bab i pendahuluan...1 bab i pendahuluan a. latar belakang masalah setiap negara tentunya memiliki...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap negara tentunya memiliki hukum yang berlaku untuk mengatur warga
negaranya, termasuk di Indonesia yang merupakan negara hukum. Pengertian
hukum secara umum adalah sebuah peraturan yang terbentuk dari adanya norma
dan sanksi yang dibuat dan ditujukan untuk dipergunakan dalam mengatur tingkah
laku manusia. Selain itu, hukum juga digunakan untuk menjaga keadilan,
ketertiban dan mencegah terjadinya sebuah kekacauan yang tidak diinginkan.
Setiap hukum yang berlaku tentunya memiliki tujuan dimana tujuan tersebut
bersifat universal, yaitu terwujudnya ketertiban, ketentraman, kedamaian,
kesejahteraan dalam kehidupan bermasyarakat. Secara umum beberapa tujuan dari
hukum antara lain:
1. Memberikan jaminan keamanan, kenyamanan, dan kebahagiaan bagi
setiap anggota masyarakat.
2. Mengupayakan kemakmuran bagi seluruh masyarakat.
3. Melaksanakan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat.
4. Sebagai sarana penegakan dalam proses pembangunan.
Sebuah hukum dapat dikatakan baik bila sudah memenuhi semua kriteria-
kriteria tersebut. Dapat disimpulkan bahwa keberadaan hukum bertujuan untuk
melindungi setiap individu dari penyalahgunaan kekuasaan serta untuk
2
menegakkan keadilan, dengan demikian diperlukannya yang mengatur mengenai
Perlindungan Hukum. Perlindungan hukum adalah segala upaya pemenuhan hak
dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau
korban, perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dari perlindungan
masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti melalui pemberian
restitusi, kompensasi, pelayanan medis, dan bantuan hukum1. Perlindungan
hukum yang diberikan kepada subyek hukum ke dalam bentuk perangkat baik
yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang lisan maupun
yang tertulis. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa perlindungan hukum
sebagai suatu gambaran tersendiri dari fungsi hukum itu sendiri. Pengertian ini
mengundang beberapa ahli untuk mengungkapkan pendapatnya mengenai
pengertian dari perlindungan hukum diantaranya:
1. Satjipto Raharjo
Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak
asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut
diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua
hak-hak yang diberikan oleh hukum2.
2. Setiono
Perlindungan Hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi
masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang
tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan
ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati
martabatnya sebagai manusia3.
3. Muchsin
Perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk melindungi individu
dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang
1 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1984), hlm. 133
2 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 53
3 Setiono, Rule of Law (Supremasi Hukum), (Surakarta: Magister Ilmu Hukum Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2004), hlm. 3
3
menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya
ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia4.
Sehingga secara konseptual perlindungan hukum yang diberikan bagi rakyat
Indonesia merupakan implementasi atas prinsip pengakuan dan perlindungan
terhadap terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada pancasila
sebagai prinsip dari negara hukum. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya
untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum yakni keadilan, kemanfaatan dan
kepastian hukum, maka perlu adanya Perlindungan hukum, perlindungan hukum
diberikan kepada subyek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik bersifat
preventif (pencegahan) maupun bersifat represif (pemaksaan), baik yang secara
tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakan peraturan hukum. Menurut
Philipus M. Hadjon, perlindungan hukum bagi masyarakat meliputi dua hal,
yakni:
1. Perlindungan Hukum Preventif
Perlindungan hukum dimana kepada masyarakat diberi kesempatan untuk
mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan
pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Tujuannya adalah mencegah
terjadinya sengketa5.
2. Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum dimana lebih ditujukan dalam penyelesaian
sengketa6.
4 Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, (Surakarta: Magister
Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2003), hlm. 14
5 Philipus M. Hadjon, op.cit., hlm. 4
6 Philipus M. Hadjon, op.cit., hlm. 5
4
Pada hakekatnya setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari
hukum. Hampir seluruh hubungan hukum harus mendapat perlindungan dari
hukum. Oleh karena itu terdapat banyak macam perlindungan hukum. Dari sekian
banyak jenis dan macam perlindungan hukum, terdapat beberapa diantaranya
yang cukup populer dan telah akrab di telinga kita yang menjadi pembahasan
penulis, yaitu perlindungan hukum terhadap konsumen. Perlindungan hukum
terhadap konsumen ini telah diatur dalam Undang-Undang tentang Perlindungan
Konsumen yang pengaturannya mencakup segala hal yang menjadi hak dan
kewajiban antara produsen dan konsumen. Perlindungan hukum konsumen
terdapat didalam beberapa aspek, dalam penulisan ini penulis akan membahas
tentang perlindungan hukum konsumen pengangkutan udara, dimana
pengangkutan udara melibatkan konsumen atau pengguna jasa dan juga produsen
atau penyelenggara jasa.
Pengangkutan udara yang merupakan bagian dari pengangkutan, dimana
pengangkutan itu sendiri sebagai perjanjian yang selalu didahului oleh
kesepakatan antara pihak pengangkut yang merupakan produsen dan pihak
penumpang atau pengirim yang merupakan konsumen. Kesepakatan tersebut pada
dasarnya berisi kewajiban dan hak, baik pengangkut dan penumpang maupun
pengirim7. Perjanjian pengangkutan itu sendiri berisikan di mana satu pihak
menyanggupi untuk dengan aman membawa orang atau barang dari satu tempat
ke lain tempat, sedangkan pihak yang lain menyanggupi akan membayar
7 Suwardjoko Warpani, Merencanakan Sistem Pengangkutan, (Bandung: ITB, 1990), hlm. 4
5
ongkosnya8. Pihak-pihak yang yang terlibat di dalam perjanjian pengangkutan
antara lain9:
1. Pihak pengangkut
Secara umum, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum dagang
(KUHD) tidak dijumpai defenisi pengangkut, kecuali dalam
pengangkutan laut. Akan tetapi, dilihat dari pihak dalam perjanjian
pengangkutan, pengangkut adalah pihak yang mengikatkan diri
untuk menyelenggarakan pengangkutan orang (penumpang) dan/atau
barang.
2. Pihak Penumpang
Peraturan pengangkutan di Indonesia menggunakan istilah “orang”
untuk pengangkutan penumpang. Akan tetapi, rumusan mengenai
“orang” secara umum tidak diatur. Dilihat dari pihak dalam
perjanjian pengangkutan orang, penumpang adalah orang yang
mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan dan atas
dasar ini dia berhak untuk memperoleh jasa pengangkutan.
3. Pihak Pengirim
Kitab Undang-Undang Hukum dagang (KUHD) Indonesia juga tidak
mengatur defenisi pengirim secara umum. Akan tetapi, dilihat dari
pihak dalam perjanjian pengangkutan, pengirim adalah pihak yang
mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan barang dan
atas dasar itu dia berhak memperoleh pelayanan pengangkutan
barang dari pengangkut.
4. Pihak Penerima
Dalam perjanjian pengangkutan, penerima mungkin saja pengirim
itu sendiri, mungkin juga pihak ketiga yang berkepentingan. Dalam
hal penerima adalah pengirim, maka penerima adalah pihak dalam
perjanjian pengangkutan. Tetapi dalam hal penerima adalah pihak
ketiga yang berkepentingan, penerima bukan pihak dalam perjanjian
pengangkutan, melainkan sebagai pihak ketiga yang berkepentingan
atas barang kiriman, tetapi tergolong juga sebagai subjek hukum
pengangkutan. Adapun kriteria penerima menurut perjanjian, yaitu:
a) perusahaan atau perorangan yang memperoleh hak dari pengirim
barang;
b) dibuktikan dengan penguasaan dokumen pengangkutan;
c) membayar atau tanpa membayar biaya pengangkutan10
.
8 Subekti, Pokok Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1985), hlm. 221
9 Suwardjoko Warpani, op. Cit., hlm. 60
6
Dalam perjanjian ini ada kewajiban-kewajiban pengangkut pada umumnya
yang memang harus dipenuhi antara lain adalah:
1. Mengangkut penumpang atau barang-barang ketempat tujuan yang telah
ditentukan.
2. Menjaga keselamatan, keamanan penumpang, bagasi barang dengan
sebaik-baiknya.
3. Memberi tiket untuk pengangkutan penumpang dan tiket bagasi.
4. Menjamin pengangkutan tepat pada waktunya.
5. Mentaati ketentuan-ketentuan penerbangan yang berlaku
Berdasarkan penjelasan diatas maka jelas perjanjian harus dilaksanakan dan
ditepati sesuai dengan kewajiban yang ada agar terlaksananya perlindungan
terhadap konsumen. Akan tetapi sampai saat ini, konsumen pengangkutan udara
di Indonesia belum mendapat perlindungan yang memadai. Meskipun Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen telah
memberikan pijakan yang kuat. Dalam hubungan hak dan kewajiban antara
konsumen pengangkutan udara dengan pelaku usaha pihak pengangkut di
Indonesia sering muncul permasalahan, dan dimana tanggung jawab yang
diberikan pihak pengangkut tersebut tidak sesuai dengan besarnya kerugian yang
dialami oleh konsumen pengangkutan udara, sehingga perlindungan konsumen
dirasa tidak terpenuhi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen dinyatakan:
10
Abdul Kadir Muhammad, Arti Penting dan Strategis Multimoda Pengangkutan Niaga di
Indonesia Dalam Perspektif Hukum Bisnis di Era Globalisasi Ekonomi, (Yogyakarta: Genta Press,
2007), hlm. 15
7
“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.”
Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1
angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
tersebut suda cukup memadai. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk
meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan11
. Kesewenang-
wenangan akan mengakibatkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, agar
segala upaya memberikan jaminan akan kepastian hukum, ukurannya secara
kualitatif ditentukan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen12
. Menurut
Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, hak-hak konsumen yang bersangkutan antara lain13
:
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan;
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/ atau jasa;
4. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif.
Memperhatikan substansi tersebut, bila diperhatikan bahwa Undang-Undang
Perlindungan Konsumen membagi 3 (tiga) bentuk asas yaitu14
:
11
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2008), hlm. 1
12 Ibid., hlm. 2
13 Citra Umbara, Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999, (Bandung: Citra
Umbara, 2007), hlm. 5
14 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op. Cit., hlm. 26
8
1. Asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan
keselamatan konsumen;
2. Asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan; dan
3. Asas kepastian hukum.
Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum sebagai
“tiga ide dasar hukum” atau “tiga nilai dasar hukum”15
. Sebagai asas hukum,
dengan sendirinya menempatkan asas ini yang menjadi rujukan pertama baik
dalam pengaturan perundang-undangan maupun dalam berbagai aktivitas yang
berhubungan dengan gerakan perlindungan konsumen oleh semua pihak yang
terlibat didalamnya. Sehingga dari asas tersebut dapat ditarik tujuan-tujuan dari
adanya Perlindungan Konsumen ini, seperti yang dikemukakan dalam Pasal 3
Undang-Undang Perlindungan Konsumen:
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri;
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan infomasi serta akses untuk mendapatkan
informasi;
15
Gustav Radbruch, Legal Philosophy, in The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin,
Translated by Kurt Wilk, Harvard University Press, Massachusetts, 1950, hlm. 107
9
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan
usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan,
dan keselamatan konsumen.
Dari pemaparan diatas kita sadar bahwa perlindungan konsumen merupakan
bagian tak terpisahkan dari kegiatan bisnis yang sehat. Lingkup kegiatan bisnis
pun tidak lepas dari pembangunan dan perkembangan perekonomian baik
dibidang perindustrian maupun perdagangan nasional, ditambah dengan
globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi yang
kiranya dapat memperluas ruang gerak arus pembangunan dan perkembangan
perekonomian. Demi terpenuhinya kebutuhan ini pasti diperlukan transportasi
untuk berpindah dari satu tempat ketempat yang lain. Transportasi udara (yang
kemudian disebut pesawat udara) salah satu jenis yang sangat dibutuhkan oleh
manusia dalam pemenuhan kebutuhannya. Pesawat udara merupakan alat yang
mutakhir dan tercepat dengan jangkauan yang luar biasa karena memiliki
beberapa kelebihan, antara lain yaitu faktor kecepatan. Terlebih bagi Negara
Republik Indonesia yang notabene sebagai Negara Kepulauan, Indonesia
memiliki ribuan pulau serta terhubung oleh selat dan laut, akan lebih
menguntungkan dengan pesawat udara terlebih dengan adanya keteraturan jadwal
dan frekuensi di penerbangan16.
16
Rustian Kamaluddin, Ekonomi Transportasi: Karakteristik, Teori dan Kebijakan, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2003), hlm. 75
10
Seperti yang telah dijelaskan diawal, apabila perlindungan konsumen tidak
terpenuhi maka harus ada tanggung jawab oleh pihak pengangkut terhadap pihak
konsumen yang dirugikan. Pengertian dari tanggung jawab pengangkut adalah
kewajiban perusahaan angkutan udara untuk mengganti kerugian yang diderita
oleh penumpang dan/atau pengirim barang serta pihak ketiga. Tanggung jawab
dapat diketahui dari kewajiban yang telah ditetapkan dalam perjanjian atau
undang-undang. Kewajiban pengangkutan adalah menyelenggarakan
pengangkutan. Kewajiban ini mengikat sejak penumpang atau pengirim melunasi
biaya angkutan17
. Jenis-jenis tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang
ialah sebagai berikut:
1. Tanggung Jawab Berdasarkan Atas Unsur Kesalahan (Liability Based On
Fault Principle), adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum
pidana dan perdata. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat
dimintakan pertanggung jawaban secara hukum jika ada unsur kesalahan
yang dilakukannya.
2. Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab (Presumption Of
Liability Principle), prinsip dimana pengangkut harus selalu bertanggung
jawab atas setiap kerugian yang ditanggung penumpang, sampai ia dapat
membuktikan, ia tidak bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada si
tergugat. Tampak beban pembuktian terbalik (omkering van
bewijslast) diterima dalam prinsip tersebut.
3. Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab (Presumption Of
Non Liability Principle), prinsip ini hanya dikenal dalam lingkup transaksi
17
Komar Kanta A, Tanggung Jawab Profesional, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hlm .3.
11
konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan demikian biasanya secara
common sense (perasaan yang dirasakan oleh masyarakat umum) dapat
dibenarkan. Contoh dari penerapan prinsip ini adalah pada hukum
pengangkutan kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin atau bagasi
tangan yang biasanya dibawa dan diawasi sipenumpang (konsumen)
adalah tanggung jawab dari penumpang. Dalam hal ini, pengangkut
(pelaku usaha) tidak dapat diminta pertanggung jawabannya.
4. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability Principle), prinsip ini
sering di identikkan dengan prinsip tanggung jawab absolute (absolute
liability principle). Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan
kedua terminologi di atas. Ada pendapat yang mengatakan, strict liability
principle adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak
sebagai faktor yang menentukan. Namun, ada pengecualian-pengecualian
yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya
dalam keadaan memaksa (force majeure). Sebaliknya, absolute liability
principle adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak
sebagai faktor yang menentukan. Absolute liability principle adalah
prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya
selain itu, ada pandangan yang agak mirip, yang mengaitkan perbedaan
keduannya pada ada atau tidak adanya hubungan kausalitas antara subyek
yang bertanggung jawab dan kesalahanannya. Pada strict liability
principle, hubungan itu harus ada sementara pada absloute liability
principle hubungan itu tidak selalu ada maksudnya, pada absolute liability
12
principle dapat saja si tergugat yang diminta pertanggungjawaban itu
bukan si pelaku langsung kesalahan tersebut.
Setiap perusahaan penerbangan harus bertanggungjawab terhadap
penumpangnya sebagai perwujudan untuk melindungi konsumennya sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.
Hal terpenting adalah penyediaan sarana keselamatan dalam penerbangan yang
bermanfaat untuk melindungi pemakai jasa angkutan dan juga menghindari
terjadinya hal-hal yang berdampak negatif atau hal-hal yang tidak diharapkan oleh
perusahaan itu sendiri yang kemudian menimbulkan kerugian besar baginya18
.
Namun dalam praktiknya pelaku usaha sendiri sering kali melakukan kelalaian,
beberapa contoh kasus yang termuat di media masa:
1. Pesawat Delay
Salah seorang penumpang maskapai penerbangan Wings Air, anak
perusahaan PT Lion Mentari Airlines (Lion Air), David Tobing,
berjuang menuntut ganti rugi karena penundaan jadwal yang
dialaminya ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara No.
309/PDT.G/2007/PN.Jkt.Pst.
David yang berprofesi sebagai advokat dan kerap menangani kasus-
kasus perlindungan konsumen, pada 16 Agustus 2007 hendak
melakukan perjalanan ke Surabaya untuk menghadiri persidangan
menggunakan Wings Air IW 8985 keberangkatan pukul 08.35 WIB.
Setelah sejam menunggu, David diberitahu petugas bahwa
keberangkatan pesawatnya akan terlambat selama 90 menit karena
pesawat masih berada di Yogyakarta. Namun, pegawai kantor tidak
dapat memastikan jadwal tersebut. Ia hanya meminta maaf dan
mengatakan kepada David bahwa keterlambatan adalah hal lumrah
dan harus diterima semua penumpang. Merasa tidak dilayani dengan
baik, David langsung mencari penerbangan lain menuju Surabaya.
Dalam persidangannya melawan perusahaan penyedia jasa
penerbangan yang berlogokan singa dengan warna merah ini, majelis
hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini memenangkan
18
Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Pertanggungan Dan Perkembangannya, (Yogyakarta:
Seksi Hukum Dagang Fak. Hukum UGM, 1990), hlm.151.
13
David. “Mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya,” sebut
hakim dalam putusannya.
Hakim menghukum Lion Air membayar ganti rugi sebesar
Rp718.500,00 dan biaya perkara Rp234.000,00. Hakim juga
menyatakan klausula baku mengenai pengalihan tanggung jawab
atas kerugian yang ditimbulkan karena pembatalan dan/atau
keterlambatan pengangkutan, batal demi hukum dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat19
.
2. Bawaan Hilang dari Bagasi Pesawat
Kasus ini merupakan kasus barang bawaan penumpang yang hilang
di bagasi pesawat. Awalnya, kasus ini diselesaikan di Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang menghukum PT
Lion Menteri Airlines (Lion Air) untuk membayar ganti rugi atas
hilangnya koper seberat 12 kilogram milik salah seorang
penumpang, Herlina Sunarti dalam penerbangan rute Jakarta –
Semarang pada 4 Agustus 2011.
Berdasarkan putusan BPSK No.
12/BPSK/Smg/Put/Arbitrase/X/2011, Lion Air harus membayar
ganti rugi sejumlah Rp25.000.000,00. Namun, Lion Air enggan
membayar ganti rugi senilai jumlah tersebut. Lion Air mendalilkan
kepada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
jo. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan
Udara. Bila merujuk ke ketentuan tersebut, Lion Air hanya
mengganti kerugian dengan nilai barang per kilogram sebesar
Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah), sehingga total yang dibayarkan
kepada Herlina sebesar Rp1.200.000,00. Sebelumnya, BPSK hanya
mendasarkan kepada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Majelis Hakim PN Semarang memutus
untuk menolak permohonan Lion Air. Begitu pula upaya kasasi yang
diajukan oleh Lion Air dalam perkara No. 605 K/Pdt.Sus-
BPSK/2012 ditolak oleh hakim20
.
3. Kecelakaan Pesawat Sebab Pilot Lalai
Kelalaian pilot Singapore Airlines yang melaju di landasan pacu
yang sedang dalam perbaikan membuat perusahaan penerbangan
milik negara tetangga itu harus menanggung ganti kerugian yang
besar di samping asuransi yang wajib menjadi tanggung jawab atas
kecelakaan.
19
RIA, “Lima Kasus Maskapai Penerbangan yang Dibawa ke Pengadilan”, diakses dari
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54d046d9261ac/lima-kasus-maskapai-penerbangan-
yang-dibawa-ke-pengadilan, pada tanggal 12 September 2018 pukul 05.20
20 Ibid.
14
Sigit Suciptoyono merupakan salah satu penumpang yang selamat
dari kecelakaan penerbangan rute Singapura – Los Angeles ini.
Meski begitu, cacat akibat kecelakaan harus dipikul Sigit seumur
hidup. Kecelakaan terjadi saat pesawat No. SQ-006 ini hendak lepas
landas di Bandara Chiang Kai Sek (CKS), Taipei, Taiwan, menuju
Los Angeles, Amerika. Pada malam 31 Oktober 2000, dalam kondisi
hujan, pilot Singapore Airlines menerbangkan pesawat
menggunakan landasan pacu yang ditutup. Akibat salah
menggunakan landasan pacu tersebut, pesawat terjerembab, terbakar
dan terpotong menjadi tiga bagian sehingga menyebabkan 82 orang,
termasuk 4 orang awak pesawatmeninggal dunia.
Majelis Hakim PN Jakarta Selatan, melalui Putusan No.
908/PDT.G/2007/PN.Jak.Sel menghukum Singapore Airlines
membayar ganti kerugian kepada Sigit sebesar Rp1 miliar. Putusan
PN dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta. Dalam putusan
banding, Singapore Airlines harus bayar ganti rugi Rp1.5 miliar. Tak
puas dengan putusan tersebut, Singapore Airlines mengajukan kasasi
ke Mahkamah Agung, hal ini juga diikuti oleh Sigit. Setelah
mempertimbangkan memori kasasi dari kedua belah pihak, dalam
putusan No. 1517K/Pdt/2009, majelis hakim agung yang memeriksa
dan mengadili persidangan ini menolak seluruh permohonan
kasasi21
.
4. Pesawat Tak Sesuai Tiket
Tiket bukanlah sekadar alat check in. Tiket pesawat merupakan
bentuk perjanjian yang mengikat antara penumpang dengan
maskapai penerbangan yang dipilihnya. Pesawat dan jadwal
keberangkatan yang dipilih merupakan bagian prestasi yang harus
dipenuhi oleh maskapai. Namun, cerita berbeda dialami oleh
Mauliate Sitompul.
Cerita ini bermula ketika Mauliate membeli tiket perjalanan
Denpasar – Lombok - Denpasar dengan menggunakan pesawat Lion
Air. Saat check in tidak ada pemberitahuan apa pun mengenai
pesawat yang akan ditumpanginya. Hingga setelah menunggu cukup
lama Mauliate bertanya kepada petugas soal waktu keberangkatan
pesawat dengan nomor penerbangan JT 1852. Jawaban yang
diterima Mauliate justru mengejutkannya. Petugas berkata bahwa
tidak ada penerbangan Lion Air tujuan Lombok. Tiket pesawat
tersebut berlaku untuk penerbangan Wings Air. “Pesawat Lion Air
(Tergugat) dengan Wings Air satu grup usaha dan sama saja pak,”
dalih petugas ketika Mauliate menuntut penjelasan.
Hal serupa terjadi kembali ketika dirinya hendak kembali ke Bali.
Tiket Lion Air yang sudah dibelinya dicoret dan ditulis tangan
menjadi penerbangan Pesawat Wings Air. Kadung alami cukup
banyak kerugian karena Mauliate harus mengambil penerbangan lain
21
Ibid.
15
menuju Lombok dan kesepakatan bernilai Rp500 juta tidak dapat
dibuat dengan calon kliennya karena terlambat, pria yang berprofesi
sebagai advokat ini menggugat Lion Air ke PN Jakarta Pusat. Hakim
PN Jakarta Pusat dalam putusan No. 441/PDT.G/2013/PN.Jkt.Pst
menyatakan Lion Air bersalah melakukan perbuatan melawan
hukum dan menghukum Lion Air membayar ganti rugi sebesar
Rp702,300 kepada Mauliate22
.
5. Perlakuan Diskriminatif Terhadap Penyandang Cacat
Pasal 134 ayat (1) UU Penerbangan memberikan hak kepada
penyandang cacat, orang lanjut usia, serta anak-anak di bawah usia
12 (dua belas) tahun agar memperoleh pelayanan berupa perlakuan
dan fasilitas khusus.
Seorang pengguna kursi roda, Ridwan Sumantri, berkali-kali
diacuhkan kebutuhannya oleh Lion Air. Ketika hendak melakukan
perjalanan ke Bali dari Jakarta, Ridwan yang menggunakan jasa
angkutan udara dari PT Lion Mentari Airlines ini datang lebih awal
untuk memohonkan nomor kursi yang mudah diaksesnya. Sekali pun
sudah diajukan dari awal dan petugas telah mengiyakan, Ridwan
tetap mendapatkan kursi yang letaknya di tengah.
Tidak hanya itu, ketika hendak masuk ke kabin pesawat, penumpang
pesawat yang awalnya diminta menunggu di Gate A-1 dipindahkan
keberangkatannya melalui pintu keberangkatan Gate A-5. Saat itu
petugas sibuk mengurusi penumpang yang dengan buru-buru menuju
Gate A-5 dan tidak ada yang melayaninya. Ridwan yang saat itu
berangkat dengan satu rekannya terpaksa menyusul yang lain.
Namun jalur yang harus ditempuhnya tidak menyediakan lift dan
saat itu hanya ada satu petugas yang berjaga dan membantunya
menuruni tangga.
Tidak hanya itu, setibanya di kursi penumpang dengan cara
digendong oleh petugas Lion Air dan disaksikan banyak mata,
Ridwan kembali mendapat sorotan sebab ia berdebat dengan
pramugari yang menyodorkannya formulir persetujuan penghilangan
tanggung jawab Lion Air atas kemungkinan yang terjadi selama
penerbangan pada orang sakit. Ridwan yang awalnya tidak bersedia
menandatangani formulir karena dia bukan orang sakit, akhirnya
menyetujui hal tersebut dibandingkan harus berlama-lama menjadi
pusat perhatian penumpang lain.
Atas diskriminasi yang terjadi pada Ridwan, Hakim menghukum
Lion Air membayar ganti rugi sebesar Rp25.000.000,00 (tanggung
renteng dengan PT (Persero) Angkasa Pura II sebagai Tergugat II
dan Kementerian Perhubungan Republik Indonesia sebagai Tergugat
III). Putusan ini dikuatkan oleh putusan banding Pengadilan Tinggi
22
Ibid.
16
DKI Jakarta No. 61/PDT/2014/PT.DKI. PT DKI menaikkan nilai
ganti rugi menjadi Rp50.000.000,0023
.
Menurut Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, kewajiban pelaku usaha antara lain sebagai
berikut24
:
1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;
a) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif;
b) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau
jasa yang berlaku;
c) Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila
barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai
dengan perjanjian;
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, maka sudah seharusnyalah konsumen yang dalam hal
ini adalah para penumpang pesawat udara, dilindungi hak-haknya dan tidak
dirugikan. Seelain itu juga dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan dijelaskan secara rinci:
“Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai hak, kewajiban, serta
tanggung jawab hukum para penyedia jasa dan para pengguna jasa, dan
tanggung jawab hukum penyedia jasa terhadap kerugian pihak ketiga
sebagai akibat dari penyelenggaraan penerbangan serta kepentingan
internasional atas objek pesawat udara udara yang telah mempunyai
tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia. Di samping itu, dalam
rangka pembangunan hukum nasional serta untuk lebih memantapkan
perwujudan kepastian hukum Undang-Undang ini juga memberikan
23
Ibid.
24 Citra Umbara, op.cit., hlm. 6
17
perlindungan konsumen tanpa mengorbankan kelangsungan hidup
penyedia jasa transportasi …”25
Bila dibaca dengan teliti, perlindungan konsumen sendiri merupakan tujuan
dari dibentuknya undang-undang penerbangan ini. Untuk mengatur lebih rinci lagi
mengenai tanggung gugat pelaku usaha dalam bidang pengangkutan udara, maka
dibentuklah Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang
Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara yang meliputi tanggung gugat
mengenai hilang, musnah, dan rusaknya barang di bagasi milik penumpang,
dengan maksud agar semua maskapai penerbangan lebih hati-hati dan tidak
sewenang-wenang dalam memenuhi kewajibannya.
Penelitian sebelumnya yang telah diangkat oleh Tetty (2005) Perlindungan
Hukum Bagi Konsumen Jasa Pengangkutan udara menyatakan penumpang selaku
konsumen seringkali menderita kerugian, tetapi tidak hanya itu karena pihak
pengangkut pun merasakan kerugian dari ganti rugi terhadap pihak konsumen.
Maka hal ini membuktikan bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen
bahwasannya memberikan keseimbangan antara para pihak.
Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk
mematikan usaha pihak pengangkut, tetapi justru sebaliknya perlindungan
konsumen dapat mendorong iklim usaha yang sehat dan meningkatkan kualitas
pihak pengangkut udara. Penulis menggunakan bahan ini sebagai wacana bagi
perkembangan hukum perlindungan konsumen di Indonesia khususnya dalam
pengangkutan udara.
25
Penjelasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Alinea ke VIII
18
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan pemilihan judul sebagaimana
tersebut diatas maka pembahasan selanjutnya akan bertumpu pada rumusan
masalah yaitu:
1. Bagaimana Prinsip Pertanggungjawaban Pengangkut Terhadap
Penumpang Pengangkutan Udara?
2. Bagaimana Perlindungan Hukum Terhadap Orang dan Barang dalam
Pengangkutan Udara?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan memahami tentang perlindungan hukum terhadap
konsumen pengangkutan udara.
2. Untuk mengetahui dan memahami perlindungan hukum terhadap orang
dan barang dalam pengangkutan udara.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penulisan yang dapat diambil:
1. Manfaat Teoritis
Penulis dapat memberikan wawasan atau pemikiran dalam perkembangan
yang terjadi di Indonesia terkhusus untuk Ilmu Hukum di bagian Hukum
Perdata dalam bidang perlindungan hukum konsumen dalam
pengangkutan udara.
19
2. Manfaat Praktis
Memberikan saran bagi warga atau pihak lain.
E. Metode Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu proses berfikir untuk menemukan aturan
hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin hukum guna menjawa isu hukum
yang dihadapi26
. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi,
teori atau konsep baru sebagai prespeksi dalam menyelesaikan masalah yang
dihadapi.
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian
hukum normatif, yang menitik beratkan pada data sekunder sebagai data
utama yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan
bahan hukum tersier. Bahan-bahan hukum tersebut disusun secara
sistematis, dikaji kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya
dengan masalah yang diteliti yang ditulis secara deduktif, dalam bentuk
deskriptif analisis.
2. Pendekatan Penelitian Hukum
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a) Pendekatan Undang-Undang (statute approach), yaitu pendekatan
dengan menggunakan legislasi dan regulasi27
. Pendekatan yang
26
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010),
hlm. 35
27 Ibid., hlm. 137
20
dilakukan penulis adalah dengan cara menelaah Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.
b) Pendekatan Konseptual (conceptual approach), yaitu pendekatan yang
dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari peraturan hukum yang
ada28
. Pendekatan ini digunakan untuk menjawab argumentasi hukum
dalam penelitian ini.
3. Bahan Hukum Penelitian
Penelitian hukum tidak hanya mengenal adanya data, diperlukan pula
sumber-sumber data untuk memecahkan isu hukum29
:
a) Bahan hukum primer, merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer dalam
penelitian ini antara lain:
1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen.
2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.
b) Bahan hukum sekunder, yang terutama adalah buku-buku dan artikel-
artikel hukum yang mempunyai relevansi dengan apa yang hendak
diteliti30
.
c) Bahan hukum tersier, yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum promer dan sekunder, yaitu kamus hukum.
28
Ibid., hlm. 177
29 Ibid., hlm. 181
30 Ibid., hlm. 196