bab i pendahuluan 1.1 latar belakang masalah · tanah, yaitu tanah sebagai hasil (barang tambang),...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Tanah memegang peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat,
untuk itu memerlukan penanganan yang serius dan profesional. Tanah juga
merupakan kebutuhan yang hakiki dan berfungsi sangat esensial bagi kehidupan
dan penghidupan manusia, bahkan menentukan peradaban sesuatu bangsa.
Peradaban itu akan berlangsung kebesarannya selama bangsa itu menggunakan
tanahnya secara bijaksana.
Hampir semua sektor pembangunan yang dilakukan oleh berbagai pihak
memerlukan tanah, oleh karena itu peranan tanah bagi pemenuhan berbagai
keperluan akan meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk, baik sebagai
tempat bermukim maupun kegiatan usaha dan jasa, tidak terkecuali instansi
pemerintah untuk berbagai kegiatan dalam memenuhi kegiatan dalam pelayanan
publik (masyarakat) konsekuensi logisnya ketersediaan tanah untuk keperluan
pembangunan semakin terbatas karena luasnya relatif tidak bertambah.
Soedjarwo Soeromiharjo mengatakan bahwa tanah mempunyai kedudukan
sangat penting dalam kehidupan dan penghidupan manusia, karena tanah dapat
dimanfaatkan secara horizontal maupun vertikal. Hal itu dapat diamati dari fungsi
tanah, yaitu tanah sebagai hasil (barang tambang), penghasil (sumber daya hutan,
tanaman pangan dan berbagai jenis tanaman lainnya) serta tanah sebagai tempat
(makhluk hidup melaksanakan kegiatan kehidupannya, di samping juga
merupakan tempat tersimpannya sumber daya tambang dan sumber daya air).1
1Soedjarwo Soeromiharjo, dalam Muchtar Wahid, 2008, Memaknai Kepastian Hukum
Hak Milik Atas Tanah, Cetakan I, Penerbit Republika, Jakarta, hal. 3.
2
Mengingat kedudukan tanah seperti itu, tanah adalah sumber daya utama
yang merupakan tempat titik temu kepentingan semua pihak, sehingga dapat
terjadi berbagai konflik kepentingan di atas maupun di bawahnya, lebih-lebih bila
belum ditetapkan kepastian hukum pemilikannya. Antara kegiatan pembangunan
dengan penguasaan dan penggunaan tanah mempunyai keterkaitan yang tidak
dapat dipisahkan. Pengelolaan keterkaitan ketiga hal itu melalui suatu strategi
pembangunan, akan mendatangkan manfaat atas tanah yang sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat banyak.2
Pasal 1 ayat (2), ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut Undang-Undang
Pokok Agraria, disingkat UUPA) menyebutkan tanah atau bagian permukaan dari
bumi, merupakan salah satu sumber daya alam di samping air, ruang angkasa, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Tanah bagi Bangsa Indonesia
diyakini sebagai kekayaan nasional merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa.
Hubungan antara Bangsa Indonesia dengan kekayaan nasional tersebut merupakan
hubungan yang bersifat abadi.
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) mengamanatkan bahwa “Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Dengan demikian pasal
ini merupakan konsep dasar hak menguasai dari negara atas bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dan mengandung pengertian
2 Maria S.W. Sumardjono, 2014, “Simposium Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan
Rakyat”, Makalah, Universitas Indonesia, Jakarta. (selanjutnya disebut Maria S.W I).
3
menjadi kewajiban negara untuk mengusahakan agar bumi, air dan ruang angkasa
yang diletakkan pada kekuasaan negara demi tercapainya kesejahteraan rakyat
Indonesia. Dasar filosofis pengelolaan sumber daya alam agraria sebagai
kepunyaan bersama bangsa Indonesia adalah penguasaan, pemilikan, pemanfaatan
sumber daya alam agraria haruslah digunakan “untuk sebesar-sebesarnya untuk
kemakmuran rakyat”.3
UUPA sejatinya merupakan penjabaran dari Pasal 33 ayat (3) UUD NRI
1945 mengatur kewenangan negara atas tanah. Dalam UUPA yang merupakan
hukum tanah nasional terdapat 3 (tiga) entitas tanah, yakni tanah Negara, tanah
(hak) ulayat dan tanah hak. Lebih lanjut penjelasan hubungan penguasaannya
adalah:
a. Tanah Negara, hubungan penguasaannya disebut hak menguasai (oleh)
Negara, kewenangannya bersifat publik.
b. Tanah ulayat, hubungan penguasaannya disebut hak ulayat, subyeknya
masyarakat hukum adat, dan kewenangannya bersifat publik dan
keperdataan.
c. Tanah hak, yang dapat dipunyai oleh orang-perorangan atau badan
hukum, kewenangannya bersifat keperdataan. Macam-macam hak atas
tanah diatur dalam Pasal 16 UUPA.4
Berdasarkan ketiga entitas tanah tersebut, penelitian ini hanya
memfokuskan mengenai tanah negara yang dikuasai oleh Pemerintah
Pusat/Daerah sebagai Barang Milik (aset) Negara/Daerah.
Pasal 2 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa bumi, air dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi
dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Selanjutnya
3Arie S. Hutagalung, 2010, “Simposium DGB-UI “Tanah untuk Keadilan dan
Kesejahteraan Rakayat”, Makalah, Universitas Indonesia Depok. 4Boedi Harsono, 2000, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan- peraturan
Hukum Tanah, cet. Ketiga, Djambatan, Jakarta, hal. 5. (selanjutnya disebut Boedi Harsono I).
4
Pasal 2 ayat (2) mengatur tentang hak menguasai dari negara tersebut yang
memberi wewenang untuk:
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan
dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang, dan perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang
angkasa.5
Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut
digunakan dalam rangka mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti
kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum
Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur (Pasal 2 ayat (3) UUPA).
Hak menguasai dari negara itu, pelaksanaannya dapat diserahkan kepada daerah
swatantra, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah (Pasal 2 ayat (4)
UUPA).
Keterkaitan hak penguasaan negara dengan sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat akan mewujudkan kewajiban negara sebagai berikut:6
1. Segala bentuk pemanfaatan bumi dan air serta hasil yang didapat dari
kekayaan alam, harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat.
2. Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di
dalam atau di atas bumi, air dan berbagai kekayaan alam tertentu yang
dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat.
3. Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan
menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan
kehilangan haknya dalam menikmati kekayaan alam.
5Mohammad Hatta, 2005, Hukum Tanah Nasional Dalam Perspektif Negara Kesatuan,
Hukum Tanah: Antara Teori dan Kenyataan Berkaitan Dengan Kesejahteraan dan Persatuan
Bangsa, Media Abadi, Cetak Ulang, Yogyakarta, hal.2. 6Bagir Manan, 1999, Beberapa Catatan atas RUU tentang Minyak dan Gas Bumi, FH-
UNPAD, Bandung, hal. 1-2. (selanjutnya disebut Bagir Manan I).
5
Kewajiban di atas memberikan pemahaman bahwa dalam hak penguasaan
itu, negara hanya melakukan pengurusan (bestuursdaad) dan pengolahan
(beheersdaad), tidak untuk melakukan memiliki (eigensdaad).7
Kewenangan tersebut digunakan agar tanah dimanfaatkan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat dalam kerangka masyarakat adil dan makmur. Hak
menguasai oleh negara yang dimaksud adalah kewenangan untuk mengatur semua
tanah, yang telah dan belum dikuasai dan atau dimiliki oleh orang-orang dan
badan hukum termasuk instansi pemerintah.8 Sehingga esensi hak menguasai
negara meliputi semua tanah dalam wilayah Republik Indonesia.
Makna dikuasai oleh negara tidak terbatas pada pengaturan, pengurusan,
dan pengawasan terhadap pemanfaatan hak-hak perorangan, akan tetapi negara
mempunyai kewajiban untuk turut ambil bagian secara aktif dalam mengusahakan
tercapainya kesejahteraan rakyat.9
Bagir Manan merumuskan cakupan pengertian dikuasai oleh negara atau
hak penguasaan negara, sebagai berikut:10
a. Penguasaan semacam pemilikan oleh negara, artinya negara melalui
Pemerintah adalah satu-satunya pemegang wewenang untuk
menentukan hak wewenang atasnya, termasuk disini bumi, air, dan
kekayaan yang terkandung di dalamnya,
b. Mengatur dan mengawasi penggunaan dan pemanfaatan,
c. Penyertaan modal dan dalam bentuk perusahaan negara untuk usaha-
usaha tertentu.
7Abrar Saleng, 2004, Hukum Pertambangan, UII Press, Yogyakarta, hal. 12.
8Yuswanda A. Tumenggung, 2005, ”Kebijakan Penatagunaan Tanah dan Pengaturan
Penguasaan Tanah Dalam Kaitannya Dengan Tugasdan Fungsi Pejabat Pembuat Akta Tanah,
Kolom Wacana,” Majalah RENVOI, No.3, Vol.27, hal.3. 9Aslan Noor, 2006, Konsep Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia, Mandar Maju,
Bandung, hal. 99. 10
Bagir Manan, 1995, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara,
Penerbit Mandar Maju, Bandung, hal. 12. (selanjutnya disebut Bagir Manan II).
6
Dalam UUPA tanah-tanah yang belum dihaki dengan hak-hak perorangan
disebut tanah yang dikuasai langsung oleh negara (Pasal 28, 37, 41, 43 dan 49
UUPA). Dalam hal ini diargumentasikan bahwa negara menguasai seluruh tanah
yang ada di Indonesia. Meskipun tanah yang sudah dimiliki oleh perorangan baik
sebagai hak milik ataupun hak lainnya, namun bila negara menghendaki tanah
tersebut untuk digunakan oleh negara ataupun untuk kepentingan umum, maka
negara dapat meminta kembali tanah tersebut melalui mekanisme pengadaan tanah
bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Dengan demikian penguasaan tanah oleh pemerintah baik pusat maupun
daerah atas Barang Milik Negara/Daerah (aset Negara/Daerah) atas tanah
hakekatnya sebagai perwujudan hak menguasai dari negara yang tidak bersifat
memiliki, yang berbeda dengan sebutan tanah negara dalam arti vrij landsdomein
(tanah negara bebas) atau milik negara dalam rangka domeinverklaring
(pernyataan tanah negara).
Hal tersebut sejalan dengan bagian penjelasan UUPA yang menegaskan
bahwa arti perkataan “dikuasai oleh negara” bukanlah berarti “dimiliki oleh
negara”, akan tetapi adalah pengertian, yang memberi wewenang kepada Negara,
sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia itu, untuk pada tingkatan
yang tertinggi (a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaannya; (b) menentukan dan mengatur hak-hak yang
dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu; dan (c)
menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Tanah-tanah dengan Hak Pakai yang dimiliki oleh Kementerian-
Kementerian dan lembaga-lembaga Pemerintah non-Kementerian lainnya,
merupakan aset atau Barang Milik Negara, kepemilikannya berada pada Menteri
7
Keuangan. Sedangkan tanah-tanah negara dalam arti publik sebagai dimaksud
dalam Pasal 2 UUPA penguasaannya berada pada Menteri Negara Agraria dan
Tata Ruang/Kepala BPN.11
Namun demikian, kepemilikan oleh negara harus dibedakan dari konsep
dominium (hak milik perorangan) dan imperium. Imperium adalah kapasitas
penguasa untuk mengatur penggunaan barang-barang oleh perorangan (the power
of the sovereign to regulate the use of things12
). Sehingga dapat dinyatakan
penguasaan tanah oleh negara sebagai Barang Milik Negara atau aset negara
sejatinya merupakan hak milik sosial yang sepenuhnya digunakan dalam rangka
pelayanan publik untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan hal
ini maka dapat dinyatakan bahwa perbedaan penguasaan tanah oleh negara dan
kepemilikan tanah oleh negara adalah penguasaan tanah oleh negara terkait
dengan hak negara untuk mengatur penggunaan tanah, sedangkan kepemilikan
tanah oleh negara terkait dengan hak milik perorangan (privat domein) yang
dalam hal ini dimiliki oleh negara.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Iing Sodikin
Arifin dalam disertasinya, keberadaan aset negara adalah untuk mendorong
kepentingan yang lebih besar dan mewujudkan lima prinsip dasar Pancasila.
Sedangkan milik perorangan hanya untuk kepentingan pribadi atau kelompok.13
Aset negara adalah bagian dari kekayaan negara atau Harta Kekayaan
Negara (HKN) yang terdiri dari barang bergerak (inventaris) atau barang tidak
bergerak (tanah dan atau bangunan) yang dikuasai oleh instansi pemerintah, yang
11
Boedi Harsono I, op.cit, hal. 275. 12
Sunaryati Hartono, 1991, Kapita Perbandingan Hukum, Penerbit Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal. 52. 13
Iing Sodikin Arifin, 2008, ”Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Aset Negara
Dikaitkan Dengan Hak Menguasai Negara Atas Tanah Dihubungkan dengan Asas Keadilan Dalam
Upaya Mencapai Tujuan Negara Kesejahteraan”, Disertasi, Program Pasca Sarjana Program Studi
Ilmu Hukum, Universitas Padjadjaran, Bandung, hal. 34.
8
sebagian atau seluruhnya dibeli atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) serta dari perolehan lainnya yang sah, tidak termasuk kekayaan
negara yang dipisahkan (dikelola BUMN) dan kekayaan Pemerintah Daerah.14
Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara, disebutkan dalam Pasal 1 angka 10 dan 11, Barang Milik Negara adalah
semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari
perolehan lainnya yang sah. Sedangkan Barang Milik Daerah adalah semua
barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau berasal dari perolehan
lainnya yang sah. Termasuk dalam pengertian Barang Milik Negara/Daerah
menurut undang-undang di atas, adalah tanah dan/atau bangunan.
Termasuk ke dalam Barang Milik Negara/Daerah yang berasal dari
perolehan lainnya yang sah, menurut Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, adalah:
1. Barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau sejenis;
2. Barang yang diperoleh sebagai pelaksana dari perjanjian/kontrak;
3. Barang yang diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang; atau
4. Barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Oleh karena itu, tata inventarisasi aset/barang milik negara/daerah di
Indonesia ternyata tidak mengikuti penggolongan barang yang dibagi berdasarkan
atas barang pribadi milik pemerintah/negara (privat domein) dan barang publiek
domein.15
14
Doli D. Siregar, 2004, Manajemen Aset, Strategi Penataan Konsep Pembangunan
Berkelanjutan secara Nasional dalam Konteks Kepala Daerah sebagai CEO′s pada Era
Globalisasi & Otonomi Daerah, Cetakan I, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.
179. 15
Philipus M. Hadjon, 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cetakan IX,
Penerbit Gadjah Mada Universty Press, Yogyakarta, hal. 184.
9
Aset milik negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan, tidak luput dari
permasalahan atau konflik. Pada umumnya konflik kepentingan masyarakat di atas
sebidang tanah hanya bisa diselesaikan dengan baik apabila kebijakan
pembangunan di atas tanah itu dirasakan menguntungkan semua pihak. Berbagai
konflik kepentingan mengindikasi adanya ketidakpastian hubungan penguasaan
antara manusia dengan tanah, sedangkan kepastian itu merupakan hal yang
mendasar untuk mengembangkan kehidupan dan penghidupannya.16
Sejalan dengan hal tersebut akan meningkat pula kebutuhan akan
dukungan berupa jaminan perlindungan hukum dan kepastian hukum di bidang
pertanahan. Pemberian jaminan perlindungan hukum dan kepastian hukum di
bidang pertanahan, pertama-tama memerlukan tersedianya perangkat hukum yang
tertulis, lengkap dan jelas yang dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan jiwa
dan isi ketentuan-ketentuannya.17
Bentuk jaminan perlindungan hukum dan kepastian hukum kepemilikan
tanah bagi pemilik tanah berupa sertifikat hak atas tanah yang didapat melalui
penyelenggaraan pendaftaran atas bidang-bidang tanah di Indonesia dewasa ini
menjadi hal yang sangat penting. Hal tersebut sejalan dengan tujuan pokok
diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria ialah:
a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang
akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan
dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam
rangka masyarakat yang adil dan makmur;
b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan
kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai
hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
16
Ibid. 17
Boedi Harsono, op.cit, hal. 553.
10
Demikian berartinya tanah dalam alam pikiran masyarakat bangsa
Indonesia, sehingga dewasa ini di dalam pengaturan hukum tanah dalam UUPA
juga dinyatakan adanya hubungan abadi antara bangsa Indonesia dengan tanah18
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUPA yang berbunyi: ”Hubungan
antara Bangsa Indonesia dan Bumi, air serta ruang angkasa adalah hubungan yang
bersifat abadi”.
Lebih lanjut dalam Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) UUPA dinyatakan:
(1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan
pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut
ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:
(a). pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah;
(b). pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
(c). pemberian surat-surat tanda-bukti-hak, yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.
Pasal ini ditujukan kepada Pemerintah sebagai suatu instruksi agar di
seluruh wilayah Indonesia diadakan pendaftaran tanah yang bersifat “rechts-
kadaster”, artinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum (Penjelasan Umum
ke-IV UUPA).
Ketentuan dalam angka 2 huruf c di atas disebutkan pemberian surat tanda
bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, bukan terkuat dan
mutlak, dalam hal ini pendaftaran tanah di Indonesia menganut sistem publikasi
negatif.
Lebih lanjut ketentuan Pasal 19 UUPA mengandung pengertian bahwa
pendaftaran tanah dilaksanakan oleh pemerintah meliputi seluruh wilayah
Republik Indonesia dan menurut Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
18
Djuhaendah Hasan, 1996, Lembaga jaminan Kebendaanbagi Tanah dan Benda Lain
yang Melekat Pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal, Penerbit Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal. 81.
11
1997 tentang Pendaftaran Tanah yang mengatur obyek pendaftaran tanah meliputi
seluruh bidang-bidang tanah yang dimiliki oleh perseorangan, badan hukum
swasta dan badan hukum pemerintah, serta bidang-bidang tanah negara yang
dikuasai oleh Pemerintah Pusat/Daerah sebagai Barang Milik Negara/Daerah
(sebagai aset negara/daerah) atas tanah melalui kegiatan pendaftaran tanah.
Mengingat fungsinya yang demikian penting dan strategis, maka
keberadaan aset negara atas tanah tentu harus teradministrasikan dengan baik.
Pendaftaran tanah atas tanah negara yang dikuasai oleh pemerintah pusat/daerah
menjadi penting karena memiliki nilai strategis dalam upaya pengamanan tanah
milik negara/daerah, mengingat tanah tersebut memiliki peranan penting sebagai
sarana dalam pelayanan masyarakat.
Ketentuan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, dinyatakan:
“Barang milik negara/daerah yang berupa tanah yang dikuasai Pemerintah
Pusat/Daerah harus disertipikatkan atas nama Pemerintah Republik
Indonesia/Pemerintah Daerah yang bersangkutan”.
Kata “harus” dalam peraturan tersebut berarti mengamanatkan agar seluruh
instansi Pemerintah Pusat/Daerah harus mensertipikasi tanah yang dimiliki
negara/daerah dengan sertipikat atas nama Pemerintah Republik
Indonesia/Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Kata “harus” ini menegaskan
agar Pemerintah Pusat/Daerah segera mendaftarkan tanah-tanah yang dikuasainya,
mengingat selama ini Pemerintah Pusat/Daerah diindikasikan enggan untuk
mendaftarkan tanahnya yang salah satu penyebabnya kurang tertib administrasi.
12
Lebih lanjut ketentuan dalam Pasal 3 ayat (2) huruf (e) jo Pasal 32 dan
Pasal 33 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, ditetapkan:
“Tanah milik negara/daerah harus disertipikatkan atas nama Pemerintah RI
atau Pemerintah Daerah”.
Dengan demikian, berdasarkan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah
tersebut, tanah milik negara/daerah harus disertipikatkan, dan untuk memperoleh
sertifikat hak atas tanah maka harus ditempuh melalui pendaftaran tanah.
Kelengkapan bukti kepemilikan dan sertipikasi tanah, merupakan upaya
pengamanan secara hukum yang harus dilakukan oleh pemerintah pusat/daerah
sebagai pemegang aset negara/daerah atas tanah, yang juga harus diiringi dengan
pengamanan fisik yang dapat dilakukan dengan cara pemagaran atau pemasangan
tanda batas tanah. Namun demikian fakta di lapangan barang milik negara/daerah
atas tanah sebagian besar belum bersertipikat maupun belum dilengkapi bukti-
bukti kepemilikan.
Terkait aset tanah milik Pemerintah Provinsi Bali, masih ditemukan tanah
yang dikuasai oleh Pemerintah Daerah Provinsi Bali yang belum bersertipikat.
Padahal tanah merupakan salah satu jenis aset tetap yang dikuasai oleh
Pemerintah Daerah Provinsi Bali. Aset tanah tersebut dilaporkan pemerintah
dalam laporan keuangan Pemerintah Pusat/Daerah berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 sebagaimana diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Di
dalam melaporkan aset tanah tersebut, diperlukan bukti pendukung seperti bukti
hak kepemilikan dan/atau penguasaan secara hukum, misalnya sertipikat tanah.
13
Aset tanah tersebut merupakan bagian dari barang milik negara/daerah
(BMN/D) yang harus disertipikatkan atas nama Pemerintah Republik Indonesia
atau Pemerintah Daerah (Pemda) terkait berdasarkan Pasal 43 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan BMN/D. Permasalahan
ini masih terjadinya tanah Pemerintah Daerah Provinsi Bali yang belum
bersertipikat karena (1) tanah yang dikuasai pemerintah pusat/daerah tidak
didukung dokumen kepemilikan; (2) implementasi prosedur pensertipikatan tanah
pemerintah pusat/daerah tidak efektif disebabkan antara lain kementerian
negara/lembaga (K/L) belum melaksanakan juklak pensertipikatan tanah dan
masih ada perbedaan pemahaman implementasi juklak tersebut; (3) inventarisasi
tanah belum efektif disebabkan antara lain perbedaan metode pencatatan dan
ketidakakuratan data yang diinput dalam sistem informasi; dan (4) pembiayaan
pensertipikatan tanah tidak terintegrasi.
Permasalahan lainnya masih banyak adanya tanah Pemerintah Daerah
Provinsi Bali yang belum bersertipikat karena Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah hanya mengatur pendaftaran tanah untuk
masyarakat umum dan tidak ada penjelasan mengenai pendaftaran tanah yang
dikuasai oleh Pemerintah/Pemerintah Daerah (norma kabur). Pada tahun 2009
Pemerintah menerbitkan prosedur pensertipikatan tanah pemerintah dalam
Kesepakatan Bersama antara Menteri Keuangan dan Kepala Badan Pertanahan
Nasional (BPN), namun kesepakatan bersama ini bukan merupakan peraturan
perundang-undangan sebagaimana yang dimaksudkan dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
14
Peneliti tertarik untuk memilih obyek penelitian tanah negara yang dalam
hal ini tanah yang dikuasai Pemerintah Daerah Provinsi Bali dengan alasan masih
banyak tanah yang dikuasai Pemerintah Daerah Provinsi Bali yang belum
bersertipikat atau belum memiliki kepastian hukum sehingga dapat digugat oleh
pihak lainnya. Seperti misalnya kasus sertipikat Istana Tampak Siring yang
sertipikatnya terbit pada tahun 1986, sekarang digugat oleh pihak lain yang
mengaku sebagai pemilik tanah.
Alas hak tanah milik Pemerintah Daerah harus dapat dibuktikan dengan
pembuktian hak lama sebagaimana ketentuan Pasal 24 ayat (1) PP. Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yaitu:
a. Grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonnantie (S.1834-27), yang telah dibubuhi catatan, bahwa hak eigendom yang bersangkutan dikonversi menjadi hak milik, atau;
b. Grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonnantie (S.1834-27), sejak berlakunya UUPA sampai tanggal pendaftaran tanah dilaksanakan menurut PP. Nomor 10 Tahun 1961 di daerah yang bersangkutan;
c. Surat tanda bukti milik yang diterbitkan berdasarkan peraturan
swapraja yang bersangkutan, atau;
d. Sertipikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri
Agraria Nomor 9 Tahun 1959, atau;
e. Surat keputusan pemberian hak milik dari pejabat yang berwenang
baik sebelum atau sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai
kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah
dipenuhi semua kewajiban yang disebut di dalamnya, atau;
f. Petuk Pajak Bumi/Landrente, Girik, Pipil, Kikitir dan Verponding
Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun
1961, atau; g. Akta pemindahan hak yang dibuat di bawah tangan yang dibubuhi
tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dengan disertai alas hak yang dialihkan;
h. Akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau;
i. Akta ikrar wakaf/surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak
mulai dilaksanakan PP Nomor 28 tahun 1997 dengan disertai alas hak
yang diwakafkan, atau risalah yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang
15
berwenang, yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas hak
yang dialihkan, atau;
j. Surat penunjukan atau pembelian kavling tanah pengganti tanah yang
diambil oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, atau;
k. Surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dengan disertai alas hak yang
dialihkan, atau;
l. Lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, VI dan VII ketentuan-ketentuan
konvensasi UUPA.
Dalam perkembangannya perolehan tanah aset negara berdasarkan
peraturan perundangan yang berlaku sejak kemerdekaan sampai saat ini adalah
sebagai berikut:
1. Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda yang Diserahkan Penguasaannya Kepada Instansi.
2. Pengambilan Tanah Untuk Keperluan Penguasa Perang yang diserahkan Penguasaannya kepada Instansi.
3. Pembelian Tanah Untuk Keperluan Instansi Pemerintah Melalui Panitia Bijblad No.11372 Jo. 12476.
4. Tanah Negara yang Dikuasai Instansi. 5. Perolehan Tanah Aset Negara melalui Pencabutan Hak. 6. Pengambilan Tanah Milik Asing oleh Negara. 7. Pembebasan Tanah untuk Kepentingan Instansi Menurut Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2012 8. Perolehan Tanah Aset Negara Melalui Pelepasan Hak Secara Cuma-
Cuma oleh Pemiliknya.
Selanjutnya dalam Pasal 24 ayat (2) diatur pembukuan hak dalam hal tidak
atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian pemilikan tertulis,
keterangan saksi ataupun pernyataan yang bersangkutan yang dapat dipercaya
kebenarannya mengenai kepemilikan tanah yang bersangkutan, sebagai yang
disebut dalam ayat (1) di atas. Dalam hal yang demikian pembukuan haknya dapat
dilakukan tidak berdasarkan pada bukti pemilikan, melainkan pada bukti
penguasaan fisik tanahnya oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu-
pendahulunya selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut. Untuk
tanah aset negara yang bukti alas haknya tidak lengkap atau tidak ada sama sekali,
16
bukti-bukti perolehan surat permohonannya dapat dilengkapi dengan surat
pernyataan bahwa tanah secara fisik dikuasai dan sudah tercatat dalam daftar
inventarisasi dan tidak ada permasalahan dan sengketa dengan pihak lain (Pasal
51 ayat (3) Peraturan Menteri Negara Agraria Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999
tentang Tata cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak
Pengelolaan).
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka penulis
tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk tesis dengan judul ”Kajian
Yuridis Pensertipikatan Tanah yang Dikuasai oleh Pemerintah Daerah
Provinsi Bali”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas maka rumusan masalah
dalam penelitian ini diajukan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaturan pensertipikatan tanah-tanah yang dikuasai
Pemerintah Daerah Provinsi Bali?
2. Bagaimanakah prosedur pensertipikatan tanah-tanah yang dikuasai
Pemerintah Daerah Provinsi Bali?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan untuk mencari, menggali,
menghubungkan dan memprediksi suatu kejadian. Setiap penelitian hukum yang
dilakukan memiliki tujuan yang jelas dan terarah. Adapun tujuan dari penelitian
hukum ini adalah:
17
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis secara yuridis
pensertifikatan tanah yang dikuasai oleh Pemerintah Daerah Provinsi Bali.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan pensertipikatan tanah-
tanah yang dikuasai Pemerintah Daerah Provinsi Bali.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis prosedur pensertipikatan tanah-tanah
yang dikuasai Pemerintah Daerah Provinsi Bali.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
1. Memberikan sumbangan pemikiran terhadap pengembangan ilmu hukum
khususnya yang berkaitan dengan kebijakan pendaftaran tanah yang
dikuasai langsung oleh negara/daerah dalam rangka memperoleh kepastian
hak atas tanah dan perlindungan hukum.
2. Untuk dijadikan referensi bagi peneliti selanjutnya yang akan meneliti
mengenai perlindungan dan kepastian hukum atas tanah yang bukti
kepemilikannya tidak lengkap.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Hasil penelitian diharapkan menjadi bahan masukan atau pertimbangan
bagi penyusunan, pengambilan kebijakan, dalam memformulasikan
peraturan perundangan pendaftaran tanah atas tanah yang dikuasai
langsung oleh negara/daerah untuk mendapatkan perlindungan hukum atas
tanah yang dikuasai.
18
2. Sebagai pengetahuan bagi masyarakat bahwa untuk mendapatkan
kepastian dan perlindungan hukum maka tanah harus didaftarkan.
1.5 Orisinalitas Penelitian
Berdasarkan penelitian kepustakaan baik melalui perpustakaan-
perpustakaan yang ada di Kota Denpasar maupun secara online terdapat beberapa
penelitian yang berkaitan dengan pensertipikatan tanah yang dikuasai pemerintah
daerah yaitu :
1. Sri Susyanti Nur melakukan penelitian dengan judul “Aspek Hukum
Pendaftaran Tanah Aset Pemerintah Daerah”. Magister Hukum Fakultas
Hukum, Universitas Hasannuddin, 2015. Rumusan dalam penelitian ini
adalah:
a. Bagaimana status hukum tanah-tanah aset Pemerintah daerah Kota
Makassar?
b. Bagaimana sertipikasi aset berupa tanah milik Pemerintah Daerah di Kota
Makassar?
c. Bagaimana kendala yang dihadapi oleh Pemerintah Kota Makassar dalam
upaya persertipikatan aset tanah bekas milik asing/Cina dan Belanda?
Penelitian Sri Susyanti Nur dengan penelitian yang akan dilakukan memiliki
persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini sama-sama
meneliti tentang persertipikatan tanah aset pemerintah daerah. Perbedaannya
jika penelitian Sri Susyanti Nur, dilakukan di Kota Makasar, maka pada
penelitian yang akan dilakukan lokasinya di Provinsi Bali. Selain itu
penelitian Sri Susyanti Nur menggunakan metode penelitian yuridis
19
sosiologis, sedang penelitian yang dilakukan menggunakan metode penelitian
yuridis normatif.
2. Sobari melakukan penelitian dengan judul “Implementasi pendaftaran Atas
Aset Tanah Milik Negara/Milik Daerah Yang Bukti Kepemilikannya tidak
Lengkap”. Tesis pada Program Pascasarjana, Universitas Islam Bandung
tahun 2013. Rumusan dalam penelitian ini adalah :
a. Bagaimana pelaksanaan peraturan perundang-undangan pendaftaran tanah
yang berlaku saat ini dalam rangka sertipikasi tanah aset negara/daerah di
Provinsi Jawa Barat?
b. Bagaimana perlindungan hukum tanah aset negara/daerah di Provinsi Jawa
Barat yang bukti-bukti kepemilikannya tidak lengkap?
Penelitian Sobari dengan penelitian yang akan dilakukan memiliki persamaan
dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini sama-sama meneliti
tentang tanah aset pemerintah daerah yang belum bersertipikat. Perbedaannya
jika penelitian Sobari, dilakukan di Provinsi Jawa Barat, maka pada penelitian
yang akan dilakukan lokasinya di Provinsi Bali. Selain itu penelitian Sobari
menggunakan metode penelitian yuridis empiris, sedang penelitian yang
dilakukan menggunakan metode penelitian yuridis normatif.
3. Nessa Fajriyana Farda melakukan penelitian dengan judul “Pendaftaran Tanah
Aset Pemerintah Kota Padang”. Tesis pada Program Magister Ilmu Hukum,
Fakultas Hukum Universitas Andalas, 2013. Rumusan dalam penelitian ini
adalah :
a. Bagaimana kondisi fisik dan yuridis tanah aset Pemerintah Kota Padang
saat ini?
20
b. Bagaimana proses pendaftaran tanah aset Pemerintah Kota Padang?
c. Bagaimana dukungan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Padang terhadap pendaftaran
tanah aset Pemko?
Penelitian Nessa Fajriyana Farda dengan penelitian yang akan dilakukan
memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini sama-
sama meneliti tentang pendaftaran tanah aset pemerinth daerah. Perbedaannya
jika penelitian Nessa Fajriyana Farda, dilakukan di Kota Padang, maka pada
penelitian yang akan dilakukan lokasinya di Provinsi Bali. Selain itu penelitian
Nessa Fajriyana Farda menggunakan metode penelitian yuridis empiris,
sedang penelitian yang dilakukan menggunakan metode penelitian yuridis
normatif.
Berdasarkan persamaan dan perbedaan penelitian sebelumnya dengan
penelitian yang akan dilakukan seperti diuraikan di atas, maka dapat dinyatakan
bahwa penelitian yang akan dilakukan berbeda baik substansi maupun metodenya
dengan penelitian-penelitian sebelumnya.
1.6 Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran
1.6.1 Landasan Teoritis
Teori adalah asas, konsep dasar, pendapat yang telah menjadi hukum
umum sehingga dipergunakan untuk membahas suatu peristiwa atau fenomena
dalam kehidupan manusia. Menurut Bernard Arief Sidharta,19
teori hukum
merupakan teori yang secara kritis menganalisis berbagai aspek gejala hukum,
19
Bernard Arief Sidharta, 2010, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju,
Bandung, hal. 104.
21
baik dalam konsepsi teoritisnya maupun dalam kaitan keseluruhan, baik dalam
konsepsi teoritis maupun manifestasi praktis, dengan tujuan memperoleh
pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan sejernih mungkin tentang
bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis dalam kenyataan masyarakat.
Adapun teori dan konsep yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah
Teori Kewenangan, Teori Kepastian Hukum, Teori Otonomi Daerah, Teori
Pendaftaran Tanah, Teori Penguasaan Tanah, Konsep Kepemilikan Tanah dan
Pendaftaran Tanah untuk dijadikan pisau analisis dalam menjawab perumusan
masalah penelitian.
1.6.1.1 Teori Kewenangan
Teori kewenangan digunakan dalam penelitian ini dimaksudkan untuk
membahas rumusan masalah yang pertama terkait dengan kewenangan negara
untuk mengatur pensertipikatan tanah termasuk pensertipikatan yang dikuasai
oleh Pemerintah Daerah Provinsi Bali.
Wewenang (atau sering pula disebut dengan istilah kewenangan)
merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan kepada suatu jabatan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur jabatan
yang bersangkutan.20
Sjahran Basah mengemukakan bahwa kewenangan
seseorang atau badan hukum pemerintah untuk melakukan suatu tindakan
pemerintahan dapat diperoleh dari peraturan perundang-undangan baik secara
langsung (atribusi) ataupun pelimpahan (delegasi dan sub delegasi) serta atas
dasar penugasan (mandate).21
Pendapat ini juga dikemukakan oleh H.D. Van Wijk
20
Habib Hadjie, 2008, Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung, hal. 77. 21
Sjahran Basah, 1985, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di
Indonesia, Alumni, Bandung, hal.7.
22
dan Wilem Konijnenbelt yang mengklasifikasikan cara perolehan kewenangan
atas 3 (tiga) cara antara lain:
1. Atributie: “Teoleninning van een bestuursbevoegdheid door een wetgever
aan een bestuurorgaan”, atau atribusi adalah pemberian wewenang
pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan.
2. Delegatie: “Overdracht van een bevoegdheid van he teen bestuurorgan
aan een ander”, atau delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan
dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.
3. Mandate: “een bestuurorgan lat zijn bevoegdheid names hues uitoefenen
door een ander”, artinya mandat terjadi ketika organ pemerintahan
mengijinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.22
Melihat kepada ada atau tidaknya suatu peralihan kewenangan, F.A.M.
Stroink dan J.G. Steenbeek berpendapat mengenai cara peralihan wewenang pada
hakekatnya hanya melalui cara atribusi dan delegasi saja. Atribusi adalah
pembangunan kekuasaan kepada bagian instansi dan pada atribusi terjadi
pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh pembuat undang-undang
(dalam arti material kepada organ administrasi negara).
Delegasi adalah pelimpahan wewenang dari pejabat yang lebih tinggi
kepada pejabat yang lebih rendah atas dasar peraturan perundang-undangan.
Dalam hal ini suatu badan juga telah memiliki wewenang secara mandiri membuat
peraturan perundang-undangan (wewenang atribusi), menyerahkan kepada suatu
badan untuk membuat peraturan perundang-undangan atas dasar kekuasaan dan
tanggung jawabnya sendiri. Menurut Indroharto penerima wewenang atas dasar
delegasi (delegataris) dapat pula mendelegasikan wewenang yang diterimanya
dari pemberi wewenang asli (delegasi) kepada organ atau pejabat TUN lainnya.23
22
Ridwan H.R., 2003, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, hal. 45. 23
Indroharto, 1991, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Sinar Harapan, Jakarta, hal. 66.
23
Bagir Manan24
dan Irwan Yulianto25
menyatakan teori wewenang
pembentukan peraturan perundang-undangan dibedakan atas atribusi dan delegasi,
pengertian atribusi wewenang pembentukan peraturan perundang-undangan
memuat unsur-unsur :
1. Penciptaan wewenang baru untuk membuat peraturan perundang-
undangan;
2. Wewenang tersebut diberikan oleh pembentuk Undang-Undang Dasar atau
pembentuk Undang-Undang kepada suatu lembaga;
3. Lembaga yang menerima wewenang itu bertanggung jawab atas
pelaksanaan wewenang tersebut.
Sedangkan pengertian delegasi pembentukan peraturan perundang-
undangan memuat unsur-unsur :
1. Penyerahan wewenang untuk membuat peraturan perundang-undangan;
2. Wewenang itu diserahkan oleh pemegang wewenang atributif (delegans)
kepada lembaga lainnya (delegataris);
3. Lembaga yang menerima wewenang (delegataris) bertanggung jawab atas
pelaksanaan wewenang tersebut.
Wewenang atribusi dan delegasi terdapat persamaan dan perbedaan.
Persamaannya adalah lembaga yang menerima wewenang bertanggung jawab atas
pelaksanaan wewenang itu. Sedangkan perbedaannya adalah (1) pada delegasi
selalu harus didahului adanya atribusi, sedangkan pada atribusi tidak ada yang
24
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1997, Kedudukan dan Fungsi Keputusan Presiden
Sistem Perundang-undangan dan Peranannya Dalam Akselerasi Pembangunan Ekonomi, Penerbit
Alumni, Bandung, hal. 206-214. (selanjutnya disebut Bagir Manan III) 25
Irwan Yulianto, 2014, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam
Penyelenggaraan Pemerintah Negara,” Jurnal Ilmiah Fenomena, Vol. XII, No. 1, hal 1180-1181.
24
mendahului dan (2) pada atribusi terjadi pembentukan wewenang, sedangkan pada
delegasi terjadi penyerahan wewenang.26
Berkaitan dengan kewenangan menjalankan prinsip negara hukum baik
kewenangan atribusi, delegasi maupun mandat akan melahirkan pemberlakuan
asas dalam hukum Pemda baik asas desentralisasi, asas dekonsentrasi maupun
asas tugas perbantuan. Dalam desentralisasi yang merupakan penyerahan
kewenangan kepada daerah otonom dimana daerah otonom adalah hasil dari
pelimpahan kewenangan desentralisasi. Menurut Ateng Syaruddin istilah otonomi
mempunyai makna kebebasan atas kemandirian Zelfstandigheid tetapi bukan
kemerdekaaan atau onafhakelijkheid, kebebasan yang terbatas/kemandirian itu
adalah wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.27
Konsep hukum publik, wewenang merupakan konsep inti dari hukum tata
negara dan hukum administrasi negara. Tanpa adanya kewenangan yang dimiliki,
maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak dapat melaksanakan suatu
perbuatan atau tindakan pemerintahan. Menurut Donner, ada dua fungsi berkaitan
dengan kewenangan, yakni fungsi pembuatan kebijakan (policy making) yaitu
kekuasaan yang menentukan tugas (taakstelling) dari alat-alat pemerintah atau
kekuasaan yang menentukan politik negara dan fungsi pelaksanaan kebijakan
(policy executing) yaitu kekuasaan yang bertugas untuk merealisasikan politik
negara yang telah ditentukan (verwezenlijkking van de taak).28
26
S.F. Marbun, 2004, Mandat, Delegasi, Atribusi Dan Implementasinya Di Indonesia, UII
Press, Yogyakarta, hal. 109-120. 27
Ateng Syarudin, 1993, Perencanaan Administrasi Pembangunan Daerah, Mandar Maju
Bandung, hal. 1. 28
Victor Situmorang, 1989, Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara, Bina Aksara,
Jakarta, hal. 30.
25
Pelimpahan wewenang Pusat kepada Daerah, didasarkan kepada Teori
Kewenangan, yaitu pertama-tama kekuasaan diperoleh melalui attributie oleh
lembaga negara sebagai akibat dari pilihan sistem pemerintahan. Setelah
menerima kewenangan attributie (diatur dalam Undang-Undang Dasar),
kemudian dilakukan pelimpahan (afgeleid) yang dilakukan melalui dua cara, yaitu
delegatie dan mandaat. Pada delegatie hanya boleh di Sub Delegatie, dan tidak
ada Sub-sub Delegatie. Ini dilakukan karena jabatan kenegaraan dalam setiap
sistem pemerintahan, wajib dipertanggungjawabkan, sesuai dengan prinsip
pembagiannya. Untuk menentukan batas dan tanggung jawab dari masing-masing
lembaga negara ditentukan beberapa prinsip, yaitu :
1. Setiap kekuasaan wajib dipertanggungjawabkan
2. Setiap pemberian kekuasaan harus dipikirkan beban tanggung jawab untuk
setiap penerima kekuasaan
3. Kesediaan untuk melaksanakan tanggung jawab harus secara inklusif
sudah diterima pada saat menerima kekuasaan
4. Tiap kekuasaan ditentukan batasnya dengan teori kewenangan.29
1.6.1.2 Teori Kepastian Hukum
Teori kepastian hukum digunakan dalam penelitian ini untuk membahas
rumusan masalah yang kedua yaitu terkait dengan prosedur pensertifikatan tanah
yang dikuasai Pemerintah Daerah Provinsi Bali. Pensertipikatan tanah ini
dimaksudkan agar mendapat kepastian hukum. Masih terkait dengan rumusan
29
Ibrahim R., 2009, ”Hubungan Pemerintah Pusat Daerah dan Konstalasi Demokrasi di
Indonesia,” Makalah, Diskusi Panel Pada Perancangan dan Advokasi Hubungan Pusat-Daerah
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Denpasar, hal. 7.
26
masalah kedua, hambatan dalam pelaksanaan pensertipikatan tanah yang dikuasai
Pemerintah Daerah Provinsi Bali salah satunya adalah bukti kepemilikannya tidak
lengkap.
Tanah yang dikuasai Pemerintah/Pemerintah Daerah belum mempunyai
kepastian hukum bila belum disertipikatkan, apalagi kalau bukti kepemilikannya
tidak lengkap. Berdasarkan hal ini maka dalam penelitian ini digunakan Teori
Kepastian Hukum untuk menganalisis permasalahan yang pertama yaitu
menganalisis pengaturan pensertipikatan tanah-tanah yang dikuasai oleh
Pemerintah Daerah Propinsi Bali.
Kepastian hukum merupakan ciri yang tak dapat dipisahkan dari hukum,
terutama untuk norma hukum tertulis. Kepastian hukum disebut sebagai salah satu
tujuan dari hukum. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam
hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri.
Ajaran kepastian hukum berasal dari ajaran yuridis dogmatik yang
didasarkan pada pemikiran positivis di dunia hukum, melihat hukum sebagai
sesuatu yang otonom, mandiri karena hukum bagi aliran ini hanya sekumpulan
aturan. Tujuan hukum yang utama adalah kepastian hukum. Kepastian hukum
diwujudkan dengan membuat suatu aturan hukum yang bersifat umum yang
membuktikan bahwa tujuan hukum itu semata-mata untuk kepastian hukum.30
Gustav Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum
sebagai tiga ide dasar hukum atau tiga nilai dasar hukum, yang berarti dapat
dipersamakan dengan asas hukum.31
Terkait dengan kepastian hukum, Gustav
30
Achmad Ali, 2008, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis),
Ghalia Indonesia, Bogor, hal.67. 31
Gustav Radbruch, 1990, Legal Philosophy, in The Legal Philosophy of Lask, Radbruch,
Massachusetts, Harvard University Press, hal. 107.
27
Radburch mengemukakan empat hal yang mendasar berhubungan dengan
kepastian hukum, yaitu:
Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa ia adalah perundang-undangan (gesetzliches Recht). Kedua, bahwa hukum ini didasarkan pada fakta (Tatsachen), bukan suatu rumusan tentang penilaian yang nanti akan dilakukan oleh hakim, seperti”kemauan baik”, “kesopanan”. Ketiga, bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, disamping juga mudah dijalankan. Keempat, hukum positif itu tidak boleh sering diubah-ubah….”.
32
Pendapat Gustav Radburch tersebut didasarkan pada pandangannya bahwa
kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri. Kepastian hukum
merupakan produk dari hukum atau lebih khusus perundang-undangan.
Berdasarkan teori kepastian hukum yang telah diuraikan di atas, maka
penulis berpendapat bahwa dalam kepastian hukum terkandung beberapa arti,
yakni adanya kejelasan dan tidak menimbulkan salah tafsir atau multi tafsir.
Selain itu kepastian hukum juga mengandung arti tidak menimbulkan kontradiktif
dan dapat dilaksanakan.
1.6.1.3 Teori Penguasaan Tanah
Pengertian “penguasaan” dan “menguasai” dapat dipakai dalam arti fisik
dan dalam arti yuridis yang memiliki aspek perdata dan beraspek publik.
Penguasaan yuridis dilandasi oleh hak yang dilindungi oleh hukum dan memberi
kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah tertentu.
Sekalipun penguasaan yuridis memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang
secara fisik namun pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain.
Misalnya, apabila tanah yang dikuasai disewakan kepada pihak lain, maka tanah
tersebut dikuasai secara fisik oleh pihak lain dengan hak sewa.
32
Achmad Ali, op.cit., hal.293.
28
Dalam hal ini pemilik tanah berdasarkan hak penguasaan yuridisnya,
berhak untuk menuntut diserahkannya kembali tanah yang bersangkutan secara
fisik kepadanya. Dalam hukum tanah penguasaan yuridis yang tidak memberi
kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik. Kreditor
pemegang hak jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan yuridis atas tanah
yang dijadikan agunan, tetapi penguasaannya secara fisik tetap ada pada yang
mempunyai tanah. Hak penguasaan atas tanah apabila sudah dihubungkan dengan
tanah orang (badan hukum) tertentu, maka yang dimaksud dengan hak penguasaan
atas tanah adalah hak penguasaan yang didasarkan pada suatu hak maupun suatu
kuasa yang pada kenyataannya memberikan wewenang untuk melakukan
perbuatan hukum sebagaimana layaknya orang yang mempunyai hak.33
Pengertian “penguasaan” dan “menguasai” dalam Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 2
UUPA dipakai dalam aspek publik sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2
UUPA, yaitu:
(1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam
Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang
terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh
Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
(2) Hak menguasai dari Negara termasuk dalam ayat (1) pasal ini memberi
wewenang untuk :
a) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan, pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa.
b) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa.
c) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi,
air, dan ruang angkasa.
33
Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia-Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, hal. 23. (selanjutnya disebut
Boedi Harsono II).
29
(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut
pada ayat (2) ini digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejatehraan dan
kemerdekaan, berdaulat, adil dan kemakmuran dalam masyarakat dan
Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
(4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat
dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-
masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan
dengan kepentingan Nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan
Pemerintah. Peraturan hak-hak penguasaan atas tanah dalam huku
tanah yang ada sebagai lembaga hukum. Hak penguasaan tanah
merupakan suatu lembaga hukum, jika belum dihubungkan dengan
tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai pemegang haknya.
Dalam hukum tanah nasional ada bermacam-macam hak penguasaan atas
tanah, yaitu :
1) Hak Bangsa Indonesia disebut dalam Pasal 1 UUPA, sebagai hak
penguasaan atas tanah yang tertinggi, beraspek perdata dan publik.
2) Hak menguasai dari Negara yang disebut dalam Pasal 2 UUPA, semata-
mata beraspek publik.
3) Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang disebut dalam Pasal 3 UUPA,
beraspek perdata dan publik.
4) Hak Perseorangan atau Individual, semuanya beraspek perdata terdiri atas:
hak-hak atas tanah sebagai hak-hak individual yang semuanya secara
langsung atau pun tidak langsung bersumber pada hak bangsa yang disebut
dalam Pasal 16 UUPA dan Pasal 53 UUPA.
1.6.1.4 Konsep Kepemilikan Tanah
Dalam konsep hukum, hubungan antara orang dengan benda merupakan
hubungan yang disebut „Hak‟. Makna dari sebutan itu adalah hak kepemilikan
atas suatu benda yang disebut hak milik atas benda itu atau yang dikenal dengan
30
istilah „property right‟. Kata milik itu sendiri dalam makna hukum lebih
menekankan pada hak dari pada kepada bendanya.34
Pada abad 17 dan 18 dikenal
teori okupasi (occupation theory) yang menyatakan bahwa individu memiliki hak
dan mengalihkannya karena adanya hak alamiah/kodrati dari individu tersebut.
Teori ini yang digunakan sebagai landasan filosofis, politik, ekonomi tentang hak
milik. Teori ini pencetusnya John Locke, dikenal dengan nama Labour Theory,
berdasarkan teori hukum alam (Natural Law Theory). John Locke menyatakan
keberadaan milik pribadi sudah ada jauh sebelum adanya negara dan bebas dari
hukum yang diatur oleh negara, mengingat hak kepemilikan adalah hak
alamiah/kodrati, atau yang dikenal dengan prinsip-prinsip keadilan hukum alam.
Dalam hubungannya dengan hak milik atas tanah melalui suatu proses
yang dilalui yaitu proses penguasaan, dan dalam hukum barat dikenal dengan
istilah possession dan berbeda dengan ownership. Dalam kamus hukum,
possession (Inggris) atau Posesio (Latin) atau Bezit (Belanda), diartikan sebagai
kepunyaan. Namun, istilah possession lebih diartikan kepada pendudukan secara
fisik dan adanya niat memiliki dengan itikad baik, maka hak menguasai itu harus
didahului dengan tindakan pendudukan/menduduki untuk memperoleh
penguasaan dan pada batas waktu tertentu akan menjadi miliknya.35
Teori kepemilikan tanah dikembangkan dari sumber dua dalil pokok atau
postulasi dasar teori Hukum Pertanahan Adat Indonesia (beschikkingsrecht).
Pertama, adalah dalil pokok yang mengatakan bahwa: “hanya warga masyarakat
hukum sajalah yang dapat menjadi pemilik penuh atas tanah dalam lingkungan
34
Muchtar Wahid, 2008, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah, Cetakan I,
Penerbit Republika, Jakarta, hal. 43. 35
Ibid, hal. 46-47.
31
wilayah kekuasaan hukum masyarakatnya”. Dalil kedua, adalah pada ajaran serta
pertumbuhan hak atas tanah maupun hubungan keagrariaan adat.36
Pertumbuhan dan struktur hak atas tanah yang berhak dimiliki oleh setiap
orang yang menjadi anggota warga masyarakat hukum. Hak mana, ditentukan
oleh pengaruh lamanya waktu penguasaan dan pendudukan oleh orang yang
berkehendak mempunyai sesuatu hak atas tanah dan hubungan keagrariaannya.
Maka hak atas tanah dalam hukum adat, terbagi dalam dua jenis yaitu hak atas
tanah yang bersifat tetap, dan hak atas hubungan keagrariaan atau hak agraria,
yang bersifat tidak tetap atau sementara.
Hak sementara, adalah hak yang masih sangat kuat dipengaruhi oleh hak
kekuasaan masyarakat, sehingga hak perorangannya masih sangat lemah. Jenis-
jenis hak ini digolongkan sebagai hak atas hubungan keagrariaan atau hak
disingkat hak agraria saja. Maka hak agraria, terdiri atas hak wenang pilih,
terdahulu, dan menikmati hasil tanah. Adapun hak tetap, adalah hak yang lebih
kuat yang dipunyai seorang secara pribadi dalam hal ini hak kekuasaan
masyarakat sudah menjadi sangat lemah, tetapi tidak pernah sama sekali lenyap.
Hak tetap inipun terbagi dalam dua jenis yaitu hak pakai dan hak milik. Kedua
jenis hak atas tanah yang tetap inipun, tidak pernah lepas dari hak kekuasaan
masyarakat untuk menjadi sepenuhnya hak perorangan individual. Karena disaat
orang melepaskan haknya, maka hak kekuasaan masyarakat kembali tumbuh
dengan kuat dan penuh atas tanah yang pernah dimiliki seseorang, sehingga
pengurus masyarakat hukum bisa bebas memberikan kepada warga masyarakat
36
Herman Soesangobeng, 2012, Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanhan, dan
Agraria, STPN Press, Yogyakarta, hal. 232.
32
hukum lainnya yang membutuhkan. Hakekat konsep keabadian hubungan
kekuasaan masyarakat hukum inilah yang merupakan sumber lahirnya norma
tentang „fungsi sosial‟-nya hak atas tanah.37
Hak atas tanah yang bersifat tetap itu pun, dibedakan antara hak tetap yang
belum sepenuhnya penuh dan kuat sebagai hak perorangan, dan yang sudah sangat
penuh dan kuat sehingga disebut „terkuat dan terpenuh‟. Hak tetap yang belum
sepenuhnya penuh dan kuat, disebut „hak pakai‟; sementara hak tetap yang sudah
sangat penuh dan kuat sebagai hak perorangan, disebut „hak milik‟. Kedua jenis
hak tetap ini, bisa dipunyai baik oleh seorang individu maupun kelompok sebagai
hak perorangan dan hak bersama oleh keluarga maupun masyarakat hukum yang
disebut „hak bersama‟. Konsep hukum „kuat dan penuh‟ dalam hukum adat itu,
menggambarkan makna hukum, bahwa sebagai organisasi kekuasaan masyarakat,
masyarakat hukum tidak memiliki hak untuk mencabut hak milik
perorangan/individu. Dasar filosofi, asas dan ajaran hukumnya, adalah karena
masyarakat hukum adat, bukanlah pemilik tanah tertinggi sehingga tidak memiliki
kekuasaan hukum yang disebut „right of emminens domain‟, yang ada dalam
hukum perdata Belanda (BW/KUHPInd.).
1.6.1.5 Konsep Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah, merupakan amanat dari Pasal 19 Undang-Undang
Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960. Lembaga pendaftaran tanah dalam sejarah
pertanahan di Indonesia dan yang berlaku secara nasional adalah dengan
berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961. Peraturan Pemerintah
ini kemudian disempurnakan dengan munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 24
37
Ibid, hal. 233.
33
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Lembaran Negara Nomor 59 Tahun 1997
tanggal 8 Juli 1997 dan baru berlaku tanggal 8 Oktober 1997 (Pasal 66).
Pengertian Pendaftaran Tanah di dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah adalah :
“Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus-
menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan,
pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan
data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah
dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian sertifikat sebagai
surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya
dan hak milik satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang
membebaninya.”
Pengumpulan keterangan atau data dimaksud meliputi:38
a. Data fisik, yaitu mengenai tanahnya: lokasinya, batas-batasnya, luasnya
bangunan dan tanaman yang ada di atasnya;
b. Data Yuridis, yaitu mengenai haknya: haknya apa, siapa pemegang haknya,
ada atau tidak hak pihak lain di atasnya;
Menyangkut cara pendataran tanah dilakukan dengan dua cara yaitu :
a. Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah yang
dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah
yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu
desa/kelurahan. Pendaftaran tanah secara sistematik diselenggarakan atas
prakarsa pemerintah berdasarkan pada suatu rencana kerja jangka panjang
dan tahunan serta dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh
Menteri Negara Agraria/Kepala BPN. Dalam hal suatu desa/kelurahan
belum ditetapkan sebagai wilayah pendaftaran tanah secara sistematik,
pendaftarannya dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sporadik.39
38
Boedi Harsono II, op.cit, hal.73. 39
Boedi Harsono II, op.cit, hal.75.
34
b. Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk
pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam
wilayah atau bagian wilayah suatu desa/ kelurahan secara individual atau
massal. Pendaftaran tanah secara sporadik dilaksanakan atas permintaan
pihak yang berkepentingan, yaitu pihak yang berhak atas obyek
pendafataran tanah yang bersangkutan dan kuasanya.
Dalam menyelenggarakan hak atas tanah dikenal dua asas, yaitu :40
1) Asas Spesialis
Asas spesialitas ini dapat kita lihat dengan adanya data fisik. Data fisik
tersebut berisi tentang luas tanah yang menjadi subyek hak, letak tanah
tersebut, dan juga penunjukkan batas-batas secara tegas.
2) Asas publisitas
Asas publisitas ini tercermin dari adanya data yuridis mengenai hak atas
tanah seperti subyek hak nama pemegang hak atas tanah, peralihan hak
atas tanah serta pembebanannya.
Tentang fungsi Pokok dari pendaftaran tanah ialah, untuk memperoleh alat
pembuktian yang kuat tentang sahnya perbuatan hukum tertentu, pendaftaran
mempunya fungsi lain, yaitu untuk memenuhi sahnya perbuatan hukum itu.
Artinya, tanpa dilakukan pendaftaran, perbuatan hukum itu tidak terjadi dengan
sah menurut hukum.41
Manfaat dari Pendaftaran tanah yang kita lakukan antara lain:42
40
Boedi Harsono II, op.cit, hal.78. 41
Irawan Soerojo, 2002, Kepastian Hukum hak Atas Tanah Di Indonesia, Arloka,
Surabaya, hal. 172. 42
Ibid, hal. 172.
35
a. Bagi Masyarakat
1) Mendapatkan jaminan kepastian hukum bagi pemegang sertipikat hak
atas tanah mengindari adanya perselisihan perselisihan tentang masalah
pertanahan yang biasanya timbul pada masyarakat pedesaan, masalah
batas tanah dapat juga menimbulkan pertengkaran. Dengan adanya
sertipikat yang menjadi bukti kepemilikan hak atas tanah yang memuat
data yuridis dan data teknik mengenai hak atas tanah pertengkaran
tersebut dapat dicegah atau pun dihindari.
2) Memberi kemudahan kepada pihak-pihak yang memerlukan data-data
tentang tanah yang telah didaftarkan di Badan Pertanahan Nasional.
b. Bagi Pemerintah
1) Terselenggaranya tertib administrasi pertanahan, sehingga diperlukan
data-data tanah yang sudah didaftarkan pemerintah dapat diperoleh
dengan cepat.
2) Meningkatkan pendapatan Negara dari pemasukan Negara lain melalui
pendaftaran.
3) Meningkatkan pendapatan Negara dari sektor pajak (pajak bumi dan
bangunan).
Selanjutnya tujuan pendaftaran tanah, menurut Pasal 3 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah :43
a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada
pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak
lain yang terdaftar, agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya
sebagai pemegang hak yang bersangkutan. Untuk itu kepada pemegang
haknya diberikan sertifikat sebagai surat tanda buktinya.
43
Boedi Harsono II, op.cit, hal.72.
36
b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan,
termasuk Pemerintah, agar dengan mudah dapat memperoleh data yang
diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang
tanah dan satuan satuan rumah susun yang sudah terdaftar.
c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Tujuan pendaftaran tanah juga untuk menghimpun dan menyediakan
informasi yang lengkap mengenai bidang-bidang tanah dipertegas dangan
dimungkinkannya menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah, pembukuan bidang-bidang tanah yang data fisik atau data
yuridisnya belum lengkap atau masih bersengketa, walaupun untuk tanah-tanah
yang demikian belum dikeluarkan sertipikat tanda bukti haknya.
Dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada pemegang hak atas
tanah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah dijelaskan juga sejauh mana kekuatan pembuktian sertipikat yang
dinyatakan sebagai alat bukti yang kuat oleh Undang-Undang Pokok Agraria.
Kegiatan pendaftaran tanah berdasarkan PP No. 24 Tahun 1997 jo PP No.
10 Tahun 1961 meliputi kegiatan : (a) Pengumpulan dan pengolahan data fisik;
(b) Pembuktian hak dan pembukuannya; (c) Penerbitan sertipikat; (d) Penyajian
data fisik dan data yuridis; dan (e) Penyimpanan daftar umum dan dokumen. Hak
atas tanah yang harus didaftarkan.
Pendaftaran Tanah Untuk Pertama Kali (initial registration). Kegiatan
pendaftaran yang dilakukan terhadap obyek pendaftaran tanah yang belum
terdaftar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1960 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang terdiri atas :
a. Pengumpulan dan pengolahan data fisik;
b. Pengumpulan dan pengolahan data yuridis serta pembukuan hak-haknya;
37
c. Penerbitan sertipikat;
d. Penyajian data fisik dan data yuridis; dan
e. Penyimpanan daftar umum dan dokumen.
Pendaftaran untuk pertama kali dilakukan melalui pendaftaran secara
sistematik dan secara sporadik. Pendaftaran sistematik dilakukan atas prakarsa
dan biaya Badan Pertanahan Nasional (pemerintah) dimana lokasi tanah tersebut
berada, waktu penyelesaian dan pengumuman lebih singkat serta dibentuk panitia
yang beranggotakan pegawai-pegawai Badan Pertanahan Nasional.
Pendaftaran tanah secara sporadik dilaksanakan atas prakarsa, biaya dan
lokasi ditentukan oleh pemilik tanah sendiri. Waktu penyelesaian dan
pengumuman lebih lama. Dalam hal ini tidak dibentuk panitia pendaftaran.
Pendaftaran tanah secara sporadik merupakan kegiatan pendaftaran tanah untuk
pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek tanah dalam wilayah atau bagian
wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau masal.
1.6.2 Kerangka Pemikiran
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian dan landasan teoritis,
maka dapat digambarkan kerangka pemikiran sebagai berikut:
38
Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
mengatur aset negara termasuk aset Pemerintah/Pemerintah Daerah yang berupa
tanah harus disertipikatkan. Aset tanah yang dikuasai negara/daerah (BMN/D)
harus disertipikatkan atas nama Pemerintah Republik Indonesia atau Pemerintah
Daerah (Pasal 43 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan BMN/D). Menurut Pasal 19 UUPA sertipikat tanah bisa diperoleh
melalui pendaftaran tanah. Sertipikat tanah ini bisa menjamin adanya kepastian
hukum bagi pemilik tanah yang bisa orang perorangan atau
Pemerintah/Pemerintah Daerah. Permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah
Daerah Provinsi Bali, masih banyak tanah yang dikuasai Pemerintah Daerah
UU No.1/2004 tentang
Perbendaharaan Negara
Aset tanah yang dikuasai
Pemerintah Daerah harus
disertipikatkan (Pasal 43 ayat
(1) PP No.27 Tahun 2014)
UUPA
Pasal 19 UUPA
Bukti kepemilikan
tidak lengkap
Kepastian Hukum
UU No.24/1997
tentang Pendaftaran
Tanah
Kajian Yuridis Pensertipikatan Tanah yang Dikuasai oleh Pemerintah
Daerah Provinsi Bali
Aset Pemerintah/Pemerintah
Daerah
Pendaftaran
Tanah
Sertipikat
Tanah
Aset Negara
39
Provinsi Bali yang bukti kepemilikannya tidak lengkap. Oleh karena itu penelitian
ini bermaksud menganalisis kajian yuridis pensertipikatan tanah yang dikuasai
oleh Pemerintah Daerah Provinsi Bali, yang rumusan masalahnya (1)
Bagaimanakah pengaturan pensertipikatan tanah-tanah yang dikuasai Pemerintah
Daerah Provinsi Bali?; dan (2) Bagaimanakah prosedur pensertipikatan tanah-
tanah yang dikuasai Pemerintah Daerah Provinsi Bali?. Adapun metode penelitian
yang digunakan merupakan metode penelitian hukum normatif dengan
menggunakan Teori Kewenangan, Teori Kepastian Hukum dan Teori Penguasaan
Tanah. Hasil penelitian menunjukkan Daerah Provinsi Bali tidak dapat menguasai
tanah dengan status Hak Milik. Semua tanah yang dikuasai Pemerintah Daerah
Provinsi Bali berstatus tanah negara. Pensertipikatan tanah-tanah ini merupakan
pemberian Hak Pakai dan/atau Hak Pengelolaan. Jadi, pensertipikatan tanah-tanah
yang dikuasai Pemerintah Daerah Provinsi Bali berarti pemberian Hak Pakai
dan/atau Hak Pengelolaan yang dibukukan pada Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota dimana tanah tersebut berada. Selanjutnya rekomendasi yang
dapat diberikan antara lain Pemerintah Daerah Provinsi Bali agar meningkatkan
koordinasi dan menyamakan pemahaman pendaftaran aset Pemerintah Daerah
yang berupa tanah dengan lembaga-lembaga yang terkait, utamanya Direktorat
Jenderal Kekayaan Negara di Provinsi Bali dan Badan Pertanahan Nasional.
1.7 Metode Penelitian
1.7.1 Jenis Penelitian
Berangkat dari adanya norma kabur yaitu belum secara jelas diatur
pensertifikatan tanah yang dikuasai Pemerintah/Pemerintah Daerah dalam
peraturan perundang-undangan, maka dalam penelitian ini digunakan jenis
penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif (normative legal research)
40
merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji peraturan perundang-
undangan yang berlaku atau diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum
tertentu. Penelitian normatif seringkali disebut dengan penelitian doktrinal, yaitu
penelitian yang objek kajiannya adalah dokumen peraturan perundang-undangan
dan bahan pustaka.44
Penelitian hukum normatif juga disebut penelitian yang
difokuskan untuk mengkaji kaidah-kaidah atau norma dalam hukum positif.45
Dalam peneltian normatif hukum dipandang identik dengan norma-norma tertulis,
yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang dan
meninjau hukum sebagai suatu sistem normatif yang otonom, mandiri, tertutup
dan terlepas dari kehidupan masyarakat nyata.46
Untuk menunjang pemecahan permasalahan maka dalam penelitian hukum
normatif yang akan dilakukan ditunjang dengan fakta mengenai tanah yang
dikuasai Pemerintah Daerah Provinsi Bali yang sudah bersertipikat dan belum
bersertipikat.
1.7.2 Jenis Pendekatan
Pendekatan (apprach) yang digunakan dalam suatu penelitian normatif
akan memungkinkan seorang peneliti untuk memanfaatkan hasil-hasil temuan
ilmu hukum dan ilmu-ilmu lain untuk kepentingan analisis dan eksplanasi. Dalam
kaitannya dengan penelitian normatif dapat digunakan beberapa pendekatan
yaitu:47
44
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenida Media, Jakarta, hal.
34. 45
Johny Ibrahim, 2012, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia,
Malang, hal. 295. 46
Ronny Hanitijo Soemitro, 2008, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Alumni,
Jakarta, hal 13-14. 47
Johnny Ibrahim, op.cit, hal. 300-301.
41
1. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach).
2. Pendekatan Konsep (conceptual approach).
3. Pendekatan Fakta (fact approach).
4. Pendekatan Perbandingan (comparative approach).
5. Pendekatan Historis (historical approach).
6. Pendekatan Filsafat (philosophical approach).
7. Pendekatan Kasus (case approach).
Pendekatan-pendekatan tersebut dapat digabung sehingga dalam suatu
penelitian hukum normatif dapat saja menggunakan dua pendekatan atau lebih
yang sesuai. Metode pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah metode
pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep
(conceptual approach), pendekatan sejarah (historis approach) dan pendekatan
fakta (fact approach), mengingat permasalahan yang diteliti adalah mengenai
kajian yuridis pensertipikatan tanah yang dikuasai oleh Pemerintah Daerah
Provinsi Bali.
1.7.3 Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian hukum normatif
adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier,
yang diuraikan sebagai berikut:48
1. Sumber Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,
yang berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
permasalahan yang akan dikaji, terdiri dari:
48
Peter Mahmud Marzuki, op.cit, hal. 34.
42
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (selanjutnya disebut Undang-Undang Pokok Agraria,
disingkat UUPA) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960
Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
2117).
c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara.
d. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.
e. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996
tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas
Tanah.
f. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3969).
g. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2005
sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
h. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006
tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
43
i. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2014
tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
j. Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas
Tanah Negara dan Kebijaksanaan Selanjutnya.
k. Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
9 Tahun 1999 tentang Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas
Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang menjelaskan bahan hukum
primer, seperti: hasil penelitian, jurnal ilmiah, hasil seminar atau
pertemuan ilmiah lainnya, bahkan menurut Ronny Hanitijo Soemitro,
dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum termasuk
dalam bahan hukum sekunder ini sepanjang relevan dengan objek kajian
penelitian hukum ini.49
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi
petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,
seperti kamus hukum,50
Surat kabar, majalah mingguan, bulletin dan
internet juga dapat menjadi bahan bagi penelitian ini sepanjang memuat
informasi yang relevan dengan objek kajian penelitian hukum ini.51
49
Ronny Hanitijo Soemitro, op.cit, hal. 24. 50
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan
Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. hal. 14-15. 51
Jay A. Sieglar dan Benyamin R. Beede, 2007, The Legal Souyrces of Public Policy,
Lexington Books, Massachussets, Toronto, hal. 23.
44
1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam pengumpulan bahan hukum ini harus ditegaskan permasalahan
mengenai jenis, sifat dan kategori bahan hukum serta perlakuan terhadap bahan
hukum yang dikumpulkan. Tujuannya agar pengumpulan data dan penganalisaan
terhadap data dapat sesuai dengan tujuan dari penelitian.
Teknik pengumpulan bahan hukum yang akan digunakan adalah studi
pustaka atau studi dokumen yaitu mengumpulkan data sekunder mengenai obyek
penelitian yang berupa bahan-bahan hukum bersifat normative-perspektif,
dilakukan dengan cara penelusuran, pengumpulan bahan hukum mengenai objek
penelitian, baik secara konvensional maupun dengan menggunakan teknologi
informasi seperti internet, dan lain-lain.
Selain itu juga dilakukan pengumpulan data yang bersifat empiris yaitu
data mengenai tanah yang dikuasai Pemerintah Daerah Provinsi Bali yang sudah
bersertipikat dan belum bersertipikat.
1.7.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Data yang diperoleh, dikelompokkan dan disusun secara sistematis dan
untuk selanjutnya data tersebut dianalisis, secara analisis kualitatif. Yang
dimaksud analisis kualitatif, yaitu analisis yang berupa kalimat dan uraian.52
Metode yang digunakan adalah analisis yuridis, yaitu analisis yang mendasarkan
pada teori-teori, konsep dan peraturan perundang-undangan. Setelah itu data yang
52
Achmad Ali, op.cit, hal. 188.
45
diperoleh disusun secara sistematis dan untuk selanjutnya analisis kualitatif
dipakai untuk mencapai penjelasan yang dibahas.
Penggunaan teori-teori (dan konsep-konsep, penelitian) dalam menafsirkan
hasil analisis bahan-bahan hukum bersifat normatif-prespektif, bertujuan
menghasilkan, menstrukturkan dan mensistematisasi teori-teori yang menjadi
dasar untuk pengambilan kesimpulan,53
sehingga tujuan akhir penelitian hukum
ini dapat tercapai, yaitu ditemukannya jawaban permasalahan mengenai kajian
yuridis pensertipikatan tanah yang dikuasai oleh Pemerintah Daerah Provinsi Bali.
53
M. van Hoecke, dalam Bernard Arief Sidharta, 2001, Refleksi tentang Struktur Ilmu
Hukum, Mandar Maju, Bandung, hal. 154-155.