bab i pendahuluan a. latar belakang...penataan ruang, perumahan rakyat dan kawasan pemukiman,...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketenteraman dan ketertiban kehidupan masyarakat merupakan pra
syarat mutlak dalam penyelenggaraan pemerintah, pembangunan dan
pelayanan masyarakat, sehinggga dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah telah menentukan bahwa ketenteraman
dan ketertiban merupakan Urusan Pemerintahan Konkuren. Urusan
Pemerintahan Konkuren terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan
Pemerintahan Pilihan yang dibagi antara Pemerintah Pusat, Daerah provinsi,
dan Daerah Kabupaten/Kota. Urusan Pemerintahan Wajib dibagi dalam
Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan Dasar dan Urusan
Pemerintahan Wajib yang tidak terkait Pelayanan Dasar.1
Arti dari urusan Pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan
dasar adalah urusan Pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh semua
Daerah dan urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan
dasar ini, mencakup bidang pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan
penataan ruang, perumahan rakyat dan kawasan pemukiman, ketenteraman,
ketertiban umum dan perlindungan masyarakat dan sosial. Pemerintah
daerah ini memprioritaskan urusan pemerintahan wajib yang berkaitan
dengan pelayanan dasar, dan urusan diatas berpedoman pada standar
1 Pasal 12 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
2
pelayanan minimal yang ditetapkan pemerintah pusat dalam bentuk
peraturan pemerintah. Standar pelayanan minimal itu sendiri adalah
ketentuan mengenai jenis dan mutu Pelayanan yang berhak diperoleh setiap
warga negara. Untuk urusan Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan
Dasar ditentukan oleh Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk menjamin
hak-hak konstitusional masyarakat.
Pembagian urusan Pemerintahan Konkuren antara Daerah provinsi
dengan Daerah Kabupaten/Kota urusan Pemerintahannya sama,
perbedaannya akan nampak dari skala atau ruang lingkup urusan
Pemerintahan tersebut. Walaupun Daerah Provinsi dan Daerah
Kabupaten/Kota mempunyai urusan Pemerintahannya masing-masing yang
sifatnya tidak hierarki, namun terdapat hubungan antara Pemerintah Pusat,
Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota yang dalam pelaksanaannya
mengacu pada Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) yang dibuat
oleh Pemerintah Pusat. Pemerintahan Daerah menurut ketentuan Pasal 1
ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menurut
Asas Otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-
luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia
3
tahun 1945. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota dan
Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.2
Pada umumnya, orang luar Madura cenderung beranggapan bahwa
masyarakat Madura mempunyai watak atau karakter yang keras dan juga
cenderung mengartikan setiap bentuk kekerasan (baik yang berakhir
kematian atau tidak) yang dilakukan oleh masyarakat Madura sebagai
carok.3 Carok adalah salah satu kasus yang harus ditertibkan dan
diperhatikan oleh pemerintah sebagai pelayanan dasar pemerintahan
terhadap masyarakat setempat. Istilah carok berasal dari bahasa Madura
yang berarti “bertarung dengan kehormatan”. Biasanya, carok merupakan
jalan terakhir yang di tempuh oleh masyarakat suku Madura dalam
menyelesaikan suatu masalah.4
Semua kasus carok diawali dengan konflik, meskipun konflik tersebut
dilatarbelakangi oleh permasalahan, yang menjadi faktor-faktor terjadinya
carok yaitu cemburu karena mengganggu istri orang, cemburu karena
persaingan bisnis, cemburu tehadap tetangga, mempertahankan martabat
dan merebut warisan5 yang mengacu pada perasaan malu karena pelecehan
harga diri atau martabat. Untuk memulihkan harga diri mereka yang
dilecehkan, maka mereka melakukan perbuatan balas dendam dengan carok,
yang notabenenya selalu mendapat dukungan dari lingkungan sosial.
2 Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. 3 A. Latief Wiyata,Carok; Konflik Kekerasaan dan Harga Diri Orang Madura, LKIS,
Yogyakarta, 2002, h.1. 4 http://www.esaunggul.ac.id/article/tradisi-carok-pada-masyarakat-adat-madura/, dikunjungi pada
tanggal 4 September 2016 pukul 21.47. 5 A. Latief Wiyata, Op.Cit., h.91-168.
4
Bagaimana pun caranya, semua pelaku carok yang berhasil membunuh
musuhnya menunjukkan perasaan yang lega, puas, dan bangga.
Carok merupakan suatu tindakan kekerasan atau upaya pembunuhan
dengan menggunakan senjata tajam yang pada umumnya menggunakan
celurit, yang dilakukan oleh laki-laki terhadap laki-laki lain yang telah
melakukan pelecehan terhadap harga dirinya baik secara idividu, sebagai
suami, maupun secara kolektif yang mencakup kerabat atau keluarga.
Terutama harga diri atau martabat yang kaitannya dengan masalah
kehormatan istri sehingga timbul perasaan malu saat terjadi pelecehan.6
Pengertian harga diri atau martabat sangat berkaitan erat dengan
adanya perasaan malu yang ditimbulkan ketika terjadi pelecehan, hal ini
merupakan faktor utama orang Madura untuk melakukan carok. Dengan
demikian, perasaan malu ini muncul dalam diri seseorang sebagai akibat
dari tindakan dirinya sendiri yang menyimpang dari aturan-aturan normatif.
Sebaliknya, malu muncul sebagai akibat dari perlakuan orang lain yang
mengingkari atau tidak mengakui kapasitas dirinya. Orang Madura yang
diperlakukan seperti itu sama artinya dengan dilecehkan harga dirinya.
Mereka kemudian akan selalu melakukan tindakan perlawanan sebagai
upaya untuk memulihkan harga diri mereka yang dilecehkan itu. Tindakan
perlawanan tersebut cenderung sangat keras dan dalam bentuk yang sangat
ekstrim.
6 Ibid., h.184.
5
Suatu ungkapan yang berbunyi “ango’an poteya tolang etembang
poteya mata” yang artinya lebih baik mati daripada harus menanggung
perasaan malu. Ungkapan diatas, memberikan pengertian dan makna yang
sangat kuat tentang hal tersebut. Misalnya, tindakan yang mengganggu istri
orang atau perselingkuhan merupakan bentuk pelecehan harga diri yang
paling menyakitkan bagi kaum laki-laki Madura. Oleh karena itu, tidak ada
cara lain untuk menebusnya kecuali dengan cara melakukan penganiayaan
atau dengan membunuh orang yang mengganggunya.
Mereka kawin dinikahkan oleh penghulu dan disaksikan oleh banyak
orang, serta dengan memenuhi peraturan agama, siapa saja yang
mengganggu istri mereka, mereka tidak tanggung-tanggung untuk
melakukan carok, oleh karena itu martabat dan kehormatan istri merupakan
manifestasi dari martabat dan kehormatan suami, karena istri
adalah “bhantalla pate” yang artinya landasan kematian, itulah yang
kemudian muncul dalam pikiran kaum laki-laki Madura.7
Apabila seorang laki-laki yang dilecehkan harga dirinya, namun tidak
berani melakukan carok, orang Madura akan mencemoohnya bukan seorang
laki-laki (lo’lake). Bahkan, beberapa informan justru menyebutnya bukan
sebagai orang Madura, seperti dikatakan oleh Gutte Bakir, salah
seorang jagoan di desanya yang katanya, “Mon lo’bangal aCarok
ajjha’ngako oreng Madhura” yang artinya jika tidak berani
melakukan carok jangan mengaku sebagai orang Madura. Saat terjadinya
carok, siapa yang mati harus menerima dan anak-anaknya biasanya
7 Ibid., h. 25.
6
membalas sampai tujuh turunan. Senjata yang digunakan dalam carok selalu
indentik dengan menggunakan celurit, yang sampai saat ini masih menjadi
ciri khas orang Madura.
Munculnya celurit di pulau Madura bermula pada abad ke-18 M. Pada
masa ini, dikenal seorang tokoh Madura yang bernama Pak Sakerah. Pak
Sakerah diangkat menjadi mandor tebu di Bangil, Pasuruan oleh Belanda.
Yang menjadi ciri khas dari Pak Sakerah adalah senjata yang berbentuk arit
besar yang kemudian dikenal sebagai celurit dalam bahasa Madura biasa
disebut sebagai (Are’), dimana dalam setiap kesempatan, beliau selalu
membawanya setiap pergi ke kebun untuk mengawasi para pekerja.8
Celurit itu sendiri mempunyai makna dan filosofi di mata orang
Madura, hal ini dilihat dari bentuknya yang seperti tanda tanya, yang
menunjukkan bahwa orang Madura selalu tidak puas terhadap kejadian yang
terjadi di sekitarnya. Kebiasaan orang Madura ketika membawa celurit
selalu diletakkan di pinggang samping kiri, karena menurut orang Madura
tradisi tersebut sebagai upaya pembelaan harga diri laki-laki di Madura dan
sebagai pelengkap dari tulang rusuk laki-laki yang kurang satu.9
Jadi, orang Madura melakukan carok bukan karena semata-mata tidak
mau dianggap sebagai penakut, meskipun sebenarnya mereka juga takut
untuk melakukannya, melainkan juga agar dia tetap dianggap sebagai orang
Madura. Carok juga salah satu cara orang Madura untuk mengekspresikan
8 Ibid., h. 64. 9 http://koewatno.blogspot.co.id/2008/09/sekelumit-tentang-carok-clurit-bagi.html, dikunjungi
pada tanggal 4 September 2016 pukul 23.15.
7
identitasnya. Dalam hal ini, hubungan antara hukum dengan masyarakat
dapat ditinjau dari kacamata ilmu sosial.10 Semua itu, semakin memperkuat
anggapan bahwa carok bukan tindakan kekerasan pada umumnya,
melainkan tindakan kekerasan yang mempunyai makna-makna sosial
budaya yang harus bisa dipahami sebagai salah satu budaya hukum bagi
mereka.
Kendati demikian, Negara harus memperbaiki wibawanya sebagai
aparatur yang baik dan bertanggung jawab kepada rakyatnya, dengan
memiliki itikad baik memperbaiki dirinya, terutama menegakkan hukum
yang adil. Penegak hukum sudah seharusnya memberlakukan dan
menerapkan hukum secara konsisten agar segala tindakan benar-benar dapat
menjamin rasa aman serta memenuhi rasa keadilan terhadap masyarakat
lokal.11
Di wilayah Madura, budaya carok sudah menjadi salah satu kehidupan
masyarakat, sehingga carok ini dapat menimbulkan perkelahian bahkan
sampai dengan pembunuhan. Budaya yang seperti ini akan berpengaruh
terhadap ketenteraman dan ketertiban. Jika budaya ini terus dikembangkan
dan dilaksanakan, maka masyarakat sekitar akan sangat terganggu
ketenteraman dan ketertibannya. Upaya yang dilakukan pemerintah daerah
dalam hal ini camat, mencoba untuk meminimalisir ketenteraman dan
ketertiban dan meningkatkan pengawasan terhadap setiap sumber atau
perkara yang akan menimbulkan kekerasan. Karena masyarakat tidak
10 Adam Podgorecki dan Christopher J. Whelan, ed., Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum,
Penerbit Bina Aksara, 1981, h.4. 11 Mien Ahmad Rifai,Manusia Madura, Penerbit Pilar Media, Yogyakarta, 2007, h.250.
8
mungkin melanggar tanpa adanya tata terbib, maka pengawasan sosial harus
ada dari kenyataan sosial.12 Jenis-jenis pengawasan sosial disederhanakan
menjadi jenis-jenis pengawasan yang membantu menciptakan tata tertib
yang sebenarnya.13 Hal ini akan berdampak pada ketenteraman dan
ketertiban dalam masyarakat Madura, sehingga mereka tidak lagi
menjadikan Carok sebagai solusi untuk menyelesaikan permasalahan yang
mereka hadapi.
Koordinasi dari beberapa pihak yang terkait dengan ketenteraman dan
ketertiban juga perlu dilaksanakan untuk mewujudkan kondisi wilayah yang
tentram dan tertib. Camat sebagai pimpinan wilayah harus melakukan
pendekatan kepada kapolsek, koramil, tokoh masyarakat dan agama yang
terdapat di Kecamatan Batumarmar dan diharapakan dapat ikut beperan
serta dalam mendorong ketenteraman dan ketertiban sehingga tercipta
kondisi masyarakat yang senantiasa menerapkan nilai-nilai agama dalam
kehidupan sehari-hari.
Mengadakan penyuluhan akan pentingnya bermusyawarah dalam
menyelesaikan suatu permasalahan, ataupun kegiatan semacam itu sangatlah
penting, sekedar upaya untuk menyadarkan masyarakat Madura, khususnya
yang tinggal di kawasan pedesaan yang merupakan wilayah rawan
terjadinya konflik yang dapat berujung carok. Dengan demikian,
kemungkinan tercapainya perdamaian dalam menyelesaikan konflik yang
terjadi semakin besar dan dapat melibatkan beberapa aparatur daerah dalam
menjalankan tugasnya. Sehingga terjadinya koordinasi antara camat dan
12 Alvin S. Johnson, Sosiologi Hukum, Cet III, Penerbit PT Rineka Cipta,Jakarta, 2006, h.29. 13 Alvin S. Johnson, Sosiologi Hukum, Cet I, Penerbit PT Rineka Cipta, Jakarta, 1994, h.32.
9
pihak yang terkait dapat menjadikan Kecamatan Batumarmar semakin
kondusif.
Untuk menanggulangi carok di kalangan orang Madura, pemerintah
memiliki peran yang sangat penting yang tidak serta merta terlepas dari
keberadaan budaya carok dalam negara kita khususnya di Kecamatan
Batumarmar Kabupaten Pamekasan Madura. Banyaknya kasus carok yang
terjadi pada tahun-tahun sebelumnya merupakan tolak ukur dari kinerja
camat. Hal ini yang menjadi salah satu faktor keberhasilan camat dalam
menciptakan ketenteraman dan ketertiban di wilayahnya, sehingga pada
tahun-tahun berikutnya masyarakat Madura tidak menyelesaikan masalah
dengan melakukan carok. Peran camat yang demikian membuat penulis
tertarik dalam melakukan penelitian, sehingga apa saja yang mendukung
keberhasilan camat dalam melakukan koordinasi dengan beberapa pihak
untuk meminimalisir masyarakat Madura khususnya Kecamatan
Batumarmar untuk tidak lagi melakukan carok.
B. RUMUSAN MASALAH
Di dalam permasalahan yang ada di atas, maka penulis akan
merumuskan beberapa masalah yang terjadi sebagai berikut:
1. Bagimana peran camat dalam mengkoordinasi ketenteraman dan
ketertiban umum di Kecamatan Batumarmar Kabupaten Pamekasan
Madura?
10
2. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh dalam mengkoordinasikan
ketenteraman dan ketertiban umum di Kecamatan Batumarmar
Kabupaten Pamekasan Madura?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penulis dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui peran yang dilakukan oleh camat dalam
melaksanakan ketenteraman dan ketertiban umum di Kecamatan
Batumarmar Kabupaten Pamekasan Madura.
2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh dalam melaksanakan
ketenteraman dan ketertiban umum di Kecamatan Batumarmar
Kabupaten Pamekasan Madura.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
pengembangan ilmu hukum terkait dengan penerapan teori-teori
hukum yang terkait dengan pelaksanaan peran camat dalam
mengkoordinasikan ketenteraman dan ketertiban.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan memberikan informasi bagi berbagai
pihak terkait.14 Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat
14 Sabian Utsman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Cet II, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2010, h.345.
11
meningkatkan kondisi di wilayahnya dan sebagai bahan masukan
kepada Kecamatan Batumarmar, agar dapat memberikan kontribusi
yang membangun di wilayahnya.
E. METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan oleh penulis antara lain:
1. Pendekatan
Pendekatan yang digunakan oleh penulis di dalam penelitian ini
adalah pendekatan Sosio Legal Research, yakni analisis yang berusaha
memberikan gambaran secara menyeluruh, sistematis, dan mendalam
tentang suatu keadaan atau gejala penelitian.15
2. Jenis Penelitian
Spesifikasi penelitian ini menggunakan deskripsi-analitis, yaitu
penelitian yang menggambarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan
hukum positif. Penelitian deskriptif adalah untuk memberi suatu
uraian yang deskriptif mengenai suatu objek. Tujuan utama dari
penelitian deskriptif ialah melukiskan realitas sosial yang kompleks
sedemikian rupa, sehingga relevansi sosiologis antropologis tercapai.16
3. Jenis Data
a. Data Primer
15 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1984, h.10. 16 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Edisi 11, Jakarta: UI Press., 2010, h.4.
12
Data yang diperoleh langsung dari kehidupan masyarakat
dengan cara wawancara, observasi, sample dan lain-lain.
Adapun spesifikasinya:
1) Camat Kecamatan Batumarmar, Bapak Kusairi.
2) Kapolsek Kecamatan Batumarmar, Bapak Djunaidi Tirto
Atmojo.
3) Danramil Kecamatan Batumarmar, Bapak Hariyanto
4) Tokoh agama dan tokoh masyarakat Kecamatan
Batumarmar, Bapak KH. Baihaki Bustomi.
b. Data sekunder
Data yang diperoleh dari literatur-literatur sehingga
dinamakan penelitian kepustakaan. Data diperoleh dengan
memperhatikan peraturan perundang-undangan yang ada
maupun melalui pendapat ahli hukum.
Adapun alasan pemilihan tempat penelitian ini didasarkan pada
alasan-alasan sebagai berikut:
a. Lokasi penelitian tersebut cukup strategis, karena terletak
di wilayah Pamekasan yang mudah dijangkau.
b. Ketertarikan peneliti untuk mengetahui lebih jauh
mengenai peran camat dalam mengkoordinasi
ketenteraman dan ketertertiban yang dilakukan dalam
membentuk Kecamatan Batumarmar sehingga menjadi
wilayah yang kondusif dan tidak menjadikan carok
sebagai suatu cara untuk menyelesaikan masalah.
13
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Studi Kepustakaan
Mencari dan mengumpulkan data serta mengkaji Undang-
Undang serta pedoman buku-buku yang menunjang penelitian.
b. Wawancara
Wawancara seringkali dianggap sebagai metode yang
paling efektif dalam pengumpulan data primer di lapangan.17
Wawancara dimaksud untuk memperoleh keterangan, pendirian,
pendapat secara lisan dari seseorang (yang lazim disebut
responden) dengan berbicara langsung (face to face) dengan
orang tersebut.18
5. Unit Analisis
Unit analisis dalam penelitian ini adalah peran yang dilakukan
pemerintah kecamatan Batumarmar Kabupaten Pamekasan Madura
dalam melaksanakan pemerintahan konkuren di Kecamatan
Batumarmar Kabupaten Pamekasan Madura.
17 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2002,
h.57. 18 Suryanto dan Sutinah, Metode penelitian sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan,Penerbit
Kencana Preenada Media Group, Jakarta, 2007, h. 55-56 dan h.69.