bab 2 tinjauan pustakaeprints.umm.ac.id/53574/3/bab 2.pdf · padat yang menyandarkan ginjal dan...
TRANSCRIPT
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ginjal
Ginjal adalah organ utama ekskresi obat. Urin merupakan jalur utama
ekskresi bahan-bahan yang sudah tidak dibutuhkan oleh tubuh, karenanya
ginjal mempunyai volume aliran darah yang tinggi untuk mengkonsentrasikan
toksikan (Mangindaan, Berata dan Setiasih, 2014).
2.1.1 Anatomi
(Drake RL, Vogl AW, Mitchell AW, 2014)
Gambar 2.1
Letak Ginjal
Bentuk ginjal seperti kacang dan terletak di rongga retroperitonial bagian
atas. Organ ini terletak pada kedua sisi kolumna vertebralis tepatnya di
vertebrae thorakalis ke 12 sampai vertebrae lumbalis ke 3, posisi ginjal
kanan sedikit lebih rendah dibanding ginjal sebelah kiri disebabkan oleh
adanya organ hepar yang letaknya di atas ginjal. Terdapat kelenjar adrenal
(kelenjar suprarenal) di atas ginjal. Ginjal orang dewasa berukuran antara
7
12-13 cm, lebarnya ± 6 cm dan beratnya antara 120-150 gram (Marieb E.N,
Hoehn K.N, 2015).
(Drake RL, Vogl AW, Mitchell AW, 2014)
Gambar 2.2
Anatomi Ginjal
Ginjal memiliki korteks di bagian luar dan mengandung jutaan alat
penyaring yang disebut nefron. Setiap nefron terdiri dari glomerulus dan
tubulus. Di bagian dalam ginjal terdapat medula, terdiri dari beberapa
piramida ginjal dengan basis menghadap korteks dan apeks yang menonjol
ke medial. Piramida ginjal berfungsi untuk mengumpulkan hasil ekskresi
yang kemudian disalurkan ke tubulus kolektivus menuju pelvis ginjal.
Permukaan medial ginjal yang cekung terdapat hilus, yang merupakan
tempat keluar-masuknya vasa renalis dan tempat keluarnya pelvis renalis
(Tortora, Derrickson, 2011; Moore & Anne, 2012).
Ginjal mempunyai tiga lapis jaringan penyokong yang mengelilinginya,
yaitu (Marieb E.N, Hoehn K.N, 2015) :
8
1. Fascia renalis, merupakan lapisan terluar berupa jaringan ikat fibrosa
padat yang menyandarkan ginjal dan kelenjar adrenal ke struktur
sekitarnya.
2. Perirenal fat capsule, merupakan massa lemak yang mengelilingi ginjal
dan bantalannya terhadap pukulan.
3. Fibrous capsule, merupakan kapsul transparan yang mencegah infeksi
di daerah sekitarnya menyebar ke ginjal.
(Martini FH, Nath JL, Bartholomew EF, 2012)
Gambar 2.3
Mikroskopis Ginjal
Aliran darah ginjal berasal dari arteri renalis, merupakan cabang
langsung dari aorta abdominalis, sedangkan yang mengalirkan darah balik
adalah vena renalis, cabang vena kava inferior (Marieb E.N, Hoehn K.N,
2015). Sistem arteri ginjal adalah end arteries yaitu arteri yang tidak
mempunyai anastomosis dengan cabang–cabang dari arteri lain, sehingga
apabila terdapat kerusakan salah satu cabang arteri, berakibat timbulnya
iskemia/nekrosis pada daerah yang dilayaninya (Purnomo, 2012). Asal
persyarafan ginjal dari pleksus simpatikus renalis dan tersebar sepanjang
cabang-cabang arteri vena renalis. Serabut aferen yang berjalan melalui
9
pleksus renalis masuk ke medulla spinalis melalui Nervus Torakalis X, XI,
dan XII (Netter, Frank H, 2014).
2.1.2 Fisiologi
Ginjal memiliki beberapa fungsi, yaitu ekskresi produk sisa metabolit
tubuh, mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh, pengaturan
tekanan arteri, pengaturan keseimbangan air dan elektrolit, pengaturan
osmolalitas cairan tubuh dan konsentrasi elektrolit, memelihara
keseimbangan asam basa, dan ekskresi senyawa asing seperti obat-obatan
(Sherwood, 2013).
Organ ini melakukan fungsi yang paling penting dengan cara menyaring
plasma dan memisahkan zat dari filtrat dengan kecepatan yang bervariasi,
bergantung pada kebutuhan tubuh. Akhirnya ginjal membuang zat-zat yang
tidak diinginkan dari filtrat dengan cara mengekskresikannya ke dalam urin,
sementara zat yang dibutuhkan dikembalikan ke dalam darah (Price SA,
Wilson LM, 2012).
(Sherwood, 2013)
Gambar 2.4
Nefron
10
Terdapat tiga proses dasar yang terlibat dalam pembentukan urin yakni
filtrasi glomerulus, reabsorbsi tubulus, dan sekresi tubulus. Proses pertama
dimulai dengan filtrasi cairan yang hampir bebas protein dari kapiler
glomerulus ke kapsula Bowman. Semua zat dalam plasma kecuali protein
difiltrasi secara bebas sehingga konsentrasinya pada filtrat glomerulus dalam
kapsula Bowman hampir sama dengan plasma (Sherwood, 2013). Filtrat
glomerulus yang terbentuk di korpuskel ginjal akan masuk ke dalam
Tubulus Kontortus Proksimal (TKP). Di TKP, akan terjadi absorpsi seluruh
glukosa dan asam amino, ±85% NaCl, dan air dari filtrat selain fosfat dan
kalsium. Mekanisme absorpsi ini terjadi secara transport aktif yang
melibatkan pompa Na+/K+ ATPase (Junqueira, Carneiro , 2007).
Sewaktu filtrat mengalir melewati tubulus, bahan-bahan yang bermanfaat
bagi tubuh dikembalikan ke plasma kapiler peritubulus. Perpindahan selektif
bahan-bahan dari bagian dalam tubulus (lumen tubulus) ke dalam darah ini
disebut reabsorbsi tubulus. Bahan-bahan yang direabsorbsi tidak keluar dari
tubuh melalui urin tetapi dibawa oleh kapiler peritubular ke sistem vena dan
kemudian ke jantung untuk diresikulasi. Dari 180 liter plasma yang disaring
per hari, sekitar 178,5 liter direabsorbsi. Sisa 1,5 liter di tubulus mengalir ke
dalam pelvis ginjal untuk dikeluarkan sebagai urin (Guyton AC dan Hall JE,
2011).
Proses ketiga adalah sekresi tubulus, pemindahan selektif bahan-bahan
dari kapiler peritubulus ke dalam lumen tubulus. Hanya sekitar 20% dari
plasma yang mengalir melalui kapiler glomerulus difiltrasi ke dalam kapsul
Bowman, 80% sisanya mengalir melalui arteriol eferen ke dalam kapiler
11
peritubulus. Sekresi tubulus adalah mekanisme untuk mengeluarkan bahan
dari plasma secara cepat dengan mengekstraksi sejumlah bahan tertentu dari
80% plasma yang tidak terfiltrasi di kapiler peritubulus dan
memindahkannya ke bahan yang sudah ada di tubulus sebagai hasil filtrasi
(Sherwood, 2013).
Ekskresi urin merupakan proses pengeluaran bahan-bahan dari tubuh ke
dalam urin, merupakan hasil dari tiga proses pertama di atas. Semua
konstituen plasma yang terfiltrasi atau disekresikan tetapi tidak direabsorbsi
akan tetap di tubulus dan mengalir ke pelvis ginjal untuk dieksresikan
sebagai urin lalu akan dikeluarkan dari tubuh. Sedangkan semua bahan yang
difiltrasi dan kemudian direabsorbsi atau tidak difiltrasi sama sekali, akan
masuk ke darah vena dari kapiler peritubulus dan dipertahankan di dalam
tubuh (Sherwood, 2013).
(Sherwood, 2013)
Gambar 2.5
Proses-proses Dasar di Ginjal
12
2.1.3 Histologi
(Eroschenko, 2015)
Gambar 2. 6
Penampang Histologi Ginjal Normal
Ginjal dibagi menjadi korteks di sebelah luar yang berwarna gelap dan
medula di sebelah dalam yang berwarna terang. Korteks dilapisi oleh
jaringan ikat regular padat, kapsul ginjal. Korteks mengandung tubulus
kontortus proksimal dan distal, glomerulus serta medullary rays. Medula
terdiri dari beberapa piramid ginjal. Bagian basal piramid terletak dekat
Tubulus
Proksimal
Duktus
koligens
Glomerulus
Kapsul
Ginjal
Basis
Piramidis
Arteri dan Vena
Arkuata
Arteri Interlobularis
Vena Interlobularis
Papila
Renalis
Epitel
Silindris
Kaliks minor dan
epitel transisional
Jaringan ikat dan
adiposa sinus renalis
13
dengan korteks dan apeksnya membentuk papila ginjal menonjol ke dalam
struktur berbentuk corong, kaliks minor. Terdapat arteri dan vena
interlobaris pada sinus renalis yang merupakan cabang dari arteri dan vena
renalis. Pembuluh darah ini masuk ke ginjal menjadi arteri dan vena arkuata
melengkung di bagian dasar piramid kemudian membentuk pembuluh darah
interlobularis yang berjalan secara radial ke dalam korteks ginjal dan
nantinya membentuk kapiler glomerulus (Eroschenko, 2015).
2.1.3.1 Korpuskulum Ginjal
Korpuskulum ginjal terdiri dari glomerulus, berkas kapiler yang
terbentuk dari arteriol aferen glomerulus ditopang oleh jaringan ikat
halus dan dilingkupi oleh kapsul glomerulus (Bowman). Lapisan
internal (viseral) kapsul menyelubungi kapiler glomerulus dengan epitel
termodifikasi yang disebut podosit. Lapisan parietal/eksternal
membentuk permukaan luar kapsul tersebut yang merupakan epitel
skuamosa. Setiap korpuskel ginjal memiliki kutub vaskular, tempat
masuknya arteriol aferen dan keluarnya arteriol eferen, serta memiliki
kutub urin, tempat tubulus kontortus proksimal berasal. Epitel
skuamosa kutub urin berubah menjadi epitel selapis kuboid tubulus
proksimal (Mescher, 2012).
14
(Eroschenko, 2015)
Gambar 2.7
Korpuskulum dan Tubulus Ginjal
2.1.3.2 Tubulus Kontortus Proksimal
Tubulus kontortus proksimal mempunyai lumen kecil tak rata dan
satu lapisan sel kuboid dengan sitoplasma granular eosinofilik. Sel-sel
tersebut dilapisi oleh brush-border yang berguna untuk reabsobsi tetapi
tidak selalu terlihat dalam sediaan. Batas-batas sel di tubulus kontortus
proksimal juga tidak jelas (Eroschenko, 2015).
2.1.3.3 Gelung Nefron (Ansa Henle)
Lanjutan dari tubulus kontortus proksimal berbentuk tubulus lurus
yang lebih pendek dan memasuki medula dan menjadi gelung nefron.
Gelung ini adalah struktur yang berbentuk U dengan segmen desenden
dan segmen asenden, keduanya terdiri atas selapis epitel kuboid di
dekat korteks, tetapi berupa epitel skuamosa di dalam medula (Mescher,
2012).
Di kutub vaskular, terdapat sel epitelioid termodifikasi dengan
granula sitoplasma menggantikan sel otot polos di tunika media arteriol
Tubulus
Proksimal
Tubulus
Distal
Glomerolus
15
aferen glomerulus. Sel-sel ini adalah sel jukstaglomerulus (Eroschenko,
2015).
2.1.3.4 Tubulus Kontortus Distal
Tubulus kontortus distal memiliki perbedaan dengan tubulus
kontortus proksimal, yakni tidak memiliki brush border dan ukuran
yang lebih kecil. Sel-sel pada tubulus yang lebih kecil ini membuat
jumlah sel dan intinya tampak lebih banyak di dinding epitelnya
(Eroschenko, 2015).
Tubulus ini mengadakan kontak dengan kutub vaskular di korpuskel
ginjal sehingga mengakibatkan terjadinya modifikasi dari Tubulus
Kontortus Distal (TKD) yaitu bentuknya menjadi silindris dan intinya
berhimpitan. Bagian dengan susunan sel-sel yang lebih padat dan lebih
gelap di tubulus kontortus distal ini dinamai makula densa (Junqueira,
Carneiro , 2007).
2.1.3.5 Tubulus Duktus Koligens
Tubulus koligens yang lebih kecil dilapisi oleh epitel kuboid. Di
sepanjang perjalanannya, tubulus dan koligens terdiri atas sel–sel yang
tampak pucat dan batas sel yang jelas (Eroschenko, 2015).
2.1.3.6 Interstitium Ginjal
Celah yang terdapat di antara tubulus uriniferus, dan pembuluh
darah dan limfe disebut interstitium ginjal. Celah ini berada di ruang
kecil di korteks ginjal yang melebar hingga medula. Pada bagian ini
terdapat sedikit jaringan fibroblas dan sedikit serat kolagen. Di dalam
medula ini terdapat substansi dasar berhidrasi tinggi yang kaya dengan
16
proteoglikan, serta terdapat sel-sel sekresi yang disebut sel interstitial
(Junqueira, Carneiro , 2007).
(Eroschenko, 2015)
Gambar 2.8
Korteks ginjal
2.2 Tuberkulosis
2.2.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) merupakan suatu penyakit infeksi menular yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis, dapat menyerang
berbagai organ, terutama paru-paru. Penyakit ini bila tidak diobati atau
pengobatannya tidak tuntas dapat menimbulkan komplikasi berbahaya
hingga kematian (Kementerian Kesehatan RI, 2016).
2.2.2 Multi Drug Resistant Tuberkulosis (MDR TB)
Multi Drug Resistant Tuberkulosis (MDR TB) adalah resistan terhadap
Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan (Kementrian Kesehatan
RI, 2014). Secara umum resistensi terhadap obat tuberkulosis dibagi menjadi
(PDPI, 2006) :
Resistensi primer adalah penderita sebelumnya belum pernah
mendapat pengobatan TB
17
Resistensi inisial adalah ketika kita tidak tahu pasti apakah
penderitanya sudah pernah ada riwayat pengobatan sebelumnya atau
tidak
Resistensi sekunder adalah bila penderita telah punya riwayat
pengobatan sebelumnya.
Resistensi obat tuberkulosis dapat terjadi karena beberapa hal yaitu
pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis, pemberian obat
yang tidak teratur, penyediaan obat yang kurang baik di suatu daerah
ataupun karena penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak
dilakukan secara baik sehingga mengganggu bioavailabilitas obat,
pemakaian obat antituberkulosis cukup lama sehingga menimbulkan
kebosanan (PDPI, 2006).
Pilihan paduan OAT MDR saat ini adalah paduan standar (standardized
treatment), yang pada permulaan pengobatan akan diberikan kepada semua
pasien TB MDR. Pemakaian minimal 6 bulan fase intensif dengan paduan
obat pirazinamid, etambutol, kanamisin, levofloksasin, etionamid, sikloserin
dan dilanjutkan 18 bulan fase lanjutan dengan paduan obat pirazinamid,
etambutol, levofloksasin, etionamid, sikloserin.
(Kementerian Kesehatan RI, 2014)
6 Z - (E) – Kn – Lfx – Eto – Cs / 18 Z - (E) – Lfx – Eto - Cs
18
Tabel 2.1 Langkah Terapi Multi Drug Resistant
Tahapan Langkah Terapi Keterangan
Langkah 1 Menggunakan OAT lini
pertama yang biasa
digunakan
Pirazinamid
Etambutol
Memulai dengan OAT lini
pertama yang masih sensitif atau
hampir pasti efektif
Langkah 2 Ditambah dengan kelompok
2 OAT injeksi
Kanamisin (atau amikasin,
kapreomisin, streptomisin)
Penambahan dilakukan
berdasarkan uji kepekaan dan
riwayat pengobatan sebelumnya
Langkah 3 Ditambah dengan kelompok
3:
Florokuinolon
Levofloksasin
Moksifloksasin
Ofloksasin
Penambahan florokuinolon
berdasarkan uji kepekaan obat dan
riwayat pengobatan sebelumnya.
Pada kasus dengan resisten
ofloksasin atau TB XDR dapat
menggunakan florokuinolon
generasi yang lebih baru tetapi
bukan sebagai obat andalan.
Langkah 4 Pilih salah satu atau lebih
obat kelompok 4:
Bakteriostatik oral lini kedua
asam para-aminosalisilat
(PAS), sikloserin (atau
terizadone), etionamid (atau
protionamid)
Tambahkan obat kelompok 4
sampai tercukupi kebutuhan
minimal 4 macam obat yang
efektif atau hampir pasti efektif
Pilihan obat berdasarkan riwayat
pengobatan sebelumnya, efek
samping dan biaya
Uji kepekaan obat bukan
merupakan standar untuk
pemilihan obat kelompok ini
Langkah 5 Pertimbangkan penambahan
obat kelompok 5 : obat-
obatan yang belum jelas
diketahui efektivitasnya
dalam terapi MDR-TB
Klofazamin
Linezolid
Amoksisilin/klavulanat
Tiosetazon
Imipenem/silastatin
Isoniazid dosis tinggi
Klaritromisin
Penambahan obat kelompok 5
hendaknya berkonsultasi lebih
dahulu dengan ahli MDR-TB dan
dilakukan bila kebutuhan minimal
4 macam obat belum terpenuhi
dari 4 langkah sebelumnya.
Penambahan obat kelompok 5
sebaiknya lebih dari 1, sekurang-
kurangnya 2 macam.
Uji kepekaan obat bukan
merupakan standar pemilihan
obat.
Obat ini tidak diberikan pada
terapi MDR-TB. (Wiratmoko, 2015).
19
2.3 Obat Anti Tuberkulosis
Klasifikasi obat anti tuberkulosis untuk Multi Drug Resistant TB (MDR-
TB). Kriteria utama berdasarkan data, dibagi menjadi 3 kelompok OAT (PDPI,
2006) :
1. Obat dengan aktivitas bakterisid: aminoglikosid, tionamid dan pirazinamid
yang bekerja pada pH asam
2. Obat dengan aktivitas bakterisid rendah: florokuinolon
3. Obat dengan aktivitas bakteriostatik: etambutol, cycloserin dan PAS
Tabel 2.2 Dosis Obat Anti Tuberkulosis
Obat Dosis Dewasa Lazim
Isoniazid (INH) 300 mg/hari
Pirazinamid (Z) 25 mg/kg/hari
Etambutol (E) 15 – 25 mg/kg/hari
Sikloserin (Cs) 500 – 1000 mg/hari
Levofloksasin (Lfx) 500 mg/hari
Etionamid (Eto) 500 – 750 mg/hari
(Katzung, Bertram G, 2012)
2.3.1 Pirazinamid
Pirazinamid merupakan analog pirazin sintetik dari nikotinamida dan
bersifat bakterisid kuat untuk bakteri tahan asam yang berada dalam sel
makrofag (Katzung, Bertram G, 2012).
Pirazinamid diabsorbsi baik dari saluran GI dan terdistribusi luas di
seluruh tubuh, termasuk SSP, paru, dan hati. Waktu paruh plasma sebesar 9-
10 jam pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Obat diekskresikan
20
terutama melalui filtrasi glomerulus. Pirazinamid dihidrolisis menjadi asam
pirazinoat dan kemudian dihidroksi menjadi asam 5-hidroksipirazinoat
(Hardman JG, Limbird LE, 2012).
Dosis harian untuk dewasa adalam 15-30 mg/kg untuk dosis tunggal.
Dosis maksimum adalah 2 g/hari, tanpa memperhatikan berat badan
(Hardman JG, Limbird LE, 2012). Efek samping yang ditimbulkan
pirazinamid adalah luka hepatik. Efek merugikan lainnya mencakup atralgia,
mual dan muntah, disuria, rasa tidak enak, dan demam (Istiantoro YH &
Setiabudy R, 2009).
2.3.2 Etambutol
Etambutol bersifat bakteriostatik dan spesifik untuk sebagian besar galur
M. tuberculosis . Etambutol menghambat arabinosyl transferase, suatu
enzim yang penting untuk sintesis dinding sel arabinogalactan
mikobakterium. Ketika diabsorbsi pada pemberian oral, etambutol
didistribusikan secara baik menuju ke seluruh tubuh. Baik obat induk
maupun metabolit dieksresikan oleh filtrasi glomerulus dan sekresi tubulus.
Dosis obat biasanya 15 mg/kgBB, diberikan sehari sekali (Katzung, Bertram
G, 2012). Efek samping yang paling penting adalah neuritis optik, yang
menyebabkan penurunan ketajaman penglihatan dan kehilangan kemampuan
untuk membedakan warna merah dan hijau (Hardman JG, Limbird LE,
2012).
2.3.3 Levofloksasin
Levofloksasin merupakan obat golongan floroquinolon yang memiliki
mekanisme kerja dengan menghambat enzim DNA-gyrase, yang
21
mengakibatkan kerusakan rantai pada DNA. Dosis levofloksasin adalah 500-
700 mg sekali sehari (Katzung, Bertram G, 2012).
Levofloksasin mengalami absorbsi yang cepat dengan pemberian secara
oral, konsentrasi maksimum dalam plasma dicapai dalam waktu 1 sampai 2
jam. Didistribusikan secara luas ke seluruh jaringan tubuh, termasuk
jaringan mukosa bronkial dan paru-paru. Metabolisme obat ini terbatas dan
diekskresikan terutama melalui urin dalam bentuk tidak berubah. Setelah
pemberian secara oral, hampir 87% dari dosis yang diberikan, ditemukan
dalam bentuk tidak berubah di urin dalam waktu 48 jam, kurang dari 4%
ditemukan di feses dalam waktu 72 jam (Sweetman, Sean C., 2005).
2.4 Penggunaan OAT terhadap gambaran Histopatologi sel Ginjal
Ginjal merupakan salah satu organ tubuh yang vital, karena berfungsi
mengekskresikan sisa-sisa metabolisme tubuh. Peningkatan ekskresi sisa-
sisa metabolit dapat menyebabkan kerusakan ginjal, karena keracunan yang
diakibatkan kontak dengan bahan-bahan tersebut. Kerusakan jaringan ini
bila dibiarkan dapat mengakibatkan gagal ginjal yang berakhir dengan
kematian (Wilson, 2005).
Seringkali ginjal mengalami kerusakan akibat paparan berbagai macam
bahan toksik dan penggunaan obat-obatan kimia maupun herbal dalam dosis
yang berlebihan (Sarjadi, 2003). Secara histologis, ginjal terdapat empat
komponen yakni glomerulus, tubulus, interstitial dan pembuluh darah.
Pola kerusakan ginjal akibat induksi obat bergantung dimana kerusakan
yang terkena pada empat komponen tersebut. Namun, sebagian besar
22
diketahui bahwa kerusakan ginjal akibat induksi obat yakni interstitial ginjal
dan tubulus proksimal (Markowitz & Perazella, 2005). Pada umumnya,
proses kekebalan humoral dan seluler berperan dalam kerusakan jaringan
sela (interstitial). Mekanisme kerusakan jaringan melibatkan efektor yang
terdiri dari aktivasi komplemen dan kemotaksis sel pengakibat (Yedid L.,
Sulina YW., Mansyur A., 2010).
Obat-obatan dengan efek nefrotoksik langsung dapat merangsang
terjadinya cedera ginjal melalui berbagai mekanisme. Mekanisme tersering
adalah obat-obatan yang diekskresikan oleh ginjal langsung memberikan
efek toksik kepada tubulus ginjal, menyebabkan cedera seluler atau
menyebabkan terjadinya inflamasi di interstitial ginjal. Sebagian besar studi
menunjukkan bahwa adanya infiltrasi sel radang pada interstitial disebabkan
oleh reaksi hipersensitivitas terhadap antigen yang sebagian besar adalah
obat (Kodner & Kudrimoti, 2003).
Infiltrasi sel radang interstitial dapat disebabkan oleh berbagai obat yang
berbeda, namun antibiotik golongan quinolon seperti levofloksasin sebagian
besar diketahui sebagai obat yang dianggap sebagai antigen tersering dari
terjadinya infiltrasi sel radang interstitial (Markowitz & Perazella, 2005;
Chatzikyrkou et al., 2010). Etambutol juga diketahui sebagai salah satu obat
yang dapat menyebabkan infiltrasi sel radang pada ginjal (Thaha, 2012).
Pirazinamid, etambutol serta levofloksasin mampu meningkatkan ROS yang
mana dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada sel ginjal (Talla V. &
Veerareddy PR., 2013; Dunn Alvarez, Zhang et al., 2015). Pirazinamid dan
levofloksasin merupakan antibiotik yang bersifat bakterisidal. Secara umum
23
antibiotik yang bersifat bakterisidal dapat meningkatkan ROS dengan
melibatkan siklus metabolisme asam trikarboksilat atau siklus krebs yang
menyebabkan deplesi NADH. Adanya deplesi NADH juga akan
mengakibatkan deplesi GSH, yaitu antioksidan dalam tubuh yang
merupakan mekanisme proteksi dalam menetralkan radikal bebas.
Penurunan GSH dapat menyebabkan peningkatan ROS intraseluler.
(Vatansever, Melo, Avci et al, 2013;Dykens, Will, 2008;Rubin et al., 2005).
Kerusakan sel ginjal bisa disebabkan oleh adanya peningkatan stres
oksidatif yang dikarenakan adanya peningkatan Reactive Oxygen Species
(ROS), Reactive Nitrogen Species (RNS), dan penurunan kadar antioksidan
di dalam tubuh (Palipoch, 2013). Peningkatan ROS dapat berkontribusi pada
proses kerusakan ginjal baik secara langsung maupun tidak langsung melalui
peningkatan inflamasi. Inflamasi dapat memberikan umpan balik untuk
meningkatkan pembentukan ROS atau merangsang produksi sitokin dan
faktor pertumbuhan (Hosohata, 2016). Sitokin adalah polipeptida yang
mengatur banyak proses biologis penting bertindak sebagai mediator
peradangan dan respon kekebalan tubuh. Sitokin berhubungan erat dengan
perbaikan jaringan yang rusak dan berpotensi sebagai biomarker
nefrotoksisitas karena mereka terlibat dalam kerusakan dan perbaikan (Finn
& Porter, 2003; Kim & Moon, 2012). Selain itu, ROS juga memodulasi
produksi sel T helper (Th) 2 dan produksi IL-4 (Yarosz EL., Chang CH.,
2018). Aktivasi sel Th 2 yang akan memproduksi sitokin pro inflamasi
seperti IL-4 dan IL-5, aktivasi makrofag, sel mast dan respon eosinofil
24
nantinya akan menimbulkan infiltrasi sel radang pada interstitial (Krishnan
M., Perazella MA., 2015).
Menurut Krishnan & Perazella (2015), obat menjadi immunogenik
bergantung kemampuan setiap obat tersebut dalam berpartisipasi pada
beberapa mekanisme seperti:
1) Obat diikat oleh molekul besar seperti protein untuk menjadi substansi
aktif yang bersifat antigenik. Protein tersebut berada di sirkulasi
maupun di jaringan seperti ginjal. Proses pengikatan obat oleh protein
tersebut disebut proses haptenisisasi. Adanya ikatan tersebut mampu
menstimulasi respon dari sel limfosit T. Proses haptenisasi ini dapat
terjadi di sirkulasi dan ikatan substansi aktif yang bersifat antigenik ini
dapat terperangkap di ginjal selama proses filtrasi.
2) Dalam beberapa kasus, obat dapat bertindak sebagai prohapten dan
membutuhkan metabolisme suatu senyawa reaktif yang kemudian dapat
diikat oleh protein spesifik untuk mengalami proses haptenisasi.
Tubulus proksimal diketahui mampu menghidrolisis dan
memetabolisme antigen eksogen seperti obat dan menyajikannya ke
APC melalui MHC.
3) Beberapa obat juga dapat bersifat neo-antigen yang menyebabkan efek
toksik secara langsung yang dapat merusak struktur interstitial ginjal.
4) Obat juga mampu memiliki kemampuan sebagai Antigen-mimicry yakni
obat meniru antigen endogen yang terdapat pada Renal Tubular Epitel
atau interstitium dan menginduksi respon imun yang akan diarahkan
pada sumber antigen.
25
5) Obat dapat menstimulasi produksi antibodi dan disimpan serta beredar
di interstitial sebagai kompleks antigen-antibodi.
(International Society of Nephrology, 2001)
Gambar 2.9
Reaksi Obat dalam Induksi Inflamasi Interstitial
Adanya beberapa reaksi obat yang mampu bersifat imunogenik nantinya
akan merangsang APC melalui MHC yang berada di interstitial ginjal
sebagai respon apabila terdapat adanya suatu antigen eksogen maupun
endogen atau cidera pada ginjal. Ketika antigen telah ditangkap oleh APC
melalui MHC akan dibawa ke KGB regional untuk dipresentasikan ke sel
limfosit T naif terutama CD4+ dan akhirnya melepaskan sitokin pro
inflamasi, makrofag dan sel inflamasi non spesifik lain setelah itu akan
dibawa pada sumber antigen ataupun area cidera dan timbul reaksi infiltrasi
sel radang di interstitial (Krishnan M., Perazella MA., 2015).
Obat golongan floroquinolon menyebabkan cedera ginjal akut melalui
reaksi hipersensitivitas. Golongan floroquinolon yang digunakan salah
satunya ialah levofloksasin. Selain itu dari bukti-bukti sebelumnya
26
didapatkan bahwasanya penggunaan floroquinolon dapat menyebabkan
granulomatous interstitial nephritis, yang ditandai dengan adanya inflitrasi
histiosit dan limfosit T ke dalam jaringan ginjal dan akan membentuk
granuloma (Bird, Etminan, Brophy et al., 2013).
2.4.1 Reactive Oxygen Species (ROS)
Reactive Oxygen Species (ROS) adalah senyawa pengoksidasi turunan
oksigen yang bersifat sangat reaktif yang terdiri atas kelompok radikal bebas
dan kelompok nonradikal. Kelompok radikal bebas antara lain anion
superoksida (O2-), radikal hidroksil (HO
-), dan radikal peroksil (RO2).
Sedangkan nonradikal, peroksida hidrogen (H2O2) dan peroksida organik
(ROOH) (Halliwell & Whiteman, 2004). ROS dapat menyebabkan
kerusakan pada semua makromolekul utama dalam sel tubuh dan dapat
berujung pada peroksidasi lipid. Salah satu akibat signifikan dari peroksidasi
lipid adalah peningkatan permeabilitas membran yang mengarah pada influx
Ca2+ serta ion lainnya dan kemudian terjadi pembengkakan sel (Devlin,
2011). Untuk menghindari kerusakan yang disebabkan oleh ROS, seperti
peroksidasi lipid (LPO), mekanisme yang bisa digunakan ialah mengurangi
dan atau mencegah terbentuknya ROS (Rawi S, Mourad I, Arafa N, et al,
2011).
2.4.2 Kerusakan Histopatologi sel Ginjal
Beberapa tanda kerusakan pada ginjal salah satunya dapat dilihat melalui
adanya infiltrasi sel radang interstitial. Infiltrasi sel radang yaitu penyusupan
sel atau masuknya sel-sel radang dari luar jaringan. Secara mikroskopik,
jaringan infiltrasi sel seluruhnya ditandai dengan adanya sel radang
27
berwarna keunguan (Himawan, 1992 dalam Sugihartini N., Fajri MA.,
2016).
Pada paparan toksik akut, hanya daerah glomerulus saja yang mengalami
infiltrasi sel radang, bila paparan toksik berlangsung lama, maka infiltrasi
sel radang akan difus dan menyebar sampai pada tubulus ginjal. Infiltrasi sel
limfosit dan neutrofil menunjukkan radang ginjal ringan. Infiltrasi sel
limfosit dan neutrofil yang difus dan menyebar sampai tubulus ginjal
menunjukkan radang ginjal berat (Muljadi, Givano, Fauzi et al., 2010).
(Seely JC, Brix A, 2014)
Gambar 2.10
Infiltrasi Sel Radang Interstitial
2.5 Mengkudu (Morinda citrifolia L.)
Mengkudu (Morinda citrifolia L.) digunakan sebagai obat tradisional yang
sangat popular di kawasan Asia Tenggara, kepulauan Pasifik dan Karibia.
Khasiat mengkudu memang belum dibuktikan secara medis, tapi secara empiris
sudah terbukti manfaatnya bagi kesehatan (Fattah, 2016). Dalam pengobatan
tradisional, mengkudu digunakan sebagai obat batuk, hipertensi, radang ginjal,
sembelit, kencing manis, cacar air, sakit pinggang, dan masuk angin
(Djauhariya dan Rahardjo, 2006).
28
Buah mengkudu juga terkenal sebagai antioksidan yang bermanfaat
menetralisir radikal bebas dan anti inflamasinya yang selektif menghambat
enzim cyclo-oxygenase (COX-1 dan COX-2) yang terlibat dalam kanker
payudara, usus besar dan paru-paru. Selain itu buah mengkudu dapat
digunakan sebagai terapi pencegahan penyakit infeksi oleh bakteri patogen S.
aureus karena mempunyai senyawa aktif yang bersifat sebagai anti-inflamasi
(Mufidah Z, 2013).
(Basko, 2017)
Gambar 2.11
Mengkudu (Morinda citrifolia L.)
2.5.1 Taksonomi
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheophyta
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Asteridae
29
Ordo : Rubiales
Famili : Rubiaceae
Subfamili : Rubioideae
Genus : Morinda
Spesies : Morinda citrifolia Linn
(Fattah, 2016).
2.5.2 Morfologi Mengkudu
Mengkudu merupakan tanaman dari Rubiacaae yang berasal dari Asia
Tenggara. Tanaman ini tumbuh di dataran rendah hingga pada ketinggian
1500 m. Tinggi pohon mengkudu mencapai 3-8 meter, memiliki bunga
bongkol berwarna putih. Buahnya merupakan buah majemuk, saat masih
muda berwarna hijau mengkilap dan memiliki totol-totol, dan ketika sudah
tua berwarna putih dengan bintik-bintik hitam (KMI, 2015).
2.5.3 Komposisi Buah Mengkudu
Dari skrining fitokimia yang dilakukan oleh Nagalingam, Sasikumar,
Cherian (2012) diketahui bahwa kandungan kimia yang terdapat dalam
ekstrak etanol buah mengkudu (EEBM) adalah senyawa alkaloid (xeroin),
fenolik (flavonoid), triterpen dan steroid. Ramamoorthy & Bono (2007)
memaparkan bahwa kandungan kimia dalam buah mengkudu memiliki
aktivitas antioksidan yaitu beta-karoten, asam askorbat, terpenoid, alkaloid,
beta-sitosterol, polifenol seperti flavonoid, glikosida flavon, rutin dan
30
skopoletin (Nagalingam, Sasikumar, Cherian, 2012; Ramamoorthy & Bono,
2007; Sari C Y, 2015).
(Nagalingam, Sasikumar, Cherian, 2012)
Gambar 2.12
Kandungan Kimia Buah Mengkudu
Asam askorbat yang terdapat di dalam buah mengkudu merupakan
sumber vitamin C dan antioksidan yang hebat. Antioksidan dan vitamin C
bermanfaat menetralisir radikal bebas, yaitu partikel-partikel berbahaya
yang terbentuk sebagai hasil samping proses metabolisme yang dapat
merusak materi genetik dan sistem kekebalan tubuh (Wang, 2002).
Kandungan vitamin C dalam ekstrak etanol buah mengkudu mampu
menghambat pembentukan radikal superoksida, radikal hidroksil, radikal
peroksil, oksigen singlet dan hidrogen peroksida (Kustarini, 2012).
Kandungan beta karoten dalam buah mengkudu (Morinda citrifolia)
diketahui dapat mengurangi radikal bebas oksigen dan mencegah kerusakan
oksidatif (Ali M., Kenganora M., Manjula SN., 2016).
31
Selain itu flavonoid yang terdapat di buah mengkudu memiliki sifat
antioksidan. Mekanisme dari antioksidan sendiri meliputi supresi dari
pembentukan ROS baik dengan penghambatan enzim atau dengan
mengeliminasi unsur-unsur yang terlibat dalam pembentukan ROS,
scavenging ROS, dan proteksi dari pertahanan antioksidan. Cara kerja
flavonoid dengan menghambat enzim yang terlibat pada pembentukan ROS,
seperti mikrosomal monooksigenase, glutation S-transferase, mitokondrial
suksinoksidase, NADPH oksidase (Kumar dan Pandey, 2013).
Skopoletin merupakan senyawa golongan kumarin sederhana. Senyawa
golongan kumarin memiliki efek farmakologis yang luas serta dilaporkan
memiliki aktifitas imunomodulator yang mungkin menyokong efek anti
tumor (Aldi Y, Amdani, Bakhtiar A, 2016). Senyawa skopoletin pada buah
mengkudu diduga berkontribusi sebagai agen anti – inflamasi dan
mempunyai aktivitas sebagai antioksidan (Rastini E K, Aris W M, Saifur R
M, 2010). Skopoletin dapat mempengaruhi ekspresi sitokin inflamasi
melalui penghambatan aktivasi T helper yang akan menghambat produksi
atau sekresi dari sitokin – sitokin pro inflamasi (Rastini E K, Aris W M,
Saifur R M, 2010).
2.6 Aktivitas Mengkudu sebagai Perbaikan Sel Ginjal
Buah mengkudu memiliki kandungan yang baik bagi tubuh, karbohidrat
(oligo- dan polisakarida) dan serat makanan, mikronutrien seperti vitamin C,
asam kaprilat, niacin (vitamin B3), besi, Pottasium, vitamin A, kalsium dan
natrium, skopoletin, alkaloid dan flavonoid (R Bhavani, S Nandhini, B
Rojalakshmi, et al., 2014). Kandungan flavonoid pada buah mengkudu
32
bermanfaat sebagai nefroprotektif dengan mengganggu pembentukan Reactive
Oxygen Species (ROS), diketahui bahwa peningkatan ROS akan berkontribusi
dalam kerusakan sel ginjal secara langsung maupun tidak langsung (Hosohata,
2016).
Penelitian (R Bhavani, S Nandhini, B Rojalakshmi, et al., 2014)
menyatakan bahwa ekstrak buah mengkudu (Morinda citrifolia) dapat
menurunkan serum kreatinin, protein, kalsium, oksalat, dan fosfat tikus yang
diinduksi dengan etilen glikol dan ammonium klorida. Ditinjau secara luas
flavonoid yang terkandung dalam buah mengkudu dapat memberikan efek
nefroprotektif dengan antioksidannya yang dapat meningkatkan kadar
glutathione di jaringan ginjal. Penelitian lain menyebutkan bahwa ekstrak buah
mengkudu dapat memberikan efek nefroprotektif pada pemberian obat
gentamisin dengan mekanisme antioksidannya yang menghambat lipid
peroksidasi dan juga mempertahankan glutathione (GSH) intrasel (Pai PG,
Shoeb A, Gokul P, et al., 2011). Flavonoid juga memiliki peran utama dalam
pengobatan toksisitas ginjal yang disebabkan oleh pemakaian gentamisin dan
siklosporin dalam waktu lama (Dahal A, Mulukuri S, 2015).
Senyawa skopoletin pada buah mengkudu diduga berkontribusi sebagai
agen anti – inflamasi dan mempunyai aktivitas sebagai antioksidan (Rastini E
K, Aris W M, Saifur R M, 2010). Dari penelitian sebelumnya, disebutkan
bahwa kandungan skopoletin dapat menghambat degranulasi mastosit mencit.
Senyawa skopoletin ini juga telah terbukti dapat menghambat reaksi anafilaksis
kutan aktif pada mencit putih jantan dan menekan jumlah IL – 4, IL – 10 dan
IgE pada keadaan alergi (Aldi Y, Amdani, Bakhtiar A, 2016).
33
2.7 Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Tikus putih (Rattus norvegicus) adalah spesies mamalia yang sangat mudah
beradaptasi dan cenderung tahan terhadap berbagai macam perlakuan saat
penelitian. Klasifikasi tikus putih sebagai berikut (Koolhaas, 2010) :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Subordo : Odontoceti
Familia : Muridae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus
(Koolhaas, 2010)
Gambar 2.13
Rattus norvegicus Galur Wistar