bab i isi meningokel.docx
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Meningokel merupakan penyakit kongenital dari kelainan embriologis yang
disebut Neural tube defect (NTD). Meningokel disebabkan oleh banyak faktor dan
melibatkan banyak gen (multifaktoral dan poligenik). Banyak sekali penetitian yang
mengungkap bahwa sekitar 70% kasus NTD dapat dicegah dengan suplementasi asam
fclai, sehingga defisiensi asam folat dianggap sebagai salah satu faktor penting dalam
teratogenesis meningokel. Basis molekut defisiensi asam folat adalah kurang adekuatnya
enzim enzim yang mentransfer gugus, karbon dalam proses metiiasi protein dalam se1,
baik dalam nukleus maupun mitokhondria, sehingga terjadi gangguan biosintesis DNA
dan RNA. serta kenaikan kadar homosistein.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Meningokel?
2. Apa etiologi Meningokel?
3. Bagaimana patofisiologi Meningokel?
4. Apa saja manifestasi klinis Meningokel?
5. Bagaimana deteksi prenatal pada Meningokel?
6. Apa saja komplikasi pada Meningokel?
7. Apa saja pencegahan sebelum terjadi Meningokel?
8. Apa saja pemeriksaan penunjang Meningokel?
9. Bagaimana penatalaksanaan Meningokel?
10. Bagaimana konsep dasar asuhan keperawatan pada Meningokel?
1
1.3 Tujuan
a. Tujuan Umum
Menyelesaikan tugas dari Dosen mata kuliah Keperawatan Anak, dengan membuat
makalah yang berjudul Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Meningokel, serta
meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai Asuhan Keperawatan pada
Anak dengan Meningokel.
b. Tujuan Khusus
1. Mengetahui apa pengertian Meningokel, etiologi Meningokel, manifestasi klinis
Meningokel, komplikasi pada Meningokel, pencegahan sebelum terjadi
Meningokel, pemeriksaan penunjang Meningokel
2. Mengetahui bagaimana patofisiologi Meningokel, deteksi prenatal pada
Meningokel, penatalaksanaan Meningokel, konsep dasar asuhan keperawatan pada
Meningokel
2
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian
Meningokel adalah penonjolan dari pembungkus medulla spinalis melalui spina bifida
dan terlihat sebagai benjolan pada permukaan. Pembengkakan kistis ini ditutupi oleh
kulit yang sangat tipis. Pada kasus tertentu kelainan ini dapat dikoreksi dengan
pembedahan. Pembedahan terdiri dari insisi meningokel dan penutupan dura meter.
Kemudian kulit diatas cacat ditutup. Hidrosefalus kemungkinan merupakan komplikasi
yang memerlukan drainase. (Prinsip Keperawatan Pediatric, Rosa M. sachrin. Hal-283).
Meningokel merupakan kelainan kongenital SSP yang paling sering terjadi. Biasanya
terletak di garis tengah. Meningokel biasanya terdapat di daerah servikal atau daerah
torakal sebelah atas. Kantong hanya berisi selaput otak, sedangkan korda tetap dalam
korda spinalis (dalam durameter tidak terdapat saraf). Tidak terdapat gangguan sensorik
dan motorik. Bayi akan menjadi normal sesudah operasi. (IKA-FKUI. Hal-1136)
Meningokel adalah penyakit kongenital dari kelainan embriologis yang disebut neural
tube defect (NTD) yaitu adanya defek pada penutupan spina yang berhubungan dengan
pertumbuhan yang abnormalnya korda spinalis atau penutupannya.
2.2 Etiologi
Penyebab spesifik dari meningokel atau belum diketahui. Banyak factor seperti
keturunan dan lingkungan diduga terlibat dalam terjadinya defek ini. Tuba neural
umumnya lengkap empat minggu setelah konsepsi. Hal- hal berikut ini telah ditetapkan
sebagai faktor penyebab; kadar vitamin maternal rendah, termasuk asam folat:
mengonsumsi klomifen dan asam valfroat: dan hipertermia selama kehamilan.
3
Diperkirakan hampir 50% defek tuba neural dapat dicegah jika wanita bersangkutan
meminum vitamin-vitamin prakonsepsi, termasuk asam folat. Kelainan konginetal SSP
yang paling sering dan penting ialah defek tabung neural yang terjadi pada 3-4 per
100.000 lahir hidup. Bermacam-macam penyebab yang berat menentukan morbiditas dan
mortalitas, tetapi banyak dari abnormalitas ini mempunyai makna klinis yang kecil dan
hanya dapat dideteksi pada kehidupan lanjut yang ditemukan secara kebetulan.
2.3 Patofisiologi dan pathway
Ada dua jenis kegagalan penyatuan lamina vertebrata dan kolumna spin alis yaitu
spina bifida okulta dan spina bifida sistika.Spina bifida okulta adalah defek penutupan
dengan meningen tidak terpajan di permukaan kulit. Defek vertebralnya kecil, umumnya
pada daerah lumbosakral.
Spina bifida sistika adalah defek penutupan yang menyebabkan penonjolan medula
spinalis dan pembungkusnya. Meningokel adalah penonjolan yang terdiridari meninges
dan sebuah kantong berisi cairan serebrospinal (CSS): penonjolanini tertutup kulit biasa.
Tidak ada kelainan neurologi, dan medulla spinalis tidak terkena. Hidrosefalus terdapat
pada 20% kasus spina bifida sistika. Meningokel umumnya terdapat pada lumbosakral
atau sacral. Hidrosefalus terdapat padahampir semua anak yang menderita spina bifida
(85% sampai 90%), kira-kira60% sampai 70% tersebut memiliki IQ normal.Banyak ahli
percaya bahwa defek primer pada NTD (neural tube defect)merupakan kegagalan
penutupan tuba neural selama perkembangan awal embrio.Akan tetapi, ada bukti bahwa
defek ini merupakan akibat dari pemisahan tubaneural yang sudah menutup karena
peningkatan abnormal tekanan cairanserebrospinal selama trimester pertama.
4
Genetik, lingkungan, kongenital
Gagal menyatukan lumina vertebrata & Kolumna spinalis
Penonjolan medula spinalis dan Pembungkusnya
Penurunan/gangguan fungsi pada bagian tubuh yang dipersarafi
ketidakmampuan Kelumpuhan/kelemahan Orang tua Peningkatan mengontrol pola pada ekstremitas bawah cemas abnormal sel berkemih
Imobilisasi Kurang informasi tentang Penyakit TIK
Inkotinensia Resiko Kerusakan Kurang Gangguan Urine Integritas Kulit Pengetahuan Perfusi Jaringan2.4 Manifestasi klinis
Gejalanya bervariasi, tergantung kepada beratnya kerusakan pada korda spinalis dan
akar saraf yang terkena. Beberapa anak memiliki gejala ringan atau tanpa gejala,
sedangkan yang lainnya mengalami kelumpuhan pada daerah yang dipersarafi oleh korda
spinalis atau akar saraf yang terkena.
Gejalanya dapat berupa :
a) Penonjolan seperti kantung di punggung tengah sampai bawah pada bayi baru lahir.
b) Jika disinari, kantung tersebut tidak tembus cahaya.
c) Kelumpuhan / kelemahan pada pinggul, tungkai atau kaki.
d) Seberkas rambut pada daerah sakral (panggul bagian belakang).
e) Lekukan pada daerah sakrum.
f) Penurunan sensasi, inkontinesia urin maupun inkontinensia tinja.
g) Korda spinalis yang tekena rentan terhadap infeksi (meningitis).
5
2.5 Deteksi prenatal
Terdapat kemungkinan untuk menentukan adanya beberapa NTD terbuka selama
masa prenatal. Pemindaian ultrasuara pada uterus dan peningkatan konsentrasi
alfafetoprotein (AFP), suatu gamma, globulin yang spesifik pada fetus, dalam cairan
amnion mengindikasikan adanya arensefali atau mielomeningokel. Waktu yang tepat
untuk melakukan pemeriksaan diagnostic ini adalah pada usia gestasi 16 dan 18 minggu,
sebelum konsentrasi AFP yang normalnya menurun, dan pada saat yang tepat untuk
melakukan aborsi terapeutik. Pengambilan sampel virus koronik (chorionic villus
sampling, CVS) juga merupakan pemeriksaan untuk diagnostik NTD pada masa prenatal.
Prosedur diagnostic di atas direkomendasikan untuk semua ibu yang telah melahirkan
anak dengan gangguan ini dan dan pemeriksaan ditawarkan bagi semua wanita hamil.
Selain itu, rencana kelahiran dengan sesar dapat menurunkan disfungsi motorik. (buku
ajar keperawatan pediatrik, Donna L. Wong. Hal-1425)
2.6 Komplikasi
1. Hedeosefalus
2. Meningitis
3. Hidrosiringomielia
4. Intraspinal tumor
5. Kiposkoliosis
6. Kelemahan permanen / paralisis pada ekstermitas bawah
7. Serebral palsy disfungsi batang otak
8. Gangguan pertumbuhan
6
2.7 Pencegahan
Risiko dapat dikurangi dengan mengonsumsi asam folat. Kekurangan asam folat pada
seorang wanita harus dikoreksi sebelum wanita tersebut hamil, karena kelainan ini terjadi
sangat dini. Kepada wanita yang berencana untuk hamil dianjurkan untuk mengonsumsi
asam folat sebanyak 0.4 mg/hari. Kebutuhan asam folat pada wanita hamil adalah 1
mg/hari.
2.8 Pemeriksaan Penunjang
1. Rontgen tulang belakang untuk menentukan luas dan lokasi kelainan.
2. USG tulang belakang bias menunjukkan adanya kelainan pada kordaspinalis maupun
vertebra.
3. CT scan atau MRI tulang belakang kadang dilakukan untuk menentukan lokasi dan
luasnya kelainan.
2.9 Penatalaksanaan
Tujuan dari pengobatan awal meningokel adalah mengurangi kerusakan saraf,
meminimalkan komplikasi (misalnya infeksi), serta membantu keluarga dalam
menghadapi kelainan ini.
Pembedahan dilakukan pada periode neonatal untuk mencegah rupture. Perbaikan
dengan pembedahan pada lesi spinal dan pirau CSS pada bayi hidrosefalus dilakukan
pada saat kelahiran. Pencangkokan kulit diperlakukan bila lesinya besar. Antibiotic
profilaktik diberikan untuk mencegah meningitis. Intervensi keperawatan yang dilakukan
tergantung ada tidaknya disfungsi dan berat ringannya disfungsi tersebut pada berbagai
system tubuh.
Terapi fisik dilakukan agar pergerakan sendi tetap terjaga dan untuk memperkuat
7
fungsi otot. Untuk mengobati dn mencegah meningitis, infeksi saluran kemih dan
lainnyadiberikan antibiotic. Untuk membantu memperlancar aliran kemih bias dilakukan
penekanan lembut diatas kandung kemih. Pada kasus yang berat kadang harus dilakukan
pemasangan kateter. Diet kaya serat dan program pelatihan buang air besar bisa
membantu memperbaiki fungsi saluran pencernaan.
Untuk mengatasi gejala muskulo skeletal (otot dan kerangka tubuh) perlu campur
tangan dari ortopedi (bedah tulang) maupun terapi fisik. Keleinan saraf lainnya diobati
sesuai dengan jenis dan luasnya gangguan fungsi yang terjadi. Kadang-kadang
pembedahan shunting untuk memperbaiki hidrosefalus.
Seksio sesarae terencana, sebelum melahirkan, dapat mengurangi kerusakan
neurologis yang terjadi pada bayi dengan defek korda spinalis.
Penatalaksanaan:
1. Sebelum dioperasi, bayi dimasukkan kedalam incubator dengan kondisi tanpa baju.
2. Bayi dalam posisi telungkup atau tidur jika kantungnya besar untuk mencegah
infeksi.
3. Berkolaborasi dengan dokter anak, ahli bedah dan ahli ortopedi, dan ahli urologi,
terutama untuk tidakan pembedahan, dengan sebelumnya melakukan informed
consent.
Lakukan pengamatan dengan cermat terhadap adanya tanda-tanda hidrosefalus
(dengan mengukur lingkar kepala setiap hari) setelah dilakukan pembedahan atau juga
kemungkinan terjadinya meningitis (lemah, tidak mau minum, mudah terangsang, kejang
dan ubun-ubun akan besar menonjol). Selain itu, perhatikan pula banyak tidaknya
gerakan tungkai dan kaki, retensi urin dan kerusakan kulit akibat iritasi urin dan feses.
BAB III
8
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
A. Anamnesa :
a. Identitas bayi
b. Identitas ibu
c. Riwayat kehamilan ibu
kadar alfa-fetoprotein dalam serum ibu dan cairan amnion ditemukan meningkat
pada usia 16-18 minggu
d. Riwayat kelahiran.
Seksio sesarae terencana atau normal
e. Riwayat Keluarga.
f. Anak sebelumnya menderita spina bifida
Riwayat atau adanya faktor resiko Jenis kelamin laki-laki
B. Pemeriksaan Fisik.
Observasi adanya manifestasi mielomeningokel
1) Kantong yang dapat dilihat
2) Gangguan sensori biasanya disfungsi motorik paralel
Di bawah vertebra lumbal kedua
a. Flaksid, paralis parsial arefleksik pada ekstremitas bawah
b. Berbagai derajat defisit sensori
c. Inkontenensia aliran berlebihan dengan penetesan urin konstan
d. Kurang kontrol defikasi
e. Prolapsus rektal (kadang-kadang)
Di bawah vertebra sakrum ketiga
9
a. Tidak ada kerusakan motorik
b. Dapat berupa anestesia sadel dengan paralis sfingter kandung kemih dan
sfingter anus
Deformitas sendi (terkadang terjadi di uterus)
a. Talipes valgus atau kontraktur varus
b. Kifosis
c. Skoliosis lumbosakral
d. Dislokasi pinggul
3) Lakukan atau bantu dengan pemeriksaan neurologis untuk menentukan tingkat
kerusakan motorik dan sensorik
4) Inspeksi mielomeningokel untuk adanya perubahan pada penampilan, sebagai
contoh, abrasi, robekan, tanda-tanda infeksi
5) Observasi adanya tanda-tanda hidrosefalus
6) Observasi adanya tanda-tanda alergi lateks
7) Bantu dengan prosedur diagnostik dan pengujian.
-Radiologi
-Tomografi
3.2 Diagnosa Keperawatan
a. Ganguan perfusi jaringan serebral b.d peningkatan tekanan intracranial
b. Inkontinensia urin berhubungan dengan ketidakmampuan mengontrol keinginan
berkemih.
c. Kurang pengetahuan orang tua tentang proses penyakit dan penanganan penyakit
anaknya berhubungan dengan kurang terpajan informasi.
d. Resiko terjadinya kerusakan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi.
10
3.3 Intervensi
a. Diagnosa 1
- Ganguan perfusi jaringan serebral b.d peningkatan tekanan intracranial
Tujuan :
- Pasien kembali pada, keadaan status neurologis sebelum sakit
- Meningkatnya kesadaran pasien dan fungsi sensoris
Kriteria Hasil
- Tanda - tanda vitaldalam batas normal
- Kesadaran meningkat
- Adanya peningkatan kognitif dan tidak ada atau hilangnya tanda-tanda tekanan
intrakranial yang meningkat
Intervensi Rasional
1. Pasien bedrest total dengan posisi
tidur terlentang tanpa bantal
2. Monitor tanda-tanda status
neurologis dengan GCS.
3. Monitor tanda-tanda vital dan hati-
hati pada hipertensi sistolik
1. Perubahan pada tekanan intrakranial
akan dapat meyebabkan resiko untuk
terjadinya herniasi otak
2. Dapat mengurangi kerusakan otak
lebih lanjut
3. Pada keadaan normal autoregulasi
mempertahankan keadaan tekanan
darah sistemik berubah secara
fluktuasi. Kegagalan autoreguler akan
menyebabkan kerusakan vaskuler
cerebral yang dapat dimanifestasikan
dengan peningkatan sistolik dan
11
4. Monitor intake dan output
5. Bantu pasien untuk membatasi
gerak atau berbalik ditempat tidur.
Kolaborasi
6. Berikan cairan perinfus dengan
perhatian ketat.
7. Monitor AGD bila diperlukan pem
berian oksigen
8. Berikan terapi sesuai dari dokter
seperti : Steroid Aminofiel,
Antibiotik.
diiukuti oleh penurunan tekanan
diastolik. Sedangkan peningkatan
suhu dapat menggambarkan
perjalanan infeksi
4. Hipertermi dapat menyebabkan
peningkatan IWL dan meningkatkan
resiko dehidrasi terutama pada
pasien yang tidak sadar, nausea yang
menurunkan intake per oral
5. Aktifitas ini dapat meningkatkan
tekanan intrakranial dan intra
abdomen.
6. Meminimalkan fluktuasi pada beban
vaskuler dan tekananintrakranial, vetr
iksi cairan dancairan dapat menurun-
kan edema cerebral
7. Adanya kemungkinan asidosis
disertai dengan pelepasan oksigen
padatingkat sel dapat menyebabkan
terjadinya iskhemik serebral
8. Terapi yang diberikan dapat
menurunkan permeabilitas kapiler.
- Menurunkan edema serebri
- Menurunka metabolik sel /
12
konsumsi dan kejang.
b. Diagnosa 2
- Inkontinensia urin berhubungan dengan ketidakmampuan mengontrol keinginan
berkemih.
Tujuan :
Inkontinensia urin dapat berkurang/teratasi
Kriteria hasil :
- Enuresis, diurnal dan nokturnal berkurang/tidak ada
- Klien berkemih dalam jumlah dan frekuensi yang normal
Intervensi Rasional
1. Kaji pola berkemih dan tingkat
inkontinensia klien
2. Berikan perawatan pada kulit klien
yang basah karena urin (dilap
dengan air hangat kemudian dilap
kering dan diberi bedak)
3. Anjurkan ibu klien untuk sering
memeriksa popok klien, jika basah
segera diganti
4. Kolaborasi dengan tim medis dalam
pemberian obat (misalnya:
Antikolinergik)
1. Sebagai data dasar untuk intervensi
selanjutnya
2. Perawatan yang baik dapat
mencegah iritasi pada kulit klien
3. Popok yang selalu basah dapat
menimbulkan iritasi dan lecet pada
kulit
4. Obat antikolinergik diperlukan
untuk menghilangkan kontraksi
kandung kemih tak terhambat
13
c. Diagnosa 3
- Kurang pengetahuan orang tua tentang proses penyakit dan penanganan penyakit
anaknya berhubungan dengan kurang terpajan informasi.
Tujuan :
- Orang tua klien dapat memahami proses penyakit dan prosedur penanganan
penyakit anaknya
Kriteria hasil :
- Orang tua klien tampak tenang
- Orang tua klien dapat menjelaskan proses penyakit dan prosedur penanganan
penyakit anaknya
Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat pengetahuan orang tua
klien tentang proses penyakit dan
penanganan penyakit anaknya
2. Berikan kesempatan kepada orang
tua klien untuk bertanya
3. Jelaskan dengan baik kepada orang
tua tentang proses penyakit dan
1. Sebagai data dasar dalam
memnentukan intervensi selanjutnya
2. Memberikan jalan untuk
mengekspresikan perasaannya dan
mengetahui pemahaman orang tua
klien tentang penyakit anaknya
3. Menigkatkan pemahaman orang tua
14
prosedur penanganannya
4. Berikan dukungan positif kepada
orang tua klien
klien tentang penyakitnya anaknya
4. Dukungan yang positif dapat
memberikan semangat kepada orang
tua untuk menerima penyakit
anaknya dan membantu proses
perawatan.
d. Diagnosa 4
- Resiko terjadinya kerusakan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi
Tujuan:
Kerusakan integritas kulit tidak terjadi
Kriteri hasil :
- Kulit tampak halus dan lembut
- Tidak ada iritasi/lecet, dekubitus
Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat keterbatasan gerak
(immobilisasi) klien
1. Sebagai data dasar untuk intervensi
selanjutnya
2. Penekanan yang lama pada salah
15
2. Rubah posisi klien setiap dua jam
3. Jaga pakaian dan linen tetap kering
4. Ajarkan pada orang tua klien untuk
memassage daerah yang tertekan,
gunakan lotion
satu bagian tubuh dapat
menyebabkan terjadinya dekubitus
3. Pakaian dan linen yang basah dapat
mengiritasi kulit
4. Memperlancar peredaran darah,
meningkatkan relaksasi dan
mencegah iritasi
3.4 Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang
menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaannya
sudah berhasil dicapai. Tujuan evaluasi adalah untuk melihat kemampuan klien dalam
mencapai tujuan. Hal ini bisa dilaksanakan dengan mengadakan hubungan dengan klien
berdasarkan respon klien terhadap tindakan keperawatan yang diberikan, sehingga
perawat dapat mengambil keputusan (Nursalam, 2009 : 135).
Sehingga evaluasi hasil dari masalah keperawatan adalah : kebutuhan nutrisi
terpenuhi, kebutuhan cairan terpenuhi, trauma fisik tidak terjadi, kebutuhan ADL
terpenuhi dan suhu tubuh normal kembali. Evaluasi dapat dibagi dua yaitu evaluasi hasil
atau formatif dilakukan setiap selesai melaksanakan tindakan, evaluasi hasil sumatif
dilakukan dengan membandingkan respon klien pada tujuan khusus dan umum yang
16
telah ditentukan. Evaluasi sumatif dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan
SOAP, sebagai berikut :
S : Respon Subjektif klien terhadap tindakan keperawatan yang
telah dilaksanakan.
O : Respon Objektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan.
A : Analisa ulang atas subjektif dan objektif untuk menyimpulkan
apakah muncul masalah baru atau data yang kontradiksi dengan
masalah yang ada.
P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa pada
respon klien.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi yang
timbul sejak kehidupan hasiI konsepsi sel telur. Kelainan kongenital dapat merupakan
17
sebab penting terjadinya abortus, lahir mati atau kematian segera setelah lahir. Kematian
bayi dalam bulan-bulan pertama kehidupannya sering diakibatkan oleh kelainan
kongenital yang cukup berat. Meningokel merupakan kelainan kongenital SSP yang
paling seringterjadi. Biasanya terletak di garis tengah. Meningokel biasanya terdapat
didaerah servikal atau daerah torakal sebelah atas. Kantong hanya berisi selaputotak,
sedangkan korda tetap dalam korda spinalis (dalam durameter tidak terdapat saraf).
Tidak terdapat gangguan sensorik dan motorik. Bayi akan menjadi normal sesudah
operasi.
4.2 Saran
Deteksi dini dan pencegahan pada awal kehamilan dianjurkan untuk semua ibu yang
telah melahirkan anak dengan gangguan ini dan pemeriksaan ditawarkan bagi semua
wanita hamil.
DAFTAR PUSTAKA
Marliynn E. Doengoes, Dkk. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. EGC: Jakarta
Nelson. Ilmu Kesehatan Anak Bag. 3. EGC: Jakarta.
Wong , Donna L dkk. 2008. Buku ajar keperawatan pediatric vol 2. EGC: Jakarta.
Wong , Donna L. 2004. Pedoman klinis keperawatan Pediatrik Edisi 4 . EGC: Jakarta.
18
http://kamuskesehatan.com/arti/meningokel/
19