bab i pendahuluan a. latar belakang...

16
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah “Tiga orang lelaki memasuki sebuah cafe. Sambil menunggu makanan dan minuman yang telah dipesan, mereka mencoba membunuh waktu dengan memainkan jari jemari mereka di ponsel. Meski ketiga lelaki tersebut bersahabat, namun tidak ada obrolan menarik yang keluar dari mulut mereka. Ketiganya masih tetap asyik memainkan ponsel, sampai pesanan datang”. Apa yang sedang mereka lakukan? Entahlah mungkin sedang asyik chatting 1 atau sibuk mengkomentari status temannya di facebook 2 , yang jelas pemandangan seperti ini hampir setiap waktu peneliti temui terutama di tempat-tempat menghabiskan waktu luang seperti di kantin kampus, di jalan ataupun kafe di sebuah mal. Belakangan peneliti ketahui bahwa pemandangan tersebut tidak lepas dari maraknya penggunaan berbagai macam ponsel yang berlabel smartphone di kalangan masyarakat di Indonesia, khususnya di Yogyakarta. Memang akhir-akhir ini masyarakat tengah dikejutkan dengan lahirnya ponsel generasi terbaru yang memiliki segudang kemampuan yang luar biasa yang tidak dimiliki oleh ponsel-ponsel lain dari generasi sebelumnya. Ponsel jenis ini disebut smartphone atau ponsel pintar. Saat ini keberadaan smartphone telah menjadi fenomena baru yang sedang laris diperbincangkan, diperjualbelikan dan dipertontonkan di kalangan masyarakat perkotaan di Indonesia. 1 Percakapan yang menggunakan layanan khusus layaknya SMS, seperti BBM, YM, Line dan sebagainya. 2 Jejaring Sosial buatan Mark Zuekenberg yang dapat diakses melalui internet dan smartphone.

Upload: vuonghanh

Post on 07-Mar-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

“Tiga orang lelaki memasuki sebuah cafe. Sambil menunggu makanan dan

minuman yang telah dipesan, mereka mencoba membunuh waktu dengan memainkan

jari jemari mereka di ponsel. Meski ketiga lelaki tersebut bersahabat, namun tidak ada

obrolan menarik yang keluar dari mulut mereka. Ketiganya masih tetap asyik

memainkan ponsel, sampai pesanan datang”.

Apa yang sedang mereka lakukan? Entahlah mungkin sedang asyik chatting1

atau sibuk mengkomentari status temannya di facebook2, yang jelas pemandangan

seperti ini hampir setiap waktu peneliti temui terutama di tempat-tempat

menghabiskan waktu luang seperti di kantin kampus, di jalan ataupun kafe di sebuah

mal. Belakangan peneliti ketahui bahwa pemandangan tersebut tidak lepas dari

maraknya penggunaan berbagai macam ponsel yang berlabel smartphone di kalangan

masyarakat di Indonesia, khususnya di Yogyakarta. Memang akhir-akhir ini

masyarakat tengah dikejutkan dengan lahirnya ponsel generasi terbaru yang memiliki

segudang kemampuan yang luar biasa yang tidak dimiliki oleh ponsel-ponsel lain dari

generasi sebelumnya. Ponsel jenis ini disebut smartphone atau ponsel pintar. Saat ini

keberadaan smartphone telah menjadi fenomena baru yang sedang laris

diperbincangkan, diperjualbelikan dan dipertontonkan di kalangan masyarakat

perkotaan di Indonesia.

1 Percakapan yang menggunakan layanan khusus layaknya SMS, seperti BBM, YM, Line dan

sebagainya. 2 Jejaring Sosial buatan Mark Zuekenberg yang dapat diakses melalui internet dan smartphone.

2

Bagi masyarakat perkotaan yang haus akan informasi kemunculan

smartphone tak ubahnya oase3 di tengah padang tandus yang kering. Eforia

4 pun

merebak dimana-mana, orang-orang berebutan untuk sebuah smartphone murah,

terjadi chaos5 dan kepanikan korban pun berjatuhan. Namun, tidak ada yang mau

bertanggung jawab. Seperti yang terjadi di Plaza Indonesia beberapa waktu yang lalu

(Kompas Online, 2011). Pemandangan tersebut tidak lepas dari kehidupan

masyarakat perkotaan yang serba menekan serta menuntut masyarakatnya untuk serba

cepat dan instan, sehingga membutuhkan sarana-sarana yang mobile6 dan mudah

digunakan demi mendukung aktifitas mereka (Piliang, 2011). Oleh karena itu,

tidaklah mengherankan jika penggunaan smartphone di tengah masyarakat perkotaan

terus meningkat dari waktu ke waktu, bahkan segmentasi penggunanya pun

merentang dari kalangan pebisnis, akademisi hingga ibu rumah tangga.

Di lingkungan akademisi seperti mahasiswa, smartphone memberikan

berbagai kemudahan baik dalam urusan akademik maupun sosial. Hal tersebut,

dimungkinkan dengan banyaknya layanan yang terdapat pada smartphone. Salah

satunya adalah akses online atau internet. Penelusuran situs-situs di internet semakin

menambah wawasan mahasiswa terutama informasi dan komunikasi. Dengan

mengakses situs-situs tertentu berbagai kesempatan dapat diperoleh, misalnya:

3 Atau Oasis, sebuah daerah di padang pasir yang berair cukup untuk tumbuhan dan permukiman

manusia (KBBI, edisi ke empat, Hal : 974). Dalam hal ini analogi yang menggambarkan sebuah Sumber Air di tengah padang pasir. 4 Kegembiraan yang terlalu berlebihan

5 Keadaan yang kacau-balau

6 Dapat berpindah-pindah

3

peluang untuk mendapat pekerjaan, mendapat hadiah, buku ataupun jurnal, dan

mendapatkan beasiswa serta, dapat pula membantu dalam mengerjakan berbagai

tugas kuliah. Keberadaan internet memberikan sebuah cakrawala baru karena

informasi dan komunikasi dapat tercipta tanpa terhalang oleh kondisi geografis, cuaca

dan waktu. Tempat-tempat yang jauh dan sulit didatangi menjadi lebih mudah

dijangkau hanya dengan internet (Herwanto, 2002).

Tidak dipungkiri internet memiliki peran yang sangat vital dalam kehidupan

masyarakat kita dewasa kini. Hal ini tidak lepas dari peran internet itu sendiri dalam

memenuhi kebutuhan hidup manusia akan informasi dan komunikasi. Sebagai

makhluk sosial manusia selalu berkomunikasi setiap waktu. Komunikasi merupakan

hal terpenting dalam setiap interaksi yang dilakukan manusia dalam kehidupan

kesehariannya. Dengan komunikasi, baik lisan maupun tulisan, manusia mampu

menyampaikan maksud dan tujuan yang ingin mereka capai. Akan tetapi, semenjak

masuknya teknologi dalam ranah komunikasi seperti internet dan ponsel, ternyata

ikut mempengaruhi eksistensi ruang dan komunikasi. Komunikasi langsung,

khususnya face to face yang dibangun oleh umat manusia sejak berabad-abad lalu

patut dipertanyakan kembali karena telah mengalami pergeseran dan cenderung

bersifat digital. Internet pun turut mengubah tatanan masyarakat dunia dari yang

bersifat lokal menjadi global sehingga dunia tak ubahnya global village7 seperti yang

dikatakan Mc Luhan (Piliang, 2011).

7 Desa Global, istilah yang digunakan oleh Mc Luhan untuk menggambarkan kondisi masyarakat yang

tidak lagi mengenal batas-batas yang jelas disebabkan kemajuan teknoloki informasi dan komunikasi.

4

Terlepas dari itu smartphone juga memiliki nilai prestise bagi sebagian

penggunanya. Tampilan desain dan layar yang berbeda dengan ponsel lain pada

umumnya membuat Smartphone terlihat lebih elegan dan futuristik sehingga mampu

menarik minat masyarakat untuk memilikinya. Tidak dipungkiri unsur seni yang

melekat pada diri smartphone memberikan nilai lebih tersendiri, yang pada akhirnya

ikut mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap produk tersebut. Sebagian orang

menganggap smartphone sebagai alat penunjang penampilan mereka agar terlihat

lebih bergaya dan modis. Namun, tidak sedikit juga yang sekedar ikut-ikutan agar

tidak ditinggalkan teman-temannya. Dengan kata lain mereka mengikuti tren tersebut

selain untuk mengikuti perkembangan juga bertujuan untuk bergaya (Jumrati, 2003).

Gaya menjadi faktor yang penting dalam menentukan diri sendiri karena gaya

merupakan suatu cara untuk menunjukkan diri dan menilai orang lain. Kaum muda

sebagai bagian dari masyarakat merupakan suatu kelompok yang sering dijadikan

sasaran para produsen (Abdullah, 2006). Demikian halnya dengan produsen

smartphone. Mereka sangat mementingkan segi estetik dengan membuat berbagai

model chasing (penutup/pembungkus) serta aksesoris lainnya untuk dapat menarik

konsumen (Jumrati, 2003). Perilaku konsumen untuk membeli berbagai

kebutuhannya kemudian telah dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satunya adalah

faktor persepsi konsumen itu sendiri terhadap sebuah citra produk yang ditawarkan.

Dengan begitu citra sebuah produk telah menjadi magnet yang kuat untuk mendorong

konsumen membeli barang-barang, baik sebagai kebutuhan maupun demi gaya hidup.

5

Gaya hidup dalam hal ini menjadi sebuah identitas kolektif yang berkembang

seirama dengan waktu bahkan dalam kesenangan baru seringkali terlihat menyimpang

(Chaney, 2011). Seperti halnya kehadiran smartphone yang membuat orang

berlomba-lomba untuk memiliki dan menggunakannya. Namun, banyak juga sisi

positif dan manfaat dari smartphone, tapi itu pun bagi mereka yang benar-benar

paham dan mengerti bagaimana menggunakan dan mengfungsikannya. Bagi sebagian

orang smartphone tampak seperti candu yang benar-benar sudah bercampur dengan

darah dan daging mereka. Jika tidak ada smartphone sepertinya hidup mereka

kosong, hampa seperti hidup sendiri. Karena smartphone sudah menjadi bagian dari

keseharian hidup mereka, dari mulai bangun tidur di pagi hari sampai saat akan

memejamkan mata di malam hari semua tidak lepas dari smartphone.

Pada akhirnya secara tidak sadar, sebagian orang tersebut mundur beberapa

langkah dari komunitas sosial di lingkungan tempat mereka berada. Mereka mulai

tidak perduli dengan lingkungan sekitar mereka saat mereka sedang asyik dengan

smartphone-nya. Duduk diam 1-2 jam di satu tempat dengan smartphone di tangan,

asyik sendiri dengan sesekali tertawa dan terkadang kesal sendiri, dan mengumpat di

hadapan smartphone yang ada di tangannya itu. Hal ini melahirkan sebuah ironi

dimana fungsi teknologi itu sendiri sebagai sarana “mendekatkan yang jauh” malah

menjadi sebaliknya, yakni “menjauhkan yang dekat”. Bahkan mengucilkan

penggunanya dalam lingkungan sosial mereka sendiri. Oleh karena itu, berdasarkan

pemaparan di atas penulis tertarik untuk mengatahui lebih dalam mengenai fenomena

smartphone yang terjadi di kalangan mahasiswa di kota Yogyakarta.

6

B. Rumusan Masalah

Besarnya antusiasme masyarakat terhadap produk-produk smartphone telah

menciptakan fenomena baru dalam berkomunikasi dewasa kini. Memang kebutuhan

akan sarana telekomunikasi di Indonesia, khususnya Yogyakarta cukup tinggi.

Indonesia dengan cakupan geografisnya yang luas dan terpisah serta daya beli

masyarakatnya yang tinggi menjadikannya pasar yang potensial untuk perkembangan

industri telekomunikasi. Sehingga tidak mengherankan jika keberadaan smartphone

di tengah masyarakat, khususnya mahasiswa, semakin beraneka ragam, baik dari segi

jenis maupun harga. Dengan banyaknya pilihan inilah membuat smartphone seolah-

olah menjadi sesuatu yang “wajib” dimiliki guna memenuhi kebutuhan. Akan tetapi,

kebutuhan yang seperti apa? Apakah kebutuhan untuk meningkatkan produktifitas

ataukah kebutuhan sebagai penunjang penampilan demi sebuah gaya dan eksistensi.

Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan studi konsumsi smartphone

khususnya Blackberry di kalangan mahasiswa, mengingat mahasiswa merupakan

konsumen terbesar produk tersebut. Berdasarkan pemaparan di atas penulis

merumuskan dua pertanyaan besar atas fenomena yang ada:

1. Seperti apa proses yang dilalui dan persepsi yang mempengaruhi mahasiswa

membeli smartphone Blackberry?

2. Bagaimana smartphone Blackberry difungsikan dan dimaknai di kalangan

mahasiswa?

7

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang dan alasan

mahasiswa memilih smartphone serta untuk mengetahui fungsi dan makna

smartphone itu sendiri di kalangan mahasiswa. Hal tersebut dimaksudkan agar dapat

mendeskripsikan secara lengkap mengenai fenomena gaya hidup penggunaan

smartphone Blackberry di kalangan mahasiswa di kota Yogyakarta. Selain itu

penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi

pengembangan keilmuan, khususnya ilmu Antropologi dalam kajian gaya hidup.

Serta dapat dijadikan literatur bagi mahasiswa yang akan melakukan penelitian

selanjutnya, dan juga dapat menambah wawasan serta pengetahuan bagi peneliti.

D. Kerangka Pemikiran

Membanjirnya berbagai macam produk asing di pasaran Indonesia yang di

akibatkan oleh globalisasi dan pasar bebas serta didukung dengan kemajuan ekonomi

belakangan ini, membawa pengaruh yang besar terhadap perubahan sosial masyarakat

Indonesia. Salah satunya adalah berkembangnya berbagai macam gaya hidup sebagai

fungsi dari diferensiasi sosial yang tercipta dari relasi konsumsi (Piliang, 2011).

Dalam perubahan tersebut konsumsi tidak lagi sekadar berkaitan dengan nilai guna

dalam rangka memenuhi fungsi utilitas atau kebutuhan dasar manusia. Akan tetapi,

kini berkaitan dengan unsur-unsur simbolik untuk menandai kelas, status atau simbol

sosial tertentu. Yang dikonsumsi tidak lagi sekedar objek, tetapi juga makna-makna

sosial yang tersembunyi dibaliknya (Piliang, 2011). Hal ini mampu menggeser segi

8

fungsionalisme suatu barang menjadi ketertarikan untuk mengikuti logika hasrat dan

keinginan, ketimbang logika kebutuhan.

Menurut Douglas dan Isherwood, konsumsi adalah beyond commerce dimana

kegunaan produk atau barang-barang konsumsi selalu dibingkai oleh konteks

kebudayaan (Lurry, 1998). Sedangkan menurut Strathern konsumsi yang dirujuk

melalui budaya konsumen dari lensa budaya materi dapat dilihat sebagai konversi,

atau perilaku manusia yang mengubah benda-benda untuk tujuan-tujuan mereka

sendiri (Lurry, 1998). Dengan kata lain konsumsi tidak lagi diartikan semata-mata

sebagai satu lalu lintas kebudayaan benda, tetapi menjadi sebuah panggung sosial,

yang didalamnya makna-makna sosial diperebutkan, dan terjadi perang posisi di

antara anggota-anggota masyarakat yang terlibat (Piliang, 2011).

Pada dasarnya proses konsumsi memiliki dua sifat. Pertama konsumsi

berdasarkan kegunaan. Konsumsi yang dilakukan dengan tujuan untuk memenuhi

kebutuhan hidup seseorang, merupakan konsumsi barang yang bernilai guna.

Konsumsi kegunaan dilakukan dengan maksud agar kebutuhan hidupnya dapat

terpenuhi. Biasanya jenis konsumsi ini lebih diutamakan misalnya minuman, pakaian,

obat-obatan dan kebutuhan pokok lainnya. Kedua, konsumsi simbolik yang dilakukan

di luar tujuan memenuhi kebutuhan dan ini biasanya berkaitan dengan refresing atau

untuk kesenangan dan menunjukkan prestise seseorang. Jenis konsumsi ini lebih

menekankan pada kualitas serta tren yang ada dan mengutamakan kesan di mata

orang lain (Miller, 1995: 1, via Hastuti, 2005).

9

Salah satu konsumsi yang dilakukan masyarakat dalam kajian ini adalah

konsumsi terhadap salah satu bentuk materi, yaitu smartphone. Pada masa sekarang

hampir setiap orang dalam berbagai lapisan masyarakat memiliki smartphone sebagai

alat komunikasi mereka, terlebih kaum muda kota. Hal tersebut tidak lepas dari

persepsi atau cara pandang kalangan muda terhadap produk smartphone, yang pada

akhirnya turut mempengaruhi perilaku konsumsi mereka. Dapat dikatakan, bagi kaum

muda smartphone dipandang sebagai sebuah barang yang mengandung nilai di

dalamnya, baik nilai guna maupun nilai simbolik. Untuk mengetahui hal tersebut

dapat dilihat dari proses konsumsi yang mereka lakukan. Proses konsumsi merupakan

alat ukur penting dalam melihat gaya hidup seseorang. Melalui proses konsumsi, latar

belakang, status atau golongan seseorang dapat diketahui. Melalui barang-barang

yang dikonsumsi dapat dilihat keberadaan seseorang dan gaya hidup yang dijalani.

Konsumsi adalah kegiatan untuk memenuhi suatu kebutuhan.

Mahasiswa sebagai generasi muda yang menyukai sesuatu yang baru dan

berbeda dalam proses pencarian jati diri atau identitas, memiliki ruang yang bebas

untuk mengekspresikan diri mereka. Hal tersebut secara tidak langsung menjadikan

mereka sebagai kelompok masyarakat yang paling mudah dipengaruhi oleh para

produsen ponsel dengan iming-iming image atau citra. Hal itu dapat dilihat dari

berbagai barang yang mereka konsumsi yang mencerminkan kekinian dan menjadi

bagian dari ekspresi diri mereka. Salah satunya adalah smartphone. Jika diamati,

penggunaan smartphone di kalangan pelajar dan mahasiswa tampaknya hanya

sebagai pelengkap penampilan mereka atau hanya untuk kepentingan bergaya.

10

Mereka sekadar ikut-ikutan demi eksistensi dalam sebuah kelompok tertentu.

Kegiatan konsumsi dilakukan bukan karena membutuhkan tetapi cenderung untuk

“rekreasi”, menunjukkan status dirinya dengan berbelanja dan menghabiskan waktu

luang. (Miller, 1995 dalam Jumrati, 2003).

Memang di era modern seperti sekarang cara berfikir masyarakat terutama

kaum muda kota telah mengalami perubahan dan dikonstruksikan sedemikian rupa,

terlebih oleh media massa. Dimana kata “dulu” menjadi hal yang menakutkan bagi

sebagian orang. Mereka takut dibilang sebagai orang yang ketinggalan zaman

ataupun gaptek (gagap teknologi). Bahkan tidak sedikit dari mereka rela

mengkonsumsi barang dengan model terbaru demi menghilangkan image tersebut. Di

sinilah media televisi, internet, dan iklan memiliki peran penting dalam pembentukan

citra. Melalui iklan, citra dibentuk kemudian diformulasikan menjadi sesuatu yang

bersifat membujuk sampai mengajak untuk mengkonsumsi suatu barang. Pada

akhirnya hal ini turut membentuk gaya hidup dan budaya konsumen.

Budaya konsumen sendiri tidak dapat dipisahkan dari lingkungan urban.

Mengingat di perkotaan ruang-ruang untuk konsumsi itu secara intensif dibangun,

seperti mall, butik, kafe dan factory outlet. Gaya hidup tidak dapat dilepaskan dari

identitas dan perbedaan sebagai dua pondasi utama pembentuknya. Gaya hidup

dibangun sebagai cara untuk memperlihatkan identitas, sekaligus melepaskan hasrat

untuk berbeda (Piliang, 2011). Pada hakekatnya, identitas merupakan bayangan yang

terbentuk dalam proses sosio-historis suatu masyarakat (Sitorus, 2004) dengan ciri

yang dapat membuat mereka “berbeda” dengan yang lainnya. Dalam hal ini

11

smartphone dapat dilihat sebagai komoditi untuk membangun perbedaan dan

identitas diri dalam hubungan sosial yang lebih luas. Sebagai satu bentuk pembedaan

sosial, gaya hidup dapat dimaknai dengan cara berbeda-beda, sehingga tidak

mengherankan jika gaya hidup menjadi “sumber penafsiran” yang terbuka (Ibrahim,

2011).

Chaney (1996) menjelaskan gaya hidup sebagai gaya, tata cara, atau cara

menggunakan barang, tempat, dan waktu, khas kelompok masyarakat tertentu, yang

sangat tergantung pada bentuk-bentuk kebudayaan, meski bukan merupakan totalitas

pengalaman sosial. Oleh Featherstone (1987), gaya hidup dilihat mencakup praktik-

praktik, cita rasa, perilaku konsumsi, aktivitas waktu luang, modus bicara dan busana

orang sehari-hari “individualitas, ekspresi-diri, dan kesadaran-diri yang bersifat

stilistik” dari seseorang. Dengan begitu gaya hidup dapat juga dipahami sebagai cara-

cara terpola dalam menginvestasikan aspek-aspek tertentu dari kehidupan sehari-hari

dengan nilai sosial atau simbolik dan menjadi cara untuk mengindentifikasikan diri

dan sekaligus membedakan diri dalam relasi sosial. Gaya hidup juga menjadi cara

bermain dengan identitas (Ibrahim, 2011).

Akan tetapi, sebelum seseorang atau individu memutuskan untuk

mengkonsumsi sebuah benda atau inovasi untuk berbagai kepentingan, dia akan

terlebih dahulu melewati sebuah proses, yang disebut oleh Rogers dan Shoemaker

dengan the innovation decision process (proses keputusan inovasi). Menurut Rogers

(1995), inovasi adalah “an idea, practice, or object perceived as new by the

individual.” Dengan definisi tersebut maka smartphone juga dapat dipandang sebagai

12

sebuah inovasi yang memerlukan sebuah proses sebelum seseorang memutuskan

mengadopsinya atau tidak. Rogers menggambarkan The Innovation Decision Process

sebagai kegiatan individu untuk mencari dan memproses informasi tentang suatu

inovasi, sehingga dia termotivasi untuk mencari tahu tentang keuntungan atau

kerugian dari inovasi tersebut, yang pada akhirnya akan memutuskan apakah dia akan

mengadopsi inovasi tersebut atau tidak.

Bagi Rogers proses keputusan inovasi memiliki lima tahap, yaitu :

1) Knowledge (pengetahuan), pada tahapan ini suatu individu belajar tentang

keberadaan suatu inovasi dan mencari informasi tentang inovasi tersebut. Apa,

bagaimana, dan mengapa merupakan pertanyaan yang sangat penting pada knowledge

stage ini. Pertanyaan tersebut pada akhirnya menurut Rogers akan membentuk tiga

jenis pengetahuan. Pertama, awareness-knowledge, merupakan pengetahuan akan

keberadaan inovasi. Pengetahuan jenis ini akan memotivasi individu untuk belajar

lebih banyak tentang inovasi dan kemudian akan mengadopsinya. Kedua, how-to-

knowledge, yaitu pengetahuan tentang bagaimana cara menggunakan suatu inovasi

dengan benar. Ketiga, principles-knowledge, yaitu pengetahuan tentang prinsip-

prinsip keberfungsian yang mendasari bagaimana dan mengapa suatu inovasi dapat

bekerja.

2) Persuasion (kepercayaan), tahap persuasi terjadi ketika individu memiliki

sikap positif atau negatif terhadap inovasi. Tetapi sikap ini tidak secara langsung akan

meyebabkan apakah individu tersebut akan menerima atau menolak suatu inovasi.

Rogers menyatakan bahwa knowledge stage lebih bersifat kognitif (tentang

13

pengetahuan), sedangkan persuasion stage bersifat afektif karena menyangkut

perasaan individu, karena itu pada tahap ini individu akan terlibat lebih jauh lagi.

3) Decision stage (keputusan), pada tahapan ini individu membuat keputusan

untuk menerima atau menolak suatu inovasi. Tetapi sebelum menerima atau menolak

sebuah inovasi individu akan mancoba terlebih dahulu inovasi tersebut, baru setelah

itu memtuskan untuk menerimanya atau tidak.

4) Implementation stage (tahap implementasi), pada tahapan ini sebuah inovasi

dicoba untuk dipraktekkan, akan tetapi karena masih baru bagi individu yang

menggunakannya maka pengguna memerlukan bantuan teknisi atau agen perubahan

untuk mengurangi permasalahan tersebut.

5) Confirmation stage, ketika keputusan inovasi telah dibuat, maka si pengguna

akan mencari dukungan atas keputusannya tersebut. Menurut Rogers, keputusan ini

dapat menjadi terbalik apabila si pengguna ini menyatakan ketidaksetujuan atas

pesan-pesan tentang inovasi tersebut. Akan tetapi, kebanyakan cenderung untuk

menjauhkan diri dari hal-hal seperti ini dan berusaha mencari pesan-pesan yang

mendukung keputusan itu.

Teori difusi inovasi ini, penulis gunakan untuk mengetahui proses yang dilalui

dan persepsi yang mempengaruhi mahasiswa memiliki smartphone. Sedangkan teori

konsumsi penulis gunakan untuk mengetahui fungsi dan makna smartphone di

kalangan mahasiswa. Dengan menggunakan kedua teori tersebut diharapkan penulis

dapat menjelaskan dan memberikan gambaran yang lebih lengkap mengenai

fenomena smartphone di kalangan mahasiswa di Yogyakarta.

14

E. Metode Penelitian

E.1. Pemilihan Informan

Informan merupakan kunci penting dalam penelitian ini, dari merekalah data

diperoleh. Beberapa kriteria informan yang baik dalam suatu penelitian yaitu:

informan berasal dari kebudayaan yang menjadi fokus, pada saat penelitian informan

harus sedang terlibat langsung dalam kebudaayaan yang sedang diteliti, informan

mempunyai waktu yang cukup untuk wawancara (Spradley, 1979).

Dalam penelitian ini, peneliti menetapkan subjek penelitian dari kalangan

mahasiswa. Pemilihan informan dari kalangan mahasiswa didasarkan karena

kalangan ini, merupakan kelompok yang mudah dipengaruhi oleh para produsen,

khususnya produsen smartphone. Kalangan ini pun menjadi agen dalam pembentukan

kebudayaan konsumen, karena kalangan ini bisa dibilang cukup aktif dalam

mengkonsumsi sesuatu yang sedang tren di pasaran. Terlebih mahasiswa sekarang ini

bisa dikatakan “melek teknologi”, sehingga penggunaan produk-produk komunikasi

berteknologi canggih pun cukup akrab di kalangan ini. Secara tidak langsung,

kalangan mahasiswa ini pun bisa dikatakan sebagai agen persebaran atas sebuah

produk.

Peneliti memilih empat orang informan dari kalangan mahasiswa yang

didasarkan pada perbedaan kelas sosial, jenis kelamin, bidang studi dan hobi atau

kegiatan sampingan. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana keterkaitan

kepemilikan smartphone Blackberry dengan gaya hidup yang terbentuk serta untuk

15

mengetahui ada tidaknya perbedaan konsumsi yang mereka lakukan. Dengan begitu

diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih lengkap mengenai proses

konsumsi yang dilakukan mahasiswa dalam memiliki smartphone dan gaya hidup

yang terbentuk dari proses tersebut.

E.2. Pemilihan Lokasi

Penelitian ini mengambil lokasi di kawasan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Mengacu pada informan dalam penelitian ini yang tidak lain adalah mahasiswa, serta

image Yogyakarta sebagai kota pelajar, membuat peneliti memutuskan untuk

melakukan penelitian ini di sini. Berbagai perguruan tinggi yang terdapat di

Yogyakarta, membuat mahasiswa dari berbagai daerah berdatangan ke kota ini untuk

mengenyam pendidikan. Tidak heran jika populasi mahasiswa di kota ini begitu

besar. Dengan populasi mahasiswa yang besar ini dan berasal dari berbagai daerah,

Yogyakarta sangat potensial dijadikan lokasi penelitian terkait dengan kehidupan

mahasiswa, khususnya penggunaan smartphone. Tidak hanya itu, kota ini juga

memiliki beberapa tempat yang mendukung pemasaran smartphone, seperti

Jogjatronik, Jogja Phone Market, dan lainnya. Berkat keberadaan tempat-tempat ini,

beragam jenis smartphone terbaru bisa masuk dengan cepat dan menyebar dengan

luas di kota ini.

16

E.3. Teknik Pengumpulan Data

Layaknya studi antropologi kebanyakan, penelitian ini menggunakan metode

kualitatif, yakni etnografi. Etnografi merupakan sebuah metode penelitian yang

bersifat analitik, memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang pelaku

kebudayaan. Jadi metode ini tidak hanya mempelajari masyarakat, tetapi juga berarti

belajar dari masyarakat. Melalui metode ini, diharapkan penulis dapat memperoleh

data-data dari informan secara mendalam, sebagaimana yang dijelaskan oleh James

Spradley (1997), bahwa ciri khas dari metode penelitian etnografi adalah sifatnya

yang holistik-integratif, thick description, dan analisa kualitatif guna mendapatkan

native’s point of view.

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

observasi partisipasi dan wawancara mendalam. Observasi partisipasi digunakan

untuk mengamati kehidupan informan sehari-hari terkait dengan fenomena yang

diangkat dalam penelitian ini. Sedangkan wawancara mendalam dilakukan guna

mendapatkan pemikiran-pemikiran informan secara lebih dalam lagi mengenai

fenomena terkait, yakni smartphone. Selain itu, untuk mendukung data-data yang

ada, penulis pun menggunakan studi literatur yang berkaitan dengan fenomena dalam

penelitian ini. Penulis menyadari bahwa studi literatur penelitian terdahulu mengenai

kajian serupa dapat membantu penulis dalam memahami dan menganalisa fenomena

yang tengah terjadi saat ini.