bab i pendahuluan a. latar belakang masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/luly...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan peradaban dunia semakin hari seakan-akan berlari menuju
modernisasi. Perkembangan dimana selalu membawa perubahan dalam setiap
sendi kehidupan tampak lebih nyata. Proses perkembangan serta
pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan masyarakat,
selain itu dapat juga mengakibatkan perubahan kondisi sosial masyarakat
yang memiliki dampak sosial negatif, terutama menyangkut masalah
peningkatan kejahatan yang meresahkan masyarakat dalam berbagai bidang
kehidupan. Seiring dengan hal tersebut, bentuk-bentuk kejahatan juga
senantiasa mengikuti perkembangan jaman dan bertransformasi dalam
bentuk-bentuk yang semakin canggih dan beranekaragam.
Kejahatan dalam bidang teknologi dan ilmu pengetahuan senantiasa turut
mengikuti perkembangan. Kejahatan masa kini tidak lagi selalu menggunakan
cara-cara lama yang telah terjadi selama bertahun-tahun seiring dengan
perjalanan usia bumi ini. Dapat dicontohkan seperti, kejahatan dunia maya
(cybercrime), tindak pidana pencucian uang (money laundering), tindak
pidana korupsi dan tindak pidana lainnya.
Teori yang mengatakan bahwa hanya pada masyarakat miskin terjadi
kejahatan sudah tidak berlaku lagi. Karena pada era globalisasi dewasa ini
semakin banyak muncul kejahatan baru, khususnya di lingkungan birokrasi
2
dan perusahaan-perusahaan termasuk bank-bank. Kejahatan bentuk baru ini
dinamakan white collar crime.1
Fenomena korupsi sudah ada di masyarakat sejak lama, tetapi baru
menarik perhatian dunia sejak perang dunia kedua berakhir. Di berbagai
belahan dunia, korupsi selalu mendapat perhatian yang lebih dibandingkan
dengan tindak pidana yang lainnya karena dampak dari tindak pidana ini
dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Tindak pidana ini tidak hanya
merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap
hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Tindak pidana ini dapat
membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, mebahayakan
pembangunan sosial ekonomi, politik, serta moralitas. Masalah korupsi ini
sangat berbahaya karena dapat menghancurkan jaringan sosial, yang secara
tidak langsung memperlemah ketahanan nasional serta eksistensi suatu
bangsa.Korupsi juga merupakan kejahatan yang dikelompokan sebagai
kejahatan luar biasa (ekstra ordinary crime). Alasan Korupsi disebut sebagai
kejahatan luar biasa adalah karena pelaku tindak pidana korupsi adalah orang-
orang yang memiliki intelektual dan berpendidikan tinggi sehingga
berdampak pada rumit dan sulitnya pembuktian perkara. Akibatnya tidak
sedikit pelaku korupsi lolos dari jeratan hukum.
Di Indonesia sendiri fenomena korupsi ini sudah ada sejak Indonesia
belum merdeka. Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa korupsi sudah ada
dalam masyarakat Indonesia jaman penjajahan yaitu dengan adanya tradisi
1Baharudin Lopa, Kejahatan korupsi dan Penegakan Hukum, Jakarta: Kompas, 2001, hlm.35
3
memberikan upeti oleh beberapa golongan masyarakat kepada penguasa
setempat. Kemudian setelah perang dunia kedua, muncul era baru, gejolak
korupsi ini meningkat di Negara yang sedang berkembang, Negara yang baru
memperoleh kemerdekaan.
Praktik korupsi di Indonesia sudah sedemikian parah dan akut. Telah
banyak gambaran tentang praktik korupsi yang terekspos ke permukaan.
Korupsi di Indonesia terus menunjukan peningkatan dari tahun ke tahun.
Tindak pidana korupsi sudah meluas dalam masyarakat, baik dalam jumlah
kasus yang terjadi dan jumlah kerugian negara, maupun dari segi kualitas
tindak pidana yang dilakukan secara sistematis serta lingkupnya yang
memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Sejarah korupsi di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami
perkembangan.Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh
“budaya-tradisi korupsi” yang tiada henti karena didorong oleh motif
kekuasaan, kekayaan dan wanita. Budaya yang sangat tertutup dan penuh
“keculasan” itu turut menyuburkan “budaya korupsi” di Nusantara. Tidak
jarang abdi dalem juga melakukan “korup” dalam mengambil “upeti”
(pajak)dari rakyat yang akan diserahkan kepada Demang (Lurah) selanjutnya
oleh Demang akan diserahkan kepada Turnenggung. Abdidalem di
Katemenggungan setingkat kabupaten atau propinsi juga mengkorup
(walaupun sedikit) hartayang akan diserahkan kepada Raja atau Sultan.
Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali
dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi. Setelah merdeka, bangsa Indonesia
4
mempunyai kemerdekaan politik, kebebasan ekonomi dan budaya, dan sejak
itulah pemerintahan ada di tangan bangsa Indonesia itu sendiri tetapi hukum
yang berlaku masih menggunakan hukum peninggalan Belanda. Status
kepegawaian pada masa itu masih kacau dan belum tegas dan banyak terjadi
penyelewengan oleh oknum-oknum tertentu.
Pada masa Orde Baru dan sebelumnya “korupsi” lebih banyak dilakukan
oleh kalangan elit pemerintahan, sedangkan pada Era Reformasi hampir
seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit “Virus Korupsi” yang
sangat ganas. Di era pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah sangat
membudaya. Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan melakukan koreksi
total terhadap Orde lama serta melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara
murni dan konsekuen, tetapi yang terjadi justru Orde Baru lama-lama rnenjadi
Orde Lama juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan
secara murni.
Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana, tidak saja bagi kehidupan perekonomian nasional, juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Hasil surve Transparency International Indonesia (TII)2 menunjukan, Indonesia merupakan negara paling korup nomor 6 dari 133 negara. Peringkat itu disebabkan oleh korupsi dari level atas ke bawah yang begitu menjamur di Indonesia.Fakta lain mengenai penanganan kasus tindak pidana korupsi di Indonesia yaitu budaya hukum elit penguasa tidak menghargai kedaulatan hukum, tetapi lebih mementingkan status sosial si koruptor dengan melihat kekuasaanpolitik atau kekuatan ekonominya. Praktek penegakan hukum seperti ini bertentangan dengan kaidah prasyarat bernegara hukum.3
Korupsi dapat diartikan merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh
seorang pegawai negeri atau orang lain yang bertindak mempengaruhi dan
2Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hlm.2 3Ibid, hlm.4
5
atau menyuap pegawai negeri tersebut dan dapat merugikan keuangan negara
atau daerah atau mengacaukan perekonomian negara. Pemegang kekuasaan
maupun jabatan di suatu daerah atau negara pun lebih cenderung melakukan
tindak pidana korupsi. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kasus korupsi
yang menyeret nama-nama pejabat penyelenggara negara yang mayoritas
adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Banyak tokoh masyarakat yang telah mensinyalir bahwa korupsi dan
komersialisasi jabatan telah menjalar di segala bidang, dan dilakukan baik di
kalangan atas maupun bawahan. Terlebih lagi mengingat kenyataan adanya
tendensi hubungan erat antara atasan dan bawahan dalam menyalahgunakan
jabatan itu. Walaupun seorang pegawai negeri ketika akan memangku
jabatannya telah mengangkat sumpah jabatan, tetapi dalam kenyataan sumpah
jabatan itu tidak banyak menolong.4
Meskipun mendapatkan berbagai tunjangan dan fasilitas, ternyatamasih banyakPNS yang terlibat kasus hukum.Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat ada 1.091 PNS yang terkena kasus hukum dari tahun 2010 hingga 2012.Berdasarkan data dari tahun 2004, bahwa ada 241 kepala daerah dan 2.500 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang terlibat kasus hukum pidana, dengan kasus terbanyak adalah kasus korupsi.5 Status PNS yang terlibat kasus korupsi telah banyak sudah mendapat
putusan Pengadilan. Status mereka saat ini ada yang sudah pensiun dan ada
yang diberhentikan. Masing-masing memiliki status yang berbeda-
bedamenyesuaikan jenis tindak pidana korupsi yang mereka lakukan.PNS
yang terbukti melanggar pasal tentang korupsi telah banyak dinyatakan 4Victor.M.Situmorang, Tidak Pidana Pegawai Negeri Sipil, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, hlm.9 5http://www.beritasatu.com/nasional/85448-lebih-dari-1000-pns-terlibat-kasus-hukum.html, tersedia: 28 November 2012
6
bersalah dan mendapatkan penjatuhan pidana dari hakim berupa pidana
pokok dan pidana tambahan.Pada prinsipnya pidana tambahan tidak dapat
dijatuhkan secara berdiri sendiri tanpa pidana pokok oleh karena sifatnya
hanyalah merupakan tambahan dari sesuatu hal yang pokok.
Barda Nawawi Arief6, mengemukakan bahwa pokok-pokok pikiran yang
terkandung dalam perumusan tujuan pemidanaan adalah :
1. Pada hakikatnya Undang-Undang merupakan sistem hukum yang bertujuan sehingga dirumuskan pidana dan aturan pemidanaan dalam Undang-Undang, pada hakikatnya hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan;
2. Dilihat secara fungsional operasional, pemidanaan merupakan suatu rangkaian proses dan kebijakan yang kokretasinya sengaja direncanakan melalui 3 (tiga) tahap.Agar ada keterjalinan dan keterpaduan antara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan, maka dirumuskan tujuan pemidanaan;
3. Perumusan tujuan pemidanan dimaksudkan sebagai fungsi pengendalian kontrol dan sekaligus memberikan landasan filosofis, dasar rasionalitas dan motivasi pemidanaan yang jelas dan terarah.
Pemikiran mengenai tujuan dari suatu pemidanaan yang dianut orang
dewasa ini sebenarnya bukan merupakan suatu pemidanaan yang baru,
melainkan sedikit banyak telah mendapat pengaruh dari para penulis beberapa
abad yang lalu, yang telah mengeluarkan pendapat mereka tentang dasar
pembenaran dari suatu pemidanaan baik yang melihat pemidanaan semata-
mata sebagai pemidanaan saja, maupun yang mengkaitkan dengan
pemidanaan dengan tujuan atau dengan tujuan yang ingin dicapai dengan
pemidanaan itu sendiri.7
6Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm.88. 7 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, Hal. 1.
7
Masalah penentu kebijakan penetapan jenis sanksi dalam Hukum Pidana
Indonesia tidak terpisah dari permasalahan penetapan tujuan yang ingin
dicapai dalam pemidanaan. Tujuan pemidanaan tersebut juga tidak harus
terlepas dari tujuan bernegara sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang
intisarinya terdapat dalam dasar negara yaitu Pancasila.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan
penelitian sebuah kasus korupsidengan judul PENERAPAN PIDANA
TAMBAHAN TERHADAP PEGAWAI NEGERI SIPIL (Studi
Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Putusan Pengadilan Negeri
BanyumasNomor :46/Pid.B/2009/PN.Bms).
B. PerumusanMasalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat
dirumuskan permasalahan:
a. Bagaimana penerapan pidana tambahan terhadap Pegawai Negeri Sipil
pelaku tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999dalam putusan nomor : 46/Pid.B/2009/PN.Bms?
b. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hukum hakim dalam
menjatuhkan putusan pidana tambahan terhadap Pegawai Negeri Sipil
pelaku tindak pidana korupsi dalam putusan nomor :
46/Pid.B/2009/PN.Bms?
8
C. TujuanPenelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, tujuan
penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui penerapan pidana tambahan terhadap Pegawai
Negeri Sipil pelaku tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 11
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 18 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999dalam putusan nomor : 46/Pid.B/2009/PN.Bms.
2. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hukum hakim dalam
menjatuhkan putusan pidana tambahan terhadap Pegawai Negeri Sipil
pelaku tindak pidana korupsi dalam putusan nomor :
46/Pid.B/2009/PN.Bms.
D. KegunaanPenelitian
Kegunaan penelitian ini yaitu, antara lain:
1. Kegunaan teoritis yaitu mengkaji Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dalam menghadapi masalah korupsi yang
marak terjadi di Indonesia dan menambah pengetahuan para pembaca
mengenai masalah korupsi.
2. Kegunaan praktis yaitu dapat memberikan manfaat bagi pembaca,
khususnya bagi masyarakat pada umumnya agar ikut serta dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi. Selain itu untuk bahan kajian
dan referensi mengenai adanya penerapan pidana tambahan terhadap
PNS pelaku tindak pidana korupsi.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Objek studi ilmu hukum pidana adalah hukum positif, norma-norma, dan
sanksi hukum pidana yang nyata berlaku. Ilmu hukum harus menerangkan,
menganalisis dan mensistematisasikannya dalam rangka penerapannya secara
tepat. Selain itu, ilmu hukum pidana juga harus mampu memunculkan asas-
asas maupun unsur-unsur yang melandasi ketentuan perundang-undangan
yang berlaku sebagai hukum positif di Indonesia.
Di samping tindak pidana yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) ada beberapa macam tindak pidana yang aturan
hukumnya berada di luar KUHP dan biasa disebut sebagai “tindak pidana di
luar KUHP” atau “tindak pidana khusus”. Tindak pidana di luar KUHP terdiri
dari beberapa tindak pidana lainnya8, dan korupsi adalah salah satu tindak
pidana khusus. Namun, walaupun disebut sebagai tindak pidana di luar
KUHP, pengaturan dalam KUHP masih digunakan khususnya pasal-pasal
yang terkait dengan tindak pidana korupsi.
A. Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Pendapat para sarjana tentang isi dari pengertian tindak pidana pada
dasarnya dapat dibedakan menjadi dua pandangan, yaitu :
8WantjikSaleh, TindakPidanaKorupsidanSuap, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983, hlm.25
10
1) Pandangan Monistis, yaitu melihat keseluruhan (tumpukan) syarat
untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari
perbuatan.
2) Pandangan Dualistis, yaitu mengadakan pemisahan antara
dilarangnya suatu perbuatan dengan sanksi ancaman pidana
(criminal act atau actus reus) dan dapat
dipertanggungjawabkannya si pembuat (adanya mens rea).
Istilah tindak pidana merupakan pengganti istilah “strafbaar feit” yang
digunakan dalam hukum pidana Belanda, yakni dalam WvS Belanda. Dengan
dianutnya asas konkordansi oleh hukum pidana Indonesia terhadap hukum
pidana Belanda, maka istilah strafbaarfeit juga berlaku dalam tata hukum
pidana Indonesia.
Secara etimologi strafbaar feit terdiri dari tiga kata yaitu straf yang berarti
pidana, baar yang berarti dapat atau boleh, dan feit yang berarti perbuatan.
Dalam kaitannya dengan istilah strafbaar feit secara utuh, straf diterjemahkan
juga dengan kata hukum, sehingga apabila dirangkai secara utuh, istilah
strafbaar feitakanbermakna perbuatan yang dapat dihukum.
Berdasarkan penjabaran istilah di atas, pembentuk undang-undang
Belanda tidak mengggunakan istilah “perbuatan” atau “tindak” (handeling),
melainkan “fakta” (feit-tindak pidana). Penggunaan istilah tersebut
dikarenakan pengertian feit mencakup omne quod fit, artinya keseluruhan
11
kejadian (perbuatan), baik yang bersifat positif (aktif), negatif (pasif),
termasuk kelalaian serta situasi dan kondisi lainnya yang relevan.9
Menurut Van Hamel, strafbaar feit adalah kelakuan orang (menslijke
gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang
patut dipidana (straf waardig) dan dilakukan dengan kesalahan. Sedangkan
Simons sebagaimana dikutip oleh M. Haryanto menyatakan bahwa
strafbaarfeit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang
bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang
dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.10
Dari definisi tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa strafbaarfeit
mengandung unsur:
a. perilaku manusia (gedragingen);
b. diancam dengan pidana;
c. bersifat melawan hukum (wederrechtelijkheid);
d. berhubungan dengan kesalahan (schuld);
e. dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab
(toerekeningsvatbaar) atau schuldfahig.11
Menurut M. Haryanto, perumusan strafbaar feit sebagaimana telah
dijabarkan di atas akan menimbulkan konekuensi, yaitu:
9Jan Remmelink, “Hukum Pidana”, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal. 85. 10M. Hariyanto, Strafbaar Feit, Perbuatan Pidana, Tindak Pidana,http://blogmhariyanto.blogspot.com/2009/07/strafbaar-feit-menurut-bambang-poernomo.html, diakses tanggal 1 Maret 2013.
11Ibid.
12
“istilah tersebut baru dapat dipakai setelah ada penetapan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, karena untuk mengetahui orang bersalah atau tidak, melawan hukum atau tidak, dapat dipertanggungjawabkan atau tidak harus melalui suatu proses penyelesaian perkara pidana berdasarkan hukum pidana formil yang berlaku”12 Penggunaan kata pengganti istilah strafbaar feit dalam tata hukum pidana
Indonesia tidak ada keseragaman yang disebabkan karena belum ada
penjelasan yang resmi mengenai definisi istilah tersebut. Dengan kondisi
yang demikian, para ahli hukum mencoba untuk merefleksikan (memberikan
arti dan isi) istilah strafbaar feit untuk memperoleh gambaran mengenai
istilah tersebut.
Istilah-istilah yang pernah digunakan, baik dalam perundang-undangan
yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan istilah
strafbaar feit adalah sebagai berikut.
a. Tindak pidana
Tindak pidana dapat dikatakan sebagai istilah resmi yang digunakan
dalam hukum pidana Indonesia. Hampir seluruh perundang-undangan
pidana menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalam Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (diganti dengan
Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002), Undang-Undang Nomor 11
PNPS 1963 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Subversi, Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999), dan
perundang-undangan lainnya.
12Ibid.
13
Ahli hukum yang menggunakan istilah tindak pidana antara lain Jan
Remmelink dan Wirjono Prodjodikoro. Menurut Jan Remmelink tindak
pidana adalah perilaku yang pada waktu tertentu dalam konteks suatu budaya
dianggap tidak dapat ditolerir dan harus diperbaiki dengan mendayagunakan
sarana-sarana yang disediakan oleh hukum pidana.13 Sedangkan menurut
Wirjono Prodjodikoro tindak pidana adalah tindakan yang melanggar
berbagai kepentingan yang dilindungi oleh hukum, dan kepentingan tersebut
terdiri dari tiga jenis yaitu kepentingan individu-individu, kepentingan
masyarakat, kepentingan Negara.14
b. Peristiwa pidana
Istilah peristiwa pidana digunakan oleh beberapa ahli hukum, seperti
R. Tresna, H.J. Van Schravendijk, Zainal Abidin, Utrecht. E. Menurut
R. Tresna dalam Adami Chazawi peristiwa pidana adalah suatu
perbuatan atau serangakaian perbuatan manusia, yang bertentangan
dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya,
terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.15Utrecht
dalam Leden Marpaung menggunakan istilah “peristiwa pidana karena
yang ditinjau adalah peristiwa (feit) dari sudut hukum pidana.16
13 Jan Remmelink, Op. Cit, hal. 61. 14Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, PT. Rafika Aditama, Bandung, 2003, hal.16. 15 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal.72-73. 16Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Cetakan Keempat, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 7
14
Menurut Adami Chazawi kata “peristiwa” menggambarkan
pengertian yang luas, yakni mencakup pada seluruh keajadian yang
tidak saja disebabkan oleh adanya perbuatan manusia semata, tetapi
juga oleh alam. Sedangkan dalam hukum pidana, suatu peristiwa baru
dikatakan penting apabila diakibatkan oleh perbuatan manusia.17
c. Delik
Kata “delik “ berasal dari bahasa Latin, yakni delictum. Dalam
bahasa Jerman disebut delict, dalam bahsa Perancis disebut delit dan
dalam bahasa Belanda disebut delict.18Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, delik diartikan sebagai perbuatan yang dapat dikenakan
hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang.19
Beberapa ahli hukum pidana menggunakan istilah “delik” dan masing-
masing memberi definisi sebagai berikut.20
1) Vos Delik adalah feit yang dinyatakan dapat dihukum berdasarkan undang-undang.
2) Van Hammel
Delik adalah suatu serangan atau ancaman terhadap hak-hak orang lain.
3) Simons
Delik dalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum.
d. Pelanggaran pidana
17 Adami Chazawi, Op.Cit.,hal.69. 18Leden Marpaung, 2008, Op. Cit., hal. 7. 19Ibid. 20Ibid., hal. 8.
15
Istilah “pelangaran pidana” digunakan oleh M.H. Tirtaamidjaja
dalam bukunya yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Pidana.
e. Perbuatan yang boleh dihukum
Istilah “perbuatan yang boleh dihukum” digunakan oleh Karni
dalam buku Ringkasan tentang Hukum Pidana dan Schravendijk dalam
buku Pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia.
Menurut Schravendijk sebagaimana dikutip oleh Adami Chazawi
mengatakan bahwa perbuatan yang boleh dihukum adalah kelakuan
orang yang begitu bertentangan dengan keinsyafan hukum sehingga
kelakuan itu diancam dengan hukuman, asal dilakukan oleh orang yang
karena itu dapat dipersalahkan.21
f. Perbuatan yang dapat dihukum
Istilah “perbuatan yang dapat dihukum” terdapat dalam Undang-
Undang Nomor 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak.
g. Perbuatan pidana
Moeljatno menggunakan istilah “perbuatan pidana” dan memberi
makna perbuatan pidana sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.22
Menurut Moeljatno Penggunaan istilah perbuatan pidana lebih tepat
dengan alasan sebagai berikut.23
21Adami Chazawi, Op.Cit., hal. 69. 22M. Hariyanto, Loc. Cit.
23 Adami Chazawi, Op.Cit., hal.71
16
1) Perbuatan yang dilarang adalah perbuatannya (perbuatan manusia, yaitu suatu kejadian atau keadaan ang ditimbulkan oleh kelakuan orang), artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya, sementara ancaman pidananya ditujukan pada orangnya.
2) Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman pidana (yang ditujukan pada orannya), ada hubungan yang erat. Oleh Karena itu, perbuatan (yang berupa keadaan atau kejadian yang ditimbulkan orang tadi, melanggar larangan) dengan orang yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan yang erat pula.
3) Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah, maka lebih tepat digunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengetian abstrak yang menunjuk pada dua keadaan konkret, yaitu kejadian tetentu (perbuatan) dan adanya yang berbuat atau yang menimbulkan kejadian itu.
Dari pendapat-pendapat tersebut di atas, maka dapat diketahui
bahwa tindak pidana adalah tindakan atau perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, dimana terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana. 1) Simons
Dalam rumusan straafbaarfeit itu adalah tindakan melanggar
hukum yang telah dilakukan sengaja ataupun tidak sengaja oleh
seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan
oleh Undang-Undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat
dihukum.
2) E. Utrecht
Menerjemahkan straafbaarfeit dengan istilah peristiwa pidana yang
sering disebut juga delik. Peristiwa pidana merupakan suatu
peristiwa hukum (rechtsfeit), yaitu peristiwa kemasyarakatan yang
membawa akibat yang diatur oleh hukum.
3) Pompe
Straafbaarfeit secara teoritis dapat sebagai suatu pelangaaran
norma atau gangguan terhadap tertib hukum yang dengan sengaja
17
atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana
penjatuhan hukuman terhadap pelaku itu adalah penting demi
terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.
4) Moeljatno
Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang
mana disertai sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang
melanggar aturan tersebut. Untuk adanya perbuatan pidana harus
ada unsur-unsur perbuatan (manusia), memenuhi rumusan dalam
undang-undang (syarat formil), Bersifat melawan hukum. Syarat
formil harus ada, karena asas legalitas dalam pasal 1 ayat (1)
KUHP.
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Pemahaman mengenai unsur-unsur tindak pidana merupakan hal mutlak
yang harus dimiliki oleh aparat penegak hukum dalam upaya penegakan
hukum pidana. Dengan pemahaman tersebut, maka dapat diketahui apakah
suatu perbuatan/ tindakan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana atau
tidak.
Terhadap unsur tindak pidana (delik), terdapat perbedaan istilah.
Tirtaamidjaja menggunakan istilah “elemen-elemen” sedangkan E. Utrecht
menyebutnya dengan istilah “anasir-anasir”. Namun demikian, istilah yang
digunakan pada umumnya adalah “unsur-unsur.”
Menurut doktrin, unsur-unsur tindak pidana (delik) terbagi menjadi dua
bagian, yaitu:
18
a. Unsur Subjektif
Unsursubjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku.
Asas hukum pidana menyatakan “tidak ada hukuman bila tidak ada
kesalahan” (An act does not make a person guilty uless the mind is
guilty or actus non facit reum nisi mens sit rea).24 Kesalahan yang
dimaksud di sini adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan
(intention/ opzet/ dolus) dan kealpaan (negligence or schuld). Pada
umumnya para pakar telah menyetujui bahwa “kesengajaan” terdiri
dari 3 (tiga) bentuk, yakni:
1) kesengajaan sebagai maksud (oogmerk);
2) kesengajaan dengan keinsafan pasti (opzet als zekerheids
bewustzijn);
3) kesengajaan dengan keinsafanakan kemungkinan (dolus
evantualis).
Kealpaan adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan dari kesengajaan.
Kealpaan terdiri atas 2 (dua) bentuk, yakni:
1) tak berhati-hati;
2) dapat menduga akibat perbuatan itu.
b. Unsur Objektif
Unsur objektif merupakan unsur dari luar diri pelaku yang terdiri atas:
1) Perbuatan manusia, berupa:
a) act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif;
24Ibid., hal.9
19
b) omission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negatif, yaitu
perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan.
2) Akibat (result) perbuatan manusia
Akibat tersebut membahayakan atau merusak, bahkan
menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh
hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik,
kehormatan dansebagainya.
3) Keadaan-keadaan (circumstances)
Pada umumnya keadaan tersebut dibedakan antara lain:
a) keadaan pada saat perbuatan dilakukan;
b) keadaan setelah perbuatan dilakukan.
4) Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum
Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang
membebaskan si pelaku dari hukuman. Adapun sifat melawan
hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum,
yakni berkenaan dengan larangan atau perintah.
Berbeda dengan pendapat di atas, Satochid Kartanegara sebagaimana
telah dikutip oleh Adami Chazawi, unsur delik terdiri atas unsur subyektif
dan unsur obyektif. Unsur obyektif adalah unsur yang terdapat di luar diri
manusia, yaitu berupa:25
a. suatu tindakan;
b. suatu akibat;
25Ibid., hal.10
20
c. keadaan (omstandingheid);
Kesemuanya itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-
undang. Unsur subyektif adalah unsur-unsur dari perbuatan yang dapat
berupa:26
a. kemampuan dapat dipertanggungjawabkan (toerekeningsvatbaar heid);
b. kesalahan (schuld).
Sama halnya dengan 2 (dua) pendapat sebelumnya, Lamintang dalam
Leden Marpaung membagi unsur tindak pidana (delik) menjadi 2 (dua), yakni
unsur subyektif dan unsur obyektif. Selanjutnya Lamintang menyatakan
sebagai berikut:
“Yang dimaksud dengan unsur subyektif adalah unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Adapun yang dimaksud dengan unsur obyektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu dalam keadaan ketika tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan”27 Menurut Moeljatno, tiap-tiap perbuatan pidana harus terdiri atas unsur-
unsur lahir, oleh karena itu perbuatan yang mengandung kelakuan dan akibat
yang ditimbulkan adalah suatu kejadian dalam alam lahir.28
a. sifat melawan hukum atau wederrechtelijkheid;
b. kualitas dari si pelaku;
c. kualitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab
dengan suatu kenyataan sebagai akibat.
26Ibid. 27Ibid., hal.11. 28Ibid.,hal. 10
21
Ketika dikatakan bahwa tindak pidana atau yang juga dikenal dengan
perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana
barangsiapa yang melakukannya, maka unsur-unsurnya meliputi beberapa
hal, yaitu:
a. Perbuatan itu berwujud suatu kelakuan baik aktif maupun pasif yang
berakibat pada timbulnya suatu hal atau keadaan yang dilarang oleh
hukum.
b. Kelakuan dan akibat yang timbul tersebut harus bersifat melawan
hukum baik dalam pengertiannya yang formil maupun yang materiil.
c. Adanya hal-hal atau keadaan tertentu yang menyertai terjadinya
kelakuan dan akibat yang dilarang oleh hukum.
Dalam unsur yang ketiga, terkait dengan beberapa hal yang wujudnya berbeda-beda sesuai dengan ketentuan pasal hukum pidana yang ada dalam undang-undang. Misalnya berkaitan dengan diri pelaku perbuatan pidana, tempat terjadinya perbuatan pidana, keadaan sebagai syarat tambahan bagi pemidanaan, dan keadaan yang memberatkan pemidanaan. 29
3. Jenis-Jenis Tindak Pidana
Tindak pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu:30
a. Kejahatan dan pelanggaran Perbedaan kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran
(overtredingen) seringkali dilihat secara kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif, kejahatan dipandang sebagai tindak pidana yang sifat tercelanya tidak semata-mata pada dimuatnya dalam undang-undang, melainkan memang pada dasarnya telah melekat sifat terlarang sebelum memuatnya dalam rumusan tindak pidana dalam undang-undang. Sebaliknya, dalam pelanggaran sifat tercelanya suatu perbuatan itu terletak pada setelah dimuatnya sebagai demikian dalam
29Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta Sinar Grafika,2011, hlm.100 30 Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, 1990, Hal. 56.
22
undang-undang, atau dengan kata lain sumber tercelanya adalah undang-undang.
Secara kuantitatif, perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran hanya didasarkan pada berat-ringannya tindak pidana yang kemudian akan mengarah pada berat-ringannya ancaman pidana. Dalam hal ini kejahatan merupakan bentuk tindak pidana yang lebih berat dibandingkan dengan pelanggaran.
b. Tindak pidana formil (formeel delicten) dan tindak pidana materiil (materiel delicten) Tindak pidana formil (formeel delicten) adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga memberikan arti bahwa inti larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan sesuatu perbuatan tertentu. Terjadinya tindak pidana tidak tergantung pada timbulnya suatu akibat, melainkan semata-mata pada perbuatannya. Sedangkan dalam rumusan tindak pidana materiil (materiele delicten), inti larangan adalah pada timbulnya akibat yang dilarang.
c. Tindak pidana sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana kelalaian (culpose delicten) Tindak pidana sengaja adalah tindak pidana yang dalam rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsur kesengajaan. sementara tindak pidana culpa adalah tindak pidana yang dalam rumusannya mengandung unsure culpa.
d. Tindak pidana aktif/positif (delicta commissionis) dan tindak pidana pasif/negatif (delicta omissionis) Tindak pidana aktif adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa perbuatan aktif (positif), artinya bahwa untuk mewujudkan tindak pidana tersebut disyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang yang berbuat. Sedangkan tindak pidana pasif, ada suatu kondisi dan atau keadaan tertentu yang mewajibkan seseorang dibebani hukum untuk berbuat tertentu, yang apabila ia tidak melakukan (aktif) perbuatan itu, ia telah melanggar kewajiban hukumnya.
e. Tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana berlangsung terus Tindak pidana terjadi seketika adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikina rupa sehingga untuk terwujudnya atau terjadinya dalam waktu seketika atau waktu singkat, disebut dengan aflopende delicten. Sedangkan tindak pidana berlangung terus adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga terjadinya tindak pidana itu berlangsung lama, yakni setelah perbuatan dilakukan, tindak pidana itu masih berlangsung terus, yang disebut juga dengan voortdurende delicten.
f. Tindak pidana umum dan tindak pidana khusus Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materiil. Sementara tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat di luar kodifikasi tersebut.
23
g. Tindak pidana communia (delicta communia) dan tindak pidana propia (delicta propia) Tindak pidana communia adalah tindak pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang, sedangkan tindak pidana propia adalah tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu.
h. Tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak pidana aduan (klacht delicten) Penggolongan tindak pidana ini didasarkan pada proses penuntutannya. Dalam tindak pidana biasa, untuk dilakukannya penuntutan pidana terhadap pembuatnya tidak disyaratkan adanya pengaduan dari yang berhak. Sementara dalam tindak pidana aduan, untuk dapat dilakukannya penuntutan pidana disyaratkan untuk terlebih dahulu adanya pengaduan oleh yang berhak.
i. Tindak pidana dalam bentuk pokok, yang diperberat dan diperingan Dilihat dari berat ringannya, ada tindak pidana tertentu yang dibentuk menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu: 1) bentuk pokok, sederhana atau bentuk standar (eenvoudige
delicten), yaitu tindak pidana dirumuskan secara lengkap dimana semua unsurnya dicantumkan dalam rumusan;
2) dalam bentuk yang diperberat (gequalificeerde delicten), yaitu tindak pidana yang dalam rumusannya tidak menyebutkan kembali unsur-unsur bentuk pokok, namun menyebut kualifikasi bentuk pokonya atau pasal bentuk pokonya disertai unsur yang bersifat memberatkan;
3) dalam bentuk ringan (gepriviligieerde delicten), yaitu tindak pidana yang dalam rumusannya tidak menyebutkan kembali unsur-unsur bentuk pokok, namun menyebut kualifikasi bentuk pokonya atau pasal bentuk pokonya disertai unsur yang bersifat meringankan.
j. Tindak pidana berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi Kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh hukum pidana terdiri dari 3 (tiga) kelompok besar, yaitu kepentingan hukum individu (individuale belangen), kepentingan hukum masyarakat (sociale belangen) dan kepentingan hukum negara (staatsbelangen). Sistematika pengelompokkan indak pidana bab per bab dalam KUHP didasarka pada kepentingan hukum yang dilindungi tersebut.
k. Tindak pidana tunggal dan tindak pidana berangkai (samegestelde delicten) Tindak pidana tunggal (enkelvoudige delicten) adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang selesainya tindak pidana dan dapat dipidananya pelaku, cukup dilakukan satu kali perbuatan saja. Sementara yang dimaksud dengan tindak pidana berangkai adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang sebagai selesai dan dapat dipidananya pembuat, disyaratkan dilakukan berulang-ulang.
24
B. Tindak Pidana Korupsi
Persepsi mengenai tindak pidana korupsi belum sepenuhnya sama, karena
penafsiran terhadap makna tindak pidana korupsi sering dikaitkan dengan
kepentingan anggota masyarakat. Ada yang tidak jelas bagi pengetahuan
publik, apakah itu korupsi, penyalahgunaan atau ketidaktahuan.31
1. Istilah dan Pengertian Korupsi
Dalam ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” (dari bahasa Latin: corruption = penyuapan; corruptore = merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan Negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Meskipun kata corruptio itu luas sekali artinya, tetapi corruptio dipersamakan artinya dengan penyuapan seperti yang disebut dalam Enslikopedia Grote Winkler Prins.32
Adapun arti harfia dari korupsi dapat berupa :
1) Kejahatan kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidakjujuran.
2) Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan sogok dan sebagainya.
3) Korup (busuk; suka menerima uang suap, uang sogok; memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya).
4) Korupsi (perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya);Koruptor (orang yang korupsi).
Berdasarkan undang-undang bahwa korupsi diartikan:
1) Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung merugikan keuangan Negara dan atau perekonomian Negara dan atau perekonomian Negara atau diketahui patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999;
31Surachmin, dkk, Strategi & Teknik Korupsi, Jakarta:Sinar Grafika, 2011 32TheodorusM.Tuanakotta, MenghitungKerugianKeuangan Negara dalamTindakPidanaKorupsi, Jakarta: SalembaEmpat, 2009, hlm.24
25
2) Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan secara langsung dapat merugikan Negara atau perekonomian Negara, sebagaimana dirumuskan dalam pasal (3) UU No.31 Tahun 1999;
3) Barang siapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 425, 435 KUHP.
Menurut Subekti dan Tjitrosudibyo dalam Kamus Hukum, yang dimaksud curruptie adalah korupsi; perbuatan curang; tindak pidana yang merugikan keuangan negara. Baharuddin Lopa mengutip pendapat David M. Chalmers menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang mnyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi dalam bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum.33
Manipulasi dan keputusan mengenai keuangan yang membahayakan
perekonomian sering dikategorikan perbuatan korupsi. Dikatakan pula oleh
Baharudin Lopa34, pembayaran terselubung dalam bentuk pemberian
hadiah, ongkos administrasi, pelayanan, pemberian hadiah kepada sanak
keluarga, pengaruh kedudukan sosial, atau hubungan apa saja yang
merugikan kepentingan dan kesejahteraan umum, dengan atau tanpa
pembayaran uang, biasanya dianggap sebagai perbuatan korupsi.
Bentuk korupsi lain yang diistilahkan political corruption (korupsi politik)
adalah korupsi pada pemilihanan umum, termasuk memperoleh suara dengan
uang, janji dengan jabatan atau hadiah khusus, paksaan, intimdasi, dan
campur tangan terhadap kebebasan memilih. Korupsi dalam jabatan
melibatkan penjualan suara dalam legislatif, keputusan administrasi, atau
keputusan yang menyangkut pemerintah.
33 Op cit, evi hartanti, hlm.9 34Ibid
26
Korupsi diartikan sebagai perbuatan yang berkaitan dengan kepentingan
publik atau masyarakat luas untuk kepentingan pribadi dan atau kelompok
tertentu. Tindak pidana korupsi secara spesifik ada tiga fenomena yang
tercakup dalam istilah korupsi, yaitu penyuapan (bribery), pemerasan
(extraction), dan nepotisme (nepotism).
Selain merugikan keuangan negara, tindak pidana korupsi juga merugikan
masyarakat. Kejahatan korupsi yang demikian jika dibandingkan dengan
anatomi kejahatan ekonomi yakni penyamaran atau sifat tersembunyi maksud
dan tujuan kejahatan (disguise of purpose or intent), keyakinan si pelaku
terhadap kebodohan dan kesembronoan si korban (reliance upon the
ingenuity or carelesne of the victim), penyembunyian pelanggaran
(concealement of the violation). Selain tu, tindak pidana korupsi termasuk
dalam tindak pidana yang merugikan perekonomian negara karena pelaku
tindak pidana korupsi biasanya menggunakan hasil korupsinya untuk
kepentingan pribadi.35
2. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Tindak Pidana Korupsi dapat diartikan dengan suatu perbuatan yang
melanggar ketentuan-ketentuan hukum tentang korupsi, dalam hal ini adalah
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantaan Tindak Pidana
Korupsi yang kemudian diubah dengan Undang-Undang No.21 Tahun 2001,
korupsi juga mendasarkan atas ketentuan-ketentuan lain yang termasuk dan
35Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/5329, tersedia : Januari 2010
27
atau tidak bertentangan dengan undang-undang tersebut. Pertimbangan utama
ditetapkannya undang-undang tersebut adalah bukan karena untuk melindungi
asas yang memisahkan kekuasaan pejabat/penyelenggara negara dengan
kepentingan pribadi pejabatnya36, tetapi karena tindak pidana korupsi sangat
merugikan keuangan negara, perekonomian negara dan menghambat
pembangunan nasional. Selain undang-undang tersebut di atas,
Ciri-ciri Korupsi dalam hal ini sebagai tindak pidana, dijelaskan oleh Shed Husein Alatas37dalam bukunya Sosiologi Korupsi sebagai berikut: - Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. Hal ini tidak sama
dengan kasus pencurian atau penipuan. - Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu
telah merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka yang berada di dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatannya. Namun, walaupun demikian motif korupsi tetap dijaga kerahasiaannya.
- Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik. Kewajiban dan keuntungan tersebut tidak selalu berupa uang.
- Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum.
- Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.
- Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh badan publik atau umum (masyarakat).
- Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.38
3. Pembagian Tindak Pidana Korupsi
Menurut Adami Chazawi dalam bukunya mengatakan: Tindak pidana
korupsi dalam UU No 31 Tahun 1999 jo UU No. 20/2001 dirumuskan dalam
Pasal: 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 12B, 13, 15, 16, 21, 22, 23 (menarik Pasal
220, 231, 421, 422, 429, 430 KUHP), dan 24. Dari pasal-pasal tersebut ada 44 36 Boesono Soedarso, Latar Belakang Sejarah dan Kultural Korupsi di Indonesia, Jakarta: UI-Press, 2009, hlm.177 37 Evi Hartanti, Op Cit, hlm.10 38 Evi Hartati, Op Cit hlm.10
28
rumusan tindak pidana korupsi yang atas dasar-dasar tertentu dapat dibedakan
dan dikelompokkan sebagai berikut:
3.1 Atas Dasar Substansi Objek Tindak Pidana Korupsi
3.1.1 Tindak Pidana Korupsi Murni Tindak pidana korupsi murni adalah tindak pidana korupsi yang
substansi objeknya mengenai hal-hal yang berhubungan dengan perlindungan hukum terhadap kepentingan hukum yang menyangkut keuangan negara, perekonomian negara, dan kelancaran pelaksanaan tugas/pekerjaan pegawai negeri atau pelaksana pekerjaan yang bersifat publik. Atas dasar kepentingan hukum yang dilindungi dalam hal dibentuknya tindak pidan korupsi kelompok ini dapat dibedakan lagi menjadi empat kelompok, yaitu:
a) Tindak pidana korupsi yang dibentuk dengan substansi untuk melindungi kepentingan hukumterhadap keuangan negara dan perekonomian negara, dimuat dalam Pasal 2, 3, dan 4.
b) Tindak pidana korupsi yang dibentuk untuk melindungi kepentingan hukum terhadap kelancaran tugas-tugas dan pekerjaan pegawai negeri atau orang-orang yang pekerjaannya berhubungan dan menyangkut kepentingan umum, dimuat dalam Pasal: 220, 231 KUHP, dan Pasal 5 (mengadopsi dari Pasal 209 KUHP), serta Pasal 6 (mengadopsi dari Pasal 210 KUHP).
c) Tindak pidana korupsi yang dibentuk untuk melindungi kepentingan hukum terhadap keamanan umum bagi barang atau orang atau keselamatan negara dalam keadaan perang dari perbuatan yang bersifat menipu, dirumuskan dalam Pasal 7 yang rumusannya mengadopsi dari rumusan Pasal 387 dan 388 KUHP.
d) Tindak pidana korupsi yang dibentuk untuk melindungi kepentingan hukum mengenai terselenggaranya tugas-tugas publik atau tugas pekerjaan pegawai negeri. Hal ini menyangkut kepentingan umum dari penyalahgunaan kewenangan dan sarana karena pekerjaan atau jabatan yang dimilikinya sebagai pegawai negeri atau berkedudukan dan tugasnya untuk kepentingan umum, antara lain dirumuskan dalam:
- Pasal 8 (mengadopsi Pasal 415 KUHP) - Pasal 9 (mengadopsi Pasal 416 KUHP) - Pasal 10 (mengadopsi Pasal 417 KUHP) - Pasal 11 (mengadopsi Pasal 418 KUHP) - Pasal 12 (mengadopsi Pasal 419 KUHP).
Tindak pidana kelompok ini merupakan kejahatan jabatan, artinya subjek hukumnya pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri (disamakan dengan pegawai negeri) yang menjalankan tugas-
29
tugas pekerjaan yang menyangkut kepentingan publik dengan menyalahgunakan jabatannya.
3.1.2 Tindak Pidana Korupsi Tidak Murni
Tindak pidana korupsi tidak murni ialah tindak pidana yang substansi objeknya mengenai perlindungan hukum terhadap kepentingan hukum bagi kelancaran pelaksanaan tugas-tugas penegak hukum dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Tindak pidan yang dimaksud diatur dalam Pasal 21, 22, dan 24.
3.2 Atas Dasar Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi
3.2.1 Tindak Pidana Korupsi Umum Tindak pidana korupsi umum ialah bentuk-bentuk tindak pidana
korupsi yang ditujukan tidak terbatas kepada orang-orang berkualitas sebagai pegawai negeri, akan tetapi ditujukan kepada setiap orang termasuk korporasi. Tindak pidana korupsi ini dirumuskan dalam pasal-Pasal 2, 3, 5, 6, 7, 13, 15, 16, 21, 22, 24, dan Pasal 220 dan 231 KUHP jo Pasal 23.
3.2.2 Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri dan atau Penyelenggara
Negara Tindak pidana korupsi pegawai negeri atau tindak pidana
korupsi pejabat adalah tindak pidana korupsi yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas sebagai pegawai negeri atau penyelengaara negara. Artinya, tindak pidana yang dirumuskan itu semata-mata dibentuk untuk pegawai negeri atau penyelenggara negara. Orang yang bukan pegawai negeri tidak dapat melakukan tindak pidana korupsi pegawai negerri ini. Di sini kualitas pegawai negeri merupakan unsur essensalia tindak pidana. Rumusan tindak pidana ini terdapat dalam Pasal 8, 9, 10, 11, 12, 12B, dan 23 (mengadopsi Pasal 421, 422, 429, 430 KUHP) UU No. 31 Tahun 1999. Tindak pidana ini termasuk dalam tindak pidana jabatan atau dapat disebut sebagai kejahatan jabatan khusus. Sedangkan kejahatan jabatan umum ditempatkan dalam pasal-pasal Bab XXVIII Buku II KUHP yang tidak ditarik atau dirumuskan ke dalam tindak pidana korupsi.
3.3 Atas Dasar Sumber
3.3.1 Tindak Pidana Korupsi yang Bersumber pada KUHP Tindak pidana korupsi ini dibedakan menjadi dua macam, yaitu: a) Tindak pidana korupsi yang dirumuskan tersendiri dalam
UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No.20 Tahun 2001, rumusan tersebut berasal atau bersumber dari rumusan tindak pidana dalam KUHP, dirumuskan dalam Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12.
30
b) Tindak pidana korupsi yang menunjuk pada pasal-pasal tertentu dalam KUHP dan ditarik menjadi tindak pidana korupsi dengan mengubah ancaman dan sistem pemidanannya. Yang termasuk dalam tindak pidana ini dirumuskandalam Pasal 23 yang merupakan hasil saduran dari Pasal 220, 231, 421, 422, 429, dan 430 menjadi tindak pidana korupsi.
3.3.2 Tindak Pidana yang oleh UU No. 31 Tahun 1999 diubah dengan UU No. 20 Dirumuskan Sendiri sebagai Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana ini merupakan tindak pidana asli yang dibentuk
oleh UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Yang termasuk dalam kelompok ini ialah tindak pidana korupsi sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 2, 3, 12B, 13, 15, 16, 21, 22, dan 24.
3.4 Atas Dasar Tingkah Laku/Perbuatan dalam Rumusan Tindak
Pidana
3.4.1 Tindak Pidana Korupsi Aktif atau Tindak Pidana Korupsi Positif Tindak pidana korupsi ini ialah tindak pidana yang rumusannya
mencantumkan unsur perbuatan aktif atau perbuatan materiil yang bisa disebut juga perbuatan jasmani. Tindak pidana ini terdapat dalam pasal-pasal antara lain:
a) Pasal 2 yang perbuatannya memperkaya (diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi);
b) Pasal 3 yang perbuatannya (a) menyalahgunakan kewenangan; (b) menyalahgunakan kesempatan; dan (c) menyalahgunakan sarana;
c) Pasal 5: - ayat (1) sub a perbuatannya (a) memberi sesuatu; (b)
menjanjikan sesuatu; dan - ayat (1) sub b memberi sesuatu - ayat (2) perbuatannya menerima pemberian;
d) Pasal 6: - ayat (1) sub a dan b perbuatan materiilnya (a) memberi
sesuatu, atau (b) menjanjikan sesuatu - ayat (2) perbuatannya (a) menerima pemberian atau (b)
menerima janji; e) Pasal 7 ayat (1) sub a dan b melakukan perbuatan curang; f) Pasal 8 perbuatannya menggelapkan; g) Pasal 9 perbuatannya memalsu; h) Pasal 10:
- sub a perbuatannya (1) menggelapkan, (2) menghancurkan, dan (3) membuat tidak lagi dipakai
- sub b perbuatannya membantu orang lain;
31
i) Pasal 11 perbuatannya (1) menerima hadiah atau (2) menerima janji;
j) Pasal 12: - sub a, b, c, dan d perbuatannya (a) menerima hadiah atau
(b) menerima janji - sub e perbuatannya (1) memaksa memberikan sesuatu, (2)
memaksa meminta, (3) memaksa membayar dengan potongan
- sub f perbuatannya (1) meminta pembayaran, (2) memerima pembayaran, (3) memotong pembayaran
- sub g perbutannya (1) meminta pekerjaan atau pembayaran, atau (2) menerima pembayaran atau pekerjaan
- sub h perbuatannya menggunakan tanah negara - sub i perbuatannya turut serta dalam pemborongan,
pengadaan, atau persewaan; k) Pasal 12B perbuatannya menerima gratifikasi; l) Pasal 13 perbuatannya (a) menerima hadiah atau (b) menerima
janji; m) Pasal 15 perbuatannya (a) percobaan, (b) pembantuan, dan (c)
permufakatan jahat; n) Pasal 16 perbuatannya memberikan bantuan; o) Pasal 21 perbuatannya (a) mencegah, (b) merintangi, atau (c)
menggagalkan; p) Pasal 22 perbuatannya (a) tidak memberikan keterangan, atau
(b) memberikan keterangan; q) Pasal 220 KUHP perbuatannya (a) memberitahukan, atau (b)
mengadukan; r) Pasal 231 KUHP:
- ayat (1) perbuatannya menarik suatu barang - ayat (2) perbuatannya (a) mengahncurkan, atau (b)
merusak, atau (c) membikin tidak dapat dipakai - ayat (3) perbuatannya melakukan kejahatan
s) Pasal 421 KUHP perbuatannya (a) memaksa untuk melakukan, (b) memaksa untuk tidak melakukan, atau (c) memaksa untuk membiarkan
t) Pasal 422 KUHP perbuatannya menggunakan sarana dengan paksaan;
u) Pasal 429 KUHP: - ayat (1) perbuatannya memaksa masuk - ayat (2) perbuatannya (a) memeriksa atau (b) merampas;
v) Pasal 430 KUHP: - ayat (1) perbuatannya merampas - ayat (2) perbuatannya menyuruh memberikan keterangan.
3.4.2 Tindak Pidana Korupsi Pasif atau Tindak Pidana Korupsi
Negatif
32
Tindak pidana korupsi pasif adalah tindak pidana yang unsur tingkah lakunya dirumuskan secara pasif, dimana tindak pidana pasif ialah tindak pidana yang melarang untuk berbuat aktif (disebut perbuatan pasif). Tindak pidana pasif dibedakan menjadi
a) Tindak pidana pasif murni, yaitu tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau pada dasarnya semata-mata unsur perbuatannya adalah berupa perbuatan pasif. Tindak pidana pasif menurut UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 semuanya adalah berupa tindak pidana pasif murni.
b) Tindak pidana pasif yang tidak murni, adalah tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana aktif, tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat atau tidak melakukan perbuatan aktif. Tindak pidana pasif korupsi terdapat pada pasal-pasal berikut:
a) Pasal 7 ayat (1) sub b, d, dan ayat (2) yang membiarkan perbuatan curang
b) Pasal 10 sub b perbuatannya (a) membiarkan orang lain menghilangka, membiarrkan orang lain menghancurkan, membiarkan orang lain merusakkan atau membiarkan orang lain membuat hingga tidak dapat dipakai
c) Pasal 23 jo 231 KUHP perbuatan pasifnya membiarkan dilakukan salah satu kejahatan itu
d) Pasal 24 perbuatannya tidak memenuhi ketentuan.
3.5 Atas Dasar Dapat-Tidaknya Merugikan Keuangan dan atau Perekonomian Negara
Tindak pidana ini dibedakan menjadi dua, antara lain: (1) tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara dan (2) tindak pidana korupsi yang tidak mensyaratkan dapat menimbulkan kerugian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara. Terjadinya tindak pidana korupsi secara sempurna tidak perlu menunggu timbulnya keuangan negara. Asalkan dapat ditafsirkan menurut akal sehat bahwa suatu perbuatan dapat menimbulkan kerugian bagi negara, maka perbuatan tersebut sudah dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi yang terdapat unsur/syarat merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara yaitu Pasal 2, 3, 15 jo 2 dan 3, dan Pasal 16.
Selain pembagian di atas, Baharudin Lopa juga membagi
Korupsi menurut sifatnya sebagai berikut: - Korupsi yang bermotif terselubung
Yaitu korupsi yang secara sepintas kelihatannya bermotif politik, tetapi secara tersembunyi sesungguhnya bermotif mendapatkan uang semata.
- Korupsi yang bermotif ganda
33
Yaitu seseorang melakukan korupsi secara lahiriah kelihatannya hanya bermotikan mendapatkan uang, tetapi sesungguhnya bermotif lain, yaitu kepentingan politik.39
4. Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001
Tindak pidana pegawai negeri menerima suap yang dimaksud dalam pasal
11 UU No. 20 Tahun 2001 yang rumusan selengkapnya adalah sebagai
berikut:
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji terseut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungannya dengan jabatannya.
C. Pegawai Negeri Sipil
1. Pengertian Pegawai Negeri
Pegawai negeri adalah mereka yang setelah memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan, diangkat, digaji menurut peraturan pemerintah yang berlaku dan
dipekerjakan dalam suatu jabatan negeri oleh pejabat negara atau badan
negara yang berwenang.40
Dalam Tambahan Negara Nomor 2312 diterangkan ada 3 faktor yang menetapkan seseorang pegawai negeri menurut Undang-Undang Pokok Kepegawaian, yaitu: a) Menurut syarat-syarat sebagaimana terperinci dalam pasal 1 ayat (2)
Undang-Undang Kepegawaian (Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1961)
39Ibid, hlm. 9 40Victor M. Situmorang, Op Cit, hlm.18
34
b) Harus diangkat dalam jabatan negeri dan digaji menurut Peraturan Pemerintah yang berlaku
c) Harus diangkat oleh pajabat negara dan badan negara yang berwenang.
A.W. Widjaja berpendapat bahwa, “Pegawai adalah merupakan tenaga
kerja manusia jasmaniah maupun rohaniah (mental dan pikiran) yang
senantiasa dibutuhkan dan oleh karena itu menjadi salah satu modal pokok
dalam usaha kerja sama untuk mencapai tujuan tertentu (organisasi).”Pegawai
adalah orang-orang yang dikerjakan dalam suatu badan tertentu, baik di
lembaga-lembaga pemerintah maupun dalam badan-badan usaha.
Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa pegawai merupakan modal
pokok dalam suatu organisasi, baik itu organisasi pemerintah maupun
organisasi swasta. Dikatakan bahwa pegawai merupakan modal pokok dalam
suatu organisasi karena berhasil tidaknya suatu organisasi dalam mencapai
tujuannya tergantung pada pegawai yang memimpin dalam melaksanakan
tugas-tugas yang ada dalam organisasi tersebut.Pegawai yang telah
memberikan tenaga maupun pikirannya dalam melaksanakan tugas ataupun
pekerjaan, baik itu organisasi pemerintah maupun organisasi swasta akan
mendapat imbalan sebagai balas jasa atas pekerjaan yang telah dikerjakan.
Hal ini sesuai dengan pendapat Musanefyang mengatakan bahwa,
“Pegawai adalah orang-orang yang melakukan pekerjaan dengan mendapat
imbalan jasa berupa gaji dan tunjangan dari pemerintah atau badan swasta.”
Sedangkan definisi pegawai sebagai pekerja atau worker adalah mereka yang
secara langsung digerakkan oleh seorang manajer untuk bertindak sebagai
pelaksana yang akan menyelenggarakan pekerjaan sehingga menghasilkan
35
karya-karya yang diharapkan dalam usaha pencapaian tujuan organisasi yang
telah ditetapkan.
Dari definisi di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pegawai sebagai
tenaga kerja atau yang menyelenggarakan pekerjaan perlu digerakkan
sehingga mereka mempunyai keterampilan dan kemampuan dalam bekerja
yang pada akhirnya akan dapat menghasilkan karya-karya yang bermanfaat
untuk tercapainya tujuan organisasi. Karena tanpa kemampuan dan
keterampilan pegawai sebagai pelaksana pekerjaan maka alat-alat dalam
organisasi tersebut akan merupakan benda mati dan waktu yang dipergunakan
akan terbuang dengan percuma sehingga pekerjaan tidak efektif.
Dari beberapa defenisi pegawai yang telah dikemukakan para ahli tersebut
di atas, dapat disimpulkan bahwa istilah pegawai mengandung pengertian
sebagai berikut:
1. Menjadi anggota suatu usaha kerja sama (organisasi) dengan maksud memperoleh balas jasa atau imbalan kompensasi atas jasa yang telah diberikan.
2. Pegawai di dalam sistem kerja sama yang sifatnya pamrih. 3. Berkedudukan sebagai penerima kerja dan berhadapan dengan pemberi
kerja (majikan). 4. Kedudukan sebagai penerima kerja itu diperoleh setelah melakukan
proses penerimaan. 5. Akan mendapat saat pemberhentian (pemutusan hubungan kerja antara
pemberi kerja dengan penerima kerja).
Pengertian pegawai negeri lebih rinci akan dibahas dari beberapa segi yaitu
antara lain:
1.1.Pengertian Pegawai Negeri dari Sudut Hukum Kepegawaian
Yang dimaksud Undang-Undang Kepegawaian dalam Pasal 1
angka 2 huruf a adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
36
pokok-pokok Kepegawaian yang kemudian diubah dengan Undang-
Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (yang
selanjutnya disebut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 jo Undang-
Undang Nomor 43 Tahun 1999).
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang tersebut ditentukan tentang apa yang dimaksud pegawai negeri.Ada dua pengertian pegawai negeri, menurut Undang-Undang Pokok Kepegawaian No.43 Tahun 1999 Tentang Perubahan UU No.8 Tahun1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yaitu: a. Pegawai negeri adalah unsur aparatur negara, abdi negara, dan abdi
masyarakat yang dengan kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, negara dan pemerintah, menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan.
b. Pegawai negeri adalah mereka yang telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam sesuatu jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainnya yang ditetapkan berdasarkan sesuatu peraturan perundang-undangan dan digaji menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (1) jo ayat (2) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1974 jo Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999,
ditentukan bahwa Pegawai Negeri tersebut terdiri atas:
1. Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Sipil Daerah,
2. Anggota Tentara Nasional Indonesia, dan
3. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
1.2.Pengertian Pegawai Negeri dari Sudut Hukum Pidana
Sebenarnya di dalam KUHP tidak terdapat ketentuan tentang apa yang dimaksud dengan Pegawai Negeri (ambteenar), tetapi hanya terdapat keentuan yang maksudnya memperluas apa yang dimaksud dengan pegawai negeri, yaitu Pasal 92 KUHP yang menentukan:
37
(1) Termasuk ke dalam pegawai negeri adalah juga orag yang terpilih di dalam pemilihan umum yang diadakan berdasarkan peraturan umum, demikian juga semua orang yang menjadi anggota badan pembentuk undang-undang, badan pemerintah atau badan perwakilan yang diadakan oleh atau atas nama pemerintah, selanjutnya juga semua anggota seluruh Dewan Pengairan dan semua pemimpin orang-orang pribumi serta pemimpin orang-orang Timur Asing yang secara sah melaksanakan kekuasaan dan yang tidak dipilih di dalam suatu pemilihan.
(2) Termasuk ke dalam pengertian Pegawai Negeri dan hakim adalah juga mereka yang melaksanakan kekuasaan hukum administratif dan ketua serta anggota-anggota dari dewan-dewan agama.
(3) Semua orang yang termasuk di dalam Angkatan Bersenjata dianggap sebagai Pegawai Negeri.41
1.3. Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999
Dalam Pasal 1 angka 2, pegawai negeri terdiri dari:
a. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara, atau
b. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan daerah.
Yang dimaksud ”keuangan negara” atau “keuangan daerah” dalam
Pasal 1 angka 2 huruf c berkaitan dengan pembayaran gaji atu upah
yang harus diberikan kepadasi penerima - yang kemudian menjadi
tersangka atau terdakwa dalam perkara tindak pidana korupsi - maka
apa yang dimaksud dengan “keuangan negara” atau “keuangan daerah”
tersebut berkaitan dengan asal dana atau anggaran darimana gaji atu
upah tersebut berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Dengan mengikuti penafsiran Pasal 1 angka 2 huruf c di atas, Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf d terdiri dari:
41 P.A.F. Lamintang, Hukum Pidana Indonesia, Cet.III, (Bandung: sinar Baru, 1990) hlm. 82
38
a. Orang yang menerima gaji atu upah dari suattu korporasi yang menerima bantuan keuangan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
b. Orang yang menerima gaji atu upah dari suatu krporasi yang menerima bantuan keuangan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Sedangkan ketentuan dalam Pasal 1 angka 2 huruf e bahwa yang
dimaksud dengan Pegawai Negeri meliputi: a. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang
mempergunakan modal atau fasilitas negara. b. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang
mempergunakan modal atau fasilitas dari masyarakat.
2. Kedudukan dan Tugas Pegawai Negeri Sipil
Kelancaran penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan
nasional sangat tergantung pada kesempurnaan aparatur negara khususnya
pegawai negeri. Karena itu, dalam rangka mencapai tujuan pembangunan
nasional yakni mewujudkan masyarakat madani yang taat hukum,
berperadaban modern, demokratis, makmur, adil dan bermoral tinggi,
diperlukan pegawai negeri yang merupakan unsur aparatur negara yang
bertugas sebagai abdi masyarakat yang harus menyelenggarakan pelayanan
secara adil dan merata kepada masyarakat dengan dilandasi kesetiaan, dan
ketaatan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Disamping itu
dalam pelaksanaan desentralisasi kewenangan pemerintahan kepada daerah,
pegawai negeri berkewajiban untuk tetap menjaga persatuan dan kesatuan
bangsa dan harus melaksanakan tugasnya secara profesional dan bertanggung
jawab dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan, serta
bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
39
Berdasarkan Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43
Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974
Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dijelaskan pegawai negeri berkedudukan
sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam
penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan dan pembangunan.
3. Kewajiban Pegawai Negeri Sipil
Kewajiban PNS adalah segala sesuatu yang wajib dikerjakan atau boleh
dilakukan oleh setiap PNS berdasarkan sesuatu peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Adapun kewajiban-kewajiban PNS tersebut dapat
dirinci sebagai berikut:
1. Kewajiban yang berhubungan dengan tugas di dalam jabatan;
Kewajiban ini terkait dengan tugas pokok dan fungsi unit kerja
masing-masing PNS.
2. Kewajiban yang berhubungan dengan kedudukan PNS pada
umumnya; Kewajiban ini terkait dengan kedudukan PNS sebagai
unsur aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat. Dapat dirinci
sebagai berikut:
a. Kewajiban yang ditetapkan dalam UU No.8 tahun 1974; b. Kewajiban menurut Peraturan Disiplin Pegawai; c. Kewajiban menurut Peraturan Tentang Izin Perkawinan dan
Perceraian bagi PNS; d. Kewajiban mentaati jam kerja kantor dan pemberitahuan jika
tidak masuk kerja; e. Kewajiban menjaga keamanan negara dan menyimpan surat-surat
rahasia;
40
f. Kewajiban mentaati ketentuan tentang pola hidup sederhana dan larangan penerimaan pemberian hadiah;
g. Kewajiban sebagai anggota KORPRI; h. Kewajiban mentaati larangan bekerja dalam lapangan swasta dan
usaha-usaha/kegiatan-kegiatan yang wajib mendapat ijin; i. Kewajiban mentaati larangan menurut kitab UU hukum pidana; j. Kewajiban mentaati peraturan tentang larangan korupsi; k. Kewajiban mentaati peraturan tentang larangan mengerjakan judi; l. Kewajiban mentaati peraturan tentang keanggotaan partai polotik;
3. Kewajiban PNS yang tidak berhubungan dengan tugas dalam jabatan
dan tidak berhubungan dengan kedudukan sebagai PNS pada
umumnya.Kewajiban ini terkait dengan pasal 5, 28 dan 29 UU No.8
tahun 1974.
Kewajiban lain bagi PNS adalah mengenai Disiplin PNS untuk membina
PNS yang demikian itu, antara lain diperlukan adanya Peraturan Disiplin
yang memuat pokok-pokok kewajiban, larangan, dan sanksi apabila
kewajiban tidak ditaati atau larangan dilanggar.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 telah diatur dengan
jelas kewajiban yang harus ditaati dan larangan yang tidak boleh dilanggar
oleh setiap PNS yang melakukan pelanggaran disiplin. Selain daripada itu
dalam Peraturan Pemerintah itu diatur pula tentang tatacara pemeriksaan,
tatacara penjatuhan dan penyampaian hukuman disiplin, serta tatacara
pengajuan keberatan apabila PNS yang dijatuhi hukuman disiplin itu merasa
keberatan atas hukuman disiplin yang dijatuhkan kepadanya.
Tujuan hukuman disiplin adalah untuk memperbaiki dan mendidik PNS
yang melakukan pelanggaran disiplin. Oleh sebab itu setiap pejabat yang
41
berwenang menghukum wajib memeriksa lebih dahulu dengan seksama PNS
yang melakukan pelanggaran itu.
Kewajiban yang harus ditaati oleh setiap PNS adalah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980, yaitu
setiap PNS wajib:
1. Setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah;
2. Mengutamakan kepentingan Negara di atas kepentingan golongan atau diri sendiri, serta menghindarkan segala sesuatu yang dapat mendesak kepentingan Negara oleh kepentingan golongan, diri sendiri, atau pihak lain;
3. Menjunjung tinggi kehormatan dan martabat Negara, Pemerintah dan Pegawai Negeri Sipil;
4. Mengangkat dan mentaati sumpah/janji Pegawai Negeri Sipil dan sumpah janji jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
5. Menyimpan rahasia Negara dan atau rahasia jabatan dengan sebaik-baiknya;
6. Memperhatikan dan melaksanakan segala ketentuan Pemerintah baik langsung menyangkut tugas kedinasannya maupun yang berlaku secara umum;
7. Melaksanakan tugas kedinasan dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh pengabdian, kesadaran dan tanggungjawab;
8. Bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan Negara;
9. Memelihara dan meningkatkan keutuhan, kekompakan, persatuan, dan kesatuan Korps Pegawai Negeri Sipil;
10. Segera melaporkan kepada atasannya, apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan Negara, Pemerintah, terutama di bidang keamanan, keuangan, dan materiil;
11. Mentaati ketentuan jam kerja; 12. Menciptakan dan memelihara suasana kerja yang baik; 13. Menggunakan dan memelihara barang-barang milik Negara dengan
sebaik-baiknya; 14. Memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat
menurut bidang tugasnya masing-masing; 15. Bertindak dan bersikap tegas, tetapi adil dan bijaksana terhadap
bawahannya; 16. Membimbing bawahannya dalam melaksanakan tugasnya; 17. Menjadi dan memberikan contoh serta teladan yang baik terhadap
bawahannya; 18. Mendorong bawahannya untuk meningkatkan prestasi kerjanya;
42
19. Memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan kariernya;
20. Mentaati ketentuan peraturan perundang-undangan tentang perpajakan; 21. Berpakaian rapih dan sopan serta bersikap dan bertingkah laku sopan
santun terhadap masyarakat, sesama Pegawai Negeri Sipil, dan terhadap atasan;
22. Hormat menghormati antara sesama warganegara yang memeluk agama/kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang berlainan;
23. Menjadi teladan sebagai warganegara yang baik dalam masyarakat; 24. Mentaati segala peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan
yang berlaku; 25. Mentaati perintah kedinasan dari atasan yang berwenang; 26. Memperhatikan dan menyelesaikan dengan sebaik-baiknya setiap laporan
yang diterima mengenai pelanggaran disiplin.
Larangan yang tidak boleh dilanggar oleh setiap Pegawai Negeri Sipil,
adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 30
Tahun 1980, yaitu setiap PNS dilarang:
1. Melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan atau martabat Negara, Pemerintah, atau PNS;
2. Menyalahgunakan wewenangnya; 3. Tanpa izin Pemerintah menjadi Pegawai atau bekerja untuk negara asing; 4. Menyalahgunakan barang-barang, uang atau surat-surat berharga milik
Negara; 5. Memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau
meminjamkan barang-barang, dokumen, atau surat-surat berharga milik Negara secara tidak sah;
6. Melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan Negara;
7. Melakukan tindakan yang bersifat negatif dengan maksud membalas dendam terhadap bawahannya atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya;
8. Menerima hadiah atau sesuatu pemberian berupa apa saja dari siapapun juga yang diketahui atau patut dapat diduga bahwa pemberian itu bersangkutan atau mungkin bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan PNS yang bersangkutan;
9. Memasuki tempat-tempat yang dapat mencemarkan kehormatan atau martabat PNS, kecuali untuk kepentingan jabatan;
10. Bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya;
43
11. Melakukan suatu tindakan atau sengaja tidak melakukan suatu tindakan yang dapat berakibat menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayaninya sehingga mengakibatkan kerugian bagi pihak yang dilayani;
12. Menghalangi berjalannya tugas kedinasan; 13. Membocorkan dan atau memanfaatkan rahasia Negara yang diketahui
karena kedudukan jabatan untuk kepentingan pribadi, golongan, atau pihak lain;
14. Bertindak selaku perantara bagi suatu pengusaha atau golongan untuk mendapat pekerjaan atau pesanan dari kantor/instansi Pemerintah;
15. Memiliki saham/modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaannya;
16. Memiliki saham suatu perusahaan yang kegiatan usahanya tidak berada dalam ruang lingkup kekuasaannya yang jumlah dan sifat pemilikan itu sedemikian rupa sehingga melalui pemilikan sahan tersebut dapat langsung atau tidak langsung menentukan penyelenggaraan atau penyelenggaraan atau jalannya perusahaan;
17. Melakukan kegiatan usaha dagang baik secara resmi, maupun sambilan, menjadi direksi, pimpinan atau komisaris perusahaan swasta bagi yang berpangkat Pembina golongan ruang IV/a ke atas atau yang memangku jabatan eselon I;
18. Melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apapun juga dalam melaksanakan tugasnya untuk kepentingan pribadi, golongan atau pihak lain.
Setiap ucapan, tulisan, atau perbuatan PNS yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Pemerintah
Nomor 30 Tahun 1980, adalah pelanggaran disiplin. Termasuk pelanggaran
disiplin adalah setiap perbuatan memperbanyak, mengedarkan,
mempertotonkan, menempelkan, menawarkan, menyimpan, memiliki tulisan
atau rekaman yang berisi anjuran atau hasutan untuk melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Pemerintah
Nomor 30 Tahun 1980, kecuali hal itu dilakukan untuk kepentingan dinas.
44
Tingkat hukuman disiplin: 42 a. Hukuman disiplin ringan, terdiri dari:
- Teguran lisan - Teguran tertulis - Pernyataan tidak puas secara tertulis
b. Hukuman disiplin sedang, terdiri dari: - Penundaan kenaikan gaji berkala untuk paling lama 1 tahun - Penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala untuk
paling lama 1 tahun - Penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 1 tahun
c. Hukuman disiplin berat - Penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah
untuk paling lama 1 tahun - Pembebasan dari jabatan - Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri
sebagai PNS - Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS
4. Hak-hak Pegawai Negeri Sipil43
Hak-hak PNS adalah sesuatu yang diterima oleh PNS dengan persyaratan-persyaratan tertentu yang harus dipenuhi, antara lain:
1. Gaji; a. Gaji PNS; b. Perhitungan masa kerja; c. Kenaikan gaji pokok; d. Tunjangan.
2. Kenaikan Pangkat; 3. Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan; 4. Cuti; 5. Tunjangan cacat dan uang duka; 6. Kesejahteraan; 7. Pensiun.
Hak-hak lain bagi PNS dapat disebutkan pula antara lain: 44
1. Setiap Pegawai Negeri Sipil berhak memperoleh gaji yang layak sesuai dengan pekerjaan dan tanggung jawabnya. Pada dasarnya setiap Pegawai Negeri Sipil beserta keluarganya harus dapat hidup layak dari gajinya, sehingga dengan demikian ia adapat memusatkan perhatian
42http://www.inkepeg.net/infkepeg.php?id=4 DIAKSES 29 MARET 2013
43 Ibid 44 (http://bkd.balikpapan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=54&Itemid=64 diakses 29 Maret 2013 )
45
dan kegiatannya untuk melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya.
2. Setiap Pegawai Negeri Sipil berhak atas cuti. Yang dimaksud dengan cuti adalah tidak masuk kerja yang diizinkan dalam jangka waktu tertentu.
3. Setiap Pegawai Negeri Sipil yang ditimpa oleh sesuatu kecelakaan dalam dan karena menjalankan tugas kewajibannya, berhak memperoleh perawatan.
4. Setiap Pegawai Negeri Sipil yang tewas, keluarganya berhak memperoleh uang duka dan yang dimaksud dengan tewas adalah : o Meninggal dunia dalam dan karena menjalankan tugas dan
kewajibannya. o Meninggal dunia dalam keadaan lain ada hubungannya dengan
dinasnya, sehingga kematian itu disamakan dengan meninggal dunia dalam dan karena menjalankan tugas dan kewajibannya.
o Meninggal dunia yang langsung diakibatkan oleh luka atau cacat jasmani atau rohani yang didapat dan karena menjalankan tugas kewajibannya.
o Meninggal dunia karena perbuatan anasir yang tidak bertanggung jawab ataupun sebagai akibat tindakan anasir itu. Kepada istri/suami dan atau anak Pegawai Negeri Sipil yang tewas akan diberikan uang duka.
o Setiap Pegawai Negeri Sipil yang telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, berhak atas pensiun. Pensiun adalah jaminan hari tua dan sebagai balas jasa terhadap setiap Pegawai Negeri Sipil yang bertahun tahun mengabdikan dirinya kepada Negara.
5. Pengangkatan Menjadi Pegawai Negeri Sipil
Setiap warga negara yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan
mempunyai kesempatan yang sama untuk melamar menjadi PNS dan para
pelamar yang diterima harus melalui masa percobaan dengan status Calon
Pegawai Negeri Sipil (CPNS). CPNS diangkat menjadi PNS setelah melalui
masa percobaan sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan selama-lamanya 2
(dua) tahun.45
Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah seseorang yang telah memenuhi
syarat-syarat yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan
45 Ibid
46
yang berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam
suatu Jabatan Negeri atau diserahi tugas lainnya yang ditetapkan berdasarkan
peraturan perundang-undangan dan digaji menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
CPNS yang telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan diangkat menjadi PNS dalam pangkat tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Syarat-syarat CPNS dapat diangkat menjadi PNS adalah sebagai berikut:46 1. Telah menunjukan kesetiaan dan ketaatan penuh kepada Pancasila, UUD
1945, Negara dan Pemerintah; 2. Telah menunjukan sikap dan budi pekerti yang baik; 3. Telah menunjukan kecakapan dalam melakukan tugas; 4. Telah mengikuti Diklat Prajabatan; 5. Telah memenuhi syarat-syarat kesehatan jasmani dan rohani untuk
diangkat menjadi PNS.
6. Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil
Pemberhentian terdiri atas :47 1. pemberhentian sebagai Pegawai Negeri Sipil dan 2. pemberhentian dari jabatan negeri.
Pemberhentian sebagai Pegawai Negeri Sipil adalah pemberhentian yang
menyebabkan yang bersangkutan tidak lagi berkedudukan sebagai Pegawai
Negeri Sipil.Pemberhentian dari jabatan negeri adalah pemberhentian yang
menyebabkan yang bersangkutan tidak lagi bekerja pada suatu satuan
organisasi Negara, tetapi masih berkedudukan sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Jenis-Jenis Pemberhentian Sebagai Pegawai Negeri Sipil. Pemberhentian
sebagai Pegawai Negeri Sipil terdiri atas pemberhentian dengan hormat
sebagai Pegawai Pegawai Negeri Sipil dan pemberhentian tidak dengan
46 Ibid
47(http://www.bkn.go.id/in/peraturan/pedoman/pedoman-berhenti-pns.html 29 Maret 2013 )
47
hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.Pegawai Negeri Sipil yang
diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil menerima hak-
hak kepegawaiannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku antara lain hak atas pensiun. Pegawai Negeri Sipil yang diberhentikan
tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil, kehilangan hak-hak
kepegawaiannya antara lain pensiun.
Pemberhentian Dengan Hormat Sebagai Pegawai Negeri Sipil
Pemberhentian dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil meliputi:48
a. meninggal dunia;
b. atas permintaan sendiri.
Pada prinsipnya Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan permintaan
berhenti, dapat diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri
Sipil. Permintaan berhenti tersebut dapat ditunda untuk paling lama 1
tahun, apabila kepentingan dinas yang mendesak. Permintaan berhenti
dapat ditolak apabila Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan masih
terikat dalam keharusan bekerja pada Pemerintah berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, atau masih ada sesuatu hal yang
harus dipertanggungjawabkan.
c. batas usia pensiun
Batas Usia Pensiun (BUP) Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada dasarnya telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian PNS, yaitu 56 (lima puluh enam) tahun. Dan PP Nomor 32 Tahun 1979 ini telah dua kali mengalami perubahan yaitu
48 Ibid
48
dengan PP Nomor 1 Tahun 1994 dan PP Nomor 65 Tahun 2008. Perpanjangan usia pensiunan sendiri terbagi menjadi tiga bagian yakni:49 1. Perpanjangan batas usia pensiun sampai 65 tahun untuk PNS yang
memangku jabatan peneliti madya dan peneliti utama dengan tugasnya secara penuh di bidang penelitian atau jabatan lain yang ditentukan oleh Presiden. Kemudian perpanjangan batas usia pensiun bagi PNS yang memangku jabatan struktural Eselon I tertentu pada saat sampai dengan 62 (enam puluh dua) tahun, memperhatikan dengan tegas persyaratan sebagai berikut: o Memiliki keahlian dan pengalaman yang sangat dibutuhkan
organisasi; o Memiliki kinerja yang baik; o Memiliki moral dan integritas yang baik dan; o Sehat jasmanl dan rohani yang dibuktikan oleh keterangan
dokter. o Ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas usul Pimpinan
Instansi/lembaga setelah mendapat pertimbangan dari Tim Penilai Akhir Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Jabatan Struktural Eselon 1.
2. Usia pensiun sampai 60 tahun untuk PNS yang memangku golongan struktural eselon I dan II serta jabatan dokter yang ditugaskan secara penuh pada unit pelayanan kesehatan negeri dan jabatan pengawas sekolah menengah atas atau jabatan lain yang ditentukan oleh Presiden.
3. Usia pensiun 58 tahun untuk PNS yang menjadi hakim pada Mahkamah Pelayaran dan jabatan lain yang ditentukan Presiden.
Sesuai dengan PP Nomor 32 Tahun 1979, BUP dapat diperpanjang bagi PNS yang memangku jabatan tertentu. Jabatan-jabatan tertentu yang diduduki PNS yang dapat diperpanjang BUP-nya ada yang diatur dalam PP Nomor 32 Tahun 1979 dan ada diatur dalam Keputusan Presiden/Peraturan Presiden.Perpanjangan BUP bagi PNS yang telah diatur dalam PP Nomor 32 Tahun 1979, antara lain :50 1. 65 (enam puluh lima) tahun bagi PNS yang memangku jabatan Ahli
Peneliti dan Peneliti; 2. 60 (enam puluh) tahun bagi PNS yang memangku jabatan :
Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pejabat Struktural Eselon I, Pejabat Struktural Eselon II, Dokter yang ditugaskan secara penuh pada Lembaga Kedokteran Negeri sesuai profesinya.
Perpanjangan BUP bagi PNS yang telah diatur dalam Keputusan Presiden/Peraturan Presiden, antara lain:51
49 Ibid 50 Ibid 51 Ibid
49
1. 65 (enam puluh lima) tahun bagi PNS yang menduduki jabatan fungsional Pustakawan Utama; Widyaiswara Utama; Pranata Nuklir Utama; Pengawas Radiasi Utama;
2. 60 (enam puluh) tahun bagi PNS yang menduduki jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak (jenjang tertentu); Penilai Pajak Bumi dan Bangunan (jenjang tertentu);Penyuluh Pertanian (jenjang tertentu); Sandiman (jenjang tertentu); Penyelidik Bumi Utama dan Madya.
Selain diatur dalam PP dan Keputusan Presiden / Peraturan Presiden, juga terdapat pengaturan BUP PNS yang diatur dalam Undang-Undang, antara lain:52
1. 65 (enam puluh lima) tahun bagi PNS yang menduduki jabatan: Dosen, sedangkan bagi Profesor yang berprestasi dapat
diperpanjang sampai dengan 70 (tujuh puluh) tahun (UU Nomor 14 Tahun 2005);
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Tingkat Banding di lingkungan Peradilan Umum,PTUN, dan Agama (UU Nomor 8 Tahun 2004, UU Nomor 9 Tahun 2004, dan UU Nomor 3 Tahun 2006).
2. 62 (enam puluhdua) tahun bagi PNS yang menduduki jabatan: Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Tingkat Pertama di lingkungan
Peradilan Umum,PTUN, dan Agama (UU Nomor 8 Tahun 2004, UU Nomor 9 Tahun 2004, dan UU Nomor 3Tahun2006);
Jaksa(UU Nomor 16 Tahun 2004). 3. 60 (enam puluh) tahun bagi PNS yang menduduki jabatan Guru (UU
Nomor 14 Tahun 2005)
Dengan PP Nomor 65 Tahun 2008, maka bagi PNS yang menduduki jabatan struktural eselon I tertentu, BUP dapat diperpanjang sampai dengan 62 (enam puluh dua) tahun. Adapun perpanjangan sebagaimana dimaksud dilaksanakan dengan persyaratan sebagaimana yang telah di sebutkan di atas. Dan Perpanjangan BUP sampai dengan 62 (enam puluh dua) tahun ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas usul Pimpinan Instansi/Lembaga setelah mendapat pertimbangan dari Tim Penilai Akhir Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian dalam dan dari Jabatan Struktural Eselon I.
Perpanjangan BUP sampai dengan 62 (enam puluh dua) tahun dilakukan secara selektif bagi PNS yang menduduki jabatan struktural eselon I yang sangat strategis. Dengan demikian, tidak semua PNS yang menduduki jabatan struktural eselon I dapat diperpanjang BUP-nya sampai dengan 62 (enam puluh dua) tahun.
d. Adanya Penyederhanaan Organisasi
52 Ibid
50
Perubahan satuan organisasi negara adakalanya mengakibatkan
kelebihan pegawai. Apabila terjadi hal yang sedemikian maka Pegawai
Negeri Sipil yang kelebihan itu disalurkan pada satuan organisasi negara
lainnya. Kalau penyaluran dimaksud tidak mungkin dilaksanakan, maka
Pegawai Negeri Sipil yang kelebihan itu diberhentikan dengan hormat
sebagai Pegawai Negeri Sipil atau dari jabatan negeri dengan mendapat
hak-hak kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
e. Pemberhentian Karena Tidak Cakap Jasmani Dan Rohani Berdasarkan
peraturan undang-undangan yang berlakuyang dinyatakan dengan surat
Keterangan Tim Penguji Kesehatan dinyatakan:
1. Tidak dapat berkerja lagi dalam semua Jabatan Negeri karena
kesehatannya.
2. Menderita penyakit atau kelainan yan berbahaya bagi diri sendiri
atau lingkungan kerjanya.
Pegawai Negeri Sipil Dapat Diberhentikan Dengan Hormat Atau Tidak Hormat karena :53
a. Melanggar Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil dan Sumpah/Janji Jabatan Selain Pelanggaran sumpah/janji Pegawai Negeri Sipil dan sumpah/janji jabatan karena tidak setia kepada Pancasila, UUD 1945, Negara dan Pemerintah; atau
b. Dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan yang ancaman hukumannya kurang dari 4 (empat) tahun.
Pegawai Negeri Sipil Dapat Diberhentikan Dengan Hormat Tidak Atas Permintaan Sendiri Atau Tidak Dengan Hormat karena :54
53 Ibid
51
1. Dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan yang ancaman hukumannya 4 tahun atau lebih; atau
2. Melakukan pelanggaran disiplin tingkat berat.
Pegawai Negeri Sipil Diberhentikan Tidak Dengan Hormat karena :55
1. Melanggar sumpah/janji Pegawai Negeri Sipil dan sumpah/janji jabatan karena tidak setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah;
2. Melakukan penyelewengan terhadap Ideologi Negara, Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 atau terlibat dalam kegiatan yang menentang Negara dan Pemerintah; atau
3. Dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan.
4. Pemberhentian Karena Meninggalkan Tugasnya secara tidak sah dalam waktu 2 bulan terus menerus dihentikan pembayaran gajinya mulai bulan ketiga. Apabila dalam waktu kurang dari 6 bulan melaporkan diri kepada pimpinan instansinya, maka ia dapat ditugaskan kembali jika ada alasan-alasan yang dapat diterima atau diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil apabila ketidakhadirannya itu adalah karena kelalaian sendiri, dan menurut pendapat pejabat yang berwenang akan mengganggu suasana kerja jika ia ditugaskan kembali.
5. Pegawai Negeri Sipil yang meninggalkan tugas secara tidak sah terus menerus selama 6 bulan diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil. Pemberhentian tersebut ditetapkan berlaku mulai tanggal penghentian pembayaran gajinya dan gaji selama 2 bulan sejak ia tidak masuk bekerja diberikan kepadanya Pemberhentian Karena Meninggal Dunia Atau Hilang.
6. Pegawai Negeri Sipil yang meninggal dunia dengan sendirinya dianggap diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil. Untuk kelengkapan tata usaha kepegawaian maka pimpinan instansi yang bersangkutan serendah-rendahnya Kepala Sub Bagian atau pejabat lain yang setingkat dengan itu membuat surat keterangan meninggal dunia. Pegawai Negeri Sipil yang hilang dianggap telah meninggal dunia pada akhir bulan ke-12 sejak ia dinyatakan hilang. Berdasarkan berita acara atau surat keterangan dari pejabat yang berwajib, maka pejabat yang berwenang membuat surat pernyataan hilang. Surat pernyataan hilang dibuat selambat-lambatnya pada akhir bulan kedua sejak yang bersangkutan hilang. Pejabat yang membuat adalah Menteri, Jaksa Agung, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Pimpinan
54 Ibid 55 Ibid
52
Lembaga Pemerintah Non Departemen, Gubernur, Bupati/Walikota atau pejabat lain yang ditunjuk.
Pegawai Negeri Sipil yang telah dinyatakan hilang, yang sebelum melewati masa 12 bulan diketemukan kembali dan masih hidup dan sehat, dipekerjakan kembali sebagai Pegawai Negeri Sipil. Pegawai Negeri Sipil yang telah dinyatakan hilang yang belum melewati masa 12 bulan diketemukan kembali, tetapi cacat diperlakukan sebagai berikut:56
a. Diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil dengan hak pensiun apabila ia telah memiliki masa kerja sekurang-kurangnya 4 tahun, tetapi apabila ia belum memiliki masa kerja sekurang-kurangnya 4 tahun maka ia diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil tanpa hak pensiun.
b. Apabila hilangnya dan cacatnya itu disebabkan dalam dan oleh karena ia menjalankan kewajiban jabatannya, maka ia diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil dengan hak pensiun tanpa memandang masa kerja.
Pegawai Negeri Sipil yang telah dinyatakan hilang diketemukan kembali setelah melewati masa 12 bulan diperlakukan sebagai berikut:57
1. Apabila ia masih sehat, dipekerjakan kembali; 2. Apabila tidak dapat bekerja lagi, dalam semua jabatan Negeri berdasarkan
surat keterangan Tim Penguji Kesehatan, diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil dengan mendapat hak-hak kepegawaian sesuai dengan peraturaan perundang-undangan yang berlaku.
Catatan: Hilang adalah suatu keadaan bahwa seseorang di luar kemauan dan kemampuannya tidak diketahui tempatnya berada dan tidak diketahui apakah ia masih hidup atau telah meninggal dunia.
Pemberhentian Karena Sebab-Sebab Lain:58
a. Pegawai Negeri Sipil yang tidak melaporkan diri kepada pimpinan instansi induknya 6 bulan setelah habis menjalankan cuti di luar tanggungan negara, diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
b. Pegawai Negeri Sipil yang terlambat melaporkan diri kembali kepada instansi induknya setelah habis menjalankan cuti di luar tanggungan negara diperlakukan sebagai berikut:
1. Apabila keterlambatan melaporkan diri itu kurang dari 6 bulan maka Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan dapat dipekerjakan
56 Ibid 57 Ibid 58 Ibid
53
kembali apabila alasan-alasan tentang keterlambatan melaporkan diri itu dapat diterima oleh pejabat yang berwenang dan ada lowongan dan setelah ada persetujuan Kepala BKN.
2. Apabila keterlambatan melaporkan diri itu kurang dari 6 bulan tetapi alasan-alasan tentang keterlambatan melaporkan diri itu tidak dapat diterima oleh pejabat yang berwenang maka Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan diberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil.
3. Apabila keterlambatan melaporkan diri itu lebih dari 6 bulan maka Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan harus diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Pemberhentian Karena Pegawai Negeri Sipil Menjadi Anggota/Pengurus Partai Politik Dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 dinyatakan bahwa Pegawai Negeri dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. Pegawai Negeri Sipil yang akan menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik wajib mengundurkan diri sebagai Pegawai Negeri Sipil, yang diajukan secara tertulis kepada Pejabat Pembina Kepegawaian dan tembusannya disampaikan kepada:59
1. Atasan langsung Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan, serendah-rendahnya pejabat struktural eselon IV;
2. Pejabat yang bertanggung jawab di bidang kepegawaian instansi yang bersangkutan;
3. Pejabat yang bertanggung jawab di bidang keuangan yang bersangkutan.
Pegawai Negeri Sipil yang mengundurkan diri tersebut diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil. Pemberhentiannya terhitung mulai akhir bulan yang bersangkutan mengajukan pengunduran diri. Pegawai Negeri Sipil yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik tanpa mengundurkan diri sebagai Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Pegawai Negeri Sipil yang mengundurkan diri yang ditangguhkan pemberhentiannya, tetapi tetap menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik diberhentikan tidak dengan hormat. Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil sebagaimana tersebut di atas berlaku terhitung mulai akhir bulan yang bersangkutan menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.
Pemberhentian Sementara
Untuk kepentingan peradilan seorang Pegawai Negeri yang didakwa telah melakukan suatu kejahatan/pelanggaran jabatan dan berhubung dengan itu
59 Ibid
54
oleh pihak yang berwajib dikenakan tahanan sementara,60 mulai saat penahanannya harus dikenakan pemberhentian sementara. Seorang Pegawai Negeri yang oleh pihak berwajib dikenakan tahanan sementara karena didakwa telah melakukan suatu pelanggaran hukum pidana yang tidak menyangkut pada jabatannya dalam hal pelanggaran yang dilakukan itu berakibat hilangnya penghargaan dan kepercayaan atas diri pegawai yang bersangkutan atau hilangnya martabat serta wibawa pegawai itu.
Tujuan pemberhentian sementara terutama untuk mengamankan kepentingan peradilan dan juga untuk kepentingan jawatan (instansi). Selama pemberhentian sementara kepada Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan diberikan penghasilan sebagai berikut:61
a. Jika ada petunjuk-petunjuk yang cukup meyakinkan bahwa yang bersangkutan telah melakukan pelanggaran yang didakwakan atas dirinya, mulai bulan berikutnya ia diberhentikan diberikan bagian gaji sebesar 50% dari gaji pokok yang diterimanya terakhir;
b. Jika belum terdapat petunjuk-petunjuk yang jelas tentang telah dilakukannya pelanggaran yang didakwakan atas dirinya mulai bulan berikutnya ia diberhentikan diberikan bagian gaji sebesar 75 % dari gaji pokok yang diterimanya terakhir.
Jika sesudah pemeriksaan oleh pihak yang berwajib pemberhentian sementara ternyata tidak bersalah maka pegawai itu harus segera diangkat dan dipekerjakan kembali pada jabatannya semula, dalam hal yang demikian selama masa diberhentikan untuk sementara ia berhak mendapat gaji penuh serta penghasilan-penghasilan lain yang berhubungan dengan t unjangan istri dan jabatannya. Jika sesudah pemeriksaan pegawai yang bersangkutan ternyata bersalah maka:62
a. Terhadap pegawai yang dikenakan pemberhentian sementara tersebut harus diambil tindakan pemberhentian sedangkan bagian gaji berikut tunjangan-tunjangan yang telah dibayarkan kepadanya tidak dipungut kembali.
b. Terhadap pegawai yang dikenakan pemberhentian sementara tersebut jika perlu diambil tindakan harus diambil tindakan sesuai dengan pertimbangan/keputusan Hakim .
Jika berdasarkan keputusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dinyatakan tidak bersalah maka Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan harus direhabilitasikan terhitung mulai saat diberhentikan sementara dan gaji dibayarkan penuh. Jika ternyata yang bersangkutan
60 Ibid 61 Ibid 62 Ibid
55
dinyatakan bersalah, diberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil dengan tidak hormat. Pegawai Negeri Sipil yang dikenakan pemberhentian sementara:
a. Pada saat ia mencapai batas usia pensiun diberhentikan pembayaran bagian gajinya;
b. Apabila kemudian ia tidak bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil dengan mendapat hak-hak kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku terhitung sejak akhir bulan dicapainya batas usia pensiun.
c. Jika ternyata tindak pidana yang dilakukan tersebut diancam hukuman penjara kurang dari 4 tahun dan ada hal-hal yang meringankan maka yang bersangkutan dapat diaktifkan kembali sebagai Pegawai Negeri Sipil, namun tidak tertutup kemungkinan yang bersangkutan dijatuhi hukuman disiplin atau tindakan administratif lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
D. Pertanggungjawaban dan Penjatuhan Pidana pada Perkara Tindak Pidana Korupsi 1. Pertanggung Jawaban Pidana pada Perkara Tindak Pidana Korupsi
Teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi dalam tiga kelompok
teori, yaitu:
1. Teori Absolut atau teori pembalasan (retributive/vergelding theorieen)
2. Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorieeen)
3. Teori gabungan (verenigingstheorieen)
Dalam perkembangan pidana dan pemidanaan pada aliran modern, sistem pemidanaan mulai berorientasi pada pelaku dan perbuatan (daad-dader straafrecht) jenis sanksi yang diterapkan bukan hanya sanksi pidana tetapi juga meliputi sanksi tindakan. Pengakuan terhadap kesetaraan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan inilah yang merupakan hakekat asasi atau ide dasar konsep double track system. Double track system63 adalah sistem dua jalur tentang sanksi dalam hukum pidana, yaitu jenis sanksi pidana di satu pihak dan jenis sanksi tindakan di pihak lain. Sanksi pidana bersumber pada ide dasar mengapa diadakan pemidanaan, sedangkan
63 Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, hlm.17
56
sanksi tindakan bersumber pada ide dasar “untuk apa diadakan pemidaan itu”. Sehingga sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut.Fokus sanksi pidana ditujukan pada perbuatan salah yang telah dilakukan seseorang melalui pengenaan penderitaan agar pelakunya menjadi jera, adapun fokus sanksi tindakan lebih terarah pada upaya memberi pertolongan pada pelaku agar berubah. Sehingga sanksi pidana lebih menekankan unsur pembalasan dan sanksi tindakan menekankan kepada perlindungan masyarakat dan pembinaan atau pun perawatan bagi pelakunya.
Penekanan pada kesetaraan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan
dalam kerangka double track system, sesungguhnya terkait dengan fakta
bahwa unsur pencelaan / penderitaan (lewat sanksi pidana) dan unsur
pembinaan (lewat sanksi tindakan) sama-sama penting. Dari sudut pandang
ide dasar double track system,64 kesetaraan kedudukan sanksi pidana dan
sanksi tindakan sangat bermanfaat untuk memaksimalkan penggunaan kedua
sanksi tersebut secara tepat dan proporsional. Sebab kebijakan sanksi yang
integral dan seimbang, selain menghindari penerapan sanksi yang
fragmentaristik (pada sanksi pidana) juga menjamin keterpaduan sistem sanksi
yang bersifat individual dan fungsional.
Perbedaan ide dasar antara sanksi pidana dan sanksi tindakan dapat
ditemukan dalam teori-teori tujuan pemidanaan. Substansi teori absolut
ataupun teori relatif sesungguhnya berkisar pada perbedaan hakikat ide dasar
sanksi pidana dan sanksi tindakan.65 Penerapan sanksi ini sedikit banyak
nantinya akan berpengaruh padapengaturan mengenai penjatuhan pidana,
dalam hal ini adalah penjatuhan pidana pada tindak pidana korupsi.
64 Ibid, hlm.31 65 Ibid , hlm.34
57
Peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang tindak
pidana korupsi secara umum diatur dalam undang-undang pemberantasan
korupsi. Di Indonesia sendiri, undang-undang tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi sudah 4 (empat) kali mengalami perubahan. Adapun peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi, yakni :
1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi,
2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi,
3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi,
4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-
undang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Dalam Undang-Undang Pemberantasan Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 itu
sendiri terdapat rumusan delik korupsi secara formil. Perumusan dalam
korupsi secara formil mempunyai kelemahan, dan sebagai konsekuensinya
jika perbuatan korupsi yang tidak tercakup dalam pelukisan secara formil
maka pelaku tidak dapat diajukan ke muka hakim.66
Perubahan perumusan lain dari Undang-Undang Pemberantasan Korupsi
yaitu “delik materiil” pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun
66Martiman Prodjohamidjojo, Peranan Pembuktian terbalik dalam Delik Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999), Bandung: Mandar Maju, 2001, hlm. 49
58
1971 ke “delik formal” pada Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999.
Perubahan perumusan delik yang sangat signifikan tersebut di atas dapat
dipahami mengingat situasi perekonomian dan keuangan negara yang ketika
Undang-Undang a qu67dikeluarkan dalam keadaan krisis yang sangat
membahayakan kesejahteraan rakyat Indonesia, dimana Indonesia terkena
dampak krisis yang sangat parah dibandingkan dengan negara lain.
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(UU PTPK) mensyaratkan beberapa karakteristik unsur-unsur tindak pidana
yang salah satunya yakni perbuatan melawan hukum yang dalam
penerapannya menjadi permasalah di dalan praktek sistem peradilan tindak
pidana korupsi terutama menyangkut perbuatan melawan hukum materil.
Konsepsi perbuatan melawan hukum materil pada hakekatnya telah dikenal di dalam sistem peradilan pidana di Indonesia namun tidak efektif dan kurang mendapat perhatian pada sistem peradilan di Indonesia. Perbuatan melawan hukum di dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK inilah yang menjadi dasar bahwa unsur-unsur perbuatan melawan hukum tidak hanya perbuatan melawan formil (formele wederrechtelijkheid) saja sebagaimana dianut KUH Pidana, melainkan juga perbuatan melawan hukum secara materil (materiele wederrechtelijkheid).68
Penerapan ajaran perbuatan melawan hukum di dalam tindak pidana
korupsi khususnya perbuatan melawan hukum materil mulai diperhatikan
kembali oleh sistem peradilan termasuk diantaranya pada Putusan
Pengadilan Negeri Nomor 46/Pid.B/2009/PN.Bms. Hal ini dapat dilihat
dalam perkara tindak pidana korupsi tersebut dengan melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat
67 op cit, hlm. 24 68op cit, hlm.5
59
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara yang dilakukan
terdakwa.
Adapun dasar pengadilan yang menerapkan perbuatan melawan hukum
materil pada tindak pidana korupsi adalahperbuatan korupsi sebagai
perbuatan tercela yang disebabkan tidak sesuai dengan rasa keadilan dan
norma-norma kehidupan sosial di masyarakat.
Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi, pertanggung jawaban pidana pada
perkara tindak pidana korupsi yaitu:
1) Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yangterorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
2) Pegawai Negeri adalah meliputi: a. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang tentang Kepegawaian; b. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana; c. orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau
daerah; d. orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang
menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau e. orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang
mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
3) Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.
2. Penjatuhan Pidana pada Perkara Tindak Pidana Korupsi
2.1 Jenis Penjatuhan Pidana berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), antara lain:
a. Pidana pokok
Pidana pokok tertuang dalam pasal 10 sub a KUHP antara lain:
60
1) pidana mati, 2) pidana penjara, 3) pidana kurungan, 4) pidana denda.
b. Pidana tambahan
Pidana tambahan diatur berdasarkan pasal 10 sub b KUHP, meliputi: 1. pencabutan hak-hak tertentu, yang menurut pasal 35 ayat
(1) KUHP terdiri dari: a. hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan
tertentu b. hak memasuki angkatan bersenjata c. hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang
diadakan berdasarkan aturan-aturan umum d. hak menjadi penasihat hukum atu pengurus atas
penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengawas atas orang yang bukan anak sendiri
e. hak menjalankan mata pencarian tertentu. 2. perampasan barang-barang tertentu, yang menurut pasal 3
ayat (1) KUHP ditentukan bahwa dapat dirampas: a. Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh
dari kejahatan. b. Barang-barang kepunyaan terpidana yang sengaja
dipergunakan untuk melakukan kejahatan. 3. pengumuman putusan hakim.
2.2 Jenis Penjatuhan Pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999
Mengenai pidana pokok, walaupun jenis-jenis pidana dalam hukum pidana korupsi sama dengan hukum pidana umum, tertapi sistem penjatuhan pidananya ada kekhusussan dibandingkan dengan hukum pidana umum, yaitu:
a) Dalam hukum pidana korupsi dua jenis pidana pokok yang dujatuhkan bersamaan dapat dibedakan menjadi dua macam: 1. Penjatuhan dua jenis pidana pokok yang bersifat imperatif,
yaitu antara pidana penjara dengan pidana denda. Dua jenis pidana pokok yakni penjara dan denda wajib kedua-duanya dijatuhkan serentak. Sistem imperatif-kumulatif ini terdapat pada Pasal 2, 6, 8, 9, 10, 12, 12B. Sistem penjatuhan pidana ini diancamkan pada tindak pidana korupsi paling berat.
61
2. Penjatuhan dua jenis pidana pokok serentak yang bersifat imperatif dan fakultatif, yaitu antara pidana penjara dengan pidana denda. Diantara dua jenis pidana pkok ini yang wajib dijatuhkan ialah pidana penjara (imperatif), namun dapat pula dijatuhkan secara kumulatif dengan pidana denda (fakultatif). Dalam hal ini, dendanya tidak wajib dijatuhkan, melainkan boleh dijatuhkan (fakultatif) bersama-sama (kumulatif) dengan pidana penjara. Jadi khusus untuk penjatuhan pidana denda bersifat fakultatif yang jika dibandingkan dengan KUHP sifat penjatuhan pidana fakultatif ini hanya ada pada jenis-jenis pidana tambahan. Sistem penjatuhan pemidanaan imperatif-fakultatif ini terdapat pada tindak pidana yang dirumuskan pada Pasal 3, 5, 7, 10, 11, 13, 21, 22, 23, dan 24.
b) Sistem pemidanaan pada tindak pidana korupsi menetapkan ancaman minimum khusus dan maksimum khusus, baik mengenai pidana penjara maupun pidana denda tidak menggunakan sistem dengan menetapkan ancaman pidana maksimum umum dan minimum umum seperti dalam KUHP.
c) Maksimum khusus pidana penjara yang diancamkan jauh melebihi maksimum umum dalam KUHP (15 tahun), yakni paling tinggi sampai 20 (dua puluh) tahun. Dalam KUHP boleh menjatuhkan pidana sampai melebihi batas maksimum umu, dalam hal terjadi pengulangan atau perbarengan (karena dapat ditambah dengan sepertiganya) atau tindak pidana tertentu sebagai alternatif dari pidana mati (misal Pasal 104, 340, 365, ayat 4).
d) Dalam hukum pidana korupsi tidaklah mengenal pidana mati sebagai suatu pidana pokok yang diancamkan pada tindak pidana yang berdiri sendiri. Akan tetapi, mengenai pidana mati dalam hal bila tindak pidana tersebut Pasal 2 terdapat adanya alasan pemeberatan pidana. Jadi, pidana mati itu adalah pidana yang dapat dijatuhkan bilamana ada alasan pemberatan pidana, yaitu apabila melakukan tindak pidana korupsi pasal 2 dalam keadaan tertentu. Keadaan tertentu dijelaskan dalam penjelasan mengenai Pasal 2 ayat (2), yaitu “bila dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadinya bencana alam, sebagai pengulangan, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.”
Perlu diingat bahwa sistem pemidanaan hukum pidana formil korupsi yang mengancam dengan pidana penjara kumulatif dengan denda atau pidana penjara kumulatif-fakultatif dengan denda, baik maksimum khusus maupun minimum khusus tidaklah berlaku apabila nilai objek tindak pidana korupsi tersebut pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12
62
kurang dari Rp 5.000.000,00. Untuk nilai objek tindak pidana korupsi ini ancaman pidananya ialah pidana penjara paling lama 3 tahun dan pidana denda paling banyak Rp 50.000,000,00 meniru sistem penjatuhan pidana hukum pidana umum dalam KUHP.
Pengaturan mengenai pidana tambahan terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan, dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi misalnya, diatur juga mengenai pidana tambahan lainnya selain dari tiga bentuk yang disebutkan dalam KUHP, yakni terdapat dalam Pasal 18 ayat (1) yang isinya antara lain:
1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan;
2. Pembayaran uang pengganti yang jumlah sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk paling lama satu tahun;
4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
Ayat (2): Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
Ayat (3): Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
Aturan mengenai gugatan perdata kepada ahli warisnya, dalam hal
terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang
pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara,
maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara
sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada
63
instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata kepada ahli
warisnya.
Terhadap Tindak Pidana yang Dilakukan oleh atau Atas Nama Suatu Koorporasi, sejalan dengan aturan yang terdapat dalam KUHP, bahwa berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi, antara lain terhadap Tindak Pidana yang dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan ketentuan maksimal ditambah 1/3 (sepertiga). Penjatuhan pidana ini melalui procedural ketentuan Pasal 20 ayat (1)-(6) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:
1. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
2. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
3. Dalam hal ini tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.
4. Pengurus yang mewakili koorporasi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal (3) dapat diwakili oleh orang lain.
5. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya penguruh tersebut dibawa ke sidang pengadilan.
6. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan menyerahkan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau ditempat pengurus berkantor.
7. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap koorporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga).
64
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan yang menggunakan konsepsi
legisme positivis. Berdasarkan konsepsi ini, hukum dipandang identik dengan
norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat
yang berwenang dan melihat hukum sebagai suatu sistem normatif yang
mandiri, bersifat tertutup, dan terlepas dari kehidupan masyarakat yang
nyata.69
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan
metode pendekatan perundang-undangan. Semua pihak yang terlibat baik
langsung maupun tidak langsung dalam tindak pidana korupsi seperti dalam
putusan perkara nomor 46/pid.B/2009/PN.BMS dapat dijerat pasal-pasal
mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi.
Metode yang kedua adalah metode pendekatan analisis. Maraknya tindak
pidana korupsi di Indonesia perlu dikaji sesuai hukum yang berlaku. Karena
banyak pihak yang melakukan tindak pidana korupsi tidak menghiraukan
adanya hukum yang mengatur tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Masyarakat cenderung belum mengetahui aturan yang mengatur tentang
tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, dalam penelitian ini terdapat analisis
lebih lanjut mengenai batasan, unsur, maupun aturan yang mengatur tentang
69Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jumetri, Alumni, Jakarta, 1988, Hlm 13
65
tindak pidana korupsi serta penerapan pidana khususnya bagi PNS pelaku
tindak pidana korupsi.
Metode yang ketiga adalah metode pendekatan kasus, dimana dalam hal
ini adalah mempelajari putusan perkara nomor 46/Pid.B/2009/PN.Bms
mengenai putusan pengadilan yang dijatuhkan kepada terdakwa seorang
pejabat daerah dalam hal ini seorang Pegawai Negeri Sipil yang telah terbukti
melakukan tindak pidana korupsi.
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah Clinical Legal Research
yaitu penelitian untuk menemukan hukum inabstracto dalam perkara
inconcreto.70 Dalam hal ini perkara Nomor: 46/Pid.B/2009/PN.Bms tentang
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh PNS.
C. Sumber Bahan Hukum
2. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer yang diambil dalam penelitian ini terdiri dari
peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 serta pasal terkait dengan tindak
pidana korupsi dalam KUHP.
3. Bahan hukum sekunder
70Ronny Hanitijo Soemitro,2000, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Semarang. Hlm.10
66
Bahan hukum sekunder yang diambil dalam penelitian ini adalah
mengenai pendapat para ahli hukum, serta melihat dari kasus-kasus hukum
yang terjadi di Indonesia khususnya tindak pidana korupsi yang terungkap di
banyumas dan kasus tersebut telah mendapat putusan pengadilan nengeri
dengan nomor : 46/Pid.B/2009/PN.Bms.
4. Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk
penjelasan terhadap bahan hukum sekunder seperti kamus hukum,
encyclopedia, dan lain-lain. Dalam hal ini termasuk juga berbagai bahan
hukum yang bersumber dari internet.Bahan hukum tersier dalam penelitian
ini adalah dengan melihat penjelasan dari dari kamus hukum dan kamus
lainnya yang terkait termasuk dari internet.
D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Metode pengmpulan bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan
metode kepustakaan dan metode dokumenter. Metode kepustakaan tersebut
yaitu dengan melakukan penelusuran terhadap bahan hukum yang terkait
dengan tindak pidana korupsi yang terjadi di masyarakat Indonesia. Seperti
menelusuri literatur dari para ahli hukum khususnya mengenai tindak pidana
korupsi.
Metode dokumenter yaitu dengan menelaah aturan–aturan yang berlaku
mengenai tindak pidana korupsi serta menelaah kasus tindak pidana korupsi
yang terjadi di Banyumas dan telah mendapat putusan Pengadilan Negeri
67
dengan nomor 46/Pid.B/2009/PN.Bms. Bahan-bahan hukum yang
berhubungan dengan tindak pidana korupsi tersebut kemudian dibahas dan
dipaparkan serta dianalisis sehingga diketahui bagaimana penerapan pidana
tambahan terhadap kasus tindak pidana korupsi serta pertimbangan hakim
dalam menjatuhkan putusan pidana tambahan terhadap PNS pelaku tindak
pidana korupsi.
E. Metode Pengolahan Bahan Hukum
Metode pengolahan bahan hukum dalam penelitian ini adalah
menggunakan metode reduksi dan kategorisasi. Metode reduksi yang
dimaksud dalam penelitian ini yaitu dengan merangkum hal-hal pokok dari
para pedapat ahli tentang pandangan mereka mengenai tindak pidana korupsi,
serta merangkum literatur yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi.
Sedangkan metode kategorisasi yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu
membagi-bagi dan mengklasifikasikan hal-hal pokok dari para ahli tentang
pandangan mereka terhadap tindak pidana korupsi dalam bentuk yang logis.
F. Metode Penyajian Bahan Hukum
Metode penyajian (display) merupakan suatu kegiatan memilah-milah
bahan hukum dalam bagian-bagian tertentu yang mendeskripsikan seluruh
bahan hukum yang dikumpulkan. Dalam metode ini, dapat membuang bahan
hukum yang tidak diperlukan atau tidak masuk dalam konsep. Dalam
kegiatan display bahan hukum tersebut disajikan dalam bentuk teks naratif.
68
Teksnaratif yaitu suatu penyajian dalam bentuk uraian yang mendasarkan
pada teori yang disusun secara logis dan sistematis.
Penelitian ini setelah memperoleh bahan hukum (primer, sekunder, tersier)
akan dilakukan klasifikasi dan inventarisasi terhadap bahan hukum tersebut.
Hal yang diperoleh akan disusun secara sistematis dan logis. Antar bahan
hukum yang satu dengan yang lain memiliki hubungan yang dapat menjawab
permasalahan hukum yang ada pada penelitian ini.
G. Metode Analisis Bahan Hukum
Metode analisis dalam penelitian ini yaitu data yang diperoleh akan
dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif yaitu dengan cara
menjabarkan data yang telah diperoleh berdasarkan teori atau kaidah maupun
pengertian hukum yang terdapat dalam ilmu hukum.
69
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Hasil penelitian pada putusan Pengadilan Negeri Banyumas Nomor :
46/Pid. B/2009/PN.BMS. diperoleh data sebagai berikut :
1. Subjek Hukum
Nama : Drs. Casmono bin Kalwan
Tempat lahir : Metro Lampung Tengah
Umur/Tanggal lahir : 49 tahun / 10 Oktober 1959
Jenis Kelamin : Laki-laki
Kebangsaan : Indonesia
Alamat :Perum Pemda RT.05 RW.II No.81
Mangunjaya Kelurahan Purwokerto
Lor Kecamatan Purwokerto Timur
Kabupaten Banyumas
Agama : Islam
Pekerjaan :PNS pada sekretariat DPRD
Kabupaten Banyumas (Kabag
Umum Sekretariat DPRD
Kabupaten Banyumas)
Pendidikan : S1
70
2. Duduk Perkara
Bahwa terdakwa, Casmono, adalah seorang Pegawai Negeri Sipil sejak
tahun 1985 yang kemudian diangkat menjadi Kabag Tata Usaha (TU)
Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kabupaten Banyumas sejak tahun 2005
sampai dengan 2008. Jabatan terakhir terdakwa adalah Kabag Umum pada
Sekretariat DPRD Kabupaten Banyumas sejak bulan Juli 2009. Terdakwa
suatu waktu di tahun 2007 hingga 2008, bertempat di Kantor Dinas
Pekerjaan Umum Kabupaten Banyumas, Kelurahan Purwokerto Lor
Kecamatan Purwokerto Utara Kabupaten Banyumas, Desa Karanggintung
Kecamatan Kemranjen Kabupaten Banyumas, gudang aspal Dinas
Pekerjaan Umum Provinsi Jawa Tengah Karangjati Semarang, serta Desa
Banjar Panepen Kecamatan Sumpiuh Kabupaten Banyumas.
Pada waktu tersebut, 7 (tujuh) desa di wilayah Kabupaten Banyumas
yang direkomendasikan dapat memperoleh bantuan aspal Gubernur Jawa
Tengah mengajukan proposal bantuan aspal ke Gubernur Jawa tengah
dimana setiap proposal bantuan yang diajukan harus melalui terdakwa
karena pada saat itu jabatan terdakwa adalah Kabag TU Dinas Pekerjaan
Umum.Terdakwa menerima proposal dari beberapa desa, antara lain Desa
Karanggintung, Desa Kemiri, Desa Sibrama, Desa Kebarongan, Desa
Karangsalam, Desa Kedungpring, serta Desa Petahunan melalui
perwakilan-perwakilan desa masing-masing.
Kemudian terdakwa dalam hal ini telah melakukan beberapa perbuatan
sejenis yaitu menerima uang dari saksi-saksi perwakilan desa antara lain
Noto Siswanto, Nanggal Haryanto, Mujiono, Anwari, Muh.Siasat, Roso
dari pengajuan proposal bantuan aspal dari Gubernur Jawa Tengah sampai
dengan penerimaan bantuan aspal bagi tiga desa dalam rentang waktu
yang tidak terlalu lama. Dengan dalih mengurus proposal bantuan aspal
sampai ke Provinsi serta proses pencairan bantuan tersebut, terdakwa
meminta dan menerima uang dengan tujuan untuk menguntungkan diri
terdakwaatas masyarakat desa pemohon bantuan aspal dari Gubernur Jawa
Tengahdimana jumlah uang tersebut mencapai Rp 33.110.000,00 dari
71
desa yang telah disebutkan di atas. Adapun rinciannya yaitu terdakwa
menerima uang sejumlah Rp 13.610.000,00 dari Desa Karanggintung, Rp
8.000.000,00 dari Desa Petahunan, Rp 9.000.000,00 dari Desa Kemiri, Rp
1.000.000,00 dari Desa Kedungpring, Rp 1.500.000,00 dari Desa
Karangsalam, Rp 500.000,00 dari Desa Kebarongan. Selanjutnya uang
tersebut digunakan terdakwa untuk biaya angkut aspal ke tiga desa yang
akhirnya dapat menerima bantuan aspal yaitu desa Petahunan Kecamatan
Pekuncen, Desa Kemiri Kecamatan Sumpiuh, dan Desa Karanggintung
Kabupaten Banyumas masing-masing desa sejumlah Rp 1.500.000,00
sehingga seluruhnya berjumlah Rp 4.500.000,00 sedangkan sisanya Rp
28.610.000,00 terdakwa pergunakan sendiri.
3. Dakwaan
Dalam persidangan yang digelar untuk mengadili terdakwa seorang Pegawai Negeri Sipil bernama Casmono bin Kalwan yaitu dalam perkara Nomor 46/Pid.B/2009/PN.Bms, Penuntut Umum menghadapkan terdakwa tersebut dengan dakwaan yang disusun secara alternatif yaitu:
Pertama, perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUH Pidana.
Kedua, perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUH Pidana.
4. Barang Bukti
a. Proposal rehabilitasi jalan aspal RW.01 Kadus II Karanggintung Kecamatan Kemranjen Kabupaten Banyumas tahun 2007.
b. Perjanjian hibah No. 604.2 / 163 Pem. Prop Jawa Tengah dengan Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa Karanggintung Kecamatan Kemranjen Kabupaten Banyumas tentang hibah bantuan aspal Pemprov. Jateng kepada Lembaga Pemberdayaan
72
Masyarakat Desa karanggintung Kecamatan kemranjen kabupaten Banyumas.
c. Proposal Pemerintah Desa Kedungpring Kecamatan Kemranjen Kabupaten Banyumas tentang permohonan bantuan aspal Gubernur Jawa Tengah.
d. Proposal permohonan bantuan aspal Gubernur Jawa Tengah tahun 2007 Desa Kebarongan Kecamatan Kemranjen Kabupaten Banyumas.
e. Perjanjian hibah No. 604.2 / 262 Pem.Prop Jawa Tengah dengan Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa kemiri Kecamatan Sumpiuh Kabupaten Banyumas.
f. SIM card HP NO. 08164280703 berikut HP merk Sony Ericson milik terdakwa Casmono.
g. Petikan Keputusan Bupati Banyumas Nomor : 821.2 / 030 / 2005 tanggal 25 Januari 2005 tentang pemberhentian / pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam jabatan stuktural eselon III dan IV di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Banyumas No. Urut 1 atas nama Drs. Casmono.
h. Uang sejumlah Rp 3.000.000,00 yang disita dari terdakwa Casmono.
i. Daftar hadir apel pagi/siang unit kerja bagian Tata Usaha Dinas Pekerjaan Umum Kab.Banyumas hari Rabu tanggal 9 Juli 2008.
j. SIM Card (kartu perdana) Nomor:085869373373. k. Uang tunai sejumlah Rp 25.610.000,00 yang disita dari terdakwa
Casmono. l. Delevery Order (DO) pengiriman aspal bantuan pem.prof Jawa
Tengah sebanyak 40 drum ke desa Petahunan tertanggal 9 Juli 2008.
m. Perjanjian hibah no. 604.2 / 264 Pem.Prop Jawa Tengah dengan Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat desa Petahunan, kecamatan Pekuncen, Kabupaten Banyumas tentang hibah bantuan aspal Pemprov Jawa Tengah kepada Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa Petahunan Kecamatan Pekuncen kabupaten Banyumas.
n. Proposal permohonan bantuan pengaspalan desa Petahunan tertanggal 20 Agustus 2007 (sebelum direvisi).
o. Proposal permohonan bantuan pengaspalan desa Petahunan tertanggal 19 Maret 2009 (setelah direvisi).
p. Print out SMS dari HP no. 08164280703 milik tedakwa ke no HP 081327747449 milik saksi Noto Siswanto.
q. Print out SMS dari HP no. 085869373373 milik tedakwa ke no HP 081327747449 milik saksi Noto Siswanto.
73
r. Proposal bantuan aspal Provinsi Jawa tengah tahun 2007 Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa Kemiri Kecamatan Sumpiuh Kabupaten Banyumas.
s. Surat Dinas Bupati Banyumas Nomor 604.2/11286/2007 tanggal 1 September 2007 perihal rekomendasi permohonan bantuan aspal yang ditujukan kepada Gubernur Jawa Tengah.
t. Foto copy petikan Keputusan Bupati Kepala Daerah Tk.II Banyumas Nomor : 821.1/124/51-1987 tanggal 30 Januari 1987 tentang pengangkatan CPNS yang namanya tercantum dalam lajur 2 diangkat menjadi PNS atas nama CASMONO, BA.
5. Alat-Alat Bukti
a. Keterangan Saksi:
1) Saksi Noto Siswanto
2) Saksi Nanggal Haryanto
3) Saksi Anwari
4) Saksi Mujiono
5) Saksi Fakih Usman
6) Saksi Hadi Sunarto
7) Saksi Roso
8) Saksi Moh.Siasat
9) Saksi Muklasin
10) Saksi Parno, S.T
11) Saksi Ir. Mayangkoro
12) Saksi Suryanto Sutyasmoro, S.Sos, M.Si
13) Saksi Sutarso Hadi (saksi Ade charge)
b. Petunjuk
Adanya persesuaian antara keterangan saksi dan terdakwa,
sehingga dengan persesuaian tersebut telah terjadi tindak pidana yang
74
dilakukan oleh terdakwa yang bernama Casmono bin Kalwan terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidanaKorupsi.
c. Keterangan terdakwa
Bahwa terdakwa diangkat menjadi CPNS tahun 1985 diperbantukan di bagian Humas Sekretariat kabupaten Bnyumas, diangkat menjadi PNS pada tahun 1986, tahun 1987 dimutasikan sebagai Kasi penerangan dan komunikasi Bapeda Kabupaten Banyumas selanjutnya pada 1999 sebagai Kasubag TU Dinas Pekerjaan Umum kabupaten Banyumas dan pada tahun 2005 sampai dengan 2008 diangkat dalam jabatan sebagai Kabag TU di Dinas Pekerjaan Umum kabupaten Banyumas. Jabatan terakhirnya sebagai Kabag Umum Sekretariat DPRD Kabupaten Banyumas sejak 2008 sampai sekarang.
Selama terdakwa menjabat Kabag Tata Usaha di Kantor DPU Kabupaten Banyumas pada 2005 sampai 2008, terdakwa pernah menerima proposal bantuan aspal dari Gubernur Jawa Tengah dari 1 (satu) desa di luar wilayah Kabupaten Banyumas dan 7 (tujuh) desa di wilayah Kabupaten Banyumas berupa tembusan, sedangkan aslinya ke Bupati Banyumas lalu diolah lewat terdakwa dinaikkan ke pimpinan dan oleh pimpinan didisposisikan untuk ditindaklanjuti.
Dalam proses pengajuan bantuan aspal dari desa baik bantuan aspal dari desa baik bantuan dari APBD maupun Gubernur tidak ada biaya yang resmi dengan kata lain tidak dipungut biaya. Menurut pengakuan terdakwa, ia tidak pernah memungut atau meminta uang dari kepala desa yang bersangkutan dalam hal permohoanan pengajuan proposal bantuan aspal ke Gubernur Jawa Tengah tetapi mereka memberi dengan keikhlasan sendiri.
Pada proses pengurusan dan pengolahan proposal, tidak dibenarkan jika seorang pejabat DPU seperti terdakwa ikut terlibat membuatkan proposal namun menurut pengakuan terdakwa bahwa terdakwa hanya memperbaiki, mengoreksi dan memberi saran dalam pembuatan proposal yang menurut terdakwa masih terdapat kesalahan dalam pembuatan proposal tersebut. Dari proses terseebut terdakwa menyebutkan bahwa terdapat 6 (enam) desa di wilayah kabupaten banyumas yang mengajukan proposal dimana keenam desa tersebut memberikan uang kepada terdakwa yang jumlahnya tidak diingat.
Dari beberapa desa yang mengajukan proposal bantuan aspal, hanya 3 (tiga) desa yang akhirnya dapat memperoleh bantuan. Kemudian terdakwa diminta untuk ikut dalam proses mengurus pengambilan bantuan aspal ke desa tersebut. Dengan dalih pengurusan pengambilan aspal, terdakwa meminta uang ke pihak desa penerima bantuan aspal padahal Kantor Bina Marga Provinsi tidak pernah
75
meminta berapapun besarnya. Dan terdakwa pun mengaku sudah mengembalikan uang yang seluruhnya berjumlah Rp 28.610.000,00.
6. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
Jaksa Penuntut Umum berpendapat Casmono bin Kalwan terbukti
bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Perbuatan terdakwa diatur
dan diancam pidana Pasalpasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi jo Pasal 18
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUH Pidana, atau diancam pidana dalam
pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 18 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1)
KUH Pidana. Atas dasar hal tersebut Jaksa Penuntut Umum
mengajukan tuntutan sebagai berikut :
1. Menyatakan terdakwa Casmono bin Kalwan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi jo pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-
76
Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo pasal 64 ayat (1) KUH Pidana, dalam dakwaan alternatif kedua.
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Drs. Casmono Bin Kalwan dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 4 (empat) bulan dengan dikurangkan sepenuhnya selama terdakwa ditahan dengan perintah terdakwa tetap ditahan.
3. Menetapkan barang bukti berupa: a. Proposal rehabilitasi jalan aspal RW.01 Kadus II
Karanggintung Kecamatan Kemranjen Kabupaten Banyumas b. Perjanjian hibah No. 604.2 / 163 Pem. Prop Jawa Tengah
dengan Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa Karanggintung Kecamatan Kemranjen Kabupaten Banyumas untuk dikembalikan kepada saksi Noto Siswanto.
c. Proposal Pemerintah Desa Kedungpring Kecamatan Kemranjen Kabupaten Banyumas tentang permohonan bantuan aspal Gubernur Jawa Tengah untuk dikembalikan ke saksi Anwari.
d. Proposal permohonan bantuan aspal Gubernur Jawa Tengah tahun 2007 Desa Kebarongan Kecamatan Kemranjen Kabupaten Banyumas untuk dikembalikan kepada saksi M. Siasat.
e. Perjanjian hibah No. 604.2 / 262 Pem.Prop Jawa Tengah dengan Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa kemiri Kecamatan Sumpiuh Kabupaten Banyumas untuk dikembalikan kepada saksi Mujiono.
f. SIM card HP NO. 08164280703 berikut HP merk Sony Ericson milik terdakwa Casmono dirampas untuk dimusnahkan.
g. Petikan Keputusan Bupati Banyumas Nomor : 821.2 / 030 / 2005 tanggal 25 Januari 2005 tentang pemberhentian / pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam jabatan stuktural eselon III dan IV di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Banyumas No. Urut 1 atas nama Drs. Casmono untuk dikembalikan kepada terdakwa.
h. Uang tunai sejumlah Rp.28.610.000,00 (dua puluh delapan juta enam ratus sepuluh ribu rupiah). Dikembalikan kepada masyarakat Desa Karanggintung melalui saksi Noto Siswanto sebesar Rp.12.110.00,00 (dua belas juta seratus sepuluh ribu rupiah), dikembalikan kepada masyarakat desa petahunan melalui saksi Nanggal Haryanto sebesar Rp.6.500.000,00 (enam juta lima ratus ribu rupiah),dikembalikan kepada masyarakat Desa Kemiri melalui saksi Mujiono sebesar Rp.7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah), dikembalikan kepada masyarakat Desa Karangsalam melalui saksi Roso sebesar Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah), dikembalikan kepada masyarakat Desa Kebarongan melalui
77
saksi M.Siasat sebesar Rp.500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), dikembalikan kepada masyarakat Desa Kedungpring melalui saksi Anwar sebesar Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah)
i. Daftar hadir apel pagi/siang unit kerja bagian Tata Usaha Dinas Pekerjaan Umum Kab.Banyumas hari Rabu tanggal 9 Juli 2008.Terlampir dalam berkas perkara.
j. SIM Card (kartu perdana) Nomor:085869373373. Dirampas untuk dimusnahkan.
k. Delevery Order (DO) pengiriman aspal bantuan pem.prof Jawa Tengah sebanyak 40 drum ke desa Petahunan.
l. Perjanjian hibah no. 604.2 / 264 Pem.Prop Jawa Tengah dengan Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat desa Petahunan, kecamatan Pekuncen, Kabupaten Banyumas.
m. Proposal permohonan bantuan pengaspalan desa Petahunan tertanggal 20 Agustus 2007 (sebelum direvisi).
n. Proposal permohonan bantuan pengaspalan desa Petahunan tertanggal 19 Maret 2009 (setelah direvisi) untuk dikembalikkan kepada saksi Nanggal Haryanto.
o. Print out SMS dari HP no. 085869373373 milik tedakwa ke no HP 081327747449 milik saksi Noto Siswanto.
p. Print out SMS dari HP no. 08164280703 milik tedakwa ke no HP 081327747449 milik saksi Noto Siswanto terlampir dalam berkas perkara.
q. Proposal bantuan aspal Provinsi Jawa tengah tahun 2007 Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa Kemiri Kecamatan Sumpiuh Kabupaten Banyumas.
r. Surat Dinas Bupati Banyumas Nomor 604.2/11286/2007 tanggal 1 September 2007 perihal rekomendasi permohonan bantuan aspal yang ditujukan kepada Gubernur Jawa Tengah untuk dikebalikan kepada saksi Ir. Mayangkoro.
s. Foto copy petikan Keputusan Bupati Kepala Daerah Tk.II Banyumas Nomor : 821.1/124/51-1987 tanggal 30 Januari 1987 tentang pengangkatan CPNS yang namanya tercantum dalam lajur 2 diangkat menjadi PNS atas nama CASMONO, BA, untuk dikembalikan kepada terdakwa.
4. Menetapkan supaya terdakwa Drs. Casmono bin Kalwan dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000,00 (lima ribu rupiah).
7. Pertimbangan Hukum Hakim
a. Pertimbangan Yuridis
78
1) Berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa,
serta didukung dengan barang bukti ternyata antara satu
dengan lainnya terdapat adanya saling persesuaian dan
keterkaitan sehingga telah mengungkap fakta-fakta hukum
yang terbukti benarnya telah terjadi tindak pidana korupsi yang
melibatkan Pegawai Negeri sipil. Perbuatan terdakwa diatur
dan diancam pidana dalam Undang-Undang Republik
Indonesia No. 31 Tahun 1999 yaitu tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
2) Terdakwa diajukan ke persidangan dengan dakwaan yang
disusun secara alternatif yaitu:
Pertama, perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan
diancam pidana pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi jo Pasal
18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat
(1) KUH Pidana.
Kedua, perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana diatur
dan diancam pidana dalam pasal 11 Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
79
jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat
(1) KUH Pidana.
b. Pertimbangan Sosiologis
Hal-hal yang memberatkan :
- Perbuatan terdakwa bertentangan dengan program pemerintah
yang sedang gencar-gencarnya memberantas korupsi;
- Terdakwa sebagai pegawai Negeri Sipil seharusnya dapat
memberikan suri tauladan kepada masyatrakat.
Hal-hal yang meringankan :
- Terdakwa belum pernah dihukum;
- Terdakwa telah mengembalikan uang sebesar Rp
28.610.000,00 (dua puluh delapan jta enam ratus sepuluh ribu
rupiah);
- Terdakwa telah mengabdi kepada Bangsa dan Negara kurang
lebih 24 tahun;
- Desa penerima bantuan aspal Gubernur Jawa Tengah yaitu
desa Karanggintung, desa Kemiri dan desa Petahunan telah
merasakan manfaat dari program pengaspalan jalan;
80
- Terdakwa memiliki tanggungan isteri dan anak-anak dan
menjadi tulang punggung keluarga;
- Terdakwa mengaku bersalah dan menyesali perbuatannya;
- Terdakwa berlaku sopan di persidangan;
- Terdakwa berterus terang sehingga memperlancar jalannya
persidangan.
8. Putusan Hakim Pengadilan Negeri Banyumas
Hakim dalam putusannya menyatakan sebagai berikut : 1. Menyatakan terdakwa Casmono bin Kalwan terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana KORUPSI SECARA BERLANJUT;
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Drs. Casmono Bin Kalwan dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun;
3. Menetapkan bahwa masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari lamanya pidana yang dijatuhkan;
4. Menetapkan supaya terdakwa tetap berada dalam tahanan tersebut;
5. Menetapkan supaya barang bukti berupa: a. Proposal rehabilitasi jalan aspal RW.01 Kadus II
Karanggintung Kecamatan Kemranjen Kabupaten Banyumas. b. Perjanjian hibah No. 604.2 / 163 Pem. Prop Jawa Tengah
dengan Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa Karanggintung Kecamatan Kemranjen Kabupaten Banyumas untuk dikembalikan kepada saksi Noto Siswanto;
c. Proposal Pemerintah Desa Kedungpring Kecamatan Kemranjen Kabupaten Banyumas tentang permohnan bantuan aspal Gubernur Jawa Tengah untuk dikembalikan ke saksi Anwari;
d. Proposal permohonan bantuan aspal Gubernur Jawa Tengah tahun 2007 Desa Kebarongan Kecamatan Kemranjen Kabupaten Banyumas untuk dikembalikan kepada saksi M. Siasat;
e. Perjanjian hibah No. 604.2 / 262 Pem.Prop Jawa Tengah dengan Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa kemiri Kecamatan Sumpiuh Kabupaten Banyumas tentang hibah bantuan aspal Pem.Prop. Jawa Tengah kepada Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa Kemiri Kecamatan Sumpiuh Kabupaten Banyumas;
81
f. Proposal Bantuan aspal provinsi Jawa Tengah tahun 2007 Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa kemiri Kecamatan sumpiuh Kabupaten Banyumas untuk dikembalikan kepada Desa Kemiri melalui saksi Mujiono;
g. SIM card HP NO. 08164280703 berikut HP merk Sony Ericson dan sim card (kartu perdana) nomor 085869373373 milik terdakwa Casmono;
h. Sim card (kartu perdana) nomor : 085869373373 dirampas untuk dimusnahkan;
i. Petikan Keputusan Bupati Banyumas Nomor : 821.2 / 030 / 2005 tanggal 25 Januari 2005 tentang pemberhentian / pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam jabatan stuktural eselon III dan IV di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Banyumas No. Urut 1 atas nama Drs. Casmono;
j. Foto copy Petikan Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Banyumas Nomor : 821.1 / 124 / 51 – 1987 tentang Pengangkatan CPNS yang namanya tercantum dalam lajur 2 diangkat menjadi PNS atas nama CASMONO, BA untuk dikembalikan kepada terdakwa;
k. Uang sejumlah Rp.28.610.000,00 (dua puluh delapan juta enam ratus sepuluh ribu rupiah) yang disita dari terdakwa untuk dikembalikan kepada masyarakat Desa Karanggintung melalui saksi Noto Siswanto sebesar Rp.12.110.00,00 (dua belas juta seratus sepuluh ribu rupiah), dikembalikan kepada masyarakat desa petahunan melalui saksi Nanggal Haryanto sebesar Rp.6.500.000,00 (enam juta lima ratus ribu rupiah),dikembalikan kepada masyarakat Desa Kemiri melalui saksi Mujiono sebesar Rp.7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah), dikembalikan kepada masyarakat Desa Karangsalam melalui saksi Roso sebesar Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah), dikembalikan kepada masyarakat Desa Kebarongan melalui saksi M.Siasat sebesar Rp.500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), dikembalikan kepada masyarakat Desa Kedungpring melalui saksi Anwar sebesar Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah);
l. Daftar hadir apel pagi/siang unit kerja bagian Tata Usaha Dinas Pekerjaan Umum Kab.Banyumas hari Rabu tanggal 9 Juli 2008;
m. Print out SMS dari HP no. 08164280703 milik tedakwa ke no HP 081327747449 milik saksi Noto Siswanto;
n. Print out SMS dari HP no. 085869373373 milik tedakwa ke no HP 081327747449 milik saksi Noto Siswanto. Terlampir dalam berkas perkara;
o. Delevery Order (DO) pengiriman aspal bantuan pem.prof Jawa Tengah sebanyak 40 drum ke desa
82
PetahunanKecamatan Pekuncen Kabupaten Banyumas tertanggal 9 Juli 2009;
p. Perjanjian hibah no. 604.2 / 264 Pem.Prop Jawa Tengah dengan Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat desa Petahunan, kecamatan Pekuncen, Kabupaten Banyumas tentang hibah bantuan aspal Pem.Prov. Jawa Tengah kepada Lembaga Pemberdayaan Masrayakat Desa petahunan Kecamatan Pekucen kabupaten Banyumas;
q. Proposal permohonan bantuan pengaspalan desa Petahunan tertanggal 20 Agustus 2007 (sebelum direvisi).
r. Proposal permohonan bantuan pengaspalan desa Petahunan tertanggal 19 Maret 2008 (setelah direvisi) untuk dikembalikan pada Desa Petahunan melalui saksi Nanggal Haryanto;
s. Surat Dinas Bupati Banyumas Nomor 604.2/11286/2007 tanggal 1 September 2007 perihal rekomendasi permohonan bantuan aspal yang ditujukan kepada Gubernur Jawa Tengah untuk dikebalikan kepada saksi Ir. Mayangkoro.
6. Menetapkan supaya terdakwa Drs. Casmono bin Kalwan dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000,00 (lima ribu rupiah).
B. PEMBAHASAN
Dalam persidangan yang digelar untuk mengadili terdakwa seorang
Pegawai Negeri Sipil bernama Casmono bin Kalwan yaitu dalam perkara
Nomor46/Pid.B/2009/PN.Bms, Penuntut Umum menghadapkan terdakwa
tersebut dengan dakwaan yang disusun secara alternatif.Dalam dakwaan
alternatif ini terdapat beberapa dakwaan yang disusun secara berlapis, lapisan
yang satu merupakan alternatif dan bersifat mengecualikan dakwaan pada
lapisan lainnya. Bentuk dakwaan ini digunakan bila belum didapat
kepastian tentang Tindak Pidana mana yang paling tepat dapat dibuktikan.
Dalam dakwaan alternatif, meskipun dakwaan terdiri dari beberapa lapisan,
hanya satu dakwaan saja yang dibuktikan tanpa harus memperhatikan
urutannya dan jika salah satu telah terbukti maka dakwaan pada lapisan
83
lainnya tidak perlu dibuktikan lagi. Dalam bentuk Surat Dakwaan ini, antara
lapisan satu dengan yang lainnya menggunakan kata sambung “atau”.
Dakwaan alternatif dalam kasus ini yaitu:Pertama, perbuatan terdakwa
sebagaimana diatur dan diancam pidana pasal 3 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi jo Pasal 18
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUH
Pidana.
Kedua, perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam
pidana dalam pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUH Pidana.
Adapun bunyi dari pasal 3 dalam dakwaan pertama yaitu:
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
84
Penjelasan lebih lanjut mengenai pasal 3, kata “dapat” sebelum frasa
“merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukan bahwa tindak
pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi
cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan,
bukan timbulnya akibat.
Sebagai pelaku dari tindak pidana pasal 3 ditentukan “setiap orang”,
sehingga seolah-olah “setiap orang” dapat melakukan tindak pidana korupsi
yang terdapat dalam pasal 3. Namun, dalam pasal 3 tersebut ditentukan
bahwa pelaku tindak pidana korupsi yang dimaksud harus memangku suatu “
jabatan atau kedudukan”.
Jika diteliti ketentuan tentang tindak pidana korupsi yang terdapat dalam
pasal 3 tersebut di atas akan ditemui beberapa unsur sebagai berikut:71
a. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
Yang dimaksud dengan unsur “menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi” adalah sama artinya dengan mendapatkan
untung untuk diri sendiri atau orang lain atau korporasi. Dimana unsur ini
merupakan tujuan dari pelaku tindak pidana korupsi. Adanya unsur ini
harus pula ditentukan sacara objektif dengan memperhatikan segala
keadaan lahir yang menyertai perbuatan pelaku tindak pidana korupsi.
a. Menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada karena
jabatan atau kedudukannya
71 Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm.37
85
Yang dimaksud dalam unsur kedua ini adalah menggunakan
kewenangan, kesempatan, atau sarana yang melekat pada jabatan atau
kedudukan yang dijabat atau diduduki oleh pelaku tindak pidana korupsi
untuk tujuan lain dari maksud diberikannya kewenangan, kesempatan,
atau sarana tersebut. Untuk mencapai tujuan menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi tersebut, dalam pasal 3 telah
ditentukan cara yang harus ditempuh oleh pelaku tindak pidana korupsi,
yaitu:
1. Dengan menyalahgunakan kewenangan yang ada pada jabatan atau
kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi.
2. Dengan menyalahgunakan kesempatan yang ada pada jabatan atau
kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi.
3. Dengan menyalahgunakan sarana yang ada pada jabatan atau
kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi.
b. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Menurut Wiyono,72 yang dimaksud merugikan adalah sama artinya
dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang, sehingga dengan demikian
yang dimaksud dengan unsur “merugikan keuangan negara” adalah sama
artinya dengan menjadi ruginya keuangan negara atau berkurangnya
keuangan negara.
Adapun yang dimaksud dengan “keuangan negara” di dalam penjelasan
umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 disebutkan bahwa
72 Ibid, Hlm.32
86
keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apa pun
yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan termasuk di dalamnya segala
bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul
karena:
a) Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban
pejabat lembaga negara, baik tingkat pusat maupun di daerah.
b) Berada dalam penguasaan, pengurusan, pertanggung jawaban Badan
Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan
hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau
perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan
perjanjian dengan negara.
Sedangkan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah kehidupan perkonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan atau usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijaksanaan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.
Karena dakwaan dalam perkara nomor 46/Pid.B/2009/PN.Bms disusun
secara alternatif maka Majelis Hakim dapat memilih dakwaan yang dianggap
paling memenuhi unsur-unsur delik dan fakta-fakta persidangan. Majelis
hakim memilih dengan membuktikan dakwaan alternatif kedua dengan
pertimbangan bahwa ternyata sesuai fakta hukum perbuatan terdakwatidak
memenuhi unsur pokok dari dakwaan alternatif pertama yang berupa
87
“kerugian Keuangan Negara” karena seluruh uang yang diperoleh terdakwa
dari hasil kejahatannya adalah swadaya masyarakat desa.
Adapun dakwaan alternatif kedua yaitu pasal 11Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 18
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUH
Pidana, dimana unsur-unsurnya antara lain:
1. pegawai negeri atau penyelenggara negara;
Unsur pegawai negeri atau penyelenggara negara mengandung dua elemen
yang sifatnya alternative yaitu pegawai negeri atau penyelenggara negara
dimana dalam pembuktian unsur ini cukup dibuktikan terpenuhinya salah satu
dari elemen tersebut pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Pengertian Pegawai Negeri diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001, yang menyebutkan bahwa Pegawai Negeri adalah
meliputi:
a. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Kepegawaian;
b. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana;
88
c. orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau
Daerah;
d. orang yang menerima gaji atau upah dari suatu koorporasi yang
menerima bantuan dari keuangan Negara atau Daerah, atau;
e. orang yang menerima gaji atau upah dari koorporasi lain yang
mempergunakan modal atau fasilitas dari Negara atau masyarakat.
Pengertian mengenai penyelenggara negara terdapat dalam pasal 2
Undang-Undang No.28 Tahun 1999. Penyelenggara negara meliputi:
1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara
2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara
3. Menteri
4. Gubernur
5. Hakim
6. Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan
peruandang-undangan yang berlaku
7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan
penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
Terdakwa yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam putusan
Nomor: 46/Pid.B/2009/PN.BMS adalah benar seorang Pegawai Negeri Sipil
setelah diperiksa identitas dan jati dirinya. Terdakwa diangkat sebagai
Pegawai Negeri Sipil berdasarkan Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II
Banyumas Nomor: 821.1/124/51-1987 tanggal 30 Januari 1987 yang
89
kemudian diangkat sebagai kepala Bagian Tata Usaha pada Dinas Pekerjaan
Umum Kabupaten Banyumas Nomor: 821.2/030/2005 tanggal 25 Januari
2005.
1. yang menerima hadiah atau janji;
Menurut Kamus Bahasa Indonesia yang disusun W.J.S Poerwadarminta
terbitan Balai Pustaka 1987 yang dimaksud hadiah atau hibah atau kado
merupakan pemberian dalam bentuk uang, barang, jasa dan lain-lain yang
dilakukan tanpa ada kompensasi balik seperti yang terjadi dalam perdagangan,
walaupun dimngkinkan pemberi hadiah mengharapkan imbal balik, ataupun
dalam bentuk nama baik (prestise) atau kekuasaan. Adapun yang dimaksud
dengan janji adalah tawaran sesuatu yang diajukan dan akan dipenuhi oleh si
penerima tawaran.
Unsur menerima hadiah atau janji ini mengandung dua elemen yang
sifatnya alternative, yaitu hadiah atau janji, dimana dalam pembuktian unsur
ini cukup dibuktikan terpenuhinya salah satu dari elemen tersebut hadiah saja
atau janji saja.
Dari perbuatan terdakwa, terdakwa menerima uang yang didapatnya dari
desa-desa yang mengajukan proposal bantuan aspal dari Gubernur Jawa
Tengah sebesar Rp 33.110.000,00 dengan rincian Rp 4.500.000,00 (empat juta
lima ratus ribu rupiah) digunakan untuk biaya pengangkutan aspal dari gudang
Dinas Pekerjaan Umum di Semarang ke desa-desa yang menerima bantuan
90
aspal sedangkan sisanya Rp 28.610.000,00 (dua puluh delapan juta enam ratus
sepuluh ribu rupiah) dipakai oleh terdakwa sendiri.
2. padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan
jabatannya atau menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji
tersebut ada hubungannya dengan jabatannya;
Unsur kesalahan yang dilakukan terdakwa menurut pasal 11 ini ada dua
macam, yaitu bentuk kesengajaan dan bentuk kealpaan. Bentuk kesengajaan
yaitu pada kalimat “diketahuinya” bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan
karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya.
Sedangkan bentuk culpa atau kealpaan terdapat pada unsur “patut diduga”,
sehingga pasal 11 dapat dikataka merupakan apa yang disebut pro parte dolus
pro parte culpa. Dari dua bentuk kesalahan tersebut masing-masing ditujukan
pada unsur bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau
kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya.
Sudah memenuhi ketentuan pasal 11 meskipun Pegawai Negeri atau
Penyelenggara Negara sebenarnya tidak mempunyai kekuasaan atau
wewenang untuk memenuhi apa yang diharapkan dari orang yang memberi
hadiah atau janji, tetapi Pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut
mengetahui atau patut menduga orang yang memberi hadiah atau janji
beranggapan jabatan yang dipangku oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara
Negara tersebut dapat memenuhi apa yang diharapkan dari orang yang
memberi hadiah atau janji.
91
Fakta yang diungkap di persidangan berdasarkan keterangan saksi-saksi
yaitu mereka para Kepala Desa yang mengajukan proposal bantuan aspal dari
Gubernur Jawa Tengah dan diperkuat oleh terdakwa bahwa pada tahun 2007
sewaktu terdakwa menjabat sebagai Kepala Bagian Tata Usaha Dinas
Pekerjaan Umum Kabupaten Banyumas, terdapat 8 (delapan) desa yang
mengajukan proposal bantuan aspal dari Gubernur Jawa Tengah terdiri dari 1
(satu) desa di luar wilayah hukum PN Banyumas dan 7 (tujuh) desa di wilayah
hukum PN Banyumas.
Dari 7 desa tersebut, 6 diantaranya mengajukan proposal melalui terdakwa
dengan menyertakan uang di dalamnya. Uang tersebut menurut para saksi
diberikan kepada terdakwa karena jabatan terdakwa dianggap sebagai pihak
yang sangat penting dalam memperlancar proses pengajuan prosposal bantuan
aspal tersebut.
Dari awal proses pengajuan bantuan aspal dari Gubernur Jawa Tengah,
rangkaian perbuatan terdakwa terlihat bahwa terdakwa berusaha menciptakan
suatu kesan, image, atau pola pikir kepada saksi-saksi dari masing-masing
desa yang mengajukan proposal bahwa terdakwa mempunyai peran penting
untuk diberikan atau tidaknya bantuan aspal dari Gubernur Jawa Tengah.
Hingga pada akhirnya hanya 3 (tiga) desa saja yang dinyatakan memperoleh
bantuan aspal dari Gubernur Jawa Tengah.
Upaya terdakwa dalam menciptakan pola pikir kepada saksi-saksi yaitu dengan cara:
b. mengkoreksi proposal bantuan aspal dari Gubernur Jawa Tengah disertai dengan petunjuknya yang seharusnya bukan merupakan tugas dan kewenangan terdakwa,
92
c. menanamkan pola pikir kepada para kepala desa bahwa terdakwa yang bertugas membawa sendiri proposal bantuan aspal dari Gubernur Jawa Tengah tersebut ke Provinsi sehingga mendorong para saksi memberikan sejumlah uang atas permintaan terdakwa sebagai biaya transportasi ke Semarang,
d. mendampingi petugas survey dari provinsi untuk menciptakan pandangan bahwa terdakwa berperan penting dalam pemberian bantuan tersebut,
e. mengkoordinir 3 kepala desa yang akhirnya mendapat bantuan aspal dari Gubernur Jawa Tengah untuk memberikan sejumlah uang kepada terdakwa,
f. mendampingi desa yang mendapatkan bantuan aspal untuk mengambil aspal bantuan ke provinsi.
3. pidana tambahan;
Ciri suatu hukum pidana khusus, yakni selalu ada penyimpangan tertentu
dari hukum pidana umum. Demikian pula mengenai sistem pemidanaan
tindak pidana korupsi yang sudah menyimpang dari prinsip-prinsip umum
dalam stelsel pidana menurut KUHP. Dalam hukum pidana umum (KUHP)
yang membedakan antara pidana pokok dan pidana tambahan dalam pasal 10.
Jenis-jenis pidana pokok tidak dapat dijatuhkan secara kumulatif,
sedangkan pada tindak pidana tertentu yang diancam dengan pidana pokok
lebih dari satu selalu bersifat alternatif. Jenis-jenis pidana pokok yang bersifat
imperatif, artinya jika tindak pidana terbukti dan yang dilakukan oleh orang
yang karena dipersalahkan kepada pembuatnya, maka pidana pokok wajib
dijatuhkan sesuai dengan yang diancamkan pada tindak pidana yang
dilakukan oleh si pembuat.
Berbeda dengan jenis-jenis pidana tambahan yang bersifat fakultatif,
artinya tidak ada keharusan untuk dijatuhkan. Apabila tindak pidana tertentu
yang dilakukan si pembuat maka diancam dengan salah sau jenis pidana
93
tambahan. Penjatuhan pidana tambahan itu bergantung pada kebijakan
majelis hakim perlu dipertimbangkan atau tidak.
Pada prinsipnya memang pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan secara berdiri sendiri tanpa pidana pokok oleh karena sifatnya hanyalah merupakan tambahan dari sesuatu hal yang pokok.Akan tetapi dalam beberapa hal atas prinsip tersebut terdapat pengecualian.Pada dasarnya tidak dikenal kebolehan penjatuhan pidana tambahan mandiri tanpa penjatuhan pidana pokok, akan tetapi dalam perkembangan penerapan hukum pidana dalam praktek sehari-hari untuk menjatuhkan pidana tidak lagi semata-mata bertitik berat pada dapat dipidananya suatu tindakan, akan tetapi sudah bergeser kepada meletakan titik berat dapat dipidananya terdakwa'. Hal inilah yang mendasari pengecualian tersebut.
Dalam KUHP pengecualian tersebut terdapat dalam pasal 39 ayat 3 jo. Pasal 45 dan 46, serta pasal 40. Kedua pasal tersebut intinya mengatur jika terhadap terdakwa dinyatakan bersalah akan tetapi karena atas dirinya tidak dapat dijatuhi hukuman dengan alasan dibawah umur atau tidak waras maka terhadap barang-barang tertentu yang terkait dengan tindak pidana yang dilakukan dapat rampas oleh Negara.
Pengecualian atas prinsip tersebut juga terdapat dalam beberapa aturan di luar KUHP. Dalam UU Korupsi di pasal 38 ayat 5 dikatakan bahwa dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita.73
Dalam hukum pidana korupsi mengenai jenis-jenis pidana pokok sama
dengan jenis-jenis pidana pokok dalam pasal 10 KUHP. Mengenai jenis
pidana tambahan ada jenis baru yang tidak dikenal menurut pasal 10 KUHP,
tetapi dimuat dalam pasal 18 ayat (1)74, antara lain:
a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang yang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.
b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
73http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl194/pidana-pokok-dan-tambahan, diakses pada 13 Desember 2012 74 Wiyono, Op Cit, hlm.127
94
c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk paling lama 1 tahun.
d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
Ayat (2): Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
Ayat (3): Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
Jika diperinci lebih lanjut penjelasan dari pasal demi pasal mengenai penerapan pidana tambahan dalam tindak pidana korupsi sesuai pasal 18, antara lain meliputi:
Ayat (1):
a) Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang yang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut. Pidana tambahan mengenai perampasan barang dalam pasal in dapat diperinci kembali meliputi: - Perampasan barang bergerak yang berwujud yang digunakan untuk
atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut, atau
- Perampasan barang bergerak yang tidak berwujud yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut, atau
- Perampasan barang yang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.
95
Dalam menjatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barang-barang
menurut pasal 39 ayat (1) KUHP dan pasal 18 ayat (1) mempunyai kesamaan
yaitu barang-barang yang dirampas harus kepunyaan terpidana. Namun, jika
dibandingkan perampasan barang menurut pasal 39 ayat (1) KUHP tidak dapat
dilakukan terhadap barang-barang yang tidak berwujud.
b) Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.75 Pidana pembayaran uang pengganti, walaupun ada persamaan sifat dengan
pidana denda yakni sama dalam hal nilai uang atau rupiah yang dibebankan
atas harta kekayaan si pembuat atau terpidana, namun substansinya sungguh
berbeda. Perbedaan itu mengenai jumlah uang dalam pidana denda, tidaklah
perlu dihubungkan dengan akibat atau kerugian yang diderita yang in casu
maksudnya adalah kerugian negara. Akan tetapi pada pidana pembayaran
uang pengganti wajib dihubungkan dengan adanya akibat atau kerugian yang
timbul oleh adanya korupsi yang dilakukan oleh si pembuat. Tujuan pidana
pembayaran uang pengganti adalah untuk pemulihan kerugianakibat tindak
pidana korupsi, tetapi pidana denda semata-mata ditujukan bagi pemasukan
uang untuk kas negara.
Terdapat indikasi terjadinya perbedaan pendapat di antara para hakim dalam penafsiran terhadap ketentuntuan Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan UU No 20 Tahun 2001. Sebagian hakim berpendapat bahwa besarnya uang pengganti sama dengan nilai kerugian negara tanpa memperdulikan apakah barang bukti dapat disita secara utuh atau tidak. Sebagian hakim berpendapat bahwa besarnya yang pengganti harus sama dengan jumlah yang diperoleh
75 Ibid, hlm.129
96
dari korupsi tanpa memperhitungkan apakah barang bukti ada yang disita atau tidak. Sebagian hakim lagi berpendapat bahwa besarnya uang pengganti sebesar-besarnya sama dengan harta benda yang diperoleh dari korupsi. Sehingga apabila ada barang bukti yang disita maka nilainya harus di perhitungkan, dan apabila nilai barang bukti telah sama dengan atau telah melebihi jumlah uang yang diperoleh dari korupsi maka terdakwa tidak perlu lagi dihukum membayar uang pengganti. Eksekusi terhadap hukuman tambahan dalam pembayaran nang pengganti jika para terdakwa tidak mempunyai harta benda lagi yang dapat disita dan dilelang untuk membayar uang pengganti sehingga para terdakwa dapat memilih untuk menjalani hukuman pengganti sebagai hukuman subsider dari hukuman tambahan membayar yang pengganti.76
Dalam pidana tambahan pembayaran uang pengganti, jumlah uang
pengganti ditentukan sebanyak-banyaknya dengan harta benda yang diperoleh
dari tindak pidana korupsi. Dalam menentukan dan membuktikan jumlah
pembayaran uang pengganti harus diperhitungkan dengan benar sesuai “harta
benda yang diperoleh terpidana dari tindak pidana korupsi” karena
pembayaran uang pengganti ini hanya terbatas sampai ”sebanyak-banyaknya
sama” yang diperoleh terpidana dari hasil tindak pidana korupsi.
c) Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk paling lama 1 tahun, diperinci kembali meliputi:77
1. Penutupan seluruh perusahaan untuk paling lama 1 satu) tahun, atau
2. Penutupan sebagian perusahaan untuk paling lama 1 satu) tahun.
Dalam hal ini, pembuat Undang-Undang tidak menjelaskan apakah perusahaan yang dimaksud adalah perusahaan milik terpidana atau apakah tindak pidana korupsi yang dilakukan terpidana harus dilakukan di dalam lingkungan usaha dari perusahaan yang ditutup. Namun, menurut penulis tidak perlu perusahaan yang dimaksud adalah kepunyaan terpidana, cukup dengan syarat asal tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terpidana masih di dalam lingkup usaha dari perusahaan yang ditutup.
76http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/36914, diakses 14 Januari 2013 77Ibid, hlm.128
97
d) Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana. Yang dimaksud dengan “hak-hak tertentu” dalam pasal ini adalah
termasuk hak-hak yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada
terdakwa, yang tidak termasuk hak-hak sebagaimana dimaksud dalam
pasal 35 ayat (1) KUHP.
Pidana tambahan sebagaimana yang dimaksud dalam huruf c dan d, pada
hakikatnya merupakan pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana
dimaksud dalam pasal 10 huruf b angka 1 KUHP.78 Oleh karena merupakan
pidana tambahan, ketentuan yang terdapat di dalam pasal 38 ayat (2) KUHP
berlaku juga untuk ketentuan yang terdapat dalam pasal 18 ayat (1) huruf c
dan d, artinya pidana tambahan yang berupa penutupan perusahaan,
pencabutan hak-hak tertentu dan penghapusan keuntungan tertentu tersebut
mulai berlaku pada hari putusan pidana tambahan tersebut dapat dijalankan
dan bukan mulai berlaku pada hari mulai terpidana menjalani pidana
tambahan. Dengan demikian, pelaksanaan (eksekusi) pidana tambahan pada
pasal 18 ayat (1) angka c dan d tidak diperlukan.
Ayat (2):
Jika pengadilan sudah menjatuhkan putusan mengenai pembayaran uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (1) huruf b , kepada terpidana diberi tenggang waktu untuk membayar uang pengganti seperti yang ditentukan dalam pasal 18 ayat (2) yaitu “paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Terhadap tenggang waktu tersebut, jaksa sebagai pelaksana putusan pengadilan (pasal 270 KUHAP), tidak dapat
78 Ibid, hlm.131
98
memperpanjang tenggang waktu pembayaran uang pengganti, tidak seperti halnya jaksa dapat memperpanjang tenggang waktu pembayaran denda, yaitu ditentukan pada pasal 273 ayat (2) KUHAP, karena pembayaran uang pengganti berbeda dengan pembayaran denda. Jika tenggang waktu untuk pembayaran uang pengganti sudah lewat dan terpidana ternyata tidak membayar uang pengganti, tindak lanjutnya adalah harta benda terpidana dapat disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.79
Yang dimaksud dengan kalimat “harta bendanya” dalam Pasal 18 ayat (2) adalah harta benda kepunyaan terpidana yang bukan merupakan harta benda hasil dari tindak pidana korupsi dan/atau harta benda kepunyaan terpidana yang bukan dipergunakan untuk melakukan tindak pidana korupsi, karena jika memang terbukti di sidang pengadilan, bahwa harta benda kepunyaan terpidana tersebut merupakan harta benda hasil korupsi dan/atau dipergunakan untuk melakukan tindak pidana korupsi, maka pengadilan tentu akan menjatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barang-barang sebagaimana Pasal 39 ayat (1) KUHP atau Pasal 18 ayat (1) huruf b, sehingga jaksa tidak perlu sampai melakukan penyitaan terhadap barang-barang yang dimaksud dan dlelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.80
Penyitaan terhadap harta benda kepunyaan terpidana dan kemudian harta benda tersebut dilelang, baru dilakukan oleh jaksa sebagai pelaksana putusan pengadilan (Pasal 270 KUHP) jika terpidana belum atau tidak membayar uang pengganti yang jumlahnya seperti yang dimuat pada putusan pengadilan dalam tenggang waktu yang telah ditentukan.Prosedur pelaksanaan penyitaan yaitu penyitaan terhadap harta benda kepunyaan terdakwa tersebut tidak perlu terlebih dahulu memint izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat atau sesudah melakukan penyitaan segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempatuntuk mendapatkan perseetujuan, karena penyitaan ini dilakukan bukan dalam rangka penyidikan, tetapi dalam rangka pelaksanaan putusan pengadilan.81Jaksa dalam melakukan penyitaan terhadap harta benda kepunyaan terdakwa tersebut harus dapat memperkirakan harga benda yang disita, yang jika dilelang sudah dapat menutupi jumlah uang pengganti seperti yang dimuat dalam putusan pengadilan.
Setelah dilakukan penyitaan, maka jaksa melakukan penyimpanan harta benda sitaan. Tindakan penyimpanan tersebutberbeda-beda. Dalam hal berupa dokumen, maka jaksa penyidik melakukan penyimpanan dokumen sebagai benda sitaan di kantor kejaksaan. Lain halnya
79Ibid, hlm.130 80Ibid, hlm.133 81Ibid
99
apabilaberbentuk benda bergerak, maka penyimpanan barang bukti dilakukan dengan menitipkannya di Rumah Penitipan Benda Sitaan Negara (Rupbasan). Dalam hal berupa uang maka barang bukti tersebut disimpan dalam rekening khusus yang dimiliki oleh Kejaksaan yang telah mendapat izin dari menteri keuangan.82
Ayat (3):
Dari ketentuan yang ada pada pasal 18 ayat (3), dapat diketahui adanya beberapa syarat agar terpidana yang dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 18 ayai (1) huruf b, dapat dipidana dengan pidana penjara, yaitu:83
a. Oleh pasal 18 ayat (3) ditentukan: “terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b”, artinya dalam tenggang waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, ternyata di samping terpiidana sudah tidak mempunyai lagi uang tunai untuk membayar uang pengganti, juga hasil lelang dari harta benda kepunyaan terpidana yang telah disita oleh jaksa sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (2) tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti.
b. Lamanya pidana penjara oleh pasal 18 ayat (3) ditentukan: “tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini” artinya pidana penjara yang dijatuhkan kepada terpidana karena tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tidak boleh melebihi ancaman maksimum pidana penjara dari ketentuan tetang tindak pidana korupsi yang telah dilakukan oleh terpidana.
c. Lamanya pidana penjara tersebut oleh pasal 18 ayat (3) ditentukan: “sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.” Artinya pada waktu pengadilan menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana korupsi, di dalam putusan pengadilan tersebut sudah ditentukan atau dicantumkan lamanya pidana penjara yang dijatuhkan oleh pengadilan terhadap terpidana jika sampai terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti.
4. perbuatan berlanjut (voortgezette handeling)
82http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30087/2/Chapter%20III-IV.pdf, diakses pada 9 Agustus 2013 83Op.Cit, hlm.135
100
Dalam pasal 64 ayat (1) KUHP, perbuatan berlanjut (voortgezette
handeling) yaitu “jika beberapa perbuatan-perbuatan berhubungan, sehingga
demikian harus dipandang sebagai satu perbuatan yang diteruskan, maka
hanya satu ketentuan pidana saja yang digunakan walaupun masing-masing
perbuatan itu menjadi kejahatan atau pelanggaran, jika hukuman berlainan
maka yang digunakan ialah peraturan yang terberat hukumnya”.
Menurut R.Soesilo dalam bukunya “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP),84 bahwa beberapa perbuatan yang yang satu sama lain ada
hubungannya itu supaya dapat dipandang sebagai “suatu perbuatan yang
diteruskan” menurut pengetahuan dan praktek harus memenuhi syarat-syarat :
harus timbul dari satu niat, perbuatan-perbuatan itu harus sama atau sama
macamnya, dan waktu antaranya tidak boleh terlalu lama.
Berdasarkan fakta di persidangan, terdakwa pada tahun 2007 saat masih
menjabat sebagai Kepala Bagian Tata Usaha Dinas Pekerjaan Umum
Kabupaten Banyumas terdapat 8 desa terdiri dari 1 desa di luar wilayah
Kabupaten Banyumas dan sisanya dari wilayah Kabupaten Banyumas yang
mengajukan proposal bantuan aspal dari Gubernur Jawa Tengah.7 (tujuh) desa
di wilayah Kabupaten Banyumas yang direkomendasikan dapat memperoleh
bantuan aspal Gubernur Jawa Tengah mengajukan proposal bantuan aspal ke
Gubernur Jawa tengah dimana setiap proposal bantuan yang diajukan harus
melalui terdakwa karena pada saat itu jabatan terdakwa adalah Kabag TU
Dinas Pekerjaan Umum. Terdakwa menerima proposal dari beberapa desa,
84 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Politeia Bogor, Cetakan Ulang :1993, hlm. 81-82
101
antara lain Desa Karanggintung, Desa Kemiri, Desa Sibrama, Desa
Kebarongan, Desa Karangsalam, Desa Kedungpring, serta Desa Petahunan.
Terdakwa dalam hal ini telah melakukan beberapa perbuatan sejenis yaitu
menerima uang dari saksi Noto Siswanto, Nanggal Haryanto, Mujiono,
Anwari, Muh.Siasat, Roso dari pengajuan proposal bantuan aspal dari
Gubernur Jawa Tengah sampai dengan penerimaan bantuan aspal bagi tiga
desa dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama. Yang dilakukan terdakwa
tersebut adalah timbul dari satu niat atau kehendak yang terlarang dari
terdakwa yaitu menguntungkan diri terdakwa atas masyarakat desa pemohon
bantuan aspal dari Gubernur Jawa Tengah.
Dari kenyataan yang diperoleh selama persidangan, majelis hakim tidak
menemukan hal-hal yang dapat melepaskan terdakwa dari pertanggung
jawaban pidana, baik sebagai alasan pembenar dan atau alasan pemaaf, oleh
karena majelis hakim berkesimpulan bahwa perbuatan yang dilakukan
terdakwa harus dipertanggungjawabkan kepadanya. Karena terdakwa mampu
bertanggung jawab maka terdakwa harus dinyatakan bersalah atas tindak
pidana yang didakwakan oleh karena itu harus dijatuhi pidana.
Dari unsur-unsur tersebut di atas, bahwa akibat dari tindak pidana korupsi sangat luas dan mengakar.85 Adapun akibat dari korupsi adalah sebagai berikut: a. berkurangnya kepercayaan terhadap pemerintah;
Apabila pejabat pemerintah melakukan korupsi mengakibatkan kurangnya kepercayaan terhadap pemerintah tersebut. Di samping itu, negara lain juga lebih mempercayai negara yang pejabatnya bersih dari korupsi dalam kerja sama di berbagai bidang, sehingga secara tidak langsung dapat menghambat pembangunan di segala bidang khususnya pembangunan
85 Evi Hartanti, Op Cit, hlm.16
102
ekonomi serta menggangu stabilitas perekonomian negara dan stabilitas politik.
b. berkurangnya kewibawaan pemerintah dalam masyarakat; Apabila pejabat pemerintah yang notabene sudah mendapat amanah dari masyarakat kemudian melakukan tindak pidana korupsi maka masyarakat cenderung apatis dengan segala anjuran dan tindakan pemerintah. Sifat apatis ini jelas akan mengganggu keamanan negara dan rapuhnya ketahanan nasional.
c. menyusutnya pendapatan negara; Peneriman negara untuk pembangunan didapatkan dari dua sektor yaitu dari pungutan bea dan penerimaan pajak. Pendapatan negara berangsur menurun seiring dengan penyelewengan dan penyeludupan oleh pejabat pemerintah yang bersangkutan.
d. rapuhnya keamanan dan ketahanan negara; Keamanan dan ketahanan negara akan menjadi rapuh apabila para pejabat pemerintah mudah disuap. Pengaruh korupsi juga dapat mengakibatkan berkurangnya loyalitas masyarakat terhadap negara.
e. perusakan mental pribadi; Seseorang yang sering melakukan penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang meentalnya akan menjadi rusak. Hal ini mengakibatkan segala sesuatu dihitung dengan materi dan akan melupakan tugasnya serta hanya melakukan tindakan yang menguntungkan diri sendiri. Yang lebih berbahaya lagi jika hal ini dicontoh oleh generasi muda maka cita-cita bangsa Indonesia untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur akan semakin sulit tercapai.
f. hukum tidak lagi dihormati; Negara kita merupakan negara hukum dimana segala sesuatunya harus didasarkan pada hukum. Tanggung jawab dalam hal ini bukan hanya terletak pada penegak hukum saja tetapi juga seluruh waraga negara Indonesia. Cita-cita untuk menggapai tertib hukum tidak akan terwujud apabila para penegak hukum melakukan tindakan korupsi sehingga hukum tidak dapat ditegakkan, ditaati, serta tidak diindahkan oleh masyarakat. Berkaitan dengan penerapan pidana di negara kita, potret penerapan pidana akhir-akhir ini bagi para pelaku tindak pidana korupsi kurang menimbulkan efek jera sehingga kemunculan tindak pidana korupsi dari masa ke masa semakin meningkat.Berbicara tentang akibat yang mungkin ditimbulkan akan bahayanya tindak pidana korupsi, penulis berpendapat jika penerapan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi harus dapat menimbulkan efek jera kepada pelakunya atau juga agar orang lain tidak ikut serta pula melakukan tindak pidana korupsi.
103
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kesimpulan yang didapat penulis dalam penulisan hukum yang berjudul
PENERAPAN PIDANA TAMBAHAN TERHADAP PEGAWAI NEGERI
SIPIL (Studi Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Putusan Pengadilan
Negeri Banyumas Nomor :46/Pid.B/2009/PN.Bms) yaitu:
1. Penerapan Pidana Tambahan terhadap Pegawai Negeri Sipil bernama
Casmono yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi karena
perbuatannya telah melanggar pasal 11 Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 18
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal
64 ayat (1) KUHP.Penerapan pidana tersebut berdasarkan ketentuan
pasal 18 ayat (1) huruf b bahwa jumlah uang pengganti sebanyak-
banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana
korupsi, dalam hal ini sebanyak Rp 28.610.000,00. Sesuai pasal 18 ayat
(2) dalam hal jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama
waktu 1 bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan
dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.Praktiknya, bila harta
104
terpidana tak cukup, maka terpidana tetap harus menjalani pidana penjara
pengganti (subsidiaritas)yang lamanya tidak memenuhi ancaman
maksimum dari pidana pokoknya sesuai pasal 18 ayat (3).
Namun, karena sesuai fakta dalam persidangan, terdakwa menitipkan
uang kepada Jaksa Penuntut Umum sebesar Rp 28.610.000,00 yang
kesemuanya dimaksud oleh terdakwa untuk mengembalikan uang yang
telah dinikmati dari hasil perbuatannya, maka uang hasil korupsi tersebut
hanya disita dan dikembalikan kepada desa yang berhak meliputi
masyarakat Desa Karanggintung melalui saksi Noto Siswanto sebesar
Rp.12.110.00,00, dikembalikan kepada masyarakat desa petahunan
melalui saksi Nanggal Haryanto sebesar Rp.6.500.000,00, dikembalikan
kepada masyarakat Desa Kemiri melalui saksi Mujiono sebesar
Rp.7.500.000,00, dikembalikan kepada masyarakat Desa Karangsalam
melalui saksi Roso sebesar Rp.1.000.000,00, dikembalikan kepada
masyarakat Desa Kebarongan melalui saksi M.Siasat sebesar
Rp.500.000,00, dikembalikan kepada masyarakat Desa Kedungpring
melalui saksi Anwar sebesar Rp.1.000.000,00.
2. Dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan pidana
tambahan terhadap Pegawai Negeri Sipil pelaku tindak pidana korupsi
dalam putusan nomor: 46/Pid.B/2009/PN.Bms yaitu majelis hakim
menetapkan pidana tambahan terhadap terdakwa Casmono berupa
pembayaran uang pengganti sebanyak-banyaknya sama dengan harta
benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsisejumlah Rp
105
28.610.000,00. Jumlah tersebut terhitung dari proses pengajuan proposal
dari desa yang direkomendasikan menerima bantuan aspal sampai
pengambilan aspal ke Semarang bagi desa yang menerima bantuan aspal,
terdakwa berkali-kali menerima hadiah uang yang keseluruhannya
sejumlah Rp 33.110.000,00. Kemudian terdakwa menggunakan uang
tersebut untuk biaya pengangkutan aspal dari gudang Dinas Pekerjaan
Umum di Semarang ke tiga desa penerima bantuan aspal (Desa
Karanggintung, Desa Kemiri, dan Desa Petahunan) sebanyak Rp
4.500.000,00, sedangkan sisanya Rp 28.610.000,00 terdakwa memakai
untuk keuntungannya sendiri. Secara hukum sisa uang tersebut tidak sah
karena berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku bahwa
bantuan aspal adalah bantuan hibah yang diberikan cuma-cuma dari
Gubernur dan tidak diperkenankan memungut biaya apapun kecuali
biaya angkut aspal dari Semarang sampai ke desa penerima hibah yang
menjadi tanggung jawab desa penerima hibah. Oleh karena itu terdakwa
tidak berhak untuk menerima ataupun memilikinya maka terdakwa wajib
mengganti dan mengembalikannya kepada yang berhak.
B. SARAN
Saran yang dapat disajikan oleh penulis, antara lain:
- Untuk majelis hakim yaitu pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim
kepada terdakwa adalah pidana penjara selama 1 (satu) tahun menurut
pandangan penulis hendaknya lebihmaksimal karena kurang dapat
memberikan efek jera bagi terdakwa. Namun, dengan adanya aturan
106
mengenai hukuman tambahan, hal ini dapat menjadikan perbaikan pada
diri terdakwa untuk tidak lagi melakukan tindak pidana korupsi serta dapat
mencegah atau meminimalisir kemungkinan munculnya kasus-kasus
korupsi berikutnya dalam masyarakat.
- Untuk Pegawai Negeri Sipil di Indonesia seharusnya mendukung penuh
gerakan pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi dan bukan
ikut terlibat dalam tindak pidana korupsi, karena perilaku Pegawai Negeri
khususnya Pegawai Negeri Sipil di Indonesia sudah menjadi sorotan
rakyat banyak sehingga mereka wajib untuk memberi suri tauladan atau
contoh yang baik kepada rakyat Indonesia sehingga rakyat dapat percaya
penuh dengan kinerja pemerintah Indonesia demi meningkatkan ketahanan
nasional di Indonesia.
- Untukrakyat Indonesia seharusnya ikut serta mendukung gerakan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan menghindari segala bentuk
kecurangan-kecurangan yang memicu terjadinya Tindak Pidana Korupsi.
107
DAFTAR PUSTAKA
1. Literatur :
Ali, Mahrus. 2011. Dasar-dasar Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika. Arief, Barda Nawawi. 2005. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana.
Bandung: Citra Aditya Bakti. Chazawi, Adami. 2005. Pelajaran Hukum Pidana (Stelsel Pidana, Tindak
Pidana, Teori-Teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Hamzah, Jur.Andi. 2005. Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana
Nasional dan Internasional. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Hartanti, Evi. 2007. Tindak Pidana Korupsi.Jakarta: Sinar Grafika. Lamintang, P. A. F., dkk. 2009. Kejahatan Jabatan dan Kejahatan Jabatan
Tertentu sebagai Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika. -----. 1990. Hukum Pidana Indonesia, Cet.III. Bandung: sinar Baru. Lopa, Baharuddin. 2001. Kejahatan Korupsi dan Penegakan hukum.Jakarta:
Kompas. Marpaung, Leden. 2008. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Cetakan
Keempat. Jakarta: Sinar Grafika. Moeljatno.2000. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.
Prodjodikoro, Wirjono. 2003. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia.
Bandung: PT. Rafika Aditama. Prodjohamidjojo, Martiman. 2001. Penerapan Pembuktian Terbalik dalam
Delik Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999). Bandung: Mandar Maju. Remmelink, Jan.2003. “Hukum Pidana”, Komentar atas Pasal-Pasal
Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Saleh, K.Wantjik.1983. Tindak Pidana Korupsi dan Suap. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
108
Sholehuddin, 2003. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track Sistem Dan implementasinya. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Situmorang, Victor.M. 1994. Tidak Pidana Pegawai Negeri Sipil. Jakarta:
Rineka Cipta. Soedarso, Boesono. 2009. Latar Belakang Sejarah dan Kultural Korupsi di
Indonesia, Jakarta: UI-Press. Soemitro, Ronny Hanitijo. 1988. Metodologi Penelitian Hukum dan Jumetri.
Jakarta: Alumni. -----. 2000. Metodologi Penelitian Hukum. Semarang:Ghalia Indonesia. Soekanto, Surjono. 1981.Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. Sudarto. 1990. Hukum Pidana I. Semarang: Yayasan Sudarto. Surachmin, dkk. 2011. Strategi & Teknik Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika. Tuanakotta, M.Theodorus. 2009. Menghitung Kerugian Keuangan Negara
Dalam Tindak Pidana korupsi.Jakarta: Salemba Empat. Wiyono, R. 2009. Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika.
2. Peraturan Perundang-Undangan:
Undang - undang nomor 24 Tahun 1960 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
Undang - undang nomor 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
Undang - undang nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
Undang - undang nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas undang - undang pemberantasan tindak pidana korupsi,
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang pokok-pokok Kepegawaian Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974
109
Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP)
3. Internet:
http://www.beritasatu.com/nasional/85448-lebih-dari-1000-pns-terlibat-kasus-hukum.html diakses pada 13 Desember 2012.
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/5329,diakses pada 13 Desember
2012. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl194/pidana-pokok-dan-
tambahan, diakses pada 13 Desember 2012. http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/36914, diakses 14 Januari 2013. http://blogmhariyanto.blogspot.com/2009/07/strafbaar-feit-menurut-
bambang-poernomo.html, diakses pada 1 Maret 2013. http://www.inkepeg.net/infkepeg.php?id=4 , diakses pada 29 Maret 2013. http://bkd.balikpapan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id
=54&Itemid=64, diakses pada 29 Maret 2013. http://www.bkn.go.id/in/peraturan/pedoman/pedoman-berhenti-pns.html,
diakses pada 29 Maret 2013. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30087/2/Chapter%20III-
IV.pdf, diakses pada 9 Agustus 2013.