian koloid dapat ditambah hingga jumlah
maksimum 30ml/kgBB (maksimal 1-1,5 μ/hari) dengan sasaran tekanan vena
sentral 15-18 cmH2O. Bila keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan dan
dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia,
KID, infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral penderita sesuai dengan target
terapi renjatan tetap belum teratasi maka dapat diberikan obat
inotropik/vasopresor.
P a g e | 25
Gambar 2.10. Protokol 5 petalakasanaan
P a g e | 26
II.12. Pencegahan DHF5,6
Memutuskan rantai penularan dengan cara :
a. Menggunakan insektisida
- Malathion (adultisida) dengan pengasapan
- Temephos (larvasida) dimasukkan ketempat penampungan
air bersih
b. Tanpa insektisida
- Menguras bak mandi dan tempat penampungan air bersih
minimal 1 kali seminggu
- Menutup tempat penampungan air rapat-rapat
- Membersihkan halaman rumah dari kaleng-kaleng bekas,
botol-botol pecah dan benda lain yang memungkinkan nyamuk
bersarang
II.13. Komplikasi DHF5,6
1. Dengue Shock Syndrome (DSS)
Disebabkan oleh reaksi imunologis sebagai berikut :
- Secara in vivo dan in vitro : sel fagosit mononuclear merupakan
tempat utama infeksi dengue.
- Non neutralizing antibody yang bebas dalam sirkulasi dan yang
melekat pada sel bertindak sebagai reseptor spesifik virus dengue
di permukaan sel fagosit.
- Virus dengue bereplikasi dalam sel itu. Jumlah sel yang terinfeksi
menentukan beratnya penyakit.
- Peninggian permeabilitas vaskuler dan DIC terjadi karena
dilepasnya mediator-mediator dari sel fagosit mononuklear yang
terinfeksi.
Pada akhir fase demam keadaan penderita harus lebih diwaspadai
karena dapat terjadi gangguan sirkulasi yang di tandai dengan keringat
banyak, gelisah, nadi cepat, lemah, dan akral dingin.
P a g e | 27
2. Ensefalopati
Gejala ensefalopati berupa demam dingin, dengan atau tanpa kejang,
muntah, dan gangguan kesadaran berupa somnolen, sopor, atau koma.
Patogenesis ensefalopati ialah terjadinya edema otak sebagai akibat
meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah otak. Renjatan dan
mekanisme regulasi menimbulkan hipoksia otak serta penimbunan produk
metabolisme seperti asam laktat, asam amino dan asam lemak, dan
perdarahan mikrokapiler jaringan otak.
3. DIC
Dapat terjadi pada penderita DHF baik dengan renjatan maupun tidak.
Aktivasi factor XII yang disebabkan karena adanya kompleks virus
antibodi dalam peredaran darah sehingga terjadi pembekuan intravaskuler
yang meluas. Dalam proses aktivasi ini, plasminogen akan menjadi
plasmin yang berperan dalam pembentukan anafilatoksin dan
penghancuran fibrin menjadi fibrin degradation product (FDP). Disamping
itu aktivasi ini akan merangsang sistem kinin yang berperan dalam proses
meningkatnya permeabilitas vaskuler.
4. Efusi pleura
Pada DHF berat terjadinya syok dan hemokonsentrasi. Meningginya
hematokrit membuktikan bahwa syok terjadi akibat bocornya plasma ke
jaringan ekstravaskuler sehingga menyebabkan timbunan cairan pada
pleura yang dibuktikan dengan foto toraks.
5. Komplikasi lain : perdarahan massif GI tract, kelainan ginjal, miokarditis,
lesi pada mata, orchitis, ooforitis, keratitis, retinitis, penurunan kesadaran
dan meningismus.
P a g e | 28
BAB III
PENUTUP
III.1. Kesimpulan
Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengue
(DBD) merupakan penyakit infeksi tropik endemik di Indonesia. DHF disebabkan
virus dengue yang termauk kelompok Flavivirus. Terdiri dari 4 serotipe DEN 1-4
dan yang paling dominan adalah DEN-3. Terdapat tiga faktor yang memegang
peranan pada penularan infeksi virus dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor
perantara. Infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya
tahan tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Dengan
demikian infeksi virus dapat menyebabkan keadaan yang bermacam-macam mulai
dari tanpa gejala (asimtomatik), demam ringan yang tidak spesifik
(undifferentiated febrile illness), Demam Dengue (DD), atau bentuk yang lebih
berat yaitu Demam Berdarah Dengue (DBD), dan Sindrom Syok Dengue (SSD).
Sehingga diperlukan anamnesa, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan tambahan
berupa pemeriksaan laboratorium serta pemeriksaan radiologi yang lengkap dan
observasi yang ketat pada pasien agar dapat dilakukan penatalaksanaan yang cepat
dan sesuai pada pasien agar tidak terjadi komplikasi atau bahkan terjadi kematian.
III.2. Saran
Dengan adanya referat yang berjudul DHF ini, diharapkan kepada para
calon dokter, dokter dan tenaga medis lainnya untuk dapat lebih mengenali
mengenai DHF baik mengenai tanda dan gejala dari DHF maupun penanganan
yang dilakukan untuk mengatasi keadaan tersebut sesuai dengan kriteria klinis
yang tepat dan sesuai pada pasien tersebut, hal ini sangat penting dilakukan
mengingat risiko perburukan keadaan yang sangat cepat pada penderita dengan
DHF serta penentuan dalam penanganan yang membutuhkan tindakan yang cepat
dan tepat.
P a g e | 29
DAFTAR PUSTAKA
1. Suhendro, Nainggolam L, dkk. Demam Berdarah Dengue, Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I edisi 4, Dep. Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta,
2009.
2. WHO. Dengue, Dengue Haemorrhagic Fever and Dengue Shock Syndrome
in the Context of the Integrated Management of Childhood Illness. 2005.
[Online] Available from http://whqlibdoc.who.int/hq/2005/WHO_
FCH_CAH_05.13_eng.pdf {Accessed 24 Februari 2013]
3. Gandahusada S, Ilahude HD, Pribadi W. Parasitologi kedokteran. Edisi 2.
Balai Penerbit FK-UI, Jakarta, 1993
4. Interim Guidelines on Fluid Management of Dengue fever and Dengue
Hemorrhagic Fever. 2010. [Online] Available from
http://www.pps.org.ph/images/forms_pdf/dengue_guidelines%20revised
%20feb08.pdf [Accessed 21 Februari 2013]
5. Rezeki S, Soegijanto S, Waryadi S. Tata Laksana Demam Berdarah Dengue
di Indonesia.. Departemen Kesehatan. 2004.
6. Depkes, Pedoman Tatalaksana Klinis Infeksi Dengue di Sarana Pelayanan
Kesehatan, Departemen Kesehatan; 2005.
7. Chuansumrit, Ampaiwan. Pathophysiology and Management of Dengue
Hemorrhagic Fever. 2005. [Online] Available from
http://www.niceindia.net/knowledge_base/Dengue/Chuansumrit_2007.pdf
[Accessed 21 Februari 2013]