bab i pendahuluan 1. 1. latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang
Kota-kota di Indonesia saat ini berkembang sangat pesat, hal ini tidak terlepas
dari pengaruh pertumbuhan penduduk sebagai dampak dari arus urbanisasi.
Kenyataan tersebut tentu akan membebani kota-kota ke depan, karena semakin
banyaknya penduduk yang tinggal di daerah perkotaan maka kebutuhan akan
kawasan-kawasan hunian baru meningkat. Kawasan-kawasan hunian tersebut pada
kenyataannya membutuhkan prasarana dan sarana dasar seperti, permukiman, jalan,
fasilitas pendidikan, air bersih, sanitasi, persampahan, listrik, telekomunikasi dan
sebagainya. Pemenuhan sarana dan prasarana di atas memerlukan lahan untuk
pembangunan dan pengembangannya. Kebutuhan lahan yang semakin tinggi di kota
menyebabkan tekanan atas lahan semakin tinggi.
Samsoedin, et al., (2006) menyebutkan bahwa pembangunan infrastruktur
perkotaan di Indonesia menunjukkan perencanaan yang kurang baik. Pembangunan
gedung perkantoran, perbelanjaan, sekolah, perumahan, pabrik, dan sebagainya
kurang memperhatikan aspek tata ruang kota. Kebutuhan akan pembangunan
infrastruktur dan terbatasnya ketersediaan lahan tampaknya akan menjadi salah satu
faktor terjadinya disintegrasi dalam pembangunan di perkotaan. Konsekuensi logis
atas keadaan tersebut adalah menyempitnya lahan untuk ruang terbuka hijau (RTH).
Pembangunan dan pengembangan kota cenderung mengarah pada penggunaan
lahan untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan pelayanan pada penduduk kota.
Pembangunan tersebut dilakukan karena lebih memberikan keuntungan secara
ekonomis dibandingkan dengan keberadaan vegetasi, sehingga posisi RTH
dikesampingkan dan kadangkala RTH yang ada di perkotaan hanya mengisi lahan-
lahan sisa yang ada di perkotaan. Menurut Irwan (2005) pembangunan fisik yang ada
di perkotaan setiap tahunnya mengalami peningkatan sehingga mengakibatkan
semakin berkurangnya RTH di perkotaan dan bahkan mengalami kecenderungan
gejala pembangunan “antiruang” di perkotaan.
RTH merupakan aspek yang perlu diperhitungkan dan diprioritaskan dalam
pembangunan di kawasan perkotaan, hal ini dimaksudkan supaya tidak terancam
2
eksistensinya. RTH mempunyai peranan yang penting dalam tata ruang kota karena
manfaatnya yang besar untuk kenyamanan kota, kesehatan penduduk, masa depan
kota beserta keberlangsungannya dan sekaligus sebagai penyedia oksigen. Menurut
Fandeli (2004) RTH kota merupakan bagian dari penataan ruang perkotaan yang
berfungsi sebagai kawasan lindung. Kawasan hijau kota terdiri atas pertamanan
kota, kawasan hijau hutan kota, kawasan hijau rekreasi kota, kawasan hijau kegiatan
olahraga, kawasan hijau pekarangan. RTH diklasifikasi berdasarkan status
kawasan, bukan berdasarkan bentuk dan struktur vegetasinya. Menurut Undang-
undang R I No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dinyatakan bahwa proporsi
RTH pada wilayah perkotaan paling sedikit 30% dari luas wilayah keseluruhan.
Keberadaan undang-undang mengenai penataan ruang tersebut kenyataannya
belum sepenuhnya menjadikan RTH sesuai dengan proporsi yang sudah ditetapkan.
Permasalahan RTH yang terjadi bisa dilihat di beberapa kota besar yakni Jakarta,
Semarang, Bandung dan Surabaya. Kondisi yang sangat memprihatinkan yang
dialami Kota Jakarta yakni ketersediaan RTH hanya 9,8% dari luas wilayahnya
(66.152 ha) (Kompas, tanggal 25 April 2011). Berkurangnya RTH ini dipicu oleh
pesatnya perkembangan Kota Jakarta sebagai urban life. Kondisi RTH lebih
memprihatinkan lagi terjadi pada Kota Semarang, luas RTH hanya menempati area
seluas 7,5% dari luas wilayahnya (37.370, 39 ha) (Koran Tempo 12 Desember 2012).
Berkurangnya RTH di Kota Semarang disebabkan oleh alih fungsi lahan yakni
menjadi lahan industri antara tahun 2003-2007 sebanyak 9,45%, konversi RTH
menjadi perumahan sebanyak 29,59% (Sri Hartini, Harintaka dan Istarno, 2008).
Sementara menurut Ernady Syaodih dan Weisyaguna (2011) RTH di Kota Bandung
menempati area seluas 1,678.27 ha (10,03%) dari luas wilayah (16,729 ha).
Permasalahan utama dalam penaatan, pemeliharaan dan pengembangan RTH di Kota
Bandung adalah minimnya sarana dan prasarana pemeliharaan, keterbatasan jumlah
sumber daya manusia (SDM), khususnya petugas lapangan, mengingat luasnya Kota
Bandung dan kompleksitas permasalahan di Kota Bandung. Di Kota Bandung telah
terjadi konversi hutan lindung menjadi lahan permukiman sebanyak 12,9% pada
tahun 2008. Fenomena lain terjadi di Kota Surabaya, dimana untuk luasan RTH baru
mencapai 20,18% dari total luas wilayahnya yakni seluas 1.479,18 ha. Penyebab
utama kurangnya RTH ini karena adanya pembangunan untuk sarana prasarana
3
penduduk sehingga RTH terkesampingkan peranannya (www.kompas.com, tanggal 24
Juli 2013 ).
Gejala sebagaimana diuraikan di atas bahwa keberadaan RTH di kota
seringkali tergeserkan oleh pembangunan fisik kota dan masih kurangnya luasan
RTH, terjadi pula di kota-kota lainnya, oleh karena itu perlu dilakukan kajian
penelitian serupa di daerah lain terkait dengan RTH. Permasalahan nyata terkait
dengan RTH juga terjadi di Kota Yogyakarta, sehingga perlu dilakukan penelitian
mengingat Yogyakarta menjadi kota tujuan wisata dan pendidikan dengan luas
wilayah 32,5 Km2
(3.250 ha) dan jumlah penduduk pada tahun 2009 sebesar 462.752
orang. Terjadi peningkatan jumlah penduduk pada tahun 2009 yaitu sebesar 1,27%
(BPS DIY 2009). Konsekuensi dari pertambahan penduduk dan pemenuhan
kebutuhan hunian adalah terjadinya perubahan penggunaan lahan. Penggunaan lahan
untuk perumahan pada tahun 2009 mengalami peningkatan sebesar 1,981 ha
sehingga jumlahnya mencapai 2.106,338 ha. Sementara lahan pertanian pada tahun
2009 seluas 130,029 ha dan mengalami pengurangan sebesar 4,023 ha. Terjadi
konversi lahan pertanian ke non pertanian pada tahun 2009 sebesar 19,01% (BPN
Kota Yogyakarta, 2009).
Perubahan keruangan ini juga terjadi pada daerah pinggiran Kota Yogyakarta,
dimana daerah tersebut secara fisik mempunyai ciri kekotaan. Kabupaten Bantul dan
Sleman, pada tahun 2010 terjadi perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian
menjadi lahan non pertanian. Terjadi kenaikan perubahan penggunaan lahan di
Kabupaten Bantul, dari yang semula 39,419 ha naik menjadi 52,2708 ha (24,54%).
Sementara di Kabupaten Sleman mengalami kenaikan sebesar 58,11% yakni dari
21,002 ha menjadi 50,225 ha. Berbeda dengan Kota Yogyakarta, terjadi perubahan
penggunaan lahan yang relatif lebih kecil, yakni hanya 2,55% (dari 5,865 ha menjadi
6,0182 ha) (sumber: BPN Yogyakarta, 2012).
Dinamika penduduk Kota Yogyakarta yang cukup tinggi mempengaruhi
dinamika penggunaan lahan kota dan harus diantisipasi oleh pemerintah dengan
berbagai langkah pembangunan. Penduduk kota yang tumbuh dengan cepat
memerlukan tempat tinggal dan sarana pendukungnya. Dampak dari kebutuhan lahan
untuk permukiman penduduk adalah konversi lahan pertanian, pekarangan, lahan
4
kosong, dan lain-lain yang pada umumnya berupa RTH. Antisipasi perlu dilakukan
supaya perkembangan lahan non pertanian tidak mengurangi fungsi RTH.
Salah satu dampak dari berkurangnya RTH di kawasan perkotaan adalah
berkurangnya suplai oksigen karena salah satu fungsi RTH adalah mengubah
karbondioksida menjadi oksigen. Jika penduduk yang terus tumbuh dengan jumlah
yang semakin besar, tetapi tidak diimbangi oleh RTH yang mencukupi, maka
penduduk kota akan merasa tidak nyaman. Jumlah oksigen yang dihasilkan oleh
RTH dan jumlah oksigen yang dibutuhkan sangat penting diketahui guna menunjang
kualitas hidup penduduk kota. Semakin banyak jumlah RTH berimplikasi pada
jumlah oksigen yang dihasilkan menjadi bertambah banyak. Informasi mengenai
oksigen yang dihasilkan oleh RTH tersebut dapat digunakan untuk mengetahui
apakah RTH yang sudah ada dapat memenuhi kebutuhan oksigen saat ini dan tahun-
tahun yang akan datang atau belum.
Untuk mengetahui kondisi RTH aktual secara cepat dan akurat pada kawasan
perkotaan maka diperlukan teknologi penginderaan jauh dan Sistem Informasi
Geografis (SIG). Citra penginderaan jauh membantu pengelolaan atau pengambil
keputusan dibidang tata ruang kota, khususnya dalam pengelolaan RTH
untuk menganalisis secara cepat dan akurat terhadap sebaran, luasan, dan model
biofisik RTH. Data penginderaan jauh yang diintegrasikan dengan SIG berperan
penting dalam perencanaan dan pengelolaan RTH yang aktual dan akurat. Indeks
vegetasi MODIS menghasilkan informasi spasial dan perbandingan temporal dari
kondisi vegetasi secara global sehingga dapat digunakan untuk kegiatan pemantauan
kondisi vegetasi daratan dalam mendukung proses perkembangan, deteksi perubahan
dan interpretasi biofisika. Permodelan dengan menggunakan SIG menawarkan suatu
mekanisme yang mengintegrasikan berbagai jenis data (biofisik) yang digunakan
dalam penelitian RTH. Monitoring kondisi RTH dalam satu decade dan prediksi
ketercukupan luasan RTH berperan penting dalam menganalisis kondisi kesehatan
masyarakat kota. Informasi kondisi RTH yang akurat dan aktual sangat dibutuhkan
instansi terkait.
Dalam penelitian ini citra yang akan digunakan adalah citra ALOS AVNIR-
2. Citra ALOS AVNIR-2 (Advanced Land Observing Satellite) adalah satelit milik
Jepang yang merupakan satelit generasi lanjutan dari JERS-1 dan ADEOS yang
5
dilengkapi dengan teknologi yang lebih maju, untuk memberikan kontribusi bagi
dunia penginderaan jauh, terutama bidang pemetaan, pengamatan tutupan lahan
secara lebih presisi dan akurat. Citra ini memiliki resolusi spasial 10 meter (resolusi
menengah) diharapkan dapat memberikan informasi yang akurat mengenai RTH
meskipun belum diketahui tingkat akurasinya dalam menyadap informasi RTH di
Kota Yogyakarta dan sekitarnya sesuai kebutuhan penelitian. Untuk dapat
memperoleh informasi mengenai suplai oksigen yang dihasilkan oleh RTH
diperlukan setidaknya data mengenai luasan dan jenis RTH di daerah penelitian.
Perolehan informasi melalui interpretasi data citra ALOS AVNIR-2 diharapkan dapat
digunakan sebagai pijakan dalam perhitungan suplai oksigen yang dihasilkan oleh
vegetasi RTH, karena di daerah penelitian belum ada informasi yang memadai
mengenai oksigen yang diproduksi RTH apakah terus memenuhi kebutuhan oksigen
penduduk secara proporsional atau belum dan kalaupun suplainya kurang, tetapi
belum diketahui seberapa kurangnya. Informasi tersebut dapat dijadikan dasar oleh
pemerintah kota untuk menyusun program pengadaan RTH secara bertahap pada
setiap tahunnya.
Hal penting yang perlu diperhatikan dari eksistensi RTH adalah
distribusinya, disamping keterpenuhan luasnya. Akan kurang optimal artinya jika
luasan terpenuhi akan tetapi letaknya hanya terpusat di satu titik, untuk itu kajian
tentang distribusi spasial eksistensi RTH ini penting dilakukan, disamping itu
mengetahui jumlah luasan RTH yang tersebar di seluruh bagian kota juga dalam
rangka mengetahui kondisi ideal RTH menurut pedoman.
Informasi yang telah diperoleh dari hasil interpretasi citra, cek lapangan dan
dukungan data sekunder dapat digunakan untuk mengetahui suplai oksigen yang
dihasilkan oleh RTH aktual, untuk mengetahui kebutuhan oksigen dan untuk
mendukung kualitas kehidupan penduduk Kota Yogyakarta dan sekitarnya. Informasi
tersebut belum cukup untuk dijadikan acuan oleh pemerintah kota untuk menyusun
rencana tata ruang kota, khususnya rencana penyediaan RTH, untuk itu perlu disusun
estimasi kebutuhan RTH berdasarkan kebutuhan oksigen.
6
1.2. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian
a. Rumusan Masalah
Peningkatan jumlah penduduk, kegiatan perekonomian, pengembangan dan
pembangunan telah menyebabkan berbagai permasalahan dalam kawasan perkotaan.
Pembangunan dan pengembangan kota cenderung mengarah pada pemanfaatan lahan
untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan pelayanan pada penduduk kota. Jika
pemanfataan lahan tersebut di atas tidak memperhatikan daya dukung lingkungan
atas berbagai sarana yang dibangun maka akan berdampak pada penurunan kualitas
lingkungan. Pembangunan yang bersifat fisik di kawasan perkotaan seringkali
berorientasi pada keuntungan ekonomi semata dan terkadang RTH semakin
terkesampingkan. Apabila hal tersebut terjadi maka kebutuhan akan RTH akan
semakin terancam eksistensinya dan semakin menyempit jumlahnya.
RTH merupakan aspek penting dalam tata ruang kota dan kehidupan penduduk
di kota karena manfaatnya yang besar untuk kenyamanan kota, kesehatan penduduk
dan masa depan kota. Kecukupan RTH di wilayah perkotaan dirasa sangat penting,
salah satu manfaat dari RTH adalah sebagai sumber penyedia oksigen. Sempitnya
RTH di perkotaan akan berdampak pada kecilnya produksi oksigen yang dihasilkan.
Dengan mengetahui jumlah oksigen yang dihasilkan oleh RTH tersebut, diharapkan
dapat diketahui informasi mengenai kecukupan kebutuhan RTH di wilayah
perkotaan.
Untuk mengetahui informasi mengenai luas RTH yang ideal sesuai dengan
pedoman, jumlah oksigen yang dihasilkan oleh RTH serta kebutuhan oksigen oleh
konsumen maka diperlukan data penginderaan jauh berupa citra ALOS (Advanced
Land Observing Satellite). Citra ALOS merupakan satelit jenis baru yang dimiliki
oleh Jepang setelah dua satelit pendahulunya yaitu JERS-1 dan ADEOS. Satelit
ALOS dengan sensor AVNIR-2 (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer
type-2) memiliki resolusi spasial 10 meter. Citra ini memiliki empat saluran (merah,
hijau, biru dan inframerah dekat). Saluran inframerah dekat ini merupakan saluran
yang peka terhadap vegetasi, sehingga bagus untuk kajian vegetasi. Penelitian
mengenai RTH dengan memanfaatkan citra ALOS AVNIR-2 belum banyak
dilakukan, oleh karena itu dalam penelitian ini akan mencoba mengkaji bagaimana
kemampuan dan seberapa akurat citra tersebut dalam mengkaji informasi RTH
7
khususnya RTH di Kota Yogyakarta dan sekitarnya. Untuk keperluan kajian ini, citra
ALOS AVNIR-2 belum dapat dipastikan tingkat akurasinya, oleh karena itu
berdasarkan metode-metode tertentu dalam penelitian penginderaan jauh harus
diketahui terlebih dahulu akurasinya, sebelum digunakan untuk analisis selanjutnya.
Mengingat bahwa jumlah penduduk bersifat dinamis progresif, maka
ketersediaan luas RTH harus pula dinamis progresif. Kecukupan luasan RTH
menurut peraturan Undang-undang R.I No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
adalah sebesar 30% dari luas wilayah kota yang bersangkutan. Besarnya luasan RTH
yang sebesar 30% dari luas wilayah tersebut belum tentu dapat mencukupi kebutuhan
wilayah perkotaan yang memerlukanya untuk menciptakan suatu kondisi lingkungan
yang nyaman, sehingga kebutuhan RTH dalam penelitian ini memperhitungkan
kebutuhan oksigen bagi penduduk. Selain kebutuhan untuk penduduk, kebutuhan
oksigen juga mempertimbangkan kebutuhan berdasarkan jumlah kendaraan
bermotor, dan industri, sedangkan untuk mengetahui jumlah oksigen yang dihasilkan
oleh RTH aktual melalui pendugaan besarnya biomasa. Dengan mengetahui jumlah
oksigen yang dihasilkan oleh RTH aktual dan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh
konsumen, maka dapat diperkirakan apakah RTH yang ada sudah tercukupi atau
belum keberadaannya.
Adakalanya keberadaan RTH di suatu kota terpusat pada lokasi tertentu,
sehingga bagian lain dari wilayah kota tidak dapat menikmati kebermanfaatan RTH
secara optimal. Keberadaan RTH di wilayah Kota Yogyakarta dan sekitarnya perlu
diperhatikan sehingga distribusinya dapat diketahui secara jelas dan berdasarkan peta
tersebut selanjutnya pemerintah kota dapat mempertimbangkan lokasi RTH baru di
bagian wilayah kota yang belum tercukupi kebutuhan RTHnya.
Informasi yang telah diperoleh mengenai luasan, sebaran, suplai oksigen yang
dihasilkan oleh RTH dan kesesuaian RTH berdasarkan kebutuhan oksigen
merupakan informasi aktual, tetapi belum dapat memberikan informasi bagaimana
kondisinya pada masa mendatang, oleh karena itu perlu dilakukan prediksi. Prediksi
RTH yang dilakukan dalam penelitian ini adalah 10 tahunan atau 1 dekade. Hal ini
ditetapkan atas dasar pertimbangan bahwa dalam periode tersebut terjadi berbagai
macam perubahan kondisi biofisik yang dapat mempengaruhi kondisi RTH.
Perubahan tersebut terjadi karena berbagai macam program pembangunan yang
8
dijalankan oleh pemerintah daerah selama 2 periode pemerintahan. Jadi penentuan
waktu prediksi lebih didasarkan pada satuan periode pembangunan oleh pemerintah
daerah. Dalam masa 1 periode pemerintahan atau 5 tahun secara teoretik tidak akan
terjadi perubahan yang signifikan, tetapi dalam masa 2 periode akan lebih tampak
perubahannya. Mengingat dalam 1 dekade terdapat 2 macam keputusan pemda yang
terkait dengan RTH, yakni keputusan politik yang disebut peraturan daerah mengenai
Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RTRW). Selanjutnya berdasarkan data yang
telah diperoleh dapat disusun estimasi kebutuhan RTH dengan luas tertentu untuk
memenuhi kebutuhan oksigen Kota Yogyakarta dan sekitarnya.
b. Pertanyaan Penelitian
Dari uraian permasalahan penelitian di atas maka dapat dirumuskan
pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan penelitian, antara lain :
1. Bagaimana kemampuan citra ALOS AVNIR-2 dalam menyadap informasi RTH
di Kota Yogyakarta dan sekitarnya, dilihat dari akurasinya?
2. Seberapa suplai oksigen yang dihasilkan oleh RTH aktual dan seberapa besar
kebutuhan oksigen di Kota Yogyakarta dan sekitarnya?
3. Bagaimana distribusi spasial RTH di Kota Yogyakarta dan sekitarnya serta
kesesuaiannya dengan pedoman berdasarkan luas wilayah?
4. Bagaimana estimasi kebutuhan RTH berdasarkan kebutuhan oksigen di Kota
Yogyakarta dan sekitarnya pada tahun 2018?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengkaji kemampuan citra ALOS AVNIR-2 untuk menyadap informasi RTH
di Kota Yogyakarta dan sekitarnya dilihat dari akurasinya.
2. Memperoleh informasi tentang suplai oksigen yang dihasilkan oleh RTH aktual
dan kebutuhan oksigen di Kota Yogyakarta dan sekitarnya.
3. Menyusun peta distribusi spasial RTH di Kota Yogyakarta dan sekitarnya serta
kesesuaiannya dengan pedoman berdasarkan luas wilayah.
4. Menyusun estimasi kebutuhan RTH berdasarkan kebutuhan oksigen di Kota
Yogyakarta dan sekitarnya pada tahun 2018.
9
1.4. Hasil yang Diharapkan
Hasil yang diharapkan dalam penelitian ini antara lain:
1. Informasi citra ALOS AVNIR-2 dalam menyadap informasi RTH dilihat dari
akurasinya.
2. Informasi suplai oksigen yang dihasilkan oleh RTH aktual dan kebutuhan
oksigen di Kota Yogyakarta dan sekitarnya.
3. Peta distribusi spasial RTH di Kota Yogyakarta dan sekitarnya skala 1:100.000
dan kesesuaiannya dengan pedoman berdasarkan luas wilayah.
4. Rumusan estimasi kebutuhan RTH berdasarkan kebutuhan oksigen di Kota
Yogyakarta dan sekitarnya pada tahun 2018.
1.5. Kegunaan Penelitian
Berdasarkan tujuan yang telah dikemukantkan di atas, maka dalam
melakukan penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan sebagai berikut:
1. Meningkatkan nilai terapan penginderaan jauh dan SIG dalam kajian tata ruang
kota khususnya RTH dengan memanfaatkan citra resolusi sedang
2. Memberikan informasi mengenai suplai oksigen yang dihasilkan serta
kebutuhan oksigen pada RTH kawasan perkotaan bagi pihak terkait dengan
menggunakan penginderaan jauh dan SIG di Kota Yogyakarta dan sekitarnya.
3. Memberikan informasi kepada pemerintah Kota Yogyakarta dan sekitarnya
mengenai karakteristik RTH Kawasan Perkotaan aktual dilihat dari aspek tingkat
ketersediaan, pola distribusinya.
4. Memberikan informasi estimasi kebutuhan RTH berdasarkan kebutuhan oksigen
di Kota Yogyakarta dan sekitarnya pada tahun 2018 sehingga dapat digunakan
sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun rencana tata ruang kota.
1.6. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai kajian RTH dengan menggunakan citra penginderaan
jauh sudah banyak dilakukan dan pada umumnya menggunakan citra Landsat,
Quickbird, dan Ikonos, SPOT. Sebagaimana penelitian yang telah dilakukan oleh
Septriana, et.al (2004) menggunakan citra Landsat TM. Ketersediaan oksigen dari
data Citra Landsat TM diklasifikasikan menjadi hutan (pohon), semak belukar,
sawah, dan kebun campuran. Penentuan luas hutan kota berdasarkan kebutuhan
10
oksigen menggunakan Metode Gerakis (Wissesa, 1988). Parameter yang digunakan
untuk menghitung kebutuhan oksigen adalah layer penduduk, layer kendaraan
bermotor, layer hewan ternak, layer industri, data kondisi biofisik (jumlah dan laju
pertumbuhan penduduk, hewan ternak, kendaraan bermotor, industri besar).
Sementara Assyfael, et al (2005) menggunakan citra Ikonos dan citra SPOT
untuk mengetahui luas hutan kota berdasarkan kebutuhan oksigen. Perhitungan luas
hutan kota berdasarkan kebutuhan oksigen menggunakan Metode Gerakis (Wissesa,
1988). Penentuan luas hutan kota dengan dengan mempertimbangkan data jumlah
penduduk, jumlah ternak, jumlah kendaraan bermotor dan jumlah industri per
kelurahan. Ketersediaan oksigen diperoleh dari pendugaan jumlah oksigen per satuan
luas pada masing-masing tutupan lahan hijau yang diperoleh dari hasil klasifikasi.
Penentuan kelas penutup lahan menggunakan interpretasi visual. Kelas-kelas
penutupan lahan yang diperoleh dari interpretasi visual, yaitu pemukiman, jalan,
sungai, tanah kosong, kebun, rumput, pohon dan sawah, juga ditentukan kelas
tambahan, yaitu awan dan bayangan awan.
Apriyanto (2010) menggunakan peta pre- disaster 2006 dari Unosat, peta RTH
aktual 2006 hasil karya Ginting (2006) untuk mengetahui luas hutan kota. Luas hutan
berdasarkan kebutuhan oksigen menggunakan Metode Gerakis (Fandeli, et al., 2004)
dengan menggunakan data sekunder, kemudian untuk mengetahui jumlah oksigen
yang dihasilkan oleh pohon menggunakan Metode Volumetrik. Pada perhitungan
volume oksigen dipilih 9 spesies pohon terbanyak berdasarkan data dari Dinas
Lingkungan Hidup.
Ohira (2013) dalam penelitiannya untuk menghitung luas hutan kota
berdasarkan kebutuhan oksigen menggunakan Metode Gerakis (Kunto, 1986 dalam
Dahlan, 2003). Dalam menentukan tutupan hijau atau penggunaan lahan menggunaan
transformasi NDVI dan SAVI. Perhitungan oksigen didasarkan pada luas masing-
masing per penggunaan lahan dengan klasifikasi multispektral (Maximum
Likelihood). Kelas-kelas penggunaan lahan yang diperoleh berupa RTH sawah, RTH
lapangan rumput, RTH pohon/campuran, bangunan industri, bangunan permukiman
atau campuran, tubuh air, jalan, lahan terbuka, lahan sawah basah.
Yanua (2012) dalam perhitungan biomasa menggunakan parameter seperti
ketebalan tajuk vegetasi, kerapatan tajuk vegetasi, persentase tutupan tajuk dan
11
persentase vegetasi bawah. Sementara dalam menentukan kelas tutupan hijau
menggunakan transformasi NDVI dan estimasi oksigen yang dihasilkan berdasarkan
jenis penggunaan lahan. Jenis penggunaan lahan vegetasi dibedakan menjadi RTH
permukiman, RTH jalur hijau jalan, taman, hutan, sawah, kebun campuran dan
semak belukar.
Penelitian yang akan dilakukan ini memiliki perbedaan dengan penelitian
terdahulu. Untuk mengetahui luas RTH yang ada di lokasi penelitian menggunakan
hasil klasifikasi multispektral (Maximum Likelihood) yang dikombinasikan dengan
berbagai indeks vegetasi. Adapun indeks vegetasi yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), EVI
(Enhancement Vegetation Index), SAVI (Soil Adjusted Vegatation Index), MSAVI
(Modified Soil Advanced Vegetation Index), GEMI (Global Environmental Modelling
Index) dan ARVI (Atmospherically Resistant Vegetation Index). Penggunaan
berbagai indeks vegetasi ini diharapkan mampu memberikan informasi kelas tutupan
vegetasi (RTH) yang memiliki akurasi yang baik dari citra ALOS AVNIR-2. Analisis
indeks vegetasi ini juga digunakan sebagai acuan dalam penentuan titik sampel
yakni untuk modeling perhitungan biomasa dan sebagai uji akurasi.
Penyediaan kebutuhan RTH dihitung berdasarkan kebutuhan oksigen dengan
menggunakan metode Gerakis (Fandeli dan Muhammad, 2009). Perhitungan oksigen
disamping untuk manusia maka perlu dipertimbangkan juga pendugaan oksigen
berdasarkan jumlah kendaraan dan industri. Sementara untuk mengetahui jumlah
oksigen yang dihasilkan oleh RTH dengan menggunakan besarnya jumlah
biomasanya, yaitu persamaan allometrik (Brown, 1997) untuk menduga besar
produksi oksigen pada vegetasi yang memiliki diameter at breast heigh (DBH).
Terdapat persamaan dan perbedaan rencana penelitian ini dengan penelitian
yang terdahulu. Kesamaan yang pada umumnya digunakan dalam perhitungan
kebutuhan oksigen yakni menggunakan Metode Gerakis. Persamaan dan perbedaan
penelitian yang akan dilakukan dengan yang sudah dilakukan disajikan pada Tabel
1.1 di bawah ini.
12
Tabel 1.1. Penelitian Sebelumnya dan Penelitian yang Dilakukan
Pembanding Lokasi
Penelitian
Tujuan Jenis Data Variabel
Penelitian
Hasil yang Diharapkan
Diana Septriana, Andry
Indrawan, Endes
Nurfilmarasa Dahlan,
Dan I Nengah Surati
Jaya, (2004)
Kota Padang Mengetahui kebutuhan luas
hutan kota
Landsat TM tahun 2002,
peta administrasi, peta
tata guna lahan,
Kebutuhan
oksigen
Luas hutan kota berdasarkan
kebutuhan oksigen dan analisis
pengembangan RTH
Feber Antarius Ginting
(2006)
Kota
Yogyakarta
1. Membangun basisdata spasial
lingkungan kota
menggunakan SIG dan PJ
2. Menyusun model agihan
optimal RTH Kota
Yogyakarta
3. Menerapkan model agihan
optimal RTH dalam bentuk
peta
Citra Quickbird, data
sekunder, data lapangan
Indeks
kenyamanan,
pencemaran
udara,
kebutuhan
oksigen
penduduk,
RTH aktual,
lahan potensial
bagi RTH
Model agihan optimal RTH
kota, Peta agihan optimal RTH
Kota Yogyakarta
Muchammad Chusnan
Apriyanto
(2010)
Kota
Yogyakarta
Menentukan konsumsi dan
produksi kebutuhan oksigen,
karbon, dan kebutuhan air di
Kota Yogyakarta
Peta pre- disaster 2006
dari Unosat, Peta RTH
aktual 2006, peta
administrasi, data
Kebutuhan
oksigen, karbon
dan kebutuhan
air dan prediksi
Luas hutan kota dan prediksi
luas hutan kota tahun 2010,
kebutuhan oksigen, cadangan
karbon dan kebutuhan air
13
sekunder luas hutan kota.
R. Assyfael Lestari dan
I Nengah Surati Jaya
(2005)
Kota Bogor 1. Mengetahui luas minimal
hutan kota yang
dibutuhkan serta
distribusinya di Kota
Bogor
2. Mengetahui lokasi
pengembangan hutan kota.
Citra IKONOS rekaman
tahun 2003 dan Citra
SPOT rekaman tahun
2003
Penutup lahan,
Indeks Vegetasi
(NDVI)
Kebutuhan oksigen dan hutan
kota per kelurahan tahun 2003
dan tahun 2020
Ohira (2013) Kota
Surakarta
1. Mengkaji efektifitas citra
ALOS AVNIR-sebagai
sumberdaya informasi
yang update dapat
digunakan untuk
mengindentifikasi
karakteristik ruang terbuka
hijau kawasan perkotaan
dan melakukan validasi
terhadap hasil pengukuran
2. Menganalisa
keseimbangan ruang
tutupan hijau kawasan
perkotaan dibeberapa tipe
tutupan hijau.
3. Mengevaluasi kondisi
iklim mikro Kota
Surakarta.
4. Menganalisa kebutuhan
Citra ALOS AVNIR-2
Perekaman tahun 2009,
Peta RBI, data sekunder,
data lapangan
Penutup/penggu
naan lahan,
Indeks
kenyamanan, ,
kebutuhan
oksigen
penduduk,
RTH aktual.
Pengembangan Ruang
Terbuka Hijau
Kota Surakarta
14
dan identifikasi lokasi
potensial Ruang Terbuka
Hijau Kawasan Perkotaan
(RTHKP) Kota Surakarta.
Yanua Pristya Putri,
2012
Kecamatan
Magelang
Selatan
1. menginterpretasi ruang
hijau di Kecamatan
Magelang Selatan dengan
menggunakan citra
WorldView-2
2. mengetahui keakurasian
citra WorldView-2 dalam
menginterpretasi
penggunaan lahan vegetasi
dan bukan vegetasi
3. mengestimasi volume
oksigen yang dihasilkan
ruang hijau di Kecamatan
Magelang Selatan dengan
citra WorldView-2
Citra WorldView-2
Perekaman Tahun 2012
Penggunaan
lahan, ketebalan
tajuk vegetasi,
kerapatan
vegetasi,
persentase
tutupan tajuk,
persentase
vegetasi bawah,
estimasi oksigen
tiap jenis
penggunaan
lahan
1. Distribusi ruang hijau
menggunakan citra
WorldView-2?
2. Akurasi citra WorldView-2
dalam membedakan lahan
vegetasi dan bukan
vegetasi
3. Estimasi volume oksigen
yang dihasilkan ruang hijau
di Kecamatan Magelang
Selatan dengan
menggunakan citra
WorldView-2
15
Melania Swetika Rini
(2015)
Kota
Yogyakarta
dan
sekitarnya
1. Mengkaji kemampuan
citra ALOS AVNIR-2
untuk RTH di Kota
Yogyakarta dan sekitarnya
dilihat dari akurasinya.
2. Memperoleh informasi
tentang suplai oksigen
yang dihasilkan oleh RTH
aktual dan kebutuhan
oksigen di Kota
Yogyakarta dan
sekitarnya.
3. Menyusun peta distribusi
spasial RTH di Kota
Yogyakarta dan sekitarnya
dan kesesuaiannya dengan
pedoman berdasarkan luas
wilayah.
4. Menyususun estimasi
kebutuhan RTH
berdasarkan kebutuhan
oksigen di Kota
Yogyakarta dan sekitarnya
pada tahun 2018.
Citra ALOS AVNIR- 2
tahun 2009, RBI digital
Wilayah Kota
Yogyakarta dan
sekitarnya, data
sekunder, data lapangan
Penggunaan
lahan, RTH
aktual, kelas
tutupan hijau
kebutuhan
oksigen.
1. Tingkat akurasi atau
kemampuan citra ALOS
AVNIR-2 dalam menyadap
informasi RTH dilihat dari
akurasinya,
2. Informasi suplai oksigen
yang dihasilkan oleh RTH
aktual dan kebutuhan
oksigen di Kota
Yogyakarta dan sekitarnya
3. Peta distribusi spasial RTH
di Kota Yogyakarta dan
sekitarnya skala 1:100.000
dan kesesuaiannya dengan
pedoman berdasarkan luas
wilayah.
4. Rumusan estimasi
kebutuhan RTH
berdasarkan kebutuhan
oksigen di Kota
Yogyakarta dan sekitarnya
pada tahun 2018.
16
1.7 Kajian Penelitian
1.7.1 Kondisi Geografis
Kajian daerah penelitian adalah Kota Yogyakarta dan sekitarnya yang
terletak antara 1100
24’19" - 1100
28’53" Bujur Timur dan antara 07049’26" -
07015’24" Lintang Selatan. Adapun batas administratif Kota Yogyakarta adalah
sebagai berikut:
Batas Utara : Kabupaten Sleman
Batas Selatan : Kabupaten Bantul
Batas Timur : Kabupaten Bantul dan Sleman
Batas Barat : Kabupaten Bantul dan Sleman
Luas wilayah Kota Yogyakarta adalah 32,5 Km2
(3.250 ha). Kota
Yogyakarta terdiri dari 14 kecamatan, 45 kelurahan dan 616 RW. Kecamatan
Umbulharjo merupakan kecamatan yang paling luas diantara kecamatan yang
lainnya, yakni seluas 812 ha, sementara kecamatan yang tersempit adalah
Kecamatan Pakualam (0,63 Km2).
Selain Kota Yogyakarta (sebagai wilayah kajian), penelitian ini juga
mengambil beberapa kecamatan di pinggiran Kota Yogyakarta yang memiliki
sifat kekotaan, yakni 3 kecamatan di Kabupaten Bantul dan 3 kecamatan di
Kabupaten Sleman. Untuk lebih jelasnya lihat tabel 2.1 di bawah ini.
Tabel 2.1. Wilayah Kajian untuk Pinggiran Kota Yogyakarta
Kabupaten Kecamatan
Kajian
Luas Wilayah
(km2)
Sleman Gamping 29,25
Mlati 28,55
Depok 35,55
Bantul Sewon 27,16
Kasihan 32,38
Banguntapan 28,48
Sumber : Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman dalam Angka Tahun
2011
1.7.2. Topografi
Kota Yogyakarta terletak di daerah dataran lereng aliran Merapi dengan
kemiringan lahan yang relatif datar (antara 0-2 %) dan berada pada ketinggian rata-
17
rata 114 meter dari permukaan air laut (dpa). Sebagian wilayahnya yakni dengan
luas 1.657 hektar terletak pada ketinggian kurang dari 100 meter dan luas wilayah
1.593 hektar berada pada ketinggian antara 100-199 meter dpa (Yogyakarta Dalam
Angka 2012)
1.7.3 Keadaan Iklim
Kota Yogyakarta beriklim tropis dengan memiliki dua musim yaitu,
musim kemarau dan musim penghujan. Pada tahun 2011 rata-rata curah hujan
tertinggi terjadi pada bulan Januari yakni sebanyak 351,3 mm dan terendah terjadi
pada bulan Juni sebesar 1,5 mm. Rata-rata hari hujan per bulan adalah 9,56 hari.
Kelembaban udara rata-rata cukup tinggi. Kelembaban tertinggi terjadi pada bulan
April sebesar 85% dan terendah terjadi pada bulan Agustus sebesar 67,3%.
Tekanan udara rata-rata 995,83 mb dan suhu rata-rata 26o C.
1.7.4 Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan di Kota Yogyakarta sebagian besar didominasi oleh
perumahan/permukiman. Secara rinci pemanfaatan lahan Kota Yogyakarta dapat
dilihat pada tabel 2.2 berikut ini.
Tabel 2.2. Pemanfaatan Lahan Kota Yogyakarta Tahun 2007-2011
Tahun Perumahan
(ha)
Jasa
(ha)
Perusahaa
n
(ha)
Industri
(ha)
Pertanian
(ha)
Lahan
Kosong (ha)
Lain-
Lain
(ha)
Jumlah
Total
(ha)
2007 2.103,272 272,629 263,525 52,234 145,403 24,781 388,160 3.250
2008 2.103,982 274,021 272,109 52,234 137,593 21,246 388,160 3.250
2009 2.104,357 275,467 275,617 52,234 134,052 20,113 388,160 3.250
2010 2.106,338 275,562 277,565 52,234 130,029 20,041 388,160 3.250
2011 2.108,728 275,996 279,824 52,234 127,672 19,798 388,160 3.250
Sumber: BPS Kota Yogyakarta Tahun 2007-2011
Penggunaan lahan permukiman pada tahun 2011 sebesar (64,884%) telah
melampaui kondisi optimal untuk peruntukan lahan, yang menurut (Odum, 1985
dalam Fandeli, 2004) lahan maksimal untuk perumahan sebesar 40%. Kebutuhan
perumahan ini akan meningkat seiring dengan arus urbanisasi. Penambahan
penduduk oleh arus urbanisasi menyebabkan ruang gerak penduduk menjadi
sempit, udara yang bersih yang dinikmati oleh penduduk juga semakin sedikit.
18
Penggunaan lahan yang setiap tahunnya mengalami penurunan adalah
penggunaan lahan untuk pertanian dan lahan kosong.
1.7.5. Penduduk
Jumlah penduduk Kota Yogyakarta pada tahun 2011 adalah 490.550 jiwa
(BPS Kota Yogyakarta 2011), dengan jumlah penduduk terbanyak ditempati oleh
Kecamatan Umbulharjo (77.127 jiwa) dan penduduk paling sedikit berada di
Kecamatan Pakualam (9.362 jiwa). Berikut ini adalah jumlah penduduk Kota
Yogyakarta dari tahun 2005-2011.
Tabel 3.1 Jumlah Penduduk Kota Yogyakarta Tahun 2005-2011
Tahun Jumlah Penduduk (Jiwa) Kepadatan Penduduk (Jiwa/km2)
2005 435.236 13,391
2006 443.112 13,634
2007 451.118 13,880
2008 456.915 13,881
2009 462.752 14,238
2010 488.627 15,034
2011 490.550 15,093
Sumber: BPS DIY
Sementara jumlah penduduk pada tahun 2011 untuk kecamatan yang juga menjadi
kajian penelitian adalah sebagai berikut:
Tabel 3.2 Jumlah Penduduk di Pinggiran Kota Yogyakarta Dalam Wilayah Kajian
Tahun 2005-2011
Kabupaten Kecamatan Jumlah Penduduk
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Bantul Banguntapan 80.209 86.053 87.057 88.979 90.477 120.015 122.510
Sewon 77.679 78.142 78.453 79.984 81.151 104.368 105.701
Kasihan 79.424 80.159 80.354 85.343 91.849 110.871 112.708
Sleman Gamping 72.871 86.818 75.394 88.166 89.293 96.820 98.486
Mlati 72.318 90.214 75.213 91.450 92.601 101.031 102.812
Depok 118.872 180.243 121.411 182.151 184.407 181.490 182.705
Sumber : BPS DIY
1.7.6. Kondisi Ruang Terbuka Hijau
Besarnya luasan RTH di Kota Yogyakarta ternyata masih belum
memenuhi syarat sebagaimana yang telah ditentukan oleh Undang-undang No. 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Proporsi RTH pada wilayah perkotaan
19
besarnya 30%, yakni 20% untuk ruang terbuka publik dan 10% untuk ruang
terbuka privat. Luasan RTH di Kota Yogyakarta masih kurang 12,83 % pada
tahun 2010, artinya yang tersedia hanya 17,17% (total 557,90 ha) dari luas seluruh
Kota Yogyakarta. (Badan Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta tahun 2010). Dari
557, 90 ha RTH, wilayah yang memiliki RTH paling luas berada pada
Kecamatan Umbulharjo, yakni sebesar 148,22 ha, sementara RTH paling rendah
berada di Kecamatan Pakualaman (4,73 ha).
RTH di wilayah perkotaan mempunyai peranan yang sangat penting untuk
menjaga kualitas lingkungan hidup. Sebagai fungsi ekologis, peran RTH disini
adalah sebagai menyerap karbon, yang merupakan salah satu zat polutan,
kemudian mengubahnya menjadi oksigen dalam proses fotosintesis. Kendaraan
bermotor dan kegiatan industri merupakan sumber polutan udara. Kendaraan
bermotor mengasilkan gas CO2, NOx, HC, Sox dan Pb sementara kegiatan
industri menggunakan bahan bakar fosil dan minyak menghasilkan gas Sox, HC
dan asap. Walaupun sebagai sumber polutan, kendaraan bermotor dan industri
dalam proses pembakaran membutuhan oksigen. Oksigen hasil fotosintesis inilah
yang digunakan oleh kendaraan bermotor dan industri untuk aktivitas pembakaran
bahan bakar fosil menjadi tenaga mekanik. Yang tidak kalah penting adalah
manfaat oksigen bagi manusia untuk keberlangsungan hidupnya.
Jumlah kendaraan yang mengalami peningkatan signifikan, banyaknya
industri serta pertumbuhan penduduk menyebabkan permintaan akan kebutuhan
oksigen juga bertambah. Tercatat dalam kurun waktu 10 tahun terakhir jumlah
kendaraan bermotor di Kota Yogyakarta mengalami laju peningkatan secara cepat
yakni sebesar 162.854 kendaraan dengan total kendaraannya sebesar 331.332
kendaraan (tahun 2010), (http://www.pustral.ugm.org/). Jumlah penduduk dilihat
dari persentasenya juga mengalami kenaikan dari tahun 2005-2011 (lihat tabel 3.1
dan 3.2), sementara jumlah industri mengalami kenaikan yang tidak berarti
(relatif tetap).
Dari pemaparan di atas diketahui bahwa tidak hanya manusia yang
membutuhkan oksigen untuk keberlangsungan hidup, tetapi kendaraan bermotor
dan industri juga membutuhkan oksigen untuk proses pembakaran. Kebutuhan
20
oksigen yang semakin besar harus diimbangi dengan jumlah RTH yang ada agar
terjadi keseimbangan antara oksigen yang dihasilkan dengan oksigen yang
dibutuhkan.