bab i pendahuluan a. latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Audiens disebut juga dengan khalayak – adalah pihak yang menerima
pesan atau biasa disebut juga komunikan. Namun tidak semua komunikan
merupakan audiens. Audiens adalah komunikan dalam proses komunikasi
massa. Audiens adalah komunikan yang mengonsumsi media massa seperti
surat kabar, televisi, musik, film dan lain-lain. Menurut Wilbur Schramm,
istilah audiens merupakan istilah kolektif untuk penerima pesan dalam model
proses komunikasi massa yang dimanfaatkan oleh para pelopor di ranah
penelitian tentang media (McQuail, 1997:1).
Marshall McLuhan menjabarkan audience sebagai sentral komunikasi
massa yang secara konstan dibombardir oleh media. Media mendistribusikan
informasi yang masuk pada masing-masing individu. Audiens hampir tidak
bisa menghindar dari media massa, sehingga beberapa individu menjadi
anggota audience yang besar, yang menerima ribuan pesan media massa.
Audiens adalah pasar, dan program yang disajikan adalah produk yang
ditawarkan (Morissan, 2011:173). Hal ini berlaku untuk film, film pada
umumnya membidik pasar audiens, film disampaikan oleh pembuat film
sebagai komunikator professional dan umumnya di distibusikan melalui
perusahaan distributor film baik skala besar maupun kecil. Dalam film,
audiens disebut penonton. Penonton memiliki peran penting dalam eksistensi
suatu film, dengan banyaknya penonton film tersebut dapat dikatakan sebagai
film yang populer.
Film sebagai komunikasi massa hadir sebagai suatu teknologi yang
mampu mentransformasikan tradisi seni pertunjukkan lama kepada penonton
dengan cara yang baru. Dalam perkembangannya, film dibagi menjadi 2 jenis
yaitu tectrical film dan non-teatrical film. Teatrical film disebut juga film
cerita, merupakan ungkapan cerita yang dimainkan oleh manusia dengan
unsur dramatis dan memiliki unsur yang kuat terhadap emosi penonton.
Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
2
Unsur dramatis ini dijabarkan dengan berbagai tema, yakni film aksi, film
spikodrama, film komedi, dan film musik. Sedangkan non-teatrical film
merupakan film yang diproduksi dengan memanfaatkan realitas asli dan tidak
bersifat fiktif. Film ini dibagi dalam film dokumenter, film pendidikan, dan
film animasi.
Film berjenis non-teatrical film seperti film dokumenter biasanya
memiliki penonton yang lebih sedikit dibandingkan berjenis teatrical film.
Triananda (2015) Gesang Sang Maestro Kroncong Sutradara film dokumenter
mengatakan alasan film dokumenter kurang diminati oleh penonton karena
distribusinya yang tidak meluas. Seringnya film dokumenter hanya untuk
dinikmati dikalangan terbatas, seperti yang dibuat oleh NGO dan ditayangkan
terbatas, selain itu banyak juga anggapan film dokumenter cenderung
membosankan karena minim konflik.
Hingga saat ini, penonton film dokumenter hanya bisa menikmati film
dokumenter dalam acara-acara tertentu, misalnya penyelenggaraan Festival
Film Dokumenter di Yogyakarta yang secara konsisten diadakan setiap tahun,
Erasmus Documentary Film Festival, kegiatan ScreenDocs Expanded di
Jakarta, screening film yang diadakan oleh forum film atau kineklub. Meski
penonton film dokumenter tidak terlalu antusias seperti film fiksi, namun
dengan menyelenggarakan acara pemutaran film dokumenter di beberapa
daerah, secara tidak langsung menarik para penikmat film dokumenter yang
kian bertambah, hal ini terjadi dikarenakan isu-isu yang diangkat dalam film
dokumenter penting dan mulai dilirik para penonton.
Tedika (2016) Film dokumenter Indonesia dimulai pada akhir tahun
1990-an, di babak ini film dokumenter bergerak secara dinamis, antara lain
mewujudkan dalam bentuk film advokasi sosial-politik, film seni dan
eksperimental, film perjalanan dan petualangan, film komunitas, dan juga
sebagai alternatif di bidang seni dan audio-visual, film dokumenter berubah
menjadi satu genre seni audio-visual yang memiliki sifat demokratis
sekaligus personal. Film dokumenter kemudian memberikan kesempatan bagi
semua orang untuk menampilkan diri, baik film yang mampu memunculkan
Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
3
karya yang unik, orisinil dan khas. Dengan karakteristik yang demikian itu,
film dokumenter menjadi karya yang bersifat alternatif, baik dari segi
ideologi, isi, maupun bentuk sehingga mampu menarik minat masyarakat
umum dan terutama anak muda
Penelitian komunikasi yang menggunakan objek film telah banyak
dilakukan, namun objek film dokumenter jarang dilakukan peneliti
komunikasi. Padahal peneliti penting untuk melihat persepektif dari audiens
film dokumenter, mengingat minat menonton film dokumenter berbeda
dengan film biasanya. Untuk melihat audiens melakukan pemakanaan
terhadap teks digunakanlah analisis resepsi. Analisis resepsi tepat digunakan
untuk mengetahui bagaimana audiens memaknai pesan teks yang
dikonsumsinya berdasarkan latar belakang yang beragam. Kondisi ini
menciptakan penafsiran beragam akan informasi yang disampaikan melalui
sebuah film. Mengacu pada teori komunikasi, posisi audiens dibagi menjadi
dua yakni audiens pasif dan aktif. Untuk melakukan analisis resepsi, peneliti
menggunakan perspektif audiens aktif dengan konsep encoding dan decodin
Stuart Hall.
Film dokumenter identik dengan menyajikan fakta melalui gambar
bergerak. Film dokumenter diproduksi dengan tujuan menawarkan cara
pandang dan penafsiran atas isu, proses dan peristiwa sejarah yang
berkembang di masyarakat berdasarkan realitas. Meskipun film dokumenter
merupakan film mengenai realitas namun penonton tidak menuntut
objektivitas dari film tersebut. Bahkan penonton film dokumenter bisa secara
sadar ingin menyaksikan subyektivitas dari pembuat film, meskipun pada
dasarnya penonton berharap bahwa apa yang disaksikannya dalam film
dokumenter adalah nyata.
Watchdoc adalah rumah produksi audio visual yang berdiri sejak 2009.
Telah memproduksi 165 episode dokumenter, 715 feature televisi, dan
sedikitnya 45 karya video komersial dan non komersial yang memperoleh
berbagai penghargaan. Salah satu film dokumenter yang diproduksi ialah The
Mahuzes. The Mahuzes merupakan film yang dihasilkan dari Ekspedisi
Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
4
Indonesia Biru. Selain film ini, tercatat beberapa fiilm yang dihasilkan dalam
ekspedisi tersebut, yakni Samin vs Semen, Baduy, Kala Benoa, Lewa
Dilembata dan beberapa film yang kebanyakan bercerita tentang lingkungan.
Melalui film The Mahuzes, Dandhy Dwi Lakoso dan Suparta Arz ingin
memberitahukan realitas masyarakat asli Merauke yang menjaga hutannya
dalam gempuran investor. Afzal (2015) mengatakan berawal dari keputusan
presiden Joko Widodo yang ingin membuka lahan seluas 1,2 juta hektar
dalam kurun waktu tiga tahun, keputusan tersebut merupakan kelanjutan
proyek pemerintah pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun
2010. Dalam proyek tersebut pemerintah bersama investor asing ingin
menjadikan Merauke sebagai lumbung pangan dan energi berbasis industri
lewat Program Merauke Integrated Food Energy Estate (MIFEE).
Dari keputusan tersebut, investor sebagai pihak pelaksana selalu
menekan masyarakat adat agar menjual atau melapas tanah adat. Namun,
masyarakat asli Merauke yakni orang Malind melakukan berbagai cara untuk
mempertahankan hutan dari pembukaan lahan sebesar 300.000 hektar yang
selama ini menjadi sumber penghidupan mereka. Di sini Dandhy dan Suparta
mengajak penonton berimajinasi untuk membayangkan apa yang akan terjadi
ketika pembukaan lahan seluas 1,2 juta hektar dalam tiga tahun, padahal
lahan sebesar 300.000 hektar membutuhkan waktu lebih dari itu. Orang
Malind merasa dirugikan karena sumber penghidupannya telah berubah
menjadi sawah yang mereka yakini hanya untuk kepentingan investor saja.
Film yang mengangkat isu agraria ini menampilkan bagaimana
masyarakat asli Merauke menolak dengan tegas pembukaan lahan untuk
sawah. Bagi mereka adanya pembukaan lahan dapat merusak hutan maupun
lingkungan sekitar, selain itu permasalahan sumber air masih menjadi hal
yang penting mengingat sumber air di sana hanya mengandalkan air hujan
yang tidak dipastikan kapan turunnya. Isu ini pun hangat dibicarakan oleh
kalangan muda, ketika penayangan film The Mahuzes di basement luar
FMIPA UII, salah satu peserta diskusi bernama Ary mempertanyakan
mengapa isu agraria penting untuk dibahas ditengah banyaknya isu lain
Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
5
disekitar kita. Dalam lpmhimmahuii.org (2015) Ary menyatakan,
kebanyakan masyarakat hanya mengetahui dan memperhatikan isu disekitar
mereka yang berhubungan dengan kepentingan mereka, terutama isu
perkotaan. Film The Mahuzes yang membahas isu agraria, bisa dikatakan
bukan isu perkotaan melainkan isu desa. Apabila Papua menjadi lumbung
padi dan Jogja menjadi lumbung industri, maka akan menimbulkan konflik
karena tidak sesuai dengan daerahnya. Maka dari itu, sebagai mahasiswa
jangan sampai terjebak dengan isu pemerintah yang alit dan koperatif.
Permasalahan yang terus terjadi, menjadi dasar munculnya konflik adat
yang tidak dapat terhindarkan. Digambarkan dengan jelas telah terjadi konflik
horizontal antara masyarakat asli Merauke dengan para pendatang, antara
desa-desa dengan kelompok – suku (klan) atas kepemilikan tanah, serta
konflik antara masyarakat asli Merauke dengan investor. Film ini pun
memberi kesempatan bagi masyarakat asli Merauke yang biasanya tidak
memiliki tempat untuk menyuarakan maupun didengarkan pendapatnya,
melalui film inilah diharapkan penonton mulai bersikap dan tergerak hatinya
untuk melihat realitas yang terjadi di Papua khususnya Merauke.
Inilah yang menjadi alasan peneliti untuk mengetahui resepsi penonton
khususnya generasi muda terhadap konflik adat yang dikemas dalam film
dokumenter The Mahuzes. Adapun alasannya, pertama film dokumenter The
Mahuzes menyajikan fakta dari suatu isu penting dan jarang diketahui
masyarakat. Film ini merekam adegan-adegan nyata kondisi masyarakat asli
Merauke yakni orang Malind marga Mahuze yang mempertahankan tanah
mereka. Kedua, meski hanya film dokumenter, film The Mahuzes dapat
menarik perhatian penonton yakni generasi muda dalam melihat dan
menyikapi permasalahan tentang proyek MIFEE di Merauke, hal ini ditandai
dengan munculnya kegiatan diskusi film di wilayah kampus di beberapa
daerah Indonesia seperti Yogyakarta, Jayapura, dan Lampung. Ketiga, respon
penonton dapat mengarah pada nilai positif dan negatif terhadap konflik adat
dalam film The Mahuzes.
Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
6
Film yang bertemakan konflik adat ini menimbulkan beragam
pemaknaan teks. Audiens akan memiliki pemahaman dan melakukan proses
pemaknaan teks dengan cara yang berbeda tergantung dari latar belakang
budaya, sosial, pengalaman, kebiasaan, tingkat pendidikan dan faktor lain
yang mempengaruhi resepsi mereka. Fokus penelitian ini terletak pada
pemaknaan yang dihasilkan audiens mengenai konflik adat yang terdapat
dalam film The Mahuzes. Menarik untuk melihat bagaimana audiens yang
beragam memaknai film mengenai konflik adat, mengingat tidak semua
daerah di Indonesia sensitif dan peduli terhadap konflik adat, kecuali di
Papua.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana resepsi mahasiswa terhadap konflik adat dalam film dokumenter
The Mahuzes ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui resepsi mahasiswa terhadap konflik adat dalam film
dokumenter The Mahuzes.
2. Untuk menganalisis resepsi mahasiswa terhadap konflik adat dalam film
dokumenter The Mahuzes.
D. Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat penelitian adalah :
1. Secara teoritis, penelitian ini berguna untuk menambah pengetahuan dan
memperluas wawasan peneliti mengenai ilmu komunikasi.
2. Secara akademis, penelitian diharapkan memperkaya kajian penelitian
ilmu komunikasi yang berfokus pada analisis resepsi. Selain itu, penelitian
ini juga dapat berkontribusi bagi kajian perfilman terkait konflik adat serta
menjadi bahan masukan bagi penelitian karya ilmiah selanjutnya
Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
7
3. Secara praktis, penelitian diharapkan dapat memberikan informasi kepada
masyakat mengenai kekuatan khalayak dalam memaknai teks saat
berinteraksi dengan teks media.
E. Kerangka Pemikiran
1. Audiens
Konsep audiens atau khalayak saling berkaitan dalam proses
komunikasi massa. Wilbur Scrahmm (1954; dikutip McQuail, 1971:1)
menyebut audiens merupakan istilah yang familiar digunakan para ahli
media sebagai istilah kolektif untuk merujuk “receivers” (penerima) dalam
proses komunikasi massa. Secara sederhana, orang-orang yang
menggunakan media massa disebut audiens.
Nurudin (2007) mengatakan audience yang dimaksud dalam
komunikasi massa sangat beragam, dari jutaan penonon televisi, ribuan
pembaca buku, majalah, koran, atau jurnal ilmiah. Masing-masing audience
berbeda satu sama lain diantaranya dalam hal berpakaian, berpikir,
menanggapi pesan yang diterimanya, pengalaman dan orientasi hidupnya.
Akan tetapi masing-masing individu bisa saling mereaksi pesan yang
diterimanya.
Mcluhan (dalam Elvinaro, dkk, 2009:40), mengatakan audience hampir
tidak bisa menghindar dari media massa, sehingga beberapa individu
menjadi anggota audience yang besar, yang menerima ribuan pesan media
massa. Hiebert,et.al (dalam Nurudin, 2007), mengatakan audience dalam
komunikasi massa setidak-tidaknya mempunyai lima karakteristik yaitu :
1. Audience cenderung berisi individu-individu yang condong untuk
berbagi pengalaman dan dipengaruhi oleh hubungan sosial diantara
mereka. Individu-individu ini memilih produk media yang mereka
gunakan berdasarkan kebiasaan dan kesadaran sendiri.
2. Audience cenderung besar. Besar disini berarti tersebar ke berbagai
wilayah jangkauan sasaran komunikasi massa. Meskipun begitu,
ukuran luas ini sifatnya bisa jadi relatif. Sebab, ada media tertentu
Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
8
yang khalayaknya mencapai ribuan, ada yang mencapai jutaan. Baik
ribuan atau jutaan tetap bisa disebut audience meskipun jumlahnya
berbeda. Jadi tak ada ukuran pasti tentang luasnya audience itu.
3. Audience cenderung heterogen, mereka berasal dari berbagai lapisan
dan kategori sosial. Beberapa media tertentu mempunyai sasaran,
tetapi heterogenitasnya juga tetap ada.
4. Audience cenderung anonim, yakni tidak mengenal satu sama lain.
Tidak mengenal tersebut tidak ditekankan satu kasus perkasus, tetapi
meliputi semua audience.
5. Audience secara fisik dipisahkan dari komunikator, dapat juga
dikatakan audience dipisahkan oleh ruang dan waktu.
McQuail (1997) menjelaskan, audiens memiliki dua sifat yaitu pasif dan
aktif. Audiens pasif adalah mereka yang menerima pesan yang disampaikan
oleh media tanpa proses negosiasi. Sedangkan audiens aktif diartikan
sebagai audiens yang mampu memilih media yang digunakan dan menerima
pesan dengan proses negosiasi.
Kajian yang dilakukan oleh Frank Biocca dalam artikelnya yang
berjudul “Opposing Conception of Audience : The Passive and Active
Heimpshere of Communication Theory” (1998), ditemukan beberapa ciri
audiens akif. Pertama adalah audiens diyakini lebih selektif, terhadap media
yang mereka gunakan. Audiens tidak sembarangan menggunakan satu
media. Biasanya didasarkan alasan dan tujuan tertentu. Kedua,
utilitarianism yaitu audiens aktif menggunakan media untuk memenuhi
kebutuhan mereka. Karakteristik ketiga adalah intensionalitas yang berarti
penggunaan secara sengaja dari isi media. Keempat adalah keikutsertaan,
artinya mereka ikut aktif berpikir mengenai alasan mereka dalam
mengkonsumsi media. Kemudian yang kelima adalah audiens aktif
dipercaya sebagai komunitas yang tahan dalam menghadapi pengaruh media
dan tidak mudah dibujuk media. Sedangkan audiens pasif adalah audiens
yang hanya sekedar mendengarkan dan menikmati, program siaran yang
sedang berlangsung.
Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
9
Menurut Croteau dan Hoyness (2003) keaktifan khalayak tidak hanya
sebatas pada proses menginterpretasikan pesan media, namun juga dalam
memanfaatkan pesan itu secara sosial, termasuk dalam penggunaannya.
Selanjutnya, Croteau dan Hoynes dalam Media Society menjelaskan empat
poin yang memperlihatkan aktifnya khalayak media massa. Pertama,
Interpretasi. Interpretasi merupakan kondisi aktif seseorang dalam proses
berpikir dan kegiatan kreatif pencarian makna (Littlejohn, 1999:199).
Interpretasi merupakan aktivitas pertama karena isi pesan selalu berubah
sesuai konstruksi khalayak masing-masing. Interpretasi terjadi ketika pesan
media perlahan mulai bermakna bagi khalayak sekaligus juga menjadi asal
muasal kesenangan, kenyamanan, ketertarikan dan intelektual lain yang
lebih luas. Kedua, konteks sosial dari interpretasi. Maksudnya, dalam
tataran ini khalayak aktif memiliki kemampuan untuk menafsirkan pesan
media dalam lingkup bermasyarakat. Khalayak mampu menggunakan pesan
media dan menariknya dalam perspektif sosial. Ketiga, Collective action.
Dalam hal ini, audiens bisa dikatakan aktif ketika audiens mengatur
tindakan secara kolektif untuk membuat tuntutan formal pada produsen
media atau regulator. Audiens dalam hal ini berusaha untuk mengubah text
media atau kebijakan-kebijakan media yang dinilai merugikan dirinya dan
masyarakat luas. Aksi kolektif tersebut dapat meliputi protes yang dilakukan
oleh publik, kampenye publik untuk menyebarkan kemarahan pulik, petisi
online dsb. Keempat, Audiences as media producers. Audiens aktif mampu
memproduksi dan mendistribusikan media yang mereka buat sebagai bentuk
kritik terhadap media mainstream serta menyediakan perspektif alternatif.
2. Film sebagai Komunikasi Massa
a. Film
Film merupakan salah satu bentuk penyampaian pesan melalui media
komunikasi massa. Film tidak lagi dimaknai sekedar sebagai karya seni,
tetapi sekarang film lebih sebagai “praktik sosial” serta “komunikasi
massa”. Komunikasi massa sendiri adalah komunikasi yang terjadi melalui
Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
10
media massa seperti surat kabar, film, radio, dan televisi. Jadi dalam artian
yang lain komunikasi massa adalah penyebaran pesan dengan menggunakan
media yang di tujukan pada masyarakat yang abstrak, yaitu sejumlah orang
yang tidak tampak oleh penyampain pesan (Effendy, 2002)
Film seperti yang diungkapkan Real (1996:89) merupakan mass
mediated culture yaitu penggambaran budaya sebagaimana adanya seperti
yang terdapat dalam berbagai media massa kontemporer, baik tentang
golongan elit, awam, orang terkenal maupun budaya asli masyarakat. Film
juga mampu menjadi agen sosialisasi tradisional dalam masyarakat,
keluarga, sekolah atau ajaran agama dan membangun hubungan langsung
dengan individual. Walau bagaimanapun bentuk tanggapan dari khalayak
terhadap pesan yang terkandung dalam film, akan dipengaruhi oleh isi
khalayak sebelumnya, baik pengalaman sosial maupun budaya, selain itu,
sebagaimana layaknya media massa lain yang dianggap mampu dan
memiliki kekuatan untuk membentuk masyarakat, demikian pula sama
halnya dengan film. Film juga mampu mempengaruhi dan membentuk
budaya atau kehidupan masyarakat sehari-hari.
Gambar bergerak (film) adalah bentuk domain dari komunikasi massa
visual di belahan dunia ini. Lebih dari ratusan juta orang menonton film
bioskop, film televisi dan film video laser setiap minggunya. Di Amerika
Serikat dan Kanada lebih dari satu juta tiket film terjual setiap tahun
(Ardianto & Erdinaya, 2005:134).
Film pertama ditayangkan di Amerika Serikat pada tanggal 23 April
1896 di kota New York. Thomas Edison, setelah menyempurnakan teknik
pertunjukkan gambar gerak atau kinetoscope, meninggalkan rencana
awalnya mengeksplotiasi peluang komersial film karena ia merasa
penayangan film layar lebar kepada banyak penonton sekaligus akan segera
menghabiskan pasar. Namun keberhasilan penayangan pertama itu
mengubah film dari seni menjadi bisnis dan para pengusaha menggantikan
posisi para penemu untuk mencari laba sebesar-besanya. Praktik produksi,
Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
11
distribusi dan penayangan massal menjadi ciri industri film sehingga
setengah abad kemudian (Rivers, 2008:197-198).
b. Film Dokumenter
Film dokumenter adalah film yang mendokumentasikan kenyataan.
Fenomena apa yang sedang terjadi di masyarakat dikemas dalam bentuk
senatural mungkin. Istilah “dokumenter” pertama digunakan dalam resensi
film Moana (1962) oleh Robert Flaherty, ditulis oleh The Moviegor, nama
samara John Grierson, di New York Sun pada tanggal 8 Januari 1926. Di
Perancis, istilah dokumenter digunakan untuk semua film non fiksi,
termasuk film mengenai perjalanan dan film pendidikan. Berdasarkan ini,
film-film pertama semua adalah film dokumenter. Para pembuat film
dokumenter biasanya merekam kegiatan sehari-hari, misalnya kereta api
masuk stasiun. Film Dokumenter merepresentasikan kenyataan, artinya film
dokumenter berarti menampilkan kembali fakta yang ada dalam kehidupan.
John Grierson (dalam Ayawaila, 2008:12) Mendefinisikan film dokumenter
sebagai sebuah laporan aktual yang kreatif. Maka dari itu, definisi film
dokumenter dekat dengan definisi news. Dalam perkembangannya, Dziga
Vertov (dalam Ayawaila, 2008:15) mengemukakan konsep tentang “Kino-
Pravda” atau film kebenaran, bahwa kamera adalah mata film (kino-eye),
dan film dokumenter tidak menceritakan suatu realitas objektif, melainkan
realitas berdasarkan apa yang tampak dan terekam oleh kamera sebagai
mata film. Konsep Vertov tersebut menjadi cikal-bakal gaya pembuatan
film berita.
Kunci utama film dokumenter adalah penyajian fakta. Film dokumenter
berhubungan dengan orang-orang, tokoh, peristiwa, dan lokasi yang nyata.
Film dokumenter tidak menciptakan suatu peristiwa atau kejadian, namun
merekam peristiwa yang sungguh-sunggh terjadi dan otentik (Pratista,
2008:4). Tujuan dasar film dokumenter untuk memberi pencerahan,
memberi informasi, pendidikan, melakukan persuasi dan memberikan
wawasan tentang dunia yang kita tinggali.
Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
12
Selain mengandung fakta, film dokumenter juga mengandung
subyektivitas pembuat. Subyektivitas diartikan sebagai sikap atau opini
terhadap peristiwa. Ketika faktor manusia ikut berperan, persepsi tentang
kenyataan akan bergantung pada si pembuat film dokumenter itu. Film
dokumenter bukan cerminan pasif dari kenyataan, melainkan ada proses
penafsiran atas kenyataan yang dilakukan oleh si pembuat film dokumenter
(Sumarno, 1996:14). Dalam film dokumenter tidak memiliki plot, namun
memiliki struktur yang umumnya didasarkan oleh tema atau argumen dari
sineasnya. Film dokumenter juga tidak memiliki tokoh protagonis dan
antagonis, konflik serta penyelesaian seperti halnya film fiksi. Struktur
bertutur film dokumenter umumnya sederhana dengan tujuan agar
memudahkan penonton untuk memahami dan mempercayai fakta-fakta yang
disajikan (Pratista, 2008:4).
Film dokumenter memiliki beberapa karakter teknis yang khas yang
tujuan utamanya untuk mendapatkan kemudahan, kecepatan, fleksibilitas,
efektivitas, serta otentitas peristiwa yang akan direkam. Umunya film
dokumenter memiliki bentuk sederhana dan jarang sekali menggunakan
efek visual. Teknik-teknik produksi yang digunakan sama dengan film fiksi.
Namun terdapat perbedaan yang mendasar yakni, para sineas fiksi
umumnya menggunakan teknik tersebut sebagai pendekatan estetik (gaya),
sementara sineas dokumenter lebih berfokus untuk mendukung subyeknya
(isi atau tema) (Pratista, 2008:4-5). Untuk lebih menegaskan perbedaan
antara film dokumenter sebagai film non-fiksi, berikut ini kriteria yang
membedakannya dengan film fiksi.
Menurut Ayawaila (2008:22) terdapat 4 kriteria yang membedakan,
pertama setiap adegan dalam film dokumenter merupakan rekaman kejadian
sebenarnya, tanpa interpretasi imajinatif seperti halnya dalam film fiksi. Bila
pada film fiksi latarbelakang (setting) adegan dirancang, pada dokumenter
latabelakang harus spontan otentik dengan situasi dan kondisi asli (apa
adanya), kedua yang dituturkan dalam film dokumenter berdasarkan
peristiwa nyata (realita), sedangkan dalam fiksi isi cerita berdasarkan
Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
13
karangan (imajinatif). Bila film dokumenter memiliki interpretasi kreatif,
maka dalam film fiksi yang dimiliki adalah interpretasi imajinatif. Ketiga
sebagai sebuah film non fiksi, sutradara melakukan observasi pada suatu
peristiwa nyata, lalu melakukan perekaman gambar sesuai apa adanya. Dan
keempat apabila struktur cerita pada film fiksi mengacu pada alur cerita atau
plot, dalam dokumenter konsentrasinya lebih pada isi dan pemaparan.
Dokumenter ternyata terpecah menjadi dua berdasarkan kategori
produksinya, yaitu film dokumenter dan televisi dokumenter. Televisi
dokumenter disebut juga dokumenter dalam tayangan televisi. Dokumenter
tersebut dekat dengan motif pemberitaan yang merupakan perkembangan
dari format program jurnalistik. Bentuk dan kategorinya cukup beragam,
antara lain esai berisi actual, features, magazine, dan dokumenter televisi
khusus (sekali tayang dan berseri)(Ayawaila, 2008:26-29)
Kemudian jika televisi dokumenter dibandingkan dengan film
dokumenter, Ayawaila (2008:23) menjelaskan terdapat perbedaan dari segi
keterbatasan televisi dalam menayangkan dokumenter, yaitu dari segi durasi
dan penggunaan shot. Film dokumenter tidak memiliki batasan durasi,
sehingga biasanya berdurasi panjang untuk diputar di bioskop atau pada
festival, lebih dari 1 jam. Film dokumenter lebih bebas menggunakan semua
tipe shot seperti close up dan medium shot. Hal tersebut disebabkan oleh
adanya penyesuaian pada perbedaan besar layar bioskop dengan layar
televisi.
Dari penjelasan di atas, menunjukkan film dokumenter merupakan
media yang mampu melaporkan kejadian nyata. Arah definisi kemudian
menjadi sama dengan berita sebagai media yang melaporkan peristiwa
aktual. Namun titik perbedaan film dokumenter dengan berita adalah dari
segi kedalaman. Film dokumenter berdasarkan kebebasannya mampu lepas
dari tuntutan televisi sebagai media yang berdiri sendiri, ataupun tuntutan
jurnalistik yang harus dipenuhi dan standar-standar layak tayang lainnya.
Menurut Ayawaila (2008:16-18) dengan gaya pendekatan film dokumenter
Cinema Verite (film kebenaran) dari Perancis maupun Direct Cinema dari
Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
14
Amerika, film dokumenter lebih mampu mengangkat realitas visual, yang
diyakini dapat mempertahankan, juga menjaga spontanitas aksi dan karakter
local secara otentik sesuai dengan apa adanya.
3. Analisis Resepsi
Analisis resepsi merupakan salah satu fokus studi yang mengkaji
audiens aktif. Tradisi ini mengkaji audiens sebagai penerima pesan yang
aktif dalam proses pemaknaan. Konsep penting dari analisis resepsi adalah
bahwa makna teks media tidak melekat pada teks media tersebut, tetapi
diciptakan dalam interaksi antara audiens dengan teks (Hadi, 2008).
Sebagai respon terhadap tradisi keilmuan dalam ilmu sosial, analisis
resepsi menandaskan bahwa studi tentang pengalaman dan dampak media,
apakah itu kuantitatif atau kualitatif, seharusnya didasarkan pada teori
representasi dan wacana serta tidak sekedar menggunakan operasionalisasi,
seperti penggunaan skala dan kategori semantik. Sebaliknya sebagai respon
terhadap studi teks humanistik, analisis resepsi menyarankan baik audiens
maupun konteks dalam komunikasi massa perlu dilihat tersendiri secara
sosial, dan menjadi objek analisis empiris. Perpaduan dari kedua pendekatan
(perspektif sosial dan diskursif) itulah yang kemudian melahirkan konsep
produksi sosial terhadap makna (the social production of meaning) (Jensen,
1993: 137).
Secara umum, analisis resepsi memiliki dua premis, pertama teks media
mendapatkan makna pada saat penerimaan, dan bahwa audiens secara aktif
memproduksi makna dari media dengan menerima dan menginterpretasikan
teks-teks sesuai dengan posisi-posisi sosial dan budaya mereka. Premis
kedua, sebagai landasan penelitian, menyiratkan bahwa pesan-pesan media
secara subjektif dikontruksikan audiens secara individual, bahkan ketika
media berada dalam posisi paling dominan. Premis ini memposisikan
audiens sebagai makhluk bebas yang mempunyai kekuatan besar dalam
pemaknaan atau pemberian makna terhadap pesan (Croteau & Hoyness,
2003 : 274).
Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
15
Teori resepsi dikembangkan oleh Stuart Hall. Hall memfokuskan pada
analisis tekstual dengan ruang lingkup pada negosiasi dan oposisi pemirsa
sebagai bagian dari masyarakat. Hal ini berarti pemirsa tidak secara mudah
ataupun pasif dalam menerima teks – termasuk buku ataupun film-film
elemen ini menjadi aktif dalam aktivitasnya. Karena seseorang
menegoisasikan arti dari teks, makna ini tergantung pada bagaimana latar
belakang budaya seseorang tersebut. Karena latar belakang seseorang dapat
menjelaskan bahwa ada sebagai pembaca teks akan menyetujui atau
menolak apa yang dia baca. Hall juga membangun sebuah ide yang
dijadikan model mengenai masalah pengkodean dalam wacana media.
Makna dari teks dapat salah, karena ada jarak antara penulis dan pembaca.
Walaupun sang penulis menulis teks dalam beberapa metode yang mungkin
bisa dimengerti oleh pembaca.
Dalam perkembangannya, Hall memperkenalkan model komunikasi
encoding-decoding. Model encoding-decoding merupakan model yang
menghadirkan sesuatu yang baru dalam penelitian khalayak. Hall
mengajukan sebuah pendekatan kajian khalayak yang berusaha melihat
bagaimana memahami berbagai content dari perspektif pembacanya.
Asumsinya adalah bahwa makna teks media bukan merupakan sesuatu yang
pasti. Namun teks media memperoleh makna hanya pada saat penerimaan
ketika mereka dibaca, ditonton, dan didengar. Lebih jauh jika teori uses and
gratification memberikan pendekatan pada pemikiran bagaimana individual
memilih dan menggunakan konten komunikasi, maka reception theory
membahas apa yang terjadi pada tindakan pengkonsumsian, bagaimana isi
tertentu dari suatu pesan dilihat dan diinterpretasikan oleh receiver
(Windahl,dkk,1993:165).
Encoding merupakan proses pengemasan pesan yang dilakukan
pembuatnya untuk disampaikan kepada khalayaknya. Beberapa proses
sebelum menghasilkan pesan, pembuat memiliki tujuan atau ideologi yang
ingin disampaikan. Tujuan inilah yang digunakan untuk mempengaruhi atau
menanamkan gambaran tentang pesan yang diberikan. Sedangkan decoding
Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
16
dalam proses komunikasi merupakan bagian dari proses pembacaan makna
pesan dalam media. Proses ini dipengaruhi beberapa faktor yang ada dalam
setiap individu. Faktor-faktor inilah yang membuat proses pembacaan
makna menjadi beragam dan menghasilkan banyak penafsiran. Dalam
penelitian kultural, bagaimana makna diproduksi dan dibagikan serta
hubungan yang menentukan pemaknaan merupakan fokus perhatian utama
dalam penelitian resepsi. Berikut ini gambaran proses model encoding-
decoding Hall yang dideskripsikan dalam gambar I.1
Gambar I.1 Encoding dan Decoding Bagan Hall
(Sumber: Stuart Hall 2006. “Encoding/Decoding” dalam Meenakshi Gigi Durham dan
Douglas M Kellner (Ed). (2002) Media and Cultural Studies : Keyworks.Oxford :
Blackwell Publishing.Hal 165
Dari gambar model encoding-decoding tersebut, telihat bahwa encoding
dilakukan oleh pengirim pesan dan decoding dilakukan oleh penerima
pesan. Saat melakukan tahap encoding yang merupakan proses dari
produsen pesan, maka melewati beberapa prosedur yang membentuk
encoding tersebut yakni frameworks of knowledge, relation of production,
dan technical infrastructure. Relation of production dan technical
infrastructure terkait dengan penggambaran mengenai konflik adat dalam
film baik teks maupun gambar. Nilai-nilai atau ideologi dalam film tersebut
menjadi dasar mengetahui kepentingan si pembuat film. Sedangkan
frameworks of knowledge mengukur pengetahuan yang telah dimiliki
sebelumnya. Ketiga hal tersebut menjadi faktor utama bagaimana produsen
Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
17
mengkonstruksi pesan tertentu. Kemudian dari proses encoding tersebut
membentuk titik tengah yaitu wacana berisikan makna yang dalam bagan
tersebut dinamai „meaningful’ discourse. Kemudian wacana tersebut
melanjutkan proses pada decoding oleh konsumen pesan atau khalayak di
mana makna yang mereka dapat dari wacana tersebut membentuk tiga
faktor utama yang juga berada pada proses membentuk tahapan encoding.
Model encoding-decoding ini tidak lepas dari pengaruh lapisan sosial serta
latar belakang budaya dan kerangka referensi masing-masing.
Dalam teorinya Hall menjelaskan bahwa makna yang dimaksudkan dan
diartikan dalam sebuah pesan bisa terdapat perbedaan. Kode yang
digunakan atau yang disandi (encode) dan yang disandi balik (decode) tidak
selamanya berbentuk simetris. Derajat simetris dalam teori ini dimaksudkan
sebagai derajat pemahaman serta kesalahpahaman dalam pertukaran pesan
dalam proses komunikasi – tergantung pada relasi ekuivalen (simetri atau
tidak) yang terbentuk diantara encoder dan decoder. Selain itu posisi
encoder dan decoder, jika dipersonifikasikan menjadi pembuat pesan dan
penerima pesan. Ketika khalayak menyanding balik (decoding) dalam suatu
komunikasi, maka terdapat posisi hipotekal, yakni : (1) Dominant-
hegemonic Position, (2) Negotiated Position, (3) Oppositional Position.
Hall juga menjelaskan bahwa dalam proses negosiasi makna praktik
resepsi memaparkan tiga interpretasi yang digunakan individu merespon apa
yang dilihatnya dalam media massa yaitu :
1. Dominan-Hegemonic code
Menjelaskan bahwa posisi audiens yang menyetujui dan menerima
langsung apa saja yang disajikan oleh televisi, menerima penuh
ideologi yang dari program tayangan tanpa ada penolakan atau
ketidaksetujuan terhadapnya.
2. Negotiated code
Menjelaskan bahwa penonton yang mencampur interpretasinya
dengan pengalaman sosial tertentu mereka. Penonton yang masuk
Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
18
kategori negosiasi ini bertindak antara adaptif dan oposisi terhadap
interpretasi pesan atau ideologi dalam televisi.
3. Oppositional code.
Menjelaskan bahwa penonton melawan atau berlawanan dengan
representasi yang ditawarkan dalam tayangan dengan cara yang
berbeda dengan pembacaan yang telah ditawarkan.
Teori yang dikemukakan Hall diatas mencoba menjelaskan bahwa
dalam analisis resepsi khalayak bisa secara bebas untuk membaca, melihat
dan mendengar informasi terhadap media massa. Kebebasan tersebut juga
terhadap proses seleksi terhadap jenis pesan ataupun informasi yang
ditemukannya. Seperti kita ketahui, bahwa media massa bukan faktor
tunggal yang menentukan bagaimana teks itu di proses dan di maknai oleh
khalayak. Namun ada faktor lainnya yang menjadi pemicu, seperti
pengalaman dan faktor internal dari khalayak itu yang akan menentukan
bagaimana hasil atau makna pesan dari media massa tersebut akan diterima.
Dengan begitu, khalayak akan memiliki pemaknaan yang berbeda satu sama
lain terhadap pesan dari media massa.
Dalam penelitian komunikasi, teori resepsi model encoding-decoding
Stuart Hall menjadi panutan dan kiblat dari penelitian audiens ketika
berhadapan dengan media massa. Ross & Nightingale (2003:37-38)
menjelaskan keuntungan dari model encoding-decoding Stuart Hall yang
terdiri dari beberapa hal : pertama, memungkinkan timbulnya fakta bahwa
media dapat dipelajari sebagai pemancar dari ideologi yang dominan di
masyarakat. Kedua, pendekatan encoding-decoding mengungkapkan
bagaimana pesan media yang dikonstruksi ulang oleh kelompok-kelompok
sosial tertentu dan berbeda-beda dalam masyarakat. Ketiga, pendekatan ini
mempelajari penonton dalam aspek pembacaan mereka terhadap teks atau
pesan media dari pada kebutuhan psikologis mereka. Selain itu dengan
pendekatan encoding-decoding berfokus pada „wacana‟ sehingga dapat
meminimalisir pentingnya teks atau media tunggal.
Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
19
Selain Hall, analisis resepsi dijelaskan oleh Carolyn Michelle (2007).
Analisis resepsi Carolyn Michelle merupakan kerangka analisis yang
membantu peneliti membaca resepsi dari khalayak yang menjadi informan
penelitian. Michelle menyodorkan kerangka resepsi sebagai Consolidated
Analytical Framework, kerangka resepsi ini dibangun oleh hasil-hasil
penelitian resepsi sebelumnya. Dua fokus utama kerangka resepsi ini
memungkinkan peneliti untuk membaca pemaknaan teks media, yakni level
denotatif dan konotatif dari khalayak dalam aktivitas konsumsi teks media.
Dalam dua makna level ini, menyajikan empat pembedaan mode resepsi,
yaitu transparent mode, referential mode, mediated mode, dan discursive
mode. Dalam masing-masing model, terdapat bermacam-macam sub
kategori untuk menjelaskan data resepsi. Selain itu, terdapat pula evaluasi,
pada evaluasi, kerangka resepsi juga menyajikan dampak hegemonik teks
atas khalayak yang mengonsumsinya. Konsep mengenai khalayak juga
dijabarkan untuk memberikan pemahaman bagaimana aktivitas individu dan
pemaknaan yang terjadi dalam konsumsi media massa.
Perbedaan antara analisis resepsi Stuart Hall dan Carolyn Michelle
dapat dilihat dari kategori pemaknaan teks media, Stuart Hall
mengidentifikasi tiga posisi yakni Dominant-Hegemonic Position,
Negotiated Position, Oppositional Position, sedangkan Carolyn Michelle
mengidentifikasi dua level fokus utama yakni level denotatif dan level
konotatif , serta evaluasi.
4. Konflik Adat
Konflik sangat erat hubungannya dengan kepentingan antar kelompok
yang mendasari nilai-nilai kekuasaan. Perbedaan nilai dan identitas juga
memberikan pengaruh yang sangat besar, selain ketimpangan ekonomi,
kepentingan, dan kontrol terhadap kekuasaan. Konflik bukan mustahil
berawal dari ketidakadilan ekonomi, kemudian menyebar menjadi konflik
identitas kesukuan yang memberikan kekuatan lebih untuk menumpuk
Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
20
kebencian dan memberikan dampak panjang terselesaikannya konflik
tersebut (Teja, 2011).
Banyaknya suku bangsa yang tersebar di berbagai pulau dan wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan aset yang berharga, namun
juga sekaligus membuat Indonesia rentan terhadap konflik. Pembangunan
yang tidak merata, merupakan salah satu persoalan yang menjadi titik tolak
dan akar dari munculnya berbagai konflik. Persoalan kemiskinan,
kesenjangan budaya, ketimpangan pembangunan antara satu daerah dengan
yang lain, korupsi dan sebagainya adalah persoalan krusial yang tidak
mudah diselesaikan tanpa good will pemerintah. Konflik kemudian
perwujudan berbagai pertentangan antara dua belah pihak baik itu berwujud
individu maupun kelompok atau golongan.
Menurut Coser (1956) konflik sosial dapat diartikan sebagai cara
memperjuangkan nilai-nilai dan klaim terhadap kelangkaan status,
kekuasaan dan sumberdaya dengan tujuan dari para pihak adalah
menetralisir, menyakiti maupun menyisihkan siapa yang menjadi lawan
mereka (Coser,1956:8). Konflik juga dimaknai sebagai hubungan antara dua
pihak atau lebih yang memiliki tujuan yang tidak sejalan
(Mitchell,1981:17). Dalam konteks sistem sosial, hubungan permusuhan
antar unit dapat terjadi. Unit-unit yang berkonflik dalam sistem tersebut
mungkin bersifat independen satu sama lain dan masing-masing unit
mungkin berbeda dalam entitas yang lebih besar (Kriesberg, 1982:14).
Dalam konfilik sosial, karakteristik unit-unit yang berkonflik berada
pada situasi dan kondisi di mana unit-unit ini tidak saling sepakat. Konfilik
sosial terjadi ketika dua belah pihak atau lebih meyakini meraka memiliki
tujuan dan keinginan yang berbeda (Kriesberg, 1982:17). Disamping itu,
adanya perbedaan sumberdaya diantara para pihak yang terlibat
mempengaruhi alat berkonflik yang digunakan oleh masing-masing pihak.
Sumber daya yang dikontrol oleh salah satu pihak diinginkan oleh pihak
lawan karena menjanjikan keuntungan yang besar (Kriesberg, 1982:141).
Konflik berpotensi untuk terjadi karena ada dua belah pihak atau lebih yang
Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
21
memperebutkan nilai, maupun kompetisi di antara para pihak untuk
mendapatkan status kekuasaan dan sumberdaya yang langka atau terbatas
(Moore, 1986:16).
Konflik sosial kerapkali muncul dengan isu-isu lokalitas seperti konflik
lahan milik masyarakat adat dengan perusahaan. Konflik ini dikenal sebagai
konflik adat. Menurut hasil kajian Forest Peoples Programme (FPP),
dikutip dari situs mongabay.co.id, menyebutkan bahwa nasib masyarakat
adat di Indonesia yang turun temurun tinggal di sekitar kawasan hutan
makin memprihatinkan. Faktor utama, karena pemerintah lemah dan tidak
berpihak pada masyarakat adat. “Hutan mereka dirusak oleh perusahaan
seperti sawit tanpa mempertimbangkan bagaimana nasib masyarakat ada di
sana,” kata Patrick Anderson, Policy Advisor FPP, kepada Mongabay, usai
The Forest Dialogue. Dia mengatakan, cara sejumlah perusahaan
mengeksplorasi kawasan hutan, begitu brutal tanpa mempertimbangkan
masyarakat yang hidup di dalamnya.”Terjadilah konflik berkepanjangan,
tidak sedikit berujung kematian.” Dari sejumlah laporan mereka
memperlihatkan, ada sejumlah perusahaan menyatakan akan berhenti
merusak hutan karena banyak tekanan pasar dan investor. Namun,
komitmen itu hanya sebagian kecil, di lapangan, perusakan hutan dan
konflik dengan masyarakat adat cukup tinggi.
Di Papua, salah satu akar masalah hingga terjadinyakonflik adalah
kesejahteraan masyarakat adat yang tidak merata, di mana kekayaan alam
Papua terus dikeruk namun sama sekali tidak berimbas pada kehidupan
masyarakatnya. Sumber-sumber daya alam yang kaya di Papua akan tetap
menjadi salah satu keluhan utama dan pemicu konflik (baik vertikal antara
negara dan rakyat juga secara horisontal antara para anggota masyarakat
adat).
Carpenter dan Kennedy (1988) mengatakan konflik atau sengketa
bersifat dinamis dan apabila tidak dikelola dapat berkembang menjadi
konflik spiral yang terjadi berlarut. Konflik spiral ini berawal dari
munculnya permasalahan, terbentuknya faksi-faksi, penguatan posisi
Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
22
masing-masing pihak berkonflik, terhentinya komunikasi para pihak yang
terhenti, dedikasi akan sumberdaya, konflik menyebar keluar, munculnya
persepsi yang bias, krisis muncul, dan berujung pada hasil yang beragam.
Keseluruhan proses tersebut dinamakan spiral konflik karena berkembang
seperti bentuk spiral (Carpenter & Kennedy, 1988 : 11-15).
Pada masyarakat sosial terdapat pemilihan struktur yaitu masyarakat
yang bersifat consolidated dan intersected. Pada tipe masyarakat
consolidated lebih cenderung mengembangkan identitas kelompok yang
kuat dan kohesi kelompok lebih mudah diciptakan bahkan lebih kokoh.
Dalam tipe masyarakat ini kesadaran konflik cenderung tinggi sehingga bila
terjadi konflik dengan kelompok lain maka intensitas berkonfliknya juga
memiliki kecenderungan lebih tinggi. Sementara itu, pada tipe masyarakat
yang intersected, kesadatan terhadap konflik lebih sulit dikembangkan
sehingga intensitas berkonfliknya cenderung rendah (Mas‟oed dkk 2000 :
12-13). Pada orang malind cenderung memiliki tipe masyarakat yang
consolidated karena pengaruh agama, suku, ras dan kelas sosial yang sama
sehingga kohensi antar orang Malind lebih kuat.
Pada kasus orang Malind dan pihak investor proyek MIFEE, harapan
orang Malind untuk mendapatkan kejelasan mengenai penggunaan tanah
adat tidak sesuai dengan penyelesaiannya, ditambah lagi dengan tindak
intimidasi, kriminalisasi, kekerasan, penganiayaan dan penyiksaan yang
dialami orang Malind sehingga menyulut emosional dan kekecewaan. Sadar
akan permasalahan sengketa lahan yang terus terjadi, beberapa masyarakat
adat pun mulai melakukan beberapa perlawanan untuk mempertahankan
hutan adat mereka. Salah satu bentuk perlawanannya ialah dengan
melakukan gerakan sosial. Gerakan sosial telah lama menjadi pembawa
pengetahuan tentang bentuk operasi dan ketidakadilan, mengungkapkan
klaim politik, mengidentifikasi keluhan ekonomi dan sosial dan membawa
masalah yang diabaikan ke ranah publik.
Harry H. Hiller (1975) merupakan salah satu ilmuwan di bidang sosial
yang membuat skema fase-fase sebuah gerakan sosial, jurnalnya yang
Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
23
berjudul “A Reconceptualication of the Dynamics of Social Movement
Development” membahas bagaimana fase-fase dalam prose gerakan sosial
terjadi. Hiller membagi dinamika gerakan sosial ke dalam 3 fase, yaitu fase
ketertarikan (interest), protes, dan perspektif. Namun Hiller menekankan
bahwa fase atau tahapan yang ia buat tidaklah bersifat mutlak (exclusive
fashion). Berikut penjelasannya :
1. Fase ketertarikan (Interest Phase) merupakan fase dimana terjadi suatu
perasaan gelisah antar individu-individu (social unrest), lalu mereka
berkumpul dan saling mensosialisasikan kegelisahan tersebut
(socialization of restlessness). Hal ini merupakan langkah awal menuju
gerakan dalam skala yang lebih besar (large-scale movement). Kesamaan
rasa dan ketertarikan terhadap suatu isu ini membuat individu-individu
bersatu dan secara kolektif memiliki pandangan dan tujuan yang sama,
sehingga mereka tidak lagi sendiri-sendiri melainkan akan membentuk
sebuah gerakan sosial. Pada tahapan ini emosi kolektif mulai berkembang
memicu isu dalam pergerakan yang harus diperjuangkan. Nilai-nilai dan
tujuan dalam pergerakan biasanya dilakukan melalui studi dan forum-
forum diskusi. Melalui forum-forum diskusi inilah para partisipan dalam
gerakan sosial tetap menjaga kontak (face-to-face) antar individu di dalam
gerakan tersebut sehingga akan memperkuat keberlangsungan gerakan.
Lalu tahapan selanjutya adalah fase protes, namun sebelum menuju fase
protes tersebut Hiller menjelaskan terjadi transisi di dalam pergerakan
yang mana pergerakan mengalami kritis (critcal point). Maksudnya adalah
ketika individu-individu yang sudah bersatu tadi telah menyamakan tujuan
dan nilai pergerakan, sayangnya perubahan tidak terlihat, tujuan dan nilai
yang terbangun tadi akhirnya hanya tujuan semu (only sterile goals)
menyebabkan pergerakan mati. Pergerakan yang sedang mengalami krisis
tersebut kembali menguat dan menunjukkan aksinya karena terjadi suatu
peristiwa yang bernuansa provokatif.
2. Setelah bertransisi, fase berikutnya adalah fase protes di mana sebuah
gerakan mengalami kristalisasi, maksudnya gerakan melanjutkan
Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
24
legitimasinya dengan membangun strategi-taktis. Strategi taktis inilah
yang menjadi cara mereka untuk memprotes keadaan status quo. Gerakan
tidak lagi pada ranah angan-angan atau obrolan saja, gerakan sudah mulai
mempersiapkan partisipasi dan peran aktif individu-individu. Aktivitas
protes dijalankan dengan intensitas tinggi melalui penerapan yang
sistematis serta strategi dan taktik yang sesuai dimana keselarasan
(conformity) dan loyalitas terhadap tujuan pergerakan telah tumbuh sangat
signifikan. Kegiatan protes inilah yang menjadi basis primer bagi interaksi
sosial di dalam sebuah pergerakan. Lalu, pergerakan akan mengalami
transisi kembali, sebelum memasuki tahapan perspektif. Poin B yang
dimaksud Hiller ialah pergerakan “kelelahan” akibat protes yang
berkepanjangan namun perubahan tak kunjung terjadi. Hiller
mengingatkan ketika pergerakan ketika pergerakan “kelelahan” berarti
mengalami krisis hingga sangat berpotensi mati. Namun, Hiller juga
menjelaskan ketika pergerakan “kelelahan”, disaat itu media mejadi
sebagai “penolong” dalam menyebarkan nilai dan tujuan pergerakan ke
masyarakat luas, sehingga dukungan masuk dan gerakan kembali menguat.
Fase protes diliput media dan mempengaruhi basis dukungan pergerakan
terhadap komitmen yang lebih meluas dan berkembang.
3. Setelah bertransisi, selanjutnya gerakan sosial memasuki fase perspektif.
Fase perspektif adalah fase di mana nilai dan tujuan pergerakan secara
sensitif telah menyentuh khalayak ramai. Hal ini memberikan term bagi
pergerakan agar menginterpretasikan protes yang selama ini dilakukan
apakah telah membawa pergerakan kearah kesuksesan atau sebaliknya
karena pada intinya Hiller katakan bahwa jarang sekali fase protes
membawa pergerakan pada kemenangan total atau pencapaian penuh
tujuan. Lalu, pergerakan akan dihadapkan dengan realita dan salah satu 3
perspektif alternatif yang mana menggambarkan term kelanjutan sebuah
pergerakan, yaitu : Defensive, Reformulative, Becalmed.
Perspektif Defensive ialah keadaan dimana sebuah gerakan telah
berhasil meraih tujuan jangka pendek tapi tidak tujuan inti. Pergerakan
Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
25
tersebut bertahan dengan kesuksesan tujuan jangka pendek tadi namun
pergerakan akan mati (urgensitasnya hilang), atau terus melakukan protes
dengan basis tujuan inti di samping tetap membawa pergerakan yang
terorganisir dengan bail. Perspektif Reformulative terjadi disaat gerakan
mampu mencapai tujuan namun tidak utuh, maksudnya tujuan yang
berhasil dicapai itu terbatas dikarenakan tujuan awal yang tidak fokus atau
diffuse sehingga pergerakan ketika mengalami hal ini sangat perlu untuk
mereformulasi tujuannya dengan menemukan tujuan-tujuan baru. Hal ini
dimaksudkan agar pergerakan tetap berjalan dengan baik dalam
menghadapi kondisi yang mengalami perubahan. Perspektif Becalmed
yakni ketika pergerakan masih ada, sayangnya tujuan secara temporer
meredup (temporarity dimmed), sehingga pergerakan berada di situasi
yang Hiller sebut dengan becalmed atau terhenti.
F. Kerangka Konsep
Penelitian ini disusun untuk mendapatkan jawaban atas sebuah
pertanyaan bagaimana resepsi mahasiswa terhadap konflik adat dalam fim
Dokumenter The Mahuzes. Film dokumenter menjadi pilihan bagi audiens
untuk mendapatkan informasi dan ilmu pengetahuan yang dapat dipercaya,
serta menjadi referensi untuk menyikapi suatu isu. Keberadaan film
dokumenter menghadirkan pandangan atas isu-isu berdasarkan realitas dan
mengakajinya dengan beragam subgenre secara tidak langsung menarik
perhatian para generasi muda khususnya mahasiswa. Film bukan hanya
digunakan untuk proses pengiriman pesan yang telah dikonstruksi, melainkan
pada saat pesan film dimaknai oleh mahasiswa di mana secara aktif meresepsi
film tersebut.
Praktik resepsi terhadap film dokumenter akan menghasilkan beragam
makna, sebab dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal setiap individu.
Makna dihasilkan ketika audiens membaca, melihat, dan mendengarkan teks
media. Selain itu audiens secara aktif dalam menghasilkan makna, bukan
konsumen makna. Karena resepsi yang ditangkap tidak secara langsung
Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
26
terbentuk begitu saja oleh audiens. Audiens menginterpretasikan teks media
dengan keadaan yang sesuai dengan kehidupan sosial dan konteks sosial
budaya mereka yang terbentuk. Dengan kata lain pesan-pesan media secara
subjektif dikonstruksi audiens secara personal.
Analisis resepsi merupakan bagian dari studi budaya modern yang
menekankan pada studi mendalam terhadap khalayak sebagai bagian dari
interpretive communities. Khalayak mempunyai kekuatan dalam melakukan
pemaknaan terhadap isi pesan yang disajikan media, sehingga khalayak aktif
dalam meresepsi pesan dan memproduksi makna, tidak hanya menjadi
individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi oleh media
massa.
Penelitian ini menggunakan konsep Stuart Hall, di mana saat
melakukan praktek pemaknaan teks media massa oleh audiens peneliti
menggunakan tiga kategori untuk melihat respon audiens dalam film The
Mahuzes, yakni Dominant-Hegemonic code, Negotiated code, dan
Oppositional code. Penggolongan pemaknaan teks ini akan terlihat dari hasil
pemaknaan yang dilakukan oleh informan terhadap konflik adat dalam film
The Mahuzes.
Hall berargumen bahwa preferred reading merupakan ideologi
dominan dalam media teks, tetapi tidak secara otomatis diadopsi oleh
khalayak. Sebelum menganalisis pembacaan khalayak, tentunya peneliti harus
mengidentifikasi preferrerd reading terlebih dahulu. Peneliti mencoba
memahami teks, peneliti juga akan melihat konteks yang mendasari pengirim
pesan dalam membuat pesan dan menanamkan ideologi, peneliti akan
menggali pesan yang dimaksudkan film dokumenter The Mahuzes dan
melihat situasi pesan apa yang dimunculkan ke masyarakat.
Setelah mencoba memahami dan menggali pesan, peneliti
menyimpulkan Preferred reading penelitian ini adalah konflik adat.
Meskipun tidak ada penjelasan mengenai konflik adat, akan tetapi konflik
adat merupakan turunan dari pengertian konflik sosial. Dalam film tersebut
digambarkan terjadi permasalahan antara masyarakat adat dengan pihak
Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
27
eksternal. Untuk memudahkan peneliti dalam menjabarkan konflik adat,
peneliti menggunakan konsep gerakan sosial. Gerakan sosial ini adalah upaya
marga Mahuze untuk mempertahankan tanah adat mereka dari pihak investor.
Peneliti menggunakan konsep gerakan soial yang dijelaskan oleh Hiller
(1975), menurutnya terdapat 3 fase gerakan sosial : 1) Fase ketertarikan, 2)
Fase Protes, 3) Fase perspektif.
Setelah preferred reading diketahui, barulah dapat menganalisis
pembacaan khalayak untuk dimasukan dalam kategori dominant, negotiated,
atau oppositional. Karena decoding adalah peran yang dilakukan oleh
khalayak, maka sumber utama peneliti untuk mengetahui bagaimana
pemaknaan teks dilakukan adalah dari khalayak sendiri. Dalam hal ini,
decoding tidak hanya melibatkan pengenalan dasar atau pemahaman
menyeluruh terhadap teks, tetapi juga interpretasi dan evaluasi terhadap
makna berkenaan dengan kode teks yang relevan. Peneliti akan menggali
lebih dalam bagaimana khalayak melihat makna di balik teks.
Selanjutnya peneliti akan melihat penerimaan atau penolakan khalayak
terhadap teks. Tak berhenti di situ, pemahaman, relevansi dan kesenangan
atau kenikmatan dalam mengkonsumsi teks tersebut juga akan dianalisis
dalam menentukan posisi pembacaan khalayak terhadap teks. Maka dari itu,
selain melihat apakah penonton setuju atau tidak dengan gagasan yang
disampaikan film The Mahuzes, peneliti juga menganalisis bagaimana
kesenangan penonton terhadap film The Mahuzes mempengaruhi
pemaknaannya.
Setelah posisi pembacaan khalayak diketahui, selanjutnya peneliti
menganalisis bagaimana posisi pembacaan tersebut terbangun. Seperti
penelitian sebelumnya, hal ini dilakukan dengan mengaitkan pemaknaan
khalayak dengan latar belakang sosial dan faktor-faktor lainnya seperti
pendidikan, ras, gender, dan pengalaman masing-masing informan sebagai
khalayak.
Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
28
Skema Kerangka Konsep
Preferred Reading
Gambar I.2 Skema Kerangka Konsep
Film The Mahuzes
Konflik adat
Fase Ketertarikan
- Individu- individu
merasa gelisah, lalu
berkumpul
- Memiliki ketertarikan
isu atau masalah
yang sama
- Melakukan forum
diskusi
- Adanya peristiwa
bernuansa provokatif
Fase Protes
- Membangun
strategis
- Gerakan
mempersiapkan
partisipasi
- Aktivitas protes
dijalankan
dengan intensitas
tinggi
Fase Perspektif
- Pergerakan
secara sensitif
telah
menyentuh
khalayak ramai
Dominant
Negotiated
Opositional
Mahasiswa
Encoding
Decoding
Konflik Sosial
(Gerakan Sosial)
Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
29
G. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Model Riset
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu penelitian yang
mengemukakan gambaran dan atau pemahaman (understanding) mengenai
bagaimana dan mengapa suatu gejala atau realitas itu terjadi (Pawito,
2007:36). Karakteristik utama dari penelitian kualitatif adalah fleksibilitas
dalam perolehan data (Cynthia, 2005:4). Penelitian kualitatif mendasarkan
pada hal-hal yang bersifat diskursif (logis) seperti transkrip dokumen, catatan
lapangan, hasil wawancara dan dokumen-dokumen tertulis (Pawito, 2007:37).
Penelitian kualitatif yang mengkaji tentang khalayak dan media adalah
analisis resepsi. Premis dari analisis resepsi adalah bahwa teks media
mendapatkan makna pada saat peristiwa pernerimaan, dan bahwa khalayak
secara aktif memproduksi makna dari media dengan menerima dan
menginterpretasikan teks-teks sesuai posisi-posisi sosial dan budaya mereka
(Tuchman 1994; Van Zoonen 1994; Kellner 1995; MacBeth 1996 dalam
CCMS : 2002). Tujuan utama dari analisis resepsi ini adalah untuk
memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli,
hubungannya dengan kehidupan, serta untuk mendapatkan pandangannya
mengenai dunianya. Intinya adalah upaya untuk memperhatikan makna-
makna tindakan dari kejadian yang menimpa orang yang ingin kita pahami.
Karenanya, penelitian ini melibatkan aktivitas belajar mengenai dunia orang
yang telah belajar melihat, mendengar, berbicara, berpikir, dan bertindak
dengan cara yang berbeda (McQuail, 1997 : 11).
Resepsi audiens terhadap film dokumenter jarang dilakukan dalam
kajian komunikasi, karena kurangnya minat penonton film dokumenter
dibandingkan dengan film fiksi dan kurangnya informasi terhadap pemutaran
film dokumenter yang diketahui masyarakat maupun tidak diketahui. Padahal,
film dokumenter sangat penting menjadi media penyebaran informasi
mengenai suatu isu yang jarang diketahui masyarakat, pemutaran film-film
dokumenter di beberapa acara festival film dokumenter serta pemutaran film
dokumenter di kineclub menjadi bukti film dokumenter layak diketahui
Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
30
masyarakat. Film The Mahuzes merupakan salah satu contoh film dokumenter
yang layak untuk ditonton. Apresiasi dan pendapat para penonton mengenai
film tersebut positif, apalagi isu yang diangkat sangat penting dan informatif.
Meski penonton film ada yang tidak sependapat dengan isu tersebut, tetapi
hal ini menunjukkan bahwa penonton memiliki perbedaan dalam memaknai
pesan dalam film.
Penelitian ini mendasarkan pada bagaimana audiens mengeinterpretasi
atau memaknai pesan yang diterimanya melalui media. Analisis resepsi
merupakan kajian yang erat kaitannya dengan encoding-decoding pesan.
Dalam prosesnya, decoding pesan yang dihasilkan oleh audiens akan berbeda
satu sama lain bergantung pada referensi dan pengalaman yang dimilikinya
(Hall,1980). Dalam artian makna teks terletak pada teks itu sendiri. Audiens
tidak menemukan makna dalam teks melainkan dalam interaksinya dengan
teks. Selain itu analisis resepsi melibatkan faktor kontekstual yang
mempengaruhi pemaknaan audiens terhadap teks media seperti identitas, latar
belakang sosial, dan persepsi.
Peneliti memilih analisis resepsi karena dianggap sesuai dengan
penelitian ini. Dengan metode tersebut peneliti akan mendeskripsikan
bagaimana mahasiswa di Yogyakarta meresepsi konflik adat dalam film
dokumenter The Mahuzes.
2. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah penonton film dokumenter The Mahuzes.
Subjek penelitian ini diambil secara non probabilitas, purposive or
judgemental sampling. Pusposive sampling adalah teknik pengambilan
sampel sumber data dengan pertimbangan dan tujuan tertentu (Sugiyono,
2012). Jenis sampel ini memungkinkan penulis untuk mencari dan memilih
sendiri individu yang akan dijadikan informan penelitian. Peneliti
menetapkan beberapa syarat untuk menjadi informan. Tidak semua orang
dapat memenuhi kriteria tersebut. Oleh karena itu, pengambilan informan
Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
31
dengan cara purposive sampling diharap tepat untuk mendukung proses
penelitian.
Adapun beberapa kriteria informan penelitian. Pertama, mahasiswa
yang berada di Yogyakarta. Pemilihan informan di Yogyakarta melalui
pertimbangan banyak mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah di
Indonesia selain itu memudahkan juga bagi peneliti untuk mencari data.
Peneliti pun memilih dua kategori asal mahasiswa, yakni mahasiswa asal
Papua dan non Papua. Alasan dipilihnya informan dari Papua dan Non Papua
karena film ini berkaitan dengan Papua. Kedua, informan tertarik dengan film
dan isu Papua. Hal ini dikarenakan film yang diteliti berkaitan dengan kondisi
dan keadaan Papua, diharapkan informan bisa memahami dan menjawab
pertanyaan sesuai dengan pengetahuan informan. Ketiga, informan film The
Mahuzes harus menonton lebih dari 1 kali film tersebut. Hal ini bertujuan
untuk menjamin ingatan informan terhadap cerita dalam film The Mahuzes.
Keempat, peneliti mencari informan baik laki-laki maupun perempuan.
Kelima, informan memiliki waktu luang dan bersedia memberikan pernyataan
yang diperlukan untuk proses penelitian. Hal ini sangat penting agar
memudahkan peneliti untuk observasi.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data, peneliti menggunakan dua jenis sumber data,
yaitu data primer dan data sekunder.
a. Data Primer
Pengumpulan data primer dilakukan melalui teknik wawancara
mendalam individual (in-depth interview) Wawancara mendalam
didefinisikan sebagai percakapan antara peneliti dan seorang informan
(Berger, 2000). Wawancara merupakan suatu cara mengumpulkan data
atau informasi dengan cara langsung bertatap muka dengan informan agar
mendapatkan data lengkap dan mendalam. Metode ini memungkinkan
peneliti untuk mendapatkan alasan detail jawaban responden yang antara
Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
32
lain mencakup opini atau pemaknaan. Sehingga mendapatkan kedalaman
data yang diperlukan dalam penelitian ini.
Dalam melakukan wawancara terhadap informan, pewawancara
menggunakan panduan yang menggunakan daftar pertanyaan yang
menjadi pedoman peneliti (interview guide). Pedoman pertanyaan tersebut
dibuat berdasarkan kebutuhan data yang diperlukan dalam penelitian ini.
Pertanyaan diturunkan dari kerangka pemikiran yang diajukan peneliti
dalam mewakili konsep-konsep teori yang digunakan. Sehingga menjadi
indikator dalam melakukan wawancara terhadap semua informan. Selain
itu juga digunakan openended question, di mana pertanyaan dapat
berkembang dan berubah sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan
peneliti.
b. Data sekunder
Peneliti melakukan studi pustaka dari literature buku, jurnal, dan
internet. Data pendukung ini digunakan untuk memperkuat konsep dan
kerangka pemikiran yang akan dibuktikan dan diterapkan melalui
penelitian. Studi pustaka ini menjadi langkah awal dalam melakukan
penelitian.
4. Teknik Analisis Data
Menurut Bogdan & Biklen, analisis data kualitatif adalah upaya yang
dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data,
memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya,
mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang
dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain
(Moleong, 2008 : 248).
Teknik analisis data yang akan peneliti lakukan adalah peneliti
melakukan wawancara dan merekamnya. Rekaman tersebut kemudian
ditranskrip. Setelah melakukan transkrip, peneliti menganalisis data untuk
mencari klasifikasi data. Klasifikasi data tersebut memudahkan peneliti untuk
Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
33
mengorganisir mana data utama dan data pendukung. Selanjutnya, peneliti
mengkomparasikan temuan informan dengan proses decoding terhadap
konflik adat yang terlebih dahulu sudah dilakukan. Proses itu kemudian
menghasilkan posisi informan, apakah dominant, negotiated, opposition code.
Generasi Muda Memandang Papua : Analisis Resepsi Mahasiswa Terhadap Konflik Adat Dalam FilmDokumenter The MahuzesARI PERWITA SARIUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/