bab i pendahuluan 1. latar belakang - uksw
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Nias adalah pulau impian. Pada tahun 2016 pemerintah daerah bersama
Kementerian Pariwisata mengangkat tema “pulau impian” karena memiliki
kurang lebih 80 jenis destinasi wisata dan memiliki juga berbagai kebudayaan.
Pulau Nias tidak hanya kaya akan destinasi wisata juga dengan budaya
masyarakat dan adat istiadat yang telah terpatri sejak ribuan tahun lamanya.1
Nias adalah kepulauan yang terletak di sebelah barat pulau Sumatera, Indonesia,
dan secara administratif berada dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara yang
sekarang telah menjadi empat Kabupaten dan satu Kota (Kota Gunungsitoli, Kab.
Nias, Nias Barat, Nias Utara dan Nias Selatan). Pulau ini merupakan pulau
terbesar dan paling maju di antara jejeran pulau-pulau di pantai barat Sumatera.
Daerah ini memiliki objek wisata penting seperti selancar (surfing), rumah
tradisional, penyelaman, fahombo (lompat batu).2
Sebutan Nias sebagai pulau impian, tidak serta merta semua kehidupan dalam
interaksi masyarakat dikatakan harmonis dan tentram. Menurut F.Rio Girsang, di
balik Kekayaan budaya Ono Niha (orang Nias) yang terkenal, terdapat berbagai
persoalan hidup yang hingga kini membelenggu kehidupan masyarakat Nias
1 https://kabarnias.com/sudut-pandang/opini-warga/antara-nias-pulau-impian-dan-pulau-sejuta
budaya-8374, diakses pada minggu, 26 Agustus 2018, pkl 14.00. 2 Ketut Wijaya, Legitimasi Kekuasaan Pada Budaya Nias, Jakarta: Obor Indonesia,
2010, 8.
2
Barat. Sistem kemasyarakat di konstruksikan dalam Seluruh identitas Ono Niha
yang disebut dengan Lakhõmi.3
Kata Lakhõmi secara harafiah dapat diartikan sebagai wibawa, harga diri,
kemuliaan dan identitas.4 Lakhõmi meliputi: kedudukan, tahta, kekayaan, banyak
anak, wibawa, dan penghormatan. Untuk mencapai Lakhõmi, Ono Niha di satu
pihak, harus menjaga hubungan yang baik dengan para ilah dan leluhurnya dan
dipihak lain menjaga hubungan baik dalam masyarakat.5 Dalam kepercayaan
masyarakat Nias Barat yang disebut sebagai budaya, dengan terpenuhi semua
ritual dipercaya akan makmur dan sejahtera. Melalui penyembahan terhadap
kepercayaan ono Niha dipercaya pencapaian Lakhömi sangat dimungkinkan.
Lakhömi juga disebut sebagai siklus kehidupan ono niha mulai dari lahir
hingga mati. Ritual kelahiran dimulai dengan pemberian nama anak, sunat,
pernikahan, dan upacara kematian. Seluruh ritus yang dilakukan dikaitkan dengan
Lakhömi. Lakhömi merupakan kehidupan orang Nias Barat yang terhubung
dengan kepercayaannya kepada dewa-dewa. Semakin banyak menyelesaikan ritus
dalam adat maka, ono niha percaya bahwa semakin taat pada dewanya dan
semakin diberkati. Diberkati dalam arti memiliki banyak harta, anak, gelar dan
dihormati oleh sesama ono niha lainnya.6 Sebelum kekeristenan masuk ke pulau
Nias, ono niha memahami bahwa “diri” adalah ciptaan para ilah. ono niha
3 Postinus Gulo, Bõwõ dalam perkawinan adat õri moro’õ Nias Barat, Bandung: Umpar
Press, 2015, 5. 4 Apolonius Lase, kamus bahasa Nias-Indonesia, (Jakarta: Kompas Media Nusantara,
2011, 194. 5 Tuhoni Telaumbanua & Uwe Hummel, Salib dan Adu, BPK-Gunungmulia 2002, 32.
6 Tuhoni Telaumbanua& Uwe Hummel, Salib dan Adu, 19.
3
menganggap diri sebagai babi ilah atau dengan kata lain peliharaan dari para ilah.7
Dalam mitos ono niha para ilah adalah leluhur pertama ono niha. Demi
keharmonisan hubungan kosmos antara ilah dan ciptaannya maka, sangat penting
sikap dan tingkah laku ono niha mencerminkan kehidupan dunia atas (Teteholi
Ana’a=dunia atas/surga/langit).8 Ceritera kehidupan ono niha diungkapkan
melalui kosmologi orang Nias.9 Ono Niha dianggap sebagai bagian dari
kebudayaan itu sendiri. J.W.M. Bakker berpendapat ”ketika manusia menjadi
bagian dari budaya itu sendiri, maka manusia tidak bisa menanggalkan dalam
dirinya kebudayaan”.10
Ono niha memahami bahwa seluruh rangkaian kehidupan dari masa lalu
hingga masa sekarang dihubungkan dengan ritual untuk harmonisasi antara
manusia dengan para dewa-dewinya. Ketika ono niha mampu melaksanakan
seluruh ritual yang turun temurun dilestarikan dari nenek moyang maka, ono niha
telah terhubung dengan para leluhurnya. Dengan ono niha terhubung kepada
leluhur, dipercaya akan memperoleh lakhömi yang dalam arti dikaruniakan
kesehatan, kemakmuran, harta yang banyak, memiliki keturunan. Karenanya
sangat penting bagi ono niha memiliki ketaatan dan penyembahan untuk menjaga
hubungan baik dengan para ilah. Ono niha sangat penting untuk terus
melestarikan ritual yang dapat menghubungkannnya dengan ilahnya. Ritual dan
penyembahan yang dilakukan dimulai ketika lahir hingga seseorang mati.
7 Peter Suzuki, The Religious system and Culture of Nias, Indonesian, 1959, 102.
8 Band. Tulisan Tuhoni dan Uwe Humell dalam buku Salib dan Adu, 22.
9 Kosmologi dipahami sebagai cerita lisan ono Niha yang terus dilestarikan melalui tindakan-
tindakan dalam adat istiadat Ono Niha. 10
J.W.M. Bakker, Filsafat Kebudayaan sebuah pengantar, Jakarta: BPK& Kanisius,
1984, 11.
4
Penghormatan ono niha terhadap budaya lakhömi di Nias Barat, melahirkan
nilai-nilai sosial, budaya dan adat-istiadat yang harus dijunjung tinggi oleh
masyarakat pada umumnya dan kaum perempuan pada khususnya. Melalui
budaya Lakhömi perempuan Nias Barat terhisap dalam ketidaksadaran dan
terkengkang dalam budaya patriarkhi, dimana laki-laki yang superioritas dan
perempuan adalah inferior. Contohnya seorang tetangga dipukuli oleh suaminya
dan mertuanya, namun takut mengadu kepada yang berwajib karena menurutnya,
ketika suaminya ditangkap oleh polisi merupakan aib bagi keluarga dan
merendahkan martabat keluarganya dan orang tuanya dengan dalih sebagai anak
perempuan yang memberontak.11
Penelitian yang dilakukan oleh Rio F. Girsang
tahun 2013, dari 271 responden perempuan yang sudah menikah, ada 147 orang
pernah mengalami kekerasan baik secara fisik, psikologis, beban ganda,
marjinalisasi dalam pendidikan maupun dalam hak waris.12
Jajang A. Sonjaya
ketika melakukan penelitian tentang budaya Nias, mengalami sendiri ketika ia
dilarang oleh tuan rumah tempat ia tinggal agar tidak melakukan pekerjaan dapur
dan mencuci pakaiannya sendiri dengan perkataan sang ibu rumah tangga “apa
kata orang nanti jika kamu memasak dan menyuci pakaian” “nanti tetangga bilang
seperti tidak ada perempuan dalam rumah ini”, bahkan ia menegaskan dalam
tulisannya “sangat sulit bergaul dengan ibu-ibu dan gadis Nias Barat” dikarenakan
11
Kekerasan ini terjadi pada tahun 2016, dan penulis menyaksikan sendiri pemukulan
yang terjadi kepada sang perempuan. 12
Rio F. Girsang, Nias dalam Perspektif Gender, Guynungsitoli: Caritas keuskupan
Sibolga, 2014, 14-15.
5
sangat tabu bagi masyarakat jika orang asing bergaul dengan perempuan Nias
Barat. 13
Di satu sisi perempuan dalam pandangan masyarakat Nias Barat adalah
sosok yang bermartabat dan dihargai, dibuktikan ketika pesta pernikahan
“perempuan ditandu. Namun ada istilah “sehari ditandu seumur hidup menjadi
budak”. Arti kalimat ini adalah ketika pesta pernikahan seorang perempuan
disanjung bahkan tidak diperbolehkan untuk berjalan kaki dan harus ditandu,
namun dalam kehidupan sehari-hari perempuan Nias harus bekerja keras dan tidak
boleh melawan, apapun yang dilakukan oleh keluarga laki-laki maupun
keluarganya sendiri (perempuan) hal ini berkaitan dengan pelunasan utang dari
Bõwõ (emas kawin) yang dibayarkan oleh keluarga laki-laki terhadap keluarga
perempuan. Kenyataan lain diartikan Jajang Sonjaya dalam tulisannya bahwa
perempuan “dipekerjakan” dengan keras dan “dijaga” dengan hati-hati oleh para
lelaki (bapak, abangnya, adiknya dan pamannya).14
“Dijaga” selain berarti
melindungi namun ada arti yang lebih dalam lagi yaitu, ketika perempuan Nias
hamil di luar nikah maka, böwö (mahar) dari si perempuan tidak lagi sama
besarnya dengan perempuan yang tetap menjaga dirinya dalam tatanan
masyarakat Nias. Oleh karenanya perempuan dijaga agar keluarganya dapat
menerima böwö selayaknya ketika pesta pernikahan.
Jika dibandingkan dengan yang idealnya bahwa perempuan dan laki-laki
setara. Tetapi bagi perempuan di Nias Barat kata kesetaraan belum terealisakan
13
Jajang A. Sonjaya, Melacak Batu Menguat Mitos, Yogyakarta: Kanisius, 2008, 103-
104. 14
Jajang A. Sonjaya, melacak Batu menguat Mitos Petualangan Antarbudaya di Nias,
Yogyakarta: Kanisius, 2008, 104.
6
secara merata dan adil. Menurut Henrietta L Moore bahwa gender dapat dilihat
sebagai simbol konstruksi atau sebagai hubungan sosial. Status perempuan dalam
masyarakat adalah salah satu yang universal, dalam fakta budaya. Namun dalam
fakta universal itu, konsep budaya dan simbolisasi khusus perempuan sangat
beragam dan bahkan saling terkait kontradiktif.15
Menurut Moore, yang biasa
terjadi setiap budaya sedemikian rupa sehingga semua budaya memberi nilai
lebih rendah pada perempuan dan perempuan di mana pun harus dikaitkan
dengan sesuatu yang didevaluasi oleh setiap budaya16
Menurut Peter L. Berger, suatu sifat yang ada pada diri laki-laki dan
perempuan dapat dikonstruksi secara sosial dan kultural.17
Bahwa individu
menjadi yang disebutkan kepadanya oleh orang lain selama ia tunduk terhadap
budayanya. Lebih Jauh, begitu individu dibentuk suatu sebagai suatu pribadi,
dengan suatu identitas yang yang dikenal secara subjektif dan objektif maka,
individu dapat meniadakan dirinya sendiri.18
Pembentukan pemahaman secara
dalam terhadap ketidaksetaraan melahirkan ideologisasi pemikiran bahwa
perempuan lebih rendah dibanding laki-laki, perempuan hanya sebagai pelengkap
dan tidak dapat diperhitungkan dalam pola kehidupan budaya, sosial masyarakat
bahkan dalam hak waris orang tuanya. Dengan demikian laki-laki harus di
hormati dan dianggungkan tanpa batas. Pendapat Berger dan M. Fakih selaras
dengan pemahaman Irwan Abdulah, bahwa konstruksi sosial hadir untuk
15
Henrietta L Moore, Feminism and Antropology, Minneapolis: University of
Minnesota Press, 1995, 24. 16
Henrietta L Moore, Feminism and Antropology, 28. 17
Peter L. Berger, Langit Suci Agama Sebagai Realaitas Sosial, (terjemahan), Jakarta:
LP3ES, 1991, 20. 18
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka
Belajar, 1997, 9.
7
menguatkan tatanan yang dikostruksi oleh masyarakat melalui aktivitas dan
menciptakan kekuasaan sesuai dengan keadaan dimana ia berada dan
berinteraksi.19
Asghar Ali Engineer berpendapat bahwa perempuan dalam
konstruksi sosial menjadi disekatkan dengan dapur, sumur dan kasur, sama sekali
tidak dianggap mampu terlibat dengan publik.20
Konstruksi sosial yang telah
mendarah daging dan melegitimasi pemikiran kaum perempuan menjadikan
perempuan di Nias Barat kehilangan kesadaran atas ketidakadilan. Menurut M.
Douglas Nicolas Journet, semua pelaku atau aktor manusia mempunya
hubungan yang diperhitungkan secara bersama-sama, sekaligus dengan dengan
sebuah pemikiran tertentu yang kelihatannya bersifat sekehendak pribadi—
tentang yang dianggap benar.21
Nunuk P. Murniati menegaskan bahwa manusia
belajar dari hidup dan mempertahankan hidup melalui peraturan-peraturan yang
melahirkan ideologi gender yang membentuk satu konsep ide. Ide inilah yang
kemudian masyarakat mengggunakanya untuk mengonstruksi hidup perempuan
dalam masyarakat.22
Berdasarkan paparan teoretik di atas, diduga ada ideologisasi dalam lakhőmi
terhadap pikiran, tindakan dan identitas perempuan dalam konstruksi sosio-gender
di Nias Barat. Situasi demikian membutuhkan kesadaran bersama antara
19
Irwna Abdulah, penelitian berwawasan gender dalam ilmu sosial, Jurnal Humaniora,
volume 15, oktober 2003, 265-275. 20
Asghar Ali Engineer, Tafsir permpuan Antara Doktrin & Dinamika Konteporer,
Wonosari: Kaktus, 2018, 6. 21
Nicolas Journet, Konstrusi sosial pemikiran Mari Douglas, Ed. Philipecabin &Jean
F., Sosiologi sejarah berbagai pemikirannya, (terjemahan), Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004,
200. 22
A. Nunuk, P. Murniati, Getar Gender perempuan Indonesia dalam perspektif agama,
budaya dan keluarga, Magelang: Indonesia Tera, 2004, 78.
8
perempuan dan laki-laki, demi kesetaraan hak dalam keluarga, budaya, politik dan
sosial masyarakat.
Permasalahan yang telah diuraikan, mengidikasikan terbelenggunya
perempuan dalam budaya lakhőmi khususnya yang berkaitan dengan kesetaraan
laki-laki dan perempuan. Budaya lakhőmi telah mengonstruksi perempuan Nias
Barat sehingga tidak mampu keluar dari lingkaran ketidakadilan dan tidak sadar
bahwa penindasan demi penindasan telah memundurkan perempuan dalam
eksistensinya baik dalam ranah domestik maupun dalam ranah publik.
Berdasarkan pada apa yang telah diuraikan di atas, yang menjadi fokus
penelitian ini adalah bagaimana lakhőmi mengonstruksi pemikiran, tindakan dan
identitas perempuan atas pemahamannya terhadap budaya Lakhőmi. Dengan
demikian rumusan masalah adalah bagaimana dan mengapa makna Lakhőmi
mengonstruksi perempuan di Nias Barat, sehingga budaya Lakhőmi tidak
dianggap sebagai ketidakadilan.
Melalui Penelitian ini penulis hendak medeskripsikan dan mengalisis
perempuan di Nias Barat dalam ketidaksadarannya memaknai budaya Lakhőmi.
Tujuan penelitian ini dijabarkan dalam pokok-pokok sebagai berikut:
1. Mengonstruksi makna Lakhőmi di Nias Barat, sehingga perempuan
menganggap hal yang wajar, jika laki-laki lebih tinggi penghormatan, derajat,
haknya, dibanding dengan perempuan.
2. Memberikan kesadaran kepada perempuan bahwa budaya Lakhőmi telah
menciptakan ketidakadilan terhadap hubungannya dengan laki-laki.
9
2. SIGNIFIKASI PENELITIAN
Dalam penelitian ini, penulis akan mengkaji tentang Lakhőmi: Konstruksi
Budaya Patriarkhi terhadap perempuan di Nias Barat. Dalam kehidupan Ono
Niha, demi Lakhőmi, apapun akan dilakukan, terkhusus ketidaksadaran
perempuan bahwa dalam budaya Lakhőmi yang dianggap sebagai hal yang
biasa dan tidak menyadari bahwa melalui budaya Lakhőmi perempuan
mengalami ketidakadilan. Lakhőmi ada dalam seluruh siklus kehidupan Ono
Niha melalui ritual kehidupan, baik sehari-hari maupun dalam berbagai upacara
adat-istiadat. Adat istiadat inilah yang terus mengayomi kehidupan masyarakat
dalam tatanan kehidupan yang dilakukan di tengah-tengah masyarakat. Penulis
terdahulu telah meneliti makna Lakhőmi dalam kehidupan Ono Niha, namun
makna Lakhőmi yang berkaitan dengan penghormatan perempuan terhadap laki-
laki masih belum ada yang menelitinya.23
Peneliti terdahulu mengkaji Lakhőmi
dalam kaitannya dengan kekristenan dan agama lama. Dalam penelitian
terdahulu, masih belum ada yang membahas Lakhőmi dalam kaitannya dengan
penghormatan perempuan.24
Penelitian terdahulu melihat perempuan dalam
pengarusutamaan kesetaraan gender dalam adat istiadat.25
Dengan demikian penelitian ini mendesak dan segera dilakukan karena
tulisan Tesis ini merupakan salah satu syarat kelulusan dari Magister Sosiologi
Agama dan melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberikan kesadaran dan
23
Tuhoni Telaumbanua dan Uwe Humel, Salib dan Adu, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2002, 32.
Penulis, telah mencoba menelusuri jurnal-jurnal yang berkaitan dengan judul namun tidak
satupun yang mengaitkan Lakhőmi dalam penghormatan perempuan terhadap laki-laki. 24
Beny Harmoni Harefa, ISSN:23564164, vol.3 No. 1 Februari 2017, , Mahasiswa Doktor (S3)
Ilmu Hukum, Fakultas Hukum UGM, 25
KBBI, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008, 807 dan 1356.
10
kontribusi baru dalam dunia akademik maupun masyarakat umum dan
khususnya masyarakat Nias Barat atas konstruksi dan ketidaksadaran
perempuan dalam belenggu budaya Lakhőmi.
Penulis menggunakan kata perempuan dan bukan wanita, jika ditinjau
dari arti dan makna kata perempuan dan wanita berbeda. Secara suku kata,
perempuan dan wanita sudah berbeda. Dalam KBBI wanita diartikan sebagai
perempuan yang sudah bersuami sedang perempuan diartika sebagai wanita.26
Antara wanita dan perempuan tidak ada perbedaan. Dalam etimologi Jawa,
wanita berasal dari frasa Wani Ditoto yang berarti berani diatur. Kata wanita
dimaknai berdasarkan pada sifat dasar wanita yang cenderung tunduk dan
patuh pada lelaki sesuai dengan perkembangan budaya di tanah Jawa pada
masa tersebut. Sementara itu menurut bahasa Sanskerta, kata perempuan
muncul dari kata per + empu + an. Per memiliki arti makhluk dan Empu
berarti mulia, tuan, atau mahir. Dengan demikian perempuan dimaknai sebagai
makhluk yang memiliki kemuliaan atau kemampuan. Dalam
perkembangannya, kata perempuan dan wanita mengalami perubahan dimana
wanita mulai bersifat amelioratif atau membaik. Sementara itu, perempuan
mengalami penurunan makna menjadi memburuk. Inilah sebabnya ada yang
namanya Komnas Perempuan bukan Komnas Wanita dan Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan bukannya Kementerian Pemberdayaan
26
Ikerevita, Perempuan dan Wanita, Padang: Andalas University, diterbitkan 29 Juli
2017, diakses, 2 Mei 2019.
11
Wanita.27
Dengan alasan demikian penulis akan menggunakan kata perempuan
dan bukan kata wanita.
3. PENDEKATAN PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-analitif dengan pendekatan
kualitatif. Pendekatan kualitatif menekankan segi akurasi data, maka akan
menggunakan pendekatan induktif, yang artinya data akan dikumpulkan,
didekati, dan diabstrasikan.28
Untuk itu, penelitian ini memuat prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata dari obyek dan
perilaku yang dapat dipahami. Selanjutnya, penelitian dengan pendekatan
deskriptif meneliti status sekelompok manusia, suatu obyek, kondisi, sistem,
pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang.29
Penelitian ini difokuskan pada pemaparan makna lakhőmi dalam
pemahaman ono niha yang berkaitan dengan konstruksi budaya Patriarkhi
terhadap perempuan yang selama ini telah mengindikasikan terbentuknya
ideologisasi dalam setaraan antara laki-laki dan perempuan di Nias Barat dan
bagaimana lakhőmi mengonstruksi perempuan dalam sosial kemasyarakatan.
Oleh karenanya penulis akan melakukan penelitian dan memamparkan secara
deskripsi analisis mengapa dan bagaimana makna lakhőmi telah membangun
dan membentuk ketidakadilan terhadap kaum perempuan Di Nias Barat.
27
Lht. Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial: dari Denzin Guba dan Penerapannya
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), 5. 28
M. Natzir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009), 55-62, 89. 29
Penjelasan lebih dalam tentang wawancara dapat dibaca dalam Prof. Dr. Sugiyono.
Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R &D. (Jakarta: CV. Alfabet), 231-236
12
Penelitian ini mengambil lokasi di Kabupaten Nias Barat Propinsi
Sumatera Utara, tepatnya pada masyarakat Õri Ulu Moro’õ yang terdiri dari
õri raya, õri Yõu, õri badalu, õri hayo. tokoh agama, informan kunci dan
informan ahli. Alasan dipilihnya Nias Barat khususnya Õri Ulu Moro’õ
sebagai tempat penelitian kerena di Nias Barat penulis mengidentifikasi hal ini
sebagai fenomena yang perlu diteliti.
Penelitian ini, pengambilan data dilakukan melalui pustaka, dan
wawancara. Teknik pengumpulan data yang akan dipergunakan dalam
penelitian ini, yakni wawancara. Wawancara adalah pertemuan antar dua orang
secara langsung untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, untuk
mengkostruksikan makna dalam suatu topik tertentu secara mendalam, tentang
partisipan dalam menginterpretasikan situasi dan fenomena yang terjadi. Jenis-
jenis pertanyaan dalam wawancara saling berkaitan, antara lain: tentang
pengalaman, perasaan, pendapat, dan pengetahuan.30
Para informan kunci
(partisipan) yakni, para tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama yang
memiliki pengetahuan tentang bagaimana Lakhõmi telah mengonstruksi
kehidupan masyarakat khususnya dalam pemahaman laki-laki terhadap
perempuan di Nias Barat.
Data yang digunakan meliputi: data primer dan sekunder.31
Data primer
adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan secara langsung oleh peneliti dari
informan kunci dan informan ahli.32
Sedangkan, data sekunder adalah data
30
Prof. Dr. Sugiono, Metode Penelitian…,(2008), 220 31
Anidal H. Dkk, Kamus Istilah Sosiologi, Jakarta: Pusat pembinaan dan
pengembangan bahasa, 1984, 227. 32
Anidal H. Dkk, Kamus istilah Sosiologi, 227.
13
yang peroleh atau dikumpulkan peneliti dari berbagai sumber yang telah ada,
berupa jurnal, artikel, buku, dan lain-lain.33
Untuk itu, sumber data atau informan, terkait dengan penelitian ini,
antara lain: masing-masing satu orang, tokoh perempuan, tokoh adat, tokoh
agama, tokoh masyarakat Nias Barat (data primer). Para informan kunci ini
kemudian memberikan rekomendasi informan-informan yang lainnya seperti
warga jemaat atau masyarakat yang telah berdomisili di Nias Barat dan sangat
memahami keadaan Nias Barat (data Sekunder). Analisa data adalah proses
mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil
wawancara, catatan lapangan, dengan mengorganisasikan data kedalam
kategori, menjebarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke
dalam pola, memilah mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan
membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami. Teknik analisa data yang
digunakan dalam penelitian kualitatif ini dijabarkan dalam tahap-tahap, sebagai
berikut (Model Miles dan Huberman): reduksi data, Penyajian data dan
Penarikan kesimpulan.34
Untuk itu, data yang diperoleh melalui wawancara
selanjutnya akan dideskripsikan dan dianalisis, dengan menggunakan landasan
teoris sebagai pisau analisis. Kesimpulan dari analisis merupakan temuan baru
dari hasil penelitian.
4. SISTEMATIKA PENULISAN
Tesis ini terdiri dari lima bab, dideskripsikan sebagai berikut:
33
Sugiono, Metode Peneltian…,(2008), 247-249. 34
Sugiono, Metode Peneltian…,(2008), 247.
14
Bab satu, pendahuluan yang meliputi: latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penelitian, Signifikasi penelitian, metode penelitian dan sistematika
penulisan.
Bab dua, tentang landasan teoritis yang memuat teori analisis sosio-gender
dan budaya, ideologi gender,dan konstruksi lakhõmi dalam budaya Nias Barat
yang meliputi: hubungan antara perempuan dan laki-laki, dalam kaitan dengan
kosntruksi budaya dan adat istiadat di Nias Barat); Lakhõmi (pemaknaannya
dalam budaya dan adat istiadat, lakhõmi dalam konstruksi sosial budaya patriarkhi
di NiasBarat, nilai-nilai makna Lakhõmi dalam budaya); konstruksi budaya
terhadap perempuan (konsepsi budaya, dan pengakuan kesetaraan laki-laki dan
perempuan).
Bab tiga, tentang temuan hasil penelitian yang meliputi: deskripsi analisis,
dan ritual dalam hubungan lakhõmi dengan penghormatan perempuan terhadap
laki-laki dalam tatanan budaya, adat istiadat kemasyarakat di Nias Barat; kajian
konstruksi sosial yang fenomenal tidak dipermasalahkan oleh perempuan di Nias
Barat atas seluruh konstruksi budaya patriarkhi dalam kebiasaan perempuan
dalam tatanan kehidupan sehari-hari.
Bab empat, pembahasan dan analisa hasil penelitian yang meliputi:
Hubungan Lakhõmi dalam konstruksi budaya Patriarkhi terhadap perempuan;
hubungan kesetaraan hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki di Nias Barat;
Hubungan perempuan dan laki-laki dalam Lakhõmi dari prespektif analisis
konstruksi Sosial, ideologi, dan analisis gender.
15
Bab lima, tentang penutup yang meliputi: kesimpulan, berupa temuan-
temuan hasil penelitian, pembahasan dan analisis, serta saran-saran berupa
konstribusi dan rekomendasi untuk penelitian lanjutan.