bab 8 masa depan sustainable livelihood orang … · meja bundar (kmb) di belanda (meteray, 2012,...
TRANSCRIPT
307
BAB 8
MASA DEPAN SUSTAINABLE LIVELIHOOD ORANG WORKWANA
Pembangunan Kabupaten Keerom pada umumnya, khususnya
di Distrik Arso Kampung Workwana dan sekitarnya merupakan
sebuah proses transformasi sosial yang menghasilkan berbagai
perubahan. Perubahan-perubahan tersebut berdampak memajukan
masyarakat dan daerah tetapi juga menimbulkan tekanan dan
goncangan bahkan mengakibatkan terjadinya marjinalisasi atau
ketersingkiran penduduk setempat. Uraian selanjutnya merupakan
penegasan mengenai permasalahan pokok studi ini terkait dampak
perubahan yang terjadi berhubungan dengan masuknya perkebunan
sawit di Workwana dan sekitarnya.
Jauh sebelum kelapa sawit masuk di daerah ini, sebagaimana
diberitakan dalam sejumlah dokumen sejarah daerah setempat,
diketahui bahwa perubahan-perubahan terus berlangsung dalam
berbagai aspek kehidupan penduduk dan lingkungannya. Rombouts
OFM (1989) menjelaskan, sejak tahun 1909 berlangsung sejumlah
ekspedisi militer Belanda di daerah perbatasan Papua dan PNG.
Momen tersebut merupakan momen penting yang menandai terjadinya
perubahan di daerah ini. Sesudah ekspedisi militer Belanda tersebut,
dilanjutkan dengan penempatan pejabat-pejabat pemerintahan, yang
secara politis menyatakan bahwa daerah Keerom merupakan bagian
dari kekuasaan Belanda sama seperti wilayah lainnya di Papua ketika
itu. Dari sumber tersebut diketahui pula bahwa yang masuk ke daerah
ini bukan hanya pemeritah Belanda, tetapi juga tahun 1939 Gereja
Katolik mulai berkarya di tempat ini. Selain kedua lembaga tersebut,
para pedagang dan pemburu burung Cendrawasih sebelumnya telah
ada di daerah ini. Dengan demikian lembaga-lembaga dan kelompok-
kelompok yang disebutkan itu dapat dikatakan mempunyai andil
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
308
membawa perubahan-perubahan di daerah ini. Perubahan-perubahan
yang signyifikan terjadi berkaitan dengan keadaan lingkungan alam,
kehidupan ekonomi, tradisi dan kebiasaan hidup serta sistem
kelembagaan penduduk. Dari sejumlah studi dokumen diketahui juga
bahwa pemerintah Belanda melalui berbagai survei yang dilakukan di
daerah Keerom sebenarnya telah menetapkan wilayah ini sebagai salah
satu daerah pertanian dan perkebunan yang dapat menjadi penyangga
ekonomi bagi daerah sekitarnya. Dengan demikian apa yang kemudian
dikembangkan di Keerom khususnya wilayah Arso dan sekitarnya
sebagai daerah pertanian dan perkebunan sesungguhnya merujuk pada
program-program pemerintah Belanda khususnya setelah Konferensi
Meja Bundar (KMB) di Belanda (Meteray, 2012, 149-165). Ketika
wilayah Papua diintegrasikan ke dalam NKRI, posisi Keerom sebagai
wilayah pertanian dan perkebunan semakin dipertegas melalui
program Transmigrasi umum dan Transmigrasi PIR (Suparlan, dalam
Bulletin of West Irian Developmnet, 1972; Tim YPMD-Irja, 1987;
Budiardjo & Liong, 1988, 63-76; Aditjondro, 2003, 403-426).
Bila dilihat dari perspektif Livelihood (Chambers & Conway,
1991; Krantz, 2001), daerah ini memang mempunyai natural capital, yakni keadaan alam dan tanah yang subur serta kekayaan alam lainnya
yang memungkinkan untuk dimanfaatkan bagi pengembangan bidang
pertanian dan perkebunan serta pembangunan bidang lainnya. Namun
perubahan dan perkembangan daerah ini sebagai daerah yang makin
terbuka dengan berbagai dampak yang menyertainya dalam berbagai
aspek kehidupan dijelaskan secara singkat sebagai berikut.
Proses kehadiran kelapa sawit sebagai komoditi perkebunan
penghasil devisa negara di Workwana dan sekitarnya berlangsung
sebagai berikut. PTPN II sebagai Badan Usaha Milik Negara merupakan
satu lembaga usaha berbadan hukum di bidang perkebunan yang
pertama kali mengembangkan perkebunan kelapa sawit di Papua
tepatnya di Distrik Arso Kabupaten Jayapura dan Kabupaten
Manokwari ketika itu. Dari analisa dan refleksi terkait data temuan
lapangan terlihat ada beberapa pendekatan yang digunakan PTPN II,
melancarkan usaha bisnis perkebunan sawit di Daerah Arso meliputi
Masa Depan Sustainable Livelihood Orang Workwana
309
Kampung Arsokota, Workwana dan sekitarnya. Pendekatan yang
dimaksud ialah, satu pendekatan yang hegemonik. Pendekatan
hegemonik dibangun sebagai suatu kekuatan dominan perusahaan
bersama penguasa atau pemerintah daerah, yang memengaruhi
sedemikian rupa penduduk setempat sehingga tanah ulayat penduduk
diberikan kepada perusahaan untuk pengembangan perkebunan kelapa
sawit dan lokasi pemukiman warga transmigrasi PIR. Pendekatan
hegemonik tersebut kemudian berujung pada manipulasi luas tanah
yang menurut penduduk setempat seharusnya hanya 5.000 ha menjadi
50.000 ha. Pendekatan semacam ini disebut Saiful Arif (2000, xvii-xiii)
sebagai politik hegemoni; dua, pendekatan politik keamanan.
Pembukaan lahan sawit di Distrik Arso meliputi Workwana, Arsokota
dan beberapa kampung lain di sekitar dikisahkan penduduk setempat
sebagai pendekatan politik keamanan. Dikatakan demikian karena
penduduk mengalami langsung keterlibatan aparat keamanan yang
diperalat perusahaan sebagai kekuatan penekan penduduk.
Penggunaan aparat keamanan sebagai penekan masyarakat disebut
Budiardjo & Liong (1984, 70-71) menimbulkan terjadinya penetrasi,
tekanan, intimidasi, kekerasan, stigmatisasi bahkan penghilangan
nyawa penduduk. Artinya demi pembangunan ekonomi, kepentingan
perusahaan dan devisa negara terjadilah kekerasan atas nama negara
terhadap penduduknya. Pada hal sesungguhnya negara harus
melindungi setiap warganya dari ancaman apapun sehingga tercipta
keadaan yang disebut human security. Akan tetapi senyatanya studi
ini memperlihatkan bahwa kasus kelapa sawit hanya menjadikan
penduduk Arso sebagai korban pembangunan. Pendekatan seperti
disebut ini sebagai bentuk pelanggaran hak-hak azasi manusia dalam
bidang politik pembangunan ekonomi yang dilakukan negara terhadap
rakyatnya atau penduduknya. Secara sosiologis pengembangan
perkebunan kelapa sawit bisa dikatakan mempunyai fungsi manifest
dan fungsi laten. Fungsi manifest perkebunan sawit terlihat sebagai
usaha kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk.
Sedangkan fungsi laten yang terdapat di dalam usaha perkebunan
sawit tersebut ialah sebagai kegiatan politik negara untuk pengamanan
daerah perbatasan RI dan PNG. Pendekatan pengamanan daerah
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
310
perbatasan menurut penduduk setempat dilakukan melalui
penggundulan hutan, agar hutan tidak menjadi tempat berkeliarannya
kelompok separatis. Penggundulan seperti ini menurut perspektif
lingkungan disebut sebagai proses deforestasi; tiga, pendekatan
menjadikan tokoh-tokoh adat dan masyarakat sebagai karyawan
perusahaan kelapa sawit. Pendekatan ini secara manifest juga
merupakan realisasi janji-janji perusahaan melibatkan penduduk
setempat sebagai karyawan perusahaan. Tetapi sesungguhnya secara
laten tokoh-tokoh ini merupakan tameng perusahaan manakala
muncul permasalahan terkait dengan penduduk setempat. Bila kita
mencermati beberapa pengalaman terkait dengan resistensi penduduk
terhadap perusahaan selama ini, nampaknya pendekatan ini tidak
begitu efektif.
Dengan begitu bisa dikatakan seluruh proses pendekatan yang
digunakan perusahaan dan pemerintah untuk menguasai lahan-lahan
penduduk disebut sebagai proses peminggiran atau marginalisasi
penduduk oleh negara, penguasa dan pemodal. Proses ini tentu
membuat penduduk setempat tak berdaya dan mengikuti apa yang
diinginkan penguasa dalam suasana batin yang penuh tekanan dan
sakit hati. Bentuk-bentuk marginalisasi penduduk dapat dilihat dari
ungkapan dan pengalaman penduduk seperti, perusahaan
menggunakan aparat keamanan menekan penduduk untuk melepas
tanah-tanah ulayat, mengintimidasi dan menstigma penduduk sebagai
separatis atau OPM bila ada yang memprotes kegiatan perusahaan.
Penduduk Workawana mengungkapkan kembali memori kolektifnya
terkait dengan penyerahan lahan kelapa sawit, terjadi dalam situasi
penuh tekenan. Senada dengan pernyataan masyarakat itu oleh Celsius
Watae menyatakan ketika berlangsung sebuah seminar di Jayapura
tahun 2008 tentang masalah sawit di Arso, bahwa suasana saat itu tidak
memungkinkan penduduk menolak pelepasan tanah dan hutan untuk
perkebunan sawit. Selain berbagai tekanan dialami penduduk, muncul
pula janji-janji yang menurut warga setempat janji-janji tersebut tidak
pernah dipenuhi. Karena itu penduduk menyebutnya sebagai
tindakan-tindakan penipuan. Menurut penduduk, setelah usaha yang
dilakukan pemerintah dan perusahaan berhasil, terjadilah
Masa Depan Sustainable Livelihood Orang Workwana
311
penggunduluan hutan secara besar-besaran. Karena itu penduduk
setempat selalu menyatakan pengambilan tanah ini terjadi tanpa ada
ganti rugi, sehingga tidak ada dasar yang kuat untuk pemerintah
menyebut tanah ini tanah pemerintah. Cara lain peminggiran dan
perlakuan tidak manusiawi terhadap penduduk juga dirasakan ketika
mereka terlibat dalam pekerjaan proyek pembangunan rumah bantuan
Menteri Sosial di Workwana tahun 1984. Sejumlah orang mengisahkan
bahwa ketika bekerja mereka diperlakukan dengan kasar dan tidak
manusiawi oleh aparat keamaman yang mengawasi pekerjaan tersebut.
Peminggiran penduduk juga dialami melalui manipulasi luas lahan
yang dilakukan pemerintah setempat dan perusahaan. Pengalaman ini
semuanya menjadi memori kolekitf penduduk setempat yang selalu
dibicarakan hingga saat ini, khususnya pada momen-momen
pembicaraan tentang urusan kelapa sawit di daerah ini.
Berhadapan dengan berbagai fenomena keterpinggiran tersebut
muncul collective action gerakan sosial dan protes penduduk menolak
kehadiran kelapa sawit. Collective action seperti ini seringkali dinilai
sebagai pembangkangan penduduk terhadap pemerintah yang sah.
Lebih fatal lagi penduduk biasanya diberi stigma separatis dan
pemberontak, yang tidak jarang diperlakukan dengan kekerasan dan
ancaman senjata serta penghilangan nyawa manusia. Pada hal
sesungguhnya yang diperjuangkan penduduk adalah perlakuan yang
adil oleh penguasa terkait dengan hak-hak hidup, hak atas tanah dan
akses untuk hidup lebih baik saat ini dan di masa depan. Jadi collective action yang berujung pada resistensi sesungguhnya menunjukkan
bahwa dari sisi livelihood penduduk sedang berada dalam situasi
vulnerable context pemiskinan. Karena itu resistensi penduduk
sebenarnya merupakan gerakan moral-sosial warga negara Indonesia,
memperjuangkan hak-hak dasar hidupnya yang diabaikan negara.
Dengan kata lain pengalaman ini menunjukkan bahwa negara lalai,
tidak berpihak dan tidak hadir memberikan perlindungan ketika
penduduk mencari keadilan bagi hidupnya karena negara dianggap
merupakan bagian dari konspirasi dan tindakan permarjinalisasian
tersebut.
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
312
Dari sisi pembangunan ekonomi, pendekatan perkebunan
kelapa sawit berbeda dengan pendekatan ekonomi perspektif
sustainable livelihood. Pendekatan perkebunan kelapa sawit
merupakan usaha skala besar yang mengutamakan hasil produksi yang
besar pula. Relasi-relasi yang terbangun dalam industri perkebunan
sawit ialah relasi antara buruh, pekerja, orang upahan dan majikan
atau pemilik modal. Konsekuensinya penduduk setempat hanya
menjadi buruh, pekerja dan orang upahan, bergantung pada majikan
dan pemodal perusahaan dan pemerintah. Dalam kasus di Workwana,
penduduk setempat yang awal mulanya merupakan tuan tanah
kemudian menjadi tuna lahan diposisikan sebagai alat produksi industri
kelapa sawit dan perusahaan sebagai produsen, penguasa dan majikan
yang mempunyai modal. Relasi-relasi ini ternyata berdampak
menimbulkan eksploitasi majikan terhadap buruh atau pekerja.
Pendekatan ini kemudian menimbulkan ketersingkiran, keterasingan
penduduk dari lingkungan alam, hasil kerja dan sesamanya sehingga
terjadi dislokasi dan disorientasi penduduk setempat (Magnis Suseno,
2001, 87-104). Dari jenis usaha pendekatan perkebunan sawit
merupakan sistem usaha yang monokultur. Industri perkebunan sawit
merupakan usaha berskala besar, mengutamakan hasil produksi,
berpusat pada kepentingan pemodal dunia industri, menimbulkan
ketergantungan penduduk hanya pada usaha sawit, menguntungkan
perusahaan sebagai majikan. Pendekatan ini tentu berbeda dengan
pendekatan sustainable livelihood yang berpusat pada kepentingan
masyarakat atau penduduk, mengutamakan kemandirian, kerja
berjejaring dengan memperhatikan aspek makro-mikro, usaha skala
kecil, dan berpusat pada masyarakat, memanfaatkan modal-modal
yang ada dan mendorong terjadinya diversifikasi livelihood
berkelanjutan.
Pendekatan sustainable livelihood bertumpu pada aset-aset
baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan atau modal-modal
yang ada yaitu, modal manusia, modal sosial, modal alam, modal fisik,
modal finansial atau bisnis yang ada. Selain itu dapat dikatakan
kekhususan pendekatan sustainable livelihood ialah adanya
kemungkinan melakukan strategi coping bila seseorang atau
Masa Depan Sustainable Livelihood Orang Workwana
313
rumahtangga-rumahtangga berada dalam keadaan tekanan dan
goncangan hidup. Ada berbagai bentuk strategi yang ditawarkan dalam
pendekatan sustainable livelihood agar seseorang atau rumahtangga-
rumahtangga bisa keluar dari tekanan dan goncangan atau vulnerable context. Dalam studi yang dilakukan ini ditemukan beberapa bentuk
strategi coping penduduk di Workwana. Pertama, strategi resistensi
sebagai bentuk collective action. Resistensi merupakan suatu gerakan
moral-sosial penduduk memperjuangkan hak-hak dasar, aset-aset dan
akses hidupnya. Oleh karena itu resistensi ini bukan sutau gerakan
politik. Kedua, strategi coping yang dilakukan oleh penduduk. Ada
beberapa kategori kelompok penduduk di Workwana yang melakukan
coping. Kelompok-kelompok dimaksud ialah kelompok berpendidikan
(berbagai profesi pegawai negeri, politisi, pengusaha, pegawai swasta)
dan kelompok perempuan (berjualan di pasar, beternak, usaha kios)
serta kaum muda tunakarya (tukang ojek dan kerja borongan,
pengawas pos adat).
Memang tak dapat disangkal bahwa telah terjadi perubahan
dan perkembangan yang signyifikan di bidang infrastruktur dasar,
politik, ekonomi dan pembangunan sosial di bidang pendidikan,
kesehatan dan lain-lain di wilayah ini. Namun pembangunan di
berbagai aspek tersebut juga telah menghasilkan berbagai masalah
dalam kehidupan penduduk setempat sebagaimana ditunjukkan
Ansaka dkk., (2009) serta Dale dan Djonga (2011) melalui studi yang
dilakukan keduanya di Kabupaten Keerom. Salah satu dampak
pembangunan ekonomi di tempat ini sebagaimana yang penulis
temukan ternyata berdampak menimbulkan krisis serius dalam
kehidupan penduduk di Workwana. Krisis dimaksud adalah krisis yang
terkait dengan aspek ekologi, ekonomi, kelembagaan dan nilai-nilai
sosial-budaya penduduk setempat sebagai dampak dari penetrasi sistem
ekonomi politik monokultur perkebunan kelapa sawit di daerah Arso.
Krisis tersebut senyatanya telah menimbulkan fenomena keterping-
giran atau marjinalisasi penduduk terkait dengan livelihood setempat.
Dikatakan demikian karena krisis tersebut menunjukkan bahwa
pendekatan pembangunan melalui perkebunan kelapa sawit
berseberangan dengan pendekatan pembangunan yang berwawasan
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
314
lingkungan (ecodevelopment) dan world view setempat yang dinilai
merugikan penduduk setempat. Selain itu pendekatan pembangunan
monokultur tersebut tidak dapat memelihara keseimbangan dialektika
ekologis antara alam dan manusia (Hettne, 2001, 322-323) bahkan
justru menghancurkan hutan-hutan primer setempat, pusat livelihood
subsisten penduduk. Karena itu krisis-krisis tersebut telah
menimbulkan pula krisis kepercayaan penduduk terhadap pemerintah
sebagai penguasa serta korporasi pemodal besar di bidang
pembangunan masyarakat. Sikap penduduk setempat sebagai
tanggapan terhadap perubahan yang terjadi dapat dilihat sebagai
berikut. Pertama, muncul sikap resistensi masyarakat terhadap
pendekatan pembangunan ekonomi melalui perkebunan kelapa sawit
sebagai livelihood baru. Resistensi penduduk ini bukan bersifat
resistensi politik tetapi merupakan gerakan sosial, tepatnya sebuah
gerakan moral-sosial penduduk yang menyebut diri sebagai masyarakat
adat Arso. Gerakan moral sosial masyarakat ini merupakan colletive action yang mempersoalkan hak-hak dasarnya berkaitan dengan aset-
aset dan akses sumberdaya penghidupan yang dirusakkan, hancur dan
hilang. Putusnya relasi penduduk dengan berbagai aset dan akses
tersebut telah menimbulkan disorientasi dan dislokasi penduduk. Pada
hal berbagai aset yang hilang baik yang kelihatan maupun yang tidak
kelihatan merupakan modal-modal livelihood penduduk untuk
membangun hidupya saat ini dan di masa depan. Resistensi penduduk
di daerah ini muncul sebagai colletive action melalui berbagai aktivitas.
Resistensi penduduk muncul dalam berbagai bentuk seperti,
melakukan protes dengan menyurat kepada pihak perusahaan dan
pemerintah, kemuidan secara berjejaring melakukan advokasi
(melibatkan lembaga bantuan hukum Universitas Cendrawasih
Jayapura, Komnas HAM Papua dan SKP KJ dan institusi-institusi yang
peduli dengan masalah masyarakat adat Arso), selain itu juga penduduk
melakukan pemalangan pabrik dan kebun inti perusahaan, juga
berunjukrasa ke DPRP Provinsi Papua dan DPRD Kabupaten Keerom,
dan menyampaikan masalah sengketa hak ulayat kepada DPR RI dan
Presiden RI, termasuk penduduk berhenti panen dan melakukan
diskusi publik. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa resistensi ini bukan
Masa Depan Sustainable Livelihood Orang Workwana
315
sebuah gerakan politik melainkan sebuah gerakan moral-sosial
penduduk sehingga tidak pada tempatnya dilihat sebagai gerakan anti
pemerintah. Gerakan ini muncul karena adanya kesadaran bahwa
sebuah usaha ekonomi atas nama negara seperti yang dilakukan oleh
perusahaan kelapa sawit di Distrik Arso merupakan suatu bentuk
hegemoni sistem ekonomi politik yang berdampak memarginalkan
penduduk. Dikatakan demikian karena Menurut Galtung, dalam M.
Windhu (1992), kekuasaan selalu bersifat struktural yang ditandai oleh
ciri-ciri, adanya eksploitasi, penetrasi, fragmentasi dan marginalisasi.
Apa yang dialami oleh orang Workwana (bersama masyarakat adat
Arso lainnya), dalam studi kasus ini menunjukkan adanya eksploitasi
masif sumber daya alam (lingkungan), terjadi fragmentasi, yang mana
secara kelembagaan peran tokoh adat diabaikan, penduduk setempat
dikotak-kotakan, tanah-tanah ulayat dikapling-kapling dan dijual
sehingga terjadi alihkepemilikan. Menurut seorang tokoh muda
masyarakat adat Arso, keadaan ini rentan konflik antar warga
masyarakat karena seseorang yang bukan pemilik lahan berusaha pada
lahan adat milik orang lain yang pembagian lahannya diatur oleh
perusahaan. Dengan demikian dapat dikatakan proses marjinalisasi ini
sesungguhnya telah menimbulkan sebuah fenomena dislokasi dan
disorientasi penduduk. Dislokasi ditandai oleh perasaan seolah-olah
penduduk setempat tidak berada di tanahnya sendiri atau tidak berada
di kampung halamannya sendiri dan sedang berada di tempat baru
yang asing baginya. Sedangkan keadaan disorientasi ditandai oleh rasa
kebingungan, hilang arah karena seharusnya penduduk dapat
menikmati kesejahteraan hidup dalam lingkungan kampungnya sendiri
tetapi senyatanya mereka sedang berada dalam keadaan tak berdaya,
putus harapan. Keadaan yang dialami penduduk tersebut dilihat juga
sebagai fenomena perampasan dan pemanipulasian hak penduduk atas
nama negara dan kekuasaan demi pembangunan nasional. Dengan
penuh kekesalan penduduk setempat selalu menyatakan, hutan tempat
cari makan dibabat dan kami ditipu dengan imbalan yang tidak
memadai, kami tak berdaya, bingung dan tertekan, tidak tahu apa yang
bisa kami lalukan.
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
316
Dengan pengalaman yang demikian sikap resistensi hendaknya
dilihat sebagai suatu bentuk tindakan kolektif penduduk memper-
tanyakan masa depannya dan masa depan generasi yang akan datang
sebagai warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama
seperti warga negara lainnya. Jadi menurut penulis sikap resistensi
sebagai collective action penduduk ingin mempertegas posisinya
sebagai komunitas masyarakat adat yang sedang mengalami proses
marjinalisasi oleh negara. Berdasarkan temuan-temuan studi lapangan
khususnya terkait dengan sikap resistensi penduduk dan kaitannya
dengan perspektif sustainable livelihood, orang Workwana dapat
dikategorikan ke dalam beberapa kelompok. Satu, kategori kelompok
petani plasma. Kelompok ini merupakan generasi pertama orang
Workwana yang tidak bergiat lagi dalam aktivitas ekonomi kelapa
sawit karena telah menjual atau mengontrak lahan perkebunan
sawitnya kepada pihak lain. Kelompok ini juga berperan
mempertahankan dan menuntut kembali hak ulayatnya. Kelompok
ini berada di antara situasi bukan lagi petani plasma dan sebagai orang-
orang yang kehilangan ruang subsisten, kelompok yang merindukan
masa lalu kehidupan subsisten. Namun kelompok ini juga mencoba
beradaptasi dengan perubahan yang terjadi bahkan ada sejumlah orang
dari kalangan kelompok ini direkrut sebagai karyawan perusahaan dan
sejumlah orang masih bergiat secara subsisten walaupun tidak efektif
seperti sebelumnya. Dua, kategori kelompok profesi atau formal employment. Kelompok ini pada umumnya merupakan generasi kedua,
terdiri dari orang-orang muda Workwana baik laki-laki maupun
perempuan yang berpendidikan. Kelompok ini melihat akses atau
peluang kerja yang ada dalam situasi yang sedang berubah sebagai
pilihan profesi hidup yang berbeda dengan generasi pertama. Profesi
baru yang dipilih sebagai status sosial baru dalam komunitasnya
merupakan bentuk coping penduduk setempat agar kehidupannya bisa
berkelanjutan. Menurut perspektif sustainable livelihood, profesi baru
dimaksud dikategorikan sebagai suatu status yang disebut formal-employment. Kelompok ini memilih keluar dari aktivitas generasi
pertama sebagai petani plasma dalam perkebunan sawit karena dua hal
yaitu, (1) adanya peluang baru untuk berprofesi di luar sistem
Masa Depan Sustainable Livelihood Orang Workwana
317
perkebunan sawit sesuai kapabilitasnya; (2) ruang kehidupan subsisten
tidak menjanjikan lagi bagi masa depan hidup generasi baru. Sekalipun
kelompok ini memilih profesi baru, mereka selalu mendukung generasi
pertama mempertahankan hak ulayatnya. Tiga, kaum perempuan.
Kelompok ini melihat bahwa ada peluang mengembangkan sustainable livelihood dengan menjadi penjual atau pedagang di pasar, mengurus
ternak dan kios di rumah atau menjadi buruhtani sawit di Arso Timur.
Kelompok ini dikategorikan sebagai kelompok yang mampu
melakukan coping sesuai dengan peluang yang tersedia dan akses-
akses yang ada. Peluang dan akses yang ditangkap kelompok ini di
Workwana didukung oleh motivasi yang kuat seperti diungkapkan
oleh sejumlah ibu, kalau mau bekerja atau mau berusaha pasti bisa.
Kelompok ini ada yang merupakan bagian dari petani plasma dan ada
pula generasi kedua yang secara mandiri melakukan coping dengan
melihat peluang-peluang yang ada untuk melakukan diversifikasi
livelihood. Empat, kelompok tunakarya. Kelompok ini pada umumnya
merupakan generasi ketiga penduduk Workwana yang putus sekolah
dan tunakarya. Dengan ketrampilan yang terbatas kelompok ini
berusaha melakukan coping melalui pekerjaan informal seperti
menjadi tukang ojek dan pekerja borongan di kampung.
Proses marjinalisasi yang dialami terkait empat hal berikut.
Pertama, telah terjadi pengalifungsian tanah adat atau tanah ulayat
penduduk untuk kepentingan perkebunan sawit melalui transaksi
yang manipulatif dan tindakan kekerasan. Kedua, kompensasi atas
pelepasan tanah adat tidak setara dengan ongkos sosial dan ekonomi
yang selama ini menjadi beban penduduk yang kehilangan lahan
pencaharian nafkah dan nyawa serta hak-hak dasar yang ditandai
oleh krisis ekologi, ekonomi, kelembagaan dan sosial-budaya. Ketiga,
telah terjadi perubahan fenomenal status ontologis penduduk
setempat dari posisi tuan tanah, pemilik hak ulayat menjadi penduduk
yang tuna lahan yang kehilangan aset-aset dan kepercayaan diri.
Keempat, pemerintah atau penguasa tidak berpihak pada kepentingan
penduduk atau rakyat kecil di kampung. Ketidakberpihakan penguasa
secara riil dalam kasus ini telah menimbulkan pula ketidakpercayaan
penduduk terhadap penguasa dan korporasi yang bergiat di bidang
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
318
pembangunan ekonomi melalui kelapa sawit. Mereka pun menilai
bahwa pendekatan pengalihfungsian hutan untuk perkebunan sawit
merupakan bentuk penipuan dengan alasan untuk kepentingan negara
sehingga masyarakat tidak mendapat imbalan yang memadai.
Ungkapan tersebut secara fenomenologis menunjukkan ungkapan
kekesalan sekaligus megandung protes penduduk yang amat dalam,
karena terjadi relasi-relasi yang bersifat eksploitatif dan relasi yang
memarjinalkan penduduk, bukan relasi-relasi pertukaran antarsubyek
atau diri yang setara antara penguasa, korporasi dan penduduk.
Keadaan penduduk termarjinalisasi tersebut kemudian
memunculkan kesadaran baru penduduk setempat untuk mensiasati
livelihood yang berkelanjutan atau sustainable livelihood. Kesadaran
baru tersebut muncul setelah berbagai aset atau modal-modal yang
seharusnya ada hilang. Sementara itu modal yang dipunyai penduduk
sebagai kekuatan utama ialah modal manusia atau human capital (Krantz, 2001). Modal manusia yang ada dapat dimanfaatkan untuk
mengembangkan strategi coping (Chambers dan Conway, 1991; Ian
Scoones, 1998; Butler dan Mazur, 2007) menghadapi situasi krisis
ekologi, ekonomi, kelembagaan dan sosial-budaya yang memarjinalkan
dirinya. Strategi coping dilakukan dalam berbagai bentuk dan oleh
kelompok yang berbeda. Selain menggunakan modal manusia yang
dimiliki, berbagai akses yang ada juga dimanfaatkan penduduk. Akses-
akses tersebut seperti, akes pasar, bisnis, pendidikan, pekerjaan
(birokrat), politik dan berbagai askes lain yang diperoleh penduduk.
Strategi coping tersebut dilakukan, pertama, oleh kelompok
perempuan yang melihat pasar sebagai akses untuk mengembangkan
sustainable livelihoods, walaupun kegiatan ekonomi pasar yang
dilakukan berskala kecil namun mampu menangkal kerentenan hidup
ekonomi rumahtangga; kedua, kaum berpendidikan melihat profesi
sebagai birokrat di pemerintahan, politisi, pebisnis dan berbagai profesi
lain sebagai akses yang tersedia untuk mengembangkan sustainable livelihood yang baru; ketiga, demikian juga kelompok muda tunakarya,
dengan ketrampilan yang terbatas mereka pun memanfaatkan berbagai
akses kerja informal secara kreatif sebagai aktivitas livelihoodnya.
Artinya human capital penduduk setempat telah dimanfaatkan
Masa Depan Sustainable Livelihood Orang Workwana
319
sedemikian rupa sehingga nampak kapabilitasnya (Chambers &
Conway, 1991) untuk mengembangkan livelihood rumahtangga secara
berkelanjutan. Dengan begitu dapat dikatakan strategi coping yang
dilakukan orang-orang Workwana tersebut sejalan dengan sejumlah
unsur livelihood rumahtangga yang disebut Chambers dan Conway
sebagai hal-hal pokok livelihood rumahtangga. Unsur-unsur pokok
rumahtangga dimaksud ialah, (1) adanya kapabilitas yang didukung
oleh human capital, (2) adanya aktivitas (berjualan, bisnis, birokrat,
politisi), (3) adanya aset-aset atau modal (yang kelihatan, seperti uang,
barang-barang yang dijual dan yang tak kelihatan seperti, kesadaran
moral keluarga untuk tanggungjawab, hak-hak penduduk dan lain-
lain) serta (4) adanya hasil karya yang dapat dinikmati dari aktivitas-
aktivitas atau pekerjaan yang dilakukan tersebut.
Selanjutnya bagian ini akan diakhiri dengan sebuah penjelasan
yang merangkum seluruh proses berpikir, yang di dalamnya termuat
kerangka teori yang digunakan, kondisi empiris penduduk, yang di
dalamnya terdapat sikap resistensi dan coping yang dilakukan
penduduk dan suatu usulan pemberdayaan penduduk. Penjelasan
tersebut dibuat dalam tabel berikut ini.
Tabel 8.1
Proses marjinalisasi, resistensi dan coping: suatu rangkuman
Kerangka Konseptual Kondisi Empiris Kebijakan
Paradigma pertumbuhan, pembangunanisme, production thingking (economic growth); sawit komoditi ekspor
Penduduk kehilangan ruang subsisten
Lingkungan tergradasi, sumber nafkah subsisten hilang, struktur kelembagaan penduduk, kepemiminan lokal terabaikan & tidak berfungsi, nilai-nilai
1. Masuknya ekonomi
kelapa sawit di Workawana: cara2 manipulatif, kekerasan, ancaman nyawa penduduk, janji2 tak dipenuhi penguasa dan perusahaan
2. Sawit sebagai bagian dari livelihood penduduk
3. Terjadi krisis-krisis (ekologi, ekonomi, kelembagaan, sosial-budaya), yang
1. Kebijakan & program
afirmatif: PERDASI & PERDASUS, PerBup, terkait dengan hak-hak atas hutan dan tanah serta akses penduduk di bidang pendidikan, ekonomi, politik, pengelolaan lingkungan
2. Adanya kebijakan & program penguatan kelembagaan penduduk tingkat kampung
3. Adanya kebijakan &
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
320
Kerangka Konseptual Kondisi Empiris Kebijakan
sosial-budaya, relasi & tradisi diabaikan
Sustainable development: Sustainable livelihood & collective action (resistensi & coping)
memarjinalisasi penduduk: secara psikis dan fisik. Terjadi dislokasi dan disorientasi penduduk
4. Muncul sikap resistensi dan coping: sustainable livelihood
program pemberdayaan, penguatan human capital: rumahtangga-
rumahtangga, kaum perempuan dan kelompok generasi muda kampung tunakarya & coping, diversifikasi
Gambaran proses penduduk termarginalisasi sebagai fokus studi
ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, sebelum kelapa sawit
masuk, penduduk setempat mempunyai livelihood subsisten, dengan
aset-aset, akses dan hak-hak kelompok dalam sistem yang terintegrasi
secara ekologis, ekonomi, kelembagaan dan sosial budaya. Kedua,
tahun 1982/1983 Kelapa sawit masuk Workwana yang mana
sebelumnya tahun 1981/1982 terlebih dahulu masuk di kampung
Arsokota. Kehadiran kelapa sawit ternyata menimbulkan sejumlah
masalah karena menciptakan krisis, ekologi, ekonomi, kelembagaan
dan sosial-budaya. Selain itu terjadi pula manipulasi alihfungsi lahan
dengan tindakan-tindakan yang bersifat kekerasan, intimidasi,
stigmatisasi dan lain-lain. Ketiga, muncul krisis-krisis. Krisis tersebut
terjadi karena tekanan, tindakan manipulatif, hilangnya aset-aset dan
akses subsisten. Keadaan ini mengakibatkan penduduk setempat
terpinggirkan secara ekologis, ekonomi, kelembagaan dan sosial-
budaya karena kehilangan sejumlah kapital yang dibutuhkan untuk
mengembangkan sustainbale livelihood subsisten, sehingga terjadi
keadaan yang disebut disoreintasi dan dislokasi. Keempat, krisis-krisis
tersebut menjadikan Orang Workwana termarjinalkan atau
terpinggirkan. Keadaan termarjinal atau terpinggirkan sebenarnya
sudah berlangsung sejak awal kelapa sawit masuk di daerah ini. Kondisi
penduduk termarjinal ditandai oleh hilangnya aset dan akses serta hal-
hak subsisten yang selama ini menghidupakannya. Penduduk juga
mengalami berbagai tekanan, kekerasan, stigma dan berbagai tindakan
manipulatif yang menyebabkan mereka tak berdaya memperjuangkan
hak-hak hidupnya. Kelima, berhadapan dengan krisis dan kondisi
penduduk termarginalisasi tersebut muncul kesadaran penduduk untuk
Masa Depan Sustainable Livelihood Orang Workwana
321
menggunakan human capital-nya menanggapi krisis dan vulnerable context tersebut dengan membangun strategi-strategi setempat.
Strategi pertama yang dibangun ialah bersikap resistensi sebagai upaya
colletive action gerakan moral sosial mencari keadilan atas hak
ulayatnya sebagai warga negara RI terhadap perusahaan kepala sawit
dan pemerintah. Resistensi tersebut dilakukan dengan berbagai cara
seperti yang telah disebutkan lebih dahulu. Kemudian strategi yang
kedua, kelompok berpendidikan, kelompok perempuan dan kaum
muda tunakarya melakukan coping agar bisa tetap eksis sehingga
sustainable livelihood tetap berlangsung dalam situasi yang terus
berubah.
Jadi menurut hemat penulis ada berbagai kasus kegagalan
pembangunan di Papua, khususnya di kampung-kampung, terjadi
antara lain karena tidak dibangunnya relasi saling percaya antara
penduduk dan agen pembangunan baik pemerintah maupun pihak
terkait lainnya. Karena penduduk setempat masih dijadikan obyek
program dan sasaran kegiatan politik pembangunan bukan sebagai
subyek dan pelaku pembangunan itu sendiri. Pendekatan-pendekatan
pembangunan yang menimbulkan kesenjangan seperti ini dari sisi etika
pembangunan disebut Goulet (1995) sebagai pendekatan rasionalitas
politis dan rasionalitas teknis, bukan rasionalitas etis. Dengan demikian
diharapkan akan terjadi model-model pembangunan yang lebih
bersifat inklusif di mana penduduk dapat terlibat secara langsung
sebagai subyek yang setara dalam proses pembangunan mulai dari
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi yang berlangsung secara
berkelanjutan sehingga terwujud sustainable livelihood yang
mensejahterakan penduduk dalam berbagai aspek kehidupan.