bab i pendahuluan 1.1. latar...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Dermatofitosis adalah mikosis superfisialis yang banyak ditemukan di negeri tropis
yang beriklim panas dan lembab seperti Indonesia (Kusmarinah, 2009; Adiguna 2013). Di
Jawa Barat Bramono dan kawan kawan melaporkan dermatofitosis di daerah rural dengan
penyebab utama Trichophyton rubrum, sedangkan di Samarinda Kalimantan Timur (2009-
2010), dijumpai bahwa dermatomikosis menduduki tempat ke-2 dari 10 besar penyakit kulit
dan kelamin, dan dermatofitosis merupakan infeksi terbanyak. Tipe klinis dermatofitosis
yang paling banyak ditemukan adalah tinea kruris (41,46%), umumnya laki-laki (54,88%)
dengan penyebab utama T. rubrum. Dermatofitosis di Kalimantan Timur ditemukan di
daerah rural maupun urban, di kalangan pekerja industri tambang batubara, supir, pelajar,
mahasiswa dan golongan masyarakat lain (Kardhani, 2009).
Infeksi T. rubrum merupakan infeksi kronik, sering kambuh dan sulit disembuhkan.
Keadaan tersebut mengganggu kualitas hidup penderita, menganggu usaha mencari nafkah,
menimbulkan masalah ekonomi yang berkaitan dengan biaya pengobatan dan kemungkinan
resistensi jamur terhadap obat (Yang et al., 2007). T. rubrum adalah penyebab utama
dermatofitosis di Indonesia (Kusmarinah, 2008; Kusmarinah, 2009). Jamur tersebut
bersifat antropofilik, sehingga mudah ditularkan dari orang ke orang dan
menyebabkan infeksi kronik yang sulit disembuhkan. Berdasarkan lokalisasinya, infeksi
Trichophyton rubrum dikenal sebagai tinea kruris, tinea fasialis, tinea korporis, tinea pedis
2
dan tinea unguium. T. rubrum termasuk kapang yang pada medium agar sabouraud dekstrosa
(ASD), tumbuh sebagai koloni filamen berwarna putih-krem, seperti beledu, membentuk
pigmen merah sampai coklat yang dengan mudah dapat dilihat pada sisi belakang koloni.
Kemampuan membentuk pigmen tersebut merupakan salah satu tanda yang memudahkan
identifikasi.
Besarnya permasalahan dermatofitosis yang disebabkan T. rubrum baik menyangkut
klinis maupun ekonomi tidak diimbangi oleh pengetahuan yang cukup tentang biologi jamur
dan respons pejamu. Pemahaman tentang biologi jamur dan hubunganya dengan respons
pejamu akan memperbaiki cara pencegahan maupun pengobatan, sehingga masalah klinis
maupun beban ekonomi dapat dikurangi. Beberapa penelitian menghubungkan infeksi
kronik T. rubrum dengan golongan darah. Infeksi yang disebabkan dermatofit banyak
ditemukan pada golongan darah A dan O (Balajee et al., 1996), sedangkan infeksi kronik
karena T. rubrum dihubungkan dengan golongan darah A (Vilani-Moreno et al., 1999). Pada
golongan darah A ditemukan isoantigen yang mirip dengan glikoprotein yang ditemukan
pada dinding sel T. rubrum yang agaknya berhubungan dengan kronisitas infeksi (Zaini et
al., 2000). Sebaliknya Neering (1979) menyatakan tidak terdapat hubungan antara golongan
darah dan kronisitas infeksi T. rubrum.
Ketidakjelasan itu melahirkan gagasan untuk mempelajari sistem lain yang
mengatur respons imun tubuh terhadap antigen, yakni sistim human leucocyte antigens
(HLA) yang ditemukan dalam darah dan jaringan. Sistem HLA merupakan sitem genetik
yang paling polimorfik jika dibandingkan dengan sistem genetik lain, misalnya sistem ABO.
Keberhasilan sistem ini akan memberikan kekebalan pada penyakit, sebaliknya kegagalan
sistem ini akan menimbulkan penyakit. Peran sistim HLA pada infeksi T. rubrum masih
3
belum jelas. Sebagian peneliti menyatakan tidak ada hubungan antara infeksi T. rubrum dan
aktivitas HLA (Svejgaard et al., 1983), tetapi peneliti lain menyatakan HLA-A 26 dan
HLA-A33 ditemukan dengan kadar tinggi pada pasien dermatofitosis kronik pada kaki
(Ahmed et al., 1985). Selanjutnya menurut Zaitz et al (1996) menyatakan HLA-DR52
ditemukan pada penderita onikomikosis sedangkan HLA-DR53 ditemukan pada kontrol
sehat. Studi pada kelompok Yahudi Askenazic di Brazil (2004) ditemukan HLA-A dan
HLA-C sering terlihat pada pasien dengan dermatofitosis T. rubrum sementara pada
kelompok kontrol lokus B HLA kelas I, HLA-B 14 lebih sering ditemukan. Peneliti yang
sama juga menemukan bahwa gen pada kromosum 6 regio MHC atau HLA mempengaruhi
terjadinya dermatofitosis kronik (Sadahiro et al., 2004). Studi lain menunjukkan terdapat
pengaruh aktivitas genetik yang berhubungan dengan kerentanan untuk mendapatkan infeksi
kronik T. rubrum. Ditemukan hubungan HLA-DR6 dengan meningkatnya resistensi
terhadap T. rubrum pada kasus onikomikosis di kalangan Mestizos di Meksiko (Asz-Sigall
et al., 2010).
Hubungan antara polimorfisme HLA-DR-infeksi kronik T. rubrum dengan golongan
darah tidak dapat dilakukan secara langsung karena HLA hanya terdapat pada sel yang
berinti. Gen HLA/MHC terletak pada kromosom 6, sedangkan gen yang berkaitan dengan
golongan darah terdapat pada kromosom 9. Untuk mengatasi hal itu dapat dilakukan
pendekatan tidak langsung untuk mengetahui hubungan polimorfisme HLA dan golongan
darah dengan infeksi kronik T. rubrum.
Indonesia memiliki banyak suku yang berbeda di tiap wilayah. Perbedaan suku
tersebut tercermin dalam polimorfisme HLA. Panigoro (1998) mempelajari 10 etnik yaitu
Batak, Minang-Palembang, Jawa, Dayak, Bali, Minahasa, Makassar, Timor, Maluku dan
4
Irian, dan mengidentifikasi 32 alel HLA-DRBI, yakni 5 alel HLA-DRB3, 6 HLA-DRB5 dan
16 HLA-DQB1, dan tiga alel baru yang diberi nama oleh Komite Nomenklatur WHO yaitu
HLA-DRB1*1431, HLA-DRB1*0819 dan HLA-DRB3*0303. Frekuensi alel-alel HLA-DR
di kepulauan Indonesia didominasi oleh bertambahnya HLA-DR15 secara bermakna dari
barat ke timur, diikuti oleh berkurangnya frekuensi HLA-DR12 serta bertambahnya
frekuensi HLA-DR11.Perbedaan frekuensi DR, DRB1 dan DQB1 yang bermakna
menyimpulkan 10 kelompok etnik secara genetis yang telah disebut di atas,
(Panigoro,1998). Studi tersebut dapat dihubungkan dengan kronisitas infeksi T.rubrum.Oleh
karena itu perlu dilakukan penelitiaan apakah kronisitas berhubungan dengan HLA tertentu
atau apakah HLA tertentu khususnya HLA-DRB1( HLA-DR4 dan HLA-DR6) merupakan
faktor risiko infeksi T.rubrum? Selain itu perlu diteliti apakah golongan darah juga
merupakan faktor risiko infeksi T.rubrum.
1.2. Perumusan Masalah
1. Apakah terdapat hubungan antara polimorfisme HLA-DR4 dengan terjadinya
dermatofitosis kronik karena T. rubrum?
2. Apakah terdapat hubungan antara polimorfisme HLA-DR6 dengan terjadinya
dermatofitosis kronik karena T. rubrum?
3. Apakah terdapat hubungan antara golongan darah ABO (DR4) dengan terjadinya
dermatofitosis kronik karena T. rubrum ?
4. Apakah terdapat hubungan antara golongan darah ABO (DR6) dengan terjadinya
dermatofitosis kronik karena T. rubrum ?
5
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan untuk mengungkapkan:
1. Hubungan antara polimorfisme HLA-DR4 pada gen kromosom 6 dengan kasus
sebagai faktor risiko terjadinya dermatofitosis kronik karena T. rubrum.
2. Hubungan antara polimorfisme HLA-DR6 pada gen kromosom 6 dengan kasus
sebagai faktor risiko terjadinya dermatofitosis kronik karena T. rubrum.
3. Hubungan antara golongan darah ABO (DR4) dengan kasus sebagai faktor risiko
terjadinya dermatofitosis kronik karena T. rubrum.
4. Hubungan antara golongan darah ABO (DR6) dengan kasus sebagai faktor risiko
terjadinya dermatofitosis kronik karena T. rubrum.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat praktis
Hasil penelitian ini akan memberi informasi dan edukasi kepada masyarakat,
penderita maupun keluarga bahwa dermatofitosis kronik karena T. rubrum berhubungan
dengan faktor genetik (polimorfisme HLA) dan golongan darah tertentu sebagai faktor
risiko terjadi penyakit tersebut. Informasi ini dapat dignakan untuk pencegahan dengan
menghindari faktor-faktor pencetus agar penyakit tersebut tidak sering kambuh.
1.4.2 Manfaat teoritis
a. Bagi peneliti
Untuk memacu penelitian lanjut bagi peneliti- peneliti. Studi-studi yang berhubungan
dengan HLA, golongan darah ABO dengan dermatofitosis kronik karena T. rubrum.
6
b. Bagi institusi
Untuk pendidikan kedokteran pada umumnya dermatologi dan mikologi pada
khususnya, bagaimana hubungan antara polimorfisme HLA-DR4, HLA-DR6 dengan kasus
dermatofitosis kronik maupun golongan darah ABO ( secara fenotip) dalam kaitan risiko
terjadinya dermatofitosis kronik karena T. rubrum. Peneltian ini diharapkan dapat sebagai
sumbangsih bagi dunia mikologi mengenai imunologi dermatofitosis kronik karena T.
rubrum.
1.5. Keaslian penelitian
Penelitian ini adalah studi kasus-kontrol dengan subjek penelitian etnik/suku
masyarakat Samarinda polimorfisme HLA-DR4, HLA-DR6 dengan kasus juga hubungan
antara golongan darah ABO dengan kasus, kaitannya sebagai faktor risiko terjadinya
dermatofitosis kronik karena T. rubrum pada populasi di Samarinda propinsi Kaltim,
Indonesia. Studi semacam ini, meskipun tidak banyak, telah dilakukan di beberapa negara,
yaitu Hubungan antara polimorfisme HLA dengan dermatofitosis karena T rubrum.
(Svejgaard et al., 1983), HLA-26 dan HLA-A33 (Ahmed et al., 1985), HLA-DR 52, HLA-
DR53 (Zait et a.,l 1996), HLA-A, HLA-C, HLA-B14 (Sadahiro et al., 2004), HLA-DR6 dan
HLA-DR4.( Asz-Sigall et al., 2010)
7
Tabel 1.1. Penelitian hubungan HLA dengan dermatofitosis karena T. rubrum
Peneliti Judul Jumlah subjek Hasil Keterangan
Svejgaard et al.,
1983.Acta
Dernatovener.
HLA studies in chronic
dermatophytosis caused by
T.rubrum
HLA-ABC (34)
HLA-DR (28)
pada pasien
Tidak ada perbedaan
distribusi antara pasien
dan kontrol
Tidak signifikan
Ahmed et al., 1985
Clin,Exp,Derm.
A preliminary report on the
role of some immunologic
factors in persistence of
chronic tinea pedis
29 pasien dan 558
kontrol
HLA-A26
HLA-A33
HLA-A26
HLA-A33
(metode
microcytotoxicity
assay)
Zait et a.,l 1996
Int,J,Dernatol.
HLA-Associated
susceptibility to chronic
onychomycosis in Brazilian
Ashkenazic Jews/
Pasien dan kontrol Onychomycosis
Frekuensi meninggi
pada HLA-DR 52,
HLA-DR53 pada
kontrol
HLA-DR 52 (pasien)
HLA-DR 53 (kontrol)
Sadahiro et al.,
2004.
Braz.J.Microbiol.
HLA in Brazilian
Ashkenazic Jews with
chronic dermatophyrosis
caused by Trichophyton
rubrum
25 pasien dan 25
kontrol
HLA-B14 p<0,05
DQB1*06
p=0.05(Susceptibility)
HLA-B14 signifikan,
DQB1*06
susceptibilitas
Asz-Sigall et al.,
2010.International
journal of
Dermatology.
HLA-DR6 association
confers increased resistance
to T.rubrum
onychomycosis in Mexican
Mestizos
21 cases
42 kontrol
HLA-DR6 ditemukan
signifikan (1 posisi)
HLA-DR4( proteksi
terhadap
onikomikosis)
HLA-DR6( proteksi
terhadap
onikomikosis).
Keterangan: Sejarah penelitian HLA ini mulai dari tungkat Molekul HLA kemudian tingkat Gen
Hubungan antara golongan darah dengan dermatofitosis karena dermatofit. Banyak
ditemukan pada golongan darah A dan O ( Balajee et al., 1996 ) juga, hubungan antara
golongan darah dengan dermatofitosis kronik karena T. rubrum yaitu ditemukan isoantigen
dinding sel jamur yang mirip dengan golongan darah A. (Vilani-Moreno et al.,1993; Zaini et
al., 2000).
8
Tabel 1.2. Hubungan golongan darah dan dermatofitosis kronik
Peneliti Judul Jumlah subjek Hasil Keterangan
Balajee et al., 1996.
Mycosis .
ABO blood groups in
relation to the infection
rate of dermatophytosis
108 kasus, 100
kontrol.
Hasil: O terbanyak,
kmd A, B, AB.
A cenderung kronik
bukan analitik
Vilani-Moreno et
al., 1999.
Rev.Inst.Med.Trop.
S.Paulo.
Dermatophytosis:
Association between ABO
Blood groups and
reactivity to the
trichophytin
40 kasus:
T.rubrum 54.5%
kasus, juga reaksi
tipe cepat (A)
T,rubrum lebih banyak
terisolasi dari golongan
darah A.
Penelitian : golongan
darah ABO, juga tes
trichophytin
Zaini et al., 2000
International
journal of the
Iranian red
crescent society.
The relationship between
blood group isoantigens
and dermatofitosis
308 pasien O & A terbanyak
kroniksitas :A & O.
Golongan darah A:
T.mentagrophytes
T.rubrum
E.floccosum
Indonesia yang terdiri atas banyak pulau dengan bermacam suku / etnik ternyata
memliki polimorfisme HLA yang berbeda-beda. Perbedaan polimorfisme HLA-golongan
darah tentu akan mengakibatkan perbedaan risiko terhadap infeksi. Penelitian ini perlu
dilakukan agar pengetahuan tentang biologi jamur galur Indonesia dalam hal ini masyarakat
yaitu etnik/suku di Samarinda Kaltim dan kaitannya polimorfisme HLA-Grup ABO akan
bermanfaat dalam memperbaiki tatalaksana dan pencegahan penyakit.