bab i pendahuluanrepository.uinbanten.ac.id/4034/3/skripsi.pdf · 1 bab i pendahuluan a. latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan adalah salah satu institusi dasar (basic
institution) dalam hukum kelurga Islam. Perkawinan adalah
perjanjian yang lahir dari keinginan seorang laki-laki dan
perempuan untuk hidup bersama dalam ikatan akad. Perkawinan
tidak hanya bermakna perjanjian perdata, tetapi juga perjanjian
yang memiliki makna spiritual. Muhammad Mustafa Ttsalaby
memberi makna perkawinan dengan akad yang kuat (mitsaqon
galidzan) antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk
hidup bersama berdasarkan ketentuan syara‟ sebagai bentuk ibadah
kepada Allah. Esensi mitsaqan ghalidzon mengindikasikan bahwa
perkawinan dalam Islam bukan hanya dilakukan untuk satu waktu
tertentu, akan tetapi diharapkan dapat dipertahankan untuk
selamanya.
Perkawinan merupakan konsep hukum (legal conceptual)
dimana perbuatan tersebut menimbulkan hak dan kewajiban antara
para pihak yang membuat perjanjian yaitu suami isteri. Akad
2
perkawinan merupakan sumber yang menyebabkan lahirnya hak
dan kewajiban suami isteri.
Hak dan kewajiban suami isteri berlangsung selama mereka
terikat dengan akad, dan putusnya perkawinan menyebabkan
berakhirnya hak dan kewajiban suami isteri dalam suatu rumah
tangga. Oleh karenanya keberadaan akad menjadi penting, karena ia
menjadi dasar membangun suatu rumah tangga.1
Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk waktu
selamanya sampai matinya salah seorang suami isteri. Inilah
sebenarnya yang dikehendaki agama Islam. Namun dalam keadaan
tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki putusnya perkawinan
itu dalam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan, maka
kemudharathan akan terjadi. Dalam hal ini Islam membenarkan
putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha
melanjutkan rumah tangga . putusnya perkawinan dengan begitu
adalah suatu jalan keluar yang baik.2
Dalam berumah tangga, kadang-kadang muncul berbagai
masalah yang tidak bisa dihindari apabila anggota keluarga tersebut
1 Syahrijal Abbas, Mediasi peradilan agama,dalam hukum syariah,hukum
adat dan hukum nasional, ( Jakarta: Kencana, 2011), h. 175-176. 2
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2011), h.190-199.
3
tidak mau saling memahami dan bertenggng rasa. Apalagi jika
mereka tidak mau menjalankan apa yang disyariatkan Islam dalam
kehidupan berumah tangga., dan tidak menjalin hubungan suami
isteri atas dasar kaidah yang benar. Kerapkali persoalan muncul
secara tiba-tiba, bahkan mengancam rumah tangga sehingga harus
di carikan penyelesaiannya., dan mengembalikannya kepada
kondisi yang tenang dan penuh kecintaan. Tanpa ketenangan dan
kecintaan, suami isteri memang tidak akan dapat menikmati
lezatnya kehidupan berumah tangga dan tidak akan mendapatkan
yang dicita-citakannya.3
Pernikahan kadang kala dilakukan atas dasar paksaan dari
kedua orang tua, misalnya perjodohan antara seorang wanita dan
laki-laki yang belum saling mengenal satu sama lain sehingga
dalam pernikahan tersebut belum terjalin rasa kasih sayang antara
keduanya,dan keduanya belum bisa saling memahami satu sama
lain dan keduanya tersebut belum menjalin hubungan suami isteri.
Sehingga jalan keluar dari permasalahan tersebut dengan cara
bercerai.
3 Kamil Musa, Suami Isteri Islami, (Bandung: PT Remaja Rrosdakarya,
2005), h. 89.
4
Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk
mendalami lebih jauh mengenai penyelesaian perceraian sebelum
hubungan intim di Pengadilan Agama Pandeglang sehingga peneliti
akan mengangkat judul “PERCERAIAN SEBELUM
HUBUNGAN INTIM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
(Analisis Putusan Pengadilan Agama Pandeglang
No.273/Pdt.G/2012/PA.Pdlg.) ”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana putusan Pengadilan Agama Pandeglang terhadap
perkara perceraian sebelum hubungan intim?
2. Bagaiamana dasar hukum dan pertimbangan Hakim Pengadilan
Agama Pandeglang dalam memutus perkara perceraian sebelum
hubungan intim ?
3. Bagaimana perspektif hukum Islam terhadap putusan
Pengadilan Agama Pandeglang tentang perceraian sebelum
hubungan intim?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui putusan Pengadilan Agama Pandeglang
terhadap perceraian sebelum hubungan intim.
5
2. Untuk mengetahui dasar hukum dan pertimbangan Hakim
Pengadilan Agama Pandeglang dalam memutus perkara
perceraian sebelum hubungan intim.
3. Untuk mengetahui perspektif hukum Islam terhadap putusan
Pengadilan Agama Pandeglang tentang perceraian sebelum
hubungan intim.
D. Fokus Penelitian
1. Putusan Pengadilan Agama Pandeglang terhadap perkara
perceraian sebelum hubungan intim.
2. Dasar hukum dan pertimbangan hakim Pengadilan Agama
Pandeglang dalam memutus perkara perceraaian sebelum
hubungan intim.
3. Perspektif hukum Islam terhadap putusan Pengadilan Agama
Pandeglang tentang perceraian sebelum hubungan intim.
6
E. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah
1. Manfaat teoritis
a. Menambah pengetahuan bagi masyarakat umumnya bagi
peneliti khususnya mengenai pelaksanaan perceraian
sebelum hubungan intim di Pengadilan Agama Pandeglang
b. Dapat dijadikan referensi untuk peneliti berikutnya.
2. Manfaat praktis
a. Bagi peneliti
Peneliti dapat mengetahui berbagai persoalan dan
penyelesaian Perceraian sebelum hubungan intim di
Pengadilan Agama Pandeglang dan menambah pengethuan
hukum tentang penyelesaian perceraiantersebut.
b. Bagi Masyarakat
Memberikan pandangan kepada masyarakat terhadap
Pengadilan Agama Pandeglang dalam menyelesaiakan
perceraian sebelum hubungan intim tersebut.
c. Bagi pemerintah
Dapat dijadikan bahan masukan bagi pemerintah dalam
pengembangan di Pengadilan Agama dalam menyelesaikan
perceraian sebelum hubungan intim.
7
F. Penelitian Terdahulu Yang Relevan
1. Skripsi dengan judul PANDANGAN PARA IMAM MADZHAB
TENTANG IDDAH YANG DITALAK BA’IN KIASAN BI AL-
KINAYAH di susun oleh Pipit Devianti adapun kesimpulan dari
skripsi ini adalah peroalan iddah yang belum dicampuri dan
melakukan khalawat, maka tidak mempunyai iddah. Menurut
Imam Syafii mengenai kata-kata sindiran adalah bahwa hal itu
di dasarkan atas apa yang diniatkan. Menurut hukum Islam
talak tidak boleh dirujuk dinamai talak bain, seperti talak satu
atau dua dengan disertai uang (iwadh) dari pihak isteri.
Persamaannya yaitu : Sama-sama meneliti tentang perceraian
sebelum hubungan intim. Perbedaannya yaitu : peneliti lebih
fokus kepada perceraian sebelum hubungan intim perspektif
hukum Islam, analisis putusan Pengadilan Agama Pandeglang.
Sedangkan Pipit Devianti meneliti tentang pandangan imam
mazhab tentang iddah yang ditalak bai‟in kiasan bi al-kinayah.
2. Skripsi dengan judul PROSES PERCERAIAN ANTARA SUAMI
ISTERI QABLA AL-DUKHUL : STUDI PUTUSAN
PENGADILAN AGAMA IA PADANG NOMOR :0641/Pdt.G/
2015/PA.Padangdisusun oleh Ismun Andi wahyuni adapun
8
kesimpulan dari skripsi ini adalah : Perkara perceraian suami
isteri sebelum digauli dalam menentukan iddah isteri, majlis
hakim tersebut memutuskan bahwa antara suami isteri tersebut
telah berhubungan intim dikarenakan adanya pandangan
masyarakat yang memandang bahwa antara suami isteri tersebut
telah hidup bersama dalam satu rumah, maka jelas telah
berhubungan intim, akibat hukum dari putusan tersebut, maka
isteri mendapatkan uang iddah, nafkah mahdiyah, dan uang
mut‟ah serta berkewajiban menjalankan iddah.
Persamaannya yaitu : Sama-sama meneliti tentang
perceraian sebelum hubungan intim.Perbedaannya yaitu :
peneliti lebih fokus kepada perceraian sebelum hubungan intim
perspektif hukum Islam, analisis putusan Pengadilan Agama
Pandeglang.Sedangkan Ismun Andi Wahyuni meneliti tentang
proses perceraian antara suami isteri qabla al-dukhul.
3. Skripsi dengan judul TINJAUAN HUKUM TENTANG
PERCERAIAN ANTARA SUAMI ISTERI QABLA AL DUKHUL
(SEBELUM DIGAULI) MENURUT HUKUM ISLAM DAN
INTRUKSI PRESIDEN NOMOR 1 TAHUN 1991 TENTANG
KOMPILASI HUKUM ISLAMdisusun oleh Fifih Indrianti
9
(141000156 )adapun kesimpulan dari skripsi ini adalah :
Berdasarkan pasal 35 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam
dinyatakan bahwa suami mentalak isterinya qabla al-dukhul
wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam
akad nikah. Dalam pasal 153 bahwa jika terjadi perceraian
qabla al-dukhul maka tidak mengenal masa iddah. Apabila talak
dijatuhkan di muka pengadilan oleh suami, maka pasangan
suami tersebut telah sah bercerai baik secara hukum Agama
maupun hukum Negara. Ketika perceraian terjadi maka suami
berkewajiban memberikan mut‟ah (pemberian) kepada mantan
isterinya disamping nafkah iddah yang harus dibayarkan kepada
isteri sampai masa iddahnya berakhir. Apabila dalam
perkawinan telah mendapatkan seorang anak maka suami atau
mantan suami wajib memberikan nafkah pemeliharaan anak.
Persamaannya yaitu : Sama-sama meneliti tentang
perceraian sebelum hubungan intim. Perbedaannya yaitu :
peneliti lebih fokus kepada perceraian sebelum hubungan intim
perspektif hukum Islam, analisis putusan Pengadilan Agama
Pandeglang.Sedangkan Fifih Indrianti meneliti tentang tinjauan
hukum tentang perceraian antara suami isteri qabla al dukhul
10
(sebelum digauli) menurut hukum Islam dan intruksi presiden
nomor 1 tahun 1991 tentang kompilasi hukum Islam.
G. Kerangka Pemikiran
Pernikahan merupakan sunatullah yang umum dan berlaku
pada semua makhluk-Nya baik pada manusia,hewan maupun
tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah
SWT, sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak, dan
melestarikan hidupnya.Nikah menurut bahasa al-jam’u dan ad-
Dommu yang artinya kumpul.Makna nikah (Zawwaj) bisa diartikan
dengan aqdu al –tajwiij yang artinya akad nikah.Juga bisa diartikan
(wat’u al-zaujah) bermakna menyetubuhi isteri.4
Cerai dalam bahasa Arab disebut Thalaq.Thalaq secara
bahasa terbentuk dari kata(thalaqa) yang berarti mengosongkan,
melepaskan dan meninggalkan.Kalimat (thalaqa al-asyra) berarti
melepaskan tawanan.Salah satu jenis unta disebut (thalaqatan)
karena ia dilepaskan di lembah untuk memakan rumput
sendiri.Ulama Mazhab As-Syafii mendefinisikan cerai sebagai
pelepasan ikatan nikah dengan kata thalaq (cerai) dan
4 Sohari Sahroni, Fiqih Keluarga, (Banten:Dinas Pendidikan Provinsi Banten,
2011), h.12-13.
11
semisalnya.Ulama Mazhab Hanafi mendefinisikan sebagai tindakan
menghilangkan ikatan nikah dimasa sekarang atau masa mendatang
dengan kalimat khusus.Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan
sebagai penghilangan ikatan dan pelepasan perlindungan, karena
istri tersingkirkan dari suami.Sedangkan ulama Mazhab Hanbali
mendefinisikan sebagai pemutusan ikatan nikah atau sebagainya5
Hidup dalam hubungan perkawinan itu merupakan sunnah
Allah dan sunah Rasul. Itulah yang dikehendaki oleh
Islam.Sebaliknya melepaskan diri dari kehidupan perkawinan itu
menyalahi sunah Allah dan sunah Rasul tersebut dan menyalahi
kehendak Allah menciptakan rumah tangga yang sakinah, mawadah
dan warahmah.Meskipun demikian, bila hubungan pernikahan itu
tidak dapat lagi dipertahankan dan kalau dilanjutkan juga akan
menghadapi kehancuran dan kemudharatan, maka Islam membuka
pintu untuk terjadinya perceraian. Dengan demikian, pada dasarnya
perceraian atau thalaq itu adalah suatu yang tidak disenangi yang
dalam istilah ilmu fiqih disebut makruh.
Dengan melihat kepada kemunginan bolehnya si suami
kembali kepada mantan isterinya, thalaq itu ada dua macam:Talak
5
Muhammad Jawad Mugniyah,Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Penerbit
Lentera, 2015), h.597-598.
12
raj’iy dan Thalaq bain.Thalaq raj’iy, yaitu thalaq yang si suami
diberi hak untuk kembali kepada isterinya tanpa melalui nikah baru,
selama isterinya itu masih dalam masa iddah. Thalaq bain, yaitu
thalaq yang putus secara penuh dalam arti tidak memungkinkan
suami kembali kepada isterinya kecuali dengan nikah baru,thalaq
bain inilah yang tepat untuk disebut putusnya perkawinan.
Thalaq bain ini terbagi menjadi dua macam:
a. Bain sughra ialah thalaq yang suami tidak boleh ruju‟ kepada
mantan isterinya, tetapi ia dapat kawin lagi dengan nikah baru tanpa
melalui muhalil, Yang temasuk bain shugra itu adalah sebagai
berikut:
Pertama, thalaq yang dilakukan sebelum isteri digauli oleh
suami.Thalaq yang bentuk ini tidak memerlukan iddah.Oleh karena
tidak ada masa iddah, maka tidak ada kesempatan untuk ruju‟ sebab
ruju hanya dilakukan dalam masa iddah.Kedua: thalaq yang
dilakukan dengan cara tebusan dari pihak isteri atau yang disebut
khulu‟.
b. Bain kubra,yaitu thalaq yang tidak memungkinkan suami ruju‟
kepada isterinya setelah isterinya itu kawin dengan laki-laki lain
13
dan bercerai pula dengan laki-laki dan habis iddahnya. Yang
termasuk thalaq bentuk bain kubra itu adalah sebagai berikut:
Pertama,isteri yang telah dithalaq tiga kali, atau thalaq
tiga.Thalaq tiga dalam pengertian thalq bain itu yang disepakati
oleh ulama adalah thalaq tiga yang diucapkan secara terpisah dalam
kesempatan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya diselingi
oleh masa iddah.6
Talak diakui dalam ajaran Islam sabagai satu jalan keluar
terakhir dari kemelut keluarga. Dimana bila hal itu tidak dilakukan,
maka sebuah rumah tangga menjadi seolah-olah neraka bagi kedua
belah pihak atau bagi salah satunya. Dan hal seperti ini jelas
bertentangan dengan tujuan disyariatkannya pernikahan. Talak baru
diperbolehkan bila tidak ada jalan lain, dan oleh karena sangat besar
dampak negatifnya, maka cara yang paling ideal dalam
memecahkan kemelut rumah tangga adalah dengan jalan
musyawarah dan saling mengalah.7
Ketentuan Pasal 51 Kompilasi Hukum Islam yaitu
“Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi hak kepada isteri
6 Amir Syarifudin,h.221-222.
7 Satria Efendi M Zzein, Problematika Hukum Keluarga Kontemporer,
(Jakarta : Prenada Media Group, 2010), h.107.
14
untuk meminta pembatalan nikah atau mengajukannya sebagai
alasan gugatan perceaian kepada Pengadilan Agama”.
Ketentuan Pasal 114 Kompilasi Hukum
Islamyaitu :”Putusnya perkawinan yang disebabkan karena
perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan
perceraian”8
Seluruh kaum Muslimin sepakat atas wajibnya iddah,pada
sebagian landasan pokoknya diambil dari Kitabullah dan Sunah
Rasul. Yang diambil dari kitabullah adanya ayat berikut ini :
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu)
tiga kali quru’(QS.Al-Baqarah:228)9
Iddah bermakna perhitungan atau sesuatu yang dihitung.
Secara bahasa mengandung pengertian hari-hari haid atau hari-hari
suci pada wanita. Sedangkan secara istilah, iddah mengandung arti
masa menunggu bagi wanita untuk melakukan perkawinan setelah
terjadinya perceraian dengan suaminya, baik cerai hidup maupun
8 Suparman Usman, Hukum Islam,Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum
Islam dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta : Gaya Media Pratama,2001), h. 235-
246. 9Muhammad Jawad Mugniyah,Fiqih Lima Mazhab…h.499.
15
cerai mati, dengan tujuan untuk mengetahui keadaan rahimnya atau
untuk berfikir bagi suami.
Para ulama mendefinisikan iddah sebagai mana waktu untuk
menanti kesucian seorang isteri yang ditinggal mati atau diceraikan
oleh suami, yang sebelum habis masa itu dilarang untuk dinikahkan.
Seorang wanita yang telah dicerai suaminya, dilarang
melakukan perkawinan dengan laki-laki lain selama masa yang
ditentukan oleh syari‟at ini dimaksudkan untuk memberi
kesempatan kepada suami dan isteri untuk berfikir, apakah
perkawinan tersebut masih dapat dilanjutkan dengan cararuju‟
(kembali), jika perceraian talak raji’(talak satu dan dua), atau
perceraian itu lebih baik dari keduanya.Disamping itu berguna
untuk mengetahui rahim si isteri tersebut berisi janin atau tidak
sehingga apabila wanita tersebut hamil segera diketahui
nasabnya.Penting dicatat, masa iddah ini hanya berlaku bagi isteri
yang telah di dukhul. Sedangkan bagi isteri yang belum di dukhul
(qabla al- duqhul) dan putusnya bukan karena kematian suami
maka tidak berlaku baginya masa iddah.10
10
Amir Nurddin dan Azhari Akma Tarigon,Hukum Perdata Islam di
Indonesia,(Jakarta:Prenada Media,2004),h.240242.
16
Badan peradilan, seperti halnya badan-badan lainnya, tidak
lepas dari peranan dan tanggung jawab. Soerjono Soekanto
menyebutkan bahwa “peranan atau role” merupakan hak dan
kewajiban. Dengan peranan hak dan kewajiban inilah badan
peradilan dapat eksis menghasilkan berbagai macam putusan.
Selain itu, menurut bahasa Inggris, kata peranan berasal dari
lkata”peran” yang diterjemahkan juga dengan “role” dan berkaitan
erat dengan posisi dan eksistensi. Dengan demikian yang dimaksud
dengan peranan Peradilan Agama adalah yang berkaitan erat
dengan kedudukan, tugas poko, fungsi, serta kifrahnya dalam tata
hukum di Indonesia. Peradilan Agama merupakan perwujudan dari
pelaksanaan hukum Islam di Indonesia, juga merupakan bagian dari
pelaksanaan syariat Islam khususnya dalam bidang hukum keluarga.
Sumber-sumber kebenaran hukum Islam, baik yang
termaktub dalam Al-Qur‟an maupun Al-Hadis, sifatnya qath’iy al-
dalalah ia sangat transedental dan universal. Konsekuensi logisnya
ia dapat menghasilkan hukum-hukum, baik dalam arti luas maupun
sempit. Dalam arti luas sumber-sumber kebenaran Hukum Islam
acapkali disebut sebagai syariat, sedangkan dalam arti sempit
menjadi fiqh. Dalam konteks yang sempit (fiqh)ia bersifat dzani al-
17
dalalah, dan implementasinya terbatas pada tenpat ruang dan waktu
tertentu. Karena keterbatasan ituah memunculkan banyak variasi
pendapat dikalangan para ahli fiqh. Variasi pendapat tersebut
menjadikan fiqh sebagai hukum diyani, artiya hanya mengatur
manusia dengan khaliknya.11
1) Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutuskan dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. Perkawinan;
b. Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan
berdasarkan hukum Islam;
c. Wakaf dan sedekah.
2) Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)
huruf a ialah hal-hal yang ditur dalam atau berdasarkan
Undang-Undang mengenai perkawinan yang berlaku.
3) Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1
huruf ialah penetuan siap-siapa yang menjadi ahli waris,
penentuan mengenai harta peninggalan, penentun bagian
11
Aden Rosadi, Peradilan Agama Di Indonesia,Dinamika Pembentukan
Hukum, (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2015), h. 85-86.
18
masing-masing ahli waris dan melaksanakan pembagian harta
peninggalan tersebut.
Ssetelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama ketentuan pasal 49 diubah ehingga
ketentua pasal 49 mengatur bahwa:
Pengadilan Agama bertugas serta berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. Perkawinan;
b. Warisan.;
c. Wasiat;
d. Hibah;
e. Wakaf;
f. Zakat;
g. Infak;
h. Sedekah; dan
i. Ekonomi Syariah.
19
Pembahasan kewenangan Pengadilan Agama tidak terlepas
dengan ketentuan pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang peradilan Agama yang berbunyi:
“Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perdata tertentu yang diatur dalam Undang-Undang
ini”.12
Hakim, termasuk Hakim Pengadilan Agama dalam
system tata hukum di Indonesia berkedudukan sebagai pejabat
pelaku kekuasaan kehakiman. Maksud dari kedudukan tersebut
adalah ia merupakan Pejabat Peradilan yang diberi wewenang
undang-undang untuk mengadili. Oleh karena itu istilah pejabat
yang disandangkan membawa konsekuensi yang berat karena
kewenangan dan tanggung jawabnya merupakan rangkaian
tugas dan tanggung jawab dalam penegakan hukum dan
keadilan. Dalam kedudukannya sebagai pejabat pelaku
kekuasaan kehakiman oleh system tata hukumnya pula
didudukannya sebagai pejabat pelaku kekuasaan kehakiman
oleh system tata hukumnya pula didudukan sebagai Pejabat
Negara.
12
Aden Rosadi, Peradilan Agama Di Indonesia,…, h. 160.
20
Hakim adalah Pegawai Negeri Sipil, sehingga baginya
berlaku undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-
Pokok kepegawaian yang telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 1999 Ttentang Pokok-Pokok Kepegawaian
dan peraturan perundangan lainnya yang berhubungan dengan
Pegawai Negeri Sipil. Namun meskipun demikian oleh karena
sistem tata hukum di Indonesia mendudukannya sebagai Pejabat
Negara, maka sistem penggajian, kepangkatan dn lain-lainnya
berbeda dengan Pegawai Negara Sipil lainnya. Selain
menyandang kepangkatan Pegawai Negeri Sipil, Hakim juga
menyandang kepangkatan Hakim.
Sehubungan dengan hal di atas, maka tugas hakim untuk
menegakan hukum dan keadilan dalam masyarakat adalah berat
dan mulia. Dikatakan berat, karena Hakim sebagai manusia
biasa, tentunya tidak lepas dari segala kekurangan dan
kelebihan. Hakim oleh Negara diberi hak istimewa (privilege),
yakni hak mengatasnamakan Tuhan Yang Maha Esa dalam
menjatuhkan putusannya memancarkan nur atau cahaya
kebenaran dan keadilan yang diharapkan masyarakat.
Untuk mencapai daya guna dan hasil guna dari
pelaksanaan tugas penegakan hukum dan keadilan oleh hakim,
21
maka diperlukan adanya pembinaan dan pengawasan yang
memadai kepada hakim. Pembinanan dan pengawasan
dimaksud menurut tata Hukum Indonesia dilakukan oleh
Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi di
Indonesia. Namun hal tersebut tidak boleh mengurangi
kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara,
karena baik Undang-Undng Nomor 48 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan Kehakiman memberikan jaminan kemerdekaan dan
kemandirian bagi hakim dalam melaksanakan tugas penegakan
hukum dan keadilan.13
H. Metode Penelitian
Metode penelitian secara umum membahas secara rinci
langkah-langkah yang akan ditempuh dalam melakukan penelitian.
Secara garis besar hal-hal yang ada pada metode penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Pendekatan dan jenis penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan
analisis isi atau yuridis normatif yaitu dengan melakukan
analisa dengan cara mendeskripsikan dan menguraikan realita
13
Taufik Hamami ,Peradilan Agama Dalam Reformasi Kekuasaan
Kehakiman Di Indonesia,(Jakarta: PT. Tatanusa, 2013), h. 125-127.
22
yang terjadi di pengadilan Agama tersebut. Metode penelitian
kualitatif juga merupakan metode penelitian yang lebih
menekankan pada aspek pemahaman secara mendalam terhadap
suatu masalah daripada melihat permasalahan untuk penelitian
generalisasi.Metode penelitian ini lebih suka menggunakan
teknis analisi mendalam (in-depth analysis), yaitu mengkaji
masalah secara kasus perkasus karena metodologi kualitatif
karena bahwa sifat suatu masalah satu akan berbeda dengan
sifat dari masalah lain.14
Sumber yang digunakan pada penelitian ini adalah data
primer dan data skunder, Data primer adalah sumber yang
langsung memberikan data kepada pengumpul data. Dari
penelitian ini data primer yang diperoleh adalah wawancara
secara mendalam (indepth interview) terhadap hakim, selain itu
penulis juga mengambil data-data dokumentasi yang ada di
Pengadilan Agama Pandeglang. Kemudian menguraikan data
tersebut serta menganalisa dengan cara menghubungkan dengan
masalah yang dikaji.Sedangkan data sekunder merupakan
sumber yang tidak langsung memberikan data kepada
pengumpul data. Contoh dari data sekunder adalah data yang
14
Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif danR&D,
(Bamdung: Alfabeta CV, 2014) h.226.
23
diperoleh dengan menggunakan studi pustaka dari dokumen-
dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan,
baik dari buku, artikel serta surat kabar dan media elektronik. 15
2. Teknik pengumpulan data, dalam peenelitian kualitatif biasanya
menekankan observasi partisipasif, wawancara mendalam dan
dokumentasi.
a. Observasi
Observasi merupakan salah satu metode utama dalam
penelitian sosial keagamaan terutama penelitian naturalistic
(kualitatif). Observasi merupakan metode pengumpulan data
yang paling ilmiah dan paling banyak digunakan tidak
hanya dalam dunia keilmuan, tetapi juga dalam berbagai
aktifitas kehidupan.sedangkan secara khusus, dalam dunia
penelitian , observasi adalah mengamatidan mendengar
dalam rangka memahami, mencari jawab, mencari bukti
terhadap phenomena sosial keagamaan ( perilaku, kejadian-
kejadian, keadaan, benda, dan symbol-simbol tertentu)
selama beberapa waktu tanpa mempengaruhi phenomena
yang diobservasi, dengan mencatat, mempotret fenomena
tersebut guna penemuan dan analisis.
15
Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D,…22.
24
b. Wawancara
Wawancara merupakan metode penggalian data yang paling
banyak dilakukan, baik untuk tujuan praktis maupun ilmiah,
terutama untuk penelitian sosial yang bersifat kualitatif.
Wawancara adalah percakapan langsung dan tatap muka
(face to face) dengan maksud tertentu. Percakapan itu
dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer)
yang menganjurkanpertanyaan dan yang diwawancarai
(interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.
3. Teknik analisis data, tujuannya adalah menyederhanakan
seluruh data yang terkumpul, menyajikan dalam suatu susunan
yang sistematis, kemudian mengolah dan menafsirkan/
memaknai. Analisis data dikategorikn pada data statistic untuk
penelitian kuantitatif, dan data nonstatistik pada penelitian
kualitatif misalnya: analisis komparasi, analisis isi (content
analys) atau kritis.16
Peneliti bertujuan untuk mendeskrifsikan bagaimana
penyelesaian perceraian sebelum hubungan intim di Pengadilan
Agama Pandeglang serta dasar hukum dan pertimbangan hakim
dalam penyelesaian perceraian sebelum hubungan intim. Dalam
16
Imam Suprayogo dan Tobroni,Metodologi Penelitian Sosial-Agama,
(Bandung:PT Rosdakarya,2003), h.167-172.
25
melakukan identifikasi dari penyelesaian ini proses yang penulis
lakukan antara lain, menyederhanakan seluruh data yang
terkumpul dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti di
Pengadilan Agama Pandeglang ini kemudian menyajikannya
dalam susunan yang sistematis agar dapat dipahami dan
dimengerti oleh pembaca, serta diolah secara baik dan benar
sehingga memudahkan seseorang mempelajari dan memahami
persoalan ini.
4. Pedoman penulisan
Teknik penulisan yang digunakan oleh peneliti dalam
menyusun proposal skripsi ini adalah PEDOMAN
PENULISAN SKRIPSI FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS AGAMA ISLAM NEGERI SULTAN
MAULANA HASANUDDIN BANTEN 2018.
I. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan dalam karya ilmiah ini terdiri dari lima
bab yaitu meliputi :
BAB I : Pendahuluan meliputi Latar Belakang Masalah, Perumusan
Masalah, Fokus Penelitian, Tujuan Penelitian, Manfaat
Penelitian, Penelitian Terdahulu Yang Relevan, Kerangka
26
Pemikiran, Metode Penelitian, dan Sistematika
Pembahasan.
BAB II : Kondisi Objektif Pengadilan Agama Pandeglang, Sejarah
Pengadilan Agama Pandeglang,Visi, Misi Pengadilan
Agama Pandeglang, Struktur organisasi Pengadilan
Agama Pandeglang, Kewenangan Absolut Pengadilan
Agama Pandeglang.
BAB III :Tinjauan Teoritis tentang perceraian meliputi, Pengertian
Perceraian menurut UU dan Hukum Islam, Hhukum
Perceraian,Macam-macamPerceraian dan Syarat
perceraian.Definisi Iddah, Hukum Iddah dan Macam-
macam Iddah .
BAB IV : Membahas tentang perceraian sebelum hubungan intim
perspektif hukum Islam.
BAB V : Penutup, yang meliputi kesimpulan dari keseluruhan
pembahasan serta saran-saran.
27
BAB II
KONDISI OBYEKTIF PENGADILAN AGAMA PANDEGLANG
A. Sejarah Pengadilan Agama Pandeglang
Tidak diketahui awal pembentukan Pengadilan Agama
Pandeglang dengan segala keberadaannya. Hanya tercatat bahwa
pengadilan Agama Pandeglang secara kelembagaan melaksanakan
tugas pemberian pelayanan hukum kepada masyarakat kabupaten
Pandeglang pada tahun 1982, dimana gedung kantor pada saat itu
berdiri diatas tanah milik Departemen Agama Kabupaten
Pandeglang.
B. Visi, Misi,Pengadilan Agama Pandeglang
Visi
“Menjadikan Pengadilan Agama Pandeglang Yang
Berwibawa Dan Bermartabat”
Misi
1. Mmewujudkan Pelayanan Prima kepada masyarakat
pencari keadilan;
2. Meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang
Profesional, Bersih,dan bertanggungjawab;
28
3. Penangan Perkara Secara Cepat, Sederhana dan Biaya
Murah;
4. Mewujudkan Administrasi dan Manajemen Perkara
yang Tertib, Tertata, dan Akuntabel.
C. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Pandeglang
D. Kewenangnan Absolut Pengadilan Agama Pandeglang
Kekuasaan absolut Peradilan Agama disebutkan dalam pasal
49 dan 50 UU Nomor 7 tahun 1989, yang berbunyi:
Pasal 49
29
(1) Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. Perkawinan;
b. Kewarisan, wasiat dan hibah, yang dilakukan berdasarkan
hukum Islam;
c. Wakaf dan shadaqah.
(2) Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)
huruf a. ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan
Undang-Undang mengenai perkawinan yang berlaku.
(3) Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)
huruf b. ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris,
penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian
masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pebagia harta
tersebut.
Pasal 50
Dalam hal terjadisengketa hak milik atau keperdataan lain
dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal
49, mak khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut
harus diputus lebih dahulu oleh Pengadilan dalam
lingkunganPeradilan Umum.
30
Penyelesaian terhadap objek yang menjadi sengketa
dimaksud tidak berarti menghentikan proses Pengadilan Agama
atas objek yang tidak menjadi sengketa itu.
Tugas Pokok dan Fungsi dan Yuridiksi Pengadilan
Agama Pandeglang yang merupakan Pengadilan Tingkat
Pertama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-
orang yang beragama Islam dibidang: Perkawinan, waris,
wasiat,hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi
syariah sebagaimana diatur dalam pasal 49 Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Pengadilan Agama
memiliki fungsi:
1. Menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara
yang diajukan kepadanya sebagaimana diatur dalam Pasal 52
Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
dan pasal 49, 50 dan Pasal 52 A Undang-Undang Nomor 3
tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
tahun 1989, tentang Peradilan Agama.
31
2. Menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara
antara orang-orang yang beragama Islam.
3. Menyelenggarakan administrasi Peradilan dan administrasi
umum Perkantoran.
4. Mengadakan pelayanan kepada masyarakat dan tugas
pelayanan umum lainnya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.17
E. Prosedur Perkara Perceraian Di Pengadilan Agama
Pandeglang
1. Perkara Cerai Gugat
Cerai Gugat diajukan oleh Pihak Istri. Seorang istri baik
langsung atau melalui kuasanya, yang bermaksud mengajukan
gugatan cerai dapat melakukan hal-hal sebagai berikut :
a. Mendatangi petugas Meja I dengan terlebih dahulu membawa
sejumlah persyaratan berupa:
1. Surat permohonan cerai gugat dalam rangkap 7 (Tujuh);
2. Asli Akta Nikah atau Duplikat Kutipan Akta Nikah;
3. 1 (satu) lembar fotokopy Akta Nikah/Duplikat Kutipan Akta
Nikah yang dibubuhi meterai Rp 6.000,- oleh Kantor Pos.
17
Aden Rosadi,Peradilan Agama Di Indonesia…,h.160.
32
Surat Izin atasan bagi PNS/TNI/POLRI. Fotokopy Kartu
Tanda Penduduk (KTP) 1 (satu) lembar 1 (satu) muka tidak
boleh dipotong yang dibubuhi materai Rp 6.000,- (enam
ribu rupiah) oleh Kantor Pos.
4. Mengajukan gugatan secara tertulis bagiyang bisa menulis
dan membaca, atau secara lisan bagi yang tidak bisa
membaca dan menulis ke Pengadilan Agama, kecuali yang
bersangkutan (istri) dengan sengaja meninggalkan tempat
kediaman bersama tanpa ijin suami, maka gugatan harus
diajukan di Pengadilan Agama tempat berkediaman suami
(Ps. 73 (1) UU Nomor 7 Tahun 1989jo Ps 32 (2) UU No. 1
Tahun 1974);
5. Identitas lengkap penggugat dan tergugat, meliputi nama,
umur, agama, pekerjaan dan tempat tinggal;
6. Posita (fakta kejadian dan fakta hukum) petitum (hal-hal
yang dituntut berdasarkan posita).
Proses Penyelesaian Perkara :
1) Tahap Pendaftaran :
Penggugat mendaftarkan gugatannya ke Pengadilan Agama
dengan membawa bukti pembayaran dari BRI Cabang.
33
Pengadilan Agama melalui Jurusita Pengganti akan
memanggil penggugat dan tergugat menghadiri persidangan.
2) Tahap Persidangan :
a. Pada persidangan pertama, majelis menganjurkan
penggugat dan tergugat untuk mengikuti proses mediasi.
b. Persidangan dischorsing untuk memberikan kesempatan
kepada penggugat dan tergugat memilih mediator pada
daftar mediator yang disediakan Pengadilan Agama.
c. Ketua Majelis Hakim menunjuk Mediatorpilihan
penggugat dengan tergugat dengan surat penetapan.
d. Jika penggugat dengan tergugat tidak sepakat memilih
mediator, ketua majelis dengan surat penetapan menujuk
seoranghakim bukan pemeriksa perkara untuk menjadi
mediator dalam perkara tersebut.
e. Apabila mediasi berhasil, penggugat dapat mencabut
gugatannya dan jika mediasi tidak berhasil, maka
pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan pembacaan
surat gugatan, jawab menjawab, pembuktian dan
kesimpulan.
f. Dalam tahap jawab menjawab, tergugat dapat
mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik Psl 158
R.Bg.)
34
3) Putusan Pengadilan Agama :
Putusan Pengadilan Agama dapat berupa mengabulkan
gugatan penggugat dapat pula menolak atau tidak menerima.
a) Apabila tergugat keberatan dengan dikabulkannya
gugatan penggugat tersebut, tergugat dapat mengajukan
banding melalui Pengadilan Agama.
b) Apabila gugatan ditolak, penggugat dapat mengajukan
banding melalui Pengadilan Agama.
c) Sedang jika gugatan tidak diterima, penggugat dapat
mengajukan permohonan baru.
d) Begitu putusan dijatuhkan, penggugat dapat lansung
mengambil sisa panjar biaya perkara jika masih ada.
e) Jika gugatan cerai dikabulkan dan tidakada banding dari
pihak tergugat, Pengadilan Agama memberikan Akta
Ceraisebagai bukti perceraian kepada kedua belah pihak,
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah putusan
tersebut memperoleh kekuatah hukum tetap. Penggugat
dan Tergugat dapat mengambil Akte Cerai secara
langsung, atau melalui kuasa dengan sayarat ada surat
kuasa khusus untuk pengambilan Akta Cerai tersebut.18
18
http://pa-pandeglang.go.id/index.php?pdlg=detail&berita=704, diakses
pada 12 Feb. 2019,pukul 10.00 WIB
35
BAB III
TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERCERAIAN
A. Perceraian
1. Pengertian Perceraian Menurut Undang-Undang Dan Hukum
Islam
Putusnya perkawinan dalam hal ini berarti berakhirnya
hubungan suami isteri. Putusnya perkawinan itu ada dalam
beberapa bentuk tergantung dari segi siapa sebenarnya yang
berkehendak untuk putusnya perkawinan itu. Dalam hal ini ada
4 kemungkinan
a. Putusnya perkawinan atas kehendak Allah sendiri melalui
matinya salah seorang suami isteri. Dengan kematian itu
dengan sendirinya berakhir pula hubungan perkawinan.
b. Putusnya perkawinan atas kehendak si suami oleh asalan
tertentu dan dinyatakan kehedaknya itu dengan ucapan
tertentu. Perceraiain dalam bentuk ini disebut thalaq.
c. Putusnya perkawinan atas kehendak si isteri karena si isteri
melihat sesuatu yang menghendaki putusnya perkawinan,
sedangkan si suami tidak berkehendak untuk itu. Kehendak
untuk putusnya perkawinan yang disampaikan si isteri
36
dengan cara tertentu ini diterima oleh suami dan dilanjutkan
dengan ucapannya untuk memutus perkawinan dengan cara
ini disebut khulu’.
d. Putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak
ketiga setelah melihat adanya sesuatu pada suami dan/atau
pada isteri yang menandakan tidak dapatnya hubungan
perkawinan itu dilanjutkan. Putusnya perkawinan dalam
bentuk ini disebut fasakh.19
Menurut pasal 113 Kompilasi Hukum Islam, perkawinan
dapat putus karena kematian, perceraian, dan putusan pengadilan.20
Thalaq menurut bahasa „Arab, melepaskan ikatan. Yang
dimaksud disini melepaskan ikatan perkawinan.
Telah terang dan jelas dari uraian yang lalu, bahwa tujuan
perkawinan itu :
1. Untuk hidup dalam pergaulan yang sempurna.
2. Satu jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan
turunan.
3. Sebagai satu tali yang amat teguh guna memperkokoh tali
persaudaraan antara kaum kerabat laki-laki (suami) dengan
19
Amir Syarifuddin,Hukum Perkawinan Islam…cetakan kelima, h.197. 20
Suparman Usman, Hukum Islam,Asas-Asas…h.245-246.
37
kaum kerabat perempuan (isteri), yang mana pertalian itu akan
menjdi satu jalan yang membawa kepada bertolong-tolongan
antara satu kaum (golongan) dengan yang lain.
Sekiranya dalam pergaulan antara dua suami isteri tidak
dapat menyampaikan tujuan-tujuan tersebut, bahkan pergaulan
keduanya menjadikan sebab perpisahan antara satu keluarga dengan
yang lain, yang diisebabkan oleh ketiadaan kesepa pakatan antara
suami isteri, maka dengan keadilan Allah s.w.t. dibutuhkanNya
suatu jalan keluar dan segala jalan kesukaran itu, pintu perceraian.
Mudah-mudahan dengan adanya jalan itu terjadilah ketertiban
dengan tentram antara kedua bela pihak dan supaya masing-masing
dapat mencari susunan atau pasangan yang cocok, yang dapat
menyampaikan kepada yang dicita-citakan.
Teristimewa pula sekiranya perselisihan antara suami isteri
itu menimbulkan permusuhan, menanam bibit kebencian, antara
keduanya atau terhadap kaum kerabat mereka, sehingga tidak ada
jalan lain, sedang ikhtiar untuk perdamaian tidak dapat disambung
lagi, maka thalaq (perceraian) itulah jalan satu-satunya yang jadi
pemisah antara mereka itumakruh adanya. 21
21
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam,… h. 379-380.
38
Beberapa Keadaan Yang Menyebabkan Putusan Thalak
1. Thalak Karena Suami Tidak Memberikan Nafkah
Imam Malik Imam Syafi‟i dan Imam Ahmad membolehkan
thalak antara suami isteri karena suami tidak memberikan
nafkah, yaitu melalui keputusan hakim. Itu pun jika si isteri
mengkehdakinya.
2. Thalak Karena Bahaya Yang Mengancam
Imam Malik dan Imam Ahmad berpendapat, bahwa seorang
isteri mempunyai hak untuk meminta thalak melalui seorang
hakim jika melihat adanya bahaya yang dilakukan oleh suami
terhadap dirinya. Yaitu, bahaya di mana ia tidak dapat hidup
bersama dengannya secara baik dan normal.
Misalnya, kebiasaan memukul atau perlakuan kasar atau
tindakan-tindakan menyakitkan lainnya yang ia tidak mampu
menahannya. Atau ketidaksukaan (isteri) terhadap berbagai
kemunkaran suaminya, baik berupa ucapan maupun tindakan.
Akan tetapi, hal ini ditentang oleh Abu Hanifah dan Imam Asy-
Syafi‟i, dimana keduanya tidak membolehkan seorang isteri
meminta thalak kepada suaminya karena adanya bahaya dari
pihak suaminya. Yang demikian, itu karena tidak
39
diperbolehkannya pemaksaan seorang suami terhadap isteri
untuk mentaatinya.
3. Thalak Karena Kepergian Suami
Imam Malik dan Imam Ahmad berpedapat, bahwa seorang isteri
diperbolehkan meminta thalak untuk menghindari penderitaan
yang dialaminya karena kepergian suami dalam waktu yang
cukup lama, tanpa adanya alasan yang membolehkan. Imam
Ahmad menmbahkan, bahwa batas waktu minimal yang
membolehkan seorang isteri meminta thalak akibat kepergian
suaminya itu adalah enam bulan. Karena, masa tersebut
merupakan puncak dimana ia mampu bersabar atas kepergian
suaminya.22
2. Hukum Perceraian
Thalak diperbolehkan (mubah) jika untuk menghindari bahaya
yang mengancam salah satu pihak, baik itu suami maupun isteri.
Aallah berfirman :
22
Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fikih Wanita, (Jakarta Timur:
Pustaka Al-Kautsar, 2016), cetakan keempat, h.476-477.
40
“Thalak (yang dapat dirujuk) adalah dua kali. Setelah itu
boleh rujuk kembali dengan cara yang ma’ruf(baik) atau
menceraikan dengan cara yang baik.” (Al-Baqarah:229)23
Ditilik dari kemaslahatan atau kemudharatannya maka hukum
thalak ada lima:
1. Wajib
Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri lalu tidak ada
jalan yang dapat ditempuh kecuali dengan mendatangkan dua
hakim yang mengurus perkara keduanya. Jika kedua hakim tersebut
memandang bahwa perceraian lebih baik bagi mereka, maka saat
itulah thalak menjadi wajib. Jadi, jika rumah tangga tidak
mendatangkan apa-apa selain keburukan, perselisihan pertengkaran,
dan bahkan menjerumuskan keduanya dalam kemaksiatan, maka
pada saat itu talak adalah wajib baginya.
23
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV
Penerbit Diponegoro,2012), h.36.
41
2. Makruh
Yaitu talak yang dilakukan tanpa adanya tuntutan dan
kebutuhan.
Sebagian ulama ada yang mengatakan mengenai talak yang makruh
ini terdapat dua pendapat:
Pertama, bahwa talak tersebut haram dilakukan, karena dapat
menimbulkan mudharat bagi isterinya. Serta tidak mendatangkan
manfaat apa pun. Talak ini haram sma seperti tindakan merusak
atau menghamburkan harta kekayaan tanpa guna. Hal itu
didasarkan pada sabda rasulullah SAW sebagai berikut.
)رواه ابن ماجه(اَلَضَرَر َواَلِضرَاَر “Tidak boleh memberikan mudjarat kepada orang lain dan tidak
boleh membalas kemudharatan dengan kemudharatan.”
Kedua, menyatakan bahwa talak seperti itu dibolehkan. Hal itu
didasarkan pada sabda Rasulullah SAW ini.
لطَّاَل قُ ا اهلل تَ َعالىَ الَى اَبْ َغُض ْالَحاَلِل “Sesuatu hal yang halal yang paling dibenci Allahadalah talak”.
Talak itu dibenci karena dilakukan tanpa adanya tuntutan
dan sebab yang membolehkan. Dan karena talak semacam itu dapat
membatalkan pernikahan yang menghasilkan kebaikan yang
memang disunahkan, sehingga talak itu menjadi makruh hukumnya.
42
3. Mubah
Mubah yaitu talak yang dilakukan karena ada kebutuhan.
Misalnya karena buruknya akhlak isteri dan kurang baiknya
pergaulannya yang hanya mendatangkan mudharat dan menjauhkan
mereka dari tujuan pernikahan.
4. Sunnah
Sunnah yaitu talak yang dilakaukan pada saat isteri
mengabaikan hak-hak Allah SWT yang telah diwajibkan kepadanya,
misalnya shalat, puasa, dan kewajiban lainnya, sedangkan suami
juga sudah tidak lagi menjaga kehormatan dan kesucian dirinya.
Hal itu mungkin saja terjadi, karena memang wanita itu mempunyai
kekurangan dalam hal agama, sehingga mungkin saja ia berbuat
selingkuh dengan laki-laki lain.
Dalam ondisi seperti itu dibolehkan bagi suaminya untuk
mempersempit ruang dan geraknya. Sebagaimana yang difirmankan
Allah
43
“Hai orang-orang yang beriman,tidak dibolehkan bagi kalian
mewarisi wanita dengan jalan paksa dan janganlah kalian
menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian
dari apa yang telah kalian berikan kepadanya kecuali jika mereka
melakukan pekerjaan keji yang nyata.” (an-Nisa‟:19)24
Dan bisa jadi talak dalam kondisi seperti itu bersifat wajib.
Hal itu sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis berikut ini, dari
Ibnu Abbas, ia bercerita. “ ada seorang laki-laki yang datang
kepada nabi SAW dan mengatakan, Sesungguhnya isteriku tidak
melarang tangan orang lain menyentuhnya. Maka beliau bersabda,
“Ceraikanlah ia”. Lalu orang itu berkata aku takut diriku akan
mengikutinya . Kemudian beliau bersabda ,„Bersenang-senanglah
dengannya.” (HR.Abu Daud Dan Nasa‟i)
5. Mazhur (terlarang)
Mazhur yaitu talak yang dilakukan ketika isteri sedang haid.
Para ulama di mesir telah sepakat untuk mengharamkannya. Talak
ini disebut juga dengan talak bid‟ah. Disebut bid‟ah karena suami
24
Departemen Agama RI, Al-Qur’an…,h.80.
44
yang menceraikan itu menyalahi sunnah Rasul dan mengabaikan
perinth Allah SWT dan Rasu-Nya.25
3. Macam-Macam Perceraian
a. Thalak sunni
Thalak sunni adalah thalak yang didasarkan pada sunnah Nabi,
yaitu apabila suami menthalak isterinya yang telah disetubuhi
dengan thalak satu, pada saat suci, sebelum disetubuhi.
b. Thalak bid‟ah
Mengenai thalak bid‟ah ini ada beberapa macam keadaan, yang
mana seluruh ulama telah sepakat menyatakan, bahwa thalka
semacam ini hukumnya haram. Jumhur ulama berpendapat
bahwa thalak ini tidak berlaku. Thalak bid‟ah ini jelas
bertentangan dengan syariat. Yang bentuknya ada beberapa
macam, yaitu:
1. Apabila seorang suami menceraikan isterinya ketikasedang
dalam keadaan haidh atau nifas.
2. Ketika dalam keadaan suci, sedang ia telah menyetubuhinya
pada masa suci tersebut.
25
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga,…h. 249-251.
45
3. Seorang suami menthalak tiga isterinya dengan satu kalimat
dengan tiga kalimat dengan satu waktu. Seperti dengan
mengatakan ,” Ia telah aku thalak, lalu aku thalak dan
selanjutnya aku thalak.” Dalil yang telah melandasinya
adalah Sabda Rasulullah, sebagaimana diceritaka;
bahwasannya ada seorang seprang laki-laki yang menthalak
tiga isterinya dengan satu kalimat.26
Dengan melihat kepada kemungkinan bolehnya si suami
kembali kepada mantan isterinya, Thalaq itu ada dua macam:
1) Thalaq raj’iy, yaitu thalaq yang si suami diberi hak untuk
kembali kepda isterinya tanpa melalui nikah baru, selama
isterinya itu masih dalam masa iddah. Thalaq raj’iy itu
adalah thalaq satu atau thalaq dua tanpa didahului tebusan
dari Pihak isteri.
2) Thalaq bain, yaitu thalaq yang putus secara penuh dalam
arti tidak memungkinkan suami kembali kepada isterinya
kecuali dengan nikah baru, thalaq bain inilah yang tepat
untuk disebut putusnya perkawinan.
Thalaq bain ini trbagi pula kepada dua macam:
26
Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fikih Wanita… cetakan keempat, h.
466-468.
46
a) Bain sughra, ialah thalaq yang suami tidak boleh ruju’
kepada mantan isterinya, tetapi ia dapat kawin lagi
dengan nikah baru tanpa melalui muhalil. Yang
termasuk bain sugra itu adalah sebagai berikut:
Pertama: thalaqyang dilakukan sebelum isteri digauli
isteri digauli olleh suami.Thalaq dalam bentuk ini tidak
memerlukan iddah. Oleh karena tidak ada masa iddah,
maka tidak ada kesempatan untuk ruju’, sebab ruju’
hanya dilakukan dalam masa iddah.
Kedua: thalaq yang dilakukan dengan cara tebusan dari
pihak isteri atau yang disebut khulu’.
Ketiga: perceraian melalui putusan hakim di pengadilan
atau yang disebut fasakh.
b) Bain kubra yaitu thalaq yang tidak memungkinkan
suami ruju’ kepada mantan isterinya. Dia hanya boleh
kembali kepada isterinya setelah isterinya itu kawn
dengan laki-laki lain dan bercerai pula dengan laki-laki
itu dan habis iddahnya. Yang termasuk thalaq dalam
bentuk bain kubra itu dalah sebagai berikut:
47
Pertama: Isteri yang telah di-thalaq tiga kali, atau
thalaq tiga. Thalaq dalam pengertian bain kubra itu
disepakati oleh jumhur ulama adalah thalaq tiga yang
diucapkan secara terpisah dalam kesempatan yang
berbeda antara satu dengan yang lainnya diselingi oleh
masa iddah.
Kedua: isteri yang bercerai dari suaminya melalui proses
li’an. Berbeda dngan bentuk pertama mantan istri yang
dili’an itu tidak boleh sama sekali dinikahi, meskipun
sesudh diselingi oleh adanya muhalil, menurut jumhur
ulama.27
4. Syarat Perceraian
Di Indonesia peraturan perkawinan dan akibat-akibatnya
diatur dalam Pasal 38 sampai dengan 40 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974.
Pasal 38
Perkawinan dapat putus karena:
a. Kematian,
b. Perceraian,
27
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam… cetakan ke-3, h. 220-225.
48
c. Atas keputusan Pengadilan.
Pasal 39
1) Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang
Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha
dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, antara
suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami
isteri.
3) Tatacara perceraian di depan siding Pengadilan ditur dalam
peraturan perundangan tersendiri.
Pasal 40
1) Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan
2) Tatacaara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1)
pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Ayat (2) UU Perkwinan Pasal 39 dijelaskan secara terinci
dalam PP pada Pasal 19 dengan rumusan sebagai berikut:
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk,
pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar
disembuhkan.
49
b. Salah stu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua)
tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa
alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima)
tahun atau hukuman berat yang membahayakan pihak
lain.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau
penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang
lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit
dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai suami isteri.
f. Antara Suani dan Isteri terus-menerus terjadi
perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan
akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Pasal 19 PP ini diulangi dalam KHI pada Pasal 116 dengan
rumusan yang sama, dengan menambahkan dua anak
ayatnya yaitu:
a. Suami melanggar taklik thalaq.
50
b. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan
terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.28
Disyaratkan bagi orang yang menthalak hal-hal berikut ini:
1. Baligh, Talak yang dijatuhkan anak kecil dinyatakan
tidak sah, sekalipun dia telah pandai. Kesepakatan para
ulama mazhab, kecuali Hanbali. Para ulama Mazhab
Hanbali mengatakan bahwa, talak yang dijatuhkan anak
kecil yang mengerti dinytakan sah, sekalipun usianya
belum mencapai sepuluh tahun.
2. berakal sehat. Dengan demikian talak yang dijatuhkan
oleh orang gil, baik penyakitnya itu akut maupun jadi-
jadian (incidental), pada saat dia gila, tidak sah. Begitu
pula halnya dengan talak yang dijatuhkan oleh orang
yang tidak sadar, dan orang yang hilang kesadarannya
lantaran sakit panas yang amat tinggi sehingga ia
meracau.
3. Atas kehendak sendiri. Dengan demikian talak yang
dijatuhkan oleh orang yang dipaksa (menceraikan
isterinya), menurut kesepakatan para ulama mazhab,
28
Amir Syarifuddin,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,…h. 228.
51
tidak dinyatakan sah. Ini berdasarkan hadis yang
berbunyi:
Ketentuan hukum dicabut dari umatku yang melakukan
perbuatannya karena keliru, lupa dan dipaksa.
Hal ini merupakan kesepakata para ulama mazhab
kecuali Hanafi. Mazhab yang disebut terakhir ini
mengatakan bahwa, talak yang dijatuhkan orang yang
dipaksa dinyatakan sah.
Mahkamah Syariah Mesir memberlakukan keputusan
tidak berlakunya talak orang mabuk dan orang yang
dipaksa.
4. Betul-betul bermaksud menjatuhkan talak. Dengan
demikian, kalau seorang laki-laki mengucapkan karena
lupa, keliu, atau main-main menurut Imamiah talaknya
dinyatakan tidak jatuh.29
B. Iddah
1. Definisi iddah
Iddah berarti menanti yang diwajibkan atas wanita yang
diceraikan suaminya, baik karena cerai hidup maupun cerai mati.
29
Muhammad Jawad Mmugniah,Fiqih Lima…h. 73-74.
52
Iddah adalah masa dimana seorang wanita yang diceraikan
suaminya menunggu. Pada masa itu ia tidak diperbolehkan menikah
atau menawarkan diri kepada laki-laki lain untuk menikahinya.
2. Hukum iddah
Iddah wajib bagi seorang isteri yang dicerai oleh suaminya,
baik cerai karena kematian maupun cerai karena faktor lain.Dalil
yang menjadi landasannya adalah firman Allah SWT:
“Orang-orang yang mrninggal dunia diantara kalian dengan
meninggalkan isteri-isteri, maka hendaklah para isteri itu
menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari.” (Al-
Baqarah:234)30
3. Macam macam iddah
a. Iddah bagi isteri yang ditalak dan sedang menjalani masa haid.
Jumhur ulama berpendapat, bahwa masa iddah yang harus
dijalani adalah tiga masa haid.
30
Departemen Agama RI, Al-Qur’an…,h.38
53
b. Iddah bagi isteri yang dithalak dan sudah tidak menjalani masa
haid lagi (monopouse) juga tiga bulan.
c. Iddah bagi isteri yang sedang hamil yairu samapi ia melahirkan.
d. Iddah isteri yang ditinggal mati oleh suaminya, yaitu empat
bulan sepuluh hari, jika ia sedang tidak hamil.
e. Iddah isteri yang sedang menjalani istihadhah; apabila
mempunyai hari-hari dimana ia biasa menjalani masa haid,
maka ia harus memperhatikan kebiasaan masa haid dan masa
sucinya tersebut. Jika ia telah menjalani tiga kali masa haid,
maka selesailah sudah masa idahnya.31
f. Iddah isteri yang sedang menjalani masa haid, lalu terhenti
karena sebab yang diketahui maupun tidak. Jika berhentinya
darah haid itu diketahui oleh adanya penyebab tertentu, seperti
karena proses penyusuan atau sakit, maka ia harus menunggu
kembalinya haid tersebut dan menjalani masa iddahnya sesuai
dengan haidnya meskipun memerlukan waktu yang lebih lama.
Sebaliknya, jika disebabkan oleh suatu yang tidak diketahui,
maka ia harus menjalani masa iddahnya selama satu tahun.
Yaitu Sembilan bulan untuk menjalani masa hmilnya dan tiga
bulan untuk menjalani masa idahnya
31
Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fikih Wanita,… h. 478-479
54
g. Iddah wanita yang belum dicampuri oleh suaminya. Berkenaan
dengan hal tersebut, Allah SWT berfirma:
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi
wanita-wanita yang beriman, kemudian kalian hendak
menceraiakan mereka sebelum kalian mencampurinya, maka
sekali-kali tidak wajib ata mereka menjadani masa iddah bagi
kalian yang kalian minta untuk menyempurnaknnya. Maka berilah
mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang
sebaik-baiknya.”(Al-Ahzab:49)32
Dari ayat tersebut terdapat dalil yang menunjukan bahwa
seorang isteri yang belum dicampuri suaminya tidak mempunyai
kewajiban menjalani masa iddahnya. Tetapi, jika suaminya
meninggal dunia sebelum ia mewncampuri isterinya, maka isteri
yang diceraikannya itu harus menjalani iddah sebagaimana
suaminya telah mencampurinya.33
Isteri yang dithalak sebelum berhubungan badan
mendapatkan setengah dari maharnya.seorang suami yang
32
Departemen Agama RI, Al-Qur’an…, h. 424. 33
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga…h. 411.
55
menceraikan isterinya sebelum berhubungan badan dengannya
maka isterinya tersebut berhak mendapatkan setengah dari mahar
yang diberikan kepadanya. Demikian pula jika ia telah hidup
bersamanya tetapi belum melakukan hubungan badan, baik sudah
tinggal lama maupun sebentar. Hal ini berlaku pada setiap mahar
yang sifatnya belum ditentukan seperti jumlah, berat atau yang
lainya, baik ia menikahinya dengan mahar yang telah disebutkan
pada waktu akad atau mahar yang telah disepakati atau yang belum
disepakati oleh merekaberdua setelah akad nikah, maka ia (suami)
harus memberi mahar mitsil. Dalil yang melandasinya adalah
firman Allah SWT pada surat Al-Baqarah ayat 237.
Jika kamu menceraiakan mereka sebelum kamu sentuh (campuri), padahal kamu sudah mementukan maharnya, maka (bayarlah) seperdua dari yang telah kamu tentukan itu,kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha melihat segala apa yang kamu kerjakan.” (Al-Baqarah:237)
34
34
Departemen Agama RI, Al-Qur’an…, h.38.
56
Perbedaan pendapat yang terjadi adalah antara mahar yang
sudah ditentukan dengan mahar yang tidak ditentukandalam akad
nikah dan mahar yang telah disepakati antara keduanya setelah akad.
Abu Hanifah dan para sahabatnya mengatakan: “Si suami harus
memberikan setengah mahar dari mahar kepada isteri yang
diceraikannya jika maharnya telah ditentukan pada waktu akad
nikah. Jika masing-masing dari keduanya menyepakati bersama
mengenai mahar atau bahkan sebaliknya masing-masing berbeda
pendapat mengenai mahar terebut setelah akad, maka diwajibkan
bagi suami memberikan mahar mitsil kepadanya. Dan jika
diceraikan sebelum berhubungan badan, maka tidak ada hak bagi
isteri untuk mendapatkan mahar, kecuali hanya mut‟ah saja”.
Sedangkan menurut Imam Asy-Syafi‟i dan Imam Malik: “Si
isteri mendapatkan setengah an mahar, dalam segala keadaan yang
telah disebutkan diatas. “Sementara Ibnu Hazm mrngatakan:
“Pendapat merekalah (Iimam Malik dan imam Asy-Syafi‟i) yang
kami pegang, karena Allah SWT berfirman:”Bayarlah seperdua
(setengah) dan mahar yang telah kalian tentukan itu”.35
35
Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fikih Wanita,… h. 488.
57
BAB IV
PERCERAIAN SEBELUM HUBUNGAN INTIM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM
A. Putusan Pengadilan Agama Pandeglang terhadap perkara
perceraian sebelum hubungan intim
Pengadilan Agama Pandeglang yang memeriksa dan
mengadili perkara tertentu pada tingkat pertama dalam sidang
majelis telah menjatuhkan putusan Perkara Cerai Gugat antara:
Penggugat dan Tergugat.
1. Dalam Duduk Perkaranya :
Bahwa Penggugat dengan Tergugat telah melangsungkan
pernikahan, pada tanggal 05 Februari 2012 yang dicatat oleh
Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan
Mandalawangi, Kabupaten Pandeglang sebagaimana ternyata dari
Kutipan Akta Nikah Nomor : 025/08/H/2012 tanggal 06 Februari
2012;
Bahwa setelah menikah Penggugat dan Tergugat membina
rumah tangga dirumah orang tua Penggugat selama satu hari setelah
itu Tergugat pergi kerumahorang tuanya di Lebak;
58
Bahwa selama pernikahan antara Penggugat dengan
Tergugat belum melakukan hubumgan biologis sebagaimana
layaknya suami istri (qobla addukhul);
Bahwa sejak awal pernikahan Penggugat dan Tergugat
belum pernah membina rumah tangga, karena dari sejak pernikahan
Tergugat belum pernah membina rumah tangga, karena dari sejak
pernikahan penggugat belum pernah tinggal menginap di rumah
Tergugat, Tergugat hanya pernah datang kerumahPenggugat
sebentar saja, kemudian pulang lagi ke rumah orang tuanya, dan
Tergugat pernah datang kepada Penggugat dan meminta uang
kepada Penggugat sebesar Rp.3.000.000.- (tiga juta rupiah) dan
oleh Penggugat diberi, namun setelah itu Tergugat pulang lagi ke
rumah orang tuanya;
Bahwa, puncak keretakan rumah tangga antara Penggugat
dengan Tergugat terjadi pada tanggal 18 Maret 2012, Tergugat
datang ke rumah Penggugat dan meminta kalung emas 24 karat
seberat 5 gram kepada Penggugat dan oleh Penggugat diberi juga,
kemudian Tergugat pulang lagi kerumah orang tuanya dan sejak
saat itu Tergugat tidak pemah datang lagi kerumaha Penggugat
sampai dengan sekarang telah berjalan selama kurang lebih 5 bulan;
59
Bahwa, dengan kejadian tersebut Penggugat merasa bahwa
rumah tangga antara Penggugat dengan Tergugat sudah tidak dapat
dibina dan dipertahankan lagi.
2. Tentang Pertimbangan Hukum
Dalam memutuskan perkara ini Majelis Hakim telah
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a. Bahwa secara yuridis alasan-alasan perceraian yang diajukan
oleh Penggugat tersebut mengacu kepada pasal 39 ayat (2) UU
Nomor 1 Tahun 1974 Jo Pasal 19 huruf (f) Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Jo Pasal 116 huruf (f)
Kompilasi Menimbang, bahwa Majelis lebih dahulu
mempertimbangkan bahwa perkara aquo adalah termasuk tugas
dan wewenang Pengadilan Agama Pandeglang untuk
memeriksa, memutus dan menyelesaikannya berdasarkan
Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua
atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama;
b. Bahwa upaya Mediasi tidak dapat dilaksanakan sebagaimana
perintah Perma Nomor 1 tahun 2008 karena Tergugat tidak
pernah hadir dipersidangan, namun Majelis Hakim telah
60
berusaha mendamaikan dan atau memberikan nasehat kepada
Penggugat agar mau membina rumah tangganya dengan baik,
namun tidak berhasil, karena Penggugat tetap ingin bercerai
dengan Penggugat.
c. Bahwa untuk meneguhkan dalil-dalil gugatannya Penggugat
telah mengajukan bukti tertulis berupa Foto copy Kartu Tanda
Penduduk (KTP) atas nama Penggugat (Bukti P.I), bukti ini
berisi tentang identitas, dari bukt iini diketahui bahwa
Penggugat adalah warga Kabupaten Pandeglang maka sesuai
dengan ketentuan pasal 73 ayat (1) Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 perkara aquo tennasuk kewenangan relative
Pengadilan Agama Pandeglang dan karenanya pula harus
dinyatakan terbukti bahwa Penggugat adalah sebagai pihak
yang berkepentingan dalam perkara ini;
d. Bahwa Penggugat juga telah mengajukan bukti tertulis berupa
Foto copy Kutipan Akta Nikah Nomor : 025/08/H/2012 tanggal
06 Februari 2012; yang diukeluarkan oleh KUA Kecamatan
Mandalawangi Kabupaten Pandeglang (Bukti P.2), bukti ini
merupkan akta otentik yang menerangkan hubungan hukum
diantara kedua belah pihak yang berperkara, maka karenanya
61
harus dinyatakan terbukti pula bahwa Penggugat dan Tergugat
telah terikat dalam pernikahan yang sah;
e. Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut,
Majelis Hakim berkesimpulan perkawinan Penggugat dan
Tergugat telah pecah (breakdown marriage), karena antara
Penggugat dan Tergugat telah terjadi perselisihan dan
pertengkaran terus menerus dan tidak ada harapan untuk hidup
rukun kembali, dan akibat seringnya bertengkar antara
Penggugat dan Tergugat telah pisah tempat tinggal selama
kurang lebih dua tahun terakhir ini, oleh karena itu gugatan
Penggugat telah memenuhi alasan perceraian Pasal 19 huruf (f)
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf
(f) Kompilasi Hukum Islam;
f. Bahwa Majelis Hakim menilai sudah tidak ada manfaat
yangdapat diharapkan dari rumah tangga Penggugat dan
Tergugat dan tidak ada harapan akan hidup rukun kembali,
sehingga mengakhiri kehidupan suami istri adalah lebih baik,
sehingga petitum dalam gugatan Penggugat yang mohon agar
dijatuhkan talak satu ba'in sughra Tergugat terfiadap Penggugat
patut untuk dikabulkan.
62
3. Amar Putusan
Majlis Hakim Pengadilan Agama Pandeglang mengadili
putusan perkara nomor 273/Pdt.G/2012/PA.Pdlg.yang isinya
sebagai berikut:
a. Menyatakan Tergugat yang telah dipanggil secara resmi dan
patut untuk menghadap di persidangan, tidak hadir;
b. Mengabulkan gugatan Penggugat dengan verstek;
c. Menjatuhkan talak satu Ba'in Sughro Tergugat (TERGUGAT
bin XXX terhadap Penggugat (PENGGUGAT binti XXX) ;
d. Memerintahkan Panitera Pengadilan Agama Pandeglang untuk
mengirimkan salinan putusan ini setelah berkekuatan hukum
tetap kepada Kantor Urusan Agama Kecamatan Mandalawangi
Kabupaten Pandeglang dan Kantor Urusan Agama Kecamatan
Muncang, Kabupaten Lebak untuk dicatat dalam daftar yang
disediakan untuk itu;
e. Membebankan biaya perkara kepada Penggugat yang hingga
kini terhitung sebesar Rp. 366.000,00 (Tiga ratus enam puluh
enam ribu rupiah).36
36
Putusan Pengadilan Agama Pandeglang
63
Pasal 35 KHI
(1) Suami yang mentalak isterinya qabla al-dukhul wajib
membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam
akad nikah.
(2) Apabila suami meninggal dunia qabla al-dukhul seluruh
mahar yang ditetapkan menjadi hak penuh isterinya.
(3) Apabila percerain terjadi qabla al-dukhul tapi besarnya
mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar
mahar mitsil.37
Bahwa jika tidak ditentukan mahar, maka tidak diwajibkan
memberi setengah mahar.Jika suami tidak menentukan
mahar untuk isteri sampai dia menyetubuhinya, dia berhak
untuk mendapatkan mahaer mitsil.Jika kedua suami-isteri
salah satu dari keduanya meninggal dunia sebelum
ditentukan maharnya, diwajibkan mahar mitsil dalam
pendapat yang paling zahir.38
Pasal 149
Bilamana perkawinan putus karena talak maka bekas
suami wajib:
37
Suparman Usman, Hukum Islam,Asas-Asas…h.323. 38
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam…, h.247.
64
Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan
separoh apabila qabla al-dukhul.
Pasal 153
Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku
waktu tunggu atau iddah, kecuali qabla al-dukhul dan
perkawinannya putus bukan karena kematian suami.
Tidak ada waktu tunggu bagi putus perkawinan karena
perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya
qabla al-dukhul.39
B. Dasar hukum dan pertimbangan hakim Pengadilan Agama
Pandeglang dalam memutus perkara perceraaian sebelum
hubungan intim.
1. Dasar Hukum
Hakim adalah organ pengadilan yang dianggap memahami
hukum, yang dipundaknya telah diletakan kewajiban dan
tanggungjawab agar hukum dan keadilan itu ditegakan dengan
baik yang berdasarkan kepada tertulis atau tidak tertulis
(mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak ada dan kurang jelas) dan tidak boleh ada satupun
39
Suparman Usman, Hukum Islam,Asas-Asas…h.251-252.
65
yang bertentangandengan asas dan sendi peradilan berdasarkan
Tuhan Yang Maha Esa.
Pada dasarnya hakim dapat diartikan sebagai orang yang
bertugas untuk menegakan keadilan dan kebenaran,
menghukum orang yang berbuar salah dan membenarkan orang
yang benar. Dan didalam menjalankan tugasnya, ia tidak hanya
bertanggung jawab kepada pihak-phak yang berperkara akan
tetapi juga kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Hakim juga mempunyai syarat-syarat yang harus
dimiliki dan ditentukan oleh hukum Islam yaitu, hakim harus
beragama Islam, Hakim harus laki-laki, baligh dan berakal,
kredibilitas individu, sempurna pancaindra berpengetahuan luas,
merdeka, itu syarat-syarat yang wajib dimiliki oleh hakim
Pengadilan Agama agar terciptanya hukum yang adil dan
bijaksana.40
Adapun dasar hukum hakim Pengadilan Agama Pandeglang
dalam memutus perceraian sebelum hubungan intim yaitu Pasal
19 huruf f Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 dan Pasal
116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam.
40
Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Menyelenggarakan Peradilan, (Jakarta:
Kecana Prenada Media Ggroup, 2010), h.21-31.
66
2. Pertimbangan Hakim
Pertimbangan yang diambil oleh hakim diantaranya
yaitu faktor penyebabnya alasan-alasan isteri mengajukan
perceraian, ketika penyebabnya sudah diketahui maka kemudian
imbas dari penyebab itu, berkonsekuensi positif atau menjadi
negative untuk rumah tangga mereka, dari situlah kemudian
hakim menyimpulkan bahwa rumah tangga ini patut
dipertahankan atau tidak, kalau penyebabnya qabla al-dukhul
akhirnya berakibat perselisihan fisik dan batin, penghilangan
hak dan kewajiban suami isteri,permasalahan seperti itulah
hakim menyimpulkan sebagai salah satu bentuk alasan untuk
terjadinya perceraian
Majelis Hakim berkesimpulan perkawinan Penggugat
dan Tergugat telah pecah (breakdown marriage), karena antara
Penggugat dan Tergugat telah terjadi perselisihan dan
pertengkaran terus menerus dan tidak ada harapan untuk hidup
rukun kembali, dan akibat seringnya bertengkar antara
Penggugat dan Tergugat telah pisah tempat tinggal selama
kurang lebih dua tahun terakhir ini, oleh karena itu gugatan
Penggugat telah memenuhi alasan perceraian Pasal 19 huruf (f)
67
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf
(f) Kompilasi Hukum Islam.41
Karena Pasal 19 huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975 dan
Pasal 116 KHI ini menyatakan perselisihan yang terus menerus
dan tidak dapat dirukunkan lagi dalam rumah tangga, dilihat
dari yang diajukan oleh penggugat, penggugat mengajukan 2
orang saksi yaitu XXX dan XXX masing-masing paman
penggugat. Bahwa tergugat pergi meninggalkan penggugat
sampai dengan 7 bulan dan selama menikah tidak melakukan
hubungan suami isteri.Perselisihan dan pertengkaran terus
menerus ini bukan pertengkaran fisik.Akan tetapi pertengkaran
batin, dengan meninggalkannya salah satu pihak tersebut,
dinyatakan bahwa perselisihan batin yang sulit drukunkan
lagi.Upaya dari pihak keluarga sudah dilakukan secara
maksimal agar rukun kembali, tetapi mereka tidak pernah
bersatu lagi.
Disebutkan dalam PERMA No 1 Tahun 2008 harus ada
proses mediasi yang harus dilakukan oleh para pihak. Apabila
kedua belah pihak ini hadir dalam persidangan, maka proses
41
Ahmad Affendi, Hakim Pengadilan Agama Pandeglang, wawancara
dengan penulis dikantornya, tanggal 31 Januari 2019.
68
mediasi harus dilakukan. Karena putusan ini dijatuhkan dengan
perstek, dengan ketidak hadiran tergugat sekalipun sudah diberi
kesempatan 2 kali untuk hadir di persidangan dengan resmi dan
patut sehingga mediasi tidak dapat dilaksanakan.Perkara no
273/Pdt.G/2012/PA.Pdlg tidak bisa di mediasi. Ttetapi aturan
dalam hukum acara, majelis hakim setiap kali persidangan
selalu berupaya menasehati kepada penggugat untuk bisa rukun
kembali lagi sudah diupayakan. Mediasi tidak dilakukan karena
salah satu pihak tidak hadir dalam persidangan, sehingga
mediasi tidak bisa dilaksanakan.42
C. Perspektif hukum Islam terhadap putusan Pengadilan Agama
Pandeglang tentang perceraian sebelum hubungan intim
Putusan Pengadilan Agama Pandeglang terhadap ketentun
hukum Islam menyangkut perceraian sebelum hubungan intim pada
kasus tersebut dinilai kurang tepat. Hakim dalam kasus ini masih
kurang memperhatikan dasar hukum untuk menjatuhkan putusan
berupa perceraian sebelum hubunga intim. Padahal Dalam hukum
Islamdijelaskan apabila perceraian sebelum hubungan intim maka
42
Ahmad Affendi, Hakim Pengadilan Agama Pandeglang, wawancara
dengan penulis dikantornya, tanggal 02 Mei 2019.
69
akan ada akibat yang ditimbulkan yaitu mengenai mahar dan iddah
sebagai berikut :
1. Mahar
Para fuqaha telah bersepakat atas diwajibkannya mahar dibagi
dua untuk Si isteri sebab terjadinya perpisahan sebelum terjadi
persetubuhan.
a. Menurut mazhab Syafi‟I dan Hanbali perpisahan ini apakah
akibat perceraian maupun pembatalan, jika mahar yang
diberikan adalah mahar yang telah ditentukan dalam akad,
dan penentuannya tersebut sahih, dan perpisahan
ditimbulkan oleh suami. Termasuk diantara beberapa contoh
pembatalan adalah illa’ atau li’an, atau sebab murtadnya
suami, atau akibat keengganan suami untuk memeluk agama
Islam setelah isterinya masuk Islam. Dalil mereka adalah
Firman Allah SWT:
“Jika kamu menceraiakan mereka sebelum kamu sentuh (campuri), padahal kamu sudah mementukan maharnya, maka
70
(bayarlah) seperdua dari yang telah kamu tentukan itu,kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha melihat segala apa yang kamu kerjakan.” (Al-Baqarah:237)
Ini dalam perceraian berbagai jenis perpisahan yang
lainnya diqiaskan dengannya karena memiliki kandungan
makna yang sama. Jika mahar benar-benar tidak ditentukan
di dalam akad seperti akad pernikahan tafwidh. Atau kedua
pasangan suami isteri sepakat untuk kawin tanpa mahar,
penentuannya tidak benar, dan terjadi perpisahan dengan
keridhaan masing-masing suami isteri, atau dengan
keputusan qadhi, dan perpisahan ini terjadi sebelum
terjadinya persetubuhan, dan sebelum khalawat menuerut
mazhab hanafi dan hanbali, maka si isteri sama sekali tidak
berhak mendapatkan mahar.n yang berhak dia terima adalah
nafkah mut‟ah.
b. Karena teks Al-Qur‟an yang tadi disebutkan memaparkan
mengenai pembagian mahar secara dua, atau pembagian
dua mahar musamma, dan kewajiban nafkah mut‟ah
berdasarkan firman Allah SWT,
71
“Tidak ada dosa bagimu jika kamu menceraikan isteri-isteri
kamu yang belum kamu sentuh (campur) atau belum kamu
tentukan maharnya. Dan hendaklah kamu beri mereka
mut’ah.” (Al-Baqarah:236).
Jadi perpisahan yang lainnya diqiaskan dengan talak
karena mengandung makna yang sama.
Mazhab Maliki berpendapat, sesungguhnya
pembatalan pernikahan atau penolakan suami terhadap
isterinya akibat suatu kekurangan sebelum terjadi
persetubuhan tidak menjadikan si isteri berhak menerima
apa-apa. Mereka berselisih pendapat apakah si isteri
mendapatkan mahar jika penolakan ini terjadi akibat adanya
kekurangan pada diri suami.
Mazhab Hanafi berpendapat, perisahan yang selain
perceraian sebelum terjadinya persetubuhan dan khalawat
membuat semua mahar jatuh sebagaimana yang akan kami
jelaskan.
72
Para fuqaha berselisih pendapat mengenai dua
permasalahan sekitar pembagian mahar menjadi dua
sebelum terjadi persetubuhan, yaitu masalah pembagian
mahar menjadi dua yang harus dibayarkan setelah terjadinya
akad dan masalah penambahan pada mahar setelah akad.
Sedangkan persoalan pertama yaitu jika mahar tidak
disebutkan ketika akad, dan hanya ditetapkan setelahnya
dengan rasa keridhaan atau dengan keputusan qadhi.
Mazhab Hanafi berpendapat, mahar yang harus diberikan
tidak dibagi dua setelah akad, dengan kekhususan
pembagian dua mahar yang telah ditetapkan dengan teks Al-
Qur‟an yang tadi telah disebutkan. Bahkan yang diwajibkan
kepada si isteri hanyalah nafkah mut‟ah saja. Jika terjadi
perpisahan sebelum terjadi persetubuhan dan khalawat,
maka yang berhak didapatkan oleh si isteri hanyalah nafkah
mut‟ah saja.
Jumhur ulama berpendapat mahar yang sudah
ditetapkan dibagi dua stelah terjadi akad seperti mahar yang
disebutkan di dalam akad. Jika terjadi perpisahan sebelum
terjadinya persetubuhan dan khalawat, maka menurut
73
Mmazhab Hanbali si perempuan berhak mendapatkan
setengah bagian mahar yang telah ditetapkan setengah
mahar yang telah ditetapkan bukannya nafkah mut;ah.
Sedangkan persoalan kedua yaitu tanbahan baru
mahar musamma dari suami stelah akad, Mazhab Hanafi
berpendapat tambahan ini jatuh dari suami dan tidak ada
pambagian dua sebelum terjadinya persetubuhan dan
khalawat . Jumhur berpendapat tambahan ini tidak jatuh dari
suami dan mahar dibagi dua bagikan mahar musamma di
dalam akad.
Jadi sesungguhnya mahar yang dibagi dua menurut
mazhab Hanafi adalah mahar yang ditentukan di dalam akad,
juga bukan yang ditambahkan kepada yang telah ditetapkan
setelah akad. Jumhur berbeda dengan mereka dalam dua
persoalan ini sumber perbedaan pendapat mereka adalah,
penafsiran apa yang dimaksudkan oleh firman Alah
SWT,“Bayarlah seperdua dari mahar yang telah ditentukan
itu”
Mazhab Hanafi menilai, yang dimaksudkan adalah
mahar yang diwajibkan pada waktu akad, bukan yang
74
lainnya, sebagai aplikasi apa yang biasanya dikenal diantara
manusia, yaitu pemutlakan mahar yang diwajibkan kepada
mahar musamma pada waktu akad. Sedangkan Jumhur
menilai, sesungguhnya yang yang dimaksudkan oleh firman
Allah SWT ini adalah mahar yang diwajibkan secara mutlak
sebagai aplikasi pengertian secara bahasa karena kalimat la-
faradh adalah nilai dan mencakup semua yang dinilai, baik
pada waktu aakad dan setelahnya dinamakan mahar yang
diwajibkan secara tradisi. Sebagaimana yang juga dimaksud
oleh pengertian secara bahasa.43
2. Iddah
Definisi iddah dapat dipaparkan dengan definisi yang
paling jelas, yaitu masa masa yang telah ditetapkan oleh Allah
setelah terjadi perpisahan yang harus dijalani oleh si isteri
dengan tanpa melakukan perkawinan sampai masa iddahnya.
Tidak ada masa iddah bagi perempuan yang melakukan zina
menurut mazhab Hanafi dan syafi‟I, bertentangan dengan
pendapat Mazhab Maliki dan Hanbali.Juga tidak ada masa
43
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu,(Jakarta:Gema Insani,
2011), h.266-268.
75
iddah bagi seorang permpuan yang sebelum sempat disetubuhi,
menurut kesepakatan fuqaha. Berdasarkan Firman Allah SWT,
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi wanita-wanita yang beriman, kemudian kalian hendak menceraiakan mereka sebelum kalian mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib ata mereka menjadani masa iddah bagi kalian yang kalian minta untuk menyempurnaknnya. Maka berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.” (Al-Ahzab:49).
Sedangkan bagi isteri yang telah disetubuhi ditetapkan
iddah menurut konsensus fuqaha. Perpisahan ini berbentuk talak
maupun fasakh, ataupun kematian.44
Jika isteri yang belum pernah disetubuhi ditinggal mati
suaminya, maka ia harus beriddah seperti iddahnya orang yang
sudah disetubuhi. Karena Allah berfirman:
“Dan orang- orang yang telah meninggal diantara kamu sedangkan mereka meninggalkan isteri, maka hendaklah mereka (isteri-isteri) inimenahan diri selama empat bulan sepuluh har….”(Al-Baqarah:234)
44
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam…, h.535.
76
Isteri yang kematian suaminya wajib iddah, sekalipun
belum pernah disetubuhi adalah untuk menyempurnakan dan
menghargai hak suami yang meninggal tersebut.45
Menurut analisa penulis putusan yang dijatuhkan oleh
Pengadilan Agama Pandeglang dalam memeriksa dan mengadili
perkara Nomor 273/Pdt.G/2012/PA.Pdlg ada kekurangan hakim
dalam menyelesaikan perkara perceraian sebelum hubungan intim
tidak sejalan dengan hukum Islam.Hakim tidak menyebutkan dasar
hukum yang tepat untuk menyelesaiakan perceraian sebelum
hubungan intim. Didalam putusan ini Hakim hanya mengambil
dasar hukum perceraiaannya secara umum yaitu pasal 19 huruf (f)
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf (f)
Kompilasi Hukum Ialam.Seharusnya hakim mengambil dasar
hukum berdasarkan hukum Islam mengenai perceraian sebelum
hubungan intim,bukan hanya perceraian secara umum saja. Hakim
tidak menjelaskan konsekuensi dan akibat hukum yang ditimbulkan
mengenai perceraian sebelum hubungan intim.Padahal dalam
hukum Islam dijelaskan bahwasannya apabila perceraian sebelum
hubungan intim, ada akibat yang ditimbulkan yaitu mengenai mahar
dan iddah.
45
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 8,(Bandung: PT Alma‟arif, 1987), h.142.
77
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Putusan perkara perceraian sebelum hubungan intim Nomor
273/Pdt.G/2012/PA.Pdlg. dikabulkan yakni, Majelis Hakim
menjatuhkan talak satu Bain Sugra Tergugat XXX Bin XXX
terhadap Penggugat XXX Binti XXX, berdasarkan Pasal 19
huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor. 9 Tahun 1975 dan Pasal
116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam.
2. Majelis Hakim Pengadilan Agama Pandeglang dalam
Menyelesaikan Perkara Perceraian sebelum hubungan intim
Berlandaskan pada Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah
Nomor. 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf (f) Kompilasi
Hukum Islam.
Karena Pasal 19 huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 116
KHI ini menyatakan perselisihan yang terus menerus dan tidak
dapat dirukunkan lagi dalam rumah tangga, dilihat dari yang
diajukan oleh penggugat, penggugat mengajukan 2 orang saksi
yaitu XXX dan XXX masing-masing paman
penggugat.Perselisihan dan pertengkaran terus menerus ini
78
bukan pertengkaran fisik. Akan tetapi pertengkaran batin,
dengan meninggalkannya salah satu pihak tersebut, dinyatakan
bahwa perselisihan batin yang sulit drukunkan lagi.
3. Menurut analisa penulis putusan Pengadilan Agama Pandeglang
Nomor 273/Pdt.G/2012/PA.Pdlg. sejalan dengan hukum Islam.
Majelis Hakim memutuskan tidak ada ketentuan mahar pada
perceraian sebelum hubungan intim pada putusan tersebut,
karena dalam putusan tersebut isteri tidak meminta mahar.
B. Saran
1. Kepada pasangan suami isteri yang telah berumah tangga untuk
dapat menerima pasangan masing-masing, baik kelebihannya
maupun kekurangannya sehingga perkawinan tersebut tidak
dapat mudah putus karena perceraian.
2. Kepada pembaca diharapkan dapat mengambil pesan moral dari
penelitian ini, masalah apapun dalam rumah tangga hendaknya
dapat diselesaiakan dengan baik sehingga tidak membawa
akibat terhadap perkawinan.