bab i pendahuluan a. alasan pemilihan...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Alasan Pemilihan Judul
Pembangunan dewasa ini mengalami perubahan dalam metode maupun
strategi untuk memberikan akses kesejahteraan sosial yang berorientasi pada
pemberdayaan masyarakat. Namun kesejahteraan pada dasarnya mempunyai arti yang
luas dan tidak hanya untuk mencapai taraf hidup yang layak tetapi juga untuk
membentuk suatu ikatan sosial masyarakat demi kesinambungan pembangunan yang
dibuat oleh pemerintah. Saat ini peneliti melihat program-program pemerintah yang
terlalu fokus pada aspek pencapaian taraf hidup yang layak terkadang tidak sesuai
dengan karakteristik maupun kearifan lokal masyarakat yang menjadi sasaran dalam
pembangunan. Dalam hal ini salah satu pendukung guna terjadinya pembangunan
yang berkelanjutan perlu adanya modal sosial (social capital) dimana di dalamnya
mempunyai sebuah pengaruh yang sangat besar dalam mendorong sebuah
pertumbuhan ekonomi di suatu daerah dengan adanya pola interaksi masyarakat. Pola
interaksi yang terbangun di masyarakat akan memunculkan sebuah hubungan yang
berkorelasi antara satu dengan lainya kemudian mampu menimbulkan sebuah trust
(kepercayaan) dan perlahan – lahan membentuk sebuah korelasi dari proses interaksi
tersebut yang mengarah ke tujuan menjadi masyarakat yang maju dan mandiri.
Pemerintah dalam hal ini, harus mampu berkolaborasi dengan beberapa industri kecil
2
seperti industri batik di Dusun Sukorejo, Desa Banyubiru, Kecamatan Widodaren,
Kabupaten Ngawi, Jawa Timur agar nilai-nilai sosial dalam masyarakat selaras
dengan produk pembangunan dari pemerintah, sehingga masyarakat mempunyai
kesadaraan dalam partisipatif pembangunan yang mengarah ke kesejahteraan mereka.
Industri batik dewasa ini memiliki potensi besar guna memajukan
perekonomian nasional lewat sentral kerajinan dan terlebih batik Indonesia sudah
dikukuhkan sebagai salah satu industri berbasis budaya dan menjadi ikon salah satu
ikon budaya hasil dari kearifan lokal yang patut kita banggakan. Batik Indonesia juga
sudah dikukuhkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Warisan Manusia pada 4th
Session of the Intergovernmental Committee on Safeguarding Intangible Cultural
Heritage UNESCO di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab Tahun 2009. Maka dari itu,
peneliti ingin melakukan sebuah penelitian yang fokus menggali lebih dalam peran
tersembunyi suatu Industri kecil Batik yang di dalamnya terdapat masyarakat relatife
masih muda – muda di tengah persoalan ekonomi yang melilit mereka di daerah
tersebut dan persaingan usaha yang semakin kontras antara usaha batik tulis dengan
batik pabrik, terlebih diantara mereka yang menompang hidup lewat industri batik
tulis yang pengerjaannya masih relative tradisional.
Modal sosial (social capital) sangatlah penting terlebih ketika masyarakat
tersebut masih terbekap dalam kondisi ekonomi yang lemah, disinilah peran social
capital sangatlah penting karena adanya modal social yang tinggi mampu
3
memudahkan pola kerja sama yang didukung dengan sikap gotong royong untuk
saling membantu dan saling menaruh rasa percaya.
Judul dalam penelitian ini yaitu Modal Sosial Dalam Pengembangan Industri
Batik, penelitian ini mempunyai maksud untuk meneliti tentang modal sosial yang
mampu menjadi sebuah komponen untuk melakukan pengembangan terhadap usaha
batik yang dilakukan oleh masyarakat Dusun Sukorejo, Desa Banyubiru, Kecamatan
Widodaren, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Dari sudut pandang teoritis, umumnya
sebuah penelitian mempunyai keterkaitan dengan bidang ilmu yang peneliti tempuh,
serta terdapat aspek aktualitas dan orisinilitas. Adapun beberapa hal yang mendasari
pemilihan judul tersebut antara lain :
1. Aktualitas
Hingga sekarang, industri batik di Indonesia mempunyai daya tarik tersendiri
yang mampu menarik perhatian berbagai macam kalangan di Indonesia bahkan
Internasional, hal ini seharusnya menjadi sebuah kondisi baik dalam upaya
peningkatan perekonomian masyarakat serta pendapatan daerah ditengah terjadinya
krisis ekonomi global yang masih saja berlangsung. Industri batik menjadi salah satu
industri yang masih bisa survive di tengah krisis yang terjadi karena adanya
kemandirian dalam usaha yang dikembangkan tanpa bergantung dengan investor
asing. Akan tetapi industri batik juga mengalami dilema, hal ini seiring dengan
realitas yang terjadi bahwa produk lokal semakin terpinggirkan dengan kebiasaan dan
4
perilaku masyarakat Indonesia yang lebih banyak menggunakan produk luar negeri,
hal ini selalu dikaitkan dengan kualitas produk luar yang lebih unggul serta adanya
gengsi yang tinggi. Maka dari itu, pemerintah sedang menggiatkan kampanye dan
sosialisasi penggunaan produk nasional yang mampu meningkatkan pertumbuhan
ekonomi bangsa. Kebijakan itu di aplikasikan oleh pemerintah dengan menggiatkan
cinta produk dalam negeri dengan bekerjasama dengan peritel untuk memasang iklan
bagi konsumen supaya lebih memilih produk dalam negeri. Peran modal sosial dalam
hal ini sangat berpengaruh terlebih dengan kondisi masyarakat yang semakin terkikis
oleh modernisasi dan mulai melupakan nilai – nilai yang ada dalam masyarakat.
Modal sosial mampu menjadi penopang perkembangan ekonomi nasional serta
memunculkan rasa cinta dengan solidaritas dan norma yang ada dalam masyarakat.
Dalam perkembangan industri batik modal sosial mampu mengambil peran dengan
komitmen yang ada di dalam setiap individu untuk saling terbuka, saling percaya,
memberikan kewenangan bagi setiap orang untuk dipilih dan berperan sesuai dengan
tanggung jawabnya.
2. Orisinalitas
Sebagai sebuah karya yang tertuang dalam sebuah penelitian, tentunya harus
terdapat sebuah orisinalitas yang mampu di pertanggung jawabkan dalam karya asli
penelitian ini dan bukan hasil plagiat dari penelitian-penelian lain, meskipun terdapat
penelitian yang berkaitan tentang modal sosial ataupun mengenai industri batik, akan
tetapi peneliti dapat menegaskan bahwa penelitiannya berbeda, perbedaan tersebut
5
dapat dilihat dari fokus penelitian yang dilakukan. Penelitian-penelitian lain yang
mengangkat tema tentang modal sosial seperti Peran Modal Sosial dalam
Perkembangan Koperasi Wanita di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, oleh Muflikah
Nurul Chalisah pada bulan Maret 2012. Penelitian ini mengungkapkan bahwa modal
sosial memiliki sebuah nilai yang tidak kalah penting disamping modal financial yang
mampu membantu dalam pengembangan usaha yang ada di koperasi dan mampu
memberdayakan anggotanya guna mencapai kesejahteraan dengan membagun modal
sosial yang kuat sehingga terbentuk sebuah jaringan, interkasi, dan kerjasama. Selain
itu terdapat pula penelitian yang dilakukan oleh Ana Safitri yang mengambil judul
tentang Modal Sosial Dalam Perkembangan Industri Kecil di dusun Mlangi, Desa
Nogotirto, Kecamatan Gamping. Penelitian ini menunjukan bahwa dalam upaya
pengembangan usaha konveksi di Dusun Mlangi, tidak terlepas dari peran modal
sosial seperti nilai-nilai agama yang mempunyai fungsi penting dalam memberikan
pandangan hidup, adanya solidaritas yang kuat, rasa saling percaya antar sesama
pengusaha konveksi, pekerja, mitra usaha, dan konsumen inilah yang memberikan
kontribusi penting terhadap jaringan yang dibangun dengan berbagai pihak.
3. Relevansi Penelitian dengan Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan merupakan ilmu yang
mempelajari tentang masyarakat yaitu hubungan antar masyarakat dan pembangunan
masyarakat. Fokus utama kajiannya adalah pembangunan masyarakat, yakni
tindakan-tindakan manusia untuk menciptakan keseimbangan hubungan antara
6
kebutuhan (needs) dengan sumber daya (resources) guna mencapai kesejahteraan
fisik, mental dan sosial warga masyarakat. Kebutuhan masyarakat akan sumberdaya
ekonomi, sosial dan politik sangat tinggi, tapi ketersediaan sumberdaya untuk
memenuhi kebutuhan tersebut sangat terbatas. Akibatnya daya tahan masyarakat
sebagai suatu komunitas sosial menjadi lemah untuk melindungi diri dari ancaman
disintegrasi dan disorganisasi sosial. Kelainan-kelainan di bidang sosial inilah yang
dipandang sebagai ancaman bagi disintegrasi sosial, sehingga perlu mendapat
penanganan yang tepat dan terencana.
Ada tiga konsentrasi yang menjadi kajian di dalamnya, yaitu Community
Development, Social Policy dan Corporate Social Responsibility. Community
Development sendiri memiliki keterkaitan dengan pembangunan yang dilaksanakan
di Indonesia. Pembangunan yang dilaksanakan adalah pembangunan untuk
memberdayakan masyarakat. Masyarakat yang tadinya kurang berdaya lebih
diberdayakan lagi melaui proses pembangunan. Mengingat bahwa pembangunan
yang dilaksanakan seringkali menyebabkan munculnya ketergantungan pada
masyarakat, oleh karena itu perlu memperhitungkan kebutuhan dan sumberdaya yang
ada. Dengan demikian pembangunan yang dilaksanakan dapat meningkatkan
partisipasi masyarakat dan pada akhirnya akan muncul masyarakat yang mandiri.
Selain itu dalam Community Development ada berbagai bentuk pelayanan yang
diberikan baik oleh pemerintah, masyarakat atau swasta.
7
Penelitian ini menjelaskan dimana obyek kajian dalam pembangunan
masyarakat, yakni adanya tekad usaha (effort) pada usaha masyarakat di wilayah
Dusun Sukorejo, Desa Banyubiru dalam upaya meningkatkan kualitas hidup dan
kesejahteraannya dengan melakukan usaha batik tulis. Hal ini mendorong
kemampuan pengrajin usaha batik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya
guna mengatasi masalah yang muncul serta sebagai salah satu upaya membangun
jaringan usaha lewat kepercayaan masyarakat.
B. Latar Belakang Masalah
Industri kecil mempunyai peranan penting dalam upaya untuk meningkatkan
pendapatan dan sekaligus sebagai sebagai usaha dalam membuka lapangan pekerjaan
dan penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Disisi lain pengembangan industri
kecil yang dilakukan pemerintah sebagai salah satu upaya penyelamatan terhadap
banyaknya masalah sosial yang terjadi akibat meningkatnya masyarakat yang mencari
pekerjaan. Menteri Perindustrian Republik Indonesia mengatakan bahwa tujuan
pembangunan industri nasional baik jangka menengah maupun jangka panjang
ditujukan untuk mengatasi permasalahan dan kelemahan baik di sektor industri
maupun untuk mengatasi permasalahan secara nasional, yaitu meningkatkan
penyerapan tenaga kerja industri; meningkatkan ekspor Indonesia dan pember-dayaan
pasar dalam negeri; memberikan sumbangan pertumbuhan yang berarti bagi
perekonomian; mendukung perkembangan sektor infrastruktur; meningkatkan
kemampuan teknologi; meningkatkan pendalaman struktur industri dan diversifikasi
8
produk; dan meningkatkan penyebaran industri. Pengembangan industri kecil yang
dilakukan oleh pemerintah karena pemerintah melihat peran industri kecil yang
sangat besar dalam upaya peningkatan ekonomi dan mempunyai basis untuk
mencapai kemandirian pembangunan ekonomi, hal ini ditunjukan dengan kegiatan
industri kecil hamper seluruhnya dilakukan oleh pengusaha serta proses produksi
yang dilakukan dengan menggunakan bahan lokal.
Salah satu dari beberapa bentuk perekonomian Indonesia adalah industri kecil
yang apabila dikembangkan akan menjadi salah satu pemecah masalah perekonomian
nasional seperti pengangguran. Pentingnya usaha kecil dalam pengembangan
perekonomian nasional juga ditetapkan dalam Undang-Undang RI nomor 20 tahun
2008 tentang usaha mikro kecil dan menengah, Peraturan Pemerintah nomor 32 tahun
1998 tentang pembinaan dan pengembangan usaha kecil. Dalam Peraturan
Pemerintah tersebut mengungkapkan “bahwa usaha kecil merupakan bagian integral
dari perekonomian nasional yang mempunyai kedudukan, potensi, dan peranan yang
penting serta strategis dalam mewujudkan pembangunan ekonomi nasional yang
kokoh, usaha kecil perlu diberdayakan agar dapat menjadi usaha yang tangguh dan
mandiri serta dapat berkembang dan menjadi usaha menengah”.
Menurut Biro Pusat Statistik (BPS) dalam Lempelius (1976 : 5), usaha kecil
identik dengan industri kecil dan industri rumah tangga. Biro Pusat Statistik (BPS)
membagi kelompok industri berdasarkan jumlah pekerjaannya, yaitu : Industri
9
Kerajinan dengan 1-4 orang; industri kecil dengan 5-19 orang; industri sedang 20-99
orang; industri besar dengan 100 orang atau lebih.
Terkait berbagai macam potensi dan permasalahan yang ada dalam industri
kecil, banyak kalangan mengatakan bahwa industri kecil adalah salah satu penopang
berkembangnya perekonomian nasional baik di perkotaan maupun pedesaan dengan
cara pemerintah lebih memperhatikan sektor industri kecil itu sebagai salah satu
wadah guna membuka sebuah lapangan pekerjaan. Perhatian itu mampu diwujudkan
dengan melakukan perhatian lebih seperti pada sektor industri batik yang merupakan
salah satu kebudayaan khas dari bangsa Indonesia yang patut untuk dilestarikan.
Pada saat ini industri batik menjadi sebuah indutri berskala dunia yang
mampu menarik investasi modal asing masuk Indonesia.Pemerintah dalam hal ini
harus memiliki sebuah langkah positif terhadap pengembangan industri batik dengan
menonjolkan ciri khas lokal untuk memenuhi pasar dunia sebagai produk budaya dan
produk ekonomi dalam upaya meningkatan perekonomian nasional. Industri batik
menjadi industri yang mampu membuka lapangan pekerjaan baru seperti yang
diungkapkan Dirjen Industri Kecil Menengah (IKM) KEMENDAG, Euis Saedah,
“pada tahun 2012 pertumbuhan IKM batik mengalami kenaikan menjadi 1 persen dari
realisasi tahun 2011 sebesar 7 persen, dan di negara Indonesia jumlah perusahaan
batik mencapai 50 ribu dengan mampu menyerap tenaga kerja sebesar 100 ribu jiwa”
10
Batik Indonesia sebagai salah satu industri berbasis budaya dan menjadi ikon
salah satu ikon budaya hasil dari kearifan lokal yang patut kita banggakan. Bukan
hanya itu saja, Batik Indonesia juga sudah dikukuhkan sebagai Warisan Budaya
Takbenda Warisan Manusia pada 4th Session of the Intergovernmental Committee on
Safeguarding Intangible Cultural Heritage UNESCO di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab
Tahun 2009, pengukuhan batik sebagai Cultural Heritage tentunya mengangkat citra
positif dan martabat bangsa Indonesia di forum internasional serta memberikan
dampak positif pada tingkat kesadaran masyarakat dalam upaya perlindungan dan
pengembangan Batik Indonesia, tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat Indonesia. Diakuinya batik sebagai warisan dunia juga menjadi
memberikan pengaruh besar terhadap perekonomian nasional dengan naiknya omset
batik di Indonesia.
Pada saat masyarakat mulai mengalihkan perhatiannya terhadap terhadap
batik dengan gemar menggunakan baju batik dan gencar melakukan kampanye untuk
menggunakan produk lokal yang dilakukan pemerintah sebagai upaya mewujudkan
kecintaan, kebanggaan dan kepercayaan terhadap produk dalam negeri, ironisnya
produk batik printing mulai menyebar di pasar dengan harga yang murah dan motif
batiknya tidak kalah dengan batik tulis. Hal inilah yang menjadi kendala terhadap
perkembangan batik tulis di Indonesia karena munculnya batik pabrikan yang tidak
kesulitan mendapatkan bahan baku serta mempunyai peralatan lengkap, sedangkan
batik tulis secara peralatan masih menggunakan cara tradisional dalam melakukan
11
produksi dan harga bahan bakunya semakin lama harganya terus meningkat. Salah
satu yang menjadi kendala dalam persaingan pemasaran batik tulis sendiri adalah
harga yang relatife mahal karena proses produksi yang membutuhkan waktu lama dan
bahan baku yang semakin meningkat.
Saat ini kurang berkembangnya industri batik sendiri banyak dipengaruhi
berbagai macam faktor seperti keterbatasan modal, bahan baku, peralatan yang masih
sederhana, kurangnya ketrampilan serta minat akan industri ini yang masih sedikit
karena proses produksi dalam industri batik masih tergolong sulit dan lama. Namun
ada faktor lain yang lebih penting selain modal finansial, ketrampilan dan lain-lain
yang lebih bersifat material yaitu harus adanya modal sosial. Modal sosial sebagai
salah satu wujud keterikatan dari setiap orang yang bekerja sebagai wujud lahirnya
sebuah kepercayaan (trust). Industri batik mengalami dilema dalam hal tenaga kerja
yang masih sedikit, dimana salah satu alasan para pekerja masih bertahan adalah
adanya kedekatan dan hubungan persaudaraan.Hal inilah yang mampu menunjukan
kuatnya modal sosial dalam industri batik ditengah berbagai permasalahan dan
pembagian upah yang tidak tetap.
Peran social capital dalam proses pengembangan masyarakat penting pada
dewasa ini di tengah terkikisnya jaman yang tingkat kesadaran sosial semakin lemah
untuk daerah perkotaan sedangkan di daerah pedesaan social capital masih
mempunyai peran yang cukup kuat guna membantu masyarakat dalam
mengembangkan usaha. Hal ini dapat dilihat dari tingginya rasa saling membantu,
12
bergotong royong dan kerjasama yang terbagun secara baik. Membangun sebuah
kegiatan usaha tentunya membutuhkan peran orang lain guna membantu
menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang sudah menjadi tugas pelaku usaha tersebut,
dalam hal ini industri kecil batik perlu orang yang mau melakukan kerjasama
membangun usaha tersebut sampai berjalan dengan baik, berhasil dan terus
berkelanjutan (sustainable). Industri kecil seperti batik membutuhkan suatu
pemasaran guna adanya income (pendapatan), hal ini membutuhkan suatu koneksi
atau jaringan guna melakukan pemasaran karena salah satu kendala dalam
menjalankan industri kecil seperti batik ini adalah proses pemasaran yang masih
susah karena banyaknya keterbatasan, akan tetapi adanya kerjasama sangatlah
mampu untuk menutupi keterbatasan-keterbatasan yang ada dengan saling membagi
tugas masing-masing kemudian bekerjasama membangun jaringan untuk proses
pemasaran. Disinilah kerjasama menjadi salah satu titik tumpu dalam proses
pertumbuhan ekonomi suatu usaha karena jiwa yang terbangun dari sebuah trust
menjadi rasa memiliki akan usaha tersebut dan membentuk suatu ikatan agar apa
yang mereka kerjakan secara bersama – sama tersebut mampu berkembang dengan
baik dan bertahan lama.
Pada sisi lain masyarakat yang mulai melakukan usaha-usaha guna
mendorong pertumbuhan ekonomi mereka juga akan mampu munumbuhkan
pertumbuhan perekonomian nasional. Hal ini seharusnya menjadi perhatian lebih
terutama pada sektor industri batik yang di dalamnya terdapat peran social capital
13
yang besar dan menjadi elemen penting dalam pertumbuhan perekonomian baik
secara lokal ataupun nasional, masyarakat dalam upaya pengembangan industri batik
tentunya membutuhkan suatu upaya seperti membangun koneksi dengan berbagai
macam pihak yang bias melakukan support terhadap usaha mereka, terlebih apabila
usaha ini dilakukan secara mandiri tentunya membutuhkan hubungan yang baik baik
dengan pemerintah dan pihak-pihak yang mempunyai kepentingan.
Bukan saatnya lagi sebuah industri batik berperan sebagai sebuah badan
usahayang hanya memberikan kesejahteraan bagi para pekerjanya lewat peningkatan
ekonomi, akan tetapi ada sebuah faktor yang tidak kalah penting dari faktor finansial
yaitu modal sosial. Melalui modal sosial inilah sebuah industri batik mampu bertahan
(survive), terutama dalam kehidupan masyarakat desa dengan memanfaatkan potensi
lokal dan kondisi masyarakat desa yang mempunyai basis solidaritas serta kolektivitas
yang mampu dikembangkan sebagai sebuah potensi sumber daya lokal. Dengan
memberikan perhatian terhadap peran modal sosial, tidak hanya peningkatan
perekonomian saja yang bertumbuh, tetapi modal sosial juga mampu membangun
sebuah karakter menuju sebuah masyarakat yang mandiri serta kesejahteraan
mengalami peningkatan yang signifikan.
Peranan penting modal sosial juga dikemukan oleh Mawardi (2007) , bahwa
dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat (ekonomi) di banyak negara termasuk
Indonesia terlalu menekankan peranan modal alam (Natural Capital) dan modal
ekonomi (Economic Capital) modern seperti barang-barang modal buatan manusia,
14
teknologi dan manajemen, dan sering mengabaikan pentingnya modal sosial seperti
kelembagaan lokal, kearifan lokal, norma norma dan kebiasaan lokal.
Modal sosial (social capital) merupakan salah satu komponen utama dalam
menggerakkan kebersamaan, ide, kesalingpercayaan dan saling menguntungkan
untuk mencapai kemajuan bersama di dalam masyarakat yang akan mengembangkan
sebuah usaha kesil menengah (UKM). Tanpa adanya modal sosial, maka sudah dapat
dipastikan akan berdampak pada tidak adanya hubungan yang begitu kuat antara
ikatan-ikatan sosial pada individu-individu yang ada di dalamnya. Interaksi yang
terbentuk tumbuh dan berkembang menjadi sebuah ikatan sosial apabila terjadi di
dalam ruang dan waktu yang lama dan mendalam. Individu-individu tersebut semakin
kuat ikatan sosial bila mempertimbangkan berbagai kegiatan dan aktivitas yang
dilakukan dalam sebuah kerangka bersama-sama. Ini sangat berbeda apabila hanya
dilakukan dalam dimensi yang parsial dan sporadis. Dimana ikatan sosial yang
terbentuk tidak sekuat bila dilakukan secara holistik. Dampak yang begitu jelas dapat
dirasakan tentunya akan terjadinya peningkatan kesejahteraan. Masyarakat yang
dibangun berdasarkan individu-individu akan bersinergi dalam mencapai kondisi
yang lebih sejahtera. Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa modal sosial
merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam membangun dan
memperkuat masyarakat.
Argumen di atas juga sejalan dengan apa yang dikemukakan Inkpen dan
Tsang (2005) dalam Hughes dan Robert (2010:8) yaitu modal sosial mampu menjadi
15
penggerak dalam usaha mewujudkan kemampuan industri guna mendapatkan
keuntungan dari jaringan yang ada. Keuntungan yang didapatkan ini meliputi akses
kepada pengetahuan, sumber daya, teknologi, pasar dan kesempatan. Oleh karena itu,
ketika interaksi di dalam hubungan naik, maka modal sosial menjadi lebih baik,
sehingga secara potensial meningkatkan keuntungan. Keuntungan yang didapatkan
ini yang nantinya akan mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Maka, tidak
mengherankan apabila Putnam (1990) dalam Field (2011:50-51) mengungkapkan
bahwa modal sosial mungkin bahkan lebih penting dibandingkan dengan modal fisik
atau modal manusia.
Modal sosial yang menjadi instrumen penting terhadap pengembangan UKM
dapat dimanifestasikan dalam berbagai kegiatan. Dalam pengembangan UKM,
interaksi menjadi peran yang vital karena mampu memberikan sebuah pertukaran
informasi. Bukan hanya itu saja dalam pengembangan usaha kecil menengah
membutuhkan sebuah bentuk tanggungjawab, kerjasama, kepercayaan, dan sebuah
partisipasi dalam usaha peningkatan UKM sendiri. Bentuk inilah yang menjadikan
UKM mampu bertahan dan berkembang guna mensejahterakan anggotanya tidak hanya
pada level finalsial tetapi bentuk kesejahteraan diberikan dengan sebuah rasa
tanggungjawab, kesetiakawanan, kepercayaan, dan rasa memiliki dalam melakukan
pengembangan usaha kecil menengah (UKM).
Seiring dengan perkembangan globalisasi saat ini, yang sangat menekankan
pasar bebas dan persaingan terbuka, maka dapat dikatakan bahwa industri batik yang
ada di Desa Banyubiru merupakan industri yang mampu bertahan dari gilasan
16
industri batik sablon. Eksistensi ini telah lama bertahan sejak pertama kalinya usaha
industri kecil batik dibentuk tahun 1980-an. Berbagai rintangan krisis global 1998,
serta minimnya akses modal ekonomi, hingga yang terbaru ini adalah krisis global
2008 mampu dilewati. Hal yang dimungkinkan menjadi faktor utama masih
mampunya bertahan industri batik tersebut karena adanya modal sosial yang ada di
dalam masyarakat Desa Banyubiru. Modal sosial yang dimanifestasikan dalam
interaksi yang tumbuh dan berkembang menjadi sebuah ikatan sosial. Individu-
individu yang ada di dalam masyarakat tersebut semakin kuat mengingat ikatan sosial
tersebut dilakukan dalam aktivitas bersama-sama. Ini juga mengingat bahwa modal
sosial yang ada di Desa Banyubiru dapat dikategorikan dalam modal sosial yang ada
di daerah pedesaan. Dimana secara umum modal sosial di pedesaan ditandai dengan
masih tingginya rasa saling percaya, kerja sama, dan tindakan saling tolong
menolong. Hal sangat berbeda apabila kita lihat pada daerah perkotaan yang sudah
sangat individualistis dan minimnya rasa saling percaya dan kerja sama. Bukti nyata
dari kondisi ini dapat dilihat dengan adanya sekitar tujuh industri kecil batik yang
masih dapat dilihat perkembangannya. Ketujuh industri tersebut masuk dalam
kategori Industri Kerajinan berjumlah sekitar lima UKM dengan 1-4 pekerja dan 2
UKM masuk dalam kategori industri kecil yang mempunyai 5-19 pekerja.
Dari penjelasan yang sudah di tuliskan diatas menarik perhatian dan
melatarbelakangi penulis untuk melakukan sebuah penelitian mengenai modal sosial
dalam memperkuat usaha-usaha yang dibangun oleh masyarakat. Untuk itulah penulis
17
melakukan penelitian yang berjudul “Modal Sosial dalam Pengembangan Industri
Batik”, harapan dalam penelitian ini adalah peneliti mampu menghasilkan temuan-
temuan penting berkaitan dengan modal sosial yang terdapat dalam industri batik
pada masyarakat Dusun Sukorejo, Desa Banyubiru, Kecamatan Widodaren,
Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.
C. Perumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang tersebut, permasalahan yang diangkatsebagai
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bagaimana peran modal sosial dalam pengembangan industri batik di Dusun
Sukorejo, Desa Banyubiru, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dalam melakukan sebuah penelitian harus memiliki tujuan untuk
memecahkan sebuah permasalahan yang kemudian dapat digunakan sebagai sebuah
acuan agar penelitian mempunyai arah yang jelas.
1. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui baga imana peran modal sosial dalam memperkuat
Industri Batik di Dusun Sukorejo, Desan Banyubiru, Kecamatan Widodaren,
Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.
18
2. Manfaat Penelitian
Sebuah penelitian mempunyai nilai lebih apabila memiliki manfaat yang
besar. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian adalah sebagai
berikut :
a. Hasil dari penelitian ini bisa menjadi sebuah sumbangan pemikiran,
masukan, referensi sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan
kebijakan oleh pemerintah dan instansi terkait, dalam rangka
mengembangkan Industri Batik.
b. Sebagai sebuah karya ilmiah diharapkan mampu memberikan masukan
penelitian dan kontribusi di bidang kajian ilmu Pembangunan Sosial dan
Kesejahteraan khususnya dan Ilmu Sosial pada umumnya, terkait dengan
peran modal sosial dalam memperkuat industri batik.
c. Penelitian ini diharapkan memberikan masukan khususnya bagi pihak yang
berkepentingan terutama untuk masyarakat yang belum mengetahui peran
penting modal sosial dalam mengembangkan industri batik khususnya dan
industri lainnya.
E. Tinjauan Pustaka
1. Modal Sosial
Modal sosial mempunyai konsep dan dimensi yang sangatlah luas. Secara
sederhana modal sosial adalah serangkaian nilai dan norma informal yang dimiliki
19
bersama diantara para anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan
terjalinnya kerjasama diatara mereka (Fukuyama, 2002). Konsep modal sosial
memiliki penjabaran dan definisi yang sangatlah luas, akan tetapi yang menjadi
dasar utama dari modal sosial adalah adanya tiga unsur utama yang membentuk
modal sosial. Tiga unsur modal sosial tersebut yakni, trust (kepercayaan), network
(jaringan) dan social norms (norma sosial). Unsur-unsur modal sosial itu mampu
menggerakkan masyarakat melakukan proses kerjasama. Sejalan dengan pemikiran
Fukuyama, Robert D. Putnam mendefinisikan modal sosial sebagai bagian dari
kehidupan sosial seperti jaringan, norma, dan kepercayaan yang mendorong
partisipan bertindak bersama secara lebih efektif untuk mencapai tujuan-tujuan
bersama (Field, 2011: 51). Putnam juga mengungkapkan bahwa modal sosial adalah
sebagai suatu nilai mutual trust antara anggota masyarakat dan masyarakat terhadap
pemimpinnya. Trust bisa dilihat dari beberapa hal, yaitu : (1) seberapa tinggi
partisipasi masyarakat terhadap keberanian untuk berpendapat dengan pemimpinnya;
dan (2) seberapa banyak warga negara yang menggunakan kesempatan tersebut
untuk menyalurkan aspirasinya (Putnam: 1993) dalam (Mariana: 2006:1). Modal
sosial merujuk pada bagian dari organisasi sosial, seperti keyakinan, norma dan
jaringan, yang dapat meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi
tindakan-tindakan terkoordinasi (Putnam, 1993:167). Putnam dalam sebuah
membuat sebuah argumen dalam bukunya yang menegaskan bahwa gagasan inti dari
teori modal sosial adalah bahwa jaringan sosial memiliki nilai kontak sosial
mempengaruhi produktivitas individu dan kelompok (Putnam, 2000:18-19). Modal
20
sosial sebagai suatu nilai mutual trust (kepercayaan) antara anggota masyarakat dan
masyarakat terhadap pemimpinnya. Modal sosial didefinisikan sebagai institusi
sosial yang melibatkan jaringan (networks), norma-norma (norms), dan kepercayaan
sosial (social trust) yang mendorong pada sebuah kolaborasi sosial (koordinasi dan
kooperasi) untuk kepentingan bersama. Hal ini juga mengandung pengertian bahwa
diperlukan adanya suatu social networks (“networks of civic engagement”) – ikatan
atau jaringan sosial yang ada dalam masyarakat, dan norma yang mendorong
produktivitas komunitas.
Konsep lain yang membahas tentang modal sosial adalah konsep dari Bourdieu
pada tahun 1973 menjelaskan bahwa modal sosial sebagai modal hubungan yang jika
diperlukan akan memberikan dukungan – dukungan bermanfaat: modal harga diri dan
kehormatan yang seringkali diperlukan jika orang ingin menarik para klien kedalam
posisi-posisi yang penting secara sosial, dan yang bisa menjadi alat tukar, misalnya
dalam karir politik (Bourdieu, 1977:503) dalam (Field, 2011). Kemudian Bourdieu
memperbaiki pandangannya, dengan menyampaikan kesimpulan dalam pernyataan
berikut : “Modal sosial adalah jumlah sumber daya, aktual atau maya, yang
berkumpul pada seorang individu atau kelompok karena memiliki jaringan tahan
lama berupa hubungan timbal balik perkenalan dan pengakuan yang sedikit banyak
terinstitusionalisasikan” (Bourdieu dan Wacquant, 1992: 119) dalam (Field, 2011).
Melengkapi konsepnya Pirre Boedieu mencatatkan bahwa agar modal sosial tersebut
21
dapat bertahan nilainya, individu harus mengupayakannya (John, 2010) dalam (Field,
2011).
Dalam mempertahankan pandangan tentang modal sebagai produk akumulasi
kerja, Bourdieu menegaskan bahwa koneksi memerlukan kerja. Solidaritas dalam
jaringan hanya mungkin terjadi karena keanggotaan di dalamnya
meningkatkan laba, baik laba material maupun laba simbolik. Dengan demikian,
dipertahankannya hal tersebut memerlukan “strategi investasi, secara individu
maupun kolektif” yang bertujuan mentransformasikan hubungan-hubungan yang
terus berlangsung, seperti hubungan di kampung atau di tempat kerja, atau bahkan
hubungan kekerabatan, menjadi “hubungan sosial yang secara langsung dapat
digunakan dalam jangka pendek atau panjang” ; karena hal itu hanya efektif dalam
jangka panjang, pasti didalamnya terdapat “kewajiban jangka panjang yang
dirasakan secara subyektif’ (Bourdieu, 1980: 2; 1986 :249).
Modal sosial (social capital) adalah kapabilitas yang muncul dari
kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau di bagian-bagian tertentu
darinya. Ia bisa dilembagakan dalam kelompok sosial yang paling kecil dan paling
mendasar. Demikian juga kelompok-kelompok masyarakat yang paling besar,
negara, dan dalam seluruh kelompok lain yang ada di antaranya (Fukuyama,
2002:37). Francis Fukuyama menunjukkan hasil studi di berbagai negara bahwa
modal sosial yang kuat akan merangsang pertumbuhan berbagai sektor ekonomi
karena adanya tingkat rasa percaya yang tinggi dan kerekatan hubungan dalam
22
jaringan yang luas tumbuh antar sesama pelaku ekonomi.
Modal sosial mampu mendorong peningkatan pembangunan partisipatif
sebagai kekuatan yang mampu membagun civil community dengan menggunakan
basis modal sosial seperti trust, ideology, dan religi. Modal sosial mampu ditandai
dengan adanya kerelaan individu untuk mengutamakan dalam keputusan komunitas.
Kerelaan yang menumbuhkan interaksi komulatif dimana mampu menghasilkan
sebuah kinerja yang menganung nilai sosial sebagai dampak dari kerelaan tersebut.
Francis Fukuyama mengilustrasikan modal sosial dalam trust, believe, and
vertrauen yang berarti bahwa kepercayaan menjadi penting dan mengakar dalam
faktor kultural seperti etika dan moral. Munculnya trust menjadikan komunitas
mampu membagikan nilai-nilai moral, sebagai sebuah jalan untuk menciptakan
pengharapan umum dan kejujuran, ia juga menyatakan bahwa asosiasi dan jaringan
lokal sungguh mempunyai dampak positif bagi peningkatan bagi peningkatan
kesejahteraan ekonomi dan pembangunan lokal sungguh serta memainkan peran
penting dalam manajemen lingkungan. Ketika suatu kelompok masyarakat
ditemukan rasa saling percaya (trust) dalam hubungan sosialnya maka dalam
kelompok tersebut mempunyai unsur utama dari modal sosial. Kepercayaan (trust)
merupakan pelumas yang menunjang keberadaan kelompok atau komunitas menjadi
efisien. Pada intinya kepercayaan (trust) mampu mendorong seseorang bersedia
menggunakan hasil dari kerja orang atau kelompok lain, selebihnya kepercayaan
juga dapat mendorong munculnya aktivitas atau tindakan bersama yang produktif
23
atau menguntungkan.
Dalam pembelajar ini, kepercayaan yang ditujukan kepada orang lain
mempunyai asumsi dasar bahwa orang lain juga berbagi terhadap nilai-nilai pokok
yang dimiliki. Hal ini tentunya tidak serta merta membuat mereka berbagi satu
kesamaan nilai-nilai politik atau agama. Sebaliknya kepercayaan ini berkaitan
dengan pengertian moral yang paling dasar bahwa setiap orang adalah berbeda.
“Anda berbagi beberapa ikatan-ikatan umum yang membentuk kerjasama penting”
(Rothstein, 2005).
Coleman kemudian membuat definisi yang mengatakan bahwa modal sosial
sebagai seperangkat sumber daya yang melekat pada hubungan keluarga dan dalam
hubungan organisasi sosial komunitas dan yang berguna bagi perkembangan kognitif
atau sosial anak atau orang yang masih muda. Sumber-sumber daya tersebut berbeda
bagi orang-orang yang berlainan dan dapat memberikan manfaat penting bagi anak-
anak dan remaja dalam perkembangan modal manusia mereka (Coleman, 1994:300)
dalam ( Field, 2011:38). Dalam hal ini Coleman berpendapat bahwa modal sosial
menjadi sebuah sumber yang bermanfaat dan tersedia bagi aktor melalui hubungan
sosialnya.
Peran modal sosial sangatlah besar dalam perkembangan ekonomi, dibalik
balik adanya peran itu tentunya memiliki sebuah potensi yang mampu mendukung
terbentuknya sebuah modal sosial di dalam masyarakat. Potensi-potensi dalam
terbentuknya modal sosial dalam masyarakat (komunitas) dapat dilihat dan
24
teridentifikasi dengan terlebih dahulu mengetahui komponen-komponen apa saja
dari modal sosial (sosial capital) itu sendiri, Coleman (1988) dalam Badaruddin
(2005) mendefinisikan modal sosial sebagai aspek-aspek dari struktur hubungan
antar individu yang memungkinkan menciptakan nilai-nilai baru. Modal sosial
berintikan elemen-elemen pokok, yaitu:
Banyak ahli yang telah mendefinisikan dengan berbagai macam pandangan
tentang modal sosial dan secara garis besar definisi-definisi para ahli menunjukkan
modal sosial sebagai sebuah unsur penting yang menentukan terbangunnya kerjasama
antar individu (kelompok) atau terbangunnya sebuah perilaku kerjasama secara
kolektif. Terbentuknya modal sosial tidak bisa dilepascan dari elemen – elemen
pokok yang mampu membentuk sebuah modal sosial, elemen – elemen itu mencakup
:
a. Saling percaya (trust) yang meliputi adanya kejujuran (honesty), kewajaran
(fairness), sikap egaliter (egalitarianism), toleransi (tolerance), dan
kemurahan hati (generosity);
b. Jaringan sosial (networks), yang meliputi terdapatnya partisipasi
(participations), pertukaran timbal balik, solidaritas, kerjasama, dan keadilan;
c. Norma (norm), yang meliputi adanya nilai-nilai bersama, norma
dan sanksi, aturan-aturan.
Banyak perbedaan pandangan antar berbagai ahli tentang pengertian modal sosial.
Beberapa penulis menekankan bahwa modal sosial mengandung nilai – nilai penting
25
yang terdapat di dalamnya seperti trust, social network, dan behavioral norms.
Lingkup modal sosial yang dipaparkan oleh Carrier R Leana dan Van Burren,
terdiri dari tiga komponen utama yaitu associability, shared trust, dan shared
responsibility. Dalam konteks associability, penekanannya adalah sociability,
kemampuan melakukan interaksi sosial diikuti dengan kemampuan memacu aksi
kolektif yang memadai dalam usaha – usaha bersama. Selain itu dibutuhkan shared
trust, kepercayaan timbal balik, dan juga shared responsibility, tanggung jawab
timbal balik dalam usaha kolektif. Perspektif dalam konteks yang sama juga
diungkapkan Don Cohen Laurens, menjelaskan bahwa modal sosial dapat terlihat
dalam aspek trust, mutual understanding (saling memahami), shared knowledge
(pengetahuan bersama), dan cooperative action (aksi bersama). Modal sosial
menjelma dari persenyawaan tida unsur yaitu pertama, ikatan tradisi dalam wujudnya
sebagai keluarga, kekerabatan dan kewilayahan; kedua, kesediaan untuk bekerja keras
di bawah pemahaman bahwa mereka yang tidak bekerja tidak berhak memperoleh
makanan; ketiga, suatu konteks yang disediakan oleh pemegang tampuk kekuasaan
berupa ketentraman politik, keterbukaan kesempatan ekonomi dan finansial serta
jaminan keamanan masa depan yang meyakinkan. Dua faktor pertama bersama-sama,
dalam bingkai konteks faktor ketiga, membentuk apa yang disebut modal sosial.
Maka terjadi saling taut fungsional dari persekutua antarmanusia, karya dan modal
(Agnes Sunartiningsih, 2004:74).
Lesser (2000) dalam (Mariana, 2006) juga memberikan pandangan tentang
26
pentingnya modal sosial bagi komunitas karena ia: (1) Mempermudah akses
informasi bagi anggota komunitas; (2) menjadi media power sharing atau pembagian
kekuasaan dalam komunitas; (3) mengembangkan solidaritas; (4) memungkinkan
mobilisasi sumber daya komunitas; (5) memungkinkan pencapaian bersama; dan (6)
membentuk perilaku kebersamaan dan berorganisasi komunitas. Sementara itu
pandangan lain secara lebih jelas tentang modal sosial dalam konteks komunitas juga
di ungkapkan oleh Michael Woolcock yang mencoba membedakan modal sosal
menjadi tiga macam tipe yaitu :
a. Bounding Social Capital
Characterised by strong bonds (or “social glue”) e.q. among members
or among family members of an ethnic group
b. Social Bridging
Characterised by weaker, less dense but more cross-cutting ties
(‘social oil’) e.q. with local associaties, acquaintances, friends from
different ethnic groups, friends or friends stc;
c. Social Linking
Characterised by connections between those with differing levels of
power of social status e.q. links between the political elite and the
general public or between individuals from different social classes.
Woolcok, 2001:13-14 dalam (Field, 2011:68) diatas menjelaskan bahwa modal
sosial yang mengikat, yang berarti ikatan antar-orang dalam situasi yang sama,
27
seperti keluarga dekat, teman akrab dan rukun tetangga; modal sosial yang
menjembatani, yang mencakup ikatan yang lebih longgar dari beberapa orag, seperti
teman jauh dan rekan sekerja; dan modal sosial yang menghubungkan, yang
menjangkau orang – orang yang berada pada situasi berbeda, seperti mereka yang
sepenuhnya ada di luar komunitas, sehingga mendorong anggotanya memanfaatkan
banyak sumber daya daripada yang tersedia di dalam komunitas.
Modal sosial merupakan konsep yang sering digunakan untuk
menggambarkan kapasitas sosial untuk memenuhi kebutuhan hidup dan memelihara
integrasi sosial. Pengertian modal yang berkembang selama ini mengarah pada
terbentuknya tiga level modal sosial, yakni pada level nilai, institusi, dan
mekanisme, sebagaimana digambarkan oleh Pratikno, dkk (2001) berikut ini :
Gambar I.1 Level Modal Sosial
Dengan demikian, ketiga level modal sosial diatas memberikan pengertian
bahwa modal sosial bisa berbentuk jaringan sosial atau individu atau kelompok yang
berhubungan karena perasaan simpati, kewajiban, norma pertukaran, dan civil
engagement yang diorganisasikan menjadi sebuah institusi yang mampu memberikan
Institusi : Ikatan yang terdapat dalam Komunitas lokal, jaringan dan asosiasi
Mekanisme : Tingkah laku, kerja sama, sinergi
Nilai, Kultur, Persepsi : Sympathy, sense of obligation, trust, resiprositas, mutual acquaintance, and recognition
28
perlakuan khusus terhadap mereka yang dibentuk oleh jaringan untuk mendapatkan
modal sosial dari jaringan tersebut. Pada level mekanismenya, modal sosial dapat
mengambil bentuk kerja sama sebagai upaya penyesuaian dan koordinasi tingkah
laku yang diperlukan untuk mengatasi konflik.
Adapun bentuk modal sosial sendiri yaitu : 1) Perkumpulan berbasis
komunitas, agama, hobi, dan lain-lain 2) forum warga, seperti : rembuk desa 3)
adanya norma-norma yang berlaku didalam masyarakat. Sedangkan modal sosial
mempunyai sebuah isi yang mampu menguatkan komponen-komponennya seperti :
1). Adanya kesetiakawanan dan tanggungjawab, contoh : tradisi gotong royong. 2).
Toleransi sosial, contoh : tradisi syawalan. 3). Saling percaya, contoh : kebiasaan
menitipkan rumah atau toko ke tetangga, kebiasan mengadakan arisan. 4). Komitmen
terhadap aturan main, contoh : taggungjawab masyarakat terhadap apabila ada teman
yang menitipkan barang dagangan mereka ; melakukan tradisi sambatan dan
sumbangan. 5). Kemandirian, contoh : lembaga Gapoktan. 6). Kepedulian dan
empati terhadap sesama, contoh : pengumpulan dana kematian dan bencana alam. 7).
Kerjasama, contoh : hubungan kerja antar pelaku sedaerah. 8). Kesetaraan seluruh
lapisan masyarakat, contoh : keterbukaan bagi setiap warga untuk menjadi calon
anggota BPD, pengurus RT dan sebagainya. 9). Kekompakan, contoh konsistensi
warga untuk menyatukan tindakan menolak pemerasan memperjuangkan hak, dan
sebagainya. 10). Kecenderungan menghargai dialog, contoh : lembaga rembuk desa,
rapat warga RT, dan sebagainya. 11). Kecenderungan mewujudkan partisipasi
29
warga, contoh : gotong royong di kampung, dimana warga berinisitif, mengambil
keputusan, melaksanakan kegiatan dan memanfaatkan hasilnya.
2. Modal Sosial dalam Pengembangan Ekonomi Rakyat
Dalam pengembangan ekonomi masyarakat modal sosial mempunyai peran
yang cukup signifikan. Modal sosial mampu mendorong masyarakat untuk
berkembang dengan menggunakan nilai-nilai atau norma dan norma yang tumbuh
dan dipatuhi. Agnes Sunartiningsih (2004:73) menjelaskan modal sosial dan
pengembangan masyarakat adalah kepercayaan (trust), norma (norms), jaringan
(Networks). Hal ini menjadi sebuah konsep inti yang mampu mendorong
terbentuknya modal sosial (social capital) sebagai sebuah institusi sosial.
a. Kepercayaan
a) Kepercayaan (trust), memiliki kekuatan mempengaruhi prinsip-prinsip yang
melandasi kemakmuran sosial dan kemajuan ekonomi yang dicapai oleh suatu
komunitas atau bangsa (Putnam, 1993). Oleh karena itu Fukuyama (1995)
dalam (Agus Supriono, Dance J. Flassy, dan Sasli Rais, 2009) menyatakan,
trust sebagai sesuatu yang amat besar dan sangat bermanfaat bagi penciptaan
tatanan ekonomi unggul. Digambarkan trust sebagai harapan-harapan
terhadap keteraturan, kejujuran, dan perilaku kooperatif yang muncul dari
dalam sebuah komunitas yang didasarkan pada norma-norma yang dianut
bersama-sama oleh anggota komunitas itu. Fukuyama (2002:24)
mendefinisikan kepercayaan yaitu norma-norma kooperatif seperti kejujuran
30
dan kesediaan untuk menolong yang bisa dibagi-bagi antara kelompok-
kelompok terbatas masyarakat dan bukan dengan yang lainnya dari
masyarakat atau dengan lainnya dalam masyarakat yang sama. Jika para
anggota kelompok itu mengharapkan bahwa anggota anggotanya yang lain
akan berperilaku jujur dan terpercaya, maka mereka akan saling mempercayai.
Fukuyama (2002:72) mengatakan bahwa kepercayaan adalah efek samping
yang sangat penting dari norma-norma sosial yang kooperatif yang
memunculkan social capital. Jika masyarakat bisa diandalkan untuk tetap
menjaga komitmen, norma-norma saling menolong yang terhormat, dan
menghindari perilaku oportunistik, maka berbagai kelompok akan terbentuk
secara lebih cepat, dan 20 kelompok yang terbentuk itu akan mampu
mencapai tujuan-tujuan bersama secara lebih efisien. Menurut Fukuyama
(2002:75) kepercayaan seharusnya diingat dalam dirinya sendiri bukan
merupakan kebajikan moral, tetapi lebih merupakan efek samping dari
kebajikan. Kepercayaan muncul ketika masyarakat saling berbagi norma-
norma kejujuran dan ketersediaan untuk saling menolong dan oleh karenanya
mampu bekerja sama satu dengan yang lain. Kepercayaan dihancurkan oleh
sikap mementingkan diri sendiri yang eksesif atau oportunisme. Maka dari itu,
kepercayaan dapat membuat orang-orang bisa bekerja sama secara lebih
efektif karena bersedia menempatkan kepentingan kelompok di atas
kepentingan individu.
31
b) Kepercayaan dan resiko. Menurut Giddens (2005:46-47) kepercayaan
biasanya berfungsi untuk mereduksi atau meminimalisir bahaya yang berasal
dari aktivitas tertentu. Ada beberapa situasi, menurut Giddens, dimana pola
resiko diinstitusionalisasikan, di dalam kerangka kerja kepercayaan di
sekitarnya, seperti investasi di pasar modal atau olahraga fisik ekstrim. Pada
semua setting kepercayaan, resiko yang didapat diterima berada dibawah
“pengetahuan induktif yang lemah,” dan secara implisit selalu ada
keseimbangan antara kepercayaan dengan kalkulasi resiko (Damsar,
2011:187).
c) Saling Tukar Kebaikan (Resiprocity). Modal sosial senantiasa diwarnai oleh
kecenderungan saling tukar kebaikan (resiprocity) antar individu dalam suatu
kelompok atau kelompok itu sendiri di dalam masyarakat (Hasbullah, 2006).
Pola pertukaran ini bukanlah sesuatu yang dilakukan secara seketika seperti
halnya proses jual-beli, akan tetapi merupakan suatu kombinasi jangka pendek
dan jangka panjang dalam nuansa altruism (semangat untuk membantu dan
mementingkan kepentingan orang lain). Di dalam konsep modal sosial dalam
bentuk nilai kultur, modal sosial digambarkan sebagai nilai agama (Islam),
semangat seperti ini disebut ‘keikhlasan’ (ikhlas). Pada masyarakat atau
kelompok sosial yang terbentuk dan di dalamnya memiliki bobot resiprositas
kuat, akan melahirkan suatu masyarakat yang memiliki tingkat modal sosial
yang tinggi (kuat). Hal ini juga akan terefleksikan dengan tingkat kepedulian
sosial yang tinggi, saling membantu dan saling memperhatikan. Dance J.
32
Flassy (2009:11-12) mengatakan bahwa adanya resiprocity problem sosial
yang muncul akan sedikit tereduksi dan masyarakat akan lebih mudah
membagun diri, kelompok, lingkungan sosial serta fisik mereka secara
mengagumkan.
b. Jaringan (network)
Jaringan (networking) apabila dilihat dari tindakan ekonomi, jaringan adalah
sekelompok agen – agen individual yang berbagi nilai – nilai dan norma – norma
yang penting untuk transaksi pasar biasa. Melalui pemahaman ini modal sosial dapat
bermanfaat bukan hanya dalam aspek sosial melainkan juga ekonomi. Jaringan juga
dapat memperluas ruang lingkup unsur modal sosial yang lain, yaitu trust atau rasa
saling percaya dan solidaritas. Adanya kemampuan masyarakat atau kelompok
membangun jaringan maka rasa saling percaya dan solidaritas tidak hanya berlaku
dalam kelompok asalnya, tetapi dapat dikembangkan dalam lingkup yang lebih luas.
Terwujudnya sebuah kerjasama atau tindakan bersama yang saling menguntungkan
juga akan menjadi semakin bervariasi, baik jenisnya maupun pihak yang
terlibat. Selanjutnya, manfaat baik ekonomi maupun sosial atas kerjasama tersebut
juga akan semakin bertambah. Adanya kemampuan masyarakat atau kelompok
dalam membangun jaringan juga dapat meminimalisir dampak negative dari modal
sosial. Apabila solidaritas rasa saling percaya hanya terbatas pada lingkungan
kelompok asalnya maka hal itu dapat menyebabkan berkembangnya solidaritas
eksklusif. Pada batasan tertentu solidaritas semacam ini diperlukan dan bermanfaat,
misal dalam menggalang tindakan bersama dalam komunitas atau kelompok dan
33
dalam menghadapi interaksinya dengan masyarakat yang lebih makro agar lebih
mempunyai posisi tawar. Dari hal itulah melalui jaringan yang lebih luas disamping
dapat meningkatkan lingkup kerja sama juga dapat meningkatkan wawasan dan
memungkinkan terbentuknya hubungan yang bersifat cross cutting affiliation
(Soetomo, 2009 :204).
Lawang (2005) menjelaskan bahwa jaringan merupakan terjemahan dari
network yang berasal dari dua suku kata yaitu net dan work. Net berarti jaring, yaitu
tenunan seperti jala, terdiri dari banyak ikatan antar simpul yang saling terhubung
antara satu sama lain. Work berarti kerja. Jadi network yang penekanannya terletak
pada kerja bukan pada jaring, dimengerti sebagai kerja dalam hubungan antar simpul-
simpul seperti halnya jaring. Berdasarkan cara pikir tersebut, maka jaringan
(network) menurut Robert M. Z. Lawang (2005) dalam Damsar (2011: 157 - 158)
dimengerti sebagai:
a) Ada ikatan antar simpul (orang/kelompok) yang dihubungkan dengan media
(hubungan sosial). Hubungan sosial ini diikatkan dengan kepercayaan.
Kepercayaan itu dipertahankan oleh norma yang mengikat kedua belah pihak.
b) Ada kerja antar simpul (orang atau kelompok) yang melalui media hubungan
sosial menjadi satu kerja sama bukan kerja bersama-sama.
c) Seperti halnya sebuah jaring (yang tidak putus) kerja yang terjalin antar
simpul itu pasti kuat menahan beban bersama dan malah dapat “menangkap
ikan” lebih banyak.
34
d) Dalam kerja jaring itu ada ikatan (simpul) yang tidak dapat berdiri sendiri.
Jika satu simpul saja putus maka keseluruhan jaring itu tidak bisa berfungsi
lagi, sampai simpul itu diperbaiki. Semua simpul menjadi satu kesatuan dan
ikatan yang kuat. Dalam hal ini analogi tidak seluruhnya tepat terutama kalau
orang yang membentuk jaring itu hanya dua saja.
e) Media (benang atau kawat) dan simpul tidak dapat dipisahkan atau antara
orang-orang dan hubungannya tidak dapat dipisahkan. 6. Ikatan atau pengikat
(simpul) adalah norma yang mengatur dan menjaga bagaimana ikatan dan
medianya itu dipelihara dan dipertahankan.
Penjelasan di atas membantu dalam memahami bahwa studi jaringan sosial melihat
hubungan antar individu yang memiliki makna subyektif yang berhubungan atau
dikaitkan dengan sesuatu sebagai simpul atau ikatan. Simpul dilihat melalui aktor
individu di dalam jaringan, sedangkan ikatan merupakan hubungan antar para aktor
tersebut.
Powell dan Smith Doerr dalam literatur yang berkembang mengajukan dua
pendekatan untuk memahami jaringan sosial menurut, yakni pendekatan analisis atau
abstrak dan pendekatan preskriptif atau studi kasus. Pendekatan analisis atau abstrak
terhadap jaringan sosial menekankan analisis abstrak pada pola informal dalam
organisasi, segi normatif dan budaya dari lingkungan seperti sistem kepercayaan, hak
profesi, dan sumber-sumber legitimasi, serta struktur sosial dengan pola hubungan
unit-unit sosial yang terkait atau individu-individu sebagai aktor bersama dan
bekerjasama. Sedangakan pendekatan preskriptif atau studi kasus memandang
35
jaringan sosial sebagai pengatur logika atau sebagai suatu cara untuk menggerakkan
hubungan-hubungan antara masyarakat, dengan demikian hal ini bisa dijadikan
perekat untuk menyatukan individu secara bersama kedalam suatu sistem yang padu
(Damsar, 2011:157:158).
c. Norma – Norma Sosial (Social norms)
Norma – norma sosial mempunyai peran dalam tumbuh dan berkembangnya
masyarakat sebagai sebuah fusngsi kontrol masyarakat. Hasbullah (2006)
mengungkapkan norma adalah sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan
diikuti oleh anggota masyarakat pada suatu entitas (kelompok) tertentu. Norma-
norma ini terinstusionalisasi dan mengandung sangsi sosial yang dapat mencegah
individu berbuat sesuatu yag menyimpang dari kebiasaan yang berlaku di masyarakat.
Aturan-aturan tersebut biasanya tidak tertulis, akan tetapi dipahami oleh anggota
masyarakatnya dan menentukan pola tingkah laku yang diharapkan dalam konteks
hubungan sosial. Jika dalam komunitas masyarakat, asosiasi, group, atau kelompok,
norma-norma tersebut tumbuh, dipertahankan dan kuat, maka akan memperkuat
masyarakat itu sendiri. Hal ini yang menjadikan mengapa norma-norma social
merupakan salah satu unsur modal sosial yang akan merangsang keberlangsungan
kohesifitas sosial yang hidup dan kuat (Agus Supriono, 2009:12-13).
36
Secara substansial, modal manusia (human capital) memiliki kandungan lain
selain pengetahuan dan keterampilan, yaitu kemampuan masyarakat untuk melakukan
asosiasi (berhubungan) satu sama lain. Kemampuan ini akan menjadi modal penting
bukan hanya bagi kehidupan ekonomi akan tetapi juga bagi setiap aspek eksistensi
sosial yang lain. Coleman (1994: 302) mendefinisikan modal sosial berdasarkan atas
fungsinya. Ini bukanlah entitas tunggal, namun variasi dari entitas berlainan yang
memiliki kesamaan karakteristik: mereka semua terdiri dari beberapa aspek struktur
sosial, dan memfasilitasi tindakan-tindakan individu yang berada di dalam struktur
tersebut. Oleh karena itu, modal sosial dapat diartikan sebagai kapabilitas yang
muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian
tertentu darinya. Modal sosial ini nantinya dapat dilembagakan dalam bentuk
kelompok sosial paling kecil atau paling mendasar dan juga kelompok-kelompok
masyarakat paling besar seperti halnya bangsa dan negara (Fukuyama, 1995). Tidak
hanya itu saja, modal sosial diyakini sebagai sesuatu yang merujuk pada dimensi
institusional, hubungan-hubungan yang tercipta, dan norma-norma yang membentuk
kualitas serta kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat. Selain itu, menurut Bank
Dunia (1999) modal sosial bukanlah sekedar deretan jumlah institusi atau kelompok
yang menopang (underpinning) kehidupan sosial, akan tetapi dengan spektrum yang
lebih luas. Artinya, modal sosial menjadi sebuah perekat (social glue) yang menjaga
kesatuan anggota kelompok secara bersama-sama (http://pps.uny.ac.id/seminar-
nasional-pengembangan-masyarakat-berbasis-modal-sosial).
37
Berdasarkan penjelasan di atas, beberapa acuan nilai dan unsur yang merupakan
ruh modal sosial antara lain: sikap yang partisipatif, sikap yang saling
memperhatikan, saling memberi dan menerima, saling percaya mempercayai dan
diperkuat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang mendukungnya. Unsur lain yang
memegang peranan penting adalah kemauan masyarakat untuk secara terus menerus
proaktif baik dalam mempertahankan nilai, membentuk jaringan kerjasama maupun
dengan penciptaan kreasi dan ide-ide baru. Inilah jati diri modal sosial yang
sebenarnya. Keberadaan jati diri modal social tersebut ternyata begitu memiliki
hubungan yang erat dengan perkembangan ekonomi rakyat.
Bila merujuk pada keberadaan industri kecil dan UKM, maka tentu peran modal
sosial begitu diperlukan. Era seperti sekarang ini, modal sosial mampu menjadi obat
dari permasalahan yang muncul di sebuah negara, ini karena modal sosial memiliki
kekuatan besar dalam membangun perekonomian sebuah negara. Tidak terkecuali
bagi ekonomi rakyat Indonesia. Bisa dikatakan industri kecil menjadi sebuah pondasi
bagi perekonomian nasional karena sebagian besar industri kecil dan UKM
menjalankan usahanya secara mandiri, tanpa melibatkan investor asing. Hal inilah
yang menjadikan industri kecil masih bisa survive di tengah krisis ekonomi global
yang tengah terjadi.
Salah satu bukti nyata dari pentingnya social capital dalam pengembangan
ekonomi rakyat bisa ditelisik dari penelitian sebelumnya yang berjudul Modal Sosial
dan Penguatan Industri Kecil oleh Puspitasari. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa
modal sosial mempunyai peran penting terhadap pengembangan ekonomi rakyat, hal
38
ini terlihat dari bagaimana kehidupan sosial kemasyarakatan pengrajin genteng di
Dusun Berjo dan Kunden, Desa Sidoluhur dimana didalamnya terdapat sebuah ikatan
profesi pengrajin genteng yang menjadi proses awal terbentuknya modal sosial.
Secara umum, pengrajin genteng mempunyai basis nilai yang dibangun dari tradisi
keluarga/kekerabatan dan adanya faktor ekternal yaitu hubungan dengan kalangan
masyarakat. Konfigurasi modal sosial yang ada dalam komunitas pengrajin genteng
ini disatu sisi memperkuat kohensitas dan solidaritas di tengah ambivalensi
kepentingan yang sarat dengan kalkulasi ekonomi untuk perolehan keuntungan.
Ketika penjagaan modal sosial yang ada dalam komunitas pengrajin genteng tidak
lagi ada, maka dapat dimungkinkan adanya ancaman bagi kesinambungan usaha. Hal
ini dikarenakan persaingan usaha genteng baik skala regional maupun nasional
semakin tinggi. Faktor kemajuan teknologi produksi, pemahaman pasar,
memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi menjadikan konfigurasi modal
sosial mengalami transformasi disesuaikan dengan kehidupan modern. Karenanya,
proses kompromi, dialog dalam interaksi sosial menjadi alternatif solusi untuk
mengubah masalah menjadi kerjasama. Kerjasama yang dibagun dengan basis modal
sosial budaya lokal diupayakan mulai melampaui lokalitas baik dari sisi budaya
maupun kewilayahan untuk menambah kemanfaatan kolektif yang pada akhirnya
berdampak pada usaha personal. Proses peralihan dari social bonding (ikatan sosial)
menjadi social bridging (institusional) inilah ke depan ketika dapat dikembangkan
oleh pengrajin genteng akan menumbuhkan social linking ( jaringan sosial ) yang
lebih meluas. Kekayaan ini menjadi bukti adanya kontribusi industri pada pendapatan
39
desa maupun Kabupaten. Dengan adanya peningkatan pendapatan maka
kesejahteraan masyarakat wilayah pedesaan meningkat tanpa harus meninggalkan
desa untuk mengadu nasib di perkotaan.
Penelitian lain mengenai pengembangan ekonomi rakyat adalah penelitian
mengenai Dinamika Modal Sosial Dalam Pengembangan Koperasi yang disusun oleh
Reni Shintasari. Pada penelitian tersebut menjelaskan bahwa perkembangan dinamika
modal sosial terdapat tiga fase perkembangan koperasi yakni masa awal berdiri
Tahun 1993 sampai Mei 2006, masa Transisi Koperasi Juni 2006 sampai Januari
2007, masa eksistensi Koperasi Februari 2007 sampai Desember Tahun 2010. Pada
masa awal berdiri, kepercayaan berjalan baik dalam ruang lingkup dalam koperasi itu
sendiri, jaringan koperasi hanya dengan pemerintahan dan Bank, pengurus dan
pengawas selalu memberikan informasi laporan pada saat RAT anggota Koperasi.
Pada masa transisi koperasi, setelah terjadi pergantian pengurus koperasi dan sistem
simpan pinjam kepercayaan menurun karena anggota koperasi masih ragu akan
sistem simpan pinjam. Jaringan koperasi masa transisi semakin luas dengan
memperkuat jaringan intern serta memperluas jaringan dengan pihak pemerintahan
dan pihak swasta. Tanggung jawab pada masa transisi pengurus koperasi dan semua
pihak menjalanka sistem simpan pinjam dengan lebih baik. Walaupun pengurus dan
pengawas masih kurang dalam menjalankan tanggung jawabnya. Sedangkan pada
masa eksistensi koperasi terdapat kepercayaan menurun karena ada biaya administrasi
tambahan dalam simpan pinjam walaupun masyarakat luar provinsi ikut bergabung
menjadi anggota koperasi karena kepercayaan. Jaringan koperasi pada masa
40
eksistensi semakin luas sehingga usaha koperasi maju dan pihak Pemerintah serta
Swasta terbuka dalam menjalin kerjasama. Tanggung jawab koperasi pada eksistensi
terjalin semua elemen koperasi dan stakeholder lain namun masih ada program
koperasi dan sosialisasi dari pengurus yang masih kurang dilakukan.
Modal sosial dalam pembentukan koperasi mempunyai manfaat yang penting
dan mendukung tujuan koperasi dalam mensejahterakan anggotanya. Modal sosial
diharapkan dapat mengembangkan koperasi wanita Anggrek Mekar menjadi koperasi
yang berkualitas dan dapat mengembangkan usaha koperasi. Tahapan-tahapan pada
fase pembentukan koperasi diatas menunjukan adanya dinamika modal sosial yang
terjadi dalam proses tersebut dan hal inilah yang menjadi alasan koperasi Anggrek
Mekar masih survive sekaligus menunjukan bahwa dampak modal sosial sudah
terjadi dalam fase-fase tersebut.
Penjelasan diatas sangat relevan dengan apa yang diungkapkan oleh Mawardi
(2007) bahwa perkembangan industri, baik industri besar, sedang maupun industri
kecil akan mengalami hambatan di negara yang memiliki tingkat modal sosial yang
rendah. Modal sosial akan menghasilkan energi kolektif yang memungkinkan
perkembangan jiwa dan semangat kewirausahaan di tengah masyarakat, yang
selanjutnya akan mendorong berkembanganya dunia usaha. Industri yang dimiliki
para investor lokal maupun asing akan tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat
yang memiliki tradisi dan nilai kejujuran (trust), terbuka dan memiliki tingkat empati
yang tinggi. Selain itu modal sosial juga berpengaruh kuat pada perkembangan
sektor-sektor ekonomi lainnya seperti sektor perdagangan, jasa, konstruksi, pariwisata
41
dan beberapa yang lain. Apapun pembangunan ekonomi yang dilakukan, faktor trust,
reciprocity, positive externalities, dan nilai-nilai etis merupakan penopang yang akan
menentukan perkembangan dan keberlanjutan beragam aktifitas usaha di setiap sektor
perekonomian.
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa peran modal sosial tidak hanya
pada aspek sosial tapi juga dalam pengembangan ekonomi rakyat. Disinilah dalam
pengembangan ekonomi rakyat dimensi modal sosial menjadi sebuah komponen
penting sebagai kekuatan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi lewat faktor –
faktor seperti trust, networking, social norms, reciprositas,dan nilai. Pengembangan
ekonomi rakyat akan mengalami kegagalan apabila melupakan peran penting dari
social capital yang di dalamnya juga melibatkan dimensi kultural dan adanya
penggunaan social capital yang saat ini berkembang di tengah masyarakat kurang
begitu optimal dari proses pengembagan ekonomi rakyat sendiri. Social capital akan
mampu menjadi penopang yang mampu menentukan pengembangan ekonomi rakyat
dengan kuatnya nilai-nilai modal sosial yang ada di dalamnya serta solidaritas yang
kuat. Dukungan adanya networking yang berada di dalam masyarakat maka akan
mempercepat laju perkembangan ekonomi rakyat. Dengan kata lain bahwa, peran
modal sosial menjadi sebuah platform atau penopang bagi terbentuknya proses
pengembangan ekonomi rakyat, hubungan antara modal sosial dengan pengembangan
ekonomi rakyat bisa diibaratkan dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan, hal
demikian terjadi karena pengembangan ekonomi rakyat tidak hanya serta merta untuk
42
memenuhi kebutuhan yang bersifat materiil atau ekonomi saja, namun juga untuk
memenuhi kebutuhan sosial masyarakat.
3. Industri Kecil dan Usaha Kecil Menengah ( UKM )
Industri kecil dan UKM memiliki andil yang cukup besar dalam
perkembangan perekonomian di Indonesia, hal ini dikarenakan sebagian besar
industri kecil atau UKM mampu menjalakan usahanya secara mandiri, bahkan
keterlibatan investor asing sangatlah minim. Industri kecil jika dilihat dari faktor
modal tergolong industri yang membutuhkan modal kecil, alat-alat sederhana, tenaga
yang bekerja atau mengerjakan cukup dengan anggota keluarga sendiri dan terkadang
merekapun tidak harus diberikan upah. Industri ini berfungsi guna mengisi sebuah
waktu luang sebagai salah satu upaya tambahan guna memenuhi kebutuhan sehari-
hari, atau bisa dikatakan rata-rata para pekerja dari industri ini memiliki pekerjaan
yang lain selain bekerja di industri kecil ini. Dalam hal penyebarannya, industri kecil
lebih banyak tersebar di daerah pedesaan.
Dalam industri kecil ternyata kata “kecil” memiliki makna yang variatif,
“kecil” merupakan sebuah ukuran yang muncul saat dilakukan perbandingan dengan
obyek lain yang lebih besar. Dengan demikian, ukuran kecil tergantung dari mana
obyek melihatnya sehingga suatu usaha pada akhirnya dapat dikategorikan sebagai
sebuah kegiatan dengan skala kecil. Persoalan pembakuan bagi usaha kecil ini sangat
diperlukan dan penting artinya dalam kaitannya dengan langkah penanganan terhadap
permasalahan industri kecil sendiri.
43
Berdasarkan keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI
No.255/MPP/Kep/7/1997 : Industri kecil adalah nilai investasi seluruhnya tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha telah melampui Rp. 200 juta atau
memiliki penjualan tahunan telah melampaui Rp. 1 milyar, maka perusahaan tersebut
tidak lagi termasuk industri kecil. Jika dilihat dari skala perusahaan, industri pedesaan
merupakan industri kecil dan rumah tangga, namun ia mempunyai cirri-ciri tersendiri
atau cirri-ciri lain yang membedakannya dengan industri kecil bukan pedesaan,
adalah sebagai berikut :
a. Berbentuk industri rumah tangga dengan tenaga kerja kurang dari 5 orang.
b. Kebanyakan tenaga kerja diperoleh dari dalam rumah tangga sendiri, dari
ranah keluarga lain sebagai tenaga kerja tidak di upah.
c. Teknologi yang digunakan bersifat tradisional, sangat sederhana, dan lebih
banyak menggunakan tangan (manual process).
d. Bahan baku dasar umumnya di dapat dari daerah pedesaan setempat atau
daerah-daerah sekitarnya.
e. Pemasaran dan hasil produksi tidak didasarkan atas promosi melainkan
melalui perantara-perantara.
f. Industri tersebut merupakan kegiatan tambahan untuk menambah pendapatan
keluarga
(Murbyarto dkk, 1979) dalam (Prakoso, 2012)
44
Tjitrosoepomo dalam Sukmayani (2009) Industri kecil adalah satu bentuk
perekonomian rakyat di Indonesia yang apabila dikembangkan akan mampu selain
memecahkan masalah-masalah dasar pembangunan Indonesia, seperti pengangguran,
industri kecil ini juga mampu untuk membantu tercapainya pertumbuhan ekonomi
nasional. Industri kecil merupakan bagian dalam dari perindustrian yang
keberadaannya banyak dinilai oleh masyarakat lebih kearah karakter yang negative
misalnya saja industrinya dipandang tradisional, teknologi tidak mampu bersaing, dan
ketrampilannya masih rendah.
Bank Dunia ( World Bank ) mendefinisikan usaha kecil adalah usaha milik
gabungan atau usaha keluarga dengan tenaga kerja kurang dari 100 0rang, termasuk
di dalamnya usaha yang di kerjakan hanya 1 orang sekaligus bertindak sebagai
pemilik. Usaha kecil merupakan usaha untuk mempertahankan hidup (survive
activities) yang kebutuhan keuangannya di penuhi oleh tabungan dari pinjaman
berskala kecil.
Sedangkan ILO ( International Labour Organization ) juga mempunyai
definisi yang konteksnya sama bahwa Usaha kecil adalah usaha yang mempekerjakan
maksimal 10 orang dan menggunakan teknologi sederhana, asset minim dan
kemampuan managerial yang rendah serta tidak membayar pajak.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dikatakan bahwa Usaha Kecil dan
Menengah (UKM) atau industri kecil memiliki peran yang sangat besar terhadap
perekonomian nasional. Adapun fungsi dan peran UKM diantaranya adaah sebagai :
penyedia barang dan jasa, penyerap tenaga kerja, pemerataan pendapatan, nilai
45
tambah bagi produk daerah, peningkatan taraf hidup melihat perannya yang begitu
besar maka pembinaan dan pengembangan industri kecil bukan saja penting sebagai
jalur kea rah pemerataan hasil-hasil pembangunan, tetapi juga sebagai unsure pokok
dari seluruh struktur industry di Indonesia, karena dengan investasi yang kecil dapat
berproduksi secara efektif dan dapat menyerap tenaga kerja.