bab i pendahuluan a. latar belakang masalah · memiliki persamaan makna tidak memiliki...

18
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang penting untuk kelangsungan hidup. Hubungan manusia dengan tanah bukan hanya sekedar tempat hidup, tetapi lebih dari itu tanah memberikan sumber daya bagi kelangsungan hidup umat manusia. Adanya kebutuhan akan tanah juga semakin meningkat dengan semakin berkembangnya jaman karena jumlah populasi penduduk yang semakin mengalami banyak peningkatan. Meskipun jumlah populasi penduduk mengalami peningkatan, tetapi jumlah tanah yang tersedia tidak semakin bertambah, hal itu mengakibatkan pemerintah harus bekerja secara ekstra guna mengatur pengelolaan tanah agar peruntukkan tanah dapat berjalan secara efektif dan efisien serta dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan fasilitas umum. Dalam menjalankan tugasnya, pemerintah sebagai penyelenggara kepentingan umum membutuhkan banyak tanah untuk pembangunannya. Agar kebutuhan tanah untuk pembangunan dapat terpenuhi dengan baik tanpa harus ada pihak lain yang dirugikan, maka harus ada pengaturan pengadaan tanah yang pasti. Selain itu didalam pelaksanaan pengadaan tanah juga dibutuhkan adanya independensi panitia pengadaan tanah selaku aparat yang menjalankan kewenangannya berdasarkan peraturan pengadaan tanah yang berlaku. Dalam hal ini sebagai panitia pengadaan tanah bertindak sebagai penghubung dan penengah

Upload: others

Post on 08-Feb-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang penting untuk

    kelangsungan hidup. Hubungan manusia dengan tanah bukan hanya sekedar

    tempat hidup, tetapi lebih dari itu tanah memberikan sumber daya bagi

    kelangsungan hidup umat manusia. Adanya kebutuhan akan tanah juga semakin

    meningkat dengan semakin berkembangnya jaman karena jumlah populasi

    penduduk yang semakin mengalami banyak peningkatan. Meskipun jumlah

    populasi penduduk mengalami peningkatan, tetapi jumlah tanah yang tersedia

    tidak semakin bertambah, hal itu mengakibatkan pemerintah harus bekerja secara

    ekstra guna mengatur pengelolaan tanah agar peruntukkan tanah dapat berjalan

    secara efektif dan efisien serta dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan

    fasilitas umum.

    Dalam menjalankan tugasnya, pemerintah sebagai penyelenggara

    kepentingan umum membutuhkan banyak tanah untuk pembangunannya. Agar

    kebutuhan tanah untuk pembangunan dapat terpenuhi dengan baik tanpa harus ada

    pihak lain yang dirugikan, maka harus ada pengaturan pengadaan tanah yang

    pasti. Selain itu didalam pelaksanaan pengadaan tanah juga dibutuhkan adanya

    independensi panitia pengadaan tanah selaku aparat yang menjalankan

    kewenangannya berdasarkan peraturan pengadaan tanah yang berlaku. Dalam hal

    ini sebagai panitia pengadaan tanah bertindak sebagai penghubung dan penengah

  • 2

    antara instansi yang memerlukan tanah dengan masyarakat selaku pemegang hak

    atas tanah.

    Independensi biasa digunakan dalam konsep politik, akan tetapi dalam

    penulisan skripsi ini, independensi yang dimaksud adalah independensi dalam

    konsep kedudukan panitia pengadaan tanah dalam proses pengadaan tanah bagi

    pembangunan untuk kepentingan umum.

    Sebelum membahas lebih lanjut mengenai independensi panitia pengadaan

    tanah, penulis akan membahas terlebih dahulu mengenai pengertian

    independensi. Independensi berasal dari kata dasar Independence yang berarti The

    state of quality of being independent; a country freedom to manage all its affairs,

    whether external or internal without countrol by other country 1. Pengertian

    Independensi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tidak ditemukan, tetapi

    memiliki persamaan kata yaitu mandiri, kemandirian, bebas yang memiliki makna

    tidak memiliki ikatan pada pihak lain dalam melakukan segala bentuk

    aktifitasnya, bebas, otonom, ketidak berpihakan, kemandirian, atau hal lain yang

    memiliki persamaan makna tidak memiliki ketergantungan pada organ atau

    lembaga lain, dan dapat menjalankan tindakan sendiri termasuk dalam membuat

    suatu keputusan2. Apabila dikaitkan dengan definisi tersebut, berarti independensi

    Panitia Pengadaan Tanah dalam peraturan pengadaan tanah dapat diartikan

    sebagai suatu kondisi di mana Panitia Pengadaan Tanah berkedudukan sebagai

    pihak yang otonom dan mandiri dalam proses pengadaan tanah, sehingga dalam

    1Bryan A Garner, Black Law Dictionary, seventh edition, West group:United States of

    America, 1999 page 773. 2 Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga . Departemen Pendidikan Nasional, Penerbit

    Balai Pustaka, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, h. 655.

  • 3

    menjalankan kedudukannya, Panitia Pengadaan Tanah harus memiliki sikap

    ketidak berpihakan, sehingga tidak mengusung kepentingan salah satu pihak,

    meskipun itu pihak instansi yang memerlukan tanah.

    Sehubungan dengan adanya kedudukan Panitia Pengadaan Tanah sebagai

    penyelenggara dari kepentingan umum tersebut, maka dibentuklah berbagai

    macam peraturan tentang pengadaan tanah yang dapat mempermudah Panitia

    Pengadaan Tanah dalam menjalankan tugasnya.

    Ada berbagai macam peraturan yang mengatur tentang pengadaan tanah di

    Indonesia. Peraturan yang menjadi landasan utama lahirnya peraturan tentang

    pengadaan tanah adalah Pasal 33 ayat (3) Undang – Undang Dasar Republik

    Indonesia Tahun 1945 ( selanjutnya disebut UUD 1945 ) yang menyatakan

    bahwa:

    “bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang penguasaannya ditugaskan kepada negara Republik Indonesia, harus dipergunakan sebesar-

    besarnya untuk kemakmuran rakyat”.

    Untuk melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut, maka lahirlah

    Undang – Undang Pokok Agraria No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar

    Pokok-Pokok Agraria ( selanjutnya disebut UUPA). Di dalam UUPA ini terdapat

    pasal yang mengatur tentang kewenangan Negara yang merupakan penjabaran

    dari isi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Pasal tersebut adalah Pasal 2 ayat (2) yang

    berbunyi:

    “Hak Menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi

    wewenang untuk: a. Mengatur dan meyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan

    dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa; b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-

    orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

  • 4

    c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang dan

    perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.”

    Dari isi pasal di atas dapat diketahui bahwa Negara oleh Undang-Undang di

    berikan kewenangan dalam hal peruntukkan, penggunaan dan persediaan, akan

    tetapi kewenangan yang diberikan kepada Negara itu harus dijalankan secara

    bijaksana dan berprioritas kepada kemakmuran rakyat seperti yang tertuang pada

    Pasal 2 ayat (3) yang berbunyi:

    “Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam

    arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur”.

    Dalam isi Pasal 2 ayat (3) UUPA tersebut terlihat bahwa meskipun diberikan

    kewenangan, Negara dalam melaksanakan kewenangannya harus dapat bersikap

    netral dan tidak boleh mengusung kepentingan pihak manapun dalam

    menjalankan kewenangannya agar dapat tercipta keadilan dan kemakmuran rakyat

    secara merata.

    Setelah munculnya UUPA, maka di bentuklah berbagai peraturan tentang

    pengadaan tanah yaitu:

    1. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 Tentang

    Ketentuan–Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah yang

    selanjutnya disebut dengan PMDN No. 15 Tahun 1975;

    2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1993

    Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk

    Kepentingan Umum yang selanjutnya disebut dengan Keppres No. 55

    Tahun 1993;

  • 5

    3. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 Tentang

    Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan

    Umum jo Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun

    2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun

    2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan

    Untuk Kepentingan Umum yang selanjutnya disebut dengan Perpres

    No. 36 Tahun 2005 dan Perpres No. 65 Tahun 2006;

    4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi

    Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang selanjutnya disebut

    dengan UU No. 2 Tahun 2012.

    Dari adanya peraturan tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk

    kepentingan umum tersebut dapat menjadi pedoman bagi Panitia Pengadaan

    Tanah untuk memperoleh hak milik atas tanah dari masyarakat yang terkena

    pembangunan untuk kepentingan umum, karena di peraturan pengadaan tanah

    tersebut terdapat pengaturan yang mengatur mengenai kedudukan dari Panitia

    Pengadaan Tanah. Dengan adanya pedoman tersebut, diharapkan Panitia

    Pengadaan Tanah dapat independen dalam menjalankan tugasnya, sehingga

    masyarakat tidak dirugikan dengan adanya penyelenggaraan pengadaan tanah.

    Pada kenyataannya dari berbagai peraturan pengadaan tanah bagi

    pembangunan untuk kepentingan umum tersebut, ada peraturan yang Panitia

    Pengadaan Tanahnya Independen maupun yang Dependen. Salah satu peraturan

    yang menunjukkan tidak adanya Independensi Panitia Pengadaan Tanah dalam

    proses pengadaan tanah bisa dilihat dari Peraturan PMDN No. 15 Tahun 1975.

  • 6

    Dalam peraturan ini dapat dilihat adanya susunan anggota dari panitia

    pembebasan tanah yang tertuang dalam Pasal 2 yang bunyinya:

    “(1) Susunan keanggotaan Panitia Pembebasan Tanah terdiri dari Unsur: a. Kepala Sub Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya sebagai Ketua

    merangkap anggota. b. Seorang pejabat dari Kantor Pemerintah Daerah Tingkat II yang ditunjuk

    oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah yang bersangkutan sebagai anggota.

    c. Kepala Kantor IPEDA/IREDA atau pejabat yang ditunjuk sebagai

    anggota. d. Seorang pejabat yang ditunjuk oleh instansi yang memerlukan tanah

    tersebut sebagai anggota. e. Kepala Dinas Pekerjaan Umum Daerah Tingkat II atau pejabat yang

    ditunjuknya apabila mengenai tanah bangunan dan/atau Kepala Dinas

    Pertanian Daerah Tingkat II atau pejabat yang ditunjuknya jika mengenai tanah pertanian sebagai anggota.

    f. Kepala Kecamatan yang bersangkutan sebagai anggota. g. Kepala Desa atau yang dipersamakan dengan itu sebagai anggota. h. Seorang pejabat dari Kantor Sub Direktorat Agraria

    Kabupaten/Kotamadya yang ditunjuk oleh Kepala Sub Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya yang bersangkutan sebagai Sekretaris bukan

    anggota. (2) Dalam hal-hal tertentu Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II

    dapat mengetuai sendiri Panitia tersebut dalam ayat (1) di atas.

    (3) Gubernur Kepala Daerah dapat menambah anggota Panitia Pembebasan Tanah, apabila ternyata untuk menyelesaikan pembebasan tanah ini

    diperlukan seorang ahli. (4) Gubernur Kepala Daerah dapat membentuk Panitia Pembebasan Tanah

    Tingkat Propinsi dengan susunan keanggotaan dari instansi-instansi seperti

    dimaksud dalam ayat (1) di atas sepanjang tanah yang dibebaskan itu terletak di wilayah beberapa Kabupaten/Kotamadya atau jika menyangkut

    proyek-proyek khusus”. Pada isi pasal tersebut terlihat bahwa susunan keanggotaan dari panitia

    pembebasan tanah terdiri atas pihak pemerintah itu sendiri dan tidak adanya

    perwakilan dari pihak yang berasal dari masyarakat maupun perwakilan dari pihak

    akademisi yang dilibatkan dalam kepanitiaan. Sehingga dalam posisi seperti ini

    panitia pengadaan tanah tidak dapat independen dalam menjalankan

    kedudukannya sebagai penyelenggara kepentingan umum karena panitia

  • 7

    pengadaan tanah akan sulit untuk bersikap profesional tanpa mengusung

    kepentingan salah satu pihak dalam proses pengadaan tanah.

    Dalam Keppres No. 55 Tahun 1993 terdapat susunan anggota kepanitiaan

    pengadaan tanah yang tertuang dalam Pasal 7 yang berbunyi:

    “Susunan Panitia Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (2) terdiri dari :

    1. Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II sebagai Ketua

    merangkap Anggota; 2. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya sebagai Wakil Ketua

    merangkap Anggota; 3. Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan sebagai Anggota; 4. Kepala Instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab di bidang

    bangunan, sebagai Anggota; 5. Kepala Instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab di bidang

    pertanian, sebagai Anggota; 6. Camat yang wilayahnya meliputi bidang tanah dimana rencana dan

    pelaksanaan pembangunan akan berlangsung sebagai Anggota;

    7. Lurah/Kepala Desa yang wilayahnya meliputi bidang tanah dimana rencana dan pelaksanaan pembangunan akan berlangsung, sebagai

    Anggota; 8. Asisten Sekretaris Wilayah Desa Bidang Pemerintahan atau Kepala

    Bagian Pemerintahan pada Kantor Bupati/Walikotamadya sebagai

    Sekretaris I bukan Anggota; 9. Kepala Seksi pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya sebagai

    Sekretaris II bukan Anggota”.

    Dari isi pasal di atas terlihat bahwa susunan keanggotaan dari panitia

    pengadaan tanah melibatkan Lurah/Kepala Desa yang mengetahui secara baik

    kondisi sosial, ekonomi dan budaya dari masyarakat sekitar yang terkena

    pengadaan tanah, sehingga Lurah/Kepala Desa tersebut merupakan lambang

    adanya perwakilan dari pihak masyarakat yang dilibatkan dalam keanggotaan

    Panitia Pengadaan Tanah. Meskipun demikian keterlibatan Lurah/Kepala Desa

    belum tentu bisa dijadikan sebagai jaminan adanya Independensi Panitia

    pengadaan tanah, karena Lurah dipilih oleh Pemerintah Daerah sehingga Lurah

    juga merupakan bagian dari pemerintah itu sendiri, sedangkan Kepala Desa

  • 8

    dipilih oleh masyarakat secara langsung. Dari adanya sistem pemilihan

    Lurah/Kepala Desa tersebut terlihat bahwa masih dimungkinkan tidak

    profesionalnya dalam menjalankan kedudukannya karena Lurah/Kepala Desa

    tersebut besar kemungkinannya lebih memihak kepada kepentingan Pemerintah

    bukan kepentingan dari masyarakat. Selain itu tidak ada keterlibatan akademisi

    dalam keanggotaan panitia pengadaan tanah yang berdampak pada semakin

    kecilnya kemungkinan untuk dapat bersikap profesional dan independen dalam

    melaksanakan proses pengadaan tanah. Dari penjelasan yang telah penulis

    uraikan, maka terlihat bahwa indepedensi Panitia Pengadaan Tanah dalam

    Keppres No. 55 Tahun 1993 juga masih belum terlihat.

    Adanya pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk

    kepentingan umum yang telah ditetapkan dengan Keppres No. 55 Tahun 1993

    sudah tidak sesuai sebagai landasan hukum dalam rangka melaksanakan

    pembangunan untuk kepentingan umum, maka dibentuklah Perpres 36 Tahun

    2005. Dalam peraturan ini terdapat Pasal yang mengatur mengenai adanya

    keterlibatan Lembaga/tim penilai harga tanah yang tertuang dalam Pasal 1 ayat

    (12) yang berbunyi:

    “Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah adalah lembaga/tim yang profesional dan independen untuk menentukan nilai/harga tanah yang akan digunakan sebagai

    dasar guna mencapai kesepakatan atas jumlah/besarnya ganti rugi”

    Dalam substansi Pasal 1 ayat (12) di atas terlihat adanya keterlibatan

    Lembaga/tim penilai harga tanah yang profesional dan independen sehingga

    panitia pengadaan tanah dapat lebih obyektif dalam menentukan besarnya ganti

    kerugian. Dengan kondisi yang demikian, independensi Panitia Pengadaan Tanah

    dalam peraturan ini sudah lebih baik dari pada peraturan yang sebelumnya.

  • 9

    Meskipun Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah ditetapkan oleh Bupati/Walikota

    atau Gubernur bagi Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang merupakan

    bagian dari pemerintah itu sendiri.

    Peraturan terakhir yang mengatur tentang pengadaan tanah adalah UU

    No. 2 Tahun 2012. Peraturan ini merupakan peraturan yang menunjukkan adanya

    independensi Panitia Pengadaan Tanah. Adapun Latar belakang dibuatnya

    Undang-Undang ini diharapkan dapat lebih memberikan jaminan

    terselenggaranya pembangunan untuk kepentingan umum yang pengadaan

    tanahnya mengedepankan prinsip kemanusiaan, demokratis dan adil. Dari adanya

    latar belakang pembuatan UU No. 2 Tahun 2012 ini terlihat bahwa pemerintah

    mengedepankan nilai-nilai keadilan sebagai penyelenggara pengadaan tanah

    sehingga panitia pengadaan tanah dalam peraturan perundangan dapat bersikap

    lebih independen. Hal tersebut bisa dilihat dari isi Pasal 1 ayat (11) yang

    berbunyi:

    “Penilai Pertanahan, yang selanjutnya disebut Penilai, adalah orang perseorangan yang melakukan penilaian secara independen dan profesional yang telah mendapat izin praktik penilaian dari Menteri Keuangan dan telah mendapat

    lisensi dari Lembaga Pertanahan untuk menghitung nilai/harga objek pengadaan tanah”.

    Dari isi pasal tersebut terlihat bahwa adanya unsur penilai pertanahan yang sudah

    berkompeten di bidangnya, sehingga dapat melakukan penilaian secara obyektif

    terhadap harga tanah dan penilai pertanahan tersebut harus bertanggung jawab

    atas penilaian yang telah dilaksanakannya. Apabila ada pelanggaran terhadap

    kewajiban penilai akan dikenakan sanksi baik administratif maupun pidana seperti

    yang tertuang dalam Pasal 32. Dari adanya pasal-pasal yang mengatur secara

    tegas terhadap penilai pertanahan, bahkan diatur pula sanksi apabila terjadi

  • 10

    kelalaian dalam menjalan tugas dan kewajibannya, maka menurut pendapat

    penulis dapat dilihat bahwa Panitia Pengadaan Tanah dalam menjalankan

    kedudukannya sebagai penyelenggara dari kepentingan umum pada UU Nomor 2

    Tahun 2012 sudah cukup independen karena telah mengedepankan rasa keadilan

    antara pihak instansi yang memerlukan tanah dengan pemegang hak atas tanah

    dan panitia pengadaan tanah tidak bertindak secara sewenang-wenang.

    Keberadaan peraturan - peraturan yang mengatur tentang pengadaan tanah

    bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang telah dibahas secara garis besar

    di atas berfungsi sebagai pedoman bagi Panitia Pengadaan Tanah dalam

    kedudukannya sebagai penyelenggara dari kepentingan umum. Selain itu dari

    keempat peraturan pengadaan tanah itu terlihat adanya perbedaan komposisi dari

    panitia pengadaan tanah antara tiga peraturan pengadaan tanah yang lama dengan

    peraturan pengadaan tanah terbaru yaitu UU No. 2 Tahun 2012. Adanya

    perbedaan komposisi yang penulis paparkan di atas terlihat bahwa dari peraturan

    lama sampai dengan peraturan terbaru yang mengatur tentang pengadaan tanah

    dapat dinilai ada tidaknya upaya dari Panitia Pengadaan Tanah untuk dapat lebih

    independen dalam menjalankan kedudukannya sebagai pelaksana dari pengadaan

    tanah.

    Pada kenyataannya, Panitia Pengadaan Tanah dalam menjalankan

    kedudukannya sebagai pelaksana dari kepentingan umum tidak independen karena

    masih terlihat adanya sikap berpihaknya Panitia Pengadaan Tanah terhadap

    instansi yang memerlukan tanah dalam penetapan ganti kerugian sehingga

    merugikan pemilik. Hal itu dapat dilihat dari kasus eksekusi tanah milik warga

    Kelurahan Lemah Ireng, Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang Jawa Tengah.

  • 11

    Eksekusi tanah yang dilakuka tersebut merupakan bagian dari pelaksanaan

    pengadaan tanah untuk pembangunan Jalan Tol Semarang-Solo yang

    menggunakan landasan hukum Perpres No. 36 Tahun 2005 jo Perpres No. 65

    Tahun 2006. Proses eksekusi dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 29 September

    2012. Dalam proses eksekusi terjadi kerincuhan karena warga masyarakat tidak

    setuju dengan adanya eksekusi tanah tersebut. Ketidak setujuan warga disebabkan

    karena jumlah ganti rugi yang diberikan tidak sesuai dengan keinginan pemilik

    tanah dan harga ketika membeli tanah tersebut sehingga mereka merasa

    dirugikan3. Dengan adanya kasus eksekusi tanah tersebut para pemilik tanah telah

    dirugikan, sehingga terlihat bahwa Panitia Pengadaan Tanah dalam posisi tersebut

    lebih berpihak pada kepentingan dari Instansi yang memerlukan tanah.

    Untuk mengetahui lebih mendalam mengenai adanya independensi Panitia

    Pengadaan Tanah dalam peraturan tentang pengadaan tanah bagi pembangunan

    untuk kepentingan umum, maka penulis akan mengkajinya secara lebih mendalam

    dalam penulisanskripsi yang berjudul: “Independensi Panitia Pengadaan Tanah

    Dalam Peraturan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan

    Umum.”

    B. Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang diatas dan alasan pemilihan judul maka

    permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah:

    - Apakah terdapat independensi Panitia Pengadaan Tanah dalam

    kedudukannya sebagai pelaksana dari pengadaan tanah untuk

    3http://www.yiela.com/view/artikel/2802898/Warga-menolak-eksekusi-Tanah-Lemah-Ireng-

    Semarang-ricuh, dikunjungi pada tanggal 7 Februari 2016 pukul 07.00.

  • 12

    pembangunan bagi kepentingan umum dari tiap – tiap peraturan yang

    pernah berlaku di Indonesia?

    C. Tujuan Penulisan

    Tujuan penulisan skripsi ini adalah:

    - Untuk mengetahui ada atau tidaknya independensi Panitia Pengadaan

    Tanah dalam masing-masing peraturan pengadaan tanah

    - Untuk dapat mengetahui tolak ukur apa saja yang digunakan untuk

    mengukur Independensi Panitia Pengadaan Tanah dalam tiap peraturan

    pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

    D. Manfaat Penulisan

    Hasil kajian penulisan ini diharapkan dapat memberi manfaat dan

    kontribusi:

    1. Manfaat Teoritis

    a. Untuk memperoleh manfaat ilmu pengetahuan di bidang hukum

    pada umumnya maupun bidang agraria pada khususnya yakni

    dengan mempelajari beberapa bahan literatur yang ada

    kemudian di kombinasikan dengan perkembangan hukum yang

    muncul di dalam kehidupan masyarakat.

    b. Sebagai acuan dalam perkembangan ilmu hukum khususnya

    hukum agraria dalam hal pengadaan tanah bagi pembangunan

    untuk kepentingan umum.

    c. Sebagai pengetahuan dasar dari kajian mengenai independensi

    Panitia Pengadaan Tanah dalam peraturan tentang pengadaan

    tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

  • 13

    2. Manfaat Praktis

    Hasil kajian ini dapat menjadi sumbangan informasi bagi kepada

    para pembaca mengenai independensi Panitia Pengadaan Tanah dalam

    peraturan tentang pengadaan tanah. Agar para pembaca dapat

    mengetahui tugas – tugas dari panitia pengadaan tanah sehingga dapat

    diketahui panitia pengadaan tanah independen atau tidak dalam

    menjalankan tugasnya sebagai pelaksana pengadaan tanah untuk

    kepentingan umum.

    E. Metode Penelitian

    Dalam penulisan skripsi ini, metode yang digunakan penulis adalah:

    1. Jenis Penelitian

    Jenis penelitian hukum (legal research) adalah menemukan kebenaran

    koherensi, yaitu adakah aturan hukum sesuai norma hukum dan adakah norma

    yang berupa perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hukum, serta

    tindakan seseorang sesuai dengan norma hukum bukan hanya aturan hukum atau

    prinsip hukum4. Di dalam penulisan ini apakah peraturan pengadaan tanah sudah

    memberikan ruang terhadap panitia pengadaan tanah untuk lebih independen atau

    tidak dengan memperhatikan norma hukum dan prinsip hukum dalam menjalakan

    perannya sebagai pelaksana pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

    2. Jenis pendekatan

    Jenis pendekatan yang dipakai di dalam penulisan ini adalah jenis

    pendekatan Perundang-Undangan Pendekatan ini dilakukan dengan cara melihat

    4Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (edisi revisi) , Kencana Prenadamedia Group,

    Jakarta, 2005, h. 47.

  • 14

    segala Undang-undang dan regulasi terkait isu hukum yang sedang diteliti.

    Pendekatan ini peneliti dapat melihat konsistensi antara regulasi satu dengan yang

    lainnya. Metode pendekatan Perundang-undangan peneliti dapat melihat dasar

    filosofi atau dasar pemikiran mengapa peraturan tersebut di keluarkan5 dan

    dengan cara membandingkan peraturan tentang pengadaan tanah untuk

    kepentingan umum yang berlaku di Indonesia, yaitu PMDN No. 15 Tahun 1975,

    Keppres No 55 Tahun 1993, Perpres No 36 Tahun 2005 jo Perpress No 65 Tahun

    2006 dan UU No. 2 Tahun 2012.

    3. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

    Pengumpulan bahan hukum merupakan proses dalam kajian normatif dan

    sifatnya mutlak, karena sumber hukum primer adalah objek bahan kajian yang

    akan ditulis:

    a. Bahan hukum Primer:

    1. UUD 1945.

    2. UUPA.

    3. PMDN No. 15 Tahun 1975, serta peraturan pelaksanaannya :

    a. PMDN No 2 Tahun 1976 Tentang Penggunaan Acara Pembebasan

    Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi pembebasan Tanah

    Oleh Pihak Swasta.

    4. Keppres No. 55 Tahun 1993, serta peraturan pelaksanaannya adalah

    Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional

    Nomor 1 Tahun 1994 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Keputusan

    5Ibid h.142.

  • 15

    Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1993 Tentang

    Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan

    Umum yang selanjutnya disebut Perka BPN No. 1 Tahun 1994.

    5. Perpres No. 36 Tahun 2005jo Perpres No. 65 Tahun 2006. Beserta

    peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Kepala Badan Pertanahan

    Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Ketentuan

    Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang

    Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan

    Umum Sebagaimana Telah diubah Peraturan Presiden Republik

    Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 tentang perubahan atas Peraturan

    Presiden Nomor 36 tahun 2005 Tentang Pengedaan Tanah Bagi

    Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang

    selanjutnya disebut Perka BPN N o. 3 Tahun 2007.

    6. UU No. 2 Tahun 2012, beserta peraturan pelaksanaannya yaitu

    Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2012 Tentang

    Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk

    Kepentingan Umum yang selanjutnya disebut Perpres No 71 Tahun

    2012.

    b. Bahan Hukum Sekunder

    Buku-buku yang berkaitan dengan hukum agraria, khususnya materi

    pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum.

  • 16

    c. Bahan Hukum Tertier

    Bahan hukum lain yang tidak terdapat di dalam perudang – undangan atau

    di dalam buku – buku literatur.

    F. Sistematika Penulisan

    Sesuai dengan ketentuan penulisan hukum, maka penulisan hukum ini

    dibagi dalam tiga bab, yang masing-masing bab memiliki isi dan uraian tersendiri,

    namun antara bab yang satu dengan yang lain masih berhubungan dan saling

    mendukung, yaitu:

    BAB I PENDAHULUAN

    Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah yang

    merupakan pengantar untuk masuk dalam pokok permasalahan

    yang akan dibahas. Di bagian latar belakang permasalahan ini

    berisi penjelasan secara singkat mengenai independensi Panitia

    Pengadaan Tanah dalam menjalankan tugas dan kewenangannya

    dari setiap peraturan tentang pengadaan tanah bagi pembangunan

    untuk kepentingan umum. Perumusan masalah memberikan

    penggambaran kepada penulis tentang obyek kajian dalam

    menentukan sasaran yang akan diteliti. Metode Penelitian Dalam

    bab ini yang dipergunakan yaitu Metode Pendekatan dan Metode

    Pengumpulan Bahan Hukum.

  • 17

    BAB II PEMBAHASAN

    Di dalam bab pembahasan ini dimuat kerangka pemikiran

    yuridis normatif yang diambil dari sumber pustaka dan Peraturan

    Perundang-Undangan (bahan hukum primer). Dalam bab ini dibagi

    terdiri dari tiga bagian, yaitu:

    a. Tinjauan Pustaka

    Dalam tinjauan pustaka terdapat penjelasan mengenai dari

    Otoritas Negara Dalam Penguasaan Hak Atas Tanah, Hak

    Menguasai Tanah Oleh Negara, Independensi Panitia Pengadaan

    Tanah dalam setiap peraturan tentang pengadaan tanah, dan

    pengertian dari kepentingan umum serta unsur-unsur dari

    pengadaan tanah.

    b. Hasil Penelitian

    Didalam hasil penelitian diuraikan pasal-pasal yang terkait

    dengan independensi Panitia Pengadaan Tanah dalam tiap

    peraturan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan

    umum.

    c. Analisis

    Dalam bagian analisis ini di paparkan mengenai analisis

    independensi Panitia Pengdaan Tanah berdasarkan tolak ukur

    independensi di setiap peraturan pengadaan tanah bagi

    pembangunan untuk kepentingan umum sehingga dapat diketahui

    ada tidaknya independensi Panitia Pengadaan Tanah di masing-

    masing peraturan pengadaan tanah.

  • 18

    BAB III PENUTUP

    Dalam bab penutup ini akan disampaikan mengenai pokok

    pikiran yang dapat ditarik dari uraian bab-bab yang ada

    sebelumnya. Selanjutnya dibentuk dalam sebuah kesimpulan.

    Dalam bab ini juga berisi tentang pemikiran, serta saran-saran yang

    akan diberikan penulis.