bab i pendahuluan 1.1. latar belakang. · 2017. 9. 18. · 1 bab i pendahuluan . 1.1. latar...
TRANSCRIPT
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.
Konflik selalu ada dalam dimensi kehidupan manuasia. Hal ini terjadi
karena dalam kehidupan manusia selalu ada interkasi, baik secara makro maupun
secara mikro. George Simmel merupakan ahli teori klasik terkemuka yang
mempelajari proses interaksi di tingkat mikro. Simmel beranggapan, bahwa
masyarakat lebih dari sekedar suatu kumpulan individu serta pola perilakunya;
namun masyarakat tidak independen dari individu yang membentuknya.
Masyarakat tersebut menunjuk pada pola-pola interaksi timbal-balik antar
individu.1 Tanpa pola interaksi tersebut maka masyarakat yang tadi akan hilang.
Selanjutnya dalam bahasannya pola interaksi ini juga berpotensi akan terjadinya
konflik.
Konflik sering didefinisikan sebagai sesuatu yang bersifat negatif dan
menjurus pada tindak kekerasan, yang tejadi di antaranya adalah kekerasan psikis
maupun kekerasan fisik, dimana ada konflik selalu ada korban. Hal ini terjadi
karena dengan melihat kenyataan yang ada dalam masyarakat saat ini yang terus
menerus mengalami proses perkembangan, maka konflik merupakan hal yang
alamiah dari proses perubahan itu.” Dalam perkembangan masyarakat pasti terjadi
konflik dan hal itu berdampak pada perubahan dalam masyarakat.
1George Ritzer – Douglas J. Goodman, Modern Sociological Theory, 2003].
Dialihbahasakan oleh Alimandan, Teori Sosiologi moderen, (Jakarta, Kencana, 2008) 44
-
2
Maluku merupakan salah satu daerah di Indonesia yang pernah mengalami
konflik. Konflik sosial yang terjadi di Maluku di mana pada tahun 1999 terjadinya
peristiwa yang dikenal dengan ”Tragedi Kemanusiaan”, yang telah
mengakibatkan korban jiwa dan harta benda yang tak terhitung jumlahnya.
Peristiwa tersebut cenderung menimbulkan berbagai perubahan-perubahan yang
signifikan dalam masyarakat. Itu nampak pada berbagai bidang di antaranya
pendidikan, ekonomi dan budaya dalam masyarakat. Terjadinya konflik
menimbulkan segregasi dalam masyarakat diantaranya pemukiman antar kedua
belah pihak yang bertikai.2 Tuhana Taufik melihat perubahan sosial tersebut
terwujud dalam segregasi sosial berbasis agama. Bahkan terus berlanjut pada
tingkat satuan wilayah yang lebih kecil, seperti pada tingkat kelurahan dan tingkat
desa. Di tingkat desa dan kelurahan dalam suatu Kecamatan yang sama, dapat
ditemukan dengan mudah apa yang disebut ”kampung Islam dan kampung
Kristen”. Pola pemukiman ini disebutnya sebagai Segregated pluralism, lawan
dari Integrated Pluralism3. Warga cenderung bermukim dalam lingkup sosial
sesama umat seagama. Selain pemukiman, terjadinya konflik menimbulkan
pemisahan pasar-pasar, institusi-institusi pemerintahan dan bank-bank baik
pemerintah maupun swasta. Dalam bidang pendidikan terjadinya pemisahan
tempat pendidikan yaitu sekolah, dimana masing-masing kelompok bersekolah di
wilayah mereka masing-masing dengan menciptakan Sekolah Alternatif.
2 Kedua belah pihak yang bertikai dikenal dengan pihak acing (sebutan bagi pihak
muslim), dan Obet (sebutan bagi pihak kristen). Kerusuhan yang terjadi di Maluku cenderung
dikenal dengan konflik anatara agama, yakni pertikaian anatara kelompok-kelompok komunitas
masyarakat Maluku yang menganut agama Islam dan Kristen. 3 Tuhana Taufik A. Konflik Maluku ( Yogyakarta, Gama Gloal Media,2000) 41
-
3
Dalam arti tertentu, masyarakat adalah jumlah keseluruhan dari ide-ide
dan citra-citra yang telah dibentuk oleh anggota-anggotanya. Akan tetapi diantara
ide-ide kolektif ini, beberapa sesuai dengan kenyataan-kenyataan eksternal yang
mempunyai eksistensi objektif, fisikal – bumi, alam, manusia, peralatan dan mesin
angkatan bersenjata, parlemen dan seterusnya.4
Sebutan Salam-Sarane dapatlah dikatakan merupakan sebuah perspektif
baru dalam kehidupan keberagamaan setelah masuknya agama-agama historis di
Maluku. Konsep ini diperkirakan muncul abad ke-18 dan 19.5 Paradigma
kehidupan keberagamaan ini kemudian terpola secara makro maupun mikro dalam
kehidupan orang Maluku. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya Sebutan
Ambon Salam - Ambon Sarane, secara makro terpola dalam kehidupan orang
Maluku, khususnya di pulau Ambon dan Maluku Tengah. Sedangkan secara
mikro, adalah di Sirisori Salam - Sirisori Sarane. Menurut P. Tanamal sesuai hasil
wawancara yang dikutip oleh Takaria, salam-sarane sebagai sebuah konsep
budaya memiliki ikatan-ikatan geneologis dan ikatan sosial, tetapi juga sebagai
sebuah kerangka untuk menguatkan sifat pela yang merupakan dimensi
persekutuan sosial.6 Itu berarti bahwa sekalipun agama-agama historis telah
mengakibatkan paradigma masyarakat Maluku terpola dalam stigma Salam-
Sarane, namun secara budaya, ikatan geneologis dan ikatan sosial yang dikenal
dengan Pela menjadi perekat sosial yang masih bisa dipertahankan hingga saat
4 [Maurice Devurger, 1972. The Study of Politics (Thomas Y. Crowell Company Inc)]
dialihbahasakan oleh Daniel Dhakidae, 2005. Sosiologi Politik, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada)138. 5 Max Takaria, Salam-Sarane (Analisa sosiologis Historis Terhadap Sebuah Lokal Genius
Maluku Tengah Sebagai Dasar Berteologi Kontekstual) (Tesis Program Pasca Sarjana Magister
Sosiologi Agama, UKSW-Salatiga 2001) hal 59 Tesis 6 Ibid. Max Takaria…hal 67.
-
4
ini. Dalam realitas sosial, Pela menjadi alat perekat yang dapat diandalkan dalam
membangun dialog dan komunikasi lintas agama.
Selanjutnya realitas pasca konflik hubungan masayarakat Maluku ”Salam-
Sarane” dapat dikatakan cukup baik. Walapun disadari, bahwa bukan berarti
reconsilaiasi dan recovery berjalan mulus. Sebab dalam reaalitas, ada beberapa
persoalan yang perlu diwaspadai dalam rangka menatap masa depan Maluku.
Persoalan-persoalan yang timbul pasca konflik antara lain :
1.1.1. Ketiadaan Penegakkan Hukum.
Karena tidak ada penegakan hukum pasca-konflik, maka yang muncul
dalam memori kolektif masyarakat Maluku adalah perasaan saling tidak
percaya dan saling klaim. Meskipun masyarakat makin sadar tentang
pentingnya membangun perdamaian dan hidup bersama dalam keadaan
damai, tapi kondisi yang ada masih menyisahkan stigma-kolektif serta
stereotipe yang membuat posisi Islam dan Kristen berada dalam posisi yang
vis-à-vis. Ini artinya dengan klaim yang kemudian menjadi legitimasi dalam
klaim pembenaran terhadap “konflik-konflik kecil” yang cenderung terjadi
dalam realitas pasca konflik.
1.1.2. Segregasi Social/Tempat Pemukiman Antara Islam dan Kristen
Tak dapat dinafikan bahwa segregasi pemukiman Muslim dan Kristen
di Maluku sudah ada sejak dulu di mana setiap negeri di Maluku tidak ada
asimilasi agama, sehingga muncul istilah negeri Islam atau negeri Kristen
-
5
(negeri Salam dan negeri Sarane). Tapi kondisi sebelum konflik, walaupun
ada masalah, tetap dapat diterima dengan baik, sebagai suatu model
kerukunan umat beragama, bahkan dalam relasi antar negeri Salam dan negeri
Sarane ini secara cultural terdapat ikatan-ikatan persaudaraan yang begitu
kuat seperti pela-gandong yang berikutnya menjadi modal social-kultural
dalam kehidupan bersama di Maluku. Pada saat konflik, ikatan-ikatan cultural
seperti ini justru sangat efektif digunakan dalam membangun perdamaian di
Maluku. Walaupun pada akhirnya diiringi dengan perubahan zaman yang
berkembang dengan nilai-nilai modernisasinya yaitu pembangunan di segala
bidang di dukung dengan kemajuan teknologi membuat ikatan-ikatan cultural
ini menjadi rapuh. Perubahan-perubahan ini maupun perubahan-perubahan
yang diakibatkan oleh pembangunan tidak hanya meliputi struktur
masyarakat serta struktur-struktur sosial setempat, tetapi juga meliputi
lingkungan hidup, lengkungan kerja, dan keadaan manusia pribadi dimana
patokan-patokan lama yang mengatur tata hidup manusia sering seolah-olah
tidak berlaku lagi atau tidak kena lagi.7
Hal ini berbeda dengan kondisi sosial pasca-konflik ini, selain segregasi
sekarang bukan saja terjadi di negeri-negeri (desa-desa), tapi juga di kota,
segregasi social dewasa ini juga menyimpan stigma kolektif yang amat
dalam. Selain itu komunikasi dan interaksi secara informal menjadi sangat
minim. Dalam segregasi tersebut politisasi agama dan mobilisasi cepat sekali
menimbulkan konflik. Selain itu permasalahan pengungsi juga kemudian
7 Soedjamoko, Etika pembebasan, pilihan Karangan tentang: Agama, Kebudayaan,
Sejarah dan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: PT. Pusaka LP3ES Indonesia, anggota IKAPI, 1984) 270.
-
6
menjadi masalah serius dimana pasca konflik para pengungsi yang
mengungsi kehilangan hak-hak perdata dan budayanya di tempat asalnya
masing-masing.
1.1.3. Munculnya Gerakan Fundamentalisme Agama
Pasca konflik di Maluku muncul kesadaran untuk kembali menguatkan
identitas dan keyakinan agama dengan mengkonsolidasi mesjid dan gereja
sebagai pusat dakwah/missi. Kasus ini begitu kuat terjadi di Islam, yaitu eks
laskar jihad dari luar Maluku yang sudah menetap di Maluku, karena
perkawinan atau bisnis yang kemudian medidik umat untuk menjadi
konservatif. Ditambah juga dengan timbulnya berbagai aliran konservatif di
kalangan Kristen. Ini menimbulkan terjadinya stigmatisasi terorisme bagi
kaum Muslim dan Separatis bagi kaum Kristen.
Selain itu Terjadinya konflik juga berdampak bagi masyarakat Maluku
diantaranya adalah dengan perimbanagan “politik kekuasaan” 8 menurut hemat
penulis sesungguhnya sistim perimbangan kekuasaan dalam tubuh pemerintahan
ini membawa damapak negative bagi masyarakat dimana profesionalisme dalam
pemerintahan cenderung diabaikan. Dan ini menimbulkan kesenjangan dalam
masyarakat. Dari fenomena ini jika dihubungkan dengan konsep psikologi sosial
Gerge Habert Mead yang adalah menyatakan, bahwa menurut psikologi sosial kita
8 Perimbanagan politik kekuasaan tersebut dapat terlihat dari dinamika pemerintahan di
Maluku di mana kekuasaan dalam pemerintahan harus ada keterwakitan dari pihak muslim dan
pihak Kristen sebagai contoh Jika Gubernurnya Kristen maka Wakilnya harus Islam dan jika
walikota atau Bupattinya muslim maka wakinya haruslah Kristen.
-
7
tidak membangun perilaku kelompok dilihat dari perilakau masing-masing
individu yang membentuknya. Namun kita bertolak dari keseluruhan aktivitas
sosial kelompok kompleks terntentu, di mana kita menganalisa perilaku masing-
masing individu yang membentuknya, atau dengan kata lain keseluruhan sosial
mendahului pemikiran individu baik secara logika maupun secara temporer.9
Dalam kerangaka ini konflik sosial yang terjadi di Maluku kemudian membentuk
perilaku inidvidu yang membentuknya.
Dampak dari kerusuhan Maluku masih terasa hingga saat ini. Dampak
tersebut dirasakan khususnya bagi warga kota Ambon. Dampak tersebut terlihat
dari relasi antar umat beragama khususnya warga Kristen dan Islam. Relasi antar
umat beragama telihat dari interaksi dalam kehidupan sehari-hari di mana ada
kecenderungan saling mencurigai antara satu dengan lainnya. Kondisi ini lebih
cenderung terlihat, khususnya di desa-desa yang berada pada wilayah perbatasan10
yang penduduknya beragama Islam dan Kristen. Salah satu desa perbatasan ini
adalah Kampung Mardika, kelurahan Rijali, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon.
Interaksi yang terbina antar warganya saat ini sangat berpotensi konflik. Pasca
kerusuhan tahun 2002 hingga saat ini sering terjadi perselisihan di desa ini yang
berbasis agama11. Bahkan baru-baru ini - tepatnya pada awal tahun 2011 - terjadi
pertikaian yang membuat panik warga Kota Ambon. Apa lagi mengingat sebagian
9 (Mead,1934/1926:7) dalam [George Ritzer – Douglas J. Goodman, Modern Sociological
Theory, 2003]. Dialihbahasakan oleh Alimandan, Teori Sosiologi moderen, (Jakarta, Kencana,
2008) 271-272 10 Desa yang berada di wilayah perbatasan adalah Desa yang pada saat kerusuhan menjadi
batas pemukiman antara kampong islam dan kampong Kristen. 11 Mardika merupakan salah satu desa perbatasan. Menurut berbagai sumber awal
kerusuhan terjadi pada Tahun 1999, dimuliai di desa ini dimana saat itu pada tanggal 19 januari
1999 terjadinya kerusuhan antara pemuda-pemuda Mardika Dan Batu merah. Dari kerusuhan ini,
maka berimbas pada kerusuhan Maluku.
-
8
besar penduduk Mardika adalah orang-orang yang pada saat kerusuhan menjadi
korban, baik korban jiwa, maupun korban material sehingga membuat sebagian
dari mereka berada di tempat-tempat pengungsian, hingga saat kerusuhan mereda
barulah mereka kembali ke tempat masing-masing, namun kesenjangan itu masih
tetap terasa. Secara Psikologi, perubahan sosial yang terjadi sangat berpengaruh
pada intraksi antar umat beragama khusunya masyarakat mardika.
Dalam kerangka demikian, Secara khusus, peneliti merasa tertarik
melakukan penelitian terhadap Interaksi masyarakat Mardika Pasca Konflik yang
kemudian terjadinya perubahan sosial yang terlihat dari bentuk-bentuk Interaksi
sosial masyarakat saat ini. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka judul
penelitian yang dirumuskan adalah :
DAMPAK TRAGEDI KEMANUSIAAN DI AMBON
TERHADAP INTERAKSI SOSIAL PASCA – KONFLIK
ANTAR KOMUNITAS DI KELURAHAN RIJALI
KOTAMADYA AMBON
-
9
1.2. Masalah Penelitian
Bertolak dari latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan
dalam penelitian ini dapat dituangkan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :
Bagaimana dampak konflik terhadap interaksi sosial pasca konflik antara
masyarakat di kelurahan Rijali kotamadya Ambon.
1.3. Tujuan penelitian
Mendeskripsikan dampak konflik terhadap interaksi sosial pasca konflik
antara warga (komunita) di Kelurahan Rijali, Kota Ambon.
1.4. Metode Penelitian
1.4.1 Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah Deskritif yang diartikan sebagai
suatu proses pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan /
melukiskan keadaan atau subjek / objek penelitian pada masa lalu dan masa
sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.12
Penulis menggunakan penelitian deskritif dalam penulisan guna mendapatkan
data-data tentang dampak perubahan sosial terhadap interkasi sosial masyarakat
Pasca konflik di Kelurahan Rijali kota Ambon
12 Hadari H. Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 1990), 63.
-
10
Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif disebabkan pendekatan
ini menggunakan metode pertemuan secara langsung antara peneliti dengan
responden agar bisa mendapatkan hasil yang lebih nyata karena pendekatan ini
dapat menjelaskan nilai-nilai yang diamati secara mendalam.
1.4.2. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dipakai oleh Penyusun adalah :
1.4.2.1. Wawancara (Interview)
Wawacara (Interview) adalah usaha untuk mengumpulkan informasi
dengan mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan, untuk dijawab secara lisan
pula serta berfungsi sebagai kontak langsung dengan bertatap muka (Face To
Face Relationship). antara si pencari informasi dengan sumber informasi .
Wawacara Juga berfungsi untuk mendapatkan data dari informan kunci13
Wawancara ini akan dilakukan terhadap orang yang dianggap paling
penting, dan paling banyak tahu tentang situasi yang ada di lapangan, menyangkut
masalah yang menjadi fokus penelitian.
1.4.2.2. Kepustakaan
Selain wawancara, penulis juga menggunakan kepustakaan yang diperoleh
dari buku-buku atau dokumen-dokumen terkait lainnya untuk dapat membantu
dalam proses penganalisaan data dari hasil penelitian lapangan dalam mejawab
persoalan pada rumusan masalah penelitian.
13 J D Engel, Metode Penelitian Sosial Dan Teologi Kristen, (Salatiga: Widya Sari Press,
2005),33
-
11
1.4.3. Lokasi Penelitian
Lokasi yang menjadi objek penelitian adalah Kampung Mardika (RT 02,
RT 03, dan RT 04/ RW 01) Kelurahan Rijali Kota Ambon, Provinsi Maluku.
1.4.4. Signifikansi Penelitian
Signifikansi penelitian ditujukan kepada warga Kampung Mardika
Kelurahan Rijali, dan Pemerintah Kota Ambon dalam melihat fenomena dampak
perubahan sosial terhadap interkasi sosial komunitas setempat, pasca Tragedi
Ambon 1999.
1.4.5. Pengolahan Data Penelitian
Pengolahan data penelitian yang di pakai penulis adalah berupa
wawancara, di mana hasil penelitiannya akan dibahas secara naratif. Dengan
wawancara, penulis mengumpulkan data-data atau informasi-informasi yang
diperlukan dari masyarakat dan pemerintah yang dalam hal ini menjadi objek
penelitian. Hasil penelitian kemudian dikaitkan dengan tujuan penelitian yang
ada, menyangkut bagaimana dampaknya membawa pengaruh terhadap dinamika
interaksi masyarakat Maluku kedepan
1.4.6. Pelaksanaan
Penelitian memerlukan waktu kurang lebih 1 Bulan, yaitu dari tanggal 1
Juni 2011 – 25 Juni 2011.
-
12
1.5. Defenisi Istilah-istilah
Bakalai : Perkelahian (berkelahi)
BBM : Singkatan atau sebutan bagi para pendatang di Kota
Ambon yang berasal dari daerah Buton, Bugis, dan
Makasar.
Cakbong : (Cakar – bongkar) adalah tempat penjualan pakaian
yang barangnya di jual secara obral.
Gandong : Hubungan persaudaraan antar anak-anak yang lahir
dari satu rahim ibu
Makan Patita : Makan Patita merupakan sebuah acara makan
bersama dalam lingkup kekeluargaan yang hangat
dengan menyuguhkan berbagai makanan dan
masakan tradisional khas daerah mereka.
Masohi : Kerjasama atau gotong-royong
Negeri : Desa, suatu wilayah pemerintahan
Pela : Ikatan persaudaraan lintas agama antar dua negeri
atau lebih
Petuanan : Teritorial / wilayah suatu negeri (desa)
Salam : Umat Muslim
Sarane : Umat Kristiani
Tuan tanah : Penguasa tanah
1.6. Sistimatika Penelitian
Bab I Pendahuluan. Dalam bab ini dipaparkan tentang latar belakang,
perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan garis besar
sistimatika penulisan.
Bab 2 Pendekatan Konseptual. Dalam bab ini akan digunakan pendekatan
teori dari para tokoh yang menulis tentang konsep-konsep terkait psiko-sosial.
-
13
Bab 3 Hasil Penelitian (Pendekatan Lapangan). Dalam bab ini akan
dipaparkan tentang hasil penelitian berdasarkan data yang ditemui di
lapangan, di kelurahan Rijali Kota Ambon.
Bab IV Analisa Hasil Penelitian. Dalam bab ini dibahas kesinambungan
antara kerangka konseptual dengan hasil penelitian yang didapat di lapangan.
Bab V Penutup. Bab ini merupakan akhir dari penulisan dan akan ditutup
dengan kesimpulan yang berisi refleksi teoritis dan praktis, serta saran oleh
penulis.