bab 5 jan - digilib.itb.ac.id · harus pula mengikuti arahan penataan kawasan. lahan yang dimiliki...
TRANSCRIPT
86
BAB 5
REVITALISASI KAWASAN ARJUNA
5.1 Strategi Penataan
Berdasarkan hasil analisis pada bab sebelumnya Kawasan Arjuna terdiri
atas bagian-bagian kawasan ( cluster ) yang beragam permasalahan dan
potensinya. Oleh karena itu, upaya revitalisasi kawasan tidak memperlakukan
keseluruhan kawasan secara seragam, walaupun citra kawasan tetap signifikan
sebagai suatu kawasan yang berakar pada nilai historis kota kolonial Bandung.
Untuk melestarikan nilai historis dan sekaligus merevitalisasi fungsi dan kualitas
lingkungan kawasan, maka dikembangkan strategi revitalisasi yang membagi
kawasan menjadi 3 (tiga) cluster. Masing-masing cluster memiliki karakteristik
dan citra yang berbeda tanpa mengganggu keselarasan keseluruhan kawasan
karena ketiganya dirancang untuk secara bersamaan membentuk keselarasan
kontekstual.
Ketiga bagian kawasan / cluster adalah sebagai berikut:
1. Cluster A adalah kawasan Cagar Budaya yang homogen dengan
pendekatan penanganan pelestarian Contextual Uniformity untuk
mewujudkan citra bagian kawasan hunian yang mempunyai nilai historis
kota kolonial Bandung.
2. Cluster B adalah kawasan Cagar Budaya dengan pendekatan penanganan
pelestarian Contextual Continuity untuk mewujudkan kontinuitas bagian
kawasan mixed use dengan fungsi utama hunian dan jasa, yang terdiri dari
bangunan-bangunan yang mempunyai nilai historis dan bangunan-
bangunan baru.
3. Cluster C adalah kawasan Cagar Budaya dengan pendekatan Contextual
Juxtaposition untuk mewujudkan heterogenitas bagian kawasan mixed use
dengan fungsi dominan komersial dan hunian sewa, terdiri dari bangunan-
bangunan baru dengan pusat orientasi bangunan Cagar Budaya.
Ketiga cluster tersebut dirancang juga untuk merepresentasikan
perkembangan kawasan (lihat Gambar 5.1) dalam perjalanan sejarah dan dimensi
87
waktu, cluster A mewakili awal pertumbuhan kawasan, cluster B perkembangan
tahap berikut dan cluster C perkembangan paling mutakhir.
Untuk meningkatkan kualitas lingkungan ketiga cluster dan mengefisiensikan tata
guna lahan yang ada, maka peruntukan lahan secara umum (makro) adalah:
1. Mengefektifkan pengaturan kepemilikan lahan. Lahan yang dimiliki
masyarakat perorangan harus mengikuti arahan dan panduan penataan
kawasan, apabila terjadi pemindahan kepemilikan maka pemilik baru
harus pula mengikuti arahan penataan kawasan. Lahan yang dimiliki
Pemerintah Kota dilakukan sistem sewa bagi pemakainya dan
pengembangannya harus mengikuti arahan penataan kawasan.
2. Ketentuan bangunan permanen untuk semua bangunan pada kawasan
Arjuna, agar terjaga ketertiban penataan kawasan dengan melarang
bangunan-bangunan non permanen yang dibangun secara informal pada
kawasan.
Bangunan cagar budaya yang dipertahankan
Cluster B Contextual Continuity
Cluster C Contextual Juxtaposition
Cluster A Contextual Uniformity
Gambar 5.1 Peta Pembagian Cluster pada Kawasan Arjuna, Sumber: Hasil Analisis, 2007
88
3. Pengaturan ruang terbuka dimaksudkan untuk menjaga keselarasan
kontekstual dan kontinuitas antar bagian kawasan, serta diharapkan tidak
terdapat ruang sisa di antara bangunan atau di antara bagian kawasan.
4. Peningkatan fungsi komersial dan hunian sewa pada bagian kawasan yang
pengembangannya paling fleksibel agar vitalitas kawasan meningkat.
Penerapan tata guna lahan mixed use pada kawasan cluster B dan C
memperhatikan hubungan antara kegiatan-kegiatan yang ada dalam kawasan.
Kawasan diharapkan akan dapat hidup sepanjang waktu dan fungsi-fungsi yang
ada saling berkaitan dalam kawasan begitu pula dengan fungsi sekitar kawasan.
Massa bangunan diletakkan berdasarkan hirarki dan besarannya. Massa
bangunan berukuran kecil berada di dalam inner pocket kawasan, kemudian
dikelilingi massa bangunan berukuran menengah, lalu massa bangunan yang besar
dapat ditempatkan pada jarak sisi luar.
Sesuai dengan kriteria integrasi kawasan yang harmonis, maka kawasan
Arjuna harus mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. menghargai pola jalan eksisting dan ukuran persil
Fungsi Hunian Fungsi Hunian dan Jasa Mixed Use komersial Gambar 5.2 Tata Guna Lahan Sumber: Hasil Analisis, 2007
89
2. menghargai skyline bangunan dan muka jalan (street frontage) yang ada
adalah penting dalam membentuk kontinuitas dan pendefinisian ruang luar.
3. menjaga keseimbangan selubung bangunan secara tiga dimensi.
4. Skala manusia dan dimensinya dihubungkan dengan kondisi setempat. Fasade
dan visual interest pada level pedestrian harus memperhatikan skala manusia.
5. Proporsi: hubungan antara bagian-bagian yang berbeda dari bangunan,
hubungan antara solid dan void pada fasade bangunan, atau bukaan dan
dinding sebagai elemen bangunan, harus menyesuaikan dengan konteks yang
sudah ada.
6. Irama yang didapat dari pengulangan ukuran dan perlakuan pada fasade
bangunan mengikuti ritme bangunan lama.
7. Material yang memperlihatkan warna dan tekstur bangunan diterapkan secara
konsisten untuk memberikan sence of unity and place yang kuat.
5.2 Kriteria Perancangan Kawasan Arjuna
Dalam upaya mewujudkan karakter bagian kawasan dan kekhasan masing-
masing cluster tersebut, maka dalam masing-masing kelompok bangunan dan
rancangan bangunan diarahkan untuk mencapai keselarasan melalui pengaturan
massa dan bentuk bangunan dengan kriteria sebagai berikut:
1. Menciptakan keselarasan visual antar bangunan dalam kawasan melalui
penetapan KLB maksimum pada masing-masing cluster yang mendukung
perbedaan karakter dan periode perkembangan kawasan melalui
komponen-komponen:
a. KDB (Koefisien Dasar Bangunan), KLB (Koefisien Lantai Bangunan)
Pada kawasan diperlukan pengaturan intensitas pemanfaatan lahan
agar terjadi keseimbangan yang harmonis antara lahan yang tertutup
bangunan dan perkerasan dengan lahan berupa ruang terbuka hijau,
ketinggian bangunan dan kepadatan bangunan pada tiap-tiap persil.
Pengaturan intensitas pemanfaatan lahan dinyatakan dalam ukuran
FAR (Floor Area Ratio) atau KLB (Koefisien Lantai Bangunan), BCR
(Building Coverage) atau KDB (Koefisien Dasar Bangunan). Sesuai
RDTRK WP Bojonagara Kota Bandung untuk kawasan Arjuna ini
90
besar rata-rata intensitas pemanfaatan lahan adalah: KDB 60 %; KLB
1,2. Rincian sesuai peruntukan dapat dilihat pada Bab 3 (Tabel KDB
dan KLB pada Kawasan). Pengaturan tentang intensitas pemanfaatan
lahan dapat disesuaikan dengan sistem Transfer of Development Right
antar persil atau antar cluster di dalam kawasan Arjuna.
b. GSB (Garis Sempadan Bangunan) yang diberlakukan pada kawasan
mengikuti ketentuan GSB pada tabel 4.4 Bab 4 (Sumber: RDTRK
WP.Bojonagara Kota Bandung tahun 2006), karena besarannya masih
sesuai dengan kondisi yang diharapkan untuk perkembangan kawasan.
c. Setback bangunan dan penggunaan podium pada massa bangunan yang
memiliki ketinggian lebih dari 4 lantai, sehingga massa bangunan tetap
memiliki skala yang baik terhadap pejalan dan tidak menghalangi
akses masuk sinar matahari ke daerah atau ruang terbuka sekitar massa
bangunan.
d. Batas ketinggian bangunan. Pengaturan perbandingan antara tinggi
massa bangunan dan lebar ruang terbuka di sekitarnya, sehingga
tercipta satu perbandingan yang nyaman bagi manusia. Skala yang
kesannya netral atau harmonis adalah perbandingan jarak antara massa
bangunan sama dengan atau dua kali tinggi massa bangunan diterapkan
pada cluster B. Pada cluster A dipertahankan ketinggian bangunan
yang ada karena kerapatan bangunan yang ada sudah mencukupi bagi
bangunan hunian satu atau dua lantai. Untuk cluster C diberi
keleluasaan untuk mendirikan bangunan tinggi dengan tetap
menghargai skala manusia yaitu memakai podium dan arkad pada
lantai dasar bangunan.
e. Warna bangunan untuk cluster A lebih ditekankan pada warna alami,
sedangkan pada cluster B dan C dapat dipakai warna bangunan yang
lebih variatif, tetapi masih menghargai warna alami pada bangunan
cagar budaya.
f. Langgam Arsitektur. Bangunan cagar budaya dipertahankan langgam
arsitekturnya. Bangunan baru pada cluster A harus sama dengan
langgam yang ada yaitu langgam hunian kolonial. Bangunan baru
91
cluster B dapat menggunakan langgam yang sama dengan bangunan
cagar budaya di sekitarnya yaitu art deco dan hunian kolonial atau
perpaduan diantaranya tetapi tetap memperhatikan kesinambungan
bentuk dan proporsinya. Pada cluster C bangunan baru dibebaskan
langgam arsitekturnya.
g. Tengaran. Bangunan Cagar Budaya dijadikan landmark pada kawasan
Arjuna.
h. Orientasi massa bangunan terutama massa bangunan yang berada di
sekitar jalur pejalan harus ke arah jalur pejalan bukan membelakangi
jalur pejalan sehingga kegiatan dalam massa bangunan dapat dilihat.
Hal ini merupakan upaya untuk menciptakan aktivitas dan kegiatan
dalam skala pejalan.
i. Selubung bangunan dan desain atap untuk cluster A tipikal bentuk
massa bangunan yang beratap miring, pada cluster B tipikal bentuk
massa bangunan beratap miring dipadukan dengan atap datar langgam
art deco. Sedangkan pada cluster C selubung bangunan lebih
dibebaskan dengan massa bangunan berupa podium pada level dasar
bangunan dan bangunan tinggi pada bagian tengahnya.
j. Signage diterapkan pada cluster B dan C yang mempunyai fungsi
campuran jasa, komersial dan hunian. Signage pada cluster B
diarahkan untuk menempel pada bangunan, penempatannya tidak
mengganggu fasad bangunan, signage dapat menjadi elemen estetis
pada bangunan. Pada cluster C signage diberi ruang lebih pada level
podium.
Gambar 5.3 Ilustrasi signage sepanjang jalan utama kawasan
2. Menciptakan komposisi massa dan bentuk bangunan dengan
memperlihatkan identitas fungsi bangunan yang berbeda, citra bagian
kawasan dan karakteristik masing-masing bangunan melalui:
92
a. Fasad massa bangunan yang memperhatikan keindahan (elemen
arsitektural), namun tetap memberikan perlindungan terhadap
cuaca terutama pada massa bangunan yang berada di sekitar jalur
pejalan kaki, sehingga massa bangunan dapat berinteraksi dengan
pejalan kaki.
b. Orientasi massa bangunan, ke arah jalur pejalan kaki bukan
membelakangi, sehingga massa bangunan dapat berinteraksi
dengan pejalan kaki. Hal ini merupakan upaya untuk menciptakan
aktivitas dan kegiatan dalam skala pejalan kaki.
c. Massa bangunan dan fasad harus mengakomodasi iklim tropis dan
mempertimbangkan faktor ekologis kawasan.
d. Pemintakatan kegiatan fungsi publik ( pertokoan ) pada lantai dasar
untuk menghidupkan kegiatan pejalan kaki dan agar tidak
mengganggu fungsi privat.
3. Menciptakan keterkaitan sistem transportasi dan aksesibilitas pengunjung
dan penghuni kawasan untuk integrasi aktivitas dan fasilitas pada bagian
kawasan dengan mempertimbangkan keamanan, keselamatan dan
kenyamanan pengguna jalan melalui:
a. Kesinambungan aksesibilitas antar fasilitas dan cluster
b. Integrasi antar moda kendaraan
c. Integrasi sistem transportasi dan sirkulasi pejalan kaki
d. Integrasi secara fungsional antara jalur pedestrian dengan titik-titik
pergantian moda transportasi.
e. Lebar Jalan minimal untuk kendaraan dan pedestrian untuk pejalan
kaki
f. Pemisahan dan peralihan dari jalan kendaraan dan pejalan kaki
93
Gambar 5.4 Pemisahan jalan kendaraan dan pejalan kaki
g. Akomodasi kebutuhan penyandang cacat
h. Pengalaman ruang yang menyenangkan dan menarik melalui
kegiatan temporer yang tidak mengganggu kenyamanan, keamanan
dan keselamatan pengguna kawasan. (misalnya: outdoor dining,
street performance, street vendor).
Gambar 5.5 Ilustrasi aktivitas pada ruang terbuka
i. Jalur pedestrian yang dapat menghubungkan antar fungsi pada
kawasan dan menjadi elemen pengait kawasan.
Potongan Jalan Komodor Supadio
Potongan Jalan Arjuna
Potongan Jalan Aruna
94
m. Aksesibilitas ke massa bangunan pada level pedestrian dipermudah
dan diperjelas dengan pemberian arkad dan entrance yang nyaman
dengan skala pejalan kaki.
n. Penciptaan ruang-ruang penghubung berupa jalur pejalan yang
menghubungkan antar cluster pada kawasan.
j. Penataan parkir pada kawasan. Pada cluster B dan C harus
disediakan parkir terpadu berupa lapangan parkir atau parkir
basement. Sedangkan pada cluster A hanya diperbolehkan parkir
pada persil di depan bangunan dan satu lapis parkir on-street.
Gambar 5.7 Bangunan parkir dan parkir basement dapat diterapkan pada cluster C.
Gambar 5.6 Penanganan skala pedestrian pada kawasan. Tambahan ruang bagi aktivitas di bagian luar bangunan menambah vitalitas dan kontinuitas aktivitas pada public realm
95
Gambar 5.8 Penataan sirkulasi kendaraan pada kawasan
Sumber: Hasil Analisis, 2007
4. Menciptakan keterpaduan ruang terbuka dan jalur hijau sebagai unsur
pengikat dan pembentuk orientasi kawasan dengan memperhatikan aspek
ekologis dan estetika melalui:
a. Penggunaan tipe vegetasi yang menjamin permeabilitas visual,
penetrasi cahaya, memberi manfaat peneduhan dan buffer polusi
dan bising.
b. Integrasi ruang terbuka dengan sistem pedestrian dan jalur
kendaraan.
c. Penggunaan ruang terbuka mengakomodasi beragam aktivitas
mixed use, yang dapat mengakomodasi kegiatan warga (rekreasi,
olah raga dan aktivitas sosial), mendorong interaksi sosial
d. Perbedaan antara ruang terbuka yang bersifat umum dan privat dan
menetapkan area-areanya
e. Pemetaan bentuk, proporsi dan orientasi ruang terbuka di lokasi
yang spesifik
f. Penetrasi cahaya pada ruang terbuka melalui proporsi ruang
Jalan lokal pada kawasan pengembangan Jalan utama pada kawasan pengembangan Jalan kolektor di luar kawasan pengembangan Persimpangan pada kawasan pengembangan
96
Gambar 5.9 dan 5.10 Peletakan vegetasi di sekitar bangunan pada kawasan
Sumber: Hasil Analisis, 2007
Gambar 5.11 Peletakan pohon pelindung di sepanjang jalan dan sungai pada kawasan membentuk deretan vegetasi yang melindungi jalur pedestrian. Ruang terbuka hijau (open space) pada cluster C berada pada ruang antara bangunan cagar budaya dan bangunan baru, dan pada bagian innercourt Sumber: Hasil Analisis, 2007
5.3 Kriteria Perancangan Masing-Masing Cluster
Pada dasarnya pendekatan keselarasan kontekstual untuk kawasan ini
adalah:
1. Untuk cluster A melalui pendekatan perancangan yang Rigorous
Conformance, yaitu kawasan terdiri dari bangunan-bangunan yang
signifikan secara arsitektural, memiliki banyak kemiripan dalam detail dan
penampilan, ciri-ciri atau karakteristik yang khas harus dipertahankan.
Perancangan bangunan yang baru harus sesuai dengan karakter bangunan-
bangunan yang telah ada. Selain itu dilakukan pula
97
Replication/pengulangan bentuk apabila terdapat penyisipan massa
bangunan di antara bangunan cagar budaya.
Gambar 5.12 Cluster A
Pendekatan keselarasan kontekstual Contextual Uniformity pada cluster A
dapat diuraikan pada kriteria perancangan sebagai berikut:
Cluster A, dengan fungsi hunian dilakukan pendekatan berupa pelestarian
bangunan asli dengan pengutamakan kaitan visual (massa bangunan). Karakter
visual pada cluster A harus mengikuti kriteria sebagai berikut, yaitu:
1. Ekspresi bangunan tidak berubah dari ekspresi bangunan hunian kolonial
dengan ciri-ciri :
a ketinggian / lapis bangunan : 1- 2 lantai
b jumlah massa bangunan : tunggal dalam satu persil, berderet dalam
pola persil yang teratur
c garis sempadan bangunan: pada jalan lingkungan lebar jalan 4-6 m
garis sempadan bangunan 3 m, pada jalan lingkungan lebar jalan
10-12 m garis sempadan bangunannya 5 m
d koefisien dasar bangunan: perumahan 40-80%; jasa 50-70%
e koefisien lantai bangunan: 0,6 – 1,2
f selubung bangunan: tipikal bentuk massa bangunan yang beratap
miring
98
g material, tekstur dan warna bangunan: memakai material lokal,
tekstur alami dan sederhana, warna alami. Untuk dinding bagian
luar bangunan hunian diseragamkan bagian dasarnya dengan
pemakaian batu alam setinggi 80-100 cm.
2. skala ruang: dalam jangkauan pengamatan pedestrian atau mengutamakan
skala manusia
Gambar 5.13 Massa bangunan dan selubung bangunan yang serupa pada cluster A
Perlu pula dilakukan pengaturan peruntukan atau fungsi bangunan sebagai berikut:
1. Fungsi hunian dipertahankan sebesar 80 % dari fungsi bangunan pada cluster
A secara keseluruhan
2. Fungsi jasa tidak boleh melebihi 20 % dari fungsi bangunan pada cluster A
secara keseluruhan
3. Pada fungsi hunian per-satuan persil dapat dilakukan penambahan fungsi
penunjang berupa jasa (praktek keahlian profesi) atau komersial (warung)
dengan komposisi maksimal 20 % fungsi tambahan dan minimal 80 % fungsi
hunian.
Cluster ini tidak didesain lagi tetapi hanya dilestarikan. Apabila pada cluster A
ini akan dilakukan perbaikan dan penambahan bangunan, harus mengikuti ciri-
ciri tersebut di atas yaitu mempertahankan ketinggian, selubung, bentuk,
langgam, material, warna bangunan. Penambahan massa bangunan
diperbolehkan pada bagian belakang persil tetapi masih dalam batas KDB
yang ditentukan.
2. Untuk cluster B melalui pendekatan perancangan yang Selective
Linkages/kaitan selektif, yaitu pendekatan perancangan yang lebih selektif
diperlukan pada lingkungan ini dengan kualitas bangunan yang berbeda-beda,
bercampur antara bangunan bagus dengan bangunan yang biasa saja. Pola-
pola yang meningkatkan kualitas lingkungan sebaiknya diperkuat dalam
99
perancangan, sebaliknya yang kurang baik harus ditata dan dirancang ulang;
selain itu dilakukan pula Moderate Conformance/penyesuaian karena terdapat
berbagai langgam. Ciri-ciri dari berbagai bangunan yang membentuk kesatuan
dan keselarasan menjadi pokok/inti dari rancangan-rancangan yang harmonis.
Elemen-elemen baru dapat diperkenalkan, diiringi dengan kaitan perancangan
yang kuat.
Gambar 5.14 Cluster B
Cluster B, dengan fungsi campuran hunian, jasa dan komersial dilakukan
pendekatan Alteration yaitu adaptasi bangunan lama untuk fungsi baru dengan
perubahan, Addition yaitu penyisipan bangunan pada lahan kosong dalam
lingkungan, dan Rehabilitasi yaitu perbaikan bangunan lama. Ketiga pendekatan
di atas karakter visualnya harus mengikuti kriteria sebagai berikut, yaitu:
1. Ekspresi bangunan mempunyai ciri-ciri :
a. ketinggian bangunan: 1-3 lantai
b. jumlah massa bangunan: tunggal
c. garis sempadan bangunan: 10 meter
d. koefisien dasar bangunan: 40-70 %
e. selubung bangunan: bentuk massa bangunan yang geometris,
atap miring, atau perpaduan diantaranya.
f. material, tekstur dan warna bangunan: material lokal, tekstur
sederhana, warna alami.
2. skala ruang: mengutamakan skala manusia pada level lantai dasar
100
Perlu dilakukan pengaturan peruntukan atau fungsi bangunan sebagai berikut:
1. fungsi hunian: 40 % - 60 % dari fungsi bangunan pada cluster B
secara keseluruhan
2. fungsi jasa : 40 % - 50 % dari fungsi bangunan pada cluster B
secara keseluruhan
3. fungsi komersial : 20 % - 30 % dari fungsi bangunan pada cluster
B secara keseluruhan
4. fungsi industri yang masih ada pada cluster B dialihfungsikan
menjadi fungsi jasa.
Pada cluster B ini bangunan bukan cagar budaya yang memerlukan perbaikan,
penambahan atau pembangunan kembali dapat mengikuti ciri-ciri bangunan
cagar budaya tersebut di atas dengan menjaga kontinuitas pada ketinggian,
proporsi dari fasad, skala bangunan, GSB dan KDB nya. Langgam, jumlah dan
bentuk massa, material, tekstur dan warna bangunan dapat dilakukan
perbedaan yang memberikan kesempatan bagi penyesuaian dengan budaya
setempat.
Gambar 5.15 Ilustrasi kontinuitas dan peralihan ketinggian massa bangunan
Cluster B merupakan bagian kawasan yang berperan sebagai peralihan dari
cluster A yang massa bangunannya relatif rendah ke cluster C yang massa
bangunannya lebih tinggi (podium pada level dasar, bangunan tinggi pada
level berikutnya)
3. Untuk cluster C melalui pendekatan perancangan Optional/pilihan, yaitu
pilihan yang relatif bebas. Rancangan bangunan baru dapat dibuat kontras tapi
Cluster C Cluster B sebagai peralihan Cluster A
101
masih kontekstual dengan bangunan Cagar Budaya. Harus diberi ruang antara
bangunan yang baru dengan bangunan Cagar Budaya , sehingga bangunan
Cagar Budaya terlihat menonjol pada bagian kawasan yang baru.
Gambar 5.16 Cluster C
Pada cluster C terdapat bangunan cagar budaya yaitu rumah potong hewan
yang dialihfungsikan menjadi fungsi komersial berupa country club atau galeri
yang menjadi fungsi pelengkap bagi fungsi hunian sewa dan perdagangan di
sekitarnya.
Karakter visual pada cluster A harus mengikuti kriteria sebagai berikut,
yaitu:
1. Ekspresi bangunan mempunyai ciri-ciri:
a ketinggian bangunan: 8 – 15 lantai dengan podium setinggi 2 - 3
lantai
b jumlah massa bangunan: majemuk, beberapa massa yang saling
berhubungan pada level podium.
c garis sempadan bangunan: 10 meter
d koefisien dasar bangunan: 60 % - 80 %
e selubung bangunan: bentuk massa bangunan yang geometris
102
f material, tekstur dan warna bangunan: material dan tekstur bebas,
disarankan memakai bahan yang dapat merefleksikan bangunan
cagar budaya. Warna bangunan bebas tetapi masih memberikan
keselarasan dengan warna bangunan cagar budaya.
2. skala ruang: mengutamakan skala manusia pada level lantai dasar /
podium
Perlu dilakukan pengaturan peruntukan atau fungsi bangunan sebagai berikut:
1. fungsi hunian: 40 % - 60 % dari fungsi bangunan pada cluster C
secara keseluruhan
2. fungsi komersial : 40 % - 60 % dari fungsi bangunan pada cluster C
secara keseluruhan
Perbaikan bangunan cagar budaya harus mempertahankan ciri-ciri tersebut
di atas, dan bangunan ini dijadikan sebagai landmark pada cluster C. Sedangkan
bagian lain dari cluster ini didesain ulang, penambahan bangunan harus membuat
jarak dengan bangunan cagar budaya agar terdapat ruang antara bangunan lama
dan bangunan baru (lihat Gambar 5.18). Bangunan baru tidak perlu mengikuti
ciri-ciri bangunan cagar budaya tersebut di atas tetapi lebih ditekankan kepada
sesuatu yang kontras tetapi masih terdapat konteks integritas yang harmonis.
Ketinggian bangunan baru dapat melebihi bangunan lama tetapi disesuaikan
dengan besaran ruang yang terbentuk di antaranya, dengan massa bangunan yang
ukurannya relatif besar akan dipakai sistem podium dan tower di beberapa tempat
yaitu pada lokasi di seberang jalan dari bangunan Rumah Potong Hewan (RPH).
Komersial & Jasa
Public Supporting Service
Hunian Privat
Publik
Gambar 5.17 Ilustrasi fungsi pada cluster C secara vertikal Sumber: Hasil Analisis, 2007
103
Gambar 5.19 Transfer of Development Right pada cluster C
Pada cluster C dapat dilakukan Transfer of Development Right dengan
pengelolaan bagian kawasan oleh pihak yang sama. Yaitu pengalihan hak
membangun lantai dasar (KDB) atau lantai bangunan pada semua level (KLB)
pada bagian persil yang terdapat bangunan Cagar Budaya kepada bagian persil
lain dalam pengelolaan pihak yang sama.
5.4 Skenario Pengembangan
Perencanaan dan perancangan pada Penataan Kawasan Arjuna Bandung
dilakukan dengan skenario pengembangan sebagai berikut:
1. Pemerintah Daerah mengembangkan kawasan dengan alih fungsi industri dan
pergudangan menjadi fungsi komersial dan jasa dengan tetap mempertahankan
konteks kawasan cagar budaya. Pemerintah Daerah menyediakan lahan untuk
dikembangkan oleh pihak swasta.
Bangunan RPH
sumbu
Bangunan Baru
Bangunan Baru
Gambar 5.18 Bangunan baru diberi set back dengan bangunan RPH. Sumber: Hasil Analisis , 2007
104
2. Penerapan kerjasama pemerintah-swasta (Public Private Partnership) melalui
mekanisme BOT (Built, Operate and Transfer) yaitu bentuk kerjasama antara
pihak pemerintah selaku pemilik lahan pengembangan dan pihak swasta yang
menangani mulai dari pengembangan, pembangunan, pengelolaan dan
pemeliharaan (maintenance) dengan penyediaan dana investasi. Peran masing-
masing selama proses pembangunan adalah sebagai berikut:
a. Tahap pembangunan: pihak swasta / investor membangun instalasi baru
dan fasilitas baru
b. Tahap operasi: pihak swasta mengoperasikan/mengelola instalasi dan
fasilitas tersebut dalam jangka waktu tertentu
c. Pasca operasi: pihak swasta menyerahkan fasilitas tersebut kepada pihak
pemerintah setelah masa pengoperasian selesai.
3. Masyarakat penghuni liar pemukiman kumuh pada daerah aliran sungai
Citepus bersedia direlokasi ke rumah susun pada kawasan Arjuna.
4. Fungsi Rumah Potong Hewan pada kawasan direlokasi oleh Pemerintah Kota
ke pengembangan wilayah Timur Kota Bandung yaitu di wilayah Gedebage
Bandung. Relokasi dilakukan pada tahapan persiapan pengembangan kawasan
sehingga pada saat pembangunan dimulai langsung melakukan alih fungsi
bangunan cagar budaya tersebut.
5. Semua produk atau bangunan yang dapat dikaitkan dengan citra historis harus
dilestarikan oleh semua pihak. Untuk pemilik perorangan mendapatkan
kompensasi yang layak dari Pemerintah Kota berkaitan dengan keterbatasan
pengembangan pembangunan pada persil dan bangunan miliknya.
Pada pengembangan Kawasan Arjuna, skenario pengembangan yang
digunakan dipengaruhi oleh aktor yang terlibat. Untuk pengembangan lahan milik
Pemerintah Kota Bandung skenario pengembangan yang digunakan adalah
BOT(Built, Operate and Transfer). Dimana pihak investor dapat menggunakan
lahan tersebut untuk dibangun fasilitas baru dan dikelola untuk mendapatkan
keuntungan. Kemudian fasilitas tersebut akan diserahkan kepada pihak
pemerintah dalam jangka waktu tertentu. Keuntungan yang diperoleh pihak
pemerintah adalah mendapatkan aset berupa fasilitas baru dan penataan kawasan.
105
Pengembangan infrastruktur pada kawasan berupa pelebaran jalan, pengadaan
pedestrian, saluran drainase dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandung.
Pihak swasta yang diizinkan berpartisipasi dalam pengembangan
kawasan adalah:
1. Pihak swasta / investor yang berminat dalam pengembangan
Kawasan Arjuna harus mengikuti kriteria perancangan yang disusun
pada studi ini, dan mempunyai atensi dan apresiasi terhadap
pelestarian kawasan dan bangunan cagar budaya yang sekaligus
menyadari bahwa keberadaan cagar budaya tersebut dapat menjadi
daya tarik investasi.
2. Pemilik swasta/perorangan bangunan cagar budaya mempunyai
apresiasi yang tinggi terhadap pelestarian bangunan miliknya
sehingga mereka dapat menerima upaya penanganan pelestarian dari
Pemerintah Kota melalui pendekatan Contextual Harmony.
Alternatif lainnya adalah menjual kepemilikan bangunan cagar
budaya tersebut kepada Pemerintah Kota agar dapat dilestarikan
secara optimal.
Pentahapan penanganan kawasan dapat dilakukan dengan beberapa
skenario, yaitu:
1. Peningkatan dan revitalisasi infrastruktur kota dilakukan terlebih dahulu
oleh Pemerintah Kota.
2. Penanganan penataan dan pelestarian kawasan dapat dilakukan pada
masing-masing cluster secara paralel maupun bertahap.
3. Untuk cluster A (Contextual Uniformity) penanganannya dilakukan oleh
masyarakat penghuni dengan melakukan pemeliharaan dan pembangunan
sesuai dengan kriteria yang ditentukan untuk cluster tersebut.
4. Cluster B dan C dapat dilakukan oleh satu investor dengan prioritas
pembangunan fungsi komersial (mixed use dengan fungsi jasa) sebagai
daya tarik utama dalam investasi dan fungsi hunian vertikal sederhana
(Rumah Susun) sebagai tempat relokasi hunian kumuh sehingga kemudian
106
dapat dilakukan penataan sepanjang bantaran sungai, lalu diikuti oleh
pembangunan fungsi hunian mewah (Apartemen dan Kondominium) yang
merupakan properti yang sedang diminati di kota Bandung.
5. Cluster B dan C dapat dilakukan pengembangannya oleh investor yang
berbeda, dengan memprioritaskan penanganan pelestarian bangunan cagar
budaya yang terdapat pada masing-masing cluster.
5.5 Strategi Partisipasi
Pengembangan Kawasan Arjuna ini akan berhasil dengan baik apabila
semua stakeholder turut berpartisipasi di dalamnya. Partisipasi harus dilakukan
secara terkoordinasi dan dalam kerjasama para stakeholder ini dapat dilihat
kedudukan atau peran masing-masing sebagai berikut:
1. Pemerintah Kota sebagai fasilitator dan mediator antara para stakeholder,
memberi kemudahan kepada investor serta mengatur sistem sirkulasi dan
penempatan sementara para pedagang selama pelaksanaan pengembangan.
Pemkot dapat membentuk suatu lembaga atau tim penataan terpadu kawasan
Arjuna untuk fungsi tersebut di atas yang terdiri dari perwakilan para pihak
yang terlibat langsung pada pengembangan kawasan maupun pihak lain
sebagai pemerhati masalah pelestarian kawasan cagar budaya ataupun para
profesional dan akademisi, yang mempunyai satu kepentingan yaitu
kelancaran dan keberhasilan penataan kawasan.
a
b Gambar 5.20 Alternatif pengelolaan cluster C oleh investor/ developer. Strategi pengembangan: a Persil cagar budaya dan persil
mixed use hunian komersial dapat dikembangkan oleh satu investor/developer
b Persil mixed use jasa komersial
dapat dikembangkan oleh investor/developer yang berbeda
107
2. Pihak swasta / investor sebagai pelaku usaha yang menanamkan investasinya
pada pengembangan kawasan.
3. Masyarakat, mendapatkan keuntungan langsung maupun tidak langsung
melalui kegiatan yang muncul berupa lapangan kerja dan usaha baru, selain itu
menjadi pihak yang ikut serta secara langsung dalam penataan kawasan baik
dalam pengawasan, pelestarian bangunan cagar budaya fungsi hunian, maupun
pemeliharaan fasilitas umum pada kawasan.
5.6 Simulasi Visual Desain Kawasan ( pada halaman berikutnya)