bab i pendahuluan a. latar...

33
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Audiens disebut juga dengan khalayak adalah pihak yang menerima pesan atau biasa disebut juga komunikan. Namun tidak semua komunikan merupakan audiens. Audiens adalah komunikan dalam proses komunikasi massa. Audiens adalah komunikan yang mengonsumsi media massa seperti surat kabar, televisi, musik, film dan lain-lain. Menurut Wilbur Schramm, istilah audiens merupakan istilah kolektif untuk penerima pesan dalam model proses komunikasi massa yang dimanfaatkan oleh para pelopor di ranah penelitian tentang media (McQuail, 1997:1). Marshall McLuhan menjabarkan audience sebagai sentral komunikasi massa yang secara konstan dibombardir oleh media. Media mendistribusikan informasi yang masuk pada masing-masing individu. Audiens hampir tidak bisa menghindar dari media massa, sehingga beberapa individu menjadi anggota audience yang besar, yang menerima ribuan pesan media massa. Audiens adalah pasar, dan program yang disajikan adalah produk yang ditawarkan (Morissan, 2011:173). Hal ini berlaku untuk film, film pada umumnya membidik pasar audiens, film disampaikan oleh pembuat film sebagai komunikator professional dan umumnya di distibusikan melalui perusahaan distributor film baik skala besar maupun kecil. Dalam film, audiens disebut penonton. Penonton memiliki peran penting dalam eksistensi suatu film, dengan banyaknya penonton film tersebut dapat dikatakan sebagai film yang populer. Film sebagai komunikasi massa hadir sebagai suatu teknologi yang mampu mentransformasikan tradisi seni pertunjukkan lama kepada penonton dengan cara yang baru. Dalam perkembangannya, film dibagi menjadi 2 jenis yaitu tectrical film dan non-teatrical film. Teatrical film disebut juga film cerita, merupakan ungkapan cerita yang dimainkan oleh manusia dengan unsur dramatis dan memiliki unsur yang kuat terhadap emosi penonton. Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam Film Dokumenter The Mahuzes ARI PERWITA SARI Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Upload: lamphuc

Post on 06-Aug-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/129561/potongan/S1-2017-345965...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Audiens disebut juga dengan khalayak

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Audiens disebut juga dengan khalayak – adalah pihak yang menerima

pesan atau biasa disebut juga komunikan. Namun tidak semua komunikan

merupakan audiens. Audiens adalah komunikan dalam proses komunikasi

massa. Audiens adalah komunikan yang mengonsumsi media massa seperti

surat kabar, televisi, musik, film dan lain-lain. Menurut Wilbur Schramm,

istilah audiens merupakan istilah kolektif untuk penerima pesan dalam model

proses komunikasi massa yang dimanfaatkan oleh para pelopor di ranah

penelitian tentang media (McQuail, 1997:1).

Marshall McLuhan menjabarkan audience sebagai sentral komunikasi

massa yang secara konstan dibombardir oleh media. Media mendistribusikan

informasi yang masuk pada masing-masing individu. Audiens hampir tidak

bisa menghindar dari media massa, sehingga beberapa individu menjadi

anggota audience yang besar, yang menerima ribuan pesan media massa.

Audiens adalah pasar, dan program yang disajikan adalah produk yang

ditawarkan (Morissan, 2011:173). Hal ini berlaku untuk film, film pada

umumnya membidik pasar audiens, film disampaikan oleh pembuat film

sebagai komunikator professional dan umumnya di distibusikan melalui

perusahaan distributor film baik skala besar maupun kecil. Dalam film,

audiens disebut penonton. Penonton memiliki peran penting dalam eksistensi

suatu film, dengan banyaknya penonton film tersebut dapat dikatakan sebagai

film yang populer.

Film sebagai komunikasi massa hadir sebagai suatu teknologi yang

mampu mentransformasikan tradisi seni pertunjukkan lama kepada penonton

dengan cara yang baru. Dalam perkembangannya, film dibagi menjadi 2 jenis

yaitu tectrical film dan non-teatrical film. Teatrical film disebut juga film

cerita, merupakan ungkapan cerita yang dimainkan oleh manusia dengan

unsur dramatis dan memiliki unsur yang kuat terhadap emosi penonton.

Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/129561/potongan/S1-2017-345965...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Audiens disebut juga dengan khalayak

2

Unsur dramatis ini dijabarkan dengan berbagai tema, yakni film aksi, film

spikodrama, film komedi, dan film musik. Sedangkan non-teatrical film

merupakan film yang diproduksi dengan memanfaatkan realitas asli dan tidak

bersifat fiktif. Film ini dibagi dalam film dokumenter, film pendidikan, dan

film animasi.

Film berjenis non-teatrical film seperti film dokumenter biasanya

memiliki penonton yang lebih sedikit dibandingkan berjenis teatrical film.

Triananda (2015) Gesang Sang Maestro Kroncong Sutradara film dokumenter

mengatakan alasan film dokumenter kurang diminati oleh penonton karena

distribusinya yang tidak meluas. Seringnya film dokumenter hanya untuk

dinikmati dikalangan terbatas, seperti yang dibuat oleh NGO dan ditayangkan

terbatas, selain itu banyak juga anggapan film dokumenter cenderung

membosankan karena minim konflik.

Hingga saat ini, penonton film dokumenter hanya bisa menikmati film

dokumenter dalam acara-acara tertentu, misalnya penyelenggaraan Festival

Film Dokumenter di Yogyakarta yang secara konsisten diadakan setiap tahun,

Erasmus Documentary Film Festival, kegiatan ScreenDocs Expanded di

Jakarta, screening film yang diadakan oleh forum film atau kineklub. Meski

penonton film dokumenter tidak terlalu antusias seperti film fiksi, namun

dengan menyelenggarakan acara pemutaran film dokumenter di beberapa

daerah, secara tidak langsung menarik para penikmat film dokumenter yang

kian bertambah, hal ini terjadi dikarenakan isu-isu yang diangkat dalam film

dokumenter penting dan mulai dilirik para penonton.

Tedika (2016) Film dokumenter Indonesia dimulai pada akhir tahun

1990-an, di babak ini film dokumenter bergerak secara dinamis, antara lain

mewujudkan dalam bentuk film advokasi sosial-politik, film seni dan

eksperimental, film perjalanan dan petualangan, film komunitas, dan juga

sebagai alternatif di bidang seni dan audio-visual, film dokumenter berubah

menjadi satu genre seni audio-visual yang memiliki sifat demokratis

sekaligus personal. Film dokumenter kemudian memberikan kesempatan bagi

semua orang untuk menampilkan diri, baik film yang mampu memunculkan

Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/129561/potongan/S1-2017-345965...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Audiens disebut juga dengan khalayak

3

karya yang unik, orisinil dan khas. Dengan karakteristik yang demikian itu,

film dokumenter menjadi karya yang bersifat alternatif, baik dari segi

ideologi, isi, maupun bentuk sehingga mampu menarik minat masyarakat

umum dan terutama anak muda

Penelitian komunikasi yang menggunakan objek film telah banyak

dilakukan, namun objek film dokumenter jarang dilakukan peneliti

komunikasi. Padahal peneliti penting untuk melihat persepektif dari audiens

film dokumenter, mengingat minat menonton film dokumenter berbeda

dengan film biasanya. Untuk melihat audiens melakukan pemakanaan

terhadap teks digunakanlah analisis resepsi. Analisis resepsi tepat digunakan

untuk mengetahui bagaimana audiens memaknai pesan teks yang

dikonsumsinya berdasarkan latar belakang yang beragam. Kondisi ini

menciptakan penafsiran beragam akan informasi yang disampaikan melalui

sebuah film. Mengacu pada teori komunikasi, posisi audiens dibagi menjadi

dua yakni audiens pasif dan aktif. Untuk melakukan analisis resepsi, peneliti

menggunakan perspektif audiens aktif dengan konsep encoding dan decodin

Stuart Hall.

Film dokumenter identik dengan menyajikan fakta melalui gambar

bergerak. Film dokumenter diproduksi dengan tujuan menawarkan cara

pandang dan penafsiran atas isu, proses dan peristiwa sejarah yang

berkembang di masyarakat berdasarkan realitas. Meskipun film dokumenter

merupakan film mengenai realitas namun penonton tidak menuntut

objektivitas dari film tersebut. Bahkan penonton film dokumenter bisa secara

sadar ingin menyaksikan subyektivitas dari pembuat film, meskipun pada

dasarnya penonton berharap bahwa apa yang disaksikannya dalam film

dokumenter adalah nyata.

Watchdoc adalah rumah produksi audio visual yang berdiri sejak 2009.

Telah memproduksi 165 episode dokumenter, 715 feature televisi, dan

sedikitnya 45 karya video komersial dan non komersial yang memperoleh

berbagai penghargaan. Salah satu film dokumenter yang diproduksi ialah The

Mahuzes. The Mahuzes merupakan film yang dihasilkan dari Ekspedisi

Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/129561/potongan/S1-2017-345965...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Audiens disebut juga dengan khalayak

4

Indonesia Biru. Selain film ini, tercatat beberapa fiilm yang dihasilkan dalam

ekspedisi tersebut, yakni Samin vs Semen, Baduy, Kala Benoa, Lewa

Dilembata dan beberapa film yang kebanyakan bercerita tentang lingkungan.

Melalui film The Mahuzes, Dandhy Dwi Lakoso dan Suparta Arz ingin

memberitahukan realitas masyarakat asli Merauke yang menjaga hutannya

dalam gempuran investor. Afzal (2015) mengatakan berawal dari keputusan

presiden Joko Widodo yang ingin membuka lahan seluas 1,2 juta hektar

dalam kurun waktu tiga tahun, keputusan tersebut merupakan kelanjutan

proyek pemerintah pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun

2010. Dalam proyek tersebut pemerintah bersama investor asing ingin

menjadikan Merauke sebagai lumbung pangan dan energi berbasis industri

lewat Program Merauke Integrated Food Energy Estate (MIFEE).

Dari keputusan tersebut, investor sebagai pihak pelaksana selalu

menekan masyarakat adat agar menjual atau melapas tanah adat. Namun,

masyarakat asli Merauke yakni orang Malind melakukan berbagai cara untuk

mempertahankan hutan dari pembukaan lahan sebesar 300.000 hektar yang

selama ini menjadi sumber penghidupan mereka. Di sini Dandhy dan Suparta

mengajak penonton berimajinasi untuk membayangkan apa yang akan terjadi

ketika pembukaan lahan seluas 1,2 juta hektar dalam tiga tahun, padahal

lahan sebesar 300.000 hektar membutuhkan waktu lebih dari itu. Orang

Malind merasa dirugikan karena sumber penghidupannya telah berubah

menjadi sawah yang mereka yakini hanya untuk kepentingan investor saja.

Film yang mengangkat isu agraria ini menampilkan bagaimana

masyarakat asli Merauke menolak dengan tegas pembukaan lahan untuk

sawah. Bagi mereka adanya pembukaan lahan dapat merusak hutan maupun

lingkungan sekitar, selain itu permasalahan sumber air masih menjadi hal

yang penting mengingat sumber air di sana hanya mengandalkan air hujan

yang tidak dipastikan kapan turunnya. Isu ini pun hangat dibicarakan oleh

kalangan muda, ketika penayangan film The Mahuzes di basement luar

FMIPA UII, salah satu peserta diskusi bernama Ary mempertanyakan

mengapa isu agraria penting untuk dibahas ditengah banyaknya isu lain

Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/129561/potongan/S1-2017-345965...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Audiens disebut juga dengan khalayak

5

disekitar kita. Dalam lpmhimmahuii.org (2015) Ary menyatakan,

kebanyakan masyarakat hanya mengetahui dan memperhatikan isu disekitar

mereka yang berhubungan dengan kepentingan mereka, terutama isu

perkotaan. Film The Mahuzes yang membahas isu agraria, bisa dikatakan

bukan isu perkotaan melainkan isu desa. Apabila Papua menjadi lumbung

padi dan Jogja menjadi lumbung industri, maka akan menimbulkan konflik

karena tidak sesuai dengan daerahnya. Maka dari itu, sebagai mahasiswa

jangan sampai terjebak dengan isu pemerintah yang alit dan koperatif.

Permasalahan yang terus terjadi, menjadi dasar munculnya konflik adat

yang tidak dapat terhindarkan. Digambarkan dengan jelas telah terjadi konflik

horizontal antara masyarakat asli Merauke dengan para pendatang, antara

desa-desa dengan kelompok – suku (klan) atas kepemilikan tanah, serta

konflik antara masyarakat asli Merauke dengan investor. Film ini pun

memberi kesempatan bagi masyarakat asli Merauke yang biasanya tidak

memiliki tempat untuk menyuarakan maupun didengarkan pendapatnya,

melalui film inilah diharapkan penonton mulai bersikap dan tergerak hatinya

untuk melihat realitas yang terjadi di Papua khususnya Merauke.

Inilah yang menjadi alasan peneliti untuk mengetahui resepsi penonton

khususnya generasi muda terhadap konflik adat yang dikemas dalam film

dokumenter The Mahuzes. Adapun alasannya, pertama film dokumenter The

Mahuzes menyajikan fakta dari suatu isu penting dan jarang diketahui

masyarakat. Film ini merekam adegan-adegan nyata kondisi masyarakat asli

Merauke yakni orang Malind marga Mahuze yang mempertahankan tanah

mereka. Kedua, meski hanya film dokumenter, film The Mahuzes dapat

menarik perhatian penonton yakni generasi muda dalam melihat dan

menyikapi permasalahan tentang proyek MIFEE di Merauke, hal ini ditandai

dengan munculnya kegiatan diskusi film di wilayah kampus di beberapa

daerah Indonesia seperti Yogyakarta, Jayapura, dan Lampung. Ketiga, respon

penonton dapat mengarah pada nilai positif dan negatif terhadap konflik adat

dalam film The Mahuzes.

Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/129561/potongan/S1-2017-345965...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Audiens disebut juga dengan khalayak

6

Film yang bertemakan konflik adat ini menimbulkan beragam

pemaknaan teks. Audiens akan memiliki pemahaman dan melakukan proses

pemaknaan teks dengan cara yang berbeda tergantung dari latar belakang

budaya, sosial, pengalaman, kebiasaan, tingkat pendidikan dan faktor lain

yang mempengaruhi resepsi mereka. Fokus penelitian ini terletak pada

pemaknaan yang dihasilkan audiens mengenai konflik adat yang terdapat

dalam film The Mahuzes. Menarik untuk melihat bagaimana audiens yang

beragam memaknai film mengenai konflik adat, mengingat tidak semua

daerah di Indonesia sensitif dan peduli terhadap konflik adat, kecuali di

Papua.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana resepsi mahasiswa terhadap konflik adat dalam film dokumenter

The Mahuzes ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui resepsi mahasiswa terhadap konflik adat dalam film

dokumenter The Mahuzes.

2. Untuk menganalisis resepsi mahasiswa terhadap konflik adat dalam film

dokumenter The Mahuzes.

D. Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat penelitian adalah :

1. Secara teoritis, penelitian ini berguna untuk menambah pengetahuan dan

memperluas wawasan peneliti mengenai ilmu komunikasi.

2. Secara akademis, penelitian diharapkan memperkaya kajian penelitian

ilmu komunikasi yang berfokus pada analisis resepsi. Selain itu, penelitian

ini juga dapat berkontribusi bagi kajian perfilman terkait konflik adat serta

menjadi bahan masukan bagi penelitian karya ilmiah selanjutnya

Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/129561/potongan/S1-2017-345965...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Audiens disebut juga dengan khalayak

7

3. Secara praktis, penelitian diharapkan dapat memberikan informasi kepada

masyakat mengenai kekuatan khalayak dalam memaknai teks saat

berinteraksi dengan teks media.

E. Kerangka Pemikiran

1. Audiens

Konsep audiens atau khalayak saling berkaitan dalam proses

komunikasi massa. Wilbur Scrahmm (1954; dikutip McQuail, 1971:1)

menyebut audiens merupakan istilah yang familiar digunakan para ahli

media sebagai istilah kolektif untuk merujuk “receivers” (penerima) dalam

proses komunikasi massa. Secara sederhana, orang-orang yang

menggunakan media massa disebut audiens.

Nurudin (2007) mengatakan audience yang dimaksud dalam

komunikasi massa sangat beragam, dari jutaan penonon televisi, ribuan

pembaca buku, majalah, koran, atau jurnal ilmiah. Masing-masing audience

berbeda satu sama lain diantaranya dalam hal berpakaian, berpikir,

menanggapi pesan yang diterimanya, pengalaman dan orientasi hidupnya.

Akan tetapi masing-masing individu bisa saling mereaksi pesan yang

diterimanya.

Mcluhan (dalam Elvinaro, dkk, 2009:40), mengatakan audience hampir

tidak bisa menghindar dari media massa, sehingga beberapa individu

menjadi anggota audience yang besar, yang menerima ribuan pesan media

massa. Hiebert,et.al (dalam Nurudin, 2007), mengatakan audience dalam

komunikasi massa setidak-tidaknya mempunyai lima karakteristik yaitu :

1. Audience cenderung berisi individu-individu yang condong untuk

berbagi pengalaman dan dipengaruhi oleh hubungan sosial diantara

mereka. Individu-individu ini memilih produk media yang mereka

gunakan berdasarkan kebiasaan dan kesadaran sendiri.

2. Audience cenderung besar. Besar disini berarti tersebar ke berbagai

wilayah jangkauan sasaran komunikasi massa. Meskipun begitu,

ukuran luas ini sifatnya bisa jadi relatif. Sebab, ada media tertentu

Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/129561/potongan/S1-2017-345965...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Audiens disebut juga dengan khalayak

8

yang khalayaknya mencapai ribuan, ada yang mencapai jutaan. Baik

ribuan atau jutaan tetap bisa disebut audience meskipun jumlahnya

berbeda. Jadi tak ada ukuran pasti tentang luasnya audience itu.

3. Audience cenderung heterogen, mereka berasal dari berbagai lapisan

dan kategori sosial. Beberapa media tertentu mempunyai sasaran,

tetapi heterogenitasnya juga tetap ada.

4. Audience cenderung anonim, yakni tidak mengenal satu sama lain.

Tidak mengenal tersebut tidak ditekankan satu kasus perkasus, tetapi

meliputi semua audience.

5. Audience secara fisik dipisahkan dari komunikator, dapat juga

dikatakan audience dipisahkan oleh ruang dan waktu.

McQuail (1997) menjelaskan, audiens memiliki dua sifat yaitu pasif dan

aktif. Audiens pasif adalah mereka yang menerima pesan yang disampaikan

oleh media tanpa proses negosiasi. Sedangkan audiens aktif diartikan

sebagai audiens yang mampu memilih media yang digunakan dan menerima

pesan dengan proses negosiasi.

Kajian yang dilakukan oleh Frank Biocca dalam artikelnya yang

berjudul “Opposing Conception of Audience : The Passive and Active

Heimpshere of Communication Theory” (1998), ditemukan beberapa ciri

audiens akif. Pertama adalah audiens diyakini lebih selektif, terhadap media

yang mereka gunakan. Audiens tidak sembarangan menggunakan satu

media. Biasanya didasarkan alasan dan tujuan tertentu. Kedua,

utilitarianism yaitu audiens aktif menggunakan media untuk memenuhi

kebutuhan mereka. Karakteristik ketiga adalah intensionalitas yang berarti

penggunaan secara sengaja dari isi media. Keempat adalah keikutsertaan,

artinya mereka ikut aktif berpikir mengenai alasan mereka dalam

mengkonsumsi media. Kemudian yang kelima adalah audiens aktif

dipercaya sebagai komunitas yang tahan dalam menghadapi pengaruh media

dan tidak mudah dibujuk media. Sedangkan audiens pasif adalah audiens

yang hanya sekedar mendengarkan dan menikmati, program siaran yang

sedang berlangsung.

Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/129561/potongan/S1-2017-345965...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Audiens disebut juga dengan khalayak

9

Menurut Croteau dan Hoyness (2003) keaktifan khalayak tidak hanya

sebatas pada proses menginterpretasikan pesan media, namun juga dalam

memanfaatkan pesan itu secara sosial, termasuk dalam penggunaannya.

Selanjutnya, Croteau dan Hoynes dalam Media Society menjelaskan empat

poin yang memperlihatkan aktifnya khalayak media massa. Pertama,

Interpretasi. Interpretasi merupakan kondisi aktif seseorang dalam proses

berpikir dan kegiatan kreatif pencarian makna (Littlejohn, 1999:199).

Interpretasi merupakan aktivitas pertama karena isi pesan selalu berubah

sesuai konstruksi khalayak masing-masing. Interpretasi terjadi ketika pesan

media perlahan mulai bermakna bagi khalayak sekaligus juga menjadi asal

muasal kesenangan, kenyamanan, ketertarikan dan intelektual lain yang

lebih luas. Kedua, konteks sosial dari interpretasi. Maksudnya, dalam

tataran ini khalayak aktif memiliki kemampuan untuk menafsirkan pesan

media dalam lingkup bermasyarakat. Khalayak mampu menggunakan pesan

media dan menariknya dalam perspektif sosial. Ketiga, Collective action.

Dalam hal ini, audiens bisa dikatakan aktif ketika audiens mengatur

tindakan secara kolektif untuk membuat tuntutan formal pada produsen

media atau regulator. Audiens dalam hal ini berusaha untuk mengubah text

media atau kebijakan-kebijakan media yang dinilai merugikan dirinya dan

masyarakat luas. Aksi kolektif tersebut dapat meliputi protes yang dilakukan

oleh publik, kampenye publik untuk menyebarkan kemarahan pulik, petisi

online dsb. Keempat, Audiences as media producers. Audiens aktif mampu

memproduksi dan mendistribusikan media yang mereka buat sebagai bentuk

kritik terhadap media mainstream serta menyediakan perspektif alternatif.

2. Film sebagai Komunikasi Massa

a. Film

Film merupakan salah satu bentuk penyampaian pesan melalui media

komunikasi massa. Film tidak lagi dimaknai sekedar sebagai karya seni,

tetapi sekarang film lebih sebagai “praktik sosial” serta “komunikasi

massa”. Komunikasi massa sendiri adalah komunikasi yang terjadi melalui

Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/129561/potongan/S1-2017-345965...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Audiens disebut juga dengan khalayak

10

media massa seperti surat kabar, film, radio, dan televisi. Jadi dalam artian

yang lain komunikasi massa adalah penyebaran pesan dengan menggunakan

media yang di tujukan pada masyarakat yang abstrak, yaitu sejumlah orang

yang tidak tampak oleh penyampain pesan (Effendy, 2002)

Film seperti yang diungkapkan Real (1996:89) merupakan mass

mediated culture yaitu penggambaran budaya sebagaimana adanya seperti

yang terdapat dalam berbagai media massa kontemporer, baik tentang

golongan elit, awam, orang terkenal maupun budaya asli masyarakat. Film

juga mampu menjadi agen sosialisasi tradisional dalam masyarakat,

keluarga, sekolah atau ajaran agama dan membangun hubungan langsung

dengan individual. Walau bagaimanapun bentuk tanggapan dari khalayak

terhadap pesan yang terkandung dalam film, akan dipengaruhi oleh isi

khalayak sebelumnya, baik pengalaman sosial maupun budaya, selain itu,

sebagaimana layaknya media massa lain yang dianggap mampu dan

memiliki kekuatan untuk membentuk masyarakat, demikian pula sama

halnya dengan film. Film juga mampu mempengaruhi dan membentuk

budaya atau kehidupan masyarakat sehari-hari.

Gambar bergerak (film) adalah bentuk domain dari komunikasi massa

visual di belahan dunia ini. Lebih dari ratusan juta orang menonton film

bioskop, film televisi dan film video laser setiap minggunya. Di Amerika

Serikat dan Kanada lebih dari satu juta tiket film terjual setiap tahun

(Ardianto & Erdinaya, 2005:134).

Film pertama ditayangkan di Amerika Serikat pada tanggal 23 April

1896 di kota New York. Thomas Edison, setelah menyempurnakan teknik

pertunjukkan gambar gerak atau kinetoscope, meninggalkan rencana

awalnya mengeksplotiasi peluang komersial film karena ia merasa

penayangan film layar lebar kepada banyak penonton sekaligus akan segera

menghabiskan pasar. Namun keberhasilan penayangan pertama itu

mengubah film dari seni menjadi bisnis dan para pengusaha menggantikan

posisi para penemu untuk mencari laba sebesar-besanya. Praktik produksi,

Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/129561/potongan/S1-2017-345965...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Audiens disebut juga dengan khalayak

11

distribusi dan penayangan massal menjadi ciri industri film sehingga

setengah abad kemudian (Rivers, 2008:197-198).

b. Film Dokumenter

Film dokumenter adalah film yang mendokumentasikan kenyataan.

Fenomena apa yang sedang terjadi di masyarakat dikemas dalam bentuk

senatural mungkin. Istilah “dokumenter” pertama digunakan dalam resensi

film Moana (1962) oleh Robert Flaherty, ditulis oleh The Moviegor, nama

samara John Grierson, di New York Sun pada tanggal 8 Januari 1926. Di

Perancis, istilah dokumenter digunakan untuk semua film non fiksi,

termasuk film mengenai perjalanan dan film pendidikan. Berdasarkan ini,

film-film pertama semua adalah film dokumenter. Para pembuat film

dokumenter biasanya merekam kegiatan sehari-hari, misalnya kereta api

masuk stasiun. Film Dokumenter merepresentasikan kenyataan, artinya film

dokumenter berarti menampilkan kembali fakta yang ada dalam kehidupan.

John Grierson (dalam Ayawaila, 2008:12) Mendefinisikan film dokumenter

sebagai sebuah laporan aktual yang kreatif. Maka dari itu, definisi film

dokumenter dekat dengan definisi news. Dalam perkembangannya, Dziga

Vertov (dalam Ayawaila, 2008:15) mengemukakan konsep tentang “Kino-

Pravda” atau film kebenaran, bahwa kamera adalah mata film (kino-eye),

dan film dokumenter tidak menceritakan suatu realitas objektif, melainkan

realitas berdasarkan apa yang tampak dan terekam oleh kamera sebagai

mata film. Konsep Vertov tersebut menjadi cikal-bakal gaya pembuatan

film berita.

Kunci utama film dokumenter adalah penyajian fakta. Film dokumenter

berhubungan dengan orang-orang, tokoh, peristiwa, dan lokasi yang nyata.

Film dokumenter tidak menciptakan suatu peristiwa atau kejadian, namun

merekam peristiwa yang sungguh-sunggh terjadi dan otentik (Pratista,

2008:4). Tujuan dasar film dokumenter untuk memberi pencerahan,

memberi informasi, pendidikan, melakukan persuasi dan memberikan

wawasan tentang dunia yang kita tinggali.

Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/129561/potongan/S1-2017-345965...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Audiens disebut juga dengan khalayak

12

Selain mengandung fakta, film dokumenter juga mengandung

subyektivitas pembuat. Subyektivitas diartikan sebagai sikap atau opini

terhadap peristiwa. Ketika faktor manusia ikut berperan, persepsi tentang

kenyataan akan bergantung pada si pembuat film dokumenter itu. Film

dokumenter bukan cerminan pasif dari kenyataan, melainkan ada proses

penafsiran atas kenyataan yang dilakukan oleh si pembuat film dokumenter

(Sumarno, 1996:14). Dalam film dokumenter tidak memiliki plot, namun

memiliki struktur yang umumnya didasarkan oleh tema atau argumen dari

sineasnya. Film dokumenter juga tidak memiliki tokoh protagonis dan

antagonis, konflik serta penyelesaian seperti halnya film fiksi. Struktur

bertutur film dokumenter umumnya sederhana dengan tujuan agar

memudahkan penonton untuk memahami dan mempercayai fakta-fakta yang

disajikan (Pratista, 2008:4).

Film dokumenter memiliki beberapa karakter teknis yang khas yang

tujuan utamanya untuk mendapatkan kemudahan, kecepatan, fleksibilitas,

efektivitas, serta otentitas peristiwa yang akan direkam. Umunya film

dokumenter memiliki bentuk sederhana dan jarang sekali menggunakan

efek visual. Teknik-teknik produksi yang digunakan sama dengan film fiksi.

Namun terdapat perbedaan yang mendasar yakni, para sineas fiksi

umumnya menggunakan teknik tersebut sebagai pendekatan estetik (gaya),

sementara sineas dokumenter lebih berfokus untuk mendukung subyeknya

(isi atau tema) (Pratista, 2008:4-5). Untuk lebih menegaskan perbedaan

antara film dokumenter sebagai film non-fiksi, berikut ini kriteria yang

membedakannya dengan film fiksi.

Menurut Ayawaila (2008:22) terdapat 4 kriteria yang membedakan,

pertama setiap adegan dalam film dokumenter merupakan rekaman kejadian

sebenarnya, tanpa interpretasi imajinatif seperti halnya dalam film fiksi. Bila

pada film fiksi latarbelakang (setting) adegan dirancang, pada dokumenter

latabelakang harus spontan otentik dengan situasi dan kondisi asli (apa

adanya), kedua yang dituturkan dalam film dokumenter berdasarkan

peristiwa nyata (realita), sedangkan dalam fiksi isi cerita berdasarkan

Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/129561/potongan/S1-2017-345965...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Audiens disebut juga dengan khalayak

13

karangan (imajinatif). Bila film dokumenter memiliki interpretasi kreatif,

maka dalam film fiksi yang dimiliki adalah interpretasi imajinatif. Ketiga

sebagai sebuah film non fiksi, sutradara melakukan observasi pada suatu

peristiwa nyata, lalu melakukan perekaman gambar sesuai apa adanya. Dan

keempat apabila struktur cerita pada film fiksi mengacu pada alur cerita atau

plot, dalam dokumenter konsentrasinya lebih pada isi dan pemaparan.

Dokumenter ternyata terpecah menjadi dua berdasarkan kategori

produksinya, yaitu film dokumenter dan televisi dokumenter. Televisi

dokumenter disebut juga dokumenter dalam tayangan televisi. Dokumenter

tersebut dekat dengan motif pemberitaan yang merupakan perkembangan

dari format program jurnalistik. Bentuk dan kategorinya cukup beragam,

antara lain esai berisi actual, features, magazine, dan dokumenter televisi

khusus (sekali tayang dan berseri)(Ayawaila, 2008:26-29)

Kemudian jika televisi dokumenter dibandingkan dengan film

dokumenter, Ayawaila (2008:23) menjelaskan terdapat perbedaan dari segi

keterbatasan televisi dalam menayangkan dokumenter, yaitu dari segi durasi

dan penggunaan shot. Film dokumenter tidak memiliki batasan durasi,

sehingga biasanya berdurasi panjang untuk diputar di bioskop atau pada

festival, lebih dari 1 jam. Film dokumenter lebih bebas menggunakan semua

tipe shot seperti close up dan medium shot. Hal tersebut disebabkan oleh

adanya penyesuaian pada perbedaan besar layar bioskop dengan layar

televisi.

Dari penjelasan di atas, menunjukkan film dokumenter merupakan

media yang mampu melaporkan kejadian nyata. Arah definisi kemudian

menjadi sama dengan berita sebagai media yang melaporkan peristiwa

aktual. Namun titik perbedaan film dokumenter dengan berita adalah dari

segi kedalaman. Film dokumenter berdasarkan kebebasannya mampu lepas

dari tuntutan televisi sebagai media yang berdiri sendiri, ataupun tuntutan

jurnalistik yang harus dipenuhi dan standar-standar layak tayang lainnya.

Menurut Ayawaila (2008:16-18) dengan gaya pendekatan film dokumenter

Cinema Verite (film kebenaran) dari Perancis maupun Direct Cinema dari

Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/129561/potongan/S1-2017-345965...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Audiens disebut juga dengan khalayak

14

Amerika, film dokumenter lebih mampu mengangkat realitas visual, yang

diyakini dapat mempertahankan, juga menjaga spontanitas aksi dan karakter

local secara otentik sesuai dengan apa adanya.

3. Analisis Resepsi

Analisis resepsi merupakan salah satu fokus studi yang mengkaji

audiens aktif. Tradisi ini mengkaji audiens sebagai penerima pesan yang

aktif dalam proses pemaknaan. Konsep penting dari analisis resepsi adalah

bahwa makna teks media tidak melekat pada teks media tersebut, tetapi

diciptakan dalam interaksi antara audiens dengan teks (Hadi, 2008).

Sebagai respon terhadap tradisi keilmuan dalam ilmu sosial, analisis

resepsi menandaskan bahwa studi tentang pengalaman dan dampak media,

apakah itu kuantitatif atau kualitatif, seharusnya didasarkan pada teori

representasi dan wacana serta tidak sekedar menggunakan operasionalisasi,

seperti penggunaan skala dan kategori semantik. Sebaliknya sebagai respon

terhadap studi teks humanistik, analisis resepsi menyarankan baik audiens

maupun konteks dalam komunikasi massa perlu dilihat tersendiri secara

sosial, dan menjadi objek analisis empiris. Perpaduan dari kedua pendekatan

(perspektif sosial dan diskursif) itulah yang kemudian melahirkan konsep

produksi sosial terhadap makna (the social production of meaning) (Jensen,

1993: 137).

Secara umum, analisis resepsi memiliki dua premis, pertama teks media

mendapatkan makna pada saat penerimaan, dan bahwa audiens secara aktif

memproduksi makna dari media dengan menerima dan menginterpretasikan

teks-teks sesuai dengan posisi-posisi sosial dan budaya mereka. Premis

kedua, sebagai landasan penelitian, menyiratkan bahwa pesan-pesan media

secara subjektif dikontruksikan audiens secara individual, bahkan ketika

media berada dalam posisi paling dominan. Premis ini memposisikan

audiens sebagai makhluk bebas yang mempunyai kekuatan besar dalam

pemaknaan atau pemberian makna terhadap pesan (Croteau & Hoyness,

2003 : 274).

Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/129561/potongan/S1-2017-345965...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Audiens disebut juga dengan khalayak

15

Teori resepsi dikembangkan oleh Stuart Hall. Hall memfokuskan pada

analisis tekstual dengan ruang lingkup pada negosiasi dan oposisi pemirsa

sebagai bagian dari masyarakat. Hal ini berarti pemirsa tidak secara mudah

ataupun pasif dalam menerima teks – termasuk buku ataupun film-film

elemen ini menjadi aktif dalam aktivitasnya. Karena seseorang

menegoisasikan arti dari teks, makna ini tergantung pada bagaimana latar

belakang budaya seseorang tersebut. Karena latar belakang seseorang dapat

menjelaskan bahwa ada sebagai pembaca teks akan menyetujui atau

menolak apa yang dia baca. Hall juga membangun sebuah ide yang

dijadikan model mengenai masalah pengkodean dalam wacana media.

Makna dari teks dapat salah, karena ada jarak antara penulis dan pembaca.

Walaupun sang penulis menulis teks dalam beberapa metode yang mungkin

bisa dimengerti oleh pembaca.

Dalam perkembangannya, Hall memperkenalkan model komunikasi

encoding-decoding. Model encoding-decoding merupakan model yang

menghadirkan sesuatu yang baru dalam penelitian khalayak. Hall

mengajukan sebuah pendekatan kajian khalayak yang berusaha melihat

bagaimana memahami berbagai content dari perspektif pembacanya.

Asumsinya adalah bahwa makna teks media bukan merupakan sesuatu yang

pasti. Namun teks media memperoleh makna hanya pada saat penerimaan

ketika mereka dibaca, ditonton, dan didengar. Lebih jauh jika teori uses and

gratification memberikan pendekatan pada pemikiran bagaimana individual

memilih dan menggunakan konten komunikasi, maka reception theory

membahas apa yang terjadi pada tindakan pengkonsumsian, bagaimana isi

tertentu dari suatu pesan dilihat dan diinterpretasikan oleh receiver

(Windahl,dkk,1993:165).

Encoding merupakan proses pengemasan pesan yang dilakukan

pembuatnya untuk disampaikan kepada khalayaknya. Beberapa proses

sebelum menghasilkan pesan, pembuat memiliki tujuan atau ideologi yang

ingin disampaikan. Tujuan inilah yang digunakan untuk mempengaruhi atau

menanamkan gambaran tentang pesan yang diberikan. Sedangkan decoding

Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/129561/potongan/S1-2017-345965...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Audiens disebut juga dengan khalayak

16

dalam proses komunikasi merupakan bagian dari proses pembacaan makna

pesan dalam media. Proses ini dipengaruhi beberapa faktor yang ada dalam

setiap individu. Faktor-faktor inilah yang membuat proses pembacaan

makna menjadi beragam dan menghasilkan banyak penafsiran. Dalam

penelitian kultural, bagaimana makna diproduksi dan dibagikan serta

hubungan yang menentukan pemaknaan merupakan fokus perhatian utama

dalam penelitian resepsi. Berikut ini gambaran proses model encoding-

decoding Hall yang dideskripsikan dalam gambar I.1

Gambar I.1 Encoding dan Decoding Bagan Hall

(Sumber: Stuart Hall 2006. “Encoding/Decoding” dalam Meenakshi Gigi Durham dan

Douglas M Kellner (Ed). (2002) Media and Cultural Studies : Keyworks.Oxford :

Blackwell Publishing.Hal 165

Dari gambar model encoding-decoding tersebut, telihat bahwa encoding

dilakukan oleh pengirim pesan dan decoding dilakukan oleh penerima

pesan. Saat melakukan tahap encoding yang merupakan proses dari

produsen pesan, maka melewati beberapa prosedur yang membentuk

encoding tersebut yakni frameworks of knowledge, relation of production,

dan technical infrastructure. Relation of production dan technical

infrastructure terkait dengan penggambaran mengenai konflik adat dalam

film baik teks maupun gambar. Nilai-nilai atau ideologi dalam film tersebut

menjadi dasar mengetahui kepentingan si pembuat film. Sedangkan

frameworks of knowledge mengukur pengetahuan yang telah dimiliki

sebelumnya. Ketiga hal tersebut menjadi faktor utama bagaimana produsen

Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/129561/potongan/S1-2017-345965...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Audiens disebut juga dengan khalayak

17

mengkonstruksi pesan tertentu. Kemudian dari proses encoding tersebut

membentuk titik tengah yaitu wacana berisikan makna yang dalam bagan

tersebut dinamai „meaningful’ discourse. Kemudian wacana tersebut

melanjutkan proses pada decoding oleh konsumen pesan atau khalayak di

mana makna yang mereka dapat dari wacana tersebut membentuk tiga

faktor utama yang juga berada pada proses membentuk tahapan encoding.

Model encoding-decoding ini tidak lepas dari pengaruh lapisan sosial serta

latar belakang budaya dan kerangka referensi masing-masing.

Dalam teorinya Hall menjelaskan bahwa makna yang dimaksudkan dan

diartikan dalam sebuah pesan bisa terdapat perbedaan. Kode yang

digunakan atau yang disandi (encode) dan yang disandi balik (decode) tidak

selamanya berbentuk simetris. Derajat simetris dalam teori ini dimaksudkan

sebagai derajat pemahaman serta kesalahpahaman dalam pertukaran pesan

dalam proses komunikasi – tergantung pada relasi ekuivalen (simetri atau

tidak) yang terbentuk diantara encoder dan decoder. Selain itu posisi

encoder dan decoder, jika dipersonifikasikan menjadi pembuat pesan dan

penerima pesan. Ketika khalayak menyanding balik (decoding) dalam suatu

komunikasi, maka terdapat posisi hipotekal, yakni : (1) Dominant-

hegemonic Position, (2) Negotiated Position, (3) Oppositional Position.

Hall juga menjelaskan bahwa dalam proses negosiasi makna praktik

resepsi memaparkan tiga interpretasi yang digunakan individu merespon apa

yang dilihatnya dalam media massa yaitu :

1. Dominan-Hegemonic code

Menjelaskan bahwa posisi audiens yang menyetujui dan menerima

langsung apa saja yang disajikan oleh televisi, menerima penuh

ideologi yang dari program tayangan tanpa ada penolakan atau

ketidaksetujuan terhadapnya.

2. Negotiated code

Menjelaskan bahwa penonton yang mencampur interpretasinya

dengan pengalaman sosial tertentu mereka. Penonton yang masuk

Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/129561/potongan/S1-2017-345965...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Audiens disebut juga dengan khalayak

18

kategori negosiasi ini bertindak antara adaptif dan oposisi terhadap

interpretasi pesan atau ideologi dalam televisi.

3. Oppositional code.

Menjelaskan bahwa penonton melawan atau berlawanan dengan

representasi yang ditawarkan dalam tayangan dengan cara yang

berbeda dengan pembacaan yang telah ditawarkan.

Teori yang dikemukakan Hall diatas mencoba menjelaskan bahwa

dalam analisis resepsi khalayak bisa secara bebas untuk membaca, melihat

dan mendengar informasi terhadap media massa. Kebebasan tersebut juga

terhadap proses seleksi terhadap jenis pesan ataupun informasi yang

ditemukannya. Seperti kita ketahui, bahwa media massa bukan faktor

tunggal yang menentukan bagaimana teks itu di proses dan di maknai oleh

khalayak. Namun ada faktor lainnya yang menjadi pemicu, seperti

pengalaman dan faktor internal dari khalayak itu yang akan menentukan

bagaimana hasil atau makna pesan dari media massa tersebut akan diterima.

Dengan begitu, khalayak akan memiliki pemaknaan yang berbeda satu sama

lain terhadap pesan dari media massa.

Dalam penelitian komunikasi, teori resepsi model encoding-decoding

Stuart Hall menjadi panutan dan kiblat dari penelitian audiens ketika

berhadapan dengan media massa. Ross & Nightingale (2003:37-38)

menjelaskan keuntungan dari model encoding-decoding Stuart Hall yang

terdiri dari beberapa hal : pertama, memungkinkan timbulnya fakta bahwa

media dapat dipelajari sebagai pemancar dari ideologi yang dominan di

masyarakat. Kedua, pendekatan encoding-decoding mengungkapkan

bagaimana pesan media yang dikonstruksi ulang oleh kelompok-kelompok

sosial tertentu dan berbeda-beda dalam masyarakat. Ketiga, pendekatan ini

mempelajari penonton dalam aspek pembacaan mereka terhadap teks atau

pesan media dari pada kebutuhan psikologis mereka. Selain itu dengan

pendekatan encoding-decoding berfokus pada „wacana‟ sehingga dapat

meminimalisir pentingnya teks atau media tunggal.

Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/129561/potongan/S1-2017-345965...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Audiens disebut juga dengan khalayak

19

Selain Hall, analisis resepsi dijelaskan oleh Carolyn Michelle (2007).

Analisis resepsi Carolyn Michelle merupakan kerangka analisis yang

membantu peneliti membaca resepsi dari khalayak yang menjadi informan

penelitian. Michelle menyodorkan kerangka resepsi sebagai Consolidated

Analytical Framework, kerangka resepsi ini dibangun oleh hasil-hasil

penelitian resepsi sebelumnya. Dua fokus utama kerangka resepsi ini

memungkinkan peneliti untuk membaca pemaknaan teks media, yakni level

denotatif dan konotatif dari khalayak dalam aktivitas konsumsi teks media.

Dalam dua makna level ini, menyajikan empat pembedaan mode resepsi,

yaitu transparent mode, referential mode, mediated mode, dan discursive

mode. Dalam masing-masing model, terdapat bermacam-macam sub

kategori untuk menjelaskan data resepsi. Selain itu, terdapat pula evaluasi,

pada evaluasi, kerangka resepsi juga menyajikan dampak hegemonik teks

atas khalayak yang mengonsumsinya. Konsep mengenai khalayak juga

dijabarkan untuk memberikan pemahaman bagaimana aktivitas individu dan

pemaknaan yang terjadi dalam konsumsi media massa.

Perbedaan antara analisis resepsi Stuart Hall dan Carolyn Michelle

dapat dilihat dari kategori pemaknaan teks media, Stuart Hall

mengidentifikasi tiga posisi yakni Dominant-Hegemonic Position,

Negotiated Position, Oppositional Position, sedangkan Carolyn Michelle

mengidentifikasi dua level fokus utama yakni level denotatif dan level

konotatif , serta evaluasi.

4. Konflik Adat

Konflik sangat erat hubungannya dengan kepentingan antar kelompok

yang mendasari nilai-nilai kekuasaan. Perbedaan nilai dan identitas juga

memberikan pengaruh yang sangat besar, selain ketimpangan ekonomi,

kepentingan, dan kontrol terhadap kekuasaan. Konflik bukan mustahil

berawal dari ketidakadilan ekonomi, kemudian menyebar menjadi konflik

identitas kesukuan yang memberikan kekuatan lebih untuk menumpuk

Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/129561/potongan/S1-2017-345965...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Audiens disebut juga dengan khalayak

20

kebencian dan memberikan dampak panjang terselesaikannya konflik

tersebut (Teja, 2011).

Banyaknya suku bangsa yang tersebar di berbagai pulau dan wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan aset yang berharga, namun

juga sekaligus membuat Indonesia rentan terhadap konflik. Pembangunan

yang tidak merata, merupakan salah satu persoalan yang menjadi titik tolak

dan akar dari munculnya berbagai konflik. Persoalan kemiskinan,

kesenjangan budaya, ketimpangan pembangunan antara satu daerah dengan

yang lain, korupsi dan sebagainya adalah persoalan krusial yang tidak

mudah diselesaikan tanpa good will pemerintah. Konflik kemudian

perwujudan berbagai pertentangan antara dua belah pihak baik itu berwujud

individu maupun kelompok atau golongan.

Menurut Coser (1956) konflik sosial dapat diartikan sebagai cara

memperjuangkan nilai-nilai dan klaim terhadap kelangkaan status,

kekuasaan dan sumberdaya dengan tujuan dari para pihak adalah

menetralisir, menyakiti maupun menyisihkan siapa yang menjadi lawan

mereka (Coser,1956:8). Konflik juga dimaknai sebagai hubungan antara dua

pihak atau lebih yang memiliki tujuan yang tidak sejalan

(Mitchell,1981:17). Dalam konteks sistem sosial, hubungan permusuhan

antar unit dapat terjadi. Unit-unit yang berkonflik dalam sistem tersebut

mungkin bersifat independen satu sama lain dan masing-masing unit

mungkin berbeda dalam entitas yang lebih besar (Kriesberg, 1982:14).

Dalam konfilik sosial, karakteristik unit-unit yang berkonflik berada

pada situasi dan kondisi di mana unit-unit ini tidak saling sepakat. Konfilik

sosial terjadi ketika dua belah pihak atau lebih meyakini meraka memiliki

tujuan dan keinginan yang berbeda (Kriesberg, 1982:17). Disamping itu,

adanya perbedaan sumberdaya diantara para pihak yang terlibat

mempengaruhi alat berkonflik yang digunakan oleh masing-masing pihak.

Sumber daya yang dikontrol oleh salah satu pihak diinginkan oleh pihak

lawan karena menjanjikan keuntungan yang besar (Kriesberg, 1982:141).

Konflik berpotensi untuk terjadi karena ada dua belah pihak atau lebih yang

Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/129561/potongan/S1-2017-345965...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Audiens disebut juga dengan khalayak

21

memperebutkan nilai, maupun kompetisi di antara para pihak untuk

mendapatkan status kekuasaan dan sumberdaya yang langka atau terbatas

(Moore, 1986:16).

Konflik sosial kerapkali muncul dengan isu-isu lokalitas seperti konflik

lahan milik masyarakat adat dengan perusahaan. Konflik ini dikenal sebagai

konflik adat. Menurut hasil kajian Forest Peoples Programme (FPP),

dikutip dari situs mongabay.co.id, menyebutkan bahwa nasib masyarakat

adat di Indonesia yang turun temurun tinggal di sekitar kawasan hutan

makin memprihatinkan. Faktor utama, karena pemerintah lemah dan tidak

berpihak pada masyarakat adat. “Hutan mereka dirusak oleh perusahaan

seperti sawit tanpa mempertimbangkan bagaimana nasib masyarakat ada di

sana,” kata Patrick Anderson, Policy Advisor FPP, kepada Mongabay, usai

The Forest Dialogue. Dia mengatakan, cara sejumlah perusahaan

mengeksplorasi kawasan hutan, begitu brutal tanpa mempertimbangkan

masyarakat yang hidup di dalamnya.”Terjadilah konflik berkepanjangan,

tidak sedikit berujung kematian.” Dari sejumlah laporan mereka

memperlihatkan, ada sejumlah perusahaan menyatakan akan berhenti

merusak hutan karena banyak tekanan pasar dan investor. Namun,

komitmen itu hanya sebagian kecil, di lapangan, perusakan hutan dan

konflik dengan masyarakat adat cukup tinggi.

Di Papua, salah satu akar masalah hingga terjadinyakonflik adalah

kesejahteraan masyarakat adat yang tidak merata, di mana kekayaan alam

Papua terus dikeruk namun sama sekali tidak berimbas pada kehidupan

masyarakatnya. Sumber-sumber daya alam yang kaya di Papua akan tetap

menjadi salah satu keluhan utama dan pemicu konflik (baik vertikal antara

negara dan rakyat juga secara horisontal antara para anggota masyarakat

adat).

Carpenter dan Kennedy (1988) mengatakan konflik atau sengketa

bersifat dinamis dan apabila tidak dikelola dapat berkembang menjadi

konflik spiral yang terjadi berlarut. Konflik spiral ini berawal dari

munculnya permasalahan, terbentuknya faksi-faksi, penguatan posisi

Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/129561/potongan/S1-2017-345965...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Audiens disebut juga dengan khalayak

22

masing-masing pihak berkonflik, terhentinya komunikasi para pihak yang

terhenti, dedikasi akan sumberdaya, konflik menyebar keluar, munculnya

persepsi yang bias, krisis muncul, dan berujung pada hasil yang beragam.

Keseluruhan proses tersebut dinamakan spiral konflik karena berkembang

seperti bentuk spiral (Carpenter & Kennedy, 1988 : 11-15).

Pada masyarakat sosial terdapat pemilihan struktur yaitu masyarakat

yang bersifat consolidated dan intersected. Pada tipe masyarakat

consolidated lebih cenderung mengembangkan identitas kelompok yang

kuat dan kohesi kelompok lebih mudah diciptakan bahkan lebih kokoh.

Dalam tipe masyarakat ini kesadaran konflik cenderung tinggi sehingga bila

terjadi konflik dengan kelompok lain maka intensitas berkonfliknya juga

memiliki kecenderungan lebih tinggi. Sementara itu, pada tipe masyarakat

yang intersected, kesadatan terhadap konflik lebih sulit dikembangkan

sehingga intensitas berkonfliknya cenderung rendah (Mas‟oed dkk 2000 :

12-13). Pada orang malind cenderung memiliki tipe masyarakat yang

consolidated karena pengaruh agama, suku, ras dan kelas sosial yang sama

sehingga kohensi antar orang Malind lebih kuat.

Pada kasus orang Malind dan pihak investor proyek MIFEE, harapan

orang Malind untuk mendapatkan kejelasan mengenai penggunaan tanah

adat tidak sesuai dengan penyelesaiannya, ditambah lagi dengan tindak

intimidasi, kriminalisasi, kekerasan, penganiayaan dan penyiksaan yang

dialami orang Malind sehingga menyulut emosional dan kekecewaan. Sadar

akan permasalahan sengketa lahan yang terus terjadi, beberapa masyarakat

adat pun mulai melakukan beberapa perlawanan untuk mempertahankan

hutan adat mereka. Salah satu bentuk perlawanannya ialah dengan

melakukan gerakan sosial. Gerakan sosial telah lama menjadi pembawa

pengetahuan tentang bentuk operasi dan ketidakadilan, mengungkapkan

klaim politik, mengidentifikasi keluhan ekonomi dan sosial dan membawa

masalah yang diabaikan ke ranah publik.

Harry H. Hiller (1975) merupakan salah satu ilmuwan di bidang sosial

yang membuat skema fase-fase sebuah gerakan sosial, jurnalnya yang

Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/129561/potongan/S1-2017-345965...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Audiens disebut juga dengan khalayak

23

berjudul “A Reconceptualication of the Dynamics of Social Movement

Development” membahas bagaimana fase-fase dalam prose gerakan sosial

terjadi. Hiller membagi dinamika gerakan sosial ke dalam 3 fase, yaitu fase

ketertarikan (interest), protes, dan perspektif. Namun Hiller menekankan

bahwa fase atau tahapan yang ia buat tidaklah bersifat mutlak (exclusive

fashion). Berikut penjelasannya :

1. Fase ketertarikan (Interest Phase) merupakan fase dimana terjadi suatu

perasaan gelisah antar individu-individu (social unrest), lalu mereka

berkumpul dan saling mensosialisasikan kegelisahan tersebut

(socialization of restlessness). Hal ini merupakan langkah awal menuju

gerakan dalam skala yang lebih besar (large-scale movement). Kesamaan

rasa dan ketertarikan terhadap suatu isu ini membuat individu-individu

bersatu dan secara kolektif memiliki pandangan dan tujuan yang sama,

sehingga mereka tidak lagi sendiri-sendiri melainkan akan membentuk

sebuah gerakan sosial. Pada tahapan ini emosi kolektif mulai berkembang

memicu isu dalam pergerakan yang harus diperjuangkan. Nilai-nilai dan

tujuan dalam pergerakan biasanya dilakukan melalui studi dan forum-

forum diskusi. Melalui forum-forum diskusi inilah para partisipan dalam

gerakan sosial tetap menjaga kontak (face-to-face) antar individu di dalam

gerakan tersebut sehingga akan memperkuat keberlangsungan gerakan.

Lalu tahapan selanjutya adalah fase protes, namun sebelum menuju fase

protes tersebut Hiller menjelaskan terjadi transisi di dalam pergerakan

yang mana pergerakan mengalami kritis (critcal point). Maksudnya adalah

ketika individu-individu yang sudah bersatu tadi telah menyamakan tujuan

dan nilai pergerakan, sayangnya perubahan tidak terlihat, tujuan dan nilai

yang terbangun tadi akhirnya hanya tujuan semu (only sterile goals)

menyebabkan pergerakan mati. Pergerakan yang sedang mengalami krisis

tersebut kembali menguat dan menunjukkan aksinya karena terjadi suatu

peristiwa yang bernuansa provokatif.

2. Setelah bertransisi, fase berikutnya adalah fase protes di mana sebuah

gerakan mengalami kristalisasi, maksudnya gerakan melanjutkan

Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/129561/potongan/S1-2017-345965...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Audiens disebut juga dengan khalayak

24

legitimasinya dengan membangun strategi-taktis. Strategi taktis inilah

yang menjadi cara mereka untuk memprotes keadaan status quo. Gerakan

tidak lagi pada ranah angan-angan atau obrolan saja, gerakan sudah mulai

mempersiapkan partisipasi dan peran aktif individu-individu. Aktivitas

protes dijalankan dengan intensitas tinggi melalui penerapan yang

sistematis serta strategi dan taktik yang sesuai dimana keselarasan

(conformity) dan loyalitas terhadap tujuan pergerakan telah tumbuh sangat

signifikan. Kegiatan protes inilah yang menjadi basis primer bagi interaksi

sosial di dalam sebuah pergerakan. Lalu, pergerakan akan mengalami

transisi kembali, sebelum memasuki tahapan perspektif. Poin B yang

dimaksud Hiller ialah pergerakan “kelelahan” akibat protes yang

berkepanjangan namun perubahan tak kunjung terjadi. Hiller

mengingatkan ketika pergerakan ketika pergerakan “kelelahan” berarti

mengalami krisis hingga sangat berpotensi mati. Namun, Hiller juga

menjelaskan ketika pergerakan “kelelahan”, disaat itu media mejadi

sebagai “penolong” dalam menyebarkan nilai dan tujuan pergerakan ke

masyarakat luas, sehingga dukungan masuk dan gerakan kembali menguat.

Fase protes diliput media dan mempengaruhi basis dukungan pergerakan

terhadap komitmen yang lebih meluas dan berkembang.

3. Setelah bertransisi, selanjutnya gerakan sosial memasuki fase perspektif.

Fase perspektif adalah fase di mana nilai dan tujuan pergerakan secara

sensitif telah menyentuh khalayak ramai. Hal ini memberikan term bagi

pergerakan agar menginterpretasikan protes yang selama ini dilakukan

apakah telah membawa pergerakan kearah kesuksesan atau sebaliknya

karena pada intinya Hiller katakan bahwa jarang sekali fase protes

membawa pergerakan pada kemenangan total atau pencapaian penuh

tujuan. Lalu, pergerakan akan dihadapkan dengan realita dan salah satu 3

perspektif alternatif yang mana menggambarkan term kelanjutan sebuah

pergerakan, yaitu : Defensive, Reformulative, Becalmed.

Perspektif Defensive ialah keadaan dimana sebuah gerakan telah

berhasil meraih tujuan jangka pendek tapi tidak tujuan inti. Pergerakan

Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/129561/potongan/S1-2017-345965...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Audiens disebut juga dengan khalayak

25

tersebut bertahan dengan kesuksesan tujuan jangka pendek tadi namun

pergerakan akan mati (urgensitasnya hilang), atau terus melakukan protes

dengan basis tujuan inti di samping tetap membawa pergerakan yang

terorganisir dengan bail. Perspektif Reformulative terjadi disaat gerakan

mampu mencapai tujuan namun tidak utuh, maksudnya tujuan yang

berhasil dicapai itu terbatas dikarenakan tujuan awal yang tidak fokus atau

diffuse sehingga pergerakan ketika mengalami hal ini sangat perlu untuk

mereformulasi tujuannya dengan menemukan tujuan-tujuan baru. Hal ini

dimaksudkan agar pergerakan tetap berjalan dengan baik dalam

menghadapi kondisi yang mengalami perubahan. Perspektif Becalmed

yakni ketika pergerakan masih ada, sayangnya tujuan secara temporer

meredup (temporarity dimmed), sehingga pergerakan berada di situasi

yang Hiller sebut dengan becalmed atau terhenti.

F. Kerangka Konsep

Penelitian ini disusun untuk mendapatkan jawaban atas sebuah

pertanyaan bagaimana resepsi mahasiswa terhadap konflik adat dalam fim

Dokumenter The Mahuzes. Film dokumenter menjadi pilihan bagi audiens

untuk mendapatkan informasi dan ilmu pengetahuan yang dapat dipercaya,

serta menjadi referensi untuk menyikapi suatu isu. Keberadaan film

dokumenter menghadirkan pandangan atas isu-isu berdasarkan realitas dan

mengakajinya dengan beragam subgenre secara tidak langsung menarik

perhatian para generasi muda khususnya mahasiswa. Film bukan hanya

digunakan untuk proses pengiriman pesan yang telah dikonstruksi, melainkan

pada saat pesan film dimaknai oleh mahasiswa di mana secara aktif meresepsi

film tersebut.

Praktik resepsi terhadap film dokumenter akan menghasilkan beragam

makna, sebab dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal setiap individu.

Makna dihasilkan ketika audiens membaca, melihat, dan mendengarkan teks

media. Selain itu audiens secara aktif dalam menghasilkan makna, bukan

konsumen makna. Karena resepsi yang ditangkap tidak secara langsung

Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/129561/potongan/S1-2017-345965...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Audiens disebut juga dengan khalayak

26

terbentuk begitu saja oleh audiens. Audiens menginterpretasikan teks media

dengan keadaan yang sesuai dengan kehidupan sosial dan konteks sosial

budaya mereka yang terbentuk. Dengan kata lain pesan-pesan media secara

subjektif dikonstruksi audiens secara personal.

Analisis resepsi merupakan bagian dari studi budaya modern yang

menekankan pada studi mendalam terhadap khalayak sebagai bagian dari

interpretive communities. Khalayak mempunyai kekuatan dalam melakukan

pemaknaan terhadap isi pesan yang disajikan media, sehingga khalayak aktif

dalam meresepsi pesan dan memproduksi makna, tidak hanya menjadi

individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi oleh media

massa.

Penelitian ini menggunakan konsep Stuart Hall, di mana saat

melakukan praktek pemaknaan teks media massa oleh audiens peneliti

menggunakan tiga kategori untuk melihat respon audiens dalam film The

Mahuzes, yakni Dominant-Hegemonic code, Negotiated code, dan

Oppositional code. Penggolongan pemaknaan teks ini akan terlihat dari hasil

pemaknaan yang dilakukan oleh informan terhadap konflik adat dalam film

The Mahuzes.

Hall berargumen bahwa preferred reading merupakan ideologi

dominan dalam media teks, tetapi tidak secara otomatis diadopsi oleh

khalayak. Sebelum menganalisis pembacaan khalayak, tentunya peneliti harus

mengidentifikasi preferrerd reading terlebih dahulu. Peneliti mencoba

memahami teks, peneliti juga akan melihat konteks yang mendasari pengirim

pesan dalam membuat pesan dan menanamkan ideologi, peneliti akan

menggali pesan yang dimaksudkan film dokumenter The Mahuzes dan

melihat situasi pesan apa yang dimunculkan ke masyarakat.

Setelah mencoba memahami dan menggali pesan, peneliti

menyimpulkan Preferred reading penelitian ini adalah konflik adat.

Meskipun tidak ada penjelasan mengenai konflik adat, akan tetapi konflik

adat merupakan turunan dari pengertian konflik sosial. Dalam film tersebut

digambarkan terjadi permasalahan antara masyarakat adat dengan pihak

Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/129561/potongan/S1-2017-345965...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Audiens disebut juga dengan khalayak

27

eksternal. Untuk memudahkan peneliti dalam menjabarkan konflik adat,

peneliti menggunakan konsep gerakan sosial. Gerakan sosial ini adalah upaya

marga Mahuze untuk mempertahankan tanah adat mereka dari pihak investor.

Peneliti menggunakan konsep gerakan soial yang dijelaskan oleh Hiller

(1975), menurutnya terdapat 3 fase gerakan sosial : 1) Fase ketertarikan, 2)

Fase Protes, 3) Fase perspektif.

Setelah preferred reading diketahui, barulah dapat menganalisis

pembacaan khalayak untuk dimasukan dalam kategori dominant, negotiated,

atau oppositional. Karena decoding adalah peran yang dilakukan oleh

khalayak, maka sumber utama peneliti untuk mengetahui bagaimana

pemaknaan teks dilakukan adalah dari khalayak sendiri. Dalam hal ini,

decoding tidak hanya melibatkan pengenalan dasar atau pemahaman

menyeluruh terhadap teks, tetapi juga interpretasi dan evaluasi terhadap

makna berkenaan dengan kode teks yang relevan. Peneliti akan menggali

lebih dalam bagaimana khalayak melihat makna di balik teks.

Selanjutnya peneliti akan melihat penerimaan atau penolakan khalayak

terhadap teks. Tak berhenti di situ, pemahaman, relevansi dan kesenangan

atau kenikmatan dalam mengkonsumsi teks tersebut juga akan dianalisis

dalam menentukan posisi pembacaan khalayak terhadap teks. Maka dari itu,

selain melihat apakah penonton setuju atau tidak dengan gagasan yang

disampaikan film The Mahuzes, peneliti juga menganalisis bagaimana

kesenangan penonton terhadap film The Mahuzes mempengaruhi

pemaknaannya.

Setelah posisi pembacaan khalayak diketahui, selanjutnya peneliti

menganalisis bagaimana posisi pembacaan tersebut terbangun. Seperti

penelitian sebelumnya, hal ini dilakukan dengan mengaitkan pemaknaan

khalayak dengan latar belakang sosial dan faktor-faktor lainnya seperti

pendidikan, ras, gender, dan pengalaman masing-masing informan sebagai

khalayak.

Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/129561/potongan/S1-2017-345965...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Audiens disebut juga dengan khalayak

28

Skema Kerangka Konsep

Preferred Reading

Gambar I.2 Skema Kerangka Konsep

Film The Mahuzes

Konflik adat

Fase Ketertarikan

- Individu- individu

merasa gelisah, lalu

berkumpul

- Memiliki ketertarikan

isu atau masalah

yang sama

- Melakukan forum

diskusi

- Adanya peristiwa

bernuansa provokatif

Fase Protes

- Membangun

strategis

- Gerakan

mempersiapkan

partisipasi

- Aktivitas protes

dijalankan

dengan intensitas

tinggi

Fase Perspektif

- Pergerakan

secara sensitif

telah

menyentuh

khalayak ramai

Dominant

Negotiated

Opositional

Mahasiswa

Encoding

Decoding

Konflik Sosial

(Gerakan Sosial)

Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 29: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/129561/potongan/S1-2017-345965...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Audiens disebut juga dengan khalayak

29

G. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Model Riset

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu penelitian yang

mengemukakan gambaran dan atau pemahaman (understanding) mengenai

bagaimana dan mengapa suatu gejala atau realitas itu terjadi (Pawito,

2007:36). Karakteristik utama dari penelitian kualitatif adalah fleksibilitas

dalam perolehan data (Cynthia, 2005:4). Penelitian kualitatif mendasarkan

pada hal-hal yang bersifat diskursif (logis) seperti transkrip dokumen, catatan

lapangan, hasil wawancara dan dokumen-dokumen tertulis (Pawito, 2007:37).

Penelitian kualitatif yang mengkaji tentang khalayak dan media adalah

analisis resepsi. Premis dari analisis resepsi adalah bahwa teks media

mendapatkan makna pada saat peristiwa pernerimaan, dan bahwa khalayak

secara aktif memproduksi makna dari media dengan menerima dan

menginterpretasikan teks-teks sesuai posisi-posisi sosial dan budaya mereka

(Tuchman 1994; Van Zoonen 1994; Kellner 1995; MacBeth 1996 dalam

CCMS : 2002). Tujuan utama dari analisis resepsi ini adalah untuk

memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli,

hubungannya dengan kehidupan, serta untuk mendapatkan pandangannya

mengenai dunianya. Intinya adalah upaya untuk memperhatikan makna-

makna tindakan dari kejadian yang menimpa orang yang ingin kita pahami.

Karenanya, penelitian ini melibatkan aktivitas belajar mengenai dunia orang

yang telah belajar melihat, mendengar, berbicara, berpikir, dan bertindak

dengan cara yang berbeda (McQuail, 1997 : 11).

Resepsi audiens terhadap film dokumenter jarang dilakukan dalam

kajian komunikasi, karena kurangnya minat penonton film dokumenter

dibandingkan dengan film fiksi dan kurangnya informasi terhadap pemutaran

film dokumenter yang diketahui masyarakat maupun tidak diketahui. Padahal,

film dokumenter sangat penting menjadi media penyebaran informasi

mengenai suatu isu yang jarang diketahui masyarakat, pemutaran film-film

dokumenter di beberapa acara festival film dokumenter serta pemutaran film

dokumenter di kineclub menjadi bukti film dokumenter layak diketahui

Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 30: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/129561/potongan/S1-2017-345965...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Audiens disebut juga dengan khalayak

30

masyarakat. Film The Mahuzes merupakan salah satu contoh film dokumenter

yang layak untuk ditonton. Apresiasi dan pendapat para penonton mengenai

film tersebut positif, apalagi isu yang diangkat sangat penting dan informatif.

Meski penonton film ada yang tidak sependapat dengan isu tersebut, tetapi

hal ini menunjukkan bahwa penonton memiliki perbedaan dalam memaknai

pesan dalam film.

Penelitian ini mendasarkan pada bagaimana audiens mengeinterpretasi

atau memaknai pesan yang diterimanya melalui media. Analisis resepsi

merupakan kajian yang erat kaitannya dengan encoding-decoding pesan.

Dalam prosesnya, decoding pesan yang dihasilkan oleh audiens akan berbeda

satu sama lain bergantung pada referensi dan pengalaman yang dimilikinya

(Hall,1980). Dalam artian makna teks terletak pada teks itu sendiri. Audiens

tidak menemukan makna dalam teks melainkan dalam interaksinya dengan

teks. Selain itu analisis resepsi melibatkan faktor kontekstual yang

mempengaruhi pemaknaan audiens terhadap teks media seperti identitas, latar

belakang sosial, dan persepsi.

Peneliti memilih analisis resepsi karena dianggap sesuai dengan

penelitian ini. Dengan metode tersebut peneliti akan mendeskripsikan

bagaimana mahasiswa di Yogyakarta meresepsi konflik adat dalam film

dokumenter The Mahuzes.

2. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah penonton film dokumenter The Mahuzes.

Subjek penelitian ini diambil secara non probabilitas, purposive or

judgemental sampling. Pusposive sampling adalah teknik pengambilan

sampel sumber data dengan pertimbangan dan tujuan tertentu (Sugiyono,

2012). Jenis sampel ini memungkinkan penulis untuk mencari dan memilih

sendiri individu yang akan dijadikan informan penelitian. Peneliti

menetapkan beberapa syarat untuk menjadi informan. Tidak semua orang

dapat memenuhi kriteria tersebut. Oleh karena itu, pengambilan informan

Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 31: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/129561/potongan/S1-2017-345965...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Audiens disebut juga dengan khalayak

31

dengan cara purposive sampling diharap tepat untuk mendukung proses

penelitian.

Adapun beberapa kriteria informan penelitian. Pertama, mahasiswa

yang berada di Yogyakarta. Pemilihan informan di Yogyakarta melalui

pertimbangan banyak mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah di

Indonesia selain itu memudahkan juga bagi peneliti untuk mencari data.

Peneliti pun memilih dua kategori asal mahasiswa, yakni mahasiswa asal

Papua dan non Papua. Alasan dipilihnya informan dari Papua dan Non Papua

karena film ini berkaitan dengan Papua. Kedua, informan tertarik dengan film

dan isu Papua. Hal ini dikarenakan film yang diteliti berkaitan dengan kondisi

dan keadaan Papua, diharapkan informan bisa memahami dan menjawab

pertanyaan sesuai dengan pengetahuan informan. Ketiga, informan film The

Mahuzes harus menonton lebih dari 1 kali film tersebut. Hal ini bertujuan

untuk menjamin ingatan informan terhadap cerita dalam film The Mahuzes.

Keempat, peneliti mencari informan baik laki-laki maupun perempuan.

Kelima, informan memiliki waktu luang dan bersedia memberikan pernyataan

yang diperlukan untuk proses penelitian. Hal ini sangat penting agar

memudahkan peneliti untuk observasi.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data, peneliti menggunakan dua jenis sumber data,

yaitu data primer dan data sekunder.

a. Data Primer

Pengumpulan data primer dilakukan melalui teknik wawancara

mendalam individual (in-depth interview) Wawancara mendalam

didefinisikan sebagai percakapan antara peneliti dan seorang informan

(Berger, 2000). Wawancara merupakan suatu cara mengumpulkan data

atau informasi dengan cara langsung bertatap muka dengan informan agar

mendapatkan data lengkap dan mendalam. Metode ini memungkinkan

peneliti untuk mendapatkan alasan detail jawaban responden yang antara

Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 32: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/129561/potongan/S1-2017-345965...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Audiens disebut juga dengan khalayak

32

lain mencakup opini atau pemaknaan. Sehingga mendapatkan kedalaman

data yang diperlukan dalam penelitian ini.

Dalam melakukan wawancara terhadap informan, pewawancara

menggunakan panduan yang menggunakan daftar pertanyaan yang

menjadi pedoman peneliti (interview guide). Pedoman pertanyaan tersebut

dibuat berdasarkan kebutuhan data yang diperlukan dalam penelitian ini.

Pertanyaan diturunkan dari kerangka pemikiran yang diajukan peneliti

dalam mewakili konsep-konsep teori yang digunakan. Sehingga menjadi

indikator dalam melakukan wawancara terhadap semua informan. Selain

itu juga digunakan openended question, di mana pertanyaan dapat

berkembang dan berubah sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan

peneliti.

b. Data sekunder

Peneliti melakukan studi pustaka dari literature buku, jurnal, dan

internet. Data pendukung ini digunakan untuk memperkuat konsep dan

kerangka pemikiran yang akan dibuktikan dan diterapkan melalui

penelitian. Studi pustaka ini menjadi langkah awal dalam melakukan

penelitian.

4. Teknik Analisis Data

Menurut Bogdan & Biklen, analisis data kualitatif adalah upaya yang

dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data,

memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya,

mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang

dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain

(Moleong, 2008 : 248).

Teknik analisis data yang akan peneliti lakukan adalah peneliti

melakukan wawancara dan merekamnya. Rekaman tersebut kemudian

ditranskrip. Setelah melakukan transkrip, peneliti menganalisis data untuk

mencari klasifikasi data. Klasifikasi data tersebut memudahkan peneliti untuk

Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 33: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/129561/potongan/S1-2017-345965...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Audiens disebut juga dengan khalayak

33

mengorganisir mana data utama dan data pendukung. Selanjutnya, peneliti

mengkomparasikan temuan informan dengan proses decoding terhadap

konflik adat yang terlebih dahulu sudah dilakukan. Proses itu kemudian

menghasilkan posisi informan, apakah dominant, negotiated, opposition code.

Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/