bab i pendahuluan 1. latar belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98070/potongan/s3-2016...1...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Bangsa Indonesia memiliki penganut umat beragama yang sangat
beragam, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu termasuk
aliran kepercayaan. Kemajemukan agama ini semakin kompleks dengan adanya
varian atau aliran dari masing-masing agama, mulai dari kutub yang sangat
moderat hingga kutub ekstrem, fanatik atau radikal. Konflik antar umat beragama
akan sangat serius apabila telah melibatkan adanya benturan antara kutub ekstrem
kelompok agama yang berbeda. Masing-masing kelompok agama yang fanatik,
ekstrem dan radikal pada umumnya sangat sensitif terhadap kelompok agama lain.
Mereka akan selalu curiga dan waspada terhadap kegiatan-kegiatan kelompok
agama lain. Namun kecurigaan dan kewaspadaan antara kelompok agama satu
dengan lain tidak serta merta membawa ke arah konflik keagamaan secara
terbuka. Konflik keagamaan akan muncul ke permukaan apabila terdapat faktor
prakondisi, yakni suasana sosial yang sedang mengalami krisis dan
anomie.Tolkhah (2001: 44) “Menjelaskan dalam suasana krisis dan anomie
hubungan antar umat beragama dapat berubah bagaikan jerami kering, yang
sangat mudah untuk dibakar. Dalam suasana sosial yang sedang mengalami krisis
sosial dan anomie, kelompok masyarakat, apapun agamanya sangat mudah untuk
diprovokasi dan di adu domba, meskipun dengan persoalan-persoalan
2
sesungguhnya sangat sederhana dan biasa dalam kehidupan masyarakat sehari-
hari”.
Coward (1989: 5) menjelaskan dalam Zainudin (2005) “Salah satu hal
yang mewarnai dunia dewasa ini adalah pluralisme keagamaan. Pluralisme
merupakan sebuah fenomena yang tidak mungkin dihindari. Manusia hidup dalam
pluralisme dan merupakan bagian dari pluralisme itu sendiri, baik secara pasif
maupun aktif, tak terkecuali dalam hal keagamaan. Pluralisme keagamaan
merupakan tantangan khusus yang dihadapi agama-agama dunia dewasa ini”.
Seperti pengamatan Coward setiap agama muncul dalam lingkungan yang plural
ditinjau dari sudut agama dan membentuk dirinya sebagai tanggapan terhadap
pluralisme tersebut.
Jika tidak dipahami secara benar dan arif oleh pemeluk agama, pluralisme
agama akan menimbulkan dampak, tidak hanya berupa konflik antar umat
beragama, tetapi juga konflik sosial dan disintegrasi bangsa. Tracy (1987: 89,90)
menyatakan “Diantara agama-agama yang ada di dunia ini memang tidak ada
yang memiliki esensi tunggal, tidak ada muatan tunggal tentang pencerahan atau
wahyu, tidak ada cara tunggal tentang emansipasi atau liberasi yang dibangun
dalam semua pluralitas itu. Ada perbedaan penafsiran tentang Tuhan itu sendiri:
God, Emptiness, Suchness, the One, Nature, the Many. Ada perbedaan
pemahaman mengenai apa yang diwahyukan oleh Tuhan tentang Tuhan dan
tentang diri kita dalam hubungan kita tentang harmoni dan disharmoni dengan
Tuhan tersebut”.
3
Ada perbedaan penafsiran tentang cara apa yang harus kita ikuti untuk
mengubah (pandangan kita) dari pemusatan-diri secara fatal menuju pemusatan
kepada Tuhan secara bebas. Tetapi diskursus dan cara-cara agama seperti itu
kadang-kadang bisa saling melengkapi, dan pada batas tertentu, melengkapi
beberapa aspek yang belum maju dari yang lain, tetapi pada saat yang sama juga
bisa saling mengganggu dan melenyapkan.
Terkait dengan terminologi toleransi, Stout (2006: 434) “Menjelaskan
bahwa
“Tolerance is an ambiguous term. Still, many would insist that tolerance is a
virtue. In one context it is an intentional virtue, in another it appears more as a
reflex of human nature at its best. It may also refers to a grudging and incomplete
willingness to “bear” as moral burdens those who should change their minds.
Surely, however, traditions, though it often seems an ideal honored more in theory
than in practice. Its contrary, intolerance, may become public at times when
ordinary mortals confront other ordinary mortals whose worldview or rhetoric
does not correspond to their own expectations”
Menurut Siagian (1993: 115) “Kata toleransi, berasal dari bahasa latin
tolerare yang berarti bertahan atau memikul. Toleran di sini diartikan dengan
saling memikul walaupun pekerjaan itu tidak disukai; atau memberi tempat
kepada orang lain, walaupun kedua belah pihak tidak sependapat. Dengan
demikian, toleransi menunjuk pada adanya kerelaan untuk menerima kenyataan
adanya orang lain yang berbeda. Dalam bahasa Arab toleransi disebut tasamuh
yang berarti membiarkan sesuatu untuk dapat saling mengizinkan dan saling
memudahkan. Dari kata tasamuh tersebut dapat diartikan agar di antara mereka
yang berbeda pendapat hendaknya bisa saling memberikan tempat bagi
pendapatnya. Masing-masing pendapat memperoleh hak untuk mengembangkan
pendapatnya dan tidak saling menjegal satu sama lain. Toleransi diartikan
4
memberikan tempat kepada pendapat yang berbeda. Pada saat bersamaan sikap
menghargai pendapat yang berbeda itu disertai dengan sikap menahan diri atau
sabar. Oleh karena itu, di antara orang yang berbeda pendapat harus
memperlihatkan sikap yang sama, yaitu saling menghargai dengan sikap yang
sabar. Jadi, toleransi dapat diartikan sebagai sikap menenggang, membiarkan, dan
membolehkan, baik berupa pendirian, kepercayaan, dan kelakuan yang dimiliki
seseorang atas yang lainnya. Dengan kata lain toleransi adalah sikap lapang dada
terhadap prinsip orang lain. Toleransi tidak berarti seseorang harus mengorbankan
kepercayaan atau prinsip yang dianutnya. Dalam toleransi sebaliknya tercermin
sikap yang kuat atau istiqamah untuk memegangi keyakinan atau pendapatnya
sendiri”.
Depag R.I. (1980: 38) menyatakan “Toleransi antar umat beragama di
Indonesia populer dengan istilah kerukunan hidup antar umat beragama. Istilah
tersebut merupakan istilah resmi yang dipakai oleh pemerintah. Kerukunan hidup
umat beragama merupakan salah satu tujuan pembangunan bidang keagamaan di
Indonesia. Gagasan ini muncul terutama dilatarbelakangi oleh meruncingnya
hubungan antar umat beragama. Adapun sebab musabab timbulnya ketegangan
intern umat beragama, antar umat beragama, dan antara umat beragama dengan
pemerintah dapat bersumber dari berbagai aspek sebagai berikut:
1. Sifat dari masing-masing agama yang mengandung tugas dakwah atau misi.
2. Kurangnya pengetahuan para pemeluk agama akan agamanya sendiri dan
agama pihak lain.
5
3. Para pemeluk agama tidak mampu menahan diri, sehingga kurang
menghormati bahkan memandang rendah agama lain.
4. Kaburnya batas antara sikap memegang teguh keyakinan agama dan toleransi
dalam kehidupan masyarakat.
5. Kecurigaan masing-masing akan kejujuran pihak lain, baik intern umat
beragama, antar umat beragama, maupun antara umat beragama dengan
pemerintah.
6. Kurangnya saling pengertian dalam menghadapi masalah perbedaan pendapat”
Menurut Taher (1997: 5) “Untuk mengatasi hubungan yang tidak
harmonis antar umat beragama di Indonesia dan untuk mencari jalan keluar bagi
pemecahan masalahnya, Mukti Ali, yang ketika itu menjabat sebagai Menteri
Agama, pada tahun 1971 melontarkan gagasan untuk dilakukannya dialog agama.
Dialog agama diselenggarakan sebagai usaha untuk mempertemukan tokoh-tokoh
agama dalam rangka pembinaan kerukunan umat beragama. Dialog agama
bukanlah polemik tempat orang beradu argumentasi lewat pena. Dialog bukan
debat untuk saling mengemukakan kebenaran pendapat dari seseorang dan
mencari kesalahan pendapat orang lain. Dialog bukan apologi sehingga orang
berusaha mempertahankan kepercayaan karena merasa terancam. Dialog agama,
pada hakikatnya adalah suatu percakapan bebas, terus terang dan bertanggung
jawab, yang didasari oleh saling pengertian dalam menanggulangi masalah
kehidupan bangsa, baik material maupun spiritual. Oleh karena itu, perlu
dikembangkan prinsip “agree in disagreement” (setuju dalam perbedaan). Hal ini
6
berarti setiap peserta dialog agama harus berlapang dada dalam sikap dan
perbuatan”.
Agama menampakkan diri dalam berbagai perwujudan, seperti terlihat
dalam sistem pemikirannya, baik yang berupa sistem keyakinan maupun norma.
Agama juga menampakkan diri lebih lanjut dalam bentuk sistem peribadatan, dan
ini terlihat dengan adanya rumah-rumah ibadah dan tradisi-tradisi keagamaan.
Penampakan lebih lanjut terlihat dalam bentuk persekutuan atau kelembagaan
keagamaan, seperti adanya kelompok-kelompok umat beragama dan lembaga-
lembaga keagamaan serta lembaga-lembaga sosial keagamaan. Melalui
perwujudan yang bercorak kelembagaan, agama menjadi kekuatan nyata dalam
proses pembangunan bangsa. Otoritas kepemimpinan keagamaan merupakan
faktor yang ikut menentukan pola kesatuan dan kerukunan umat beragama.
Dengan otoritas tersebut, para pemimpin agama beserta lembaga-lembaga
keagamaannya menggarap masalah-masalah yang tidak terjangkau oleh tangan
pemerintah. Menurut Taher (1997: 5) , “Peranan para pemimpin dan tokoh agama
dalam pembangunan antara lain sebagai berikut:
1. Menerjemahkan nilai-nilai dan norma-norma agama dalam kehidupan
masyarakat.
2. Menerjemahkan gagasan-gagasan pembangunan ke dalam bahasa yang
dimengerti oleh masyarakat.
3. Memberikan pendapat, saran dan kritik yang sehat terhadap ide-ide dan cara-
cara yang dilakukan untuk suksesnya pembangunan.
7
4. Mendorong dan membimbing masyarakat dan umat beragama untuk ikut serta
dalam usaha pembangunan.
Selanjutnya agar pembinaan kehidupan beragama tetap dalam kerangka
pembinaan dan memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, maka perlu
diperhatikan hal-hal berikut:
1. Peningkatan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam
rangka menumbuhkan kesadaran beragama bagi setiap pemeluknya.
Kesadaran beragama itu tidak saja mewujud dalam kepekaan moral,
melainkan juga dalam kepekaan sosial, sehingga dengan demikian tidak
membuat fanatisme dan eksklusivisme, melainkan menumbuhkan toleransi
sosial dan sikap terbuka.
2. Negara menjamin kebebasan beragama dan bahkan berusaha membantu
pengembangan kehidupan beragama dalam rangka pembangunan. Masing-
masing umat beragama memperoleh kesempatan seluas-luasnya untuk
menjalankan dan mengembangkan kehidupan agama mereka.
Dalam pembinaan kehidupan beragama, pemerintah tidak hanya menjamin
kebebasan setiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah sesuai dengan
agama dan kepercayaannya, tetapi juga menjamin, membina, mengembangkan,
serta memberikan bimbingan dan pengarahan agar kehidupan beragama lebih
berkembang, semarak, dan serasi dengan tujuan pembangunan nasional. Oleh
karena itu, pola pembinaan kerukunan hidup beragama diarahkan pada tiga
8
bentuk, yaitu 1) kerukunan intern umat beragama; 2) kerukunan antar umat
beragama; dan 3) kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah.
Selain itu bentuk strategi komunikasi pembangunan yang dilakukan oleh
pemerintah dalam meningkatkan toleransi antar umat beragama juga harus
mampu melakukan pendekatan dialogis dengan menerapkan strategi dialog antar
umat beragama dari seluruh lapisan masyarakat yang ada dengan mengoptimalkan
seluruh potensi masyarakat, sehingga secara tidak langsung sudah melibatkan
masyarakat secara aktif dalam proses pembangunan toleransi umat beragama.
Untuk mewujudkan hal tersebut pemerintah harus memperhatikan bagaimana
esensi proses komunikasi pembangunan agama, mulai dari sumbernya,
penyampaian pesannya, strategi penyampaiannya, pendekatan penyampaiannya,
kesemuanya itu memiliki rangkaian proses yang saling berhubungan dengan
berbagai aktor yang terlibat didalamnya, untuk menentukan suatu keberhasilan
dalam proses komunikasi pembangunan agama.
Komunkasi pembangunan agama merupakan suatu proses komunikasi
yang dilakukan untuk melaksanakan rencana pembangunan dalam bidang agama.
Dalam hal ini bidang pembangunan agama yang terkait dalam penelitian ini
adalah sektor toleransi agama. Komunikasi pembangunan agama menjadi suatu
kajian yang penting untuk memformulasikan bagaimana bentuk, sistem dan
strategi pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengkomunikasikan
pesan-pesan yang terkait dengan regulasi toleransi agama, yang selama ini
menjadi suatu aspek yang terlupakan oleh pemerintah dalam mengkomunikasikan
pesan-pesan regulasi yang terkait dengan sektor pembangunan toleransi agama.
9
Pemerintah sebagai pemegang kendali kepemimpinan nasional telah
memberikan sejumlah aturan perundangan yang apabila ditaati oleh masyarakat,
akan menjadi sarana pemersatu bangsa yang kaya akan perbedaan ini terlebih
aturan perundangan yang terkait dengan kehidupan keberagamaan dalam berbagai
sektor. Akan tetapi pemerintah tidak bisa berjalan sendiri menciptakan dan
menjaga kerukunan ini, mengingat hal ini banyak menyangkut masalah keyakinan
dan prinsip-prinsip yang dianut masyarakat. Tokoh-tokoh masyarakat sebagai
orang yang dipandang dan diteladani oleh kelompok masyarakat tertentu memiliki
posisi strategis mengajak masyarakatnya hidup dalam kerukunan. Satu hal yang
penting adalah tokoh masyarakat dapat berperan sebagai fasilitator untuk
menjembatani komunikasi dan kepentingan di dalam kelompok masyarakatnya
yang beragam. Meminimalisir benturan antar kelompok yang berbeda, akan tetapi
bukan berarti menghindarkan kontak dan komunikasi antara kelompok-kelompok
berbeda dalam masyarakatnya. Justru berusaha membuat sesuatu secara terus
menerus yang melibatkan kelompok-kelompok yang ada, sehingga akan
membentuk satu tujuan bersama yang mengikat mereka.
Di samping itu dengan terjadinya kegiatan bersama akan mempertinggi
intensitas komunikasi, sehingga pemahaman terhadap masing-masing kelompok
akan terbentuk yang akan berujung pada sikap toleransi. Namun perlu disadari
harus selalu dilandasi sikap saling menghargai dan menghormati terhadap masing
masing anggota masyarakat. Tokoh agama juga memiliki peran sangat strategis
dalam menciptakan dan menjaga kerukunan bangsa ini. Tugas utama mereka
adalah memberikan pencerahan kepada umatnya untuk berpegang pada ajaran
10
agama masing-masing, yang di dalam konteks berhubungan dalam masyarakat
jelas mengajarkan kasih sayang dan toleransi. Penistaan terhadap agama harus
dihindari, karena hal ini merupakan satu hal yang sering dijadikan alasan ketika
terjadi benturan antar agama. Prinsip “bagiku agamaku, bagimu agamamu” sangat
relevan untuk bangsa Indonesia yang memiliki banyak perbedaan agama ini.
Untuk perlu dilakukan suatu penguatan toleransi agama yang dilakukan oleh
beragai pihak baik dalam kehiudpan bermasyarakat maupun dalam sistem
pemerintah.
Vermonte dan Basuki (2012: 28 ) mencatat meningkatnya insiden
intoleransi, konflik, dan beberapa kasus kekerasan terhadap sekelompok kecil
warga dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini merupakan isu penting dalam
perjalanan demokrasi Indonesia. Peristiwa-peristiwa kekerasan tersebut sejatinya
merupakan ujian penting bagi demokrasi, prinsip pluralism, dan cita-cita negara
kita. Insiden kekerasan berbasis intoleransi bahkan telah menyebabkan korban
tewas, seperti tiga orang warga Ahmadiyah di tangan warga penyerang di
Cekuesik awal tahun 2011 lalu.
Sebahagian orang menyimpulkan bahwa negara absen ketika kekerasan
terhadap sekelompok kecil warga negaranya dilakukan oleh kelompok lain warga
negara yang notabene adalah mayoritas. Tapi dalam berbagai kekerasan
intoleransi, beberapa pertanyaan mendasar perlu disampaikan: benarkah (hanya)
negara (state) yang gagal? Mengapa negara gagal? Bagaimana dengan masyarakat
(society)?
11
Vermonte dan Basuki (2012 : 28) menyatakan bahwa negara telah gagal
melindungi sekelompok warganya adalah mereka yang menyadarkan dirinya pada
definisi klasik mengenai negara yang menekankan pada prinsip-prinsip negara
ideal ala Max Weber. Weber mengandaikan negara ideal yang memonopoli dan
mensentralisasi penggunaan kekerasan (legitimate force) di dalam sebuah wilayah
jurisdiksi. Maka, Negara yang tidak mampu melakukan itu dan tidak mampu
mengontrol tindakan kekerasan oleh aktor non negara di dalam wilayah
jurisdiksinya bisa disebut sebagai negara gagal.
Undang‐Undang Dasar, peraturan perundangan dan kebijakan lainnya
termasuk fatwa Ulama yang dijadikan filosofis regulasi toleransi beragama, pada
prinsipnya melindungi kebebasan beragama dan pada prakteknya pemerintah
Indonesia secara umum menghormati kebebasan beragama dari enam agama
resmi, termasuk warga yang menganut aliran kepercayaan, yang merupakan
agama asli nenek moyang masyarakat Indonesia. Tetapi beberapa peraturan
perundangan, kebijakan, dan tindakan resmi tertentu membatasi kebebasan
beragama, dan dalam beberapa kasus pemerintah Indonesia gagal melindungi
beberapa orang dari tindakan diskriminasi dan kekerasan dikarenakan agama yang
dipeluknya. Pemerintah menerapkan batasan pada beberapa kelompok agama
yang tidak diakui dan yang dianggap "menyimpang." Tidak ada perubahan sikap
dari penghormatan pemerintah terhadap kebebasan beragama.
Beberapa persoalan yang menyangkut kasus intoleransi terhadap
kebebasan beragama di tanah air ini cukup banyak terjadi, sebagaimana
dilaporkan oleh beberapa lembaga-lembaga yang konsen memperhatikan
12
persoalan intoleransi, diantaranya Setara Institue, Wahid Institue. Apakah
pelanggaran itu dilakukan oleh negara, aparat pemerintah, organisasi masyarakat
berbasis agama, dalam hal ini penelitian fokus pada dua daerah yang menjadi
objek kajian dalam penelitian ini Kota Bogor dan Kota Yogyakarta, di mana ke
dua daerah ini memiliki karakteristik tersendiri jika dibandingkan dengan daerah-
dearah lain yang ada di Indonesia.
Kota Bogor memiliki Visi pembangunan ”Kota Jasa Yang Nyaman
Dengan Masyarakat Madani dan Pemerintahan Amanah” Visi pembangunan kota
Bogor ini memiliki makna sebagai kota yang menggerakkan seluruh potensi
masyarakat di berbagai aspek pembangunan termasuk aspek pembangunan agama
dalam mewujudkan masyarakat madani yang memiliki arti, nyaman dalam
menjalankan pengamalan keberagamaan. Akan tetapi kondisi pembangunan di
Kota bogor khususnya dibidang keagamaan masih terdapat kasus-kasus
intoleransi, sehingga telah mengusik rasa kenyamanan masyarakat Kota Bogor
dalam kehidupan sosialnya.
Halili (2012) melaporkan kasus GKI Yasmin di Kota Bogor telah
mendapat perhatian luas, baik tingkat nasional maupun internasional. Perhatian
diberikan karena problemnya bukan hanya menyangkut kebebasan beribadah dan
pendirian rumah ibadah, tetapi menjadi suatu keanehan dan tanda tanya besar
bagaimana mungkin di sebuah negara yang dalam konstitusinya tertulis sebagai
negara hukum, nyatanya sebuah keputusan hukum telah memiliki kekuatan tetapi
dari institusi hukum yang paling tinggi yaitu Mahkamah Agung (MA) dengan
gampangnya diabaikan dengan begitu saja.
13
Baik pemerintah pusat maupun Pemerintah Kota Bogor berulangkali
menyatakan bahwa kasus GKI Yasmin adalah persoalan hukum, bukan persoalan
agama. Jika itu benar, maka yang sesungguhnya terjadi pada kasus GKI Yasmin
adalah murni sangketa hukum. Bertolak dari argumen itu, maka dengan keluarnya
keputusan Mahkamah Agung seharusnya semua pihak segera menaatinya, karena
hukum adalah panglima. Tetapi yang terjadi adalah, pihak yang seharusnya
menegakkan hukum dan melaksanakannya malah justru melakukan
pembangkangan dan mengingkari keputusan hukum tersebut.
Sampai sekarang, hampir lebih kurang enam tahun kasus GKI Yasmin
belum ada titik terang penyelesaian. Berbagai cara telah ditempuh pihak GKI
Yasmin agar putusan MA tersebut dapat dijalankan oleh Pemerintah Kota Bogor.
Baqir dkk (2012: 32) persoalan GKI Yasmin muncul setelah keluarnya surat
Kepala Dinas Tata kota dan Pertamanan Kota Bogor N0.503/208-DTKP tanggal
14 Februari 2008 perihal pembekuan ijin. Surat itu muncul sebagai respon
Pemerintah Kota Bogor atas adanya keberetan dan protes warga sekitar bahwa
gereja tersebut adalah pusat permutadan warga Muslim di kota Bogor. Sensus
penduduk 2010 menunjukkan 97.12% dari total penduduk kota Bogor memeluk
agama Islam. Alasan lain ialah adanya pengakuan warga mengenai pemalsuan
tanda tangan warga dalam pernyataan tidak keberatan atas pembangunan gereja di
area tersebut.
Persoalan yang terjadi tidak hanya terbatas pada persoalan GKI Yasmin di
Kota Bogor tetapi juga persoalan mengatas namakan penodaan agama, dalam
KUHP 15 6a dan UU N0. 1 PNPS tahun 1965 tentang pencegahan dan
14
penyalahgunaan dan/ penodaan agama. Jenis pelanggaran seperti ini misalnya :
kegiata-kegiatan keagamaan yang meyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari
agama itu, penafsiran dan kegiatannya menyimpang dari pokok-pokok agama itu
misalnya Islam. Kasus seperti ini terjadi pada aliran Ahmadiyah di Provinsi Jawa
Barat.
Baqir dkk (2012: 23) “Menjelaskan sejumlah kasus kebebasan beragama
di Provinsi Jawa Barat yang berujung pada tindakan anarkis berupa penyerangan,
pembakaran, pengusiran dan pelarangan ibadah jemaat Ahmadiyah. Hubungan
antara masyarakat umum dengan komunitas Ahmadiyah di Kota Bogor
sebelumnya berjalan kondusif dan harmonis. Namun paska penyerangan kampus
Al-Mubarok, Parung, Bogor pada tanggal 9 juli 2005 silam, komunitas
Ahmadiyah di Jawa Barat menjadi terasing dalam interaksi sosial. Tidak saja
terkucil, komunitas Ahmadiyah secara perlahan merasa kehilangan rasa nyaman
dan dihantui rasa kekhawatiran seiring dengan adanya ancaman penyerangan.
Peristiwa kekerasan yang menimpa perkampungan dan anggota Ahmadiyah di
kampung Cisalada, Desa Cimpea Udik, Kecamatan Cimpea Kabupaten Bogor,
terjadi pada hari Jumat 13 Juli 2012, dan kondisi ini juga berimbas ke wilayah
Kota Bogor, di mana ancaman sering didapatkan warga Ahmadiyah yang ada di
Kota Bogor”. Melihat kemungkinan di Kota Bogor tidak hanya aliran Ahmadiyah
yang berkembang, ada kemungkinan adanya aliran-aliran yang lain, menjadi suatu
keunikan untuk diteliti lebih jauh.
Untuk wilayah Kota Yogyakarta dengan visi pembangunan
“Terwujudnya kota Yogyakarta sebagai kota pendidikan berkualitas, berkarakter
15
dan inklusif, pariwisata berbasis budaya, dan pusat pelayanan jasa, yang
berwawasan lingkungan dan ekonomi kerakyatan”. Ada suatu keunikan yang akan
di teliti di mana masih bertahannya aliran kepercayaan bagi sebahagian warga
Kota Yogyakarta di mana mereka mampu melakukan adaptasi ke agama-agama
lain yang diakui oleh pemerintah dengan tujuan agar hak-hak kewarganegaraan
yang menjadi hak mereka masih bisa mereka dapatkan. Kasus intoleransi pernah
terjadi pada tahun 2008 sekitar 30 ormas keagamaan menyerang tempat beribadat
aliran Sapta Darma sehingga terjadi kasus ancaman dan pemukulan. Namun pada
satu sisi, kondisi ini tidak menimbulkan persoalan sosial dalam hubungan
kehidupan beragama sehari-hari para penganut aliran kepercayaan Sapta Darma,
bahkan sering didapatkan dalam satu keluarga menganut berbagai macam agama.
Pada tahun 2010 terjadi pelarangan pendirian rumah ibadah Kerajaan Saksi-Saksi
Yehua, di Kelurahan Baciro Kecamatan Gondokusuman, padahal secara legalitas
mereka sudah mendapatkan rekomendasi dari FKUB Kota Yogyakarta, nomor:
003/FKUB/B/V/2010, tertanggal 17 mei 2010, dan rekomendasi Kantor
Kementerian Agama Kota Yogyakarta, tertanggal 27 mei 2010. Akan tetapi
sampai saat ini perizinan pembangunan rumah ibadah tersebut sampai saat ini
belum mereka dapatkan dari Pemerintah Kota Yogyakarta. Begitu juga dengan
kondisi terakhir yang terjadi di daerah Kabupaten Sleman, secara tidak langsung
telah memberikan pengaruh terhadap kehidupan keberagamaan di Kota
Yogyakarta, atas kasus yang terjadi pada tanggal 29 Mei 2014, di mana terjadi
penyerangan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang menyerang rumah
Julius Felicianus. Saat penyerang terjadi di mana rumah itu sedang dipakai
16
belasan umat Katolik untuk melakukan doa bersama dan paduan suara. Begitu
juga dengan kemungkinan adanya aliran-aliran agama yang lain, hal ini
dikarenakan Kota Yogyakarta merupakan Kota pendidikan dengan tingkat
pluralitas yang cukup tinggi baik dari aspek agama maupun etnis, sehingga timbul
suatu pertanyaan, apa yang menyebabkan Kota Yogyakata relatif “aman” dalam
kehidupan sosial keagamaan? Sehingga predikat City Of Tolerance sebagai salah
satu predikat yang disandangnya.
Dalam hal ini terlihat masih lemahnya optimalisasi penguatan toleransi
agama yang dilakukan oleh Pemerintahan Kota Bogor dan Yogyakarta di dalam
pendekatan komunikasi pembangunan agama, mulai dari Walikota, Camat serta
Lurah dan para pemangku kepentingan (Tokoh agama, penyuluh agama,
Kementerian Agama) termasuk juga FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama)
yang dibentuk oleh pemerintah dengan tujuan penguatan toleransi agama sampai
pada level akar rumput khsusunya mengawal persoalan peribadatan, hal ini
termaktub dalam Peraturan Bersama (Perber) Menteri Agama (Menag) dan
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) N0.9 dan N0.8/ 2006, belum berjalan dengan
baik bagi ke dua wilayah tersebut, ini terbukti dari persoalan yang muncul,
misalnya untuk kasus wilayah Pemerintahan Kota Bogor, belum optimalnya
komunikasi pembangunan agama yang diakukan oleh kepala daerah dan para
pemangku kepentingan khususnya Pemkot Bogor tentang Kepetusan Bersama
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 01/Ber/Mdn-Mag/1969
tentang Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-
Pemeluknya, khususnya menyangkut pasal 4 ayat 1 “Setiap pendirian rumah
17
ibadat perlu mendapat ijin dari kepala daerah atau pejabat pemerintah di
bawahnya yang dikuasakan untuk itu” Sairin (1996: 5).
Sekiranya peraturan ini dikomunikasikan dengan baik dalam
mewujudkan toleransi agama di Kota Bogor dan dapat dipahami oleh seluruh
pemangku kepentingan yang terkait dalam kehidupan keberagamaan
dimungkinkan kisruh persoalan rumah ibadah seperti kasus Gereja Yasmin tidak
akan terjadi. Begitu juga dengan kondisi Pemerintahan Kota Yogyakarta, di mana
Pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan yang terkait, menurut Peneliti
belum optimal dalam melakukan penguatan toleransi agama khususnya
komunikasi pembangunan agama mengenai pedoman penyiaran agama yang
tertuang dalam Keputusan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1
Tahun 1979 tentang Pelaksanaan Penyiaran Agama kondisi ini dapat terlihat dari
kasus intoleransi yang pernah terjadi di kota Yogyakarta.Untuk itu menurut
peneliti sudah saatnya pemerintah menganggap aspek komunikasi pembangunan
agama, dalam mengkomunikasikan pesan-pesan yang terkait dengan regulasi
toleransi agama menjadi suatu hal yang penting untuk dikaji dengan berbagai
pendekatan, begitu juga dengan penguatan toleransi agama yang dibangun dari
berbagai kekuatan sosial yang ada, menjadi bahagian yang penting di dalam
pembangunan toleransi agama. Sehingga dapat memformulasikan pendekatan dan
strategi yang efektif untuk melakukan aspek penguatan toleransi agama dalam
komunikasi pembangunan agama dengan baik.
18
1.2.Permasalahan Penelitian
Permasalahan penguatan toleransi agama dalam komunikasi pembangunan
agama yang dilakukan oleh pemerintah kota dalam hal ini yang peneliti
maksudkan adalah Pemerintahan Kota mulai dari Walikota, Camat serta Lurah
dan para pemangku kepentingan (Tokoh agama, penyuluh agama, FKUB,
Kementerian Agama, dalam hal ini Kementerian Agama pada tingkatan
pemerintahan kota dan kecamatan) studi kasus pada dua daerah yang masing-
masing daerah menurut peneliti memiliki karakteristik yang berbeda-beda, baik
dari aspek kultur, fenomena keberagamaan, pendekatan pembangunan, kedua
daerah tersebut adalah Pemerintah Kota Bogor di Provinsi Jawa Barat, dan
Pemerintah Kota Yogyakarta di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Adapun
yang menjadi alasan peneliti memilih ke dua daerah tersebut berdasarkan hasil
penelitian kebebasan beragama dan intoleransi yang dilakukan oleh Setara Institut
dan Wahid Institut sepanjang tahun 2010 dan 2011 menunjukkan Pemerintah Kota
Yogyakarta dengan 1 kasus angka pelanggaran kehidupan keberagamaaan,
Pemerintah Kota Bogor secara khusus dan Provinsi Jawa Barat secara umum
tingkat pelanggaran keberagamaan 91 kasus. Di samping itu juga ke dua daerah
ini memiliki permasalahan keberagaamaan yang unik jika dibandingkan dengan
daerah lain, Pemerintah Kota Bogor kasus pendirian dan pembongkaran rumah
ibadah antara kelompok Islam dan Kelompok keristen, kasus Ahmadiyah.
Pemerintah Kota Yogyakarta, terkesan tidak memiliki persoalan kehidupan
keberagamaan walaupun penganut aliran kepercayaan sampai saat ini masih ada,
padahal Yogyakarta memiliki tingkat pluralitas yang tinggi baik dari aspek agama
19
maupun etnis, sehingga memberi corak yang berbeda secara budaya, Kota Bogor
yang kuat dipengaruh oleh budaya Sunda, sedangkan Kota Yogyakarta menjadi
pusat peradaban budaya Jawa, yang secara sistem sosial dapat memberi pengaruh
khsusunya dalam kehidupan keberagamaan masyarkatnya. Begitu juga dengan
aspek komunikasi pembangunan agama, sehingga yang menjadi permasalahan
dalam penelitian ini adalah bagaimana penguatan toleransi agama dalam
komunikasi pembangunan agama yang dilakukan pemerintahan Kota Bogor dan
Yogyakarta? Fokus pada tiga permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana kebijakan pengkomunikasian penguatan toleransi agama yang
dilakukan oleh kepala daerah pemerintah kota Bogor dan Yogyakarta serta
para pemangku kepentingan?
2. Sejauhmana nilai-nilai kelokalan diadaptasi untuk menyokong penguatan
toleransi agama yang dilakukan oleh pemerintah kota Bogor dan
Yogyakarta serta pemangku kepentingan?
3. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi kebijakan pengkomunikasian
penguatan toleransi agama oleh kepala daerah pemerintah kota Bogor dan
Yogyakarta serta para pemangku kepentingan?
1.3.Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan permasalahan di atas, tujuan
penelitian ini adalah untuk :
20
1. Menganalisis kebijakan pengkomunikasian penguatan toleransi agama
yang dilakukan oleh kepala daerah pemerintahan kota Bogor dan
Yogyakarta.
2. Menganalisis kebijakan pengkomunikasian penguatan toleransi agama
yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan di Kota Bogor dan
Yogyakarta .
3. Menganalisis optimalisasi adaptasi nilai-nilai kelokalan dalam
membangun penguatan toleransi agama yang dilakukan oleh
pemerintah kota Bogor dan Yogyakarta serta pemangku kepentingan
4. Mengidentifikasi faktor-faktor apa yang mempengaruhi kebijakan
pengkomunikasian penguatan toleransi agama oleh kepala daerah
pemerintah kota Bogor dan Yogyakarta.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat hasil penelitian ini akan memberikan kontribusi baik secara
akademik maupun secara praktis untuk membangun toleransi beragama yang
baik.Manfaat bagi pembuat kebijakan pembangunan keberagamaan dapat
dijadikan sebagai pendekatan untuk menciptakan harmonisasi kehidupan
keberagamaan. Secara rinci manfaat penelitian ini adalah :
1. Merumuskan pendekatan kebijakan penguatan toleransi agama dalam
kajian konsep keilmuan komunikasi pembangunan agama.
2. Dapat dijadikan acuan bagi Pemerintah dan para pemangku kepentingan
dalam menciptakan suatu hubungan kehidupan keberagamaan yang
21
harmonis sehingga pembangunan keberagamaan dapat berjalan dengan
baik
3. Memberikan masukan kepada pemerintah dalam pengkomunikasian
regulasi toleransi agama dalam pembangunan agama.
4. Memberikan perspektif baru dalam konsep komunikasi pembangunan
agama dalam konstelasi keilmuan komunikasi pembangunan.
1.5. Keaslian Penelitian
Keasliaan penelitian ini terletak pada variabel-variabel penelitian maupun
yang menjadi obyek penelitiannya. Pada penelitian maupun tulisan terdahulu
belum ada yang mengkaji secara khusus tentang penguatan toleransi agama
dalam komunikasi pembangunan agama studi Pemerintahan Kota Bogor dan
Yogyakarta, serta pendekatan metode penelitian, penggunaan teorisasi, pengayaan
analisis temuan yang digunakan dalam penelitian ini
Penelitian dan tulisan tentang toleransi agama baik yang berhubungan
dengan regulasi maupun tindakan intoleransi telah banyak di lakukan, apalagi
menyangkut tentang dialog antar agama yang muaranya bagaimana menciptakan
toleransi agama, serta menganalis persoalan yang menyangkut tentang penyebab-
penyebab intoleransi dalam kehidupan keberagamaan.
Penelitian ini juga, memberikan prespektif baru dalam menganalisa
persoalan yang terkait dengan dialog antar agama, sebagai kajian keilmuan yang
sudah banyak dikaji oleh para ilmuan dalam berbagai penelitian. Penelitian ini
menganalisis prespektif dialog antar agama melalui pendekatan kajian keilmuan
22
komunikasi yang dikembangkan melalui prespektif komunikasi pembangunan
sebagai suatu kekuatan dalam pendekatan analisis penelitian ini. Beberapa hasil
penelitian dan tulisan atau artikel yang dimuat dalam jurnal-jurnal yang berkaitan
dengan toleransi beragama dapat di lihat dalam Tabel 1
23
Tabel 1.Penelitian Terdahulu Terkait Toleransi Agama
Peneliti, Tahun, Judul
(1)
Tujuan
(2)
Metode Analisis
(3)
Hasil Penelitian
(4)
Perbedaan
(5)
Rumadi (2005) ” Agama
Dan Negara: Dilema
Regulasi Kehidupan
Beragama di Indonesia”
Melihat hubungan
agama dan negara
dalam penerapan
regulasi kehidupan
beragama di Indonesia
Metode yang
digunakan
pendekatan
kualitatif
Negara memaksakan kepentingannya
dengan sewenang-wenang kewarga negara.
Tugas negara terutama pemerintah dan
aparaturnya ke depan adalah menjamin dan
melindungi hak warga negara
Fokus pembahasan,
metode penelitian dan
obyek penelitian,
teori yang digunakan
Saniotis, 2008. Making
Polders: Social
Communication,
Relegion, and the Global
Environmental Crisis
Penelitian ini melihat
hubungan antara
komunkasi sosial,
agama dan krisis global
dengan didasarkan
pada ide-ide filosof
Ervin Laszlo
Pendekatan
kualitatif
Pendekatan baru antara komunikasi sosial
dan agama memiliki pengaruh yang sangat
kuat dalam mengatasi perubahan yang
terjadi dalam lingkungan hidup
Fokus pembahasan,
metode penelitian,
teorisasi yang
digunakan dan obyek
penelitian
Halili dkk (2013) tentang
“Kepemimpinan Tanpa
Prakarsa Kondisi
Berkeyakinan dan
Beragama di Indonesia
2012
Parameter hak asasi
manusia. Parameter
lain juga dengan
mengunakan Deklarasi
Pengahapusan Segala
Bentuk Intoleransi dan
Diskriminasi
Berdasarkan Agama
atau Keyakinan
Metode
Kualitatif
Indoensia tidak mengalami kemajuan akibat
masih terus dipeliharanya berbagai produk
peraturan perundang-undangan yang
diskriminaif, seperti UU N0.1/PNPS/1965,
Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri, SKB pembatasan
Ahmadiyah, dan peraturan daerah
diskriminatif lainnya.
Fokus pembahasan,
tujuan dan manfaat
penelitian,
pendekatan teori yang
digunakan, metode
penelitian dan obyek
penelitian
Muktiono (2012)
Mengkaji Politik Hukum
dan Kebebasan Beragama
di Indonesia
Untuk menganalisis
perananan politik
hukum di Indonesia
dalam menjamin
keberagamaan setiap
warga negara
Metode
Kualitatif
Terjadi resistensi baik secara terbuka
maupun tertutup oleh lembaga-lembaga
negara maupun organ-organ adminstrasi
terhadap norma-norma hak asasi manusia
terutama menyangkut masalah hak atas
kebebasan beragama dan berkeyakinan dari
kelompok minoritas.
Fokus pembahasan,
teorisasi yang
digunakan, metode
penelitian dan obyek
penelitian
24
Lanjutan
Hanes (2011) “Old
Europe Versus New
Europe : Cultural
Similarity, Tolerance,
Relgion And Anti Anti-
Americanism In A
Diveded European Union.
Anti amerikanisme di
Eropah, termasuk di
negara-negara seperti;
Perancis, Jerman,
Italia, Spanyol,
Belanda dan Belgia
Dalam
penelitian ini
menggunakan,
analisis
statistik, dan
metode kasus
dalam
pendekatan
kualitatif
Secara signifkan lebih anti Amerika dari
pada New Eopah mencakup Negara-negara
seperti; Rumania, Bulgaria, Polandia, dan
Hunggaria.
Fokus pembahasan,
pendekatan teorisasi
yang digunakan,
metode penelitian dan
obyek penelitian
Okon,(2012) “ Relegion,
Culture and
Communication”
Untuk menganalisis
hubungan antara agama
dan budaya serta
dampak secara
bersamaan pada
komunikasi
Metode
kualitatif
Korelasi antara agama, budaya dan
komunikasi telah menduduki perhatian
ilmiah selama bertahun- tahun. Agama tidak
hanya fenomena budaya, tetapi juga sebuah
platform bersejarah bagi ekspresi budaya
dan selalu menjadi sumber kekuatan dalam
pembangunan
Fokus pembahasan,
pengayaan literatur
yang digunakan,
metode penelitian dan
obyek penelitian
Suprapto (2013)
Revitalisasi nilai-nilai
kearipan lokal bagi upaya
resolusi konflik
Mengetahui
keterlibatan kearifan
lokal dalam upaya
resolusi konflik dan
pembangunan
perdamaian
bukan satu-satunya
jalan untuk menangani
konflik
Metode
kualitatif
pembangunan perdamaian dengan
melibatkan kearifan mampu
mempertahankan harmoni sosial. Dengan
mempertimbangkan pada norma yang telah
lama terinternalisir di kalangan masyarakat.
Dalam konteks ini adalah perlunya para
elite untuk membicarakan tentang pola
kearifan lokal yang didasarkan pada
pembangunan perdamaian
Fokus pembahasan,
terkait dengan
persoalan yang dikaji,
metode penelitian,
pendekatan teori yang
diguakan dan obyek
penelitian