bab 2 tinjauan teoritis 2.1 tinjauan teoritis anatomi dan
TRANSCRIPT
6
BAB 2
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Tinjauan Teoritis Anatomi dan fisiologi
Gambar 2.1 Rangka manusia
Sumber: (Syaifuddin, 2012)
7
Tulang membentuk rangka penunjang dan pelindungan bagi tubuh dan
menjadi tempat meletaknya otot-otot menggerakkan kerangka tubuh. Tulang
adalah jaringan yang struktur dengan baik yang mempunyai sembilan fungsi,
yakni:
1. Formasi kerangka: Tulang-tulang membentuk rangka tubuh untuk
menentukan bentuk dan ukuran tubuh.
2. Formasi sendi: Tulang-tulang membentuk persendian yang bergerak
bergantung pada kebutuhan fungsional, sendi yang bergerak menghasilkan
bermacam-macam pergerakan.
3. Perlekatan otot: Tulang-tulang menyediakan permukaan untuk tempat
otot,tendon dan ligamentum.
4. Sebagai pengungkit untuk bermacam-macam aktifitas pergerakan.
5. Menyongkong berat beban: Memelihara sikap tegak tubuh manusia dan
menahan gaya tarik dan gaya tekan yang terjadi pada tulang sehingga
dapat menjadi kaku atau lentur.
6. Proteksi: Tulang membentuk rongga yang mengandung dan melindungi
struktu-struktur yang halus seperti otak, medulla spinalis, jantung, paru
alat-alat dalam perut dan panggul.
7. Hemopoiesis: Sumsum tulang tempat pembentukan sel-sel darah.
8. Fungsi imunologi: Limfosit “B” dan makrofag-makrofag dibentuk dalam
system retikuloendotel sum-sum tulang. Limposit B diubah menjadi sel-sel
plasma membentuk antibody guna keperluan kekebalan kimiawi,
sedangkan mangrofag merupakan pagositotik.
9. Penyimpanan kalsium: Tulang mengandung 97% kalsium yang terdapat
dalam tubuh baik dalam bentuk anorganik maupun garam-garam terutama
kalsium fosfat.
Secara garis besar, tulang dibagi menjadi enam, yakni:
1. Tulang panjang, misalnya femur tibia, fibula, ulna, dan humerus. Daerah
batasan disebut diaplisis dan daerah yang berdekatan dengan efisis disebut
metafisis. Didaerah ini sangat sering ditemukan adanya kelainan atau
penyakit karena daerah ini daerah yang metabolik yang aktif dan banyak
8
mengandung pembuluh darah. Kerusakan atau kelainan perkembangan
pada daerah lempeng epifisis akan menyebabkan kelainan pertumbuhan
tulang.
2. Tulang pendek (Short bone), misalnya pada tulang-tulang karpal.
3. Tulang pipih (Flat bone), Misalnya tulang tulang parietal, iga, scapula dan
pelvis.
4. Tulang tak beraturan (iregura bone), misalnya tulang vertebra.
5. Tulang sesamoid, misalnya tulang patella.
6. Tulang sutura (sutural bone), ada diatap tengkorak.
Gambar 2.2 Tulang Intrathochanter Femur
Sumber: (Kurniawan, 2012)
9
2.2 Tinjauan Teoritis Fraktur
2.2.1 Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya
disebabkan oleh rudapaksa(Rosyidi, 2013).
Fraktur merupakan istilah dari hilangnya kontinuitas tulang, tulang
rawan, baik yang bersifat total maupun sebagian(Helmi, 2012).
Fracture is a partial or complete break in the continuity of a bone
(Black & Hawks, 2009) yang artinya fraktur adalah istirahatnya
kontinuitas pada tulang baik secara parsial atau lengkap pada kaki.
A fracture is a break or distruption in the continuity of a bone.
Fraktur occur when a bone is subjected to more stress (Dewit &
Kumagai, 2013) yang artinya fraktur adalah istilah atau distruption
dalam kelangsungan tulang. Fraktur terjadi ketika tulang dikenai
stress.
Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan
dari luar yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang
(Muttaqin, 2008).
Atas dasar pernyataan diatas maka dapat disimpulkan bahwa, fraktur
terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang disebabkan adanya
trauma atau ruda paksa atau tenaga fisik yang ditentukan jenis dan
luasnya trauma.
2.2.2 Klasifikasi fraktur
Beberapa klasifikasi fraktur menurut ahli frakturfemur tertutup
(fraktur simpel) adalah fraktur yang tidak menyebabkan robeknya
kulit atau kulit tidak ditembus oleh fragmen tulang.
10
Sedangkan fraktur femur terbuka (fraktur komplikasi / kompleks/
compound ) merupakan fraktur dengan luka pada kulit atau membran
mukosa sampai ke patah tulang. Konsep penting yang harus
diperhatikan pada fraktur terbuka adalah apakah terjadi kontaminasi
oleh lingkungan pada tempat terjadinya fraktur tersebut.
Berdasarkan jenis fraktur ada beberapa macam :
2.2.2.1 Fraktur tidak komplit (incomplete), patah hanya terjadi pada
sebagian dari baris tengah tulang, seperti :
a. Hair line Frakktur (patah retak rambut)
b. Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu
korteks dengan kompresi tulang spongiosa.
c. Fraktur green stick, mengenai satu korteks dengan angulasi
korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
2.2.2.2 Fraktur komplit (complete), patah pada seluruh garis tulang
dan biasanya mengalami pergeseran (dari yang normal).
2.2.2.3 Fraktur tertutup, patah tulang, tidak menyebabkan
robekannya kulit.
2.2.2.4 Fraktur terbuka patah yang menembus kulit dan tulang
berhubung dengan dunia luar.
2.2.2.5 Fraktur komunitif, fraktur dengan tulang pecah menjadi
beberapa gragmen.
2.2.2.6 Fraktur kompresi: fraktur dengan tulang mengalami kompresi
(tulang belakang).
2.2.2.7 Fraktur depresi, fraktur yang fragmen tulangnya terdorong ke
dalam (tulang tengkorak dan wajah).
2.2.2.8 Fraktur transversal, fraktur yang arahnya melintang pada
tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2.2.2.9 Fraktur oblik, fraktur yang arah garis patahnya membentuk
sudut terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat trauma
angulasi juga.
11
2.2.2.10 Fraktur spiral, fraktur yang arah garis patahnya berbentuk
spiral yang disebabkan trauma rotasi.
2.2.2.11 Fraktur avusi, fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan
atau traksi otot pada insersinya pada tulang.
2.2.3 Etiologi kekerasan langsung menurut Rosyidi (2013), terbagi 3 yaitu
2.2.3.1 Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik
terjadinya kekerasan.
2.2.3.2 Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang
ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan.
2.2.3.3 Kekerasan akibat tarikan otot sangat jarang terjadi kekuatan
dapat berupa pemuntiran, penekukan, dan penekanan,
kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
2.2.4 Patofisiologi
Pada kondisi trauma, diperlukan gayayang besar untuk mematahkan
batang femur individu dewasa. Kebanyakan fraktur ini terjadi pada
pria muda yang mengalami kecelakaan kendaraan bermotor atau jatuh
dari ketinggian.Biasanya, klien ini mengalami trauma miltipel yang
menyertainya.Kondisi degenerasi tulang (osteoporosis) atau
keganasan tulang paha yang menyebabkan fraktur patologis tanpa
riwayat trauma, memadai untuk mematahkan tulang femur(Muttaqin,
2008).
Kerusakan neurovascular menimbulkan manisfestasi peningkatan
risiko syok, baik syok hipovolemik karena kehilangan darah banyak
ke dalam jaringan maupun syok neurogenik karena nyeri yang sangat
hebat yang dialami klien(Muttaqin, 2008).
12
Kerusakan fragmen tulang femur diikuti dengan spasme otot paha
yang menimbulkan deformitas khas pada paha, yaitu pemendekan
tungkai bawah. Apabila kondisi ini berlanjut tanpa dilakukan
intervensi yang optimal, akan menimbulkan risiko terjadinya
malunion pada tulang femur (Rosyidi, 2013).
Intervensi medis dengan penatalaksanaan pemasanangan fiksasi
interna dan fiksasi eksterna memberikan implikasi pada masalah risiko
tinggi infeksi pasca-bedah, nyeri akibat trauma jaringan lunak, risiko
tinggi trauma sekunder akibat pemasangan fiksasi eksterna, dampak
psikologis absietas sekunder akibat rencana bedah dan prognosis
penyakit dan pemenuhan informasi (Helmi, 2012).
Dapat disimpulkan bahwa pada kondisi trauma kebanyakan fraktur ini
terjadi pada pria muda yang mengalami kecelakaan kendaraan
bermotor atau jatuh dari ketinggian. Kondisi ini bisa ditandai dengan
kehilangan banyak darah kedalam jaringan yang bisa mengakibatkan
kerusakan neurovaskular, degenerasi tulang (osteoporosis) dan
kerusakan fragmen tulang femur. Apabila terjadi masalah tersebut
maka dapat dilakukan intervensi yaitu pemasangan fiksasi interna,
fiksasi eksterna danpemenuhan informasi tentang prognosis penyakit.
13
2.2.5 Pathway
LABEL INTERVENSI
Latihan Fisik Manajemen Nyeri
Penurunan Kecemasan Pendidikan Kesehatan Perawatan Luka Manajemenn trauma
Bagan 2.1 Patopisiologi fraktur femur tertutup masalah keperawatan.
Sumber: (Muttaqin, 2008)
Trauma pada paha, osteoporosis tulang femur, tumor
dan keganasan pada paha
Ketidakmampuan tulang femur dalam
menahan beban
Fraktur Femurtertutup
Terputusnya
hubungan tulang
Kerusakan
jaringan lunak Malunion, non-union,
dan delayed union
Kerusakan saraf
spasme otot
Ketidakmampuan
melakukan
pergerakan kaki
Terapi imobilisasi
Traksi Terapi
bedah fiksasi
ekternal Nyeri Hambatan
mobilitas fisik
risiko tinggi
trauma
Kerusakan
vaskular
Pembengkakan
lokal
Pasca bedah Ketidaktahuan
teknik
mobilisasi
Respon
psikologis
Port de entree Risiko sindrom
kompartemen Resiko malunion,
kontraktur sendi ansietas
Resiko tinggi
infeksi Pemenuhan informasi
14
2.2.6 Manifistasi Klinis
Manisfestasi klinis fraktur femur yaitu hampir sama pada klinis
fraktur umum tulang panjang seperti nyeri, hilangnya fungsi,
defomitas, pemendekan ekstrimitas bawah karena kontraksi otot,
kripetasi, pembengkakan, dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi
sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.
Menurut Smeltzer(2008) tanda dan gejala fraktur adalah sebagai
berikut:
2.2.6.1 Nyeri
Nyeri terus menerus dan bertambah berat sampai fragmen
tulang di imobilisasi.
2.2.6.2 Kehilangan fungsi
Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian yang mengalaminya tak
dapat digunakan dan cenderung secara tidak alamiah
(gerakan luar biasa).
2.2.6.3 Deformitas
Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai
menyebabkan deformitas (terlihat malunion teraba)
ekstrimitas yang juga bisa diketahui dengan membandingkan
dengan ekstrimitas yang normal.
2.2.6.4 Pemendekkan ekstrimitas
Pada fraktur panjang terjadi pemendekkan tulang yang
sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan
dibawah tempat fraktur.
2.2.6.5 Krepitus
Saat ekstrimitas diperiksa dengan tulang krepitus yang
fragmen satu dengan lainnya (uji kerusakan pada tulang
lunak).
2.2.6.6 Pembengkakan lokal dan perubahan warna
15
Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi
sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti
fraktur.
2.2.6 Penatalaksanaan.
Penatalaksanaan fraktur sebagai berikut:
Pengkajian ini diperlukan oleh perawat sebagimana peran kolaboratif
dalam melakukan asuhan keperawatan (Muttaqin,2008).
2.2.6.1 Non operatif
Untuk fraktur yang tidak mengalami dislokasi dapat
ditanggulangi dengan beberapa cara, antara lain:
a. Perban elastic (Teknik Robert Jones)
b. Memasang Gips (long leg Plaster)
c. Traksi skeletal menurut cra Appley, klien tidur terlentang,
pada fibula 1/3 proximal dipasang Steinman pin,
langsung ditarik dengan beban yang Cukup (>6 Kg)
sementara dilakukan traksi, lutut klien yang cidera dapat
digerakkan.
2.2.6.2 Operatif
Apabila terjadi dislokasi yang cukup lebar atau permukaan
sendi tibia fibula amblas lebih dari 2 mm, dilakukan reduksi
terbuka dan dipasang fiksasi internal dengan batress piate dan
cancellous screw
Ada empat konsep dasar menangani fraktur, yaitu:
a. Rekognisi
Rekognisi dilakukan dalam hal diagnosis dan penilaian
fraktur.
b. Reduksi
Reduksi adalah usaha atau tindakan manipulasi fragmen-
fragmen seperti letak asalnya
c. Retensi
16
Setelah fraktur direduksi, Fragmen tulang harus
dimobilisasi atau dipertahankan dalam posisi dan
kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan.
d. Rehabilitasi
Merupakan proses mengembalikan ke fungsi dan struktur
semula dengan cara melakukan ROM aktif dan pasif
seoptimal mungkin sesuai dengan kemampuan klien.
2.2.7 Komplikasi
2.2.7.1 Menurut Kholid Rosyidi (2013) komplikasi untuk fraktur
meliputi:
Komplikasi yang biasa terjadi pada klien fraktur femur
adalah sebagai berikut:
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak
adanya nadi, CRT menurun, sianosis bagian distal,
hematoma yang leabr, dan dingin pasa ekstrimits yang
disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan
posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan
pembedahan.
b. Kompartement Sindrom
Kompartement sindrom merupakan komplikasi serius
yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan
pembuluh darah dalam jaringan perut.Ini disebabkan
oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf,
dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar
seperti gips dan pembebatan yang terlalu kuat.
c. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius
yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang
panjang.FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan
17
bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan
menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang
ditandai dengan gangguan nafasan, tachykardi,
hypertensi, tachypnea, demam.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada
jaringan.Pada trauma orthopedik infeksi dimulai pada
kulit (superfisial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya
terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena
penggunaan bahan lain dalam pembedahan sepert pin
dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis(AVN) terjadi karena aliran darah
ketulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan
nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s
Ischemia.
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan
meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa
menyebabkan menurunnya oksigenasi.Ini biasanya
terjadi pada fraktur.
2.2.7.2 Komplikasi Dalam Waktu Lama
Menurut Kholid Rosyidi (2013) komplikasi fraktur Femur
hampir sama dengan beberapa komplikasi jenis fraktur
lainnya. Oleh karena itu, setiap perawat perlu memperhatikan
dan mengetahui komplikasi yang biasa terjadi agar
komplikasi tersebut dapat dikurangi.
Komplikasi yang sering terjadi pada klien mengalami fraktur
femur adalah sebagai berikut:
a. Delayed Union.
18
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur
perkonsolidasi (bergabing) sesuai dengan waktu yang di
butuhkan tulang untuk menyambung.Ini disebabkan
karena penurunan suplai darah ke tulang.
b. Nonunion.
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi
dan memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan
stabil setelah 6 – 9 bulan.Nonunion ditandaidengan
adanya pergerakan yang berlebihan pada sisi fraktur
yang membentuk sensi palsu atau pseudoarthrosis.Ini
juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
c. Malunion.
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai
dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan
bentuk (defornitas).Malunion dilakukan dengan
pembedahan dan remobilitas yang baik.
d. Kaku sendi lutut. Setelah fraktur biasa terjadi kesulitan
bergerak pada sendi lutut. Hal ini dapat dihindari apabila
fisioterapi yang intensif dan sistematis dilakukan lebih
awal.
e. Refraktur terjadi apabila mobilitas dilakukan sebelum
terbentuk union yang solid.
2.2.8 Prognosis
2.2.8.1 Rosyidi (2013) mengatakan bahwa, tulang bisa bergenerasi
sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang
tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan
membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang.
Tulang baru di bentuk oleh aktivitas sel-sel tulang ada lima
stadium penyembuhan tulang, yaitu:
a. Stadium Satu (Pembentukan Hematoma)
19
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma di
sekitar daerah fraktur.Sel-sel darah membentuk fibrin
guna melindungi tulang yang rusak dan sebagian tempat
tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini
berlangsung 24 - 28 jam dan perdarahan berhenti sama
sekali.
b. Stadium Dua (Proliferasi Seluler)
Pada stadium ini terjadi proliferin dan differensiasi sel
menjadi fibro kartilago yang berasal dari periosteum,
endosteum, dan bone marrow yang telah mengalami
trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus
masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah
osteoblast bergenerasi dan terjadi proses osteogenesis.
Dalam beberapa hari terbentuk tulang baru yang
menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase
ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai
selesai, tergantungnya frakturnya.
c. Stadium Tiga (Pembentukan Kalkus)
Sel-sel yang berkembang memiliki potensi yang
kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan
yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan
juga kartilago.Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan
osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi mengabsorbsi
sel-sel tulang yang mati. Sementara tulang yang imatur
anyaman tulang menjadi lebih padat sehingga gerakan
pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah
fraktur menyatu.
d. Stadium Empat (Konsolidasi)
Bila aktifitas osteoklas dan osteoblast berlanjut, anyaman
tulang berubah lamellar.Sistem ini sekarang cukup kaku
dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui
20
reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya
osteoklas mengisi celak-celak yang terisi diantara
fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang
lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum
tulang kuat untuk membawa beban yang normal.
e. Stadium Lima (Remodelling)
Fraktur telah di jembatani oleh suatu manset tulang yang
padat.Selama beberapa bulan atau tahun, pengerasan
kasar ini di bentuk ulang oleh resorbsi dan pembentukan
tulang yang terus menerus.Lamellae yang lebih tebal
diletakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi,
dibandingkan yang tidak di kehendaki dibuang, rongga
sumsum dibentuk, dan akhirnya di bentuk struktur yang
mirip dengan normalnya.
Gambar 2.3 Proses penyembuhan tulang normal
Sumber: (Syaifuddin, 2009)
21
2.2.8.2 Terdapat beberapa faktor yang biasa menentukan
penyembuhan fraktur (Tabel 2.1). Setiap faktor akan
memberikan pengaruh penting terhadap proses
penyembuhan. Fraktur pada klien harus dikenali sebagai
parameter dasar untuk pemberian intervensi selanjutnya yang
lebih komprehensif.Waktu penyembuhan pada anak secara
kasar separuh waktu penyembuhan dari pada dewasa.
Table 2.1 Faktor-Faktor Penyembuhan Fraktur
Faktor Deskriptif
Umur penderita Waktu penyembuhan tulang pada anak-anak jauh lebih
cepat dari pada orang dewasa. Hal ini terutama disebabkan
karena aktifitas proses osteogenesis pada periosteum dan
endosteum setra proses remodeling tulang.
Lokalisasi dan
konfigurasi fraktur
Lokalisasi fraktur memegang peran penting. Fraktur
metafisis penyembuhan lebih cepat dari pada diasis.
Pergeseran awal
fraktur
Lokalisasi fraktur memegang peran penting. Fraktur
metafisis penyembuhannya lebih cepat dari pada diafisis.
Vaskularisasi pada
kedua fragmen
Apabila kedua mempunyai vaskularisasi yang baik, maka
penyembuhan biasanya tanpa komlikasi.
Reduksi serta
imobilisasi
Reposisi fraktur akan memberikan kemungkinan untuk
vaskularisasi yang lebih baik dalam bentuk asalnya.
Waktu imobilisasi Jika imobilisasi tidak dilakukan sesuai waktu penyembuhan
sebelum terjadi tautan (union), maka kemungkinan
terjadinya non_union sangat besar.
Ruang diantara
kedua fragmen
serta interposisi
oleh jaringan lunak
Jika ditemukan interposisi jaringan baik berupa perosterum
maupuan otot atau jaringan fibrosa lainnya, maka akan
menghambat vaskularisasi kedua ujung fraktur.
Factor adanya Infeksi dan keganasan akan memperpanjang proses
22
infeksi dan
keganasan local
inflamasi lokal yang akan menghambat proses
penyembuhan dari fraktur.
Cairan sinovia Pada persendian terdapat cairan sinovia, merupakan
hambatan dalam penyembuhan fraktur.
Gerakan aktif dan
pasif pada anggota
gerak
Gerakan aktif dan pasisf pada anggota gerak akan
meningkatkan vaskularisasi daerah fraktur, tetapi gerakan
yang dilakukan pada daerah fraktur tanpa imobilisasi yang
baik juga akan mengganggu vaskularisasi.
Nutsisi Asuhan nutrisi yang optimal dapat memberikan suplai
kebutan protein untuk proses perbaikan. Pertumbuhan
tulang menjadi lebih dinamis bila ditunjang dengan asuhan
nutrisi yang optimal.
Vitamin D Vitamin D mempengaruhi deposisi dan absorpsi dan tulang.
Vitamin D dalam jumlah besar dapat menyebabkan absorpsi
tulang seperti yang terlihat pada kadar hormone paratiroid
yang tinggi
Sumber: Faktor penyembuhan Fraktur (Helmi, 2014)
2.2.9 Pemeriksaan Penunjang
Menurut lukman & nurma ningsih, (2012), pemeriksaan penunjang
yang dilakukan sebagai berikut:
2.2.9.1 Pemeriksaan rontgen: menentukan lokasi/luasnya
fraktur/trauma, dan jenis fraktur.
2.2.9.2 Scan tulang, tomogram, CT Scan/MRI: memperlihatkan
tingkat keparahan fraktur, juga dapat untuk mengidentifikasi
kerusakan jaringan lunak.
2.2.9.3 Arteriogram: dilakukan bila dicurigai adanya kerusakan
vascular.
2.2.9.4 Menghitung darah lengkap: Ht mungkin meningkat
(hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna sisi
23
fraktur atau organ jauh pada multiple trauma). Peningkatan
jumlah SDP adalah proses stress normal setelah trauma.
2.2.9.5 Kreatinin: trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk
klirens ginjal.
2.2.9.6 Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan
darah, trasfusi multiple atau cedera hati.
2.3 Tinjauan teoritis Asuhan keperawatan Fraktur
2.3.1 Pengkajian
2.3.1.1 Anamnesis pada fraktur Femur
a. Identititas klien, meliputi nama, jenis kelamin, usia, alamat,
agama, setatus perkawinan, pekerjaan, asuransi, golongan
darah, nomor registrasi dan tanggal masuk rumah sakit.
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur Femur
adalah rasa nyeri yang hebat.Untuk memperoleh
pengkajian yang lengkap mengenai rasa nyeri klien,
perawat dapat menggunakan PQRST.
1) Provoking incident: Hal yang menjadi factor presipitasi
nyeri trauma pada bagian pergelangn kaki.
2) Quantitas of pain: Klien merasakan nyeri yang bersifat
menusuk.
3) Region, radiating, relief: Nyeri terjadi dibagian yang
mengalami patah tulang.
4) Scale of pain: Secara subjektif, nyeri yang dirasakan
klien antara 2-4 pada rentang skala pengukuran 0-4.
5) Time: Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam atau siang hari.
b. Riwayat penyakit sekarang. Dikaji kronologi terjadinya
trauma, yang menyebabkan patah tulang , pertolongan apa
saja yang telah didapat dan apakah sudah berobat kedukun,
24
dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakan,
perawat dapat mengetahui luka kecelakaan yang lain.
c. Riwayat penyakit dahulu. Penyakit-penyakit tertentu
seperti kanker tulang menyebabkan fraktur patologis
sehingga tulang sulit menyambung dan selain itu penyakit
diabetes dengan luka dikaki sangat beresiko mengalami
osteomilitis akut dan kronis dan penyakit ini menghambat
penyembuhan tulang.
d. Riwayat penyakit keluarga. Penyakit keluarga yang
berhubungan dengan patah tulang adalah factor
predisposisi terjadinya fraktur, seperti osteoporosis yang
sering terjadi pada beberapa keturunan dan kanker tulang
dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara
genetik.
e. Riwayat psikososial dan spriritual. Kaji respon emosi klien
terhadap penyakit yang dideritanya, peran klien dalam
keluarga dan masyarakat, serta respondan pengaruhnya
dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam keluarga maupun
dalam masyarakat.
2.3.1.2 Pemeriksaan Fisik pada Fraktur Femur
a. B1 (Breathing)
Pada klien dengan fraktur Femurpemeriksaan pada
pernapasan infeksi pernafasan tidak ada kelainan.
b. B2 (Blood)
Inspeksi: tidak tampak iktus cordis jantung. Palpasi: nadi
meningkat, iktus tidak teraba. Auskultasi: suara S1 dan S2
tunggal. Tak ada mur-mur.
c. B3 (Brain)
Tingkat kesadaran, biasanya compos metis.
1) Kepala: simetris, tidak ada gangguan dan benjolan.
25
2) Leher: tidak ada gangguan, yaitu simetris, tidak ada
penonjolan, reflek menelan ada.
3) Wajah: wajah terlihat menahan sakit, tidak ada
perubahan fungsi dan bentuk pada wajah, tidak ada lesi,
simetris tidak edem.
4) Mata: tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak
anemis (apabila klien dengan patah tulang tertutup,
karena tidak ada perdarahan).
d. B4 (Bladder)
Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah, dan krakteristik
urine, termasuk berat jenis urine.biasanya klien fraktur
Fibula tidak ada kelainan pada system ini.
e. B5 (Bowel)
Abdomen. Inpeksi: bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
Palpasi: tugor baik, hepar tidak teraba. Perkusi: suara
tympani. Auskultasi: peristaltic usus normal ± 20
kali/menit. Inguinal genetalia-anus.Tak ada hernia, tak ada
pembesaran iymphe, tak ada kesulitan BAB.
f. B6 (Bone/ Musculoskeletal)
Adanya fraktur pada Fibula akan mengganggu secara lokal
baik fungsi motorik, sensorik dan peredaran darah.
Pada kondisi klinis perawat juga harus memperhitungkan
bagian terdekat dan terjauh fraktur terutama mengenai luas
kerusakan pada fraktur Femur ini.
Pada keadaan lokal dapat dilakukan dengan 3 cara:
a. Look (inspeksi)
Pada fase awal cedera, perlu dikaji adanya keluhan nyeri
lokal hebat disertai perubhan nadi, perufsi yang tidak baik
(akral dingin pada sisi lesi), dan CRT >3 detik pada bagian
proksimal betis.Hal ini merupakan tanda-tanda penting
terjadinya sindrom kompartement yang harus dihindari
26
perawat. Apabila tidak segera dilakukan intervensi lebih
dari 6 jam dalam batas waktu kemampuan jaringan perifer,
akan terjadi nekrosis jaringan distal.
Klien fraktur femur mengalami komplikasi delayed
union,nonunion, dan malunion.Kondisi yang paling sering
ditemukan di klinik adalah malunion terutama pada klien
fraktur fremur yang telah lama dan mendapat intervensi
dari dukun patah. Pada pemeriksaan look, akan ditemukan
adanya pemendekan ekstremitas dan derajat pemendekan
akan lebih jelas jelas dengan cara mengukur kedua sis
tungkai dari spina iliaka malleolus (Muttaqin, 2009).
b. Feel (palpasi)
Adanya nyeri tekan (tendermess) dan krepitasi pada
daerah paha(Muttaqin, 2009).
c. Move (Pergerakan trauma lingkup gerak)
Hasil pemeriksaan yang didapat adalah adanya
gangguan/ketrbatasan gerak tungkai. Didapatkan
ketidakmampuan menggerakkan kaki dan penurunan
kekuatan otot ekstremitas bawah dalam melakukan
pergerakan. Karena timbulnya nyeri dan keterbatasan
gerak, semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan
kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang
lain(Muttaqin, 2009).
27
2.3.2 Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan Nanda Internasional (2015) masalah keperawatan yang
sering muncul pada klien fraktur Femur tertutup pra- dan pasca-bedah,
meliputi:
2.3.2.1 Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis.
2.3.2.2 Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan respon
nyeri kerusakan neoromuskuloskeletal, pergerakan fragmen
tulang.
2.3.2.3 Risiko tinggi trauma berhubungan dengan penurunan sensasi,
kelemahan.
2.3.2.4 Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan port de entrée luka
fraktur terbuka, luka pasca-bedah, pemasangan traksi tulang
dan fiksasi eksternal.
2.3.2.5 Defisit perawatan diriberhubungan dengan gangguan
muskoloskeletal.
2.3.3 Intervensi Keperawatan
Menurut Buku Nurarif (2015) perncanaan kegiatan pada klien fraktur
Femur tertutup adalah:
2.3.3.1 Nyeri yang berhubungan dengan kompresi saraf, kerusakan
neoromuskuloskeletal, pergerakan fragmen tulang.
Tujuan: Nyeri berkurang atau teradaptasi
Kreteria hasil: Secara subjektif, klien melaporkan nyeri
berkurang atau dapat diadaptasi, dapat mengidentifikasi
aktifitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien
tidak gelisah, skala nyeri 0-1 atau teradaptasi.
Intervensi:
a. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk
lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor
presipitasi.
b. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan.
28
c. Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui
pengalaman nyeri pasien.
d. Kurangi faktor presipitasi nyeri.
e. Kolaborasi dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan
nyeri tidak berhasil.
Rasional:
a. Nyeri merupakan respon subjektip yang didapat dikaji
menggunakan skala nyeri.
b. Imobilitas fisik klien dapat dilihat dari reaksi nonverbal.
c. Melaporkan bahwa nyeri telah berkurang.
d. Mampu mengontrol nyeri.
e. Mengobservasi keadaan klien.
2.3.3.2 Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan respon
nyeri kerusakan neoromuskuloskeletal, pergerakan fragmen
tulang.
Tujuan: klien mampu melakukan aktifitas fisik sesuai dengan
kemampuannya.
Kriteria hasil: klien dapat ikut serta dalam program latihan,
tidak terjadi kontraktur sendi, bertambahnya kekuatan otot,
klien menunjukkan tindakan untuk meningkatkan mobilitas.
Intervensi:
a. Kaji mobilitas yang ada dan observasi peningkatan
kerusakan.
b. Atur posisi imobilitas pada klien.
c. Ajarkan klien untuk melakukan latihan gerakan aktif
pada ekstremitas yang tidak sakit.
d. Bantu klien melakukan latihan ROM, perawatan
dirisesuai toleransi.
e. Kolaborasi dengan ahli fisioterafi untuk latihan fisik
klien.
29
Rasional:
a. Mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan
aktifitas.
b. Imobilisasi yang adekuat dapat mengurangi pergerakan
fragmen tulang yang menjadi unsur utama penyebab
nyeri pada klien.
c. Gerakan aktif memberikan massa, tonus, dan kekuatan
otot serta memperbaiki fungsi jantung dan pernafasan.
d. Untuk memelihara fleksibilitas sendi sesuai kemampuan.
e. Peningkatan kemampuan dalam mobilisasi ekstremitas
dapat dicapai dengan latihan fisik dari tim ahli
fisioterapi.
2.3.3.3 Risiko tinggi trauma berhubungan dengan penurunan sensasi,
kelemahan.
Tujuan: risiko trauma tidak terjadi
Kriteria hasil: Pasien terbebas dari trauma, fisik linggungan
rumah aman, prilaku pencegahan jatuh, dapat mendeteksi
resiko
Intervensi:
a. Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien.
b. Identifikasi kebutuhan keamanan pasien.
c. Menyediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
d. Membatasi pengunjung.
e. Memindahkan barang barang yang dapat
membahayakan.
Rasional:
a. Untuk mencegah kejadian yang dapat menimbulkan
trauma pada pasien .
b. Meningkatkan rasa aman pasien.
c. Agar pasien merasa nyaman.
30
d. Mempertahankan kenyamanan dan keamanan.
e. Menjamin keselamatan pasien.
2.3.3.4 Risiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan port de entrée
luka fraktur terbuka, luka pasca-bedah, pemasangan traksi
tulang dan fiksasi eksternal.
Tujuan: tidak terjadi infaksi.
Kriteria hasil: tidak ada tanda-tanda infeksi pada daerah luka
operasi, pada sekitar traksi tulang, dan fiksasi eksternal.
Intervensi:
a. Kaji factor-faktor yang mmemungkinkan terjadinya
infeksi yang masuk ke port de entrée.
b. Lakukan perawatan luka secara steril.
c. Pantau atau batasi kunjungan.
d. Tingkatkan asuhan nutrisi tinggi kalori dan tinggi
protein.
e. Bantu perawatan diri dan keterbatasan aktifitas sesuai
toleransi.
f. Kolaborasi: beri antibiotik sesuai indikasi.
Rasional:
a. Faktor-faktor ini harus dipantau oleh perawatan dan
dilakukan perawatan luka steril.
b. Teknik perawatan luka secara steril dapat mengurangi
kontaminasi kuman.
c. Mengurangi risiko kontak infeksi dari orang lain.
d. Meningkatkan meningkatkan imunitas tubuh secara
umum dan membantu menurunkan resiko infeksi.
e. Menunjukan kemampuan secara umum dan kekuatan
otot dan merangsang pengembalian system imun.
f. Satu atau beberapa agen diberikan yang bergantung pada
sifat pathogen dan infeksi yang terjadi.
31
2.3.3.5 Defisit perawatan diriberhubungan dengan gangguan
muskoloskeletal.
Tujuan: Klien dapat menujunjukan perubahan gaya hidup
untuk kebutuhan merawat diri.
Kriteria hasil: Pasien mampu untuk melakukan aktivitas
keperawatan fisik dan pribadi secara mandiri atau dengan alat
bantu.
Intervensi:
a. Kaji kemampuan dan tingkat penurunan dalm skala 0-4
untuk melakukan ADL.
b. Hindari apa yang tidak dapat dilakukan klien dan bantu
jika perlu.
c. Dekatkan alat dan sarana yang dibutuhkan klien.
d. Identifikasi kebiasaan defekasi anjurkan minum dan
tingkatkan aktivitas.
e. Kolaborasi: konsul kedokter terapi okupasi
Rasional:
a. Membantu dalam mengidentifikasi dan merencanakan
pertemuan kebutuhan individual.
b. Klien dalam keadaan cemas dan bergantung. Hal ini
dilakukan untuk mencegah frustrasi dan meningkatkan
kemandirian klien.
c. Memudahkan klien dan meningkatkan kemandirian
klien.
d. Meningkatkan latihan dan menolong mencegah
konsipasi.
e. Untuk mengembangkan terapi dan melengkapi
kebutuhan.khusus.