bab i pendahuluan a. latar belakang masalaheprints.ums.ac.id/46344/3/4a. bab i pendahuluan.pdf ·...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Era Globalisasi1 sangat erat kaitanya dengan transparansi atau
keterbukaan. Transparan berarti suatu keadaan di mana kondisi suatu
daerah secara mudah dapat diakses, dilihat, dan diterima oleh masyarakat
di daerah lain. Akibat transparansi atau keterbukaan, maka segala
pengaruh luar sangat mudah memasuki sebuah negara. Demikian pula
sebaliknya, transparansi telah mempengaruhi berbagai sektor dalam
kehidupan, mulai dari bidang politik, ideology, pemerintahan, ekonomi,
sosial budaya, teknologi informasi, maupun pertahanan dan kemanan.
Bersamaan dengan perkembangan teknologi transportasi,
teknologi telekomunikasi dan komputasi juga berkembang secara lebih
pesat. Perkembangan teknologi informasi ini mampu menekan kebutuhan
penggunaan sarana transportasi karena dalam beberapa hal dapat
dilakukan melalui komunikasi teleconference via internet. Saat ini suatu
keputusan penting dapat diambil secara “real-time” dengan dukungan
sistem pengambilan keputusan berbasis jaringan komputer. Sistem on-line
mampu membuktikan bahwa dunia saat ini memang tanpa batas
(borderless).
1Globalisasi berasal dari kata global yang secara hafiah berarti umum atau mendunia.
Globalisasi merupakan suatu kondisi dimana perbedaaan jarak dan letak geografis bukan lagi
menjadi penghalang untuk berkomunikasi.
2
Para remaja di Indonesia akhir-akhir ini mulai familiar dengan
globalisasi teknologi dan informasi. Terbukti dengan sudah banyaknya
pengguna internet, bukan hanya para remaja, orang tua dan anak-anakpun
sudah ikut tergabung. Indonesia jika dibandingkan dengan negara lain di
dunia ini seperti Cina, masih tertinggal jauh. Jumlah pengguna internet di
Cina naik dari tahun ke tahun. Tahun lalu, hampir 513 juta jiwa penduduk
menggunakan internet. Hampir separuhnya menggunakan Weibos2.
China Internet Network Information Center (CINIC) melaporkan,
populasi online China merupakan yang terbanyak di dunia dan
meningkat 12,2 persen pada tahun sebelumnya. Dari jumlah
tersebut, 48,7 persen atau hampir 250 juta orang menggunakan
weibos, dibandingkan hanya sekitar 63.1 juta pada akhir tahun
2010.3.
Perkembangan gadget saat ini sangat luar biasa, bahkan
penggunannya sudah merambah jauh ke desa dan menghilangkan batas
usia pemakainya. Gadget adalah suatu peranti atau instrumen yang
memiliki tujuan dan fungsi praktis spesifik yang berguna yang umumnya
diberikan terhadap sesuatu yang baru. Contohnya, komputer merupakan
alat elektronik yang memiliki pembaruan berbentuk gadget, yaitu laptop
atau notebook atau netbook dan telepon rumah merupakan alat elektronik
yang memiliki pembaruan berbentuk gadget, yaitu handphone. Gadget
adalah sebuah obyek (alat atau barang elektronik) teknologi yang
memiliki ukuran kecil dari biasanya yang memilki fungsi khusus, tetapi
sering dikatakan sebagai sebuah inovasi atau barang baru. Gadget kadang
2 adalah sebuah situs microblogging Cina. Mirip dengan hibrida dari Twitter dan
Facebook, ini adalah salah satu situs paling populer di Tiongkok. 3http://www.republika. co.id/berita/ internasional/global/) diakses 10 Mei 2015
3
juga disebut dengan gizmos. Memiliki gadget tentu sah dan tidak salah,
gadget kini bukan lagi menjadi barang tersier, bahkan untuk sebagian
orang telah mejadi kebutuhan primer. Gadget boleh saja disebut
pelengkap, dengan fungsi melengkapi kehidupan profesional dan
keseharian manusia. Kesalahan terjadi apabila gadget beralih fungsi
menjadi esensi dalam hidup.
Gadget ini mempengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan
manusia. Berbicara masalah pengaruh gadget ada yang positif dan ada
yang negatif terhadap remaja Indonesia. Pengaruh atau dampak positifnya
yaitu sangat memudahkan remaja (pelajar hingga mahasiswa) dalam
melakukan kegiatan mencari informasi. Selain itu remaja dapat belajar
mengembangkan ketrampilan teknis dan sosial yang sangat dibutuhkan di
era digital seperti sekarang ini. Mereka akan belajar beradaptasi,
bersosialisasi dengan publik dan memperluas pertemanan berkat situs
jejaring social meskipun sebagian besar diantara mereka tidak pernah
bertemu secara langsung. Gadget juga memudahkan untuk
menyelesaikan tugas-tugas secara cepat, dan dapat digunakan sebagai
media berbisnis secara online. Remaja perlu mengikuti perkembangan
zaman dalam era globalisasi ini, sehigga tidak menjadi gaptek ( gagap
teknologi ), apalagi dengan ukuran yang terbilang kecil sehingga mudah
dibawa kemana-mana membuat gadget seolah-olah sebuah barang yang
tidak terpisahkan dari pemiliknya.
4
Selain memiliki dampak positif, Gadget juga memiliki dampak
negatif bagi remaja Indonesia sebagai pengguna gadget. Banyak yang
menganggap gadget tersebut adalah sebagian dari hidup mereka,
sehingga dimanapun mereka sering membawa Smart Phone-nya.
Seringkali uang dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan gengsi semata.
Jadilah remaja sebagai budak gadget. Selain itu gadget dapat
menyebabkan unsocial condition, yaitu seorang remaja tidak mau
bermain bersama teman maupun lingkungan sekitarnya. Adanya gadget
membuat remaja dapat mengurung diri karena asik dengan segala
aplikasi permainan di dalamnya, remaja juga susah untuk berkreatif serta
menjadi malas belajar dan berkomunikasi di dunia nyata. Tingkat
pemahaman bahasapun menjadi terganggu karena remaja yang eksis di
dunia maya tidak memiliki aturan ejaan dan tata bahasa di situs jejaring
sosial. Hal ini membuat mereka semakin sulit untuk membedakan antara
berkomunikasi di situs jejaring sosial dan di dunia nyata4.
Menurut Krech, Crutchfield, dan Ballachey dalam Rusli Ibrahim,
perilaku sosial seseorang itu tampak dalam pola respons antar orang yang
dinyatakan dengan hubungan timbal balik antar pribadi. Sama halnya
dengan yang diutarakan oleh Baron dan Byrne dalam Rusli Ibrahim,
bahwa perilaku sosial juga identik dengan reaksi seseorang terhadap
orang lain.
4http://rizkawhy.blogspot.co.id/2013/09/dampak-gadget-terhadap-perilaku-
remaja.html (diakses Selasa, 26 April 2016)
5
Kedua hal di atas berkaitan dengan manusia. Manusia sebagai
pengguna gadget dan juga manusia adalah makhluk hidup yang
senantiasa berperilaku di dalam kehidupan social karena disamping
manusia merupakan makhluk individu, manusia juga termasuk makhluk
sosial. Dalam perkembangannya, gadget yang dulunya cenderung hanya
dapat dimiliki oleh kaum borju karena harganya yang relatif mahal saat
itu. Kini mulai dapat dimiliki oleh siapa saja karena harga gadget mulai
beragam, bahkan tukang becak pun memiliki handphone untuk
berkomunikasi dengan pelanggannya. Segala hal yang bertemakan
pembaruan, pasti memiliki nilai praktis. Akan tetapi, tidak akan terlepas
dari dampak baik dan buruk yang timbulkannya.
Perkembangan gadget yang semakin pesat memang harus
diwaspadai, terutama dengan munculnya istilah gadget mania atau
julukan bagi pecandu gadget. Seperti yang kita ketahui, kita sedang
berada dalam era globalisasi, tentunya tidak sulit untuk menemukan para
gadget mania yang sudah merajalela ke semua kalangan.Menurut salah
satu pakar teknologi informasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB),
Dimitri Mahayana: sekitar 5-10 persen gadget mania atau pecandugadget
terbiasa menyentuh gadget nya sebanyak 100-200 kali dalam sehari. Jika
waktu efektif manusia beraktivitas 16 jam atau 960 menit sehari, dengan
demikian orang yang kecanduan gadget akan menyentuh perangkatnya
itu 4,8 menit sekali.
6
Di Indonesia, demam perangkat ini sudah berlangsung sejak
2008, tepat ketika Facebook naik daun dan penetrasi telefon seluler di
negeri ini melewati angka 50 persen. Indonesia kini bahkan telah menjadi
salah satu negara dengan pengguna Facebook dan Twitter terbesar di
dunia, yang penggunanya masing-masing mencapai 51 juta dan 19,5 juta
orang.Ini adalah kenikmatan penduduk dunia abad ke-21. Jarak dan waktu
bagaikan terbunuh oleh kemajuan teknologi informasi semacam ini.
Seorang pecandu gadget akan sulit untuk menjalani kehidupan
nyata, misalnya mengobrol. Perhatian seorang pecandu gadget hanya
akan tertuju kepada dunia maya. Dan bahkan jika dia dipisahkan dengan
gadget , maka akan muncul perasaan gelisah.Bahkan diperkirakan 80
persen pengguna gadget di Indonesia memiliki perilaku seperti itu.
Mereka tidak tahan jika harus berlama-lama berpisah dengan gadget nya.
Hanya sepuluh persen saja pengguna gadget di Indonesia yang mampu
membatasi penggunaan gadget di saat-saat tertentu. Sebagian dari kita
berdalih bahwa kebutuhan mereka akan gadget berhubungan dengan
keperluan pekerjaan. Argumen ini mungkin benar, karena perangkat ini
memang mengandung teknologi yang memudahkan hidup manusia. Akan
tetapi, kita juga harus mengakui bahwa penggunaan gadget untuk
kepentingan eksistensi dan pencitraan diri porsinya bisa jauh lebih besar
ketimbang untuk kepentingan pekerjaan.
Salah satu psikolog berpendapat tentang efek candu yang di
timbulkan gadget bisa berupa gangguan komunikasi verbal dalam
7
berkomunikasi secara langsung di dalam masyarakat dan juga dalam
tingkatan yang lebih tinggi dapat membuat individu menjadi hiperealitas.
Hiperealitas adalah kecenderungan membesarkan sebagian fakta dan
sekaligus menyembunyikan fakta lain atau tanda lenyapnya realitas atau
objek representasi digantikan dengan hal-hal yang bersifat fantasi, fiksi
dan halusinasi. Apabila individu pengguna gadget terjangkit dalam
hiperealitas maka ia akan kehilangan makna interaksi sosial5.
Panti Asuhan sebagai lembaga yang menampung anak-anak
yatim, piyatu, yatim piyatu dan dhuafa sudah saatnya memiliki peran
lebih dari sekedar menjadi tempat penampungan tetapi meningkat
menjadi tempat pembentukan karakter Islami yang kuat. Menyiapkan
anak-anak asuhnya tidak hanya mendapatkan kasih sayang dan
pendidikan formal tetapi yang lebih penting dari itu semua yaitu memiliki
kompetensi religiusitas yang baik sebagai daya filter dari derasnya arus
globalisasi teknologi dan informasi yang pada gilirannya akan membawa
mashlahat dan tidak mendatangkan madlarat.
Panti Asuhan Keluarga Yatim Muhammadiyah (PAKYM)
Surakarta didirikan sebagai upaya untuk membantu anak – anak yatim
agar tidak putus sekolah dan untuk bisa melanjutkan pendidikan yang
lebih tinggi. PAKYM berusaha untuk menerima anak yatim dari daerah
manapun di wilayah Indonesia yang memang membutuhkan dan siap
5 http//panduputrabuana.blogspot.co.id (diakses Selasa, 26 April 2016)
8
tinggal di asrama6. Hal ini membawa dampak beragamnya tingkat
kemampuan anak dalam hal pemahaman agama dan perbedaan perilaku.
Diketahui bahwa latar belakang keluarga mereka berbeda-beda, sehingga
menuntut seorang pengasuh untuk memahami dan mengerti psikologi
perkembangan anak-anak yang di asuhnya.
Pengetahuan dan penguasaan pengasuhan tidak cukup kalau tidak
diimbangi dengan penanaman aqidah yang baik dan kuat. Faktor aqidah
menjadi sangat mendasar untuk di sampaikan kepada anak-anak karena
aqidah ini akan membetengi mental dan sikap mereka dalam
berkehidupan bermasyarakat.
Oleh karena itu, PAKYM memberikan pendidikan dan pembinaan
agama kepada santri agar memiliki pemahaman yang benar dan aqidah
yang kuat sehingga terhindar dari kerusakan moral sebagaimana terjadi
pada kalangan remaja sekarang.
Pendidikan dan pembinaan agama yang dilakukan di Panti Asuhan
di lakukan secara rutin dan terjadwal. Materi yang diajarkan dalam forum
pembinaan santri oleh pengasuh adalah materi-materi agama dan
keMuhammadiyahan. Panti Asuhan Keluarga Yatim Muhammadiyah
Surakarta dalam perkembangannya, mengajarkan berbagai tambahan
pelajaran sebagai bekal santri meniti kehidupan di masyarakat nantinya.
Diantara pelajaran yang diberikan yaitu membaca Al-Qur’an, kajian kitab
6 Tim penyusun, Profil PAKYM, (Solo: TP, 2014), hlm. 7.
9
riyadhus sholihin, bahasa arab, pidato, qiro’ah, tapak suci, tahfidz dan
musik Islami, tenis meja, futsal dan voly.
Kondisi santri Panti Asuhan Keluarga Yatim Muhammadiyah
Surakarta yang berasal dari berbagai daerah, rentang usia yang berbeda
dan tingkat pemahaman terhadap agama dan kematangan sikap atau
perilakunya yang berbeda inilah yang mendorong penulis untuk meneliti
bagaimanakah kadar religiusitas santri Panti Asuhan Keluarga Yatim
Muhammadiyah Surakarta saat ini.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana kadar
religiusitas santri Panti Asuhan Keluarga Yatim Muhammadiyah
Surakarta.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
kadar religiusitas santri Panti Asuhan Keluarga Yatim
Muhammadiyah Surakarta
2. Manfaat Penelitian
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat
untuk mengembangkan kadar religiusitas pada santri PAKYM serta
01
diharapkan ada proses pengkajian lanjut secara mendalam
menghasilkan kompetensi religiusitas yang lebih baik.
Secara praktis, bagi Panti Asuhan Keluarga Yatim
Muhammadiyah Surakarta penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk
meningkatkan dan mengembangkan kualitas pengasuhan, penanaman
aqidah dan akhlak, serta pengembangan karakter santri dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan. Penelitian ini juga bermanfaat bagi
Muhammadiyah secara umum yaitu untuk memperkaya data dan
fakta empiris panti asuhan dibawah naungan Muhammadiyah
sehingga Muhammadiyah bisa menjadi organisasi masyarakat yang
profesional dalam penanganan anak yatim.
Selain itu, penelitian ini memberikan kontribusi berupa
koleksi, data, dan realitas hasil riset tentang religiusitas santri panti
asuhan di bidang spikologi Islam. Spikologi Islam adalah salah satu
term dalam kajian pemikiran Islam yang ditekuni dalam program studi
yang di tempuh penulis saat ini. Jadi, kajian ini adalah kajian
pemikiran Islam di bidang spikologi Islam yang memberikan
kontribusi pada umat Islam secara umum tentang kondisi religiusitas
santri Panti Asuhan Keluarga Yatim Muhammadiyah Surakarta.
Mengapa harus dengan terminologi psikologi Islam, karena Islam
harus menjadi wordview atau menjadi cara pandang terhadap
persoalan religiusitas santri Panti Asuhan Keluarga Yatim
Muhammadiyah Surakarta.
00
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang religiusitas yang relevan dengan penelitian ini,
diantaranya pernah dilakukan oleh Yayah Kisbiah (1992) dengan judul “
Hubungan Religiusitas dengan Kebermaknaan Hidup pada Mahasiswa
Beragama Islam Fakultas Isipol Universitas Gajah Mada” Hasilnya
menyatakan bahwa semakin tinggi religiusitas mahasiswa maka semakin
tinggi pula kebermaknaan hidup mereka7. Penelitian ini fokus pada
hubungan religiusitas dengan kebermaknaan hidup. Sementara peneliti ini
akan fokus pada kadar atau tingkat religiusitas santri PAKYM Surakarta.
Khusnawati Mukaromah (2005) dalam skripsinya “Relasi
Religiusitas Dan Empati Mahasiswa Pondok Hajjah Nuriyah Shobron
Universitas Muhammdiyah Surakarta“dapat disimpulkan bahwa semakin
tinggi religiusitas akan membantu mengontrol sikap, tingkah laku dalam
merespon setiap situasi dan kondisi yang dihadapinya secara positif,
dengan demikian empati terhadap sesama semakin meningkat8. Penelitian
ini fokus pada relasi atau hubungan religiusitas dengan empati
mahasiswa. Berbeda dengan yang akan dilakukan peneliti yakni
menitikberatkan pada tingkat religiusitas santri PAKYM Surakarta.
Sakinah Rosyidah (2008) “Hubungan Religiusitas Dengan
Kebermaknaan Hidup Pada Anak Yatim Panti Asuhan Mardhatillah”
menyimpulkan ada korelasi positif antara religiusitas dan kebermaknaan
7Yayah Kisbiyah, Hubungan Religiusitas dengan Kebermaknaan Hidup pada
Mahasiswa Beragama Islam Fakultas Isipol Universitas Gajah Mada, ( Thesis, tidak terbit,
1992), hlm. 89. 8Khusnawati Mukaromah, (Skripsi, tidak terbit, 2005) hlm. 67
02
hidup terhadap anak yatim Panti Asuhan Mardhatillah sehingga dapat
diartikan bahwa semakin tinggi religiusitas subjek maka akan semakin
tinggi kebermaknaan hidupnya9. Penelitian ini masih senada dengan
penelitian sebelumnya, yakni mengkaji hubungan religiusitas dengan
kebermaknaan hidup. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan penulis
yang menitikberatkan pada kadar religiusitas santri PAKYM Surakarta.
Ismawati (2012) “Hubungan Religiusitas Dengan Kebermaknaan
Hidup Pada Santriwati Pondok Pesantren Wali Songo Desa Wado
Kecamatan Kedungtuban Kabupaten Blora” menyimpulkan ada
hubungan antara religiusitas dengan kebermaknaan hidup dengan kategori
sedang10
. Fokus penelitian adalah pada hubungan religiusitas dengan
kebermaknaan hidup sebagaimana penelitian sebelumnya. Penelitian yang
dilakukan penulis berbeda karena fokusnya justru pada kadar religiusitas
santri PAKYM Surakarta.
Penelitian yang sudah banyak dilakukan di atas cenderung
meneliti pola hubungan antara religiusitas dengan aspek lain dalam
kehidupan subjek seperti kebermaknaan hidup, kesiapan menghadapi
pernikahan, kontrol sikap dan perilaku serta empati. Penelitian yang akan
dilakukan ini memiliki kekhasan tersendiri yaitu meneliti sejauh mana
9Sakinah Rosyidah, Hubungan Religiusitas Dengan Kebermaknaan Hidup Pada
Anak Yatim Panti Asuhan Mardhatillah, (Skripsi Tidak terbit, 2008), hlm. 74. 10
Ismawati, Hubungan Religiusitas Dengan Kebermaknaan Hidup Pada Santriwati
Pondok Pesantren Wali Songo Desa Wado Kecamatan Kedungtuban Kabupaten Blora,
(Skripsi, Tidak Terbit, 2012), hlm. 69.
03
kadar religiusitas santri Panti Asuhan Keluarga Yatim Muhammadiyah
Surakarta.
E. Kerangka Teoritik
Religiusitas berasal dari kata Religion (Bahasa Inggris), Religie
(Bahasa belanda), Dien (Bahasa Arab), dan Agama (Bahasa Indonesia).
Sebetulnya belum ada istilah yang memiliki makna setara dengan
dien. Ad dien artinya ketundukan tetapi ditengah masyarakat ad
dien adalah agama tetapi bukan berarti ad dien dapat diartikan tidak kacau
ini diakibatkan karena keterbatasan bahasa Indonesia. Untuk para Ulama
yang menggunakan ad dien disamakan dengan agama hal itu hanya untuk
mendekatkan pemahaman terhadap masyarakat.
Agama yang dalam bahasa Sangsekerta berarti tidak kacau (a =
tidak dan gama = kacau) dipakai untuk menjelaskan hubungan manusia
dengan Tuhan-Nya dalam kerangka kepatuhan terhadap aturan untuk
mewujudkan kehidupan yang sejahtera, damai, selamat dan tentram.
Oleh karena itu, prinsip dan misi agama pada hakekatnya adalah
berusaha mewujudkan kehidupan yang tidak kacau. Walaupun demikian,
konsep kedamaian dan kesejahteraan boleh jadi hanya bersifat sementara
dan duniawiyah saja, sedangkan prinsip kesejahteraan yang abadi boleh
jadi tidak menjadi prioritas keberagamaan.
Pemberlakuan agama sebagai instrument mewujudkan
kesejahteraan dan kedamaian hidup, munculah tafsiran-tafsiran agama
04
yang berbeda-beda yang cenderung menjadi sebuah pergulatan pemikiran
tersendiri dalam kajian ilmu agama terutama dipandang dari sisi
kebenaran keimanan dan kepercayaan serta aktualisasi peribadatan
mereka dan keterkaitannya dengan hasil akhir yang didapat, misalnya
balasan amal di akhirat (Surga dan Neraka menurut agama Islam atau
Nirwana dan Hukum Karma menurut agama Hindu).
Aplikasi hubungan dengan eksistensi yang transendent
melahirkan berbagai konsep agama dan aktualisasinya. Di Indonesia
berkembang pemikiran bahwa setiap sesuatu me-miliki “roh” yang
didalamnya tersimpan kekuatan magic dan mistik yang luar biasa.
Konsep animisme menjadi wujud adanya hubungan antara manusia
dengan eksistensi yang transendent dan sudah barang tentu sangat abstrak
dan cenderung tidak dapat dijelaskan realitasnya baik dari segi dogmatik
maupun dari segi nalar kemudian berkembang menjadi dinamisme.
Prinsip-prinsip dinamisme nampak lebih aplikatif dan kongkrit,
karena ia mampu menjelaskan wujud eksistensi yang transendent dalam
beberapa eksistensi yang profan (tidak suci dan bersifat kebendaan). Ia
menganggap bahwa semua benda atau benda tertentu memiliki kekuatan
supra natural (mana/magic/tuah) yang ditunjukkan lewat kehebatan yang
diluar kelaziman. Kekuatan eksistensi yang transendent tersebut ternyata
tidak hanya masuk pada benda tertentu, melainkan masuk juga pada
05
binatang atau hewan tertentu yang kemudian dikenal dengan
“Totemisme”, misalnya sapi, ular dan kucing.11
Pada terminologi lain ditemukan kata-kata “Religion” untuk
menggambarkan hal yang sama dengan agama. Pada buku An English
Reader‟s Dictionary terdapat tiga kemungkinan kata yang berkait dengan
Religion, yaitu Religi, Religion dan Religious atau
Religiusitas. Pertama; Religi dalam tinjauan antropologi sering dikaitkan
dengan ritual (upacara agama/ ibadah) untuk menundukkan kekuatan
gaib terutama pada masyarakat primitif. Perwujudan dari konsep Religi
tersebut adalah ritus dan peribadatan dalam agama, pengusiran dan
penundukkan kekuatan gaib berupa praktek mistik dan magic dan masih
banyak lagi baik dalam tataran tingkat modern maupun tingkat
tradisional. Artinya sesekali pada masyarakat modern masih dijumpai
ritus-ritus tertentu dan untuk kepentingan tertentu misalnya ritus yang
didasarkan pada ramalan perbintangan (astrologi-horoscope).
Kedua; Religion digambarkan sebagai sebuah konsep atau aturan
yang mendasari prilaku Religi atau ritus-ritus tersebut. Dengan demikian
Religi atau ritus dalam agama tertentu tidak akan mungkin ada jika
konsep atau aturan agamanya tidak ada. Pada buku An English Reader‟s
Dictionary karangan A.S. Homby dan E.C Pamwell, disebutkan bahwa
“Religion is a system of faith and worship based on such belief” (sistem
11
Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas (Bandung: Mizan, 1989),
hlm. 173
06
kepercayaan dan penyembahan yang dibangun berdasarkan keyakinan
tertentu). Maka Religion dalam pandangan seperti ini hanya memuat dua
unsur yaitu :
Faith (kepercayaan artinya adanya persepsi yang sadar tentang
eksistensi kekuatan diluar manusia yang memperngaruhi
kelangsungan hidup mereka).
Worship (peribadatan/penyembahan perlu adanya perwujudan
ritus yang kongkrit sebagai penghambaan dan ketertundukkan
manusia terhadap kekuatan tersebut, misalnya dalam bentuk
sesaji, kurban dll.).
Jika demikian maka dalam pemikiran yang cukup sederhana
ternyata untuk membuat sesuatu itu menjadi agama hanya diperlukan dua
komponen yaitu komponen kepercayaan (faith) dan penyembahan
(worship). Prinsip minimal pembentukan agama tersebut menyisakan
permasalahan yang cukup rumit yaitu mampukah agama tersebut
mewujudkan pribadi yang sejahtera, damai dan selamat terutama untuk
untuk kehidupan akhirat yang justru menjadi tujuan utama beragama.
Sebab tidak jarang kita menemukan sekte atau aliran yang hampir
menjadi sebuah agama, tetapi mereka justru menyesatkan dan
mencelakakan pemeluknya12
.
Oleh sebab itu dalam pandangan penulis agama yang dibentuk
berdasarkan prinsip minimalis tersebut perlu diwaspadai, sebagaimana
12
John L. Esposito, Ancaman Islam; mitos atau realitas ?,(Bandung: Mizan, 1994),
hlm. 221
07
yang diungkapkan oleh Dr. Nurcholis Madjid bahwa kepercayaan yang
benar akan melahirkan kedamaian, kesejahteraan dunia dan akhirat,
sedangkan kepercayaan yang salah akan menyesatkan hidup, merusak
dan membahayakan bagi pertumbuhan kebudayaan dan manusia serta
anti terhadap keselamatan hidup.
Ketiga; Religious (Religiousitas) adalah sebuah sikap yang
nampak dalam prilaku seseorang yang terinternalisasi oleh nilai-nilai atau
ajaran-ajaran agama. Sikap tersebut menjadi parameter terhadap asumsi
seberapa tinggi tingkat penghayatan dan pengamalan mereka terhadap
nilai atau ajaran agama tersebut. Semakin sejahtera, damai dan tentram,
maka menunjukkan semakin tinggi pula penghayatan dan pengamalan
terhadap ajaran agama demikian juga semakin keras, kasar, tidak adanya
toleransi dan jaminan keselamatan dan kesejahteraan, maka semakin
gersang dan tidak nampak prilaku keagamaan dalam hidup mereka, boleh
jadi sampai pada satu asumsi bahwa agama tidak dibutuhkan oleh
mereka.13
Kata “Ad dien” dengan mudah dapat kita temukan di dalam al
Qur’an, karena kata tersebut adalah kesatuan tentang ajaran agama Islam.
Kajian ilmu keIslaman pada masa salaf, semua jenis ilmu agama yang
bersumber pada al Qur’an dan Hadits dinamakan dengan “Tafaqquh fid-
Dien” baik itu menyangkut kepercayaan (aqoid), peribadatan dan hukum-
hukumnya (ubudiyah dan syari‟ah) dan konsep-konsep keagamaan
13
Nasruddin Razak, Dienul Islam, (Bandung : PT Al Ma'arif, 1989), Hlm. 176
08
lainnya/Muamalah siyasiyah) sebagaimana disebutkan dalam QS. At
Taubah :122.
Belakangan rumpun ad dien dikembangkan berdasarkan
spesifikasi kajian, sehingga menjadi disiplin ilmu yang bermacam-
macam dengan sistematika dan metodologi yang berbeda, sedangkan ad
dien itu sendiri menjadi rumah besar bagi rujukan dan keabsahan
keilmuan Islam. Didalam al Qur’an ditemukan banyak sekali kata-kata
ad dien, namun kalau diklasifikasikan hanya memiliki tiga arti yaitu :
Aturan-aturan agama (QS Asy Syuura : 13 dan 21 dan QS. Al
Hajj : 78)
Artinya :
dan berjihadlah kamu pada jalan Allah saw. dengan Jihad yang
sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali
tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah saw.) telah
menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu, dan
09
(begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi
saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas
segenap manusia, Maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah
zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah saw.. Dia adalah
Pelindungmu, Maka Dialah Sebaik-baik pelindung dan sebaik-
baik penolong. (QS Al Hajj: 78)14
Ketaatan, kepatuhan dan keihlasan sebagaimana tersebut dalam
QS. Az Zumar : 3 dan 11, Al Bayyinah : 5)
Artinya :
Ingatlah, hanya kepunyaan Allah saw.-lah agama yang bersih
(dari syirik). dan orang-orang yang mengambil pelindung selain
Allah saw. (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan
supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah saw. dengan
sedekat- dekatnya". Sesungguhnya Allah saw. akan memutuskan
di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya.
Sesungguhnya Allah saw. tidak menunjuki orang-orang yang
pendusta dan sangat ingkar.(QS. Az Zumar: 3)15
Hari kiamat atau hari Agama atau hari pembalasan (Al Fatihah : 4,
Ash Shoffaat : 20, Ash Shod : 78; Adz Dzaariat : 13; al Waaqiah :
56; al Mudatsir : 46; Al Ma’arij : 26; al Infithar : 9, 10 dan 17 dan
Al Muthoffifin : 11).
Artinya :
yang menguasai di hari Pembalasan (QS.Al Fatihah: 4)16
14
Depag, Al-Qur’an Terjemah (Semarang: Toha Putra,1977), hlm.283 15
Depag, Al-Qur’an Terjemah (Semarang: Toha Putra,1977), hlm. 893 16
Depag, Al-Qur’an Terjemah (Semarang: Toha Putra,1977), hlm. 3
21
Ketiga unsur pengertian tersebut memilki keterkaitan yang sangat
erat, Allah saw. dengan sifat rahman dan rahim-Nya menurunkan aturan-
aturan agama untuk dijadikan pedoman mengarungi kehidupan dunia.
Pedoman tersebut memerlukan ketaatan dan kepatuhan serta keihlasan
yang maksimal dari manusia itu sendiri agar terwujud sisi ideal moral
yang diinginkan oleh setiap aturan. Sebetulnya Allah saw. tidak
membutuhkan ketaatan atau kepatuhan dari manusia, sebab Allah saw.
sudah memberikan kebebasan memilih bagi manusia apakah manusia
mau beriman atau tidak (QS. Al Kahfi : 29), juga tidak ada paksaan
dalam agama, karena telah nyata perbedaan antara jalan kebenaran dan
kesesatan (QS. Al Baqoroh : 256). Kepatuhan dan ketaatan tersebut
dibutuhkan untuk mewujudkan hasil yang maksimal dari aktifitas dan
pengamalan terhadap ketentuan tersebut. Setiap hukum dan peraturan
memerlukan kesadaran dan keihlasan dari pelaku untuk menghasilkan
atau mewujudkan maksud diadakannya hukum tersebut yaitu
keselamatan, ketentraman, keteraturan dan kebenaran.
Fakta dalam kehidupan sehari-hari seringkali ditemukan orang-
orang yang mengikuti atau menjalankan hukum atau agama secara
lahiriyah, tetapi secara batiniyah (tidak nampak) ia mempermainkan
hukum atau aturan agama. Aturan agama dapat dijalankan secara
lahiriyah dan batiniyah, maka disinilah pengertian Ad dien yang ketiga
berfungsi Allah saw. akan menentukan dengan sebenar-benarnya siapa
20
hamba-Nya yang ikhlas dan patuh pada saat hari pembalasan amal yaitu
pada hari kiamat nanti.
Menurut Ulama fiqih; Ad dien didefinisikan sebagai
ين ىو وضع ا هلي سائق لذوي العقول باحتيارىم ال الصالح ف الد الال والفالح ف المال
Artinya:
Agama adalah ketentuan-ketentuan Allah saw. yang diberikan
kepada manusia yang berakal untuk mendapatkan kehidupan
yang bahagia di dunia dan keselamatan hidup di akhirat
Tiga hal penting yang perlu diperhatikan dari pengertian tersebut
diatas, yaitu :
Pertama, bahwa ad dien itu adalah aturan-aturan Allah saw. artinya
segala bentuk hukum dari agama itu bersumber dari Allah saw., Nabi
Muhammad SAW hanya menyampaikan risalah tersebut kepada
manusia tanpa dikurangi atau ditambahi sedikitpun.
Kedua, diberikan kepada manusia yang berakal. Memahami konsep
manusia yang berakal dapat dibedakan menjadi 2 bagian yaitu
berakal dalam kontek syar‟iyah dan berakal dalam kontek kesadaran
berfikir. Akil-Baligh dalam konsteks syar‟iyah adalah situasi dimana
hukum-hukum tentang kewajiban dan larangan agama dibebankan
kepada manusia. Indikatornya adalah ketika manusia mampu
memberikan alternatif dan solusi terhadap permasalahan hidup
dengan sadar (kemampuan akliyah) dan baligh berarti telah sampai
pada masa kematangan reproduksi nya yaitu dengan keluar sperma
22
bagi kaum laki-laki dan menstruasi bagi kaum wanita. Terhadap
orang yang hilang kesadarannya baik karena gila, tidur atau lupa,
maka hukum-hukum taklifi tidak berlaku atasnya, artinya tidak
berhak atas dosa atau hukuman, jika ia melakukan kesalahan.
Sedangkan berakal dalam kontek kesadaran berfikir dapat dibedakan
menjadi dua; Pertama yaitu kemampuan mengurai setiap
permasalahan dalam kerangka analitis sistematis; misalnya dalam
tinjauan sebab, akibat dan solusinya dengan dasar ilmu yang realible,
kemampuan tersebut lebih mengarah pada aspek intelektualitas
seseorang. Kedua; yaitu kesadaran hati (berfikir dengan hati nurani)
terkadang seseorang memiliki kepandaian intelektual, tetapi ia tidak
memiliki kepandaian “Hati Nurani/Qolb”. Ia mengingkari hukum,
melakukan zina, mencuri atau perbuatan melanggar hukum agama
lainnya. Secara akal dia tahu bahwa zina itu haram karena sejelek-
jeleknya perbuatan dan jalan kehidupan, tetapi akalnya tidak mampu
menjelaskan hal tersebut didepan gelora hati dan nafsu syetannya,
maka ketika itu ia tidak berakal sebagaimana firman Allah saw.
dalam QS. Al A’raf : 178
Ketiga, jika ia mampu menggunakan akal secara benar untuk
memahami dan menjalankan aturan Allah saw. swt. tersebut, maka ia
akan mendapatkan kehidupan yang bahagia di dunia dan keselamatan
hidup di akhirat. Artinya bahwa akal yang benar akan membawa pada
pilihan yang benar terhadap apa yang diberikan oleh Allah saw. swt.,
23
dan hal tersebut menjadi modal untuk memperoleh kebahagiaan.
Kebahagiaan hidup di dunia berdimensi sangat luas dan abstrak.
Standar kebahagiaan tidak dapat diukur dengan seberapa banyak ia
mempunyai harta benda melainkan lebih mengarah kepada
kenyamanan, ketentraman dan kemampuan mengendalikan diri.
Rasulullah mengatakan :”bukanlah kaya itu karena ia memiliki harta
benda, melain kan adanya kelapangan hati”. Oleh sebab itu, agama
tidak menjanjikan langsung melimpahnya harta kekayaan melainkan
kemantapan bathin yang berujung pada komitmen dan keuletan
berusaha. Bagi mereka dunia adalah tempat persinggahan sementara
dan permainan yang melenakan (QS. Ali Imron : 185, Al An’am : 32
dan Hadid : 20), oleh sebab itu kekayaan yang paling sempurna
adalah ketenangan dalam menjalankan agama itu sendiri (QS. Al
Maidah : 3). Sedangkan keselamatan hidup di akhirat adalah
keberhasilan seseorang dalam mempertanggung jawabkan semua
aktifitas pelaksanaan amanat hidup sebagai hamba Allah saw. (QS.
Adz Dzariat : 56) dan sebagai Kholifah (QS. Al Baqoroh : 30) yang
sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah saw.. Pada masa
tersebut, manusia tidak dapat mohon bantuan kepada sesamanya,
sebab pada hari itu semua dihisab amalnya dengan seadil-adilnya.
Harta benda dan anak istrinya yang dulu dibanggakan, sudah tidak
24
dapat dibanggakan lagi yang ada hanya “Rahman dan Rahimnya”
Dzat yang Maha Kuasa (QS. Al Baqoroh : 48, 123 dan 281)17
Selain Ad dien, terdapat juga kata “Millah” sebagaimana disebut
dalam beberapa ayat al Qur’an, misalnya QS. Al Baqoroh : 130 dan 135.
Secara subtantif kata “millah” memiliki arti sebagai “jalan atau gaya
hidup” yang dikembangkan oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad.
Oleh sebab itu keluasan cakupan millah tidak dapat melebihi cakupan ad
dien, karena millah bisa saja dikembangkan berdasarkan nilai subtansial
dari ad dien, sedangkan ad dien terkadang tidak memasukkan millah dari
beberapa Nabi atau Rasul sebelumnya, misalnya Dienul Islam yang
dibawa Nabi Muhammad tidak memasukkan ajaran atau berpuasa
sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Dawud.
Terdapat 10 ayat yang menjelaskan penggunaan kata “Millah”
dan kesemuanya dikaitkan dengan cara dan gaya hidup Nabi Ibrahim /
,QS. Al Baqoroh :130 dan 135, Ali Imron : 95, An Nisa’ : 125) ملة ابراهيم
Al A’am : 162, Yusuf : 37-38, An Nahl : 123, Al Haji : 78 dan Shad : 7).
Nabi Ya’kub yang merupakan cucu nabi Ibrahim, juga memberikan
justifikasi jalan hidup kepada anak-anaknya dengan prinsip “millah
Ibrahim” yang bebas dari unsur kemusyrikan, dan dengan demikian
subtansi Millah Ibrahim memiliki kesesuaian dengan prinsip-prinsip
tauhid yang dibawa oleh semua Nabi dan Rasul Allah saw.
17
Nasruddin Razak, Dienul Islam, (Bandung : PT Al Ma'arif, 1989), Hlm.227
25
Pengertian millah sebagai jalan hidup atau style sebuah
masyarakat juga nampak pada penggunaan kata millah dengan bentuk
lain sebagaimana tersebut pada QS. Al Baqoroh : 120, Al A’raf : 87-88,
Ibrahim : 13 al Kahfi : 20. Secara khusus dalam QS. Al Baqoroh : 120 –
kata-kata millah dikaitkan dengan gaya hidup atau bahkan keyakinan
kaum Yahudi dan Nasrani yang datang sebelum Nabi Muhammad
menyampaikan risalah Islam.
Religiusitas muncul dari pengertian agama itu sendiri, walaupun
religiusitas tidak diidentikan dengan agama secara umum, tetapi banyak
orang menyebut orang yang beragama itu seharusnya orang yang religius.
Maksudnya orang yang tekun menjalankan agamanya secara lahiriyah,
seharusnya memiliki perasaan keadilan, kejujuran, dan memiliki semangat
dalam meniti kehidupan.
Hal tersebut dalam ilmu jiwa agama dikenal dengan istilah
kesadaran agama (religious counsciousnees) dan pengalaman agama
(religious experience). Kesadaran agama adalah bagian atau segi yang
hadir ( terasa) dalam pikiran dan dapat diuji melalui introspeksi, atau
dapat dikatakan bahwa ia adalah aspek mental dan aktivitas agama.
Sedangkan yang dimaksud dengan pengalaman agama (religious
experience) adalah unsur perasaan dalam kesadaran agama, yaitu perasaan
yang membawa kepada keyakinan yang dihasilkan oleh tindakan18
.
18
Zakiyah Darajat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hlm. 14
26
Ronald Cavanagh mengemukakan bahwa agama merupakan
berbagai macam ekspresi simbolik dan respon terhadap segala nilai yang
tidak terbatas bagi manusia19
. Definisi ini terlalu umum sehingga perlu
batasan-batasan tertentu. Berbeda dengan Charles Glock dan Rodney
Stark yang mengidentifikasi lima dimensi yang berbeda, namun dengan
kelimanya seseorang disebut religius20
.
Teori yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini
adalah teori Charles Glok dan Rodney Stark. Teori ini mengukur
religiusitas dengan lima dimensi, kemudian akan di sesuaikan dengan
teori-teori keIslaman, karena pada awalnya teori ini digunakan untuk
menganalisa kadar religiusitas kaum nashrani di Eropa. Kemudian
diselaraskan dengan Islamic wordview agar sesuai dengan prinsip-prinsip
atau paradigma ta‟sil, taswir, tarsyid, tatwir dan tazhir.
Keunggulan teori Glok dan Stark adalah memiliki konsep yang
menyeluruh untuk menganalisa religiusitas. Keberagamaan seseorang
tidak bisa dinilai dari satu dimensi saja, tetapi dari berbagai dimensi.
Berdasarkan teori Glok dan Stark, bahwa religious commitmen
seseorang dapat diketahui melalui pengukuran atas lima dimensi, yakni :
a. Dimensi keyakinan (belief, idelogical dimension) yaitu tingkatan
seseorang dalam meyakini kebenaran ajaran agamanya. Dimensi ini
dalam Islam dikenal dengan dimensi aqidah. Seorang muslim akan
19
Irvin Faria, Peter R. Cavanagh, The physiology and biomechanics of cycling,
(University of California: Wiley, 1978), hlm.20 20
http://zabalahque.blogspot.co.id/2010/05/dimensi-dimensi-agama_20.html diakses sabtu, 30-01-16.
27
dikatakan memiliki religiusitas tinggi manakala memiliki aqidah
yang kuat.
Allah saw. berfirman dalam QS. Al Hujurat: 13
Artinya :
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa -
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
saw. ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya
Allah saw. Maha mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS: Al-Hujurat
: 13)21
b. Dimensi peribadatan (practice, ritualistic dimension) yaitu tingkatan
kepatuhan seseorang menjalankan kewajiban yang diperintahkan
agamanya. Dimensi peribadatan atau dalam Islam dikenal dengan
dimensi ibadah yang menitikberatkan pada ketaatan seorang hamba
kepada Rabb dan RasulNya dalam menjalankan perintah-perintah
serta kepatuhan dalam meninggalkan laranngan-laranganNya.
21
Depag, Al-Qur’an Terjemah (Semarang: Toha Putra,1977), hlm.517
28
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah
saw. dan RasulNya dan kepada KitabNya yang diturunkan kepada
rasulNYa serta kitab yang diturunkan sebelumnya. Barangsiapa
ingkar terhadap Allah saw., malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya,
rasul-rasulNyamaka sungguh orang itu telah tersesat sangat jauh”
(QS.An-Nisa:136)22
c. Dimensi penghayatan (felling; experiential dimension) yaitu
tingkatan seseorang mengalami perasaan atau pengalaman-
pengalaman keagamaan. Contoh seorang muslim yang ditimpa
persoalan berat dan tidak segera mendapatkan solusi, tiba-tiba datang
seseorang yang menawarkan jasa secara cuma-cuma dan tanpa
pamrih apapun, sehingga orang tersebut merasa di tolong oleh Allah
saw. Swt.
d. Dimensi pengetahuan (knowledge; intellectual dimension) yaitu
tingkatan pengetahuan dan pemahaman seseorang terhadap
agamanya. Dimensi pengetahuan dalam ranah tasawwuf dikenal
dengan tiga tingkatan pengetahuan yakni ilmul yaqiin, „ainul yaqiin
dan haqqul yaqiin.Al-Ghazali mengemukakan bahwa ada tiga jenis
22
Depag, Al-Qur‟an Terjemah (Semarang: Toha Putra,1977), hlm. 100
29
ilmu23
. Pertama, ilmu rasional murni („aqli mahdh). Contoh yang
diberikan al-Ghazali adalah aritmetika (al-hisab), geometri (al-
handasa), dan astrologi (al-nujum). Kedua, adalah ilmu-ilmu
tradisional atau ilmu naqli. Kata “naqli” secara harafiah berarti
sesuatu yang didengar atau dinukil dari sumber terdahulu. Contoh
ilmu semacam ini adalah ilmu hadis dan tafsir. Tentu yang dimaksud
oleh al-Ghazali di sini adalah genre tafsir yang dikenal dengan tafsir
bi al-ma‟tsur, yakni tafsir yang didasarkan pada hadits, pendapat
para sahabat atau tabi’in. Ilmu-ilmu ini disebut sebagai “naqli”
karena didasarkan pada riwayat atau pendapat otoritas terdahulu.
Meskipun ada peran akal di sana, tapi sangatlah minimal karena
yang diutamakan hanya ingatan yang kuat.Ketiga adalah ilmu yang
menggabungkan antara akal dan tradisi, antara penalaran dan
riwayat. Ilmu semacam ini paling tinggi statusnya dalam pandangan
al-Ghazali, sebab di sana akal dan wahyu bekerja secara serentak.
Contoh ilmu semacam ini antara lain adalah ushul fiqh, yakni ilmu
yang mengulas cara-cara untuk menentukan hukum dari dalil-dalil
agama yang bersifat umum. Ilmu ushul fiqh disebut sebagai ilmu
“aqnali” sebab di sana akal tidak berjalan sendirian, begitu pula
wahyu atau tradisi tidak merupakan sumber utama. Baik wahyu dan
akal bekerja secara bersama-sama. Karena itu, ushul fiqh adalah ilmu
23
Fazlur Rahman, Al Qur‟an Sumber Ilmu Pengetahuan, (Jakarta, Rineka Cipta cet 2
1992) terjemahan Arifin hal 19.
31
yang statusnya lebih tinggi dan mulia ketimbang ilmu hadis atau
tafsir.
e. Dimensi pengalaman (effect; consequential dimension) yaitu dimensi
yang mengukur sejauh mana perilaku seseorang dimotivasi oleh
ajaran agamanya dalam kehidupan sosial24
.
Sedangkan Ninian Smart dalam menganalisis dimensi agama
menggunakan analisis pandangan dunia untuk menggali dimensi-dimensi
agama. Ninian Smart menyebutkan bahwa dimensi agama terdapat tujuh
bagian, yaitu :
1) Dimensi praktis atau ritual (ritual or practical)
2) Dimensi naratif atau mistis (narrative or mythic)
3) Dimensi pengalaman atau emosional (experiential or
emotional)
4) Dimensi sosial atau institusional (social or institutional)
5) Dimensi etis atau legal (ethical or legal)
6) Dimensi doktrinal atau fikosofis (doctrinal or philosophical)
7) Dimensi material atau bahan
Dimensi pertama adalah dimensi praktis ritual yang nampak
dalam upacara-upacara suci, perayaan hari besar. Dimensi kedua adalah
dimensi emosional eksperiensial yang menunjuk pada perasaan dan
pengalaman para penganut agama. Dimensi mistik atau naratif
menyajikan kisah atau cerita-cerita suci. Dimensi filosofis doktrinal
24
Ancok &Suroso, Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 86.
30
adalah dimensi yang menyajikan pemikiran rasional argumentatif.
Dimensi legal etis menyangkut tata tertib hidup dalam agama, norma dan
pengaturan sampai pada sistem penghukuman bagi setiap pelanggaran.
Dimensi sosial institusional mengatur kehidupan bersama, pemerintahan
dan keorganisasian. Dimensi material menyangkut barang-barang dan
alat-alat yang digunakan untuk pelaksanaan ibadah tertantu termasuk
didalamnya adalah bangunan tempat ibadah.
Kesimpulan dari penjelasan diatas adalah bahwa tingkat
religiusitas dimaknai sebagai sebuah penghayatan terhadap nilai – nilai
dari ajaran agama dan pengamalannya dalam kehidupan. Jika
kesimpulannya demikian maka religiusitas sesuai dengan makna iman
dalam perspektif Islam . iman menurut terminologi adalah pengakuan dan
pembenaran dengan hati yang diikrarkan dengan lisan dan di
ejawantahkan dalam perbuatan. Dikatakan bahwa iman :
التصديق .عمل باالركان، والباللسان، واإلقرار بالقلبىو التصديق االميان بوجود اهلل تعاىل وربوبيتو وألوىيتو وأمسائو وصفاتو، واستحقاقو وحده العبادة،
بأوامر واطمئنان القلب بذلك اطمئنانا ترى آثاره ف سلوك اإلنسان، والتزامو .اهلل تعاىل، واجتناب نواىيو
Artinya :
iman adalah membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan
mengamalkan dengan perbuatan. Membenarkan bahwa Allah saw. Swt
benar-benar ada dengan sifat-sifat rububiyah, uluhiyah dan asma wa
shifahnya, beribadah hanya kepadaNya semata, yang dengannya hati
menjadi tenang hingga nampak pada perbuatan seseorang yang
menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya.
32
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kancah atau field
research, karena penelitian ini dilakukan untuk mencari,
menganalisis, dan menginterpretasi dari suatu hasil pengamatan yang
terjadi di suatu tempat25
. Adapun tempat yang menjadi penelitian
adalah Panti Asuhan Keluarga Yatim Muhammadiyah Surakarta.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan psikologi
agama, yaitu pendekatan untuk meneliti dan menelaah kehidupan
beragama pada seseorang dan mempelajari berapa besar pengaruh
religiusitas/pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah
laku serta keadaan hidup pada umumnya. Selain itu, psikologi agama
juga mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jiwa agama pada
seseorang, serta faktor- faktor yang mempengaruhi keyakinan
tersebut26
. Pendekatan ini digunakan karena sesuai dengan ranah
kajian program studi Pemikiran Islam yang menggunakan islamic
wordview atau cara pandang islam terhadap suatu objek penelitian.
2. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data adalah suatu cara yang dipakai
oleh peneliti untuk memperhatikan, melihat, mendengar, mencatat,
25
Hadi, Sutrisno. Metodologi Research. Jilid II. ( Yogyakarta: Yayasan Penerbit
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, 1987), hlm.136 26
Zakiyah Darajat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 11.
33
melakukan data yang akan diselidiki27
. Kualitas ditentukan oleh alat
pengambilan data atau alat pengukurannya. Pengumpulan data pada
penelitian ini menggunakan beberapa metode sebagai berikut :
a. Metode Angket
Metode angket digunakan sebagai metode pokok dalam
penelitian ini. Metode angket adalah metode penelitian dengan
menggunakan suatu daftar pertanyaan yang harus dijawab atau
dikerjakan oleh orang yang akan menjadi subjek penelitian.
Metode angket merupakan pemberian respon yang berwujud seft
report atau laporan tentang diri sendiri yang berhubungan dengan
pengetahuan, keyakinan pribadi28
.
Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data tentang
pengetahuan, ibadah dan pemahaman keIslaman pada santri Panti
Asuhan Keluarga Yatim Muhammadiyah Surakarta. Metode ini
dominan untuk mengetahui segi kignitif santri terhadap Islam.
Angket yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket
tertutup. Angket tertutup (angket berstruktur) adalah angket yang
disajikan dalam bentuk sedemikian rupa sehingga responden
diminta untuk memilih satu jawaban yang sesuai dengan
27
S.Arikunto, Prosedur Penelitian suatu pendekatan praktek, (Jakarta: Rineka Cipta,
1998), hlm. 229. 28
S.Arikunto, Prosedur Penelitian suatu pendekatan praktek, (Jakarta: Rineka Cipta,
1998), hlm. 229
34
karekteristik dirinya dengan cara memberi tanda silang atau
tanda checklist29
.
Alasan menggunakan angket adalah agar jawaban tidak
meluas dan akan terfokus pada tujuan pengukuran dan
memudahkan pelaksanaan penelitian. Responden tinggal memilih
jawaban yang telah tersedia berdasarkan alternative jawaban yang
ada dengan nilai sebagai berikut :
Untuk soal favorable bagi responden yang menjawab
A=4, B=3, C=2, D=1
Untuk soal unfavourable bagi responden yang menjawab
A=1, B=2, C=3, D,=4
29
Dr. Riduwan, M.B.A. Metode dan Teknik Menyusun Tesis (Bandung: Alfabeta
2013) hal.99-102
35
b. Metode Observasi (pengamatan)
Metode observasi yaitu penglihatan, penciuman,
pengamatan dan pencatatan terhadap suatu objek dengan
menggunakan seluruh alat indra30
.
Segi kognitif dapat diketahui melalui bagaimana para
santri menjawab pertanyaan terkait tingkat reigiusitas. Sedangkan
dari segi behavior tingkat religiusitas santri dapat diamati melalui
aktivitas -aktivitas keagamaan yang dilakukan seperti sholat wajib,
sholat sunnah, maupun ibadah yang lainnya. Segiafektif dapat
diketahui melalui perasaan bahagia ketika mendapatkan hasil ujian
yag bagus, begitu sebaliknya akan merasa kecewa ketika sesuatu
yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan.
Metode observasi ini digunakan untuk mengumpulkan
data-data terkait dengan perilaku keseharian seperti shalat fardlu,
shalat sunnah, puasa sunnah, membaca Al-Qur’an, qiyamullail dan
infaq.
c. Metode Dekumentasi
Metode dekumentasi adalah cara pengumpulan data
dengan melihat dokumen–dokumen yang meliputi buku-buku,
majalah, foto, peraturan dan sebagainya31
. Metode ini digunakan
untuk memperoleh data tentang kesantrian yang meliputi tempat
30
S.Arikunto, Prosedur Penelitian suatu pendekatan praktek, (Jakarta: Rineka Cipta,
1998), hlm. 146 31
S.Arikunto, Prosedur Penelitian suatu pendekatan praktek, (Jakarta: Rineka Cipta,
1998), hlm. 148.
36
dan tanggal lahir santri, absensi santri, agenda kegiatan, dan
peratuan atau tata tertib, susunan pengurus dan pengasuh Panti
Asuhan Keluarga Yatim Muhammadiyah Surakarta.
d. Metode Interview (wawancara)
Wawancara merupakan salah satu metode pengumpulan
data dengan jalan komunikasi, yakni melalui kontak atau
hubungan pribadi antara pengumpul data (pewawancara) dengan
sumber data (responden). Komunikasi tersebut dapat dilakukan
secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung
yaitu menggunakan daftar pertanyaan yang dikirim kepada
responden dan kemudian responden menjawab pertanyaan yang
diajukan oleh peneliti; kemudian responden mengirim kembali
daftar pertanyaan yang telah dijawab kepada peneliti. Wawancara
secara langsung yaitu wawancara dilakukan dengan cara face to
face ; artinya peneliti dengan responden saling berhadapan, dan
jawaban dicatat oleh pewawancara32
.
3. Metode Analisis Data
Analisis data adalah proses penyederhanaan data menjadi
bentuk yang lebih sederhana dan mudah dibaca dan diinterpretasi33
.
Metode yang digunakan dalam menganalisa data dalam penelitian ini
adalah metode analitis deskriptif yang bersifat eksploratif, yakni
peneliti memberikan gambaran secara teratur dan menganalisa secara
32
Rianto, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta: Granit, 2010) hlm. 72. 33
Singarimbun,masri dan sofyan efendi (ed) Metodologi penelitian
survei.(Jogjakarta: LP3ES, 1989) hlm. 263
37
cermat34
. Maksud menganalisis data yaitu peneliti akan menelusuri
tiap santri kaitanya dengan data yang diperoleh dari santri yang
menjadi objek penelitian. Deskriptif artinya peneliti akan
menguraikan dengan teliti dan cermat serta menginterpretasi semua
hal yang berkaitan dengan kadar religiusitas santri PAKYM
Surakarta. Analisis jenis ini juga bermaksud untuk menuturkan dan
menafsirkan data yang ada, seperti situasi yang dialami, suatu
hubungan, kegiatan, pandangan, sikap yang nampak, aau tentang
proses yang sedang berlangsung, pengaruh yang sedang bekerja,
kelainan yang muncul, kecenderungan yang nampak, pertentangan
yang meruncing dan lain sebagainya.35
Data-data mengenai kadar religiusitas santri PAKYM
dideskripsikan secara menyeluruh kemudian dianalisis dan ditulis
secara sistematis sesuai dengan pembahasannya, kemudian peneliti
juga melakukan interpretasi terhadap kadar religiusitas santri
PAKYM. Kemudian data yang ada dielaborasikan dengan
menggunakan logika deduktif.
G. Sistematika Pembahasan
Penulisan penelitian ini disusun secara sistematis guna
mempermudah proses pengkajian dan pemahaman terhadap persoalan
yang ada. Sistematikanya adalah sebagai berikut :
34
Bakker, anton. 1986. Metode-metode filsafat.(jakarta: ghalia 1986), hlm. 17 35
Winarno surakhman, Pengantar Penelitian Ilmiah, (Bandung: Tarsito, 1994),
hlm. 140
38
Secara umum bab pertama (BAB I) berisi tentang pendahuluan
yang terdiri dari latar belakang masalah, penegasan istilah, rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, dan metode
penelitian. Bab kedua (BAB II) berisi kajian teori tentang kadar
religiusitas yang meliputi pengertian religiusitas, faktor religiusitas,
dimensi religiusitas, tahap perkembangan religiusitas. Bab ketiga (BAB
III), dijelaskan tentang gambaran umum Panti Asuhan keluarga Yatim
Muhammadiyah Surakarta meliputi letak geografis, sejarah, proses
pendidikan dan kepengasuhan. Bab keempat (BAB IV), berisi paparan
data-data lapangan, hasil observasi, dan angket. Bab kelima (BAB V)
berisi analisis data kadar religiusitas santri Panti Asuhan Keluarga Yatim
Muhammadiyah Surakarta dengan metode yang sudah ditentukan di
muka. Bab VI berisi kesimpulan, saran–saran dan penutup.