bab i pendahuluan 1.1. latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Letak geografis Indonesia tidak hanya memberikan kelebihan secara sosial,
ekonomi, dan politik karena terletak di antara dua benua dan dua samudra tetapi
juga memberikan tantangan pada bangsa ini untuk selalu siaga. Indonesia yang
merupakan negara dengan garis pantai terluas di dunia ini berada pada jalur ring
of fire di atas patahan lempeng dua dunia yang ideal untuk pertumbuhan gunung
berapi sekaligus juga berpotensi atas ancaman bencana lain seperti gempa bumi
dan tsunami. Hampir seluruh wilayah Indonesia memiliki catatan pernah terkena
bencana alam, sesuai dengan karakter wilayahnya masing-masing.
Sebagai konsekuensi kewajiban negara untuk melindungi rakyatnya, maka
pemerintah diharapkan mampu mengambil langkah-langkah yang tepat untuk
mengurangi risiko bencana. Saat ini Indonesia telah memiliki sistematika
menghadapi bencana baik pada masa pra bencana, saat bencana dan pasca
bencana yang terangkum dalam undang-undang tentang Penanggulangan
Bencana yaitu UU Nomor 24 Tahun 2007. Undang-undang tersebut berfungsi
sebagai pedoman dasar yang mengatur wewenang, hak, kewajiban dan sanksi bagi
segenap penyelenggara dan pemangku kepentingan di bidang penanggulangan
bencana. Menurut UU No.24 2007 tersebut, penyelenggaraan penanggulangan
bencana dalam situasi terdapat potensi terjadi bencana meliputi: 1) kesiapsaigan,
2) peringatan dini, dan 3) mitigasi bencana.
kajian penolakan relokasi oleh warga terdampak erupsi merapi tahun 2010 (studi kasus di dusunkalitengah lor, DIYdan dusun Sambungrejo JawaTengah)Yorsi NuzuliaUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
2
Tahun 2010 yang lalu, terjadi bencana erupsi Gunung Merapi yang
merupakan bencana terdahsyat dibandingkan dengan bencana erupsi pada
beberapa dekade sebelumnya. Data dari Pusat Pengendalian Operasional
(PUSDALOPS) dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
menunjukkan bahwa per tanggal 27 November 2010 total kerusakan dan kerugian
mencapai Rp. 3, 628 triliun dan menelan korban jiwa sebanyak 242 orang di
Kabupaten Sleman, DIY dan 97 orang di Provinsi Jawa Tengah.
Guna mengurangi dampak akibat erupsi Gunung Merapi, maka Pemerintah
telah menyusun Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana
Erupsi Gunung Merapi tahun 2010 Wilayah DIY dan Jawa Tengah. Pada Rencana
aksi tersebut, telah ditetapkan 4 (empat) opsi penanganan relokasi bagi
masyarakat yang berada di Kawasan Rawan Bencana III di Areal Terdampak
Langsung 1. Di samping itu, Pemerintah juga telah mengeluarkan Peta Areal
Terdampak Erupsi dan Lahar Dingin Gunung Merapi (gambar 1.1) yang
merupakan bentuk kesepakatan bersama dari Tata Ruang dan Wilayah
Kebencanaan di Kawasan Merapi yang menunjukkan batas-batas dari rencana
penggunaan lahan, terutama terkait dengan kawasan yang boleh dan tidak boleh
untuk digunakan sebagai pemukiman. Dengan adanya pembatasan tersebut, maka
penduduk yang tinggal di kawasan yang tidak boleh untuk pemukiman,
diharuskan untuk pindah ke kawasan yang lebih aman.
Kenyataannya, masih terdapat masyarakat yang bermukim di Areal
Terdampak Langsung I (ATL I) seperti terdapat pada gambar 1.1. Tim Pelaksana
Teknis Rehabiltasi dan Rekonstruksi Pasca Erupsi Merapi tahun 2010 untuk DIY
kajian penolakan relokasi oleh warga terdampak erupsi merapi tahun 2010 (studi kasus di dusunkalitengah lor, DIYdan dusun Sambungrejo JawaTengah)Yorsi NuzuliaUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
3
dan Provinsi Jawa Tengah (TPT RR Merapi) menyebutkan tidak mudah untuk
memindahkan penduduk dari kawasan non-pemukiman yang sudah dihuni selama
bertahun-tahun meskipun berada di Kawasan Rawan Bencana. Kepala Bidang
Relokasi dan Pertanahan TPT RR Merapi mengatakan dari 4 Kabupaten yang
terdampak erupsi Merapi yaitu Kabupaten Sleman, Kabupaten Klaten, Kabupaten
Magelang, dan Kabupaten Boyolali, hanya Kabupaten Boyolali yang tidak ada
kewajiban untuk warganya untuk relokasi.
Gambar 1.1. Peta Kawasan Rawan Bencana dan Area Terdampak Erupsi Gunung
Merapi
Sumber: BNPB
Sumber: Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi,
Maret 2011
kajian penolakan relokasi oleh warga terdampak erupsi merapi tahun 2010 (studi kasus di dusunkalitengah lor, DIYdan dusun Sambungrejo JawaTengah)Yorsi NuzuliaUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
4
Tidak semua warga yang berada pada KRB III ATL 1 bersedia untuk
direlokasi. Sebanyak 656 kepala keluarga (KK) di Daerah Istimewa Yogyakarta
dan 275 KK di Provinsi Jawa Tengah menyatakan menolak untuk direlokasi
(tabel 1.1). Pada dasarnya warga menyadari bahwa bahaya erupsi Merapi akan
selalu mengancam kehidupan mereka,. Meskipun demikian warga tetap
melakukan penolakan hingga tahun ke tiga (tahun terakhir) pelaksanaan
rehabilitasi dan rekonstruksi pasca erupsi Gunung Merapi.
Tabel 1.1 Warga yang Tidak Bersedia Direlokasi Hingga 31 Desember
2012
Kabupaten Bersedia Relokasi
(KK)
Tidak Bersedia relokasi
(KK)
Kab. Sleman- DIY 2083 656
Kab.Magelang- Prov.
Jateng
676 110
Kab.Klaten- Prov. Jateng 0 165
Sumber. TPT RR Merapi 31Desember 2012
Dusun Kalitengah Lor dan Sambungrejo merupakan dua buah dusun yang
menolak untuk direlokasi mesikupun hanya berjarak 5 Km dari Puncak Merapi.
Secara administratif, Dusun Kalitengah Lor berada di Desa Glagaharjo,
Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman DIY dan Dusun Sambungrejo
berada di Desa Srunen, Kecamatan kemalang, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa
Tengah. Dua Dusun tersebut merupakan dusun teratas yang berada di Kawasan
Rawan Bencana III sekaligus berada di Areal Terdampak Langsung 1. Pada erupsi
2010 yang lalu, dusun-dusun tersebut terkena Wedus Gembel (Awan Panas) yang
kajian penolakan relokasi oleh warga terdampak erupsi merapi tahun 2010 (studi kasus di dusunkalitengah lor, DIYdan dusun Sambungrejo JawaTengah)Yorsi NuzuliaUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
5
menyebabkan 156 KK warga Dusun Kalitengah Lor dan 32 KK warga Dusun
Sambungrejo mengungsi.
Pemerintah telah banyak melakukan pendekatan langsung kepada
masyarakat guna mensosialisasikan kebijakan relokasi. Akan tetapi tetap tidak
berhasil membujuk warga untuk pindah ke lokasi lain yang lebih aman. Banyak
pihak menyangsikan bahwa penolakan relokasi hanya dilakukakan oleh beberapa
tokoh yang ada di masyarakat. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat di
Dusun Sambungrejo dan Dusun Kalitengah Lor juga membuat beberapa pihak
beranggapan bahwa masyarakat tersebut belum paham akan bahaya Merapi.
Berdasarkan pengamatan awal peneliti, masyarakat mempunyai alasan-alasan
tersendiri yang membuat mereka menolak untuk direlokasi. Merapi dipandang
warga sebagai “orangtua” yang tidak selalu dalam keadaan “ndhuwe gawe”1.
Dalam keadaan tenang Merapi diakui warga membawa ketentraman dari segala
aspek kehidupan.
Memasuki tahun ke tiga pasca erupsi Merapi tahun 2010, rumah-rumah
telah berdiri meskipun banyak diantaranya berjenis semi permanen. Warga telah
bertani dan beternak seperti sedia kala. Kegiatan sosial seperti arisan warga, telah
juga berjalan. Bahkan terdapat kegiatan sosial lain yang dilakukan oleh warga
dengan beberapa pihak luar (ARKOM dan WALHI Yogyakarta) untuk
meningkatkan kapasitas warga dalam menghadapi bencana.
Pemerintah tidak dapat membantu warga Kalitengah lor dan warga
Sambungrejo seperti warga lain yang bersedia direlokasi. Hal tersebut
1 Istilah yang dipakai warga Merapi untuk menyebut Merapi yang sedang Erupsi.
kajian penolakan relokasi oleh warga terdampak erupsi merapi tahun 2010 (studi kasus di dusunkalitengah lor, DIYdan dusun Sambungrejo JawaTengah)Yorsi NuzuliaUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
6
dikarenakan akan melanggar peraturan yang berlaku. Tentu saja, warga masih
menyimpan harapan-harapan (aspirasi) kepada pemerintah meskipun mereka
menolak kebijakan yang direkomendasikan pemerintah tersebut. Apa saja aspirasi
warga di kedua dusun tersebut dan bagaimana pemerintah menindaklanjuti
penolakan relokasi tersebut?. Penelitian ini akan mengungkap alasan-alasan
penolakan warga, aspirasi-aspirasi warga setelah mereka menolak direlokasi dan
tindak lanjut warga, pemerintah, dan lembaga non pemerintah sebagai rencana
back up pasca penolakan kebijakan relokasi.
1.2 Permasalahan
1. Mengapa masyarakat tidak bersedia untuk relokasi?
2. Bagaimana aspirasi masyarakat kepada pemerintah setelah penolakan relokasi
yang mereka lakukan?
3. Bagaimana tindak lanjut Pemerintah dalam menghadapi hal tersebut?
1.3 Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran pustaka yang telah dilakukan, hingga saat ini
belum ada penelitian yang bertujuan untuk mengkaji penolakan relokasi oleh
warga di dua dusun tersebut. Akan tetapi, terdapat beberapa penelitian yang
mendukung penelitan yang akan dilakukan peneliti seperti pada tabel 1.2.
Penelitian ini menggunakan metode studi kasus di sebuah satuan
pemukiman yaitu Dusun yang terletak di dua wilayah administratrif yaitu di
Daerah Isimewa Yogyakarta (untuk Dusun Kalitengah Lor) dan di Provinsi Jawa
Tengah (untuk Dusun Sambungrejo). Strategi pengumpulan data diperoleh dari
data kuantitatif dan data kualitatif. Data-data tersebut diambil berdasarkan tahapan
kajian penolakan relokasi oleh warga terdampak erupsi merapi tahun 2010 (studi kasus di dusunkalitengah lor, DIYdan dusun Sambungrejo JawaTengah)Yorsi NuzuliaUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
7
yang disesuaikan dengan tujuan dari penelitian. Data Kuantitatif (kuesioner)
dikumpulkan yang terlebih dahulu, kemudian disusul dengan pengambilan data
kualitatif melalu metode diskusi (Focus Group Disucussion) dan wawancara
mendalam. Penelitian ini juga menggunakan dokumentasi baik foto dan dokumen
tertulis untuk melihat tahapan perencanaan relokasi yang telah dilakukan oleh
pemerintah. Dua dusun yang dipilih merupakan dusun teratas baik untuk DIY
maupun provinsi Jawa Tengah yang letaknya berada pada radius 5 km gunung
Merapi. Penelitian ini lebih menekankan keunikan pada aspek dan kasus dari
penolakan relokasi yang dilakukan oleh warga terdampak erupsi Merapi 2010 di
dua Dusun tersebut. Dalam penyajian hasil penelitian, penelitian ini menggunakan
analisa kunatitatif dan kualitatif yang bersifat eksplanatif.
kajian penolakan relokasi oleh warga terdampak erupsi merapi tahun 2010 (studi kasus di dusunkalitengah lor, DIYdan dusun Sambungrejo JawaTengah)Yorsi NuzuliaUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
8
Tabel 1.2 Hasil Penelitian Terdahulu
No Pengarang/
Tahun Judul Tujuan
Metode
Pengambilan
Data
Hasil
1
Herianto S.,
Ageng,
Wicaksono
Drajat, 2012
Sosialisasi dan
Negosiasi Proses
Relokasi Pengungsi
Korban Erupsi Merapi
di Cangkringan
Yogyakarta Upaya
Pengurangan Potensi
Konflik
Pemahaman proses
negosiasi gagasan
relokasi pengungsi serta
memetakan potensi
konflik dan negosiasi
antara pemerintah dan
pengungsi untuk
mengurangi potensi
konflik yang ada
Mix method
1. Relokasi yang disampaikan oleh
pemerintah dalam sosialisasi dengan
pendekatan masal tidak efektif mendorong
pengungsi untuk menerima gagasan
tersebut
2. Benih konflik baik vertikal maupun
horizontal muncul ketika gagasan relokasi
tidak disampaikan secara rinci.
3. Sumber penghidupan dan budaya
masyarakat menjadi kunci keberhasilan
relokasi pengungsi dan mengurangi potensi
konflik yang ada
2 Suryo Adi
Pramono, 2012
Pro-Kontra Kebijakan
Relokasi Korban Erupsi
Merapi Studi Kasus:
Desa Umbulharjo
Kecamatan
Cangkringan
Kabupaten Sleman DIY
dan Desa Balerante
Kecamatan Kemalang
Kabupaten Klaten
Propinsi Jawa Tengah
Mendeskripsikan tentang
interaksi “konfliktual”
antara regulasi formal dan
aspirasi berbasis kearifan
lokal di Kawasan Rawan
Bencana/KRB III (atau
Area Terdampak
Langsung/ATL), proses
penemuan solusi
bersama, bagaimana
peningkatan kapasitas
warga di dalam suasana
konflik dan bagaimana
rekomendasi terhadap
regulasi penanggulangan
dampak bencana
mendatang agar lebih
akseptabel.
Kualititatif
1. Konsep “living in harmony” menjadi solusi
bersama
2. Warga ternyata mampu meningkatkan
kapasitas pengelolaan konflik dengan
mengeliminasi masalah pada aras dusun
dan bersikap dialogis dalam memecahkan
masalah.
3. Kapasitas mengagregasi dan
mengartikulasikan kepentingan di dalam
konflik juga meningkat.
4. Bagi para aparat desa dan dusun, ikatan
lokal dengan warga ternyata lebih kuat
daripada ikatan hirarkhi pemerintahan.
kajian penolakan relokasi oleh warga terdampak erupsi merapi tahun 2010 (studi kasus di dusunkalitengah lor, DIYdan dusun Sambungrejo JawaTengah)Yorsi NuzuliaUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
9
3
Dessy
Normalasari,
2013
Modal sosial dalam
pemulihan kondisi
Sosial ekonomi
masyarakat
Pasca erupsi merapi
Studi kasus di desa
glagaharjo,
cangkringan, sleman
Mengetahui seberapa
jauh peran modal sosial
yang dimiliki oleh warga
Desa Glagaharjo dalam
mempercepat pemulihan
pasca erupsi, yaitu
dengan cara melihat
strategi masyarakat dalam
mengakumulasi berbagai
elemen modal sosial
Kualitatif
1. Bonding social capital dan bridging social
capital memiliki kontribusi yang tinggi
terhadap pemulihan kondisi sosial ekonomi
warga Desa Glagaharjo pasca erupsi
2. Melalui bonding social capital mampu
berkontribusi terhadappembangunan
perumahan warga secara cepat
3. Bridging social capital yang berupa
kerjasama warga dengan LSM YKPU,
PPPA Daarul Quran, dan WALHI dapat
mewujudkan keinginan seluruh warga
untuk memiliki rumah dan memulihkan
perekonomian secara perlahan-lahan
4. Selain itu di bidang sosial, terutama
keagamaan dan lembaga sosial terus
meningkat.
4 Hudayana, B./
2012
Berjuang Dengan
Menggunakan
Kekuatan Harmoni :
Adaptasi Orang Merapi
Dalam Menghadapi
Risiko Bencana Erupsi.
Mencermati kehidupan
komunitas-komunitas di
lereng Merapi pasca
erupsi Merapi 2010
Studi Pustaka
Observasi
Interview
1. Sebagian besar komunitas-komunitas di
lereng Merapi memiliki kebiasaan
membangun kemandirian dan adaptif
dengan lingkungan Merapi yang rawan
bencana, dan telah melakukan upaya
pemulihan ekonomi pasca erupsi Merapi
tahun 2010.
5
Amrullah, 2011
Stakeholder dalam
proses Negosiasi
Kebijakan Relokasi
Ibukota Kecamatan
(Studi Kasus di
Kecamatan Bantulanteh
Kabupaten Sumbawa)
Mengetahui aktor yang
terlibat dalam proses
negosiasi kebijakan
relokasi, mengetahui
bentuk peran yang
dilakukan stakeholder
dalam proses negosiasi
kebijakan relokasi
ibukota kecamatan
batulanteh Kabupaten
Sumbawa, dan
mengetahui dinamika
konflik yang terjadi dan
Kualitatif
2. Keterlambatan untuk memperoleh hasil
negosiasi yang dilakukan oleh stakeholders
khususnya stakeholder primer gagal
menemukenali hakekat substantif dari
berbagai teknik, pendekatan, serta nilai-
nilai yang akan dinegosiasikan dengan
pihak penentu kebijakan (Pemda dan
DPRD Sumbawa).
3. Masih lemahnya pergerakan actor terkait
gaya, teknik, dan modal negosiasi
4. Kegagalan negosiasi juga disebabkan
karena ketidakmampuan stakeholder untuk
mempersiapkan SDM dan data-data
kajian penolakan relokasi oleh warga terdampak erupsi merapi tahun 2010 (studi kasus di dusunkalitengah lor, DIYdan dusun Sambungrejo JawaTengah)Yorsi NuzuliaUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
10
implikasinya terhadap
keterlambatan proses
negosiasi kebijakan
relokasi
pendukung serta negosiator yang handal.
5. Belum adanya political will dari Pemda
dan DPRD Sumbawa terkait relokasi
ibukota kecamatan Batulanteh melalui
PERDA atau PERBUP relokasi.
6
Usamah, M.,
Haynes,
K./2011
An Examination of the
Ressetlement Program
at Mayon Volcano:
What Can We Learn for
Suistanable Volcanic
Risk Reduction?.
Penilaian program
permukiman kembali
pada penduduk sekitar
Gunung Berapi Mayon,
Filifina
Interview
Observasi
1. Program ressetlement harus
mengikutsertakan masyarakat yang
merupakan bagian dari pembuat keputusan.
2. Program permukiman kembali harus
mengedepankan aspek livelihood, design
rumah, dan ketersediaan fasilitas umum
dan fasilitas sosial.
7 Muhammad
Yasser, 2012
Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi
Pencapaian Proses
Relokasi Permukiman
Masyarakat Suku Bajau
di Desa Kalumbatan
Kabupaten Banggai
Kepulauan
Mengetahui keberhasilan
dalam pencapaian proses
relokasi permukiman
masyarakat suku Bajau di
Desa Kalumbatan dan
Faktor-faktor yang
mempengaruhi
pencapaian proses
relokasi permukiman
masyarakat tersebut
Deduktif
kuantitatif
1. Indikator pencapaian proses relokasi
permukiman masyarakat suku Bajau yaitu
kondisi rumah, tingkat pendapatan, dan
tingkat kebetahan secara umum memiliki
kecendrungan “cukup berhasil”
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi
pencapaian proses relokasi adalah faktor
internal masyarakat yaitu: (a) tingkat
pendidikan, (b) jenis pekerjaan, (c)
kepemilikan lahan dan (d) hubungan
kekerabatan serta adanya faktor eksternal
masyarakat, yaitu (e) sarana lingkungan, (f)
prasarana lingkungan, (g) aksesibilitas (h)
dukungan pemerintah dan (i) kondisi alam.
8
Yulianto, F.,
Sofan, P.,
Khomarudin,
M. R., Haidar,
M./ 2012.
Extracting the
Demaging Effects of the
2010 Eruption of
Merapi Volcano in
Central Java,
Indonesia.
Menginvestigasi dampak
lingkungan dari erupsi
gunung Merapi 2010 dan
menilai dampak
penggunanan lahan pasca
erupsi.
Intepretasi
Citra
1. Erupsi 2010 berdampak pada 133.31 ha
permukiman, 93.32 ha lahan pertanian,
235.60 ha lahan pertanian kering, 570.98
ha lahan perkebunan, 380.86 ha tanah
kosong, dan 0.12 ha lahan hutan.
2. Total bangunan yang terdampak diestimasi
sekitar 12.276 unit.
9
Andrew., S. A.,
Arlikatti, S.,
Long, L. C.,
The Effect of Housing
Assistance
Arrangements of
Menilai apakah terdapat
perbedaan antara rumah
tangga penerima bantuan
Dokumentasi
Observasi
Kuesioner
1. Penerima manfaat dari program
pemukiman kembali (ressetlement) pada
umumnya mengalami perbaikan dasar
kajian penolakan relokasi oleh warga terdampak erupsi merapi tahun 2010 (studi kasus di dusunkalitengah lor, DIYdan dusun Sambungrejo JawaTengah)Yorsi NuzuliaUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
11
Kendra, J. M./
2012
Household Recovery:
an Empirical Test of
Donor-Assisted and
Owner Driven
Approachesi.
permukian kembali dan
yang rumah tangga yang
menerima bantuan uang
dan material dalam proses
pemulihan pasca bencana
Tsunami
Interview dalam fasilitas rumah tangga, sedangkan
rumah tangga yang diberikan bantuan
keuangan dan material untuk perbaikan
rumah dan pembangunan kembali
melaporkan mendapatkan akses yang lebih
baik ke layanan publik.
2. Ketika dinilai dalam hal persepsi
pemulihan rumah tangga secara
keseluruhan, penerima manfaat dari
program bantuan perumahan berupa uang
dan material bernasib lebih baik daripada
penerima manfaat dari program
pemukiman kembali meskipun mereka
menerima bantuan lebih kecil.
10
Birkmann J.,
Buckle, P.,
Jaeger J.,
Pelling, M.,
Setiadi, N.,
Garschagen,
M., Fernando,
N., Kropp,
J./2008
Extreme Events and
Disaster: a Window of
Opportunity for
change? Analysis of
Organizational,
Institutional, and
Political Changes,
Formal and Informal
Responses after Mega
Disaster.
Mengidentifikasi respon-
respon formal dan
respon-respon informal
pasca bencana dari segi
politik,organisasi,
ekonomi, sosial dan
lingkungan
Studi Pustaka
Observasi
Dokumentasi
1. Mengamati respon informal lebih sulit
daripada mengamati respon formal
2. Bencana dapat membawa arus sumber daya
yang sangat besar yang memberikan
kesempatan bagi pembiayaan dan
mendukung kegiatan pembangunan
struktural
3. Perubahan bencana terwujud dalam sektor
sosial, lingkungan, ekonomi, dan politik.
Perubahan yang paling terlihat adalah
perkembangan sumber daya yaitu
munculnya organisasi-organisasi baru
4. Penguatan kelembagaan baik pada jajaran
formal dan informal sangat dibutuhkan
khususnya dalam peningkatan kemampuan
mendokumentasi kejadian bencana.
kajian penolakan relokasi oleh warga terdampak erupsi merapi tahun 2010 (studi kasus di dusunkalitengah lor, DIYdan dusun Sambungrejo JawaTengah)Yorsi NuzuliaUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
12
1.4 Tujuan Penelitian
1. Mengkaji faktor-faktor penyebab penolakan relokasi oleh warga
2. Mengungkap aspirasi warga kepada pemerintah setelah penolakan relokasi yang
mereka lakukan.
3. Mengetahui tindak lanjut pemerintah dalam rangka memfasilitasi warga yang
menolak untuk relokasi.
1.5 Manfaat Penelitian
1. Sebagai kontribusi bagi ilmu pengetahuan tentang kajian kebijakan pasca
bencana.
2. Sebagai acuan bagi pemerintah dalam pengambilan kebijakan terhadap masyarakat
yang menolak untuk relokasi berdasarkan faktor-faktor penyebab yang ditemukan
di lapangan dan aspirasi masyarakat.
kajian penolakan relokasi oleh warga terdampak erupsi merapi tahun 2010 (studi kasus di dusunkalitengah lor, DIYdan dusun Sambungrejo JawaTengah)Yorsi NuzuliaUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/