bab 2 tinjauan pustaka 2.1. tinjauan umum tentang …eprints.umm.ac.id/39783/3/bab 2.pdfcm. pangkal...
TRANSCRIPT
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Umum tentang Daun Mengkudu
Mengkudu tergolong dalam famili Rubiaceae, merupakan tanaman obat
yang berasal dari Asia Tenggara dan cukup dikenal masyarakat di Indonesia.
Hal ini terbukti dengan adanya sebutan tersendiri untuk tanaman ini dari
berbagai daerah di Indonesia. Di pulau Sumatera mengkudu mendapat
julukan yang berbeda oleh berbagai suku atau daerah disana, yaitu keumudu
(Aceh), leodu (Enggano), bakudu (Batak). Di pulau jawa mengkudu disebut
dengan pace (Jawa Tengah), cangkudu (Sunda) dan kuduk (madura) (Sjabana
& Bahalawan, 2002).
Asal usul mengkudu tidak terlepas dari penduduk Asia Tenggara yang
bermigrasi dan mendarat di kepulauan Polinesia, mereka hanya membawa
tanaman dan hewan yang dianggap penting untuk hidup di tempat baru.
Tanaman-tanaman tersebut memiliki banyak kegunaan, antara lain untuk
bahan pakaian, bangunan, makanan dan obat-obatan, lima jenis tanaman
pangan bangsa Polinesia yaitu talas, sukun, pisang, ubi rambat, dan tebu.
Mengkudu yang dalam bahasa setempat disebut "Noni" adalah salah satu
jenis tanaman obat penting yang turut dibawa. Bangsa Polinesia
memanfaatkan "Noni" untuk mengobati berbagai jenis penyakit, diantaranya:
tumor, luka, penyakit kulit, gangguan pernapasan, demam dan penyakit usia
lanjut (Waha, 2008)
Pengetahuan tentang pengobatan menggunakan Mengkudu diwariskan
dari generasi ke generasi melalui nyanyian dan cerita rakyat. Tabib Polinesia,
5
Kahuma adalah orang yang memegang peranan penting dalam dunia
pengobatan tradisional bangsa Polinesia dan selalu menggunakan Mengkudu
dalam resep pengobatannya. Gambar daun mengkudu dapat dilihat pada
gambar 2.1 di bawah ini.
(Waha, 2008)
Gambar 2.1
Daun mengkudu
2.2. Taksonomi dan Morfologi
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiosperma
Kelas : Dicotyledone
Sub kelas : Sympetalae
Bangsa : Rubiales
Suku : Rubiaceae
Genus : Morinda
6
Spesies : Morinda Citrifolia L
Tanaman mengkudu tumbuh di dataran rendah pada ketinggian 1500 m.
Tinggi pohon mengkudu mencapai 3-8 m, memiliki bunga bonggol berwarna
putih. Buahnya hijau mengilap dan memilki bintik bintik (Agoes, 2010).
Mengkudu memiliki daun yang tebal serta mengilap, letaknya berhadap
hadapan, ukurannya besar besar, tebal dan tunggal. Bentuk daun mengkudu
jorong-lanset, tepi daun rata, ujung lancip pendek, berukuran 15-50 x 5-17
cm. Pangkal daunnya berbentuk pasak-pendek, urat daun menyirip, berwarna
hijau mengilap, tidak berbulu dan berukuran 0,5-2,5 cm. Ukuran daun
penumpu bervariasi, berbentuk segitiga lebar. Daun mengkudu dapat
dimakan sebagai sayuran. Nilai gizinya tinggi karena banyak mengandung
vitamin A (Agoes, 2010).
Mengkudu memiliki bunga berwarna putih, majemuk, bentuk bongkol,
bertangkai, diketiak daun, benang sari lima, melekat pada mahkota, tangkai
sari berambut, tangkai bakal buah panjang 3-5 cm, hijau kekuningan, panjang
sekitar 1 cm. Biji mengkudu berbentuk segitinga, keras, berwarna, berwarna
coklat kemerahan. Akar mengkudu berwarna coklat muda dan berjenis
tunggang (Sjabana & Bahalawan, 2002).
Buah mengkudu berbentuk bulat lonjong sebesar telur ayam bahkan ada
yang berdiameter 7,5-10cm. Permukaan buah seperti terbagi dalam sel
poligonal (segi banyak) yang berbintik-bintik dan berkutil. Mulanya buah
berwarna hijau, menjelang masak menjadi putih kekuningan. Setelah matang
warnanya putih transparan dan lunak. Daging buah tersusun dari buah buah
batu berbentuk piramida, berwarna cokelat merah. Setelah lunak, daging buah
7
mengkudu banyak mengandung air yang aromanya seperti keju busuk. Bau
tersebut muncul karena pencampuran antara asam kaprik dan asam kaproat
(senyawa lipid atau lemak yang gugusan molekulnya mudah menguap,
menjadi bersifat seperti minyak atsiri) yang berbau tengik dan asam kaprilat
yang rasanya tidak enak (Agoes, 2010).
2.3. Kandungan yang terdapat di Daun Mengkudu
2.3.1 Saponin
Saponin dalam tanaman herbal merupakan zat aktif yang dapat
membantu proses penyembuhan luka. Saponin akan merubah ekspresi
ekspresi TGF-β pada fibrolas. Perubahan ekspresi ini berupa peningkatan
sensitifitas fibroblas terhadap TGF-β. Dengan meningkatnya sensitifitas,
maka fibroblas dapat memproduksi kolagen dengan jumlah lebih banyak.
Namun reseptor TGF-β memilki sifat bifasik. Pada konsentrasi saponin
tinggi yaitu 500 µg/ml sensitifitas reseptor TGF-β akan menurun. Akan
tetapi efek ini bukan merupakan efek toksik (Kanzaki, et al., 1998).
2.3.2 Tanin
Tanin merupakan suatu zat aktif yang dapat membantu proses
penyembuhan luka. Tanin akan meningkatkan angiotensinogen yang
akan mempercepat proses pembentukan vaskularisasi di lokasi luka.
Tanin juga memiliki sifat antibakteri. Tanin dapat menghambat
pertumbuhan Staphylococcus aureus dan Klebsiela pneumonia lebih baik
dari pada penicilin dan cefoperazone sodium. Kedua bakteri yang banyak
pada kulit ini akan mengeluarkan enzim proteolitik yang akan mencerna
serabut kolagen kulit yang terpapar. Aktivitas enzim proteolitik ini akan
8
menghasilkan jaringan nekrotik yang akan memperburuk kondisi luka.
Sehingga tanin dengan efek antibakteri akan menciptakan lingkungan
luka yang lebih baik (Li, et al., 2011).
2.3.3 Alkaloid
Alkaloid dikenal untuk meningkatkan aktivitas penyembuhan luka
karena aktivitas antioksidan kuat dan kekuatan radikal yang kuat.
Reactive oxygen spscies (ROS) adalah bagian vital penyembuhan dan
dapat memicu berbagai jalur penyembuhan luka yang menguntungkan
seperti vascular endothelial growth factor (VEGF) pada keratinocytes.
Selama fase inflamasi penyembuhan neutrofil dan makrofag tertarik ke
jaringan yang terluka oleh berbagai faktor kemotaktik. Mereka
menemukan, mengidentifikasi, melakukan fagositosis, membunuh dan
mencerna mikroorganisme dan menghilangkan puing-puing luka melalui
aktivitas "respiratory burst " dan fagositosis. Konsentrasi tinggi ROS
dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang parah dan bahkan
menyebabkan neoplastic transformasi, yang selanjutnya menghambat
proses penyembuhan dengan menyebabkan kerusakan pada seluler
membran, DNA, protein dan lipid juga. Alkaloid, antioksidan kuat, dapat
mencegah konsentrasi ROS tinggi dan mempercepat proses
penyembuhan luka (Nayak, et al., 2013)
Alkaloid juga dapat berperan sebagai antibacterial dan antifungi.
Aktivitas alkaloid dalam melawan bakteri yaitu dapat menghambat
perkembangan bakteri gram positive dan bakteri gram negative
9
(Maatalah, et al., 2012). Sterilitas luka dapat terjaga sehingga proses
penyembuhan luka juga dapat berjalan dengan baik (Agra, et al., 2013)
2.3.4 Flavonoid
Flavonoid merupakan sekelompok senyawa fenol yang tersebar luas
di alam. Senyawa flavonoid mengandung cincin benzena yang aromatik.
Sebagin besar senyawa flavonoid alam ditemukan dalam bentuk
glikosida. Glikosida tersusun atas ikatan gugus hidroksil flavonoid
dengan gula. Glikosida dapat mengandung lebih dari satu molekul
flavonoid. Glikosida dari tumbuhan larut dalam air dan sedikit larut
dalam pelarut organik seperti eter, benzen, kloroform dan aseton (Zhao,
et al., 2007).
Tanaman herbal yang mengandung flavonoid tersebar luas di alam
dan banyak yang dikonsumsi manusia. Beberapa uji klinis telah
menunjukkan asosiasi positif antara asupan flavonoid dan kesehatan
manusia. Prooksidan dari flavonoid dapat digunakan dalam pengobatan
kanker (Zhao, et al., 2007).
Flavonoid akan membantu dalam pengaturan aliran limfatik.
Flavonoid membantu mengatur mikrosirkulasi disekitar luka, yang
mencegah getah bening dan darah terkumpul didaerah yang terluka.
Sehingga odema disekitar luka akan berkurang serta tersedianya sel
darah merah dan putih yang segar ke daerah yang rusak dalam jumlah
yang cukup (Hasanoglu, et al., 2001).
Prostaglandin, biosintesis oksida nitrat yang terlibat dalam
peradangan, isoform of inducible Nitric Oxide Synthase (iNOS) dan
10
siklooksigenase (COX-2) bertanggung jawab untuk produksi sejumlah
besar mediator. Pada tingkat molekuler, flavonoid juga dapat
menghambat sintesis prostaglandin, yang memberikan kontribusi untuk
antiinflamsi, sehingga menciptakan lingkungan yang mendukung
perbaikan jaringan (Hasanoglu, et al., 2001).
2.3.5.Triterpenoid
Triterpenoid adalah senyawa metabolid sekunder yang kerangka
karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan diturunkan dari
hidrokarbon C 30 asiklik , yaitu skualena. Senyawa ini berbentuk siklik
atau asiklik dan sering memiliki gugus alkohol, aldehida, atau asam
karboksilat. Sebagian besar senyawa Triterpenoid mempunyai kegiatan
fisiologi yang menonjol sehingga dalam kehidupan sehari-hari banyak
dipergunakan sebagai obat seperti untuk pengobatan penyakit diabetes,
gangguan menstuasi, patukan ular, gangguan kulit, kerusakan hati dan
malaria. Sedang bagi tumbuhan yang mengandung senyawa
Triterpenoid terdapat nilai ekologi karena senyawa ini bekerja sebagai
anti fungus, insektisida, anti pemangsa, anti bakteri dan anti virus
(Widiyati, 2006).
Triterpenoid memiliki sifat astringent dan antimikroba Sifat ini
bertanggung jawab terhadap peningkatan kontraksi luka dan epitelisasi.
Peningkatan kontraksi luka dan sifat antimikroba membuat kondisi tetap
steril akan membuat penyembuhan luka menjadi lebih cepat dan lebih
baik (Dash & Murthy, 2011)
11
2.4. Efek Ekstrak Daun Mengkudu pada Luka Laserasi
Banyak unsur penyusun ekstrak daun mengkudu yang dipercaya dapat
meningkatkan penyembuhan dan penutupan luka yang lebih cepat dan
mempercepat pematangan sel fibroblas. Saponin, misalnya, memiliki sifat
antibakteri dan dapat menurunkan risiko infeksi. Tanin dikenal sebagai zat
pembawa dan dapat membantu dengan haemostasis setelah cedera, namun
tidak secara khusus mempengaruhi fibroblas pada fase pemodelan ulang.
flavonoid yang ditemukan pada daun mengkudu seperti rutin, quercetin, and
kaempferol memiliki sifat antioksidan, yang menghilangkan radikal bebas dan
oksigen yang tidak berpasangan yang dapat menyebabkan kerusakan sel.
Flavonoid juga dapat menghambat ekspresi TNF-α, interleukin-1(IL-1),
interleukin-6 (IL-6), and interleukin-10 (IL-10), dan mediator inflamasi
seperti nitric oxide (NO) da prostaglandin E2 (PGE2) pada makrofag, yang
juga dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan karena itu memperlambat
proses perbaikan luka termasuk memperpanjang fase proliferasi
(Saraphanchotiwitthaya & Sripalakit, 2015); (Sabirin & Yuslianti, 2016).
Kandungan seperti triterpenoid dan alkaloid dari daun mengkudu juga
memiliki peran dalam proses penyembuhan luka. Aktivitas triterpenoid dan
alkaloid sebagai senyawa untuk penyembuhan luka karena terdapat zat yang
bersifat astringen dan anti mikroba, yang mempengaruhi kontraksi luka dan
peningkatan laju epitelisasi. Beberapa penelitian dengan bahan tanaman lain
yang mengandung kandungan kimia yang sama menunjukkan aktivitas
penyembuhan luka pada tikus (Nayak, et al., 2009).
12
Zat zat yang terkandung dalam ekstrak daun mengkudu akan
mempengaruhi reseptor yang terlibat dalam penyembuhan luka seperti
platelet-derived growth factor (PDGF) dan reseptor adenosin A2A. Reseptor
PDGF dan A2A menunjukkan aktivitas penyembuhan luka pada konsentrasi
yang sesuai. Aktivasi reseptor A2A menyebabkan peningkatan aktivitas dari
penyembuhan luka, sehingga penyembuhan luka lebih cepat daripada aktivasi
resepotor PDGF. Aktivasi reseptor A2A terjadi ketika penyembuhan luka
laserasi dilakukan dengan motode ekstrak dari daun mengkudu dan reseptor
PDGF teraktivasi ketika penyembuhan luka dilakukan dengan metode
simplisia/penumbukan (Palu, et al., 2010).
2.5. Tinjauan umum tentang kulit
2.5.1. Anatomi Kulit
Kulit merupakan begian terluar dari tubuh manusia yang memilki
berat 16% dari berat badan tubuh dan memiliki luas permukaan pada
orang dewasa antara 1,2 hingga 2,3 m2 . kulit terdiri dari lapisan
epidermis dengan epitel pipih berlapis pada bagian terluar, lapisan
dermis yang terdiri dari jaringan pengikat dan lapisan dan lapisan
subkutan yang terdiri dari jaringan addiposa (Eroschenko, 2010).
a. Epidermis
Lapisan ini memilki ketebalan 75 sampai 100 mikrometer
pada kulit tipis dan 400 hingga 600 mikrometer pada kuli tebal.
Lapisan epidermis terdiri dari beberapa lapisan keratinosit yang
jika diurutkan dari yang terluar adalah stratum korneum, stratum
lusidum, stratum granulosum, stratum spinosum dan stratum
13
basalis. Tiap tiap lapisan memiliki fungsi dan karakteristiknya
masing masing. Secara umum, lapisan epidermis mudah
terkelupas dan mudah berganti sehingga berfungsi sebagai
pelindung lapisan lapisan dibawahnya dari iritasi mekanis
maupun kimia (Junquera & Carneiro, 2007).
b. Dermis
Bagian dermis dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
1) Stratum papilare dermis
Stratum papilare dermis secara mikroskopik berbentuk
papil-papil yang menjorok ke arah epidermis. Penyusun
utama lapisan ini adalah jaringan ikat longggar reguler. Pada
bagian ini ditemukan reseptor taktil corpusculum meisner.
Perlekatan pada epidermis diperkuat oleh adanya anchoring
fiber (Junquera & Carneiro, 2007).
2) Stratum retikulare
Lapisan di bawah stratum papilare tersusun oleh jaringan
ikat padat yang lebih tebal daripada stratum papilare. Jumlah
sel yang terdapat pada lapisan ini lebih sedikit. Kolagen
tersusun secara matriks ekstraseluler adalah kolagen tipe 1.
Tidak ada batas yang jelas antara stratum papilare dan
stratum retikulare. Pada bagian bawah dari stratum ini akan
menyatu dengan lapisan subkutis (Junquera & Carneiro,
2007).
14
c. Hipodermis
Hipodermis terdiri dari jaringan ikat longgar yang secara
longgar mengikat kulit ke organ di bawahnya. Secara
histologis, hipodermis tersusun atas fasia superfisialis dan
panikulus adiposus yang lebih tebal. Pada panikulus adiposus
ini terdapat sel sel adiposa yang jumlah dan ukuran selnya
berbeda-beda tergantung lokasi dan status gizi tubuh
(Junquera & Carneiro, 2007) .
2.6. Tinjauan umum tentang luka
2.6.1. Luka
Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh.
Keadaaan ini dapat disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul,
perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik atau gigitan hewan.
Bentuk luka bermacam macam bergantung penyebabnya, misalnya luka
sayat atau vulnus scissum disebabkan oleh benda tajam, sedangkan luka
tusuk yang disebut vulnus punctum akibat benda runcing. Luka robek,
laserasi atau vulnus laceratum merupakan luka yang tepinya tidak rata
atau compang-camping disebabkan oleh benda yang permukaannya
tidak rata. Luka lecet pada permukaan kulit akibat gesekan disebut
ekskoriasi (Sjamsuhidajat & Jong, 2010).
2.6.2. Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka kulit tanpa pertolongan dari luar berjalan secara
alami. Luka akan terisi jaringan granulasi dan lalu di tutup oleh jaringan
epitel. Penyembuhan ini disebut penyembuhan sekunder atau sanatio
15
per secundam intentionem. Cara ini biasanya memakan waktu cukup
lama dan meninggalkan parut yang kurang baik, terutama kalau lukanya
mengganga lebar. Luka akan menutup dibarengi dengan kontraksi
hebat. Bila luka hanya mengenai epidermis dan sebagian atas dermis,
terjadi penyembuhan melalui proses migrasi sel epitel dan kemudian
terjadi replikasi/mitosis epitel. Sel epitel baru ini akan mengisi
permukaan luka. Proses ini disebut epitelisasi yang juga merupakan dari
proses dari penyembuhan luka, pada penyembuhan luka jenis ini
kontraksi yang terjadi tidaklah dominan. Cara penyembuhan lain adalah
penyembuhan primer atau sanatio per primam intentionem, yang terjadi
bila luka segera diupayakan bertaut biasanya dengan bantuan jahitan
(Sjamsuhidajat & Jong, 2010).
2.3.3. Fase Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka yang dibagi dalam tiga fase, yaitu fase inflamasi
dan hemostasis, proliferasi, maturase dan remodelling, epitelisasi
(Brunicardi, et al., 2006).
2.3.3.1. Inflamasi dan Hemostasis
Fase inflamasi merupakan fase pertama proses
penyembuhan luka. Pembuluh darah yang terputus pada luka
akan menyebabkan perdarahan dan tubuh akan berusaha
menghentikannya dengan vasokonstriksi, pengerutan
pembuluh darah yang putus (retraksi) dan hemostasis.
Hemostasis terjadi karena trombosit yang keluar dari
pembuluh darah saling melengket, dan bersama dengan jala
16
fibrin yang terbentuk membekukan darah yang keluar dari
pembuluh darah. Trombosit yang berlekatan akan
berdegranulasi, melepas kemoaktratan yang menarik sel
radang, mengaktifkan fibroblast lokal dan sel endotel serta
vasokonstriktor. Sementara itu terjadi reaksi inflamasi
(Sjamsuhidajat & Jong, 2010).
Setelah hemostasis proses koagulasi akan mengaktifkan
kaskade komplemen. Sel mast dan jaringan ikat
menghasilkan serotonin dan histamin yang meningkatkan
permeabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi cairan,
penyebukan sel radang, disertai vasodilatasi setempat yang
menyebabkan odeme dan pembengkakan. Tanda dan gejala
klinik radang menjadi jelas berupa warna kemerahan karena
kapiler melebar (rubor), suhu hangat (kalor), rasa nyeri
(dolor), dan pembengkakan (tumor) (Sjamsuhidajat & Jong,
2010).
Proses hemostasis dan inflamasi terjadi dengan mulai
dilepaskannya chemotactic factor dari lokasi luka. Definisi
luka, dimana terjadi rusaknya integritas jaringan, yang
mengarah ke pembagian pembuluh darah dan kontak
langsung antara matriks ekstraseluler dengan platelet.
Paparan antara kolagen subendotelial dengan platelet
menyebabkan terjadinya agregasi platelet, degranulasi, dan
aktivasi dari kaskade koagulasi. Platelet mengeluarkan
17
sejumlah bahan wound-active, seperti PDGF, TGF-β, PAF,
fibronektin, dan serotonin. Selain mencapai hemostasis,
bekuan fibrin berfungsi sebagai perancah sel inflamasi
seperti leukosit PMNs, neutrofil, dan monosit untuk
bermigrasi ke luka (Brunicardi, et al., 2006).
Infiltrasi selular setelah cedera mengalami proses
dengan urutan yang telah ditentukan. PMNs adalah sel
pertama yang menginfiltrasi lokasi luka, yang memuncak
pada 24 hingga 48 jam sejak luka timbul. Peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, pelepasan prostaglandin
lokal, dan adanya zat chemotactic seperti faktor komplemen,
IL-1, TNF-α, TGF-β, platelet faktor 4, atau semua zat dari
bakteri merangsang neutrofil bermigrasi (Brunicardi, et al.,
2006).
Peran utama dari neutrofil adalah fagositosis bakteri dan
debris jaringan. PMNs juga merupakan sumber utama sitokin
inflamasi selama fase awal, khususnya TNF-α, yang
mungkin memiliki pengaruh signifikan terhadap
angiogenesis selanjutnya dan sintesis kolagen. PMNs juga
melepaskan protease seperti collagenase, yang berpartisipasi
dalam matriks dan degradasi substansi dasar dalam fase awal
penyembuhan luka. Selain peran mereka dalam membatasi
infeksi, sel-sel ini tidak muncul untuk memainkan peran
dalam deposisi kolagen atau akuisisi kekuatan luka mekanik.
18
Sebaliknya, faktor neutrofil telah terlibat dalam menunda
penutupan luka epitel (Brunicardi, et al., 2006).
Makrofag, seperti neutrofil, berpartisipasi dalam
debridement luka melalui fagositosis dan berkontribusi untuk
stasis mikro melalui oksigen radikal dan sintesis oksida
nitrat. Fungsi makrofag yang paling penting adalah aktivasi
dan perekrutan sel lain melalui mediator seperti sitokin dan
growth factor, serta interaksi langsung dengan sel-sel dan
ICAM. Dengan melepaskan mediator seperti growth factor
TGF-β, VEGF, IGF, EGF, dan laktat, makrofag mengatur
proliferasi sel, sintesis matriks, dan angiogenesis. Makrofag
juga memainkan peran penting dalam mengatur angiogenesis
dan deposisi matriks dan remodeling (Brunicardi, et al.,
2006).
Limfosit-T adalah sel inflamasi lain yang secara rutin
menginvasi luka. Dengan jumlah lebih kecil dari makrofag,
limfosit-T mengalami puncaknya sekitar 1 minggu post-
injury dan sebagai jembatan transmisi dari fase inflamasi ke
fase proliferasi penyembuhan. Meskipun diketahui penting
untuk penyembuhan luka, peran limfosit dalam
penyembuhan luka tidak sepenuhnya diketahui. Data
signifikan mendukung hipotesis bahwa limfosit T
memainkan peran aktif dalam modulasi lingkungan luka.
Penipisan dari limfosit-T menurunkan kekuatan dan konten
19
kolagen, sementara penipisan selektif dari subset CD8+
limfosit T supresor meningkatkan penyembuhan luka.
Namun, penipisan subset helper CD4 tidak berpengaruh.
Limfosit juga memberikan suatu efek down-regulating pada
sintesis kolagen fibroblast oleh interferon IFN-ã, TNF-á, dan
IL-1. Efek ini hilang jika sel-sel secara fisik terpisah,
menunjukkan bahwa sintesis matriks ekstraseluler diatur
tidak hanya melalui faktor larutan tetapi juga oleh kontak
langsung sel antara limfosit dan fibroblast (Brunicardi, et al.,
2006).
Fase ini merupakan bagian yang esensial dari proses
penyembuhan dan tidak ada upaya yang dapat menghentikan
proses ini. Jika proses ini diperpanjang oleh adanya jaringan
yang mengalami devitalisasi secara terus menerus, adanya
benda asing, pengelupasan jaringan yang luas, trauma
kambuhan, atau oleh penggunaan yang tidak bijaksana
preparat topikal untuk luka, seperti antiseptik, antibiotik, atau
krim asam, maka penyembuhan diperlambat dan kekuatan
regangan luka menjadi tetap rendah (Morison, 2004).
2.3.3.2. Proliferasi
Fase proliferasi disebut juga fase fibroplasia karena
yang menonjol adalah proses proliferasi fibroblast.
Fibroblast berasal dari sel mesenkim yang belum
berdiferensiasi, menghasilkan mukopolisakarida, asam
20
aminoglisin, dan prolin yang merupakan bahan dasar
kolagen serat yang akan mempertautkan tepi luka. Pada
fase ini serat dibentuk dan dihancurkan kembali untuk
penyesuaian diri dengan tegangan pada luka yang
cenderung mengerut. Sifat ini, bersama dengan sifat
kontraktil miofibroblast, menyebabkan tarikan pada tepi
luka. Pada akhir fase ini kekuatan regangan luka mencapai
25% jaringan (Sjamsuhidajat & Jong, 2010).
Fase proliferasi adalah fase kedua dari penyembuhan
luka dan prosesnya berkisar dari hari ke-4 sampai ke-12.
Selama fase ini, kontinuitas jaringan dibentuk kembali.
Fibroblast dan sel endotel adalah kumpulan sel terakhir
menginvasi daerah luka, dan chematactic factor terkuat
untuk fibroblast adalah PDGF. Saat memasuki lingkungan
luka, fibroblast yang masuk harus terlebih dahulu
berproliferasi, dan kemudian menjadi aktif untuk
melaksanakan fungsi utama mereka yaitu renovasi sintesis
matriks. Aktivasi ini terutama dimediasi oleh sitokin dan
growth factor yang dilepaskan oleh makrofag (Brunicardi,
et al., 2006).
Fibroblast yang terisolasi pada luka mensintesis
kolagen lebih banyak daripada fibroblast biasa, mereka
berkembang biak lebih sedikit, dan mereka secara aktif
melakukan kontraksi matriks. Meskipun jelas bahwa
21
lingkungan luka kaya sitokin memainkan peran penting
dalam perubahan fenotipik dan aktivasi mediator,
meskipun hanya beberapa yang diketahui. Sel endotel juga
berproliferasi secara ekstensif selama fase penyembuhan.
Sel-sel ini berpartisipasi dalam pembentukan kapiler baru
(angiogenesis), suatu proses yang penting untuk
keberhasilan penyembuhan luka. Sel endotel bermigrasi
dari venula utuh yang dekat dengan luka. Migrasi mereka,
replikasi, dan pembentukan tubulus baru kapiler berada di
bawah pengaruh sitokin dan growth factor seperti TNF-á,
TGF-â, dan VEGF. Meskipun banyak sel lain yang
menghasilkan VEGF, tetapi makrofag merupakan sumber
utama dalam penyembuhan luka, dan VEGF reseptor
utamannya terletak pada sel endotel (Brunicardi, et al.,
2006).
Pada fase fibroplasia ini, luka dipenuhi sel radang,
fibroblast, dan kolagen, membentuk jaringan berwarna
kemerahan dengan permukaan yang berbenjol halus yang
disebut jaringan granulasi. Epitel tepi luka yang terdiri
dari sel basal terlepas dari dasarnya dan berpindah mengisi
permukaan luka. Tempatnya kemudian diisi oleh sel baru
yang terbentuk dari proses mitosis. Proses migrasi hanya
bisa terjadi ke arah yang lebih rendah atau datar, sebab
epitel tak dapat bermigrasi ke arah yang lebih tinggi.
22
Proses ini baru berhenti setelah epitel saling menyentuh
dan menutup seluruh permukaan luka (Sjamsuhidajat &
Jong, 2010). Epitelisasi terjadi sampai tiga kali lebih cepat
di lingkungan yang lembab (di bawah balutan oklusif atau
balutan semipermiabel) daripada di lingkungan yang
kering (Morison, 2004)..
Dengan tertutupnya permukaan luka, proses
fibroplasia dengan pembentukan jaringan granulasi juga
akan berhenti dan mulailah proses pematangan dalam fase
penyudahan (Sjamsuhidajat & Jong, 2010)
2.3.3.3 Maturasi dan Remodeling
Maturasi dan remodeling jaringan parut dimulai
selama fase fibroplastik, dan ditandai oleh reorganisasi
kolagen yang telah disintesis sebelumnya. Kolagen adalah
dipecah MMPs, dan kolagen pada luka merupakan hasil
keseimbangan antara kolagenolisis dan sintesis kolagen.
Ada pergeseran pada sintesis kolagen dan akhirnya
kembali terjadi pembentukan matriks ekstraseluler yang
terdiri dari jaringan parut kaya kolagen yang relatif
aselular (Brunicardi, et al., 2006).
Luka dan integritas kekuatan mekanik di luka baru
ditentukan oleh kuantitas dan kualitas kolagen yang baru
disimpan. Pengendapan matriks pada lokasi luka
mengikuti pola karakteristik fibronektin dan kolagen tipe
23
III merupakan perancah matriks awal glukosaminoglikan
dan proteoglikan merupakan komponen matriks signifikan
berikutnya, dan kolagen tipe I adalah matriks akhir.
Setelah beberapa minggu pasca injuri jumlah kolagen
dalam luka mencapai plateau, tapi kekuatan terus
meningkat selama beberapa bulan lagi. Pembentukan
fibril dan cross-linking fibril menghasilkan penurunan
kelarutan kolagen, peningkatan kekuatan, dan
peningkatan ketahanan terhadap degradasi enzimatik
matriks kolagen. Remodeling jaringan parut berlanjut
terus hingga 6 sampai 12 bulan pasca cedera, dengan
secara bertahap menghasilkan jaringan parut yang matang,
avaskular, dan aselular (Brunicardi, et al., 2006).
Kolagenolisis adalah hasil dari aktivitas kolagenase,
sebuah metalloproteinase matriks yang membutuhkan
aktivasi baik sintesis kolagen maupun lisin kolagen,
keduanya dikendalikan oleh sitokin dan growth factor.
Beberapa faktor mempengaruhi kedua aspek remodeling
kolagen tersebut. Sebagai contoh, TGF-â meningkatkan
transkripsi kolagen baru dan juga menurunkan perusahaan
kolagen dengan menstimulasi sintesis inhibitor jaringan
dari metalloproteinase. Peristiwa hemostasis ini, deposisi
kolagen dan degradasi, adalah penentu utama kekuatan
dan integritas luka (Brunicardi, et al., 2006).
24
2.3.3.4. Epitelialisasi
Sementara integritas dan kekuatan jaringan sedang
dibentuk kembali, barrier atau dinding eksternal juga
harus dipulihkan. Proses yang terjadi adalah proliferasi
dan migrasi sel epitel yang berdekatan dengan luka. Proses
ini dimulai dalam waktu hari pertama cedera dan dilihat
tampak terjadi penebalan epidermis di tepi luka. Sel basal
marginal di tepi luka melepaskan ikatan mereka menuju
dermis, memperbesar, dan mulai bermigrasi di seluruh
permukaan matriks sementara (Brunicardi, et al., 2006).
Sel basal yang tetap di zona dekat tepi luka menjalani
serangkaian peristiwa mitosis cepat, dan sel-sel ini muncul
untuk bermigrasi dengan menggerakkan satu sama lain
dengan melompat sampai defek tertutup. Begitu defek
terjembatani, sel-sel epitel menjadi lebih kolumnar dan
meningkatkan aktivitas mitosis mereka. Pelapisan epitel
telah kembali dibentuk, dan lapisan permukaan akhirnya
mengalami keratinisasi (Brunicardi, et al., 2006).
Re-epitelialisasi selesai dalam waktu kurang dari 48
jam pada luka insisi, namun mungkin akan lebih panjang
pada luka yang lebih besar, di mana terjadi defek
epidermis/dermis yang signifikan. Jika hanya epitel dan
dermis superfisial yang rusak, seperti terjadi pada donor
skin graft split-thickness atau luka bakar grade II yang
25
superficial, maka proses perbaikan hanya terdiri dari re-
epitelialisasi dengan minimal atau tanpa fibroplasias dan
pembentukan jaringan granulasi (Brunicardi, et al., 2006).
Stimulus pada proses re-epitelialisasi terdefinisikan
secara lengkap, namun tampak bahwa proses ini dimediasi
oleh kombinasi hilangnya kontak inhibisi, pemaparan dari
matriks ekstraseluler konstituen, khususnya fibronektin
dan sitokin diproduksi oleh sel imun mononuclear. Juga
pada EGF tertentu, TGF-â, âFGF, PDGF, dan IGF-1 telah
terbukti berperan pada epitelialisasi (Brunicardi, et al.,
2006).
2.3.4. Peran Growth Factor dalam Penyembuhan Normal
Growth factor dan sitokin adalah polipeptida yang diproduksi
dalam jaringan normal dan jaringan luka yang merangsang migrasi,
proliferasi, dan fungsi seluler. Mereka sering dinamai dari mana
mereka pertama kali diderivasi (misalnya PDGF) atau untuk fungsi
mereka sejak pertama diidentifikasi (misalnya FGF). Nama-nama ini
seringkali membingungkan karena growth factor telah terbukti
memiliki beragam fungsi. Kebanyakan growth factor sangat kuat
dan menghasilkan efek yang signifikan dalam konsentrasi
nanomolar (Brunicardi, et al., 2006).
Mereka dapat bertindak secara autokrin (di mana growth factor
bekerja pada sel yang memproduksi), secara parakrin (dilepas ke
lingkungan ekstraseluler, di mana ia bekerja pada sel-sel yang
26
bersebelahan), atau dengan cara endokrin (dimana efeknya sangat jauh
dari tempat dimana dia dilepaskan dan substansi tersebut terbawa ke
tempat efektor melalui aliran darah). Waktu pelepasan mungkin sama
pentingnya dengan konsentrasi dalam menentukan efektivitas growth
factor. Sebagai polipeptida, mereka menggunakan efeknya dengan
ikatan terhadap reseptor pada permukaan sel, dan reseptor yang sesuai
pada sel yang berespons harus ada pada saat proses pelepasan agar
efek biologis terjadi. Growth factor memiliki fungsi yang berbeda
pada sel yang berbeda pula (Brunicardi, et al., 2006).
2.3.5. Kontraksi Luka
Kontraksi luka adalah suatu proses tempat terjadi penyempitan
ukuran luka dengan kehilangan jaringan. Kontraksi timbul cukup
awal, dan jangan dikacaukan dengan kontraktur atau sikatrisasi, yang
menyebabkan mengecilnya ukuran jaringan parut dan karena itu
merupakan kejadian tertunda. Pada kontraksi luka, ada pergerakan
sentripetal seluruh kulit. Yang hanya dapat terjadi bila kulit dapat
bergerak. Karena itu, kontraksi jauh lebih efektif pada daerah-daerah
kulit yang bergerak bebas. Mekanisme kontraksi luka belum diketahui
dengan jelas. Mungkin terjadi karena kontraksi serat kolagen, atau
dengan aksi sel kontraktil didalam jaringan granulasi. Kontraksi
kolagen tidak mungkin terjadi karena belum pernah terlihat pada
mahluk hidup. Selain itu, kontraksi luka terjadi sebelum ada banyak
kolagen didalam luka, dan juga kontraksi timbul biasanya pada hewan
penderita skrobut. Mekanisme kontraksi lebih disebabkan oleh
27
kontraksi fibroblast (miofibroblast). Sel-sel ini terdapat di seluruh
tubuh, terutama terpusat disekitar luka terbuka. Ada dua teori tentang
bagaimana miofibroblast ini mendorong tepi-tepi luka untuk
mengurangi ukuran luka 80% dalam waktu 10 hari, salah satu teori
(teori bingkai gambar) mengatakan bahwa miofibril bekerja dibalik
tepi luka dan mendorong tepi luka kedepan, kearah bagian tengah.
Teori lain mengatakan bahwa miofibril pada bagian tengah luka
mendorong tepi-tepi luka kearahnya (Sabiston, 2007) .
2.3.6. Gangguan Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka dapat terganggu oleh penyebab dari dalam
tubuh (endogen) atau dari luar tubuh (eksogen). Penyebab endogen
terpenting meliputi koagulopati dan gangguan sistem imun. Semua
gangguan pembekuan darah akan menghambat pemyembuhan luka
karena hemostasis merupakan titik tolak dan dasar fase inflamasi.
Gangguan sistem imun akan menghambat dan megubah reaksi tubuh
terhadap luka, kematian jaringan, dan kontaminasi. Bila sistem daya
tahan tubuh seluler maupun hormonal terganggu, pembersihan
kontaminan dan jaringan mati serta penahanan infeksi tidak berjalan
baik. Gangguan sistem imun dapat terjadi pada infeksi virus, terutama
HIV, keganansan tahap lanjut, penyakit menahun berat seperti
tuberkulosis, hipoksia setempat, seperti di temukan pada
arteriosklerosis, diabetes millitus, morbus raynaud, morbus burger,
kelainan vaskuler (hemangioma), (fistel arteriovena), atau fibrosis.
Sitem imun juga di pengaruhi oleh gizi kurang akibat kelaparan,
28
malabsorsi, juga oleh kekurangan asam amino esensial, mineral,
maupun vitamin, serta oleh gangguan dalam metabolism makanan,
misalnya pada penyakit hati. Selain itu, fungsi sistem imun di tekan
oleh keadaan umum yang kurang baik, seperti pada usia lanjut dan
penyakit tertentu, misalnya penyakit cushing dan Addison. Penyebab
eksogen meliputi radiasi sinar ionisasi yang akan menggangu mitosis
dan merusak sel dengan akibat dini maupun lanjut. Pemberian
sitostatik (obat penekan reaksi imun) misalnya setelah transplantasi
organ, dan kortikosteroid juga akan mempengaruhi penyembuhan
luka. Pengaruh setempat seperti infeksi, hematom, benda asing, serta
jaringan mati seperti sekuester dan nekrosis sangata mengambat
penyembuha luka. Luka dikatakan kronik atau gagal sembuh bila
gagal menutup atau gagal mengalami epitelisasi dalam 30 hari.
Apabila telah dilakukan pemeriksaan kembali secara teliti yang di
ikuti dengan terapi optimal dan luka tak kunjung sembuh, diperlukan
intervensi bedah. Sekarang in banyak di kembangkan penggunaan
berbagai balutan atau terapi tambahan untuk membantu penyembuhan
luka, terutama untuk luka yang kronik, seperti penggunan terapi
oksigen hiperbarik, penggunaan tekanan negatif enzim-enzim serta
berbagai jenis balutan (Sjamsuhidajat & Jong, 2010).