bab i pendahuluan a. latar belakangeprints.umm.ac.id/28945/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... · kembali...

44
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini sebagian besar masyarakat telah menjadikan informasi sebagai sebuah kebutuhan primer. Melalui media massa, masyarakat mendapatkan dan melakukan pertukaran informasi yang dibutuhkan sebagai upaya dalam mengembangkan nilai, budaya dan pola pikir kearah yang lebih modern. Sebagai alat atau sarana penyampai informasi, media massa memiliki fungsi dan peranan sebagai sumber informasi atau pembawa pesan yang memiliki jangkauan luas (masif) hingga ke lapisan terbawah dari masyarakat. Dari informasi yang disajikan oleh media massa, masyarakat mampu mengembangkan diri dan merespon serta memberikan kontribusi pada generasi berikutnya. Lasswell mencatat 3 fungsi media massa: pengamatan lingkungan, korelasi bagian dalam masyarakat untuk merespons lingkungan, dan penyampaian warisan masyarakat dari satu generasi ke generasi selanjutnya (Severin, 2005 : 386). Melalui fungsi keduanya korelasi yang dapat diartikan sebagai seleksi dan interpretasi informasi tentang lingkungan, media massa seringkali memasukkan kritik dan berusaha menarik reaksi penikmatnya terhadap kejadian atau berita tertentu. Fungsi korelasi bertujuan untuk menjalankan norma sosial dan menjaga konsensus dengan mengekspos penyimpangan,

Upload: others

Post on 31-May-2020

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/28945/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... · kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Pada 1963, melalui Keputusan Presiden

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini sebagian besar masyarakat telah menjadikan informasi

sebagai sebuah kebutuhan primer. Melalui media massa, masyarakat

mendapatkan dan melakukan pertukaran informasi yang dibutuhkan sebagai

upaya dalam mengembangkan nilai, budaya dan pola pikir kearah yang lebih

modern. Sebagai alat atau sarana penyampai informasi, media massa

memiliki fungsi dan peranan sebagai sumber informasi atau pembawa pesan

yang memiliki jangkauan luas (masif) hingga ke lapisan terbawah dari

masyarakat.

Dari informasi yang disajikan oleh media massa, masyarakat mampu

mengembangkan diri dan merespon serta memberikan kontribusi pada

generasi berikutnya. Lasswell mencatat 3 fungsi media massa: pengamatan

lingkungan, korelasi bagian dalam masyarakat untuk merespons lingkungan,

dan penyampaian warisan masyarakat dari satu generasi ke generasi

selanjutnya (Severin, 2005 : 386).

Melalui fungsi keduanya korelasi yang dapat diartikan sebagai seleksi

dan interpretasi informasi tentang lingkungan, media massa seringkali

memasukkan kritik dan berusaha menarik reaksi penikmatnya terhadap

kejadian atau berita tertentu. Fungsi korelasi bertujuan untuk menjalankan

norma sosial dan menjaga konsensus dengan mengekspos penyimpangan,

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/28945/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... · kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Pada 1963, melalui Keputusan Presiden

2

memberikan status dengan cara menyoroti dan dapat pula berfungsi untuk

mengawasi pemerintah.

Pemerintah sebagai perancang, pemandu sekaligus pelaksana pada proses

pembangunan demokrasi, merupakan obyek yang selalu diperhatikan oleh

masyarakat. Semua pergerakan pemerintah dan instansi-instansi dibawahnya

selalu mendapat sorotan tajam. Melalui media massa, masyarakat secara

berkala mendapatkan informasi sehingga mampu melihat dan menilai kinerja

pemerintah.

Masalah penegakan hukum, utamanya pemberantasan tindak pidana KKN

(Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang menjadi momok bangsa selama

beberapa dekade dan tak kunjung tuntas dari negeri, dalam hal ini begitu

tinggi ekspektasi masyarakat pada pemerintah.

Sejarah mencatat beberapa usaha yang dilakukan pemerintah dalam upaya

pemberantasan korupsi di Indonesia. Pada masa Orde Lama, tercatat dua kali

dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang pertama, dengan perangkat

aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini disebut Panitia

Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin oleh A.H. Nasution

dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan

Abdulgani. Kepada Paran inilah semua pejabat harus menyampaikan data

mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan.

Mudah ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup pada saat itu

adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin

pertanggung-jawaban secara langsung kepada Presiden. Formulir itu tidak

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/28945/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... · kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Pada 1963, melalui Keputusan Presiden

3

diserahkan kepada Paran, tapi langsung kepada Presiden. Diimbuhi dengan

kekacauan politik, Paran berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan

kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda.

Pada 1963, melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah

menunjuk lagi A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri

Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata,

dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih

dikenal dengan Operasi Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni

menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-

perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap

rawan praktek korupsi dan kolusi.

Alasan politis, sekali lagi menjadi penyebab kemandekan operasi ini.

Salah satu contohnya adalah kepergian direktur utama Pertamina dalam

rangka tugas ke luar negeri menjadi alasan para direksi Pertamina lainnya

untuk tidak menyampaikan data kekayaan yang dimiliki karena belum ada

surat tugas dari atasan. Hal seperti inilah yang menjadi penghalang efektivitas

lembaga ini. Meski telah berhasil menyelamatkan keuangan negara kurang-

lebih Rp 11 miliar, Operasi Budhi dihentikan dan pembubarannya

diumumkan oleh Soebandrio yang kemudian diganti dengan Komando

Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (KONTRAR) dengan Presiden Soekarno

sebagai ketua dengan dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani.

Bohari pada tahun 2001 mencatatkan bahwa seiring dengan lahirnya lembaga

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/28945/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... · kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Pada 1963, melalui Keputusan Presiden

4

ini, Pemberantasan korupsi di masa Orde Lama pun kembali masuk ke jalur

lambat, bahkan macet.

Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16 Agustus

1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu

memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke

istana (http://www.wikipedia.org/wiki.komisi_pemberantasan_korupsi).

Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim

Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Namun, ternyata

ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan

Soeharto untuk menunjuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua

yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr.

Wilopo, dan A. Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan

Departemen Agama, Bulog, CV. Waringin, PT. Mantrust, Telkom,

Pertamina, dan lain-lain.

Empat tokoh bersih ini jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus

korupsi di Pertamina, misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah.

Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika

Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi

Tertib (OPSTIB) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi.

Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom

up atau top down di kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung

semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga OPSTIB pun hilang

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/28945/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... · kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Pada 1963, melalui Keputusan Presiden

5

seiring dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana

Orde Baru.

Pada era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J.

Habibie dengan mengeluarkan UU. Nomor 28 Tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan

Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti

Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga

Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim

Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di tengah semangat

menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui

suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan

dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Nasib serupa tapi tak samapun dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada masa Megawati, tugas KPKPN

melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan

menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang

masih eksis. Sebuah lembaga independen sebagai jawaban dari ekspektasi

masyarakat.

Sesuai dengan namanya, KPK bertugas untuk mengatasi, menanggulangi,

dan memberantas korupsi di Indonesia. Sampai saat pergantian presiden pada

pemilu 2004 dan telah melewati 2 periode kepemimpinan KPK terus

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/28945/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... · kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Pada 1963, melalui Keputusan Presiden

6

menunjukkan diri sebagai lembaga yang mampu bekerja professional dan

bertanggungjawab atas tugas dan wewenangnya sehingga mampu mengikis

sedikit demi sedikit korupsi yang ada di negeri ini.

Proses pemberantasan KKN tersebut melibatkan berbagai instansi terkait

yang memiliki tugas dan wewenang sebagai lembaga penegak hukum. Salah

satu lembaga tersebut adalah POLRI (Polisi Republik Indonesia). Sudah

sepatutnya kedua instansi, baik KPK maupun POLRI mampu melakukan

koordinasi dalam menegakkan hukum sesuai dengan tugas dan kewenangan

masing-masing.

Namun pada pertengahan tahun 2009, konflik terjadi antar dua lembaga

pemerintah yang berfungsi sebagai lembaga penegak hukum tersebut. Konflik

yang terjadi antara POLRI dan KPK pada akhirnya mampu terendus

wartawan dan muncul sebagai berita terhangat dan terus berkembang serta

dinantikan oleh berbagai kalangan masyarakat.

Kasus yang melibatkan instansi pemerintah dan instansi independen yang

dibentuk oleh pemerintah ini berawal dari temuan KPK perihal dugaan

Tindak Pidana Korupsi (TPK) yang dilakukan oleh PT. Masaro Radiokom

pimpinan Anggoro Widjojo. Dari temuan awal tersebut KPK juga

menemukan indikasi keterlibatan sejumlah pejabat negara dan petinggi

POLRI. Indikasi tersebut diperkuat dengan rekaman hasil penyadapan KPK

terkait perbincangan telepon antara pengusaha Anggodo Widjojo sekaligus

adik dari Anggoro Widjojo dengan sejumlah pejabat tinggi POLRI dan

Kejaksaan Agung.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/28945/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... · kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Pada 1963, melalui Keputusan Presiden

7

Sementara disisi lain POLRI mulai memberikan respon yang semakin

memperuncing konlik diantara kedua lembaga tersebut. POLRI melalui

Jenderal polisi Bambang Hendarso Danuri yang menjabat sebagai Kepala

Polisi RI, balik menyerang dan berusaha menjerat pimpinan non aktif komisi

anti korupsi tersebut. Bibid Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah

merupakan sasaran utama yang akan dijerat oleh polisi dengan menggunakan

pasal “penyalahgunaan wewenang” perihal penerbitan permohonan “cegah”

bagi Anggoro Widjojo pimpinan PT. Masaro. Usaha yang dilakukan Polisi

guna menjerat pimpinan KPK dengan pasal tersebut tidak membuahkan hasil

dikarenakan tidak didukung data yang solid. Dengan pasal yang berbeda yaitu

“pemerasan dan penyuapan” pada Anggoro Widjojo perihal kasus Tindak

Pidana Korupsi PT. Masaro Radiokom, polisi kembali berusaha menjerat

pimpinan KPK.

Kasus “Polisi Versus KPK” atau lebih dikenal dengan istilah “Cicak

Versus Buaya“ yang diutarakan sendiri oleh Susno Djuaji pejabat tinggi polisi

berpangkat jenderal bintang tiga ini telah merusak citra pemerintah dalam

upaya penegakan hukum. Kasus Polisi yang diibaratkan Susno sebagai

“Buaya” dan KPK sebagai “Cicak” ini selalu mendapat sorotan tajam dari

masyarakat. Melalui media massa baik cetak maupun elektronik masyarakat

secara berkala mendapatkan informasi dan semakin tertarik mengikuti

perkembangannya.

Tentu saja situasi ini menjadi sebuah lahan basah bagi media massa

untuk berlomba-lomba menyajikan informasi terbaru. Dari pemberitaan yang

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/28945/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... · kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Pada 1963, melalui Keputusan Presiden

8

disajikan oleh media massa inilah masyarakat memberikan berbagai macam

reaksi seputar kasus tersebut. Reaksi yang diberikan dapat berupa tanggapan

positif atau sebaliknya, mulai kritikan, masukan dan ada pula yang mencoba

memberikan dukungan yang ditujukan baik kepada lembaga yang terlibat

maupun kepada pemerintah itu sendiri.

Berbagai macam respon masyarakat merupakan opini yang terbentuk

berdasar pada kemampuan media dalam mengolah data yang dihimpun dan

keobjektifan media dalam menyajikan berita sebagai produk utama yang

ditawarkan. Seperti apa yang disampaikan oleh Lasswell tentang fungsi kedua

media yang telah dibahas diatas, dalam menjalankan fungsi korelasi, media

seringkali bisa menghalangi ancaman terhadap stabilitas sosial dan

memonitor atau mengatur opini publik. Hal ini semakin membuktikan bahwa

segala bentuk pemberitaan atau informasi yang disajikan oleh media massa

mampu membawa pada pembentukan opini publik.

Kemampuan media massa dalam membentuk opini publik inilah yang

menjadi dasar pemikiran perlunya peneliti mengkaji lebih dalam objektivitas

media. Sebagai salah satu prinsip penilaian, objektivitas memang hanya

mempunyai cakupan yang lebih kecil dibanding dengan prinsip lain yang

telah disinggung, tetapi prinsip objektivitas memiliki fungsi yang tidak bisa

dianggap remeh, terutama dalam kaitannya dengan kualitas

informasi.(McQuail;1989;129)

Objektivitas media adalah hanya menyiarkan berita apa adanya. Jika

materi berita tersebut berasal dari dua pihak yang berlawanan, maka harus

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/28945/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... · kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Pada 1963, melalui Keputusan Presiden

9

dijaga keseimbangan informasi dari kedua belah pihak yang berlawanan

tersebut. Hal inilah yang dimaksudkan mengapa setiap pemberitaan pada

media massa selalu dituntut untuk mengungkapkan kebenaran secara objektif.

Media massa merupakan bentuk perkembangan komunikasi yang terbagi

menjadi dua jenis, yaitu media cetak dan media elektronik. Media cetak yang

diantaranya surat kabar, majalah, tabloid, buku dan lain-lain terus berlomba

memberikan pelayanan terbaik dengan menyalurkan informasi seakurat

mungkin pada masyarakat.

Majalah merupakan salah satu representasi media massa cetak dengan

karakteristik sebagai media yang paling sederhana dalam organisasinya,

relatif lebih mudah serta tidak membutuhkan modal yang banyak dalam

pengelolaannya. Majalah memiliki keunggulan penyajian berita yang lebih

mendalam, memiliki nilai aktualitas relatif lebih lama, tampilan gambar atau

foto lebih banyak serta menggunakan cover atau sampul sebagai daya tarik.

Oleh karena itu, dengan segala keunggulannya majalah sudah selayaknya

mampu memberikan informasi yang lebih objektif dan akurat serta berimbang

sehingga tidak menciptakan sebuah kebingungan publik melalui berita yang

disajikan.

Majalah Tempo dan Gatra merupakan majalah berita mingguan ternama

dengan ideologi media yang berbeda namun tetap memiliki nilai informasi

tinggi pada setiap pemberitaan yang disajikan. Terlebih pada berita yang

berhubungan dengan kinerja pemerintahan. Melalui rubrik laporan utama,

kedua majalah berita mingguan ini berupaya mengupas secara mendalam dan

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/28945/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... · kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Pada 1963, melalui Keputusan Presiden

10

menyajikan berita permasalahan politik terhangat dengan gaya penulisan

dalam bentuk investigasi.

Berita tentang kasus Polisi Versus KPK merupakan salah satu

permasalahan politik terhangat yang dibahas khusus dalam rubrik laporan

utama pada kedua majalah berita mingguan tersebut. Hal ini menunjukkan

bahwa baik majalah berita mingguan Tempo maupun Gatra pada bulan

November 2009 memberikan perhatian khusus seputar pemberitaan kasus

Polisi Versus KPK.

Dari pemaparan diatas, utamanya merujuk pada fungsi dan peran media

massa sebagai penyalur informasi yang dapat membentuk opini publik, maka

peneliti tertarik untuk meneliti seberapa besar tingkat objektivitas media

dalam pemberitaan kasus Polisi Versus KPK pada majalah berita mingguan

Tempo edisi 2-8, 9-15 November dan Gatra edisi 5-11, 12-18 November

2009.

B. Rumusan Masalah

Dari pemaparan diatas, maka dapat diambil rumusan masalah yaitu:

“Seberapa besar tingkat objektivitas majalah berita mingguan Tempo edisi 2-

8, 9-15 November dan Gatra edisi 5-11, 12-18 November 2009 pada

pemberitaan kasus Polisi versus KPK”.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan

dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan tingkat

objektivitas majalah berita mingguan Tempo edisi 2-8, 9-15 November dan

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/28945/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... · kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Pada 1963, melalui Keputusan Presiden

11

Gatra edisi 5-11, 12-18 November 2009 pada pemberitaan kasus Polisi versus

KPK.

D. Manfaat Penelitian

D.1. Manfaat Akademis

Secara akademis penelitian ini diharapkan mampu memberikan

sumbangsih pengetahuan bagi mahasiswa komunikasi khususnya

konsentrasi jurnalistik dan studi media. Serta sebagai referensi untuk

penelitian-penelitian selanjutnya yang secara khusus tentang upaya

peningkatan objektivitas pemberitaan.

D.2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah masukan dan

pertimbangan bagi produsen media massa cetak (majalah) agar mampu

menyajikan berita secara objektif kepada khalayak.

E. Tinjauan Pustaka

E.1. Majalah Sebagai Media Massa

Majalah adalah penerbitan berkala yang berisi bermacam-macam

artikel dalam subyek yang bervariasi. Fungsi majalah mengacu pada

sasaran khalayak yang spesifik. Majalah dengan topik atau kategori

tertentu mempunyai spesialisasi sasaran pembeli dan pembaca yang

dikehendaki. Majalah biasanya memiliki artikel mengenai topik populer

yang ditujukan kepada masyarakat umum dan ditulis dengan gaya

bahasa yang mudah dimengerti oleh banyak orang.

Majalah mulai berkembang pada abad ke-19, hadir sebagai media

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/28945/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... · kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Pada 1963, melalui Keputusan Presiden

12

hiburan baru yang utama karena belum dikenalnya radio dan televisi

pada saat itu. Sejak tahun 1960-an majalah selain mengarah pada

kebutuhan pelayanan masyarakat juga mengarah kepada khalayak yang

lebih khas baik karena gaya hidup maupun karena keberadaan

demografis mereka. (Winarni:2003:26). Majalah adalah medium yang

pervasif. Majalah bukan hanya untuk kalangan atas, tetapi juga dapat

dikonsumsi oleh kalangan bawah. Hal ini berarti bahwa peran medium

majalah melintasi hampir seluruh lapisan masyarakat (Vivian

John:2008:109).

Majalah memiliki karakteristik sebagai media yang paling

sederhana dalam organisasinya, relatif lebih mudah serta tidak

membutuhkan modal yang banyak dalam pengelolaannya. Majalah tetap

dibedakan dengan surat kabar karena majalah memiliki karakteristik

tersendiri; penyajian berita lebih mendalam, memiliki nilai aktualitas

relatif lebih lama, tampilan gambar atau foto lebih banyak serta

menggunakan cover atau sampul sebagai daya tarik.

Majalah dapat dibedakan atas periode terbit dan sifat

penerbitannya. Dari segi terbit, majalah dibedakan atas majalah

mingguan dan majalah bulanan. Dari segi isinya dapat dibedakan atas

dua macam, yaitu majalah yang bersifat umum dan majalah yang

bersifat khusus. Majalah umum terdiri atas berbagai macam informasi

yang ditujukan untuk masyarakat umum. Sedangkan majalah khusus,

isinya memiliki ciri khas tertentu dan memiliki pembaca tertentu pula.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/28945/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... · kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Pada 1963, melalui Keputusan Presiden

13

Majalah ditentukan berdasar pada sasaran khalayak yang dituju.

Hal ini berarti bahwa redaksi telah menentukan siapa yang akan

menjadi pembacanya. Pada masa orde baru majalah di Indonesia

dibedakan dalam beberapa kategori; majalah berita, keluarga, wanita,

pria, remaja wanita, remaja pria, anak-anak, ilmiah popular, umum,

hukum, pertanian, humor, olahraga dan daerah.

Menurut Dominick, klasifikasi majalah dibagi kedalam lima

kategori utama, yakni: (1) general consumer magazine (majalah

konsumen umum), (2) business publication (majalah bisnis), (3) literacy

reviews and academic journal (kritik sastra dan majalah ilmiah), (4)

newsletter (majalah khusus terbitan berkala), (5) Public Relations

Magazines (Majalah Humas). Majalah yang mampu bertahan umumnya

adalah yang bersifat khusus, misalnya majalah khusus wisata, olahraga,

hobi perahu layar, penggemar acara televisi, berita-berita ilmiah,

budaya, agama, wanita, dan lain-lain. Majalah harus mampu

menyesuaikan diri agar tetap bertahan dengan persaingan dengan bentuk

media massa yang lain. Oleh karena itu, majalah yang laku saat ini

adalah majalah-majalah yang bersifat khusus.

Majalah merupakan inovator media dengan telah mengungguli

media lain melalui inovasi yang signifikan dalam jurnalisme,

adverstising dan sirkulasi. Dalam kaitannya dengan jurnalisme inovasi

itu mencakup laporan investigasi, profil tokoh secara lengkap dan foto

jurnalisme. Sedangkan dalam hal advertising majalah manjadi medium

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/28945/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... · kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Pada 1963, melalui Keputusan Presiden

14

advertising nasional. Para pengiklan banyak yang memanfaatkan

majalah untuk membangun pasar nasional produk mereka. Hal ini

merupakan faktor penting perubahan dari negara agrikultur ke

perekonomian industri dan perekonomian modern.

E.2. Perkembangan Majalah di Indonesia

Sejarah mencatat perkembangan majalah di Indonesia dimulai dari

menjelang dan setelah kemerdekaan. Pada awal tahun 1945 terbit

sebuah majalah menggunakan prakata dari Ki Hajar Dewantoro selaku

menteri pendidikan pertama RI, dengan nama Pantja Radja pimpinan

Markoem Djojohadisoeparto (MD) di Jakarta.

Awal Kemerdekaan. Majalah Revue Indoensia yang diterbitkan

oleh Soemanang, SH telah mengemukakan gagasannya perlunya

koordinasi penerbitan surat kabar yang jumlahnya sudah mencapai

ratusan. Terbit semuanya dengan satu tujuan, yaitu menghancurakan

sisa-sisa kekuasaan Belanda, mengobarkan semangat perlawanan rakyat

terhadap bahaya penjajahan, menempa persatuan nasional utnuk

keabadian kemerdekaan bangsa dan penegakan kedaulatan rakyat.

Zaman Orde Lama. Penguasa Perang Tertinggi mengeluarkan

pedoman resmi untuk penerbit surat kabar dan majalah di seluruh

Indonesia. Pedoman itu intinya adalah surat kabar dan majalah wajib

menjadi pendukung, pembela dan alat penyebar. Pada masa ini

perkembangan majalah tidak begitu baik, karena relatif sedikit majalah

yang terbit.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/28945/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... · kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Pada 1963, melalui Keputusan Presiden

15

Zaman Orde baru. Banyak majalah yang terbit dan cukup beragam

jenisnya. Hal ini sejalan dengan kondisi perekonomian bangsa

Indonesia yang makin baik, serta tingkat pendidikan masyarakat yang

makin maju.

E.3 Pers

Secara harfiah pers berarti cetak dan secara maknawiah berarti

penyiaran secara tercetak atau publikasi secara dicetak (printed

publication). Pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam arti

sempit dan pers dalam arti luas. Pers dalam arti luas meliputi media

massa elektronik, antara lain radio siaran dan televisi siaran. Sedangkan

pers dalam arti sempit adalah media massa cetak, seperti Surat Kabar,

majalah, tabloid mingguan dan sebagainya.

Menurut Leksikon komunikasi, pers berarti: 1. usaha percetakan

atau penerbitan; 2. usaha pengumpulan dan penyiaran berita; 3.

penyiaran berita melalui surat kabar, majalah, radio, dan televisi; 4.

orang-orangyang bergerak dalam penyiaran berita; 5. medium

penyiaran berita, yakni surat kabar, majalah, radio, dan televisi.

(Djuroto, 2004:04).

Media bisa dibedakan menjadi dua yaitu Media Elektronik dan

Media Cetak. Media Elektronik misalnya ; Televisi, Radio.

Televisi adalah adalah alat komunikasi masa yang mempunyai

dimensi Gambar bergerak dan Suara. Gambar begerak dan suara inilah

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/28945/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... · kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Pada 1963, melalui Keputusan Presiden

16

yang menjadi kelebihan yang dimiliki oleh televisi. Jadi relatif dapat

menyampaikan pesan dengan baik.

Radio adalah alat komunikasi massa yang berupa gelombang

suara.

Sedangkan untuk Media Cetak contohnya adalah Koran atau Surat

Kabar, Majalah dan lain sebagainya.

Koran (dari bahasa Belanda : krant, dari bahasa Perancis Courant)

atau Surat Kabar adalah suatu penerbitan yang ringan dan mudah

dibuang, biasanya dicetak pada kertas berbiaya rendah yang disebut

kertas Koran, yang berisi berita–berita terkini dalam berbagai topik.

Topiknya bisa berupa event politik, kriminalitas, olahraga, tajuk

rencana, cuaca dan lain sebagianya.

Majalah : Sebuah penerbitan berkala yang terbit secara teratur dan

sifatnya menampilkan pemberitaan atau sari berita. Berupa artikel atau

besifat pembahasan yang menyeluruh dan mendalam. Ciri lain dari

majalah yang membedakannya dengan Koran atau surat kabar selain

terbitannya yang tak tiap hari adalah tampilan fisiknya yang dijilid.

E.3.1. Fungsi Pers

Tugas dan fungsi pers adalah mewujudkan keinginannya dalam

memberikan informasi kepada masyarakat luas melalui medianya baik

media cetak maupun media elektronik seperti radio, televisi dan

internet. Tetapi tugas dan fungsi pers yang bertanggungjawab tidaklah

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/28945/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... · kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Pada 1963, melalui Keputusan Presiden

17

hanya sekedar itu, melainkan lebih dalam lagi yaitu mengamankan hak-

hak warga negara dalam kehidupan bernegaranya.

1. Oleh karena itu fungsi pertama pers bertanggungjawab adalah

fungsi informatif, yaitu memberikan informasi, atau berita, kepada

khalayak ramai dengan cara yang teratur.

2. Fungsi ke-dua atau fungsi kontrol pers yang bertanggung jawab

adalah masuk ke balik panggung kejadian untuk menyelidiki

pekerjaan pemerintah atau perusahaan. Pers harus memberitakan

apa yang berjalan baik dan apa yang tidak berjalan baik.

3. Fungsi ke-tiga adalah interpretatif dan direktif, yaitu memberikan

interpretasi dan bimbingan. Pers harus menceritakan kepada

masyarakat tentang arti suatu kejadian.

4. Fungsi ke-empat pers adalah menghibur, yaitu menyajikan humor

dan drama serta musik.

5. Fungsi ke-lima adalah regeneratif, yaitu pers membantu

menyampaikan warisan sosial kepada generasi baru agar terjadi

proses regenerasi dari angkatan yang sudah tua kepada angkatan

yang lebih muda.

6. Fungsi ke-enam adalah pengawalan hak-hak warga negara, yaitu

mengawal dan mengamankan hak-hak pribadi.

7. Fungsi ke-tujuh adalah fungsi ekonomi, yaitu melayani sistem

ekonomi melalui iklan

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/28945/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... · kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Pada 1963, melalui Keputusan Presiden

18

8. Fungsi ke-delapan adalah fungsi swadaya, yaitu bahwa pers

mempunyai kewajiban untuk memupuk kemampuannya sediri agar

ia dapat membebaskan dirinya dari pengaruh-pengaruh serta

tekanan-tekanan dalam bidang keuangan (Hikmat dan Purnama

kusumaningrat, 2007:27-29).

E.3.2. Teori Pers

Salah satu pengelompokan sistem pers yang terkenal di dunia

disajikan dalam buku four theories of the press Siebert, Peterson, dan

Scrahmm dalam Werner dan James, (2005: 373-380). Penulisnya

membagi pers di dunia dalam empat kategori : otoriter, liberal,

tanggung jawab sosial, dan totaliter Soviet.

1. Teori Otoriter

Teori ini mengatakan bahwa Pers adalah mendukung dan

menjadi kepanjangan tangan dari kebijakan pemerintah yang

sedang bekuasa dan melayani Negara.

2. Teori Liberal

Teori liberal pers bekembang sebagai dampak dari masa

pencerahan dan teori umum tentang rasionalisasi serta hak–hak

alamiah dan berusaha melawan pandangan yang otoriter. Pers

harus mendukung fungsi membantu menemukan kebenaran dan

mengawasi pemerintah sekaligus sebagai media yang memberikan

informasi, menghibur, dan mencari keuntungan.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/28945/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... · kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Pada 1963, melalui Keputusan Presiden

19

3. Teori Tanggung Jawab Sosial

Teori Tanggung Jawab Sosial berpendapat bahwa selain

bertujuan untuk memberi informasi, menghibur, mencari untung

(seperti halnya teori liberal), juga bertujuan untuk membawa

konflik ke dalam arena diskusi. Teori Tanggung Jawab Sosial

mengatakan bahwa setiap orang memiliki sesuatu yang penting

untuk dikemukakan harus diberikan hak dalam forum, dan jika

media dianggap tidak memenuhi kewajibanya, maka ada pihak

yang harus memaksanya. Dibawah teori ini media di kontrol oleh

pendapat masyarakat, tindakan konsumen, kode etik profesional,

dan dalam hal penyiaran dikontrol oleh badan pengatur, mengingat

keterbatasan teknis pada jumlah saluran frekuensi yang tersedia.

4. Teori Totaliter Soviet

Media dikontrol oleh tindakan ekonomi dan politik dari

pemerintah dan badan pengawas dan hanya anggota partai yang

loyal dan anggota partai yang ortodoks saja yang bisa

menggunakan media secara regular.

Selain itu, Hikmat dan purnama kusumaningarat, (2007 : 25-26)

menyatakan bahwa selain empat teori pers di atas yang dipaparkan

menurut pandangan normatif Siebert dkk, Denis McQuail dalam

tulisannya “Uncertainty About The Audience And The Organization Of

Mass Communication” telah menambahkan dua teori lagi yang

merupakan perkembangan dari empat teori pers tersebut. Kedua teori

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/28945/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... · kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Pada 1963, melalui Keputusan Presiden

20

pers tersebut adalah teori pers pembangunan dan teori pers partisipan

demokratik.

McQuail mengaitkan teori pers pembangunan dengan Negara-

negara Dunia ketiga yang tidak memiliki ciri-ciri komunikasi yang

sudah maju seperti berikut ini: infrastruktur komunikasi, keterampilan-

keterampilan profesional, sumberdaya-sumberdaya produksi dan

kultural, audiens yang tersedia. Di samping itu adanya ketergantungan

pada Negara-Negara maju untuk teknologinya, keterampilan-

keterampilannya, dan produk-produk kulturalnya. Ciri-ciri Negara ini

adalah bahwa tujuan utama mereka adalah pembangunan, dengan para

politisinya yang berangsur-angsur sadar akan keadaan mereka yang

sama. Unsur normatif yang esensial dari teori pers pembangunan yang

muncul adalah bahwa pers harus digunakan secara positif dalam

pembangunan Nasional, untuk otonomi dan identitas kebudayaan

Nasional.

Tentang teori yang ke-enam, yaitu teori pers partisipan

demokratik, McQuail dalam bukunya mass communication theory,

mengatakan bahwa teori ini lahir dalam masyarakat liberal yang sudah

maju. Ia lahir sebagai “reaksi atas komersialisasi dan monopolisasi

media yang dimiliki swasta dan sebagai reaksi atas sentralisme dan

birokratisasi institusi-institusi siaran publik, yang timbul dari tuntutan

norma tanggungjawab sosial. Ia melihat organisasi-organisasi siaran

publik khususnya sebagai terlalu paternalistik, terlalu elitis, terlalu dekat

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/28945/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... · kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Pada 1963, melalui Keputusan Presiden

21

kepada kekuasaan, terlalu responsif terhadap tekanan-tekanan politis

dan ekonomi, terlalu monolitik, terlalu diprofesionalkan. Teori ini juga

mencerminkan kekecewaan terhadap partai-partai politik yang mapan

dan terhadap sistem demokrasi perwakilan yang nampak menjadi

tercerabut dari akar-rumput asalnya. Inti dari teori partisipan

demokratik terletak pada kebutuhan-kebutuhan, kepentingan-

kepentingan dan aspirasi-aspirasi pihak penerima pesan komunikasi

dalam masyaraat politis. Teori ini menyukai keserbaragaman, skala

kecil, lokalitas, de-institusionalisasi, kesederajatan dalam masyarakat,

dan interaksi.

E.4. Konsep Dasar Pemberitaan

Dalam dunia jurnalistik, berita merupakan produk utama yang

disajikan kepada pembacanya. Sedangkan dalam penyajiannya, berita

dibuat harus memenuhi dua syarat, yaitu (i) faktanya tidak boleh diputar

sedemikian rupa sehingga kebenaran tinggal sebagian saja. (ii) berita

harus menceritakan segala aspek secara lengkap. Dalam menulis berita,

dikenal semboyan “satu masalah dalam satu berita”. Artinya suatu

berita harus dikupas dari satu masalah saja (monofacta) dan bukan

banyak masalah (multifacta) karena akan menimbulkan kesukaran

penafsiran, yang menyebabkan berita menjadi tidak sempurna.

(Djuroto, 2004 : 47-48).

Dalam hal ini, tentunya objektivitas harus selalu dijaga dalam

setiap pemberitaan. Dalam artian hanya menyiarkan berita apa adanya.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/28945/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... · kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Pada 1963, melalui Keputusan Presiden

22

Jika materi berita tersebut berasal dari dua pihak yang berlawanan,

maka harus dijaga keseimbangan informasi dari kedua belah pihak yang

berlawanan tersebut. Salah satu syarat objektivitas yang biasa dikenal

dengan istilah pemberitaan cover both side.

Bagi Robert Scheer dari Los Angeles Times, pertanyaan yang lebih

penting adalah bukan apakah anda bisa netral tetapi bagaimana anda

mengerjakan pekerjaan anda dengan cara yang adil dan jujur. Dalam hal

ini, surat kabar Washington Post mempunyai standar mengenai sikap

adil, yaitu :

1. berita itu tidak adil bila mengabaikan fakta yang penting. Jadi adil

adalah lengkap.

2. berita itu tidak adil bila dimasukkan informasi yang tidak relevan.

Jadi adil adalah relevansi.

3. berita itu tidak adil bila secara sadar maupun tidak membimbing

pembaca ke arah yang salah atau menipu. Jadi adil adalah jujur.

4. berita itu tidak adil bila wartawan menyembunyikan prasangka atau

emosinya dibalik kata-kata halus yang merendahkan. Jadi adil

menuntut keterusterangan. (Ishwara, 2004 : 46)

E.4.1. Pengertian Berita

Berita berasal dari bahasa sansekerta, yakni Vrit yang dalam bahasa

inggris disebut write, artinya sebenarnya ialah ada atau terjadi.

Sebagian ada yang menyebut dengan Vritta, artinya “kejadian” atau

“yang telah terjadi”. Vritta dalam bahasa Indonesia kemudian menjadi

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/28945/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... · kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Pada 1963, melalui Keputusan Presiden

23

berita atau warta. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia karya W.J.S.

Poerwodarminta, “berita” berarti kabar atau warta, sedangkan dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan balai pustaka, arti berita

diperjelas menjadi “laporan mengenai kejadian atau peristiwa yang

hangat”. Jadi berita dapat dikaitkan dengan kejadian atau peristiwa yang

terjadi.

Sedangkan definisi tentang berita sampai sekarang masih sulit

dicari. Para sarjana publisistik maupun jurnalistik belum merumuskan

definisi berita secara pasti. Ilmuwan, penulis, dan pakar komunikasi

memberikan definisi berita, dengan beraneka ragam.

1. Dean M. Lyle Spencer mendefinisikan berita sebagai suatu

kenyataan atau ide yang benar dan dapat menarik perhatian

sebagian besar pembaca.

2. Dr. Willard C. Bleyer menganggap berita adalah sesuatu yang

termassa ( baru) yang dipilih oleh wartawan untuk dimuat dalam

surat kabar.

3. William S. Maulsby menyebut berita sebagai suatu penuturan

secara benar dan tidak memihak dari fakta yang mempunyai arti

penting dan baru terjadi, yang dapat menarik perhatian pembaca

surat kabar yang memuat berita tersebut.

4. Eric C. Hepwood mengatakan berita adalah laporan pertama dari

kejadian yang penting dan dapat menarik perhatian umum.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/28945/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... · kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Pada 1963, melalui Keputusan Presiden

24

5. Dja’far H. Assegaf mengartikan berita sebagai laporan tentang

fakta atau ide yang termassa dan dipilih oleh staf redaksi suatu

harian untuk disiarkan, yang kemudian dapat menarik perhatian

pembaca.

6. J.B. Wahyudi mendefinisikan menulis berita sebagai laporan

tentang peristiwa atau pendapat yang memiliki nilai penting dan

menarik bagi sebagian khalayak, masih baru dan dipublikasikan

secara luas melalui media massa.

7. Amak Syariffudin mengartikan berita adalah suatu laporan kejadian

yang ditimbulkan sebagai bahan yang menarik perhatian publik

mass media. (Djuroto, 2004:46-47).

E.4.2. Sumber Berita

Detak jantung dari jurnalisme terletak pada sumber berita. Karena

salah satu faktor penting yang berpengaruh dalam pemberitaan adalah

penggunaan sumber berita, di mana penggunaan sumber berita dalam

suatu peristiwa juga akan membawa pengaruh dalam kecenderungan

pemberitaan.

Eugene J. Webb dan Jerry R. Salancik dalam Ishwara, (2005: 67)

mengemukakan beberapa petunjuk yang digunakan dalam

mengumpulkan informasi sebagai sumber berita, diantaranya yaitu :

1. Observasi langsung dan tidak langsung dari situasi berita.

2. Proses wawancara

3. Pencarian atau penelitian bahan-bahan melalui dokumen publik.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/28945/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... · kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Pada 1963, melalui Keputusan Presiden

25

4. Partisipasi dalam peristiwa.

E.4.3 Nilai Berita (Layak Berita)

Nilai berita adalah seperangkat kriteria untuk menilai apakah

sebuah kejadian cukup penting untuk diliput. Seorang wartawan dalam

menuliskan berita harus mengetahui unsur-unsur nilai berita. Nilai

berita merupakan salah satu unsur penguat berita, karena tidak hanya

melengkapi berita, namun juga membuat berita lebih layak untuk

dipublikasikan.

Seperti yang di ungkapkan Djuraid (2006:15) bahwa unsur berita

menjadi sangat penting untuk diketahui sebelum menulis karena akan

menjadi panduan bagi seorang wartawan untuk memutuskan suatu

kejadian, informasi atau keadaan itu layak diberitakan atau tidak.

Hikmat dan Purnama Kusumaningrat (2005:58) menuliskan bahwa

wacana mengenai nilai berita/unsur layak berita diawali oleh Christian

Weise pada tahun 1676. Saat itu pandangan mengenai nilai berita masih

seputar pemilahan berita yang benar dan yang palsu. Diikuti Daniel

Hartnack pada tahun 1688 dalam tulisannya Erachten von Einrichtung

der alten teutschen und neuen europäischen Historien yang

menekankan pentingnya unsur peristiwa. Maraknya pembicaraan akan

nilai berita pada saat itu membuat Tobisa Peucer pada tahun 1690

menentukan nilai layak berita antara lain:

1. Tanda-tanda yang tidak lazim

2. Berbagai jenis keadaan

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/28945/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... · kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Pada 1963, melalui Keputusan Presiden

26

3. Masalah-masalah gereja/ keagamaan

Seiring dengan berjalannya waktu, kriteria tentang nilai berita

semakin disederhanakan menjadi satu kesatuan yang memiliki makna

luas. Seperti unsur Human Interest yang di dalamnya mencakup

surprise, konflik dan sebagainya serta Keterkenalan (Prominence) yang

didalamnya mencakup keterkenalan akan peristiwa, situasi, tempat dan

tanggal.

Nilai berita merupakan acuan yang dapat digunakan oleh para

jurnalis untuk memutuskan fakta yang pantas dijadikan berita dan

memilih mana yang lebih baik. Karena tidak semua peristiwa layak

untuk dihadirkan dalam berita. Sebuah peristiwa layak dihadirkan

melalui halaman media massa jika memenuhi unsur nilai berita. Tidak

semua laporan tentang kejadian pantas dilaporkan kepada khalayak.

Peristiwa rutin yang melibatkan orang-orang bisaa tentu tidak

memenuhi nilai berita.

Lalu, apa kriteria peristiwa yang patut dilaporkan kepada

khalayak? Kriterianya hanya satu, yaitu peristiwa yang memiliki nilai

berita. Nilai berita sendiri, menurut Walter Lippmann, seorang

wartawan Amerika menyebutkan bahwa suatu berita memiliki nilai

layak berita jika didalamnya ada unsur kejelasan (clarity) tentang

kejadiannya, ada unsur kejutannya (surprise), ada unsur kedekatannya

(proximity) secara geografis, serta ada dampak (impact) dan konflik

personalnya (Hikmat dan Purnama Kusumaningrat, 2005:60).

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/28945/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... · kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Pada 1963, melalui Keputusan Presiden

27

Sedangkan menurut Siregar dkk (1998:27-28), hal yang

menjadikan suatu kejadian atau peristiwa sebagai layak berita adalah

adanya unsur penting dan menarik dalam kejadian tersebut. Inilah yang

menentukan bahwa kejadian itu akan ditulis sebagai berita jurnalistik.

Secara umum, kejadian yang dianggap mempunyai nilai berita atau

layak berita adalah yang mengandung satu atau beberapa unsur berikut

ini:

1. significance (penting), yaitu kejadian yang berkemungkinan

mempengaruhi kehidupan orang banyak, atau kejadian yang

mempunyai akibat tehadap kehidupan pembaca.

2. magnitude (besar), yaitu kejadian yang menyangkut angka-angka

yang berarti bagi kehidupan orang banyak, atau kejadian yang

berakibat yang bisa dijumlahkan dalam angka yang menarik buat

pembaca.

3. timeliness (waktu), yaitu kejadian yang menyangkut hal-hal yang

baru terjadi, atau baru dikemukakan.

4. proximity (kedekatan), yaitu kejadian yang dekat bagi pembaca.

Kedekatan ini bisa bersifat geografis maupun emosional.

5. prominence (tenar), yaitu menyangkut hal-hal yang terkenal atau

sangat dikenal oleh pembaca, seperti orang, benda, atau tempat.

6. human interest (manusiawi), yaitu kejadian yang memberi sentuhan

perasaan bagi pembaca, kejadian yang menyangkut orang biasa

dalam situasi luar biasa, atau orang besar dalam situasi biasa.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/28945/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... · kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Pada 1963, melalui Keputusan Presiden

28

Salah satu unsur tersebut telah dapat menjadikan suatu kejadian

layak diberitakan. Jika ditemukan lebih dari satu unsur, maka kejadian

itu bertambah tinggi kelayakan beritanya. Karena itu, usaha

mendapatkan berita besar adalah mencari kejadian yang memiliki

sebanyak mungkin unsur tersebut.

E.4.4. Jenis Berita

Terdapat dua jenis berita berdasarkan reportase objektif dan

interpretasi. Pertama, berita yang terpusat pada peristiwa (event-

centered news) yang khas menyajikan peristiwa hangat yang baru

terjadi, dan umumnya tidak diinterpretasikan, dengan konteks yang

minimal, tidak dihubungkan dengan situasi dan peristiwa yang lain.

Disini gagasan utamanya adalah bahwa sebuah topik belum layak untuk

menjadi sebuah berita sampai “terjadi” sesuatu.

Ke-dua, adalah berita yang berdasarkan pada proses (process-

centered news) yang disajikan dengan interpretasi tentang kondisi dan

situasi dalam masyarakat yang dihubungkan dalam konteks yang luas

dan melampaui waktu. Berita semacam ini muncul di halaman opini

berupa editorial, artikel dan surat pembaca, sedangkan di halaman lain

berupa komentar, laporan khusus, atau tulisan feature lainnya seperti

banyak dimuat di Koran minggu. (Ishwara, 2005 : 51-52).

E.4.5. Ciri-Ciri Berita

Berita itu adalah sesuatu yang nyata-news is real. Fakta yang

dilengkapi dengan benar akan sama dengan kebenaran itu sendiri. Rem

Page 29: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/28945/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... · kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Pada 1963, melalui Keputusan Presiden

29

Rieder, Editorial American Journalism Review, berkata: “fakta adalah

fakta, fiksi adalah fiksi. Jika ingin mengarang (fiksi) tulislah novel”.

(Ishwara, 2005 : 52).

Sehubungan dengan itu, suatu berita dalam Surat Kabar harus

melalui proses yang bertahap. Dalam artian, suatu peristiwa haruslah

benar-benar merupakan fakta yang memiliki nilai berita, sebelum

peristiwa tersebut dipertimbangkan untuk terakhir kalinya sebagai

berita yang “fit to print” untuk kemudian dicetak dan disebarluaskan.

Proses ini dalam garis besarnya sama, apakah dalam kerangka

membuat berita bagi pers Barat maupun pers Indonesia. Yang berbeda

adalah kriteria atau sistem nilainya, yang menentukan apakah suatu

berita itu “fit to print” atau tidak, apa suatu berita itu “patut dicetak” apa

tidak.

E.5. Objektivitas Berita

Menurut McQuail (1989:129), sebagai salah satu prinsip penilaian,

objektivitas memang hanya mempunyai cakupan yang lebih kecil

dibanding dengan prinsip lain yang telah disinggung, tetapi prinsip

objektivitas memiliki fungsi yang tidak bisa dianggap remeh, terutama

dalam kaitannya dengan kualitas informasi. Objektivitas pada umumnya

berkaitan dengan berita dan informasi, sedangkan keanekaragaman

berkaitan dengan segala bentuk keluaran (output) media. Objektivitas

adalah prinsip yang acapkali hanya dihubungkan dengan isi. Prinsip

tersebut tidak dapat diteliti secara isi dan secara langsung baik pada

Page 30: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/28945/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... · kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Pada 1963, melalui Keputusan Presiden

30

tingkat masyarakat maupun pada tingkat organisasi media, meskipun

pandangan para komunikator media tentang prinsip itu tetap ada

kaitannya dengan pengujian.

Makna prinsip objektivitas berasal dari berbagai sumber. Oleh

karena itu, prinsip tersebut mengandung sekian banyak pengertian,

antara lain: objektivitas merupakan nilai sentral yang mendasari disiplin

profesi yang dituntut oleh para wartawan sendiri. Prinsip itu sangat

dihargai dalam kebudayaan modern, termasuk berbagai bidang di luar

media massa, terutama dalam kaitannya dengan rasionalitas ilmu

pengetahuan dan birokrasi. Objektivitas mempunyai korelasi dengan

independensi.

Prinsip tersebut sangat dihargai bilamana kondisi keanekaragaman

mengalami kemunduran, yaitu kondisi yang diwarnai oleh semakin

menurunnya jumlah sumber dan semakin meningkatnya uniformitas

(dengan kata lain, situasi monopolitas semakin tampak). Dengan

demikian, objektivitas diperlukan untuk mempertahankan kredibilitas.

Akhirnya masyarakat mengharapkan berita dan informasi selalu bersifat

netral (non evaluatif dan faktual) atau seimbang menurut beberapa

kriteria yang dianut pada masyarakat tertentu.

Memang lebih mudah menyatakan secara tegas makna yang

seharusnya dikandung oleh prinsip objektivitas. Berbagi komponen

objektivitas ditampilkan oleh J. Westerstahl, ahli ilmu pengetahuan

Swedia. Dalam hal ini penyajian laporan atau berita secara objektif

Page 31: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/28945/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... · kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Pada 1963, melalui Keputusan Presiden

31

harus mencakup nilai-nilai kebenaran dan fakta. Berikut adalah skema

tentang komponen-komponen utama dari prinsip objektivitas

pemberitaan :

Gambar 1.1

Komponen Utama Prinsip Objektivitas (J. westerstahl, 1983)

Objektivitas

Kefaktualan Impartialitas

Kebenaran Relevansi Keseimbangan Netralitas

Sumber: McQuail, 1989: 130

Dalam skema tersebut, Kefaktualan dikaitkan dengan bentuk

penyajian laporan tentang peristwa dan pernyataan yang dapat dicek

kebenarannya pada sumber dan disajikan tanpa komentar. Kefaktualan

ditentukan oleh beberapa kriteria “kebenaran”, antara lain: keutuhan

laporan, ketepatan yang ditopang oleh pertimbangan independen, dan

tidak adanya keinginan untuk menyalah-arahkan atau menekan.

Impartialitas dihubungkan dengan sikap netral wartawan

(reporter), suatu sikap yang menjauhkan setiap penilaian pribadi

(personal) dan subjektif demi pencapaian sasaran yang diinginkan.

Wartawan harus dapat memisahkan antara uraian dengan komentar,

sehingga beritanya dapat disiarkan dengan seobyektif mungkin.

Page 32: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/28945/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... · kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Pada 1963, melalui Keputusan Presiden

32

Semua itu menunjang kualitas informasi. “Relevansi” lebih sulit

ditentukan dan dicapai secara objektif. Namun demikian, pada dasarnya

relevansi sama pentingnya dengan kebenaran dan berkenaan dengan

proses seleksi, bukannya dengan bentuk atau penyajian. Relevansi juga

mensyaratkan perlunya proses seleksi yang dilaksanakan menurut

prinsip kegunaan yang jelas demi kepentingan calon penerima dan

masyarakat. Secara umum dapat dikatakan bahwa apapun yang paling

berkemungkinan untuk mempengaruhi masyarakat, baik dalam jangka

pendek maupun dalam jangka panjang, dan sangat berguna untuk

mereka ketahui, harus dipandang sebagai lebih memiliki relevansi.

Objektifitas tetap lebih merupakan tujuan dari pada cita-cita

yang diterapkan seutuhnya, dan bahkan tidak selamanya diidamkan atau

diperjuangkan. Dalam system media yang memiliki keanekaragaman

eksternal, terbuka kesempatan untuk penyajian informasi yang

memihak, meskipun informasi tersebut harus bersaing dengan sumber

informasi lain yang menyatakan dirinya objektif.

Objektifitas, betapapun sulitnya harus diupayakan oleh insan

pers. Objektifitas berkait erat dengan kemandirian pers sebagai istitusi

sosial. Institusi pers memang dituntut objektif dan netral atas semua

fakta. Hal ini penting mengingat signifikansi efek media terhadap

khalayak.

Page 33: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/28945/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... · kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Pada 1963, melalui Keputusan Presiden

33

F. Definisi Konseptual

F.1. Objektivitas

Objektivitas adalah bentuk khusus dari praktek media dan juga

sikap dalam mengumpulkan informasi, memproses, dan menyebarkan

informasi.

Objektivitas berkaitan dengan kualitas informasi isi berita yang

diterbitkan oleh media massa yang benar dari suatu kejadian atau fakta

dan mencakup tiga unsur di dalamnya yaitu:

Relevansi : yaitu adanya kesesuaian atau keterkaitan antara isi berita

dengan tema yang diangkat dan tercermin dalam judul maupun sub

judul pemberitaannya.

Keseimbangan : yaitu berkaitan dengan konsep “cover both side”

bahwa keseimbangan dalam pemberitaan merupakan pemberian

kesempatan yang sama pada semua pihak yang diberitakan untuk

dijadikan sebagai sumber berita. Dalam artian antara pihak yang saling

bersengketa harus diberikan kesempatan yang sama untuk dijadikan

sebagai sumber berita dalam setiap pemberitaannya.

Netralitas : yaitu menyangkut ada tidaknya pencampuran fakta dengan

opini dalam setiap pemberitaan. Dalam hal ini, setiap penyajian berita

tentunya harus dapat memisahkan antara fakta dengan opini wartawan

yang menulis berita.

Page 34: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/28945/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... · kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Pada 1963, melalui Keputusan Presiden

34

F.2. Pemberitaan

Pemberitaan adalah laporan tentang fakta atau ide yang termassa

dan temanya dipilih oleh staf redaksi untuk disiarkan, yang kemudian

dapat menarik perhatian pembaca.

F.3. Objektivitas Pemberitaan

Informasi dikatakan objektif jika akurat, jujur, lengkap, sesuai

dengan kenyataan, bisa diandalkan, dan memisahkan fakta dengan opini.

Informasi yang harus seimbang dan adil, dalam artian melaporkan berita

dalam sifat yang tidak sensasional dan tidak bias.

F.4. Kasus Polisi versus KPK

Pada pertengahan tahun 2009 muncul pemberitaan sebuah kasus

yang melibatkan dua instansi pemerintah (POLRI) dan instansi

independen yang didirikan oleh pemerintah (KPK). Baik POLRI

maupun KPK meski berbeda fungsi dan jobdesc namun keduanya

bertugas dalam satu ranah yang sama yaitu sebagai penegak hukum di

Indonesia. Kasus ini muncul ke pernukaan, berawal dari rekaman KPK

terkait dugaan suap mengenai perbincangan antara pengusaha yang

diduga korup dengan salah satu petinggi POLRI (Polisi Republik

Indonesia). Kasus “Polisi Versus KPK” atau lebih dikenal dengan

istilah “Cicak Versus Buaya“ dan mendapat sorotan tajam dari

masyarakat ini terus berkembang dengan banyak melibatkan pejabat

tinggi di kedua instansi serta instansi lain yang berhubungan seperti

Kejaksaan Agung.

Page 35: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/28945/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... · kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Pada 1963, melalui Keputusan Presiden

35

F.5. Analisis Isi

Menurut Brenson dan Kerlinger, analisis isi merupakan suatu

metode untuk mempelajari dan menganalisis komunikasi secara

sistematik, obyektif, dan kuantitatif terhadap pesan yang tampak

(Wimmer dan Dominick dalam Kriyantono, 2007 : 228).

G. Metode Penelitian

Metode penelitian mengenai objektivitas pemberitaan kasus “Polisi vs

KPK” dalam majalah berita mingguan Tempo dan Gatra ini menggunakan

model penelitian analisis isi (content analysis). Walizer dan Wiener dalam

Wimmer (2003:140) mendefinisikan analisis isi sebagai prosedur pembagian

yang sistematik untuk memahami isi informasi yang tercatat. Sedangkan

Krippendorff (1991:15). mendefinisikan analisis isi sebagai suatu teknik

penelitian untuk membuat intervensi-intervensi yang ditimbulkan dan sahih

data dengan memperhatikan konteksnya.

Analisis pada penelitian ini menggunakan analisis data deskriptif yaitu

menjelaskan sejelas-jelasnya objektivitas media dalam Pemberitaan Kasus

Polisi Versus KPK.

Metode deskriptif dapat diartikan melukiskan variabel demi variabel,

satu demi satu dan pada hakikatnya mengumpulkan data secara univariat.

(Rakhmat, 2005 : 24-25).

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, yang bertujuan

untuk merepresentasikan kerangka pesan (body of message) secara akurat.

Untuk itu kuantifikasi menjadi penting dalam upaya memperoleh obyektivitas

Page 36: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/28945/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... · kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Pada 1963, melalui Keputusan Presiden

36

yang dimaksud dengan syarat peneliti harus menggambarkannya secara tepat.

(Wimmer, 2003 : 141).

H. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah rubrik laporan utama pemberitaan

kasus Polisi Versus KPK oleh majalah Tempo edisi 2-8, 9-15 November dan

Gatra edisi 5-11, 12-18 November 2009. Hal ini karena pada edisi sekian,

berita yang disajikan tersebut masih bersifat hangat dan terkini.

I. Unit Analisis Data Dan Satuan Ukur

Unit analisis adalah sesuatu yang akan dianalisis, yang merupakan

elemen terkecil dan terpenting dari analisis isi. Unit analisis dapat berupa

simbol tunggal, pernyataan atau artikel lengkap dalam sebuah cerita

(Wimmer, 2003 : 148). Unit analisis dalam penelitian ini adalah paragraf

dalam setiap isi rubrik laporan utama berita kasus Polisi Versus KPK oleh

majalah Tempo edisi 2-8, 9-15 November dan Gatra edisi 5-11, 12-18

November 2009.

Satuan ukur dalam penelitian ini adalah frekwensi kemunculan struktur

kategori dalam setiap paragraf berita yang mengandung unsur relevansi,

keseimbangan dan netralitas yang dijelaskan dalam struktur kategori. Dengan

jumlah kalimat dalam satuan ukur ini akan dianalisa dengan penetapan berita

kasus Polisi Versus KPK oleh majalah Tempo edisi 2-8, 9-15 November dan

Gatra edisi 5-11, 12-18 November 2009, yang ditinjau dari aspek relevansi,

keseimbangan dan netralitas.

Page 37: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/28945/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... · kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Pada 1963, melalui Keputusan Presiden

37

J. Struktur Kategori

1. Relevansi : yaitu apabila ada kesesuaian antara isi berita dengan tema

yang diangkat, dan tercermin dalam judul maupun sub judul

pemberitaannya. Apakah pembahasan dalam setiap paragraf berita

merupakan cerminan judul, sub judul berita. Oleh karena itu, dalam

penelitian ini, peneliti membagi penilaian kategori relevansi menjadi dua

yaitu:

a. Relevan yaitu apabila pembahasan dalam paragraf berita tersebut

ada kesesuaian atau keterkaitan dengan tema yang diangkat dan

tercermin dalam judul maupun sub judul pemberitaannya.

b. Tidak Relevan yaitu apabila pembahasan dalam paragraf berita

tersebut tidak ada kesesuaian atau tidak ada kaitannya dengan tema

yang diangkat dan tidak tercermin dalam judul maupun sub judul

pemberitaannya.

2. Keseimbangan : yaitu berkaitan dengan konsep “cover both side” bahwa

keseimbangan dalam pemberitaan merupakan pemberian kesempatan

yang sama pada semua pihak yang dijadikan sebagai sumber berita.

Ketidak-berpihakan dapat dilihat dari sumber berita yang digunakan,

yaitu apabila masing-masing pihak yang diberitakan diberi porsi yang

sama dalam pembagian sumber berita. Dilihat dari jumlah sumber

beritanya. Dengan demikian, pertama kali yang dilakukan untuk

penilaian kategori ini adalah pembagian sumber beritanya. Hal ini

dilakukan untuk memudahkan peneliti dalam memperoleh nilai dari

Page 38: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/28945/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... · kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Pada 1963, melalui Keputusan Presiden

38

kategori keseimbangan. Adapun pembagian sumber berita dalam

penelitian ini adalah:

a. Sumber berita pendukung KPK, yaitu apabila dalam paragraf berita

tersebut terdapat pernyataan dari sumber berita yang mendukung

KPK. Sumber beritanya bisa dari KPK beserta kuasa hukumnya atau

dari sumber lainnya yang mendukung pihak KPK.

b. Sumber berita pendukung Polisi, yaitu apabila dalam paragraf berita

tersebut terdapat pernyataan dari sumber berita yang mendukung

Polisi. Sumber beritanya bisa dari Polisi beserta kuasa hukumnya

atau dari sumber lainnya yang mendukung pihak Polisi.

Dari pembagian sumber berita di atas, maka dapat diketahui nilai

keseimbangan yang dilihat dari jumlah sumber berita yang digunakan

dalam setiap pemberitaannya. Dalam hal ini, apakah sumber berita

pendukung KPK dengan sumber berita pendukung Polisi memiliki

jumlah yang sama dalam pemberian paragraf pada setiap pemberitaannya

atau tidak. Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti membagi

penilaian kategori keseimbangan menjadi dua yaitu:

a. Seimbang, yaitu apabila sumber berita pendukung KPK dengan

sumber berita pendukung Polisi memiliki jumlah yang sama dalam

pemberian paragraf pada setiap pemberitaannya.

b. Tidak Seimbang, yaitu apabila sumber berita pendukung KPK

dengan sumber berita pendukung Polisi tidak memiliki jumlah yang

sama dalam pemberian paragraf pada setiap pemberitaannya.

Page 39: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/28945/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... · kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Pada 1963, melalui Keputusan Presiden

39

3. Netralitas : yaitu menyangkut ada atau tidaknya pencampuran fakta

dengan opini wartawan yang menulis berita. Adanya pencampuran fakta

dan opini bisa dilihat apabila dalam artikel berita itu terdapat kata-kata

opinionative, seperti : tampaknya, sepertinya, seakan-akan, terkesan,

kesannya, seolah, agaknya, diduga, diperkirakan, diramalkan,

kontroversi, mengejutkan, manuver, sayangnya, dan kata-kata

opinionative lainnya. Dalam penelitian ini, peneliti membagi penilaian

kategori netralitas menjadi dua yaitu :

a. Netral (tidak ada pencampuran fakta dan opini), yaitu apabila dalam

paragraf tersebut tidak terdapat kata-kata opinionative didalamnya,

seperti : tampaknya, sepertinya, seakan-akan, terkesan, kesannya,

seolah, agaknya, diduga, diperkirakan, diramalkan, kontroversi,

mengejutkan, sayangnya, dan kata-kata opinionative lainnya.

b. Tidak Netral (ada pencampuran fakta dan opini), yaitu apabila dalam

paragraf tersebut terdapat kata-kata opinionative didalamnya, seperti

: tampaknya, sepertinya, seakan-akan, terkesan, kesannya, seolah,

agaknya, diduga, diperkirakan, diramalkan, kontroversi,

mengejutkan, sayangnya, dan kata-kata opinionative lainnya.

K. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan cara

pendokumentasian pemberitaan majalah Tempo edisi 2-8, 9-15 November

dan Gatra edisi 5-11, 12-18 November 2009. Data yang telah dikumpulkan

atau didokumentasikan kemudian dimasukkan pada lembar coding sesuai

Page 40: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/28945/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... · kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Pada 1963, melalui Keputusan Presiden

40

kategori yang telah ditetapkan sebelumnya. Untuk mempermudah dalam

pengkategorisasian, maka dibuatlah lembar koding seperti contoh dibawah

ini:

Tabel 1.1

Contoh Lembar Koding

Objektivitas Media Dalam Pemberitaan Kasus Polisi Versus KPK

(Majalah Tempo Atau Gatra)

No Edisi Judul Berita

Alinea / Paragraf

Kategori A B C

A 1 A2 B 1 B2 B 3 B 4 C 1 C 2

Keterangan :

A: Relevansi

A 1: Relevan

A 2: Tidak Relevan

B: Keseimbangan

B 1: Sumber Berita Polisi

B 2: Sumber Berita KPK

B 3: Seimbang

B 4: Tidak Seimbang

C: Netralitas

C 1: Netral

C 2: Tidak Netral

Page 41: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/28945/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... · kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Pada 1963, melalui Keputusan Presiden

41

Penilaian ke dalam lembar koding menggunakan tanda centang ( √ )

untuk setiap Paragraf berita yang memiliki unsur dalam struktur kategori.

Data yang telah dimasukkan ke dalam lembar koding akan dihitung melalui

rumus Holsty yang diperkuat dengan rumus Scott.

L. Teknik Analisis Data

Adapun proses dari analisis datanya adalah setelah melakukan

pengkodingan seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kemudian data akan

dianalisis menggunakan teknik analisis data distribusi frekuensi dengan cara

data-data yang didapat dari hasil pengkodingan dimasukkan ke dalam tabel

distribusi frekuensi berdasarkan masing-masing kategorinya. Melalui alat

analisis ini bertujuan untuk mengetahui frekuensi kemunculan masing-masing

kategori dan memudahkan peneliti dalam mendapatkan prosentase hasil dari

masing-masing kategori.

Untuk lebih jelasnya, maka dibuatlah tabel distribusi frekuensi seperti

contoh di bawah ini:

Tabel 1.2

Contoh Tabel

Distribusi Frekuensi Kategori Relevansi Berita

(Majalah Tempo atau Gatra)

No. Edisi Judul Berita

Relevansi Frekuensi Prosentase

Relevan Tidak Relevan Relevan Tidak

Relevan

Jumlah

Page 42: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/28945/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... · kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Pada 1963, melalui Keputusan Presiden

42

Tabel 1.3

Contoh Tabel

Distribusi Frekuensi Kategori Keseimbangan Berita

(Majalah Tempo Atau Gatra)

No. Edisi Judul Berita Keseimbangan

Frekuensi Prosentase A1 A2 A3 A4 B1 B2 B3 B4

Jumlah Keterangan ;

Frekuensi :

A1 : Sumber Berita Pendukung Polisi

A2 : Sumber Berita Pendukung KPK

A3 : Seimbang

A4 : Tidak Seimbang

Prosentase :

B1 : Sumber Berita Pendukung Polisi

B2 : Sumber Berita Pendukung KPK

B3 : Seimbang

B4 : Tidak Seimbang

Page 43: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/28945/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... · kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Pada 1963, melalui Keputusan Presiden

43

Tabel 1.4

Contoh Tabel

Distribusi Frekuensi Kategori Netralitas Berita

(Majalah Tempo Atau Gatra)

No. Edisi Judul Berita

Netralitas Frekuensi Prosentase

Netral Tidak Netral Netral Tidak

Netral

Jumlah

Selanjutnya lewat tabel distribusi frekuensi tersebut dilakukan analisa

deskriptif, yaitu hasil dari penghitungan persentase pada tabel di atas

kemudian diberikan penjelasan deskriptif mengenai tingkat objektivitas kedua

majalah dalam pemberitaan kasus Polisi Versus KPK yang ditinjau dari aspek

relevansi, keseimbangan, dan netralitas isi berita.

M. Uji Reliabilitas Kategori

Kategori dalam analisis isi merupakan instrument pengumpul data.

Fungsinya identik dengan kuesioner dalam survey. Supaya objektif, maka

kategoris harus dijaga reliabilitasnya. Terutama untuk kategoris yang dibuat

sendiri oleh periset sehingga belum memiliki standar yang telah teruji, maka

sebaiknya dilakukan uji reliabilitas. Salah satu uji reliabilitas yang dapat

digunakan adalah berdasarkan rumus R. Holsty.

Disini peneliti melakukan pretest dengan cara meng-koding sample ke

dalam kategorisasi. Kegiatan ini selain dilakukan peneliti juga dilakukan oleh

orang yang lain yang ditunjuk peneliti sebagai pembanding atau hakim. Uji

Page 44: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/28945/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... · kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Pada 1963, melalui Keputusan Presiden

44

ini dikenal dengan uji antar kode. Kemudian hasil pengkodingan

dibandingkan dengan menggunakan rumus Hosty, yaitu :

2M

CR = —————

N1+N2

Keterangan :

CR = Coeficient Realibiltiy

M = Jumlah pernyataan yang disetujui oleh pengkoding (hakim) dan

peneliti

N1, N2 = Jumlah pernyataan yang diberi kode oleh pengkoding (hakim) dan

peneliti.

Dari hasil yang diperoleh, akan ditemukan observed agreement

persetujuan yang diperoleh dari penelitian. Penyempurnaan untuk memperkuat

hasil reliabilitas, maka digunakan rumus :

Pi = grementEkspectedA

antectedAgremrementObservedAg%1

exp%%−

Keterangan :

Pi : Nilai Keterhandalan

Observed Agreement : Jumlah yang disetujui oleh antar pengkode, yaitu nilai

C.R

Expected Agreement : Persetujuan yang diharapkan atas banyaknya tema

dalam suatu kategorisasi yang sama nilai

matematisnya, dinyatakan dalam jumlah hasil

pengukuran dari proporsi seluruh tema.