bab i pendahuluan a. latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Betul Tuan, rambut pendek sedang menjadi mode sekarang seperti dulu new-look menjadi mode. 1
Demikian kutipan majalah Minggu Pagi pada tahun 1951 yang
menggambarkan tentang penampilan pemudi Yogyakarta. Pembahasan tentang
penampilan dalam historiografi di Indonesia telah dilakukan oleh beberapa
akademisi, seperti Jean Gelman Taylor, Henk Schulte Nordholt, Kees van Dick,
dan Rudolf Mrázek. Taylor, misalnya, menyebutkan bahwa melalui pakaian
peneliti dapat melihat transformasi sosial.2 Demikianlah, misalnya kita bisa
memahami transformasi perubahan kelas sosial di Yogyakarta melalui perubahan
pada penampilan. Sementara itu, van Dijk menyebutkan pakaian adalah salah satu
penanda yang paling jelas dari sekian banyak penanda penampilan luar. Dengan
demikian, cara kita memilih pakaian dapat berfungsi sebagai suatu pernyataan,
sebagai sarana untuk menunjukkan bahwa kita berasal dari kelompok mana.3
1Minggu Pagi, No. 37, Desember 1951, Tahoen III, hlm. 25. 2Jean Gelman Taylor, “Kostum dan Gender di Jawa Kolonial Tahun 1800-
1940”. Lihat dalam Henk Schulte Nordholt (ed), Outward Appearance. Trend Identitas, Kepentingan (Yogyakarta: LKIS, 2005), hlm. 121.
3Kees Van Dijk, “ Sarung, Jubah, dan Celana Penampilan sebagai Sarana
Pembedaan dan Diskriminasi”. Lihat dalam Henk Schulte Nordholt (ed), ibid., hlm. 58.
2
Pakaian dan model rambut sebagai penampilan yang paling mudah diamati
sangat menarik untuk diteliti lebih mendalam. Bagaimana perkembangan mode,
apa makna yang disampaikan melalui pakaian, hingga mengapa mode pakaian
tersebut berkembang merupakan bagian-bagian yang mengelilingi munculnya
sebuah mode pakaian. Pakaian sebagai salah satu penampilan juga tidak dapat
dipisahkan dari pemakainya. Bahkan, Pramoedya Ananta Toer menggaris bawahi
pentingnya pakaian sebagai bagian dari penampilan, karena melalui pakaian dapat
menunjukkan identitas seseorang.4 Melalui pakaian dapat juga diketahui dari
golongan mana pemakainya berasal, apakah dari kelompok pelajar, priyayi, atau
petani.
Dari foto dan gambar yang ditemukan penulis diketahui pakaian penduduk
Jawa di awal abad ke-20 terbagi menjadi dua macam yaitu setelan pakaian terusan
dan kebaya atau batik untuk perempuan, serta laki-laki memakai kain yang
dililitkan dipinggang tanpa kain atasan ditambah dengan penutup kepala.
Masuknya setelan pakaian terusan sebagai penunjang penampilan tidak dapat
dilepaskan dari peran pelajar. Taylor menyebutkan bahwa setelan pakaian terusan
baru dipakai pemudi-pemudi secara umum tahun 1940, sedangkan sebelum tahun
tersebut hanya pelajar yang memakainya.5
4Lihat dalam bagian pendahuluan, Henk Schulte Nordholt (ed), op. cit.,
hlm. 16. 5Jean Gelman Taylor, op. cit., hlm. 157.
3
Pakaian pemudi-pemudi Yogyakarta bervariasi seperti kebaya dengan
jarik dan setelan pakaian terusan. Keanekaragam pakaian pemudi Yogyakarta di
awali dari lingkungan pendidikan. Bervariasinya seragam sekolah pemudi karena
beragamnya latar belakang sekolah-sekolah di Yogyakarta, seperti sekolah yang
diselenggarakan oleh pemerintah, Misi, Taman Siswa, dan Muhammadiyah.
Sementara itu, Taylor juga menyebutkan bahwa pakaian siswi sekolah memasuki
tahun 1920 panjangnya telah mencapai lutut dengan lengan yang semakin
pendek.6 Disinilah menariknya bagaimana perempuan yang selama ini selalu
dikelilingi norma kesopanan dalam berperilaku dan berpenampilan, karena adanya
aturan seragam di sekolah-sekolah pemerintah maka norma tersebut sengaja
diabaikan.
Beragamnya mode pakaian pemudi dapat ditemukan di Yogyakarta.
Ditahun 1920’an ada beberapa jenis sekolah di Yogyakarta, dari sekolah
pemerintah, sekolah swasta seperti Misi, Muhammadiyah, dan Taman Siswa.
Beragamnya latar belakang sekolah di Yogyakarta membuat beragamnya aturan
sekolah tentang pakaian seragam. Dari sini menarik untuk dicermati bagaimana
ditahun 1920’an pemudi-pemudi Yogyakarta berstatus pelajar memakai seragam
sekolah yang berbeda-beda. Tentunya perbedaan pakaian seragam ini tidak hanya
terkait aturan mode pakain, tetapi lebih jauh terkait kelas sosial dan identitas
pemakainya.
6Jean Gelman Taylor, ibid, hlm. 155.
4
Perkembangan penampilan pemudi-pemudi di Yogyakarta di awal abad
ke-20 tidak dapat dilepaskan dari masuknya modernitas. Modernitas memasuki
kota Yogyakarta di awal abad ke-20 dengan wujud pendidikan, perkembangan
fasilitas, dan gaya hidup baru. Masifnya perkembangan modernitas di kota
Yogyakarta pada awal abad ke-20 dapat dibuktikan dengan selesainya
pembangunan kota Baru ditahun 1921 dan ditahun 1924 selesainya pembangunan
beberapa fasilitas penunjang kota, seperti perbaikan jaringan jalan termasuk
pengaspalan jalan-jalan di kota Yogyakarta serta transportasi. Pembangunan
gedung sekolah baru sebanyak 423 termasuk di dalamnya sekolah khusus
perempuan juga diselesaikan dari tahun 1924-1928.7
Perkembangan modernitas secara tidak langsung membawa perkembangan
terhadap penampilan pemudi-pemudi Yogyakarta baik di dalam ranah pendidikan
atau publik. Melalui pendidikan, pemudi-pemudi yang belajar di sekolah-sekolah
pemerintah ikut menggunakan setelan pakaian terusan dan gaya hidup guru
Belanda mereka.8 Pada tahun 1930’an sudah semakin terlihat bagaimana pemudi
kota Yogyakarta menggunakan setelan pakaian terusan. Memasuki tahun
1940’an-1950’an perkembangan pakaian pemudi Yogyakarta semakin terlihat
beragam. Bagaimana setelan pakaian terusan yang sebelumnya hanya digunakan
7Abdurrachaman Surjomihardjo, Kota Yogyakarta Tempo Doeloe; Sejarah
Sosial 1880-1930 (Yogyakarta: Komunitas Bambu, 2008), hlm. 71. 8Setelan terusan pakaian ala Barat awalnya digunakan oleh perempuan
pelajar di Yogyakarta. Pemakaian setelan terusan ini diharuskan di sekolah-sekolah yang diselenggarakan pemerintah. Pemakaian setelan terusan ala Barat sebagai seragam sekolah dapat ditemukan difoto-foto masa lalu seperti foto sekolah kelas 2 di Yogyakarta tahun 1932. Lihat dalam KITLV. nl/ Onderwijzeres Babs Met Klas 2 te Jogjakarta 1932/1083.
5
oleh pemudi di lingkungan sekolah, berkembang penggunaannya hingga ke ranah
publik. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penampilan pemudi di
Yogyakarta penting untuk dicermati.
B. Rumusan Masalah
Pokok permasalahan yang dikaji dalam tesis ini adalah mengenai
perubahan cara berpenampilan pemudi di Yogyakarta dari tahun 1920’an-
1950’an. Tahun 1920’an merupakan periode awal ketika Yogyakarta mengalami
perubahan dalam banyak hal. Demikianlah, misalnya Fakih mencatat dibangunnya
fasilitas penunjang Kota Baru seperti fasilitas rumah sakit umum (Rumah Sakit
Petronella, sekarang Rumah Sakit Bethesda) dan rumah sakit militer. Barak untuk
prajurit berdiri di sekitar rumah sakit militer.9 Surjomihardjo misalnya mencatat
pada tahun 1924 terjadi pembangunan 70 sekolahan di Yogyakarta.10
9Farabi Fakih, “Kotabaru and the Housing Estate as Bulwark against the
Indigenization of Colonial Java” (lihat dalam Freek Colombijn (ed), Cars, Conduits, and Kampongs; The Modernization of the Indonesian City, 1920–1960 (Leiden: KITLV, 2006), hlm. 160.
10Pada tahun 1924 di Yogyakarta terdapat 70 sekolahan yang terdiri dari
30 sekolah pemerintah, 7 sekolah katholik, 9 sekolah netral, 9 sekolah protestan, 6 sekolah Muhammadiyah, 2 Budi Utomo, 1 sekolah Muhammadiyah, 2 sekolah Adhidarmo, 1 sekolah Tionghoa, dan 3 sekolah islam lainnya. Sedangkan tahun 1930 jumlah sekolah di Yogyakarta ada 68 sekolah. Catatan Surjomihardjo ini menunjukkan bahwa tahun 1920’an adalah awal perubahan di Yogyakarta. Lihat dalam Abdurrachaman Surjomihardjo, op. cit., hlm. 72.
6
Dari pokok permasalahan di atas muncul pertanyaan-pertanyaan berikut ini.
Pertama, seiring dengan masuknya modernitas di Yogyakarta dalam bidang
pendidikan seperti pembaharuan model pendidikan, munculnya sekolah baru
hingga penggunaan penampilan ala perempuan Belanda. Bagaimana penerimaan
modernitas oleh pemudi Yogyakarta? Masuknya modernitas ke Yogyakarta dalam
wujud penampilan ala perempuan Belanda tidak secara langsung diterima oleh
pemudi Yogyakarta. Misalnya sekolah Taman Siswa dan Muhammadiyah mereka
melakukan negosiasi dengan modernitas, sehingga tidak sepenuhnya menerima
modernitas.
Kedua, bagaimanakah perkembangan penampilan pemudi di Yogyakarta
pada tahun 1920’an-1950’an baik di ranah pendidikan atau publik? Disadari atau
tidak Yogyakarta sebagai daerah vorstenlanden dan juga daerah yang sedang
dikuasai kekuatan asing (Belanda dan Jepang) merupakan arena bertemunya
kekuasaan. Tiga kiblat kebudayaan dipertemukan dalam suatu wilayah tentunya
memunculkan perkembangan kebudayaan baru yang cepat. Perkembangan
kebudayaan yang paling mudah diamati adalah pakaian dan model rambut.11
Berkaitan dengan hal itu, bagaimana perkembangan mode pakaian pemudi di
Yogyakarta di ranah pendidikan (sekolah) dan publik? Bagaimana perkembangan
11Mode pakaian dan model rambut sebagai bentuk dari penampilan juga
mengalami perkembangan. Sebagai contoh berkembangnya model rambut pendek di Yogyakarta yang mencapai puncaknya ditahun 1950’an, seperti dalam kutipan Minggu Pagi “bahwa dari 10 orang pemudi yang melewati Malioboro, 7 atau 8 orang pasti berambut pendek”. Berubahnya tren dari rambut panjang menjadi pendek dipengaruhi oleh model-model Barat dalam film bioskop. Lihat dalam Minggu Pagi, No. 07, Desember 1951, hlm. 25.
7
model rambut pemudi di Yogyakarta di ranah pendidikan (sekolah) dan publik?
Apa sajakah kategori pakaian pemudi-pemudi di Yogyakarta?
Ketiga, mode pakaian dan model rambut sebagai bentuk penampilan
adalah alat komunikasi visual. Tentunya secara umum pakaian sebagai
komunikasi visual bukan hanya berfungsi sebagai perlindungan tetapi juga
mengandung makna identitas dan kelas sosial. Berkaitan dengan hal itu muncul
pertanyaan, apakah penampilan pemudi di Yogyakarta juga terkait adanya
identitas dan kelas sosial? Identitas ini terkait status perempuan melalui gaya
penampilannya. Melalui pakaian apakah terlihat dari kelas mana perempuan
tersebut berasal?
Sejarah sebagai sebuah disiplin ilmu berusaha melihat segala sesuatu dari
sudut rentang waktu dan tempat.12 Oleh karena itu sangat penting untuk
menentukan aspek temporal dan spasial dari penelitian tesis ini. Dari keseluruhan
pertanyaan penelitian di atas selanjutnya penting pula dilihat alasan pemilihan
penampilan pemudi Yogyakarta 1920’an-1950’an sebagai kajian tesis ini.
Pertama, batasan temporal awal dalan penelitian tesis ini adalah tahun 1920’an.
Dasar pertimbangan pemilihan tahun 1920’an karena pada masa itu adalah awal
terjadi perubahan penampilan pemudi Yogyakarta. Taylor mengatakan bahwa
pada tahun 1920’an seiring dengan munculnya sekolah-sekolah yang
diselenggarakan pemerintah, maka juga muncul setelan pakain terusan yang
12Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana,
1994), hlm. 158.
8
digunakan pemudi-pemudi Yogyakrata.13 Penggunaan setelan pakaian terusan
oleh pemudi-pemudi di Yogyakarta dalam lingkungan sekolah menandai
perubahan cara berpenampilan dari kebaya ke setelan pakaian terusan.
Penggunaan setelan pakaian terusan sebagai seragam sekolah juga diikuti
perubahan model rambut dan munculnya kebiasaan-kebiasaan baru yang dicontoh
dari guru-guru Belanda.
Kedua, batasan temporal akhir dalam penelitian tesis ini dipilih tahun
1950’an. Dasar penulis mengambil batasan akhir tahun 1950’an sebab saat itu
penggunaan penampilan ala perempuan Belanda tidak hanya terbatas pada ranah
pendidikan, tetapi sudah digunakan dalam ranah publik. Misalnya Taylor
mengatakan tahun 1950’an setelan pakaian terusan sudah digunakan oleh pemudi-
pemudi Yogyakarta dalam berbagai aktivitas.14 Majalah Minggu Pagi tahun 1951
mencatat semakin meluasnya penggunakan model rambut pendek ala perempuan
Belanda dapat dibuktikan dari 10 perempuan yang melewati jalan Malioboro 7
diantaranya berambut pendek. Mengutip koran Kedaulatan Rakjat tahun 1950
mengatakan berkembang pesatnya setelan pakaian terusan dikalangan pemuda dan
pemudi akibat dari masuknya film-film dari Belanda, Amerika, dan Inggris. Pada
tahun 1950’an sampul-sampul majalah seperti Minggu Pagi dan Mekarsari dihiasi
gambar perempuan berpenampilan ala Belanda dengan setelan pakaian terusan
dan rambut pendek. Cerpen-cerpen di dalamnya juga menggambarkan sosok
13Jean Gelman Taylor, op. cit., hlm. 123. 14Ibid., hlm. 123.
9
perempuan dengan penampilan setelan pakaian terusan dan juga rambut pendek,
seperti cerpen seorang gadis tjantik, nomer 13, dan suka duka seorang modiste.
Batasan spasial di dalam penelitian tesis ini adalah kota Yogyakarta. Kota
Yogyakarta dipilih dengan pertimbangan sebagai ruang yang lebih sering terjadi
interaksi sosial antar etnis. Kota juga sebagai ruang yang lebih sering tersentuh
modernitas berupa perkembangan fasilitas umum, seperti jalan dan rel kereta api
serta masuknya pendidikan Barat di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Sehingga pertemuan antar budaya dan pengaruhnya lebih terlihat di perkotaan.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Ada beberapa tujuan penting dalam penelitian tesis ini. Penelitian ini
bertujuan pertama, untuk menjelaskan sejauh mana pengaruh modernitas terhadap
perkembangan penampilan pemudi di Yogyakarta. Kedua, menjelaskan
perkembangan penampilan pemudi Yogyakarta di ranah pendidikan dan publik.
Berdasarkan tujuan di atas penelitian ini diharapkan dapat membuat
historiografi baru mengenai sejarah perempuan dengan menganalisis aspek
penampilannya. Jika perkembangan penampilan perempuan khususnya pemudi
Yogyakarta terkait mode pakaian dan model rambut dapat digambarkan secara
detail, maka bayangan orang bahwa Yogyakarta itu tradisional dengan simbol-
simbol baju tradisional dan gaya hidup ke-Jawa-an itu bisa diubah. Yogyakarta
sebenarnya sebuah kota modern dengan fashion-nya yang selalu mengikuti
perkembangan zaman.
10
Diharapkan penelitian ini juga bermanfaat untuk memahami
perkembangan penampilan pemudi di Yogyakarta baik di ranah pendidikan dan
publik serta dapat memberikan manfaat terhadap penggalian penulisan sejarah
lokal, terutama tentang penulisan sejarah penampilan pemudi di Yogyakarta yang
masih jarang disentuh. Sehingga hasil dari penelitian ini juga sangat diharapkan
dapat mengisi kelangkaan historiografi Indonesia bertemakan perempuan. Selain
itu juga diharapkan mampu menjadi bahan rujukan dan membuka celah baru bagi
penelitian selanjutnya.
D. Tinjauan Pustaka
Terdapat beberapa pustaka baik buku, laporan penelitian, dan karya ilmiah
yang membahas mengenai Yogyakarta. Rachmawati pernah mengkaji remaja putri
di Yogyakarta dalam tulisannya berjudul “Tren Petticoat Pada Remaja Putri
Yogyakarta 1950’an-1960’an”. Dalam tulisannya Rachmawati menjelaskan
bagaimana petticoat memasuki Yogyakarta dan menjadi tren berpenampilan
ramaja putri Yogyakarta pada tahun 1950’an. Rachmawati juga menjelaskan
jenis-jenis petticoat. Kekurangan dalam tulisan ini adalah penulis hanya
menjelaskan masuknya petticoat ke Yogyakarta, tanpa menjelaskan hubungan
petticoat dengan status sosial dan identitas remaja puteri.
Mutiah Amini pernah mengkaji perempuan di Yogyakarta dalam
tulisannya berjudul “Kontes Mode Sebagai Simbol Baru Perempuan Kota Di
Yogyakarta 1950-1960’an”. Dalam tulisannya Amini sampai pada titik
kesimpulan bahwa kontes mode merupakan simbol baru perempuan di
11
Yogyakarta. Kontes mode sebagai simbol baru muncul sebagai akibat dari
semakin terbukanya perempuan. Perempuan sudah tidak hanya beraktivitas pada
tataran ruang domestik, tetapi sudah melangkah lebih jauh pada ruang publik.
Perempuan di Yogyakarta saat itu memaknai kontes mode sebagai simbolisasi diri
dari pelajar, pekerja, dan sebagainya.15 Kontes mode saat itu juga menjadi alat
komunikasi sosial yang dapat mengikat kaum lelaki untuk ambil bagian di
dalamnya.16 Bukan hanya sebagai penikmat tetapi lelaki juga ikut menjadi
penyelenggara kegitan tersebut. Hal ini menunjukkan adanya kesamaan peran
antara kaum lelaki dan perempuan di ruang publik.
Karya Amini sangat baik dalam menggambarkan bagaimana mode pakaian
sebagai simbol identitas pemakainya serta alat komunikasi visual. Akan tetapi ada
beberapa kekurangan yaitu karya ini kurang memperlihatkan proses
perkembangan penampilan perempuan. Walaupun karya ini masih kurang dalam
menampilkan proses perkembangan penampilan perempuan Yogyakarta, tetapi
penulis mendapatkan banyak informasi mengenai konstruksi penampilan
perempuan Yogyakarta 1950-1960’an.
15Mutiah Amini, “Kontes Mode” Sebagai Simbol Baru Perempuan Kota
Di Yogyakarta 1950-1960’an”. Laporan Penelitian (Yogyakarta: PSSAT, 2005), hlm. 25.
16Ibid., hlm. 26.
12
Pustaka lainnya adalah “Perkembangan Gaya Pakaian Perempuan Jawa
Di Kota Yogyakarta Pada Awal Abad XX Sampai Akhir Masa Kolonial” karya
Ratna Nurhajarini. Karya Nurhajarini menganalisis tentang perkembangan
pakaian perempuan Jawa. Pada mulanya simbolisasi pakaian perempuan Jawa
adalah kebaya, kain, stagen, selendang, konde dan alas kaki. Pakaian-pakaian ini
dalam perkembangannya mendapat pengaruh dari Barat.17 Unsur pakaian barat
yang pertama kali diadopsi adalah asessoris. Asessoris dikombinasikan dengan
baju-baju kebaya, tetapi hal ini hanya terbatas pada keluarga keraton. Kelompok
di luar keraton baru memulai menggunakan baju bergaya barat hanya bagi mereka
yang belajar pada sekolah misi atau zending. Kesimpulan dari karya ini adalah
hilangnya pamor kebaya sebagai pakaian keseharian perempuan golongan
menengah dan atas. Pakaian kebaya mengalami pengeksklusifan yakni sebagai
pakaian khusus acara-acara tertentu seperti pernikahan atau khitanan.
Kekurangan karya ini penulis hanya melihat mode pakaian dari satu sudut
pandang. Karya ini kurang menjelaskan makn-makna yang disampaikan oleh
mode pakaian. Akan tetapi tulisan ini sangat membantu dalam melihat sejarah
perkembangan pakaian Jawa.
Tulisan Jean Gelman Taylor yang berjudul Kostum dan Gender di Jawa
Kolonial Tahun 1800-1940. Taylor sangat baik dalam menggambarkan mode
pakaian terkait makna yang melingkupinya. Pakaian digambarkan sebagai satu
17Dwi Ratna Nurhajarini, “Perkembangan Gaya Pakaian Perempuan Jawa
Di Kota Yogyakarta Pada Awal Abad XX Sampai Akhir Masa Kolonial” (Tesis Program Studi Ilmu Sejarah, UGM: Yogyakarta, 2006), hlm. 123.
13
kesatuan dari tubuh manusia yang membentuk identitas, kelas, dan status.
Bagaimana orang-orang pribumi mencoba menjadi dan ingin diperlakukan
layaknya orang Barat melalui mode pakaian yang digunakan.18 Kekurangan dari
tulisan ini adalah porsi yang sedikit untuk menggambarkan mode pakaian
perempuan. Laki-laki tetap menjadi fokus dalam tulisannya.
Buku “Busana Adat Kraton Yogyakarta, Makna dan Fungsi Dalam
Berbagai Upacara” karya Mari S. Condronegoro. Buku ini sangat detail
menggambarkan busana adat masyarakat Yogyakarta. Tidak hanya model
pakainnya tetapi makna dibalik pakain dan atribut yang mengikutinya.
Condronegoro membagi model pakaian menurut fungsinya di dalam upacara
tradisional. Kekurangan buku ini tidak secara khusus membahas mengenai
pakaian perempuan. Model pakaian yang digambarkan hanya sebatas pakaian
keraton, tanpa menunjukkan model pakaian yang berkembang di dalam
masyarakat Yogyakarta.
Membicarakan perempuan khususnya pemudi dan penampilan tidak bisa
dilihat secara mandiri dan tunggal. Kajian tentang pemudi dan penampilan sudah
dapat direlasikan dengan politik, ekonomi, budaya dan sosial. Oleh sebab itu,
kiranya penulis juga membutuhkan rujukan karya yang relevansi dengan
keseharian masyarakat Yogyakarta di segala bidang. Buku berjudul “Perubahan
Sosial di Yogyakarta”, karya Selo Soemardjan sangat tepat dijadikan pustaka
untuk melihat masyarakat Yogyakarta. Meskipun buku ini adalah tulisan dari
18Jean Gelman Taylor, op. cit., hlm. 127.
14
perspektif sosiologi, tetapi sangat membantu penelitian penulis terutama dalam
menggambarkan perkembangan Yogyakarta dalam tiga zaman.
Melihat lebih dalam, judul buku ini secara garis besar menggambarkan
perkembangan Yogyakarta dalam aspek politik, sosial dan ekonomi. Politik tetap
menjadi bab sentral dalam buku ini, bahkan dua bab secara khusus membahasnya.
Sedangkan porsi perkembangan ekonomi dan sosial masing-masing diberi satu
bab. Walaupun porsi perkembangan ekonomi dan sosial hanya dijelaskan secara
singkat dan hanya kulit luar, tetapi sudah sedikit memberi gambaran penulis
bagaimana kondisinya saat itu. Secara tersirat buku ini juga mengeksplanasikan
transformasi segala aspek kehidupan dalam masyarakat Yogyakarta ke dalam
bentuk yang lebih kompleks. Transformasi ini bisa digambarkan seperti tumbuh
dan berkembangnya pendidikan, perkembangan pemerintahan Yogyakarta dalam
tiga zaman, perkembangan partai politik, masalah- masalah pertanian, masuknya
perusahaan asing, hingga pembangunan.
Kekecewaan ketika penulis tidak mendapati bab mengenai perkembangan
yang menyangkut budaya masyarakat Yogyakarta. Kekurangan lainya buku ini
masih memberikan informasi yang sifatnya umum sedangkan yang sifatnya
khusus kurang disinggung. Hanya ada beberapa halaman tulisan yang
menjelaskan mengenai gaya hidup masyarakat kecil, selebihnya hanya bercerita
seputar politik dan kegiatan ekonomi. Walaupun kurang menyentuh bagian
terkecil dari budaya masyarakat Yogyakarta, tetapi buku ini mampu menjadi pintu
bagi penulis untuk melihat gambaran wilayah dan masyarakat Yogyakarta.
15
Buku “Kota Yogyakarta Tempo Doeloe, Sejarah Sosial 1880-1930”, karya
Abdurrachman Surjomihardjo. Meskipun buku ini hanya menyoroti bagaimana
perkembangan Yogyakarta pada akhir abad XIX dan awal abad XX, tetapi cukup
penting untuk melihat perkembangan awal kota Yogyakarta sebagai sebuah kota
modern. Buku ini memperlihatkan bagaimana Yogyakarta pada awal abad XX
menunjukkan perkembangan kota yang luar biasa. Perkembangan ini ditandai
dengan adanya perusahaan kereta api, gas, listrik, air minum, munculnya banyak
pemukiman baru. Fasilitas kota juga banyak bermunculan seperti jalan-jalan baru,
gedung pertemuan, gedung sekolah, asrama dan rumah sakit. Pada masa ini juga
banyak bermunculan kaum intelektual baru seiring dengan banyak dibukanya
sekolahan.19 Suatu hal penting seiring dengan munculnya kaum intelektual baru
adalah terciptanya stratifikasi baru dalam masyarakat.
Berdasarkan karya-karya di atas, dapat dikatakan bahwa historiografi
tentang perkembangan penampilan pemudi Yogyakarta masih sangat terbatas.
Karya-karya ilmiah umumnya hanya sebatas penampilan perempuan keraton,
sedangkan penampilan pemudi di Yogyakarta seringkali terabaikan. Untuk itu,
tesis ini mencoba menghadirkan realitas masa lalu dari penampilan pemudi
Yogyakarta sejak tahun 1920’an-1950’an, sebagai sebuah kajian.
19Abdurrachman Surjomihardjo, op. cit., hlm. 67.
16
E. Sumber dan Metode Penelitian
Sebelum melakukan penelitian, sangat penting untuk memperhatikan
metode penelitian. Dalam melakukan penelitian ini menggunakan metode
penelitian sejarah. Metode penelitian sejarah adalah proses menguji dan
menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau berdasarkan
rekonstruksi yang imajinatif.20 Langkah-langkah dalam melakukan metode
penelitian terdiri dari 4 tahapan yaitu pencarian sumber, kritik sumber, perumusan
fakta dan penyajian pemikiran baru.21
Sumber yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber dokumentasi.
Penggunaan sumber dokumentasi disebabkan cukup tersedianya sumber-sumber
cetak secara memadahi. Sumber dokumentasi dipilih sebagai sumber utama dalam
penelitian ini karena periode permasalahan yang diteliti memiliki rentang waktu
yang lama dengan masa sekarang.
Sumber dokumentasi yang utama dalam penelitian ini adalah buku. Selain
buku, majalah juga sumber penting di dalam penelitian ini. Berbagai majalah
perempuan yang terbit di Yogyakarta atau di luar Yogyakarta (terkait perempuan
Yogyakarta) pada awal abad ke-20 hingga medium abad ke-20 dengan berbagai
tema gaya hidup, acara kontes yang berkembang saat itu, seperti dari artikel
cerpen, tulisan pembaca, rubrik perempuan, mahligai puteri, bab tata cara
20Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah. Terjemahan oleh Nugroho
Notosusanto (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), hlm. 32. 21Gilbert J. Garraghan, A Guide To Historical Method (New York: East
Fordham Road, 1940), Homer Carey Hockett, (1955/1967).
17
berpakaian, tata cara pemakaian gelung dan pergaulan dengan laki-laki. Artikel-
artikel ini dapat ditemukan di dalam majalah-majalah perempuan seperti Ibu, Istri,
Soeara Aisjijah, Wanita, Doenia Wanita. Selain di majalah-majalah tentang
perempuan, artikel-artikel ini juga dapat dijumpai di majalah umum seperti
Minggu Pagi, Mekarsari, Wasita, Pandji Poestaka, Gadjah Mada, Djawa Baroe.
Dalam majalah juga dijumpai foto-foto dan ilustrasi tentang pakaian perempuan,
perilaku, model rambut, sehingga sangat membantu penulis dalam menafsirkan
perkembangan penampilan pemudi di Yogyakarta.
Sumber penting lainnya dalam penelitian ini adalah surat kabar. Sama
halnya dengan majalah, surat kabar yang dikumpulkan adalah yang terbit di
Yogyakarta dan di luar Yogyakarta (terkait Yogyakarta) dengan tema perempuan,
Yogyakarta, gaya hidup, dari berbagai artikel seperti puisi, cerpen, rubrik
ekonomi, tulisan pembaca. Artikel ini ditemukan di dalam surat kabar Kedaulatan
Rakyat, Soeara Muhammadiyah, Soeara Mataram, Asia Raya, Sinpo, Keng Po,
Merdeka. Dalam surat kabar juga dijumpai iklan dan foto tentang perempuan
Yogyakarta sehingga sangat membantu penulis dalam menafsirkan perkembangan
penampilan pemudi di Yogyakarta.
Sumber penting lainnya adalah arsip yang paling pokok seperti arsip
tentang statistik kependudukan (volkstelling), perekonomian dan pendidikan
masyarakat Yogyakarta. Arsip-arsip ini dinilai sangat diperlukan, karena jika
berbicara tentang pemudi dan penampilan tidak bisa dilihat sebagai sebuah kajian
tunggal dan berdiri sendiri. Pemudi dan penampilan selalu berelasi dengan aspek-
18
aspek sosial di sekitarnya. Lebih jauh penelitian ini juga mengambil pendekatan
sejarah sosial, sehingga struktur masyarakat tempat mereka hidup menjadi hal
yang sangat penting untuk ikut dikaji.
Sedangkan sumber berupa foto juga dianggap sangat penting karena foto
mencerminkan persepsi-persepsi tentang masa lalu.22 Foto-foto yang dikumpulkan
dan berusaha dicari adalah foto pemudi yang ditangkap di ranah pendidikan dan
publik. Ranah pendidikan yakni foto peristiwa di sekolah dan ranah publik adalah
foto organisasi, kongres, aktivitas sehari-hari, dan acara kontes. Oleh karena foto
yang dikumpulkan beragam, maka penulis harus teliti dalam menafsirkannya.
Sehingga sangat diperlukan kritik sumber.
Studi dokumenter dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
mengumpulkan sumber-sumber berupa buku referensi, surat kabar, majalah, arsip,
laporan penelitian, jurnal, foto, dan laporan tugas akhir yang didapatkan dari
Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Arsip Daerah (ARSIPDA) Propinsi
Yogyakarta, Arsip Daerah (ARSIPDA) Propinsi Jawa Tengah, Perpustakaan
Nasional (PERPUSNAS) Republik Indonesia, Perpustakaan Balai Pustaka
Jakarta, Perpustakaan Daerah (PUSDA) Yogyakarta, Library Center Yogyakarta,
Perpustakaan Ignatius Yogyakarta, Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya (FIB)
UGM, Perpustakaan Universitas Gadjah Mada (UGM), Perpustakaan Widya
Pustaka (Pakualaman), Perpustakaan Daerah (PUSDA) Surabaya dan
Perpustakaan Medayu Agung Surabaya.
22Jean Gelman Taylor, op. cit., hlm. 124.
19
Kritik sumber dilakukan dengan membandingkan foto satu dengan yang
lainnya, membandingkan foto dengan jurnal, buku, dan laporan-laporan penelitian
yang relevan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Penulis juga
membandingkan dann menghubungkan fakta-fakta sejarah yang dikumpulkan
sehingga menghasilkan informasi yang relevan dan dibutuhkan dalam penulisan
tesis ini. Tahap terakhir dalam penelitian sejarah adalah historiografi.
F. Kerangka Konseptual
Penelitian ini dibangun dari dua konsep yang akan mempetegas
pemahaman permasalahan pokok studi ini. Konsep pertama adalah modernitas
dan yang kedua adalah penampilan. Fokus kajian penulis adalah penampilan
pemudi Yogyakarta yang dikhususkan lagi menjadi penampilan dari model
pakaian dan model rambut. Penampilan pemudi diambil beberapa contoh yaitu di
ranah pendidikan (dari tingkat dasar, menengah, atas, dan tinggi) dan ranah publik
(dalam acara resmi, aktivitas sehari-hari, dan acara kontes).
Penelitian tesis ini adalah bagian dari sejarah perempuan. Pengembangan
sejarah perempuan di Indonesia sudah mulai dilirik sejak tahun 1980-an.
Namun pada periode tersebut kuantitas kajian dan studi mengenai perempuan
baik sebagai subjek sosial, peranan perempuan dan lainnya yang dihasilkan
masih terpisah-pisah.23 Untuk selanjutnya, studi yang dilakukan harus mampu
menghasilkan kajian mengenai perempuan secara utuh.
23Anna Mariana dalam pengantar Etnohistori edisi Genealogi Gerakan
dan Studi Perempuan. 25 Juni 2013
20
Penulisan penampilan tentang perempuan tidak harus hanya melihat
perempuan dari satu aspek saja, misalnya peran domestik, sosial atau
politiknya saja. Namun juga harus dapat melihat bagaimana peran mereka
dalam proses dan jalan sejarah yang ada secara total. Karena masa lalu
adalah masa lalu perempuan dan laki-laki bersama.24
Kata perempuan dipilih karena sesuai dengan penyebutan di dalam surat
kabar. Surat kabar dan majalah umumnya menggunakan kata prampoen atau
prempuan, bukan wanita.25 Penyebutan kata perempuan juga dirasa lebih halus
daripada kata wanita. Kata perempuan berasal dari kata empu yang bermakna
dihargai, dipertuan, atau dihormati, sedangkan kata wanita diyakini dari bahasa
sansekerta, dengan kata dasar wan yang berarti nafsu, sehingga kata wanita
memiliki arti yang dinafsui atau objek seks, dalam bahasa Jawa (Jawa Dorsok)
kata wanita berarti berani di tata.
Joan W. Scott menawarkan dua pendekatan dalam mengkaji sejarah
perempuan, pendekatan tersebut adalah pendekatan secara kronologi dan
pendekatan kausal.26 Dalam pendekatan kronologi, masalah perempuan
diangkat sebagai subyek sejarah, dengan memberikan nilai pada suatu
pengalaman perempuan yang telah diabaikan dan bahan tidak dinilai.
24Kuntowijoyo, op. cit., hlm. 15. 25Mutiah Amini, “Kehidupan Perempuan di Tengah Perubahan Kota
Surabaya Pada Abad Ke-20” (Yogyakarta: Tesis prodi Ilmu Sejarah UGM, 2003), hlm. 05.
26Joan Wallach Scott, Gender and Politics of History (New York:
Columbia Universty, 1988), hlm. 22.
21
Demikianlah misalnya, masalah penampilan perempuan Yogyakarta menjadi
pokok pembahasan penting. Dalam pendekatan kausal, yang diangkat adalah
peran kausal yang dimainkan oleh perempuan dalam sejarah, dengan mencari
pemahaman bagaimana dan kenapa perempuan mengambil bentuk atas
beberapa tindakan yang mereka lakukan. Untuk melihat peran kausal yang
diperankan oleh perempuan Yogyakarta, akan dianilisis tindakannya dalam
lingkungan sosio-kulturalnya. Hal ini juga untuk memperoleh pemahaman akan
kausalitas yang melatarbelakangi ide dan bentuk perilaku yang diekspresikan oleh
perempuan Yogyakarta.
Dalam penelitian tesis ini, lingkup perempuan dibatasi pada perempuan
muda atau pemudi. Pemudi yang dipilih adalah pribumi yang menempuh
pendidikan dari tingkat dasar, menengah, atas, hingga tinggi. Istilah pemudi
diartikan sebagai perempuan muda, remaja putri.27 Remaja berasal dari bahas latin
yaitu adolesence yang artinya tumbuh. Menurut Rumini dan Sundari remaja
adalah masa perkembangan dari mulai anak sampai dewasa yang menyangkut
semua aspek baik fisik atau psikologi. Periode pemudi atau remaja menurut
Rumini dan Sundari berlangsung dari usia 10-22 tahun.28
27Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi
keempat, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm. 745. 28Sri Rumini, dkk, Perkembangan Anak Dan Remaja (Jakarta: Rineka
Cipta, 2004), hlm. 53.
22
Menurut Santrock mengartikan pemudi sebagai perkembangan transisi
dari masa anak sampai dewasa yang berlangsung dari usia 11-21 tahun.29 Hurlock
mengartikan remaja sebagai proses tumbuh menjadi dewasa.30 Jadi secara
sederhana pemudi dapat diartikan sebagai remaja, perempuan muda yang ditandai
dari usia 10-22 tahun.
Erickson dan Santrock menyebut bahwa masa remaja adalah masa dimana
mencari identitas diri yang ditandai oleh sikap senang bereksplorasi,
bereksperimen, berimajinasi, dan keingintahuan.31 Adanya sikap-sikap di atas
membuat penampilan khususnya ala perempuan Belanda lebih banyak digunakan
oleh golongan pemudi. Sikap-sikap tersebut mendorong pemudi lebih ingin tahu
terhadap pakaian terusan daripada golongan perempuan dewasa, sehingga mereka
mulai bereksperimen dengan menggunakan pakaian tersebut.
Penggunaan penampilan ala perempuan Belanda oleh pemudi juga tidak
terlepas dari modernitas. Pengaruh modernitas sangat terlihat di dalam bidang
pendidikan. Melalui pendidikan, modernitas dari Belanda dapat menyebar dengan
begitu cepat. Penyebaran modernitas terjadi di lingkungan sekolah. Sekolah yang
diselenggarakan oleh pemerintah adalah institusi pendidikan yang menyebarkan
modernitas dari Belanda baik dalam wujud kurikulum, penampilan, dan kebiasaan
baru. Melalui aturan seragam sekolah setelan pakaian terusan untuk pertama
29Santrock, J.W., Adolesence Perkembangan Remaja (Jakarta: Erlangga,
2003), hlm. 26. 30Hurlock, E.B., Perkembangan Anak (Jakarta: Erlangga, 1997), hlm. 05. 31Santrock, J.W., op. cit., hlm. 32.
23
kalinya dipakai oleh pemudi di sekolah pemerintah. Pemudi adalah tangan
pertama yang memakai dan memperkenalkan modernitas dalam wujud
penampilan ala perempuan Belanda kepada perempuan pribumi lainnya di
Yogyakarta.32
Istilah penampilan sering digunakan untuk menyebut cara berpakaian.
Penampilan juga diartikan sebagai identitas seseorang yang terkait karakteristik-
karakteristik fisik termasuk di dalamnya ukuran tubuh, cara berpakaian, model
rambut, dan pemakaian kosmetik.33 Simmel menyebut penampilan, mode sebagai
sebuah bentuk dari meniru dan memiliki perbedaan tiap waktu atau masa serta
berbeda pula antara satu kelas sosial dan kelas sosial lainnya. Dengan bahasa yang
sederhana penampilan diartikan sebagai cara bergaya, berpakaian, dalam
kehidupan sehari-hari yang menandai posisi kelas dan menyimbolkan identitas.
Dalam penulisan tesis ini penampilan hanya dibatasi pada mode pakaian
dan model rambut, karena sebagai salah satu bentuk penampilan yang paling
mudah diamati. Pakaian adalah kebutuhan dasar, untuk melindungi dan
perlindungan setiap manusia yang diberikan dan diterima begitu saja.34 Sebagai
kebutuhan dasar pakaian seringkali diabaikan dalam hubungannya dengan
32Jean Gelman Taylor, op. cit., hlm. 157. 33Malcolm Barnard, Fashion Sebagai Komunikasi, Cara
Mengomunikasikakan Identitas Sosial, Seksual, Kelas, dan Gender (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), hlm. 11.
34Maureen Fullam, Clothing as Beauty, Pleasure and Creativity (England:
Heythrop College, 1999), hlm. 239.
24
kehidupan sosial. Pakaian selalu dianggap lumrah dan bagian terpisah dari tubuh
manusia tanpa melihat apakah ada pesan tersembunyi dibalik pakaian seseorang.
Meskipun pakaian selalu dianggap sebagai bagian terpisah dari kehidupan
manusia, bagaimanapun juga kenyataannya pakaian dan model rambut adalah
fenomena budaya yang mengindikasikan identitas pokok dari individu atau
kelompok, serta sebagai bentuk bahasa yang merefleksikan norma sosial dari
fashion, mode, dan kecantikan.35 Pakaian sebagai sebuah identitas merupakan hal
yang menarik karena sudah dianggap tidak lagi sebagai kulit luar manusia, tetapi
kulit sosial dan kebudayaan manusia.36
Disadari atau tidak pakaian sebagai kulit sosial menyiratkan sebuah
pernyataan yang sangat kuat tentang kelas, status, dan gender.37 Taylor memberi
contoh bagaimana pria Jawa berpakaian ala Belanda lengkap dengan rambut
dipotong pendek tanpa mengenakan tutup kepala, memakai sepatu dan kaus
35Victor H. Matthews, “The Anthropology of Clothing in the Joseph
Narrative”, Journal For the Study of the Old Testament, No. 65, Maret 1995, hlm. 25.
36Pakaian sebagai kulit sosial tidak hanya berfungsi sebagai pelindung
tubuh. Pakaian menjadi penanda identitas sosial bagi pemakainya misalnya dengan memakai setelan pakaian seragam maka identitas sebagai siswa muncul, atau dengan memakai kebaya, jarik, perhiasan, sepatu maka memunculkan identitas isteri seorang priyayi. Lihat dalam foto “Onderwijzeres Babs Met Klas 2 te Jogjakarta 1932”, dalam http://WWW.Kitlv.nl/imagesandmusic/1083; “Bestuurder en Echtgenote te Jogjakarta 1925”, http://WWW.Kitlv.nl/imagesandmusic/85768
37Jean Gelman Taylor, Kostum dan Gender di Jawa Kolonial Tahun 1800-
1940, op. cit., hlm. 121.
25
kaki.38 Mereka diperlakukan dengan sopan santun ala orang-orang Belanda dan
bergaya ala Belanda. Tidak hanya kaum laki-laki, perempuan juga berusaha
menunjukkan statusnya melalui pakaian dan assesoris rambut. Perempuan keraton
menunjukkan statusnya melalui pakaian yang terdiri dari nyamping batik, rasukan
sutra, kacu sutra, bross, dan cincin.39 Sedangkan perempuan dengan status sosial
bawah menunjukkannya melalui pakaian lurik, kemben, dan stagen.40
Kualitas bahan, warna atau desain dan kondisi fisik dari pakaian semuanya
berkontribusi membangun idenstitas, kemakmuran, dan rangking dari individu
atau kelompok.41 Sehingga pakain selalu memiliki arti sebagai komunikasi
visual,42 karenanya tanpa perlu mengetahui latar belakang seseorang, melalui
pakaian dapat dilihat dari kelas sosial mana orang tersebut berasal.
Selain konsep penampilan ada juga konsep lain yakni modernisasi.
Modernisasi diartikan sebagai proses pergeseran sikap dan mentalitas sesuai
dengan tuntutan masa kini.43 Menurut Nordholt modernitas merupakan sesuatu
38Jean Gelman Taylor, ibid., hlm. 143. 39Mari S. Condronegoro, Busana Adat Kraton Yogyakarta, Makna dan
Fungsi Dalam Berbagai Upacara (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 1995), hlm. 27.
40H.J. Wibowo, dkk, Pakaian Adat Tradisional Daerah Istimewa
Yogyakarta (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990), hlm. 34. 41Victor H. Matthews, loc. cit., hlm. 26. 42Ibid., hlm. 25. 43Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., hlm. 662.
26
yang kontradiktif tidak saja bagi kolonial tapi juga bagi bumiputra.44 Dari sudut
pandang kolonial, Nordholt melihat modernitas sebagai sebuah sarana yang
diciptakan pemerintah dalam proses pembentukan koloni yang lebih beradab.
Dalam konteks ini beradab dimaknai sebagai superioritas budaya Barat dan
keterbelakangan budaya Bumiputra. Proses pembaratan ini berkembang menjadi
idealisasi gaya hidup modern Eropa perkotaan yang banyak diimpikan oleh
Bumiputra. Modernitas hadir dalam bentuk penampilan luar, selera, kualitas
hidup, sebagai bagian penting dalam proses pembentukan identitas dan status.
Modernitas pada awal abad ke-20 tidak hanya dimaknai masuknya unsur-
unsur dari Belanda yang memberikan keberadaban, tapi bagi Nordholt Sebuah
upaya “pencerahan” terhadap pribumi, dengan keyakinan bahwa pribumi harus
diajari kehidupan yang “beradab”, memakai nilai-nilai dan standar Belanda.
Maka, dapat diartikan bahwa modernitas tersebut lebih mewujud dalam berbagai
bentuk gaya hidup yang diusung oleh pemerintah kolonial. Modernitas ini adalah
elemen pembentuk perkotaan yang salah satunya adalah penampilan sebagai
sebuah gaya hidup. Latar belakang profesi, kemudahan akses transportasi,
komunikasi dan berbagai fasilitas publik lainnya melahirkan perilaku dan gaya
hidup yang khas. Demikian pula dengan tingkat pendidikan dan ekonomi yang
berbeda semakin mempermudah mereka untuk beradaptasi dengan elemen-elemen
modernitas. Modernitas penampilan perempuan Yogyakarta dimulai dari
44Henk Schulte Nordholt, “Modernity and Cultural Citizenship in the
Netherlands Indies: An Ilustrated Hypothesis” Journal of Southeast Asia Studies, vol 43 (3), pp. 435-457 October 2011, hlm. 444.
27
masuknya pendidikan ala Belanda. Melalui pendidikan terjadi proses meniru baik
mode pakaian, gaya hidup, atau kebiasaan orang-orang Belanda.
Menurut Maier yang mengutip Breman bahwa modernitas adalah keadaan
yang memberikan kebebasan, kekuasaan, dan perbahan masyarakat. Dengan
bahasa lain modernitas adalah penyatu paduan semua umat manusia. Misalnya
modernitas pada masa kolonial memiliki arti adanya keinginan pemerintah
kolonial untuk membuat masyarakat “homogen” ditanah jajahan.45 Taylor juga
menyebutkan modernisasi dalam penggunaan penampilan setelan terusan sebagai
bentuk keinginan pemerintah kolonial untuk meng-kolonialisasi tubuh.
Menurut Dilip M. Menon modernitas kolonial merupakan negosiasi antara
modernitas metropolis dengan adat-istiadat asli.46 Dalam penggambarannya berisi
tentang anak-anak muda yang terjebak antara dunia lama dan dunia baru. Di dunia
lama yaitu rumah, mereka hidup sesuai dengan aturan kehidupan tradisional. Di
dunia baru yaitu sekolah dan saat terjadi kontak dengan guru Belandanya, mereka
belajar tentang kemerdekaan ekonomi, tanggungjawab pribadi, dan kemungkinan
untuk terbebas dari klaim-klaim keluarga besar mereka.47
45Henk Maier, “Pusaran Air Dan Listrik, Modernitas Hindia-Belanda”,
Lihat dalam Henk Schulte Nordholt, op. cit., hlm. 268. 46Dilip M. Menon, “Religion and Colonial Modernity: Rethinking Belief
and Identity” Economic and Political Weekly, vol. 37, No. 17 (Apr. 27-May 3, 2002) hlm. 1662.
47Harry G Aveling. “Sitti Nurbaya: Some Reconsiderations”. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 126, 2de Afl. (1970), hlm. 230.
28
Inkeles menyatakan bahwa modernisasi adalah kesiapan menerima
pengalaman baru dan terbuka terhadap inovasi dan perubahan. Menurut Taufik
Abdullah modernitas adalah proses penyesuaikan kepada lingkungan yang baru
untuk mendorong masyarakat melihat kebudayaannya sendiri. Walaupun
modernisasi digerakkan oleh keinginan dalam ataupun tekanan dari luar. Hal ini
seperti masyarakat Yogyakarta dengan keadaan sekeliling yang baru membuat
tidak hanya ada ketegangan antara tradisi dan modernitas, tetapi yang terpenting
adalah sikap baru terhadap tradisi itu sendiri. Dibangunnya kedua konsep ini
dimaksudkan agar pembahasan tidak keluar dari paradigma yang ada serta
memperjelas pemahaman akan kajian sejarah yang diteliti.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian tesis berjudul “Penampilan Pemudi
Yogyakarta 1920’an-1950’an” terbagi menjadi V bab. Tiap-tiap bab nantinya
terbagi lagi ke dalam subbab-subbab tersendiri. Setiap bab saling berkaitan dan
merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan dalam memahaminya.
Sehingga dari relasi antar bab diharapkan dapat menjelaskan perkembangan
penampilan pemudi Yogyakarta secara cermat. Berikut rincian kelima bab
tersebut, Bab I berisi latar belakang yang merupakan alasan penulis mengambil
penelitian dengan tema penampilan perempuan, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka konseptual dan
pendekatan serta metode penelitian, sistematika penulisan.
29
Bab II menjelaskan kehidupan perempuan Yogyakarta 1920’an-1950’an.
Pembahasan difokuskan pada ruang fisik kota Yogyakarta, komposisi penduduk,
dan kehidupan perempuan dalam berbagai aktivitas seperti ekonomi, pendidikan,
dan organisasi. Penjelasan mengenai gambaran perempuan Yogyakarta sangat
penting karena sebagai jalan masuk bagi pembaca untuk lebih memahami
kehidupan perempuan Yogyakarta.
Bab III membahas penampilan pemudi Yogyakarta di ranah pendidikan
dari berbagai latar belakang institusinya. Penampilan yang dibahas terkait mode
pakaian dan model rambut, serta makna yang mengikutinya. Dalam bab ini akan
dijelaskan mode-mode pakaian dan model-model rambut pemudi di Yogyakarta,
mulai dari sekolah pemerintah hingga swasta dan universitas. Adanya penjelasan
mengenai mode-mode pakaian dan model-model rambut pemudi di Yogyakarta,
mulai dari sekolah pemerintah hingga swasta nantinya dapat menunjukkan
bagaimana pakaian kebaya dan setelan pakaian terusan tumbuh secara bersama-
sama menjadi pakaian pemudi di Yogyakarta.
Bab IV membahas penampilan perempuan pelajar di ranah publik. Ranah
publik dibagi lagi ke dalam kehidupan sehari-hari, acara resmi, acara kontes, dan
kebiasaan baru yang muncul. Dalam bab ini tentunya akan dijelaskan penggunaan
kebaya dan setelan pakaian terusaan sebagai pakaian harian pemudi di
Yogyakarta. Penggunaan kedua model pakaian tersebut tentunya membawa
konsekuensi terhadap munculnya kebiasaan baru pemudi di Yogyakarta.
Munculnya kebiasaan baru dalam aktivitas pemudi di Yogyakarta mendorong