bab i nasih mansuh
TRANSCRIPT
5/10/2018 BAB I Nasih Mansuh - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-nasih-mansuh 1/8
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah Dari awal hingga akhir, al-Qur‟an merupakan kesatuan utuh. Tak ada pertentangan satu dengan
lainnya. Masing-masing saling menjelaskan al-Qur‟an yufassir -u ba‟dhuhu ba‟dha. Dari segikejelasan, ada empat tingkat pengertian. Pertama, cukup jelas bagi setiap orang. Kedua, cukup
jelas bagi yang bisa berbahasa Arab. Ketiga, cukup jelas bagi ulama/para ahli, dan keempat,hanya Allah yang mengetahui maksudnya([2]). Dalam al-Qur‟an dijelaskan tentang adanyainduk pengertian hunna umm al-kitab([3]) yang sudah mempunyai kekuatan hokum tetap.
Ketentuan-ketentuan induk itulah yang senantiasa harus menjadi landasan pengertian danpedoman pengembangan berbagai pengertian, sejalan dengan sistematisasi interpretasi dalam
ilmu hukum -hubungan antara ketentuan undang-undang yang hendak ditafsirkan dengan
ketentuan-ketentuan lainnya dari undang-undang tersebut maupun undang-undang lainnya yang
sejenis, yang harus benar-benar diperhatikan supaya tidak ada kontradiksi antara satu ayatdengan ayat lainnya.
Hal ini untuk menjamin kepastian hukum. Sementara, unsur-unsur bahasa, sistem dan teologidari teori interpretasi hukum masih harus dilengkapi dengan satu unsur lain yang tidak kalah
pentingnya. Itulah unsur sejarah yang melatarbelakangi terbentuknya suatu undang-undang, yang
biasa dikenal “interpretasi historis.” Dalam ilmu tafsir ada yang disebut asbabun nuzul, yangmempunyai unsur historis cukup nyata. Dalam kaitan ini para mufassir memberi tempat yang
cukup tinggi terhadap pengertian ayat al-Qur‟an. Dalam konteks sejarah yang menyangkutinterpretasi itulah kita membicarakan masalah nasikh-mansukh.
B. TOPIK PEMBAHASAN Dalam hal ini masalah yang terpenting untuk kita soroti adalah masalah asas,
pengertian/batasan, Perbedaan Antara Nasakh, Takhshis Dan Bada’, jenis-jenis, kedudukan,hirarki penggunaan, kawasan penggunaan dan hikmah kegunaannya mempelajari nasikh dan
mansukh.
BAB II
PEMBAHASAN
A. ASAS NASIKH MANSUKH Andaikan al-Qur‟an tidak diturunkan dari Allah, isinya pasti saling bertentangan([4]). Ungkapanini sangat penting dalam rangka memahami dan menafsirkan ayat-ayat serta ketentuan-ketentuan
yang ada dalam al-Qur‟an. Kitab Suci yang terdiri dari 6000 ayat lebih dan terbagi dalam 114
kelompok surat, mengandung berbagai jenis pembicaraan dan persoalan. Didalamnya terkandungantara lain nasihat, sejarah, dasar-dasar ilmu pengetahuan, keimanan, ajaran budi luhur, perintahdan larangan. Masalah-masalah yang disebutkan terakhir ini, tampak jelas dengan adanya ciri-
ciri hukum didalamnya. Semua jenis masalah ini terkait satu dengan lainnya dan saling
menjelaskan.
Dalam kaitan itu, Imam Suyuthi maupun Imam Syathibi banyak mengulas prinsip tersebut.
Mereka mencatat adanya pendapat yang memandang adanya tiap ayat atau kelompok ayat yang
5/10/2018 BAB I Nasih Mansuh - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-nasih-mansuh 2/8
berdiri sendiri. Tapi semuanya berpendapat bahwa antara satu ayat dengan ayat lainnya dari al-
Qur‟an tidak ada kontradiksi (ta‟arudl). Dari asas inilah lahir metode-metode penafsiran untuk meluruskan pengertian terhadap bagian-bagian yang sepintas lalu tampak saling bertentangan.
Adanya gejala pertentangan (ta‟arudl) yang demikian merupakan asas metode penafsiran dimana
Nasikh-Mansukh merupakan salah satu bagiannya([5]).
B. PENGERTIAN NASIKH MANSUKH Nasikh-Mansukh berasal dari kata naskh. Dari segi etimologi, kata ini dipakai untuk beberapapengertian: pembatalan, penghapusan, pemindahan dan pengubahan. Menurut Abu Hasyim,
pengertian majazinya ialah pemindahan atau pengalihan([6]). Diantara pengertian etimologi itu
ada yang dibakukan menjadi pengertian terminologis. Perbedaan terma yang ada antara ulamamutaqaddim dengan ulama mutaakhkhir terkait pada sudut pandangan masing-masing dari segi
etimologis kata naskh itu. Ulama mutaqaddim memberi batasan naskh sebagai dalil syar‟I yang
ditetapkan kemudian, tidak hanya untuk ketentuan/hukum yang mencabut ketentuan/hukum yang
sudah berlaku sebelumnya, atau mengubah ketentuan/hukum yang pertama yang dinyatakanberakhirnya masa pemberlakuannya, sejauh hukum tersebut tidak dinyatakan berlaku terus
menerus, tapi juga mencakup pengertian pembatasan (qaid) bagi suatu pengertian bebas(muthlaq). Juga dapat mencakup pengertian pengkhususan (makhasshish) terhadap suatu
pengertian umum („am). Bahkan juga pengertian pengecualian (istitsna). Demikian pulapengertian syarat dan sifatnya.
Sebaliknya ulama mutaakhkhir memperciut batasan-batasan pengertian tersebut untuk
mempertajam perbedaan antara nasikh dan makhasshish atau muqayyid, dan lain sebagainya,
sehingga pengertian naskh terbatas hanya untuk ketentuan hukum yang datang kemudian, untuk
mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan ketentuan hukum yang terdahulu,sehingga ketentuan yang diberlakukan ialah ketentuan yang ditetapkan terakhir dan
menggantikan ketentuan yang mendahuluinya. Dengan demikian tergambarlah, di satu pihak
naskh mengandung lebih dari satu pengertian, dan di lain pihak -dalam perkembanganselanjutnya- naskh membatasinya hanya pada satu pengertian([7]).
C. PERBEDAAN ANTARA NASAKH, TAKHSHIS DAN BADA’ Terdapat perbedaan diametral antara Ibnu Katsir, al Maghrabidan Abu Muslim al Ashfahani[8]
dalam memandang persoalan nasakh. Ibnu Katsir dan al Maghrabi menetapkan adanya
pembatalan hokum dalam al quran. Namun dengan tegas, al Ashfahani menyatakan bahwaal
quran tidak pernah disentuh “pembatalan”[9] meskipun demikian, pada umumnya, dia sepakattentang:
1. Adanya pengecualian hokum yang bersifat umum oleh hokum yang sefesifik yang datang
kemudian;2. Adanya penjelasn susulan terhadap hokum terdahulu yang ambigius;
3. Adanya penetapan syarat terhadap hokum yang terdahulu yang belum bersyarat.
Ibnu Katsir dan al Maghrabi memandang ketiga hal diatas sebagai nasakh, sedangkan al
Ashfahani memandangnya sebagai takhshis.[10] Tampaknya al Ashfahani menegaskanpendapatnya bahwa tidak ada nasakh dalam al quran. Kalaupun didalam al quran terdapat
cakupan hokum yang bersifat umum, untuk mengklasifikasinya dapat dilakukan proses
5/10/2018 BAB I Nasih Mansuh - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-nasih-mansuh 3/8
pengkhushusan(takhshis). Dengan demikian takhshis, menurutnya dapat diartikan sebagai
“mengeluarkan sebagian satuan (afrad) dari satuan-satuan yang tercakup dalam lafad „amm”[11].Bertolak dari pengertian nasakh dan takhshis tersebut diatas, perbedaan prinsipil antara keduanya
bisa dijelaskan sebagai berikut:
PERBEDAAN NASKH DAN TAKHSHIS
NASAKH
1. Satuan yang terdapat dalam Nasakh bukan merupakan bagian satuan yang tedapat dalamMansukh.
2. Nasakh adalah menghapuskan hokum dari seluruh satuan yang tercakup dalam dalil mansukh.
3. Nasakh hanya terjadi dengan dalil yang dating kemudian.
4. Nasakh adanya menghapuskan hubungan Mansukh dalam rentang waktu yang tidak terbatas.5. Setelah terjadi nasakh, seluruh satuan yang terdapat dalam nasikh tidak terikat dengan hokum
yang tedapat dalam mansukh.
TAKSHSIS
1. Satuan yang tedapat dalam takhshis merupakan sebagian dari satuan yang terdapat dalam
lafadz „aam.
2. Takhshis adalah merupakan hokum dari sebagian satuan yang tercakup dalam dalil „aam.
3. Takhshis dapat terjadi baik dengan dalil yang kemudian maupun menyertai danmendahuluinya.
4. Takhshis tidak menghapuskan hokum „aam sama sekali. Hokum „aam tetap berlaku meskipun
sudah dikhushuskan.
5. Setelah terjadi Takhshis, sisa satuan yang terdapat pada „aam tetap terikat oleh dalil áam.
Adapun Bada‟, menurut sumber-sumber kamus yang masyhur, adalah Azh-Zhuhur ba‟da al
Khofa‟ ( menampakkan setelah bersembunyi). Definisi ini tersirat dalam firman Allah SWT.Surat al Jatsiyah,45:33 : 33. dan nyatalah bagi mereka keburukan-keburukan dari apa yang
mereka kerjakan dan mereka diliputi oleh (azab) yang mereka selalu memperolok-olokkannya.
Arti bada‟ yang lain adalah “nasy‟ah ra‟yin jaded lam yaku maujud” (munculnya pemikiran barusetelah sebelumnya tidak terlintas). Definisi inipun tersirat dalam firman Allah SWT. Pada surat
yusuf,12:35:[12]
35. kemudian timbul pikiran pada mereka setelah melihat tanda-tanda (kebenaran Yusuf) bahwa
mereka harus memenjarakannya sampai sesuatu waktu[Setelah mereka melihat kebenaran Yusuf,
Namun demikian mereka memenjarakannya agar sapaya jelas bahwa yang bersalah adalahYusuf; dan orang-orang tidak lagi membicarakan hal ini.].
Dari kedua definisi tersebut, kita bisa melihat perbedaan yang sangat jelas antaranya dengan
hakikat nasakh. Dalam bada‟ , timbulnya hokum yang baru disebabkan oleh ketidak tahuan sang
pembuat hokum akan kemungkinan humunculnya hokum baru itu. Ini tentu berbeda dengan
nasakh, sebab dalam nasakh, bagi ulama yang mengakui keberadaannya, Allah SWT.
5/10/2018 BAB I Nasih Mansuh - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-nasih-mansuh 4/8
Mengetahui nasikh dan mansukh sejak zaman azali, sebelum hokum-hukum itu diturunkan
kepada manusia.[13]
D. JENIS-JENIS NASKH Masalah pertama yang ingin kami soroti dalam bagian ini ialah adanya naskh antara satu syari‟at
dengan syari‟at lainnya. Ini terjadi sebagaimana dapat kita amati antara syari‟at Nabi Isa as.dengan syari‟at hukum agama Yahudi yang lebih dahulu ada. Dalam hubungan ini, dapat kita
katakan bilamana kita mengikrarkan Islam sebagai syari‟at, dengan sendirinya kita mengaku
adanya naskh, karena syari‟at-syari‟at sebelumnya tidak akan kita anut lagi dan semua
hukumnya pun tidak akan kita berlakukan, sepanjang tidak dikukuhkan kembali oleh syari‟at
Nabi Muhammad saw.
Jadi, adanya nasikh-mansukh antar syari‟at itu merupakan salah satu jenis naskh. Hal semacam
ini jika ditinjau dari segi pendekatan ilmu hukum, sangat jelas maksudnya, misalnya pengertian
suatu pemerintahan/Negara dengan pemerintahan/ negara lainnya. Contohnya, adanyapemerintahan/Negara kolonial Hindia Belanda dengan pemerintahan/negara nasional Republik
Indonesia. Dalam kaitan ini soal kedaulatan, hokum dasar dan hukum-hukum yang langsungberhubungan dengan kedaulatan, serta hukum-hukum lainnya semuanya dicabut dan tidak diberlakukan lagi sepanjang tidak dikukuhkan pemerintah/negara baru itu.
Jika kita sudah melihat adanya nasikh-mansukh antar syari‟at, apakah didalam satu syari‟atterjadi juga nasikh-mansukh antara hukum yang satu dengan hukum yang lainnya? Jika kita
kembali pada syari‟at Islam sendiri, kita akan menemui beberapa kasus yang dapat memberikan
jawaban atas masalah ini.
1. Sesudah hijrah ke Madinah, kaum Muslim masih berkiblat ke arah Bait al-Muqaddas. Sekitar
enam bulan kemudian, Allah menetapkan ketentuan lain: keharusan berkiblat ke arah Bait al-
Haram([14]). Ini berarti terjadi nasikh-mansukh dalam hokum kiblat. Kasus lain misalnya dalamhal shalat yang semula tidak diperintahkan lima waktu dengan 17 raka‟at. Ini juga berarti telahterjadi nasikh-mansukh dalam hukum shalat.
2. Kasus-kasus yang digambarkan di atas, semuanya menyangkut bidang ibadat. Sedangkan di
bidang mu‟amalat, dapat pula kita catat beberapa kasus, misalnya hukum keluarga. Sebagai
contoh, semula ditetapkan masa tenggang („iddah) bagi seorang janda, lamanya 1 (satu)
tahun([15]). Beberapa waktu kemudian ditetapkan ketentuan hukum lain bahwa masatenggangnya 4 bulan 10 hari([16]). Di bidang lain ada pula perubahan-perubahan yang
menyangkut ketentuan hokum pembelaan diri, tentang minuman keras dan sebagainya.
Dari seluruh kasus-kasus tersebut dapat ditarik kesimpulan, memang terbukti adanya nasikh-
mansukh yang sifatnya intern dalam syari‟at Islam. Beberapa ketentuan hukum yang sudahberlaku, kemudian dicabut atau berakhir masa pemberlakuannya dan diganti dengan ketentuanhukum lain. Hal seperti ini, jika dilihat dari sudut pendekatan ilmu hukum adalah hal yang
lumrah dan banyak terjadi. Bahwa suatu undang-undang atau peraturan hukum lainnya dicabut
atau dinyatakan tidak berlaku lagi, kemudian diganti dengan menetapkan undang-undang atau
peraturan lain.
5/10/2018 BAB I Nasih Mansuh - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-nasih-mansuh 5/8
Persoalan lebih jauh dalam masalah nasikh-mansukh ini ialah soal nasikh-mansukh antara al-
Qur‟an dengan Sunnah. Adanya nasikh-mansukh antara satu ayat yang memuat ketentuan hokumdalam al-Qur‟an dengan lain ayat yang juga memuat ketentuan hukum dalam soal yang sama,adalah satu hal yang tidak diperselisihkan lagi. Demikian pula adanya nasikh-mansukh antara
satu hadits yang memuat ketentuan hukum dalam soal yang sama, merupakan satu hal yang tidak
diperselisihkan lagi. Juga, adanya nasikh-mansukh antara satu hadits yang memuat ketentuanhukum dalam Sunnah dengan lain hadits yang juga memuat ketentuan hukum dalam soal yang
sama, merupakan satu hal yang sudah tidak diperselisihkan lagi.
Masalah yang menimbulkan perbedaan pendapat diantara para ulama ialah adanya nasikh-
mansukh silang antara al-Qur‟an dengan Hadits/Sunnah. Jika disimak alasan masing-masingpihak, mungkin dapat ditarik satu garis bahwa faktor utama terjadinya perbedaan pendapat ialah
pandangan masing-masing tentang kedudukan hirarki al-Qur‟an dan Sunnah dalam syari‟at itu
sendiri. Dalam kaitan hirarki al-Qur‟an dan Sunnah, ada semacam kesepakatan bahwa dalam
nasikh-mansukh kedua unsurnya harus sama tingkatnya dan sama nilai dan sifatnya. Lembagatawatur dan ahad termasuk faktor yang dipertimbangkan. Jalan pikiran seperti ini terdapat juga di
kalangan ahli hukum bahwa suatu peraturan hukum tidak dapat dicabut dengan peraturan hokumlainnya yang lebih rendah tingkatannya.
Demikian pula lembaga yang mengeluarkan peraturan hukum menjadi factor pertimbangan.
Berdasarkan pemikiran ini, ada satu hal yang perlu kita catat bahwa setelah Rasulullah saw wafatmaka tidak ada lagi nasikh-mansukh yang mungkin terjadi pada syari‟at. Jenis nasikh-mansukh
yang diuraikan diatas, menyangkut segi formalnya. Jenis lain yang menyangkut segi materialnya,
ada yang bersifat eksklusif (sharih) dan inklusif (dlimni). Untuk yang bersifat sharih, nasikh itu
langsung menjelaskan mansukhnya, misalnya hukum kiblat. Ketentuan yang nasikh (pengganti)ditetapkan secara jelas([17]). Ini contoh dari al-Qur‟an. Sedangkan contoh lain dari Sunnahmisalnya hokum ziarah kubur. Didalam hadits disebutkan, “Pernah aku melarang kalian
melakukan ziarah kubur. Sekarang lakukanlah!”([18]). Berbeda dengan hal tersebut diatas,nasikh yang bersifat dlimni tidak memuat penegasan didalamnya bahwa ketentuan yang
mendahuluinya tercabut, tetapi isinya cukup jelas bertentangan dengan ketentuan yang
mendahuluinya. Jenis seperti inilah yang banyak ditemukan dalam hukum syari‟at.
E. KEDUDUKAN NASKH Masalah naskh bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Ia merupakan bagian yang berada dalamdisiplin Ilmu Tafsir dan Ilmu Ushul Fiqh. Karena itu masalah naskh merupakan techniseterm
dengan batasan pengertian yang baku. Dalam kaitan ini Imam Subki menerangkan adanya
perbedaan pendapat tentang kedudukan naskh: apakah ia berfungsi mencabut (raf) atau
menjelaskan (bayan)([19]). Ungkapan Imam Subki ini dapat dikaitkan dengan hal-hal yang
menyangkut jenis-jenis naskh yang diuraikan di atas. Jika ditinjau dari segi formalnya makafungsi pencabutan itu lebih nampak. Tapi bila ditinjau dari segi materinya, maka fungsi
penjelasannya lebih menonjol. Meski demikian, pada akhirnya dapat dilihat adanya suatu fungsi
pokok bahwa naskh merupakan salah satu interpretasi hukum.
F. HIRARKI PENGGUNAAN NASKH Yang menjadi persoalan sekarang, apakah naskh menempati urutan pertama dalam interpretasi
hukum-syari‟at? Dalam upaya melakukan interpretasi suatu peraturan dalam syari‟at, baik al -
5/10/2018 BAB I Nasih Mansuh - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-nasih-mansuh 6/8
Qur‟an maupun Hadits setiap ketentuan hukum itu harus jelas. Pengertiannya tidak boleh
meragukan, supaya kepastian hukumnya terjamin. Semua segi yang dapat memperjelas kondisisesungguhnya, maksud ketentuan hukum itu harus disoroti dan didalami. Misalnya, tentang segi
bahasanya, proses terjadinya, hubungannya antara ketentuan hukum itu dengan ketentuan hukum
yang lain. Dalam hal ini harus ada upaya mengawinkan kedua ketentuan hukum itu (jam‟) atau
memperkuat salah satu diantaranya (tarjih). Baik upaya jam‟ maupun tarjih sudah mempunyaitata aturan yang sudah baku dalam disiplin ilmu Usul Fiqh.
Jika tingkat interpretasi ini sudah ditempuh dan ternyata kontradiksi antara dua ketentuan hukum
itu juga sudah teratasi, maka pada tingkat inilah dipersoalkan kemungkinan adanya nasikh-
mansukh antara dua ketentuan hukum tersebut. Kuncinya terletak pada soal historis yangmenyangkut kedua ketentuan hukum tersebut. Faktor asbab al-nuzul bagi ayat dan asbab al-
wurud bagi Hadits, ada dalam tingkat ini. Maka setiap masalah nasikh-mansukh berada pada
tingkat akhir dari suatu upaya interpretasi([20]).
G. KAWASAN PENGGUNAAN NASKH
Masalah yang tidak kurang pentingnya disoroti, sejauh mana jangkauan naskh itu? Apakahsemua ketentuan hukum didalam syari‟at ada kemungkinannya terjangkau naskh? Dalam hal iniImam Subki menukil pendapat Imam Ghazali bahwa esensi taklif (beban tugas keagamaan)
sebagai suatu kebulatan tidak mungkin terjangkau oleh naskh. Selanjutnya, Syekh Asshabuni
mencuplik pendapat jumhur ulama bahwa naskh hanya menyangkut perintah dan larangan, tidak termasuk masalah berita, karena mustahil Allah berdusta([21]). Sejalan dengan ini Imam Thabari
mempertegas, nasikh-mansukh yang terjadi antara ayat-ayat al-Qur‟an yang mengubah halalmenjadi haram, atau sebaliknya, itu semua hanya menyangkut perintah dan larangan, sedangkan
dalam berita tidak terjadi nasikh-mansukh.
Ungkapan ini cukup penting diperhatikan, karena soal naskh adalah semata-mata soal hukum,
yang hanya menyangkut perintah dan larangan, dan merupakan dua unsur pokok hukum. Halseperti yang diuraikan di atas, di bidang ilmu Hukum dapat kita lihat gambarnya pada Hukum
Dasar, misalnya Undangundang Dasar Negara yang tidak dapat dijangkau pencabutan. Adanya
pencabutan terhadap sesuatu peraturan hukum dan penetapan peraturan lain untuk menggantikannya hanya berlaku pada undang-undang organik atau peraturan, kedudukan dan
kawasan naskh. Dengan demikian, dengan mudah kita dapat mengenal beberapa persyaratan,
yaitu:
1. Adanya ketentuan hukum yang dicabut (Mansukh) dalam formulasinya tidak mengandung
keterangan bahwa ketentuan itu berlaku untuk seterusnya atau selama-lamanya.
2. Ketentuan hukum tersebut bukan yang telah mencapai kesepakatan universal tentang kebaikan
atau keburukannya, seperti kejujuran dan keadilan untuk pihak yang baik serta kebohongan danketidakadilan untuk yang buruk.
3. Ketentuan hukum yang mencabut (Nasikh) ditetapkan kemudian, karena pada hakikatnyanasikh adalah untuk mengakhiri pemberlakuan ketentuan hukum yang sudah ada sebelumnya.
4. Gejala kontradiksi sudah tidak dapat diatasi lagi.
H. HIKMAH ADANYA NASKH Adanya nasikh-mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat turunnya al-Qur‟an itu sendiri dan
5/10/2018 BAB I Nasih Mansuh - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-nasih-mansuh 7/8
tujuan yang ingin dicapainya. Turunnya Kitab Suci al-Qur‟an tidak terjadi sekaligus, tapi
berangsur-angsur dalam waktu 20 tahun lebih. Hal ini memang dipertanyakan orang ketika itu,
lalu Qur‟an sendiri menjawab, pentahapan itu untuk pemantapan,([22]) khususnya di bidang
hukum. Dalam hal ini Syekh al-Qasimi berkata, sesungguhnya al-Khalik Yang Maha Suci lagi
Maha Tinggi mendidik bangsa Arab selama 23 tahun dalam proses tadarruj (bertahap) sehingga
mencapai kesempurnaannya dengan perantaraan berbagai sarana sosial. Hukum-hukum itumulanya bersifat kedaerahan, kemudian secara bertahap diganti Allah dengan yang lain,
sehingga bersifat universal. Demikianlah Sunnah al-Khaliq diberlakukan terhadap perorangan
dan bangsa-bangsa dengan sama.
Jika engkau melayangkan pandanganmu ke alam yang hidup ini, engkau pasti akan mengetahuibahwa naskh (penghapusan) adalah undang-undang alami yang lazim, baik dalam bidang
material maupun spiritual, seperti proses kejadian manusia dari unsur-unsur sperma dan telur
kemudian menjadi janin, lalu berubah menjadi anak, kemudian tumbuh menjadi remaja, dewasa,
kemudian orang tua dan seterusnya.
Setiap proses peredaran (keadaan) itu merupakan bukti nyata, dalam alam ini selalu berjalanproses tersebut secara rutin. Dan kalau naskh yang terjadi pada alam raya ini tidak lagi diingkariterjadinya, mengapa kita mempersoalkan adanya penghapusan dan proses pengembangan serta
tadarruj dari yang rendah ke yang lebih tinggi? Apakah seorang dengan penalarannya akan
berpendapat bahwa yang bijaksana langsung membenahi bangsa Arab yang masih dalam prosespermulaan itu, dengan beban-beban yang hanya patut bagi suatu bangsa yang telah mencapai
kemajuan dan kesempurnaan dalam kebudayaan yang tinggi? Kalau pikiran seperti ini tidak akan
diucapkan seorang yang berakal sehat, maka bagaimana mungkin hal semacam itu akan
dilakukan Allah swt. Yang Maha Menentukan hukum, memberikan beban kepada suatu bangsayang masih dalam proses pertumbuhannya dengan beban yang tidak akan bisa dilakukan
melainkan oleh suatu bangsa yang telah menaiki jenjang kedewasaannya? Lalu, manakah yang
lebih baik, apakah syari‟at kita yang menurut sunnah Allah ditentukan hukum-hukumnya sendiri,kemudian di-nasakh-kan karena dipandang perlu atau disempurnakan hal-hal yang dipandang
tidak mampu dilaksanakan manusia dengan alasan kemanusiaan? Ataukah syari‟at-syari‟atagama lain yang diubah sendiri oleh para pemimpinnya sehingga sebagian hukum-hukumnya
lenyap sama sekali?([23])
Syari‟at Allah adalah perwujudan dari r ahmat-Nya. Dia-lah yang Maha Mengetahuikemaslahatan hidup hamba- Nya. Melalui sarana syari‟at-Nya, Dia mendidik manusia hidup tertib
dan adil untuk mencapai kehidupan yang aman, sejahtera dan bahagia di dunia dan di akhirat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan al-Qur‟an merupakan kesatuan utuh. Tak ada pertentangan satu dengan lainnya. Masing-masing
saling menjelaskan al-Qur‟an yufassir -u ba‟dhuhu ba‟dha. Kitab Suci yang terdiri dari 6000 ayat
lebih dan terbagi dalam 114 kelompok surat, mengandung berbagai jenis pembicaraan danpersoalan. Adanya nasikh-mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat turunnya al-Qur‟an itusendiri dan tujuan yang ingin dicapainya.
5/10/2018 BAB I Nasih Mansuh - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bab-i-nasih-mansuh 8/8
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan
2. Ibn Katsir, Tafsir-u ‘l -Qur’an-i ‘l -’Azhim
3. Imam Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh
4. Al-Thusi, Uddat al-Ushul 5. ‘Abbas Mutawalli Hamadah, Al -Sunnat al-Nabawiyyah
6. Shihab, Op.cit.,:144 7. Al Zarqani, Op.cit.,:80
8. Subhi ash Shalih, Mabahits fi ‘Ulum al Quran, Dar al Qolam li al Malayin, Beirut 1988:271.
9. Badr ad Din Muhammad bin ‘Abdillah az Zarkasyi, al Burhan fi ‘Ulum al Quran, jilid II:78
10. Imam Muslim, Al- Jami’ al -Shahih
11. Imam Al-Subki, Jam’ al - Jawami’
12. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh
13. Muhammad Ali Al-Shabuni, Rawai’al -Bayan
14. Al-Qasimi, Mahasin al-Ta’wil.