bab i pendahuluan - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/c0112022_bab1.pdf · ......
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang dipergunakan oleh para anggota
masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri
(Harimurti Kridalaksana, 2008: 24). Kelangsungan hidup suatu bahasa sangat
dipengaruhi oleh faktor dinamika yang dialami oleh penuturnya. Sebagai makhluk
sosial, manusia tidak terlepas dari peristiwa komunikasi karena manusia hidup
dalam suatu masyarakat. Melalui bahasa, kita dapat mengungkapkan dan
mengemukakan segala sesuatu yang menjadi buah pikiran dan perasaan.
Bahasa memiliki kaidah pemakaian yang bersifat sistematis. Kaidah atau
aturan itu merupakan suatu himpunan patokan yang berdasarkan struktur bahasa
yang lebih dikenal dengan istilah tata bahasa. Tata bahasa dibagi dalam lima
bagian, yaitu tata bunyi (fonologi), tata bentuk (morfologi), tata kalimat
(sintaksis), semantik, dan wacana.
Wacana menurut Sumarlam (2013: 30) dalam buku Teori dan Praktik
Analisis Wacana merupakan satuan bahasa terlengkap yang dinyatakan secara
lisan seperti pidato, ceramah, khotbah, dan dialog, atau secara tertulis seperti
cerpen, novel, buku, surat, dan dokumen tertulis, yang dilihat dari struktur
lahirnya (dari segi bentuk) bersifat kohesif, saling terkait dan dari struktur
batinnya (dari segi makna) bersifat koheren, terpadu. Dengan demikian, hubungan
antarbagian wacana dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu hubungan bentuk
atau bisa disebut dengan kohesi (cohesion) dan hubungan makna atau bisa disebut
dengan koherensi (coherence).
2
Kohesi merupakan organisasi sintaktik, merupakan wadah kalimat-kalimat
disusun secara padu dan padat untuk menghasilkan tuturan (Tarigan, 1987: 96).
Kohesi dalam wacana meliputi struktur lahir atau segi bentuk yang disebut aspek
gramatikal dan struktur batin atau segi makna yang disebut aspek leksikal.
Sementara itu koherensi adalah suatu rangkaian fakta dan gagasan yang teratur
dan tersusun secara logis. Koherensi dapat terjadi secara implisit (terselubung)
karena berkaitan dengan bidang makna yang memerlukan interpretasi. Di samping
itu, pemahaman tentang hubungan koherensi dapat ditempuh dengan cara
menyimpulkan hubungan antarproposisi dalam tubuh wacana itu (Mulyana, 2005:
31).
Adapun contoh penggunaan penanda kohesi gramatikal dalam wacana
Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana adalah sebagai berikut:
(170) “Aku ki seneng mas ngrungokake gelombang radio Melati iki, apa meneh
yen sing ngasuh panjenengan. [...] (SBIMK/H192/P22).
‘Aku senang mas mendengarkan gelombang radio Melati ini, apa lagi
yang mengasuh Anda.’ [...]
Data (170) di atas mengandung unsur kohesi, yaitu kohesi gramatikal dan
termasuk dalam kategori pengacuan/referensi, sedangkan jenisnya adalah
pengacuan persona III bentuk bebas yaitu kata panjenengan ‘Anda’ yang
mengacu kepada tokoh yang bernama Wisnu dalam cerkak yang berjudul
Saumpama Bocah Ireng Manis Kuwi. Maka termasuk pengacuan endofora
anaforis karena acuannya berada di dalam teks dengan acuan Wisnu yang
disebutkan sebelumnya atau antasendennya berada di sebelah kiri. Bagaimanakah
penanda kohesi gramatikal dalam wacana Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya
Ary Nurdiana? Ditemukan penanda kohesi gramatikal yang sama dengan data
3
(170) di atas atau ditemukan penanda kohesi gramatikal yang berbeda dengan data
(170) di atas?
Contoh penggunaan penanda kohesi leksikal dalam wacana Antologi
Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana adalah sebagai berikut:
(427) Nining isih semester loro, Tutik semester papat, njur Misye semester
enem padha karo Dewi, nanging umur-umurane isih tuwa Dewi.
(PSAD/H130/P20).
‘Nining masih semester dua, Tutik semester empat, lalu Misye semester
enam sama dengan Dewi, tetapi umur-umurannya masih tua Dewi.’
Pada data (427) menunjukkan repetisi epizeuksis yang ditunjukkan dengan
kata semester ‘semester’ yang diulang sebanyak tiga kali untuk menjelaskan
bahwa kedudukan kata tersebut sangat penting dalam kalimat. Kata semester
‘semester’ sangat penting karena berfungsi menjelaskan bahwa keempat tokoh
dalam penggalan cerita di atas ada yang semester dua, empat, serta enam.
Bagaimanakah penanda kohesi leksikal dalam wacana Antologi Cerkak “Puber
Kedua” karya Ary Nurdiana? Ditemukan penanda kohesi leksikal yang sama
dengan data (427) di atas atau ditemukan penanda kohesi leksikal yang berbeda
dengan data (427) di atas?
Selanjutnya, contoh penggunaan penanda koherensi dalam wacana
Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana adalah sebagai berikut:
(473) Sing mesthi, cedhak Mas Nang kok semangatku saya tambah.
(MK/H69/P70).
‘Yang pasti, dekat Mas Nang kok semangatku semakin tambah.’
Pada data (473) menunjukkan penanda koherensi berupa penekanan yaitu
pada kata mesthi ‘pasti’ yang berfungsi menyatakan penekanan bahwa tokoh yang
bernama Ana pasti merasa semangatnya semakin bertambah ketika dekat dengan
tokoh yang bernama Nanang. Maksud dari wacana tersebut adalah memberikan
4
penjelasan kepada pembaca bahwa semangatnya Ana pasti semakin bertambah
karena dekat dengan Nanang. Bagaimanakah penanda koherensi dalam wacana
Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana? Ditemukan penanda
koherensi yang sama dengan data (473) di atas atau ditemukan penanda koherensi
yang berbeda dengan data (473) di atas?
Wacana Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana yang
menjadi objek kajian penelitian ini dapat dikategorikan sebagai wacana tulis. Di
dalam wacana Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana terkandung
berbagai sarana keutuhan wacana yaitu kohesi gramatikal, kohesi leksikal, dan
koherensi. Ary Nurdiana merupakan satu dari sekian pengarang sastra Jawa yang
sering menulis di berbagai majalah bahasa Jawa seperti Jaya Baya, Panjebar
Semangat, dan Djaka Lodhang. Pengarang yang merupakan guru, juga
memberikan pengajaran agar para muridnya melestarikan sastra Jawa. Beliau
selalu mengajak murid-muridnya untuk menuliskan karya-karya melalui “mesin-
mesin” penerbitan karya sastra Jawa. Para muridnya diperkenalkan dengan
pengarang sastra Jawa yang terkenal, untuk mendukung agar mereka bersemangat
dalam berkarya. Pengarang juga berkiprah di Sanggar Sastra Triwida
Tulungagung ini sering menulis cerpen, artikel, opini, psikologi, cerita misteri,
tersebar di majalah Anita, Cemerlang, Mitra, Intan, Warta Bumi Putera, KPI,
Ponorogo Pos, dan juga buku Antologi Cerkak “Puber Kedua” ini.
Cerkak merupakan suatu karya sastra Jawa yang berbentuk prosa. Cerkak
merupakan hasil cipta dan pemikiran kreatif dari pengarang yang kemudian
dituangkan ke dalam bentuk tulisan berupa prosa tanpa terikat patokan dalam
pembuatannya. Cerkak bisa digunakan oleh seseorang untuk mengalurkan
5
gagasan, ide, pendapat, dan juga keinginannya tentang apa pun yang menjadi
kehendak pengarang itu sendiri melalui sebuah cerita yang relatif singkat.
Terkadang cerkak juga dapat digunakan sebagai wadah bagi orang-orang yang
ingin mengabadikan suatu kisah hidupnya atau kisah hidup orang lain menurut
versi pengarang. Bisa berupa kejadian yang bersifat fiksi ataupun nonfiksi sesuai
imajinasi pengarang.
Di era globalisasi, cerkak semakin kurang diperhatikan apalagi dibaca
oleh masyarakat di zaman sekarang. Eksistensi karya sastra Jawa semakin tergerus
oleh hadirnya buku-buku tentang ilmu pengetahuan dan teknologi daripada buku-
buku tentang budaya tradisonal khususnya cerkak ini. Hal ini dapat dibuktikan
dengan banyaknya buku-buku tersebut yang beredar di pasaran dibandingkan
dengan buku tentang budaya yang ada di sekitar kita. Berbagai usaha untuk
mengenalkan budaya tradisional melalui karya sastra Jawa terutama cerkak masih
belum maksimal. Terlihat dari peran media yang lebih condong menampilkan
tentang informasi-informasi modern daripada budaya tradisional. Hanya terdapat
beberapa media massa yang peduli terhadap budaya tradisional.
Penelitian mengenai wacana telah banyak dilakukan. Berikut penelitian
yang berhubungan dengan penelitian wacana berbahasa Jawa:
1. “Wacana Novel Jaring Kalamangga Karya Suparto Brata (Suatu Tinjauan
Kohesi dan Koherensi)” yang ditulis oleh Puji Utami, dari Fakultas Sastra
dan Seni Rupa UNS pada tahun 2012. Skripsi ini mengambil novel sebagai
data penelitian yang kemudian dianalisis dengan menggunakan tinjauan
kohesi dan koherensi.
6
2. “Analisis Wacana Cerpen Bocah-Bocah Berseragam Biru Laut Karya
Puthut EA” yang ditulis oleh Rizka Tri Permatasari, dari Fakultas Sastra
dan Seni Rupa UNS pada tahun 2013. Skripsi ini berisikan tentang analisis
terhadap cerpen yang berjudul Bocah-Bocah Berseragam Biru Laut karya
Puthut EA yang meneliti aspek gramatikal dan aspek leksikal serta konteks
situasi dan sosio-kultural yang terdapat dalam cerpen tersebut.
3. “Wacana Antologi Cerkak “Wiring Kuning” Karya Trinil (Kajian Kohesi
dan Koherensi)” yang ditulis oleh Ikhsan Mahendra, dari Fakultas Sastra
dan Seni Rupa UNS pada tahun 2013. Skripsi ini berisikan tentang analisis
kohesi gramatikal, kohesi leksikal, koherensi, serta menjelaskan
karateristik wacana antologi cerkak tersebut.
Ketiga penelitian di atas membahas tentang kohesi dan koherensi, namun
yang membedakan dengan penelitian wacana Antologi Cerkak “Puber Kedua”
karya Ary Nurdiana yaitu, jenis penanda kohesi dan koherensi yang ditemukan
dalam wacana Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana ini berbeda
variasi dari penelitian di atas. Salah satu yang membedakan yakni penanda kohesi
gramatikal yang berupa persona II dapat menggunakan dua penanda namun tidak
bisa saling menggantikan. Contoh analisis data yang menggunakan dua penanda
berupa persona II adalah sebagai berikut.
(182) “Kowe ki pancen neka-neka lho Dhik. Apa rumangsamu kowe ki elek?
(MK/H61/P16).
‘Kamu itu memang ada-ada saja lho Dhik. Apa menurutmu kamu itu
jelek?’
Pada data (182) menunjukkan pronomina persona II tunggal bentuk terikat
lekat kanan yaitu enklitik -mu ‘kamu‘ pada satuan lingual rumangsamu
‘menurutmu’ yang mengacu pada tokoh yang bernama Ana. Maka pengacuan
7
tersebut merupakan endofora anaforis karena mengacu pada tokoh yang bernama
Ana yang telah disebut terdahulu.
Kemudian data (182) di atas dibagi dengan teknik bagi unsur langsung
(BUL) menjadi berikut.
(182a) “Kowe ki pancen neka-neka lho Dhik.
‘Kamu itu memang ada-ada saja lho Dhik.’
(182b) Apa rumangsamu kowe ki elek?
‘Apa menurutmu kamu itu jelek?’
Kemudian data (182b) diuji dengan teknik lesap akan menjadi berikut.
(182c) Apa rumangsaØ kowe ki elek?
‘Apa menurutØ kamu itu jelek?’
Hasil analisis data (182c) dengan teknik lesap ternyata pronomina persona
II tunggal bentuk terikat lekat kanan -mu ‘kamu’ wajib hadir. Jika pronomina
tersebut dilesapkan, data tersebut tetap gramatikal dan berterima karena -mu
‘kamu’ yang mereferen pada kata kowe ‘kamu’ memiliki satu kelas persona II.
Data (182b) selanjutnya diuji dengan teknik ganti pada pronomina persona
II tunggal bentuk terikat lekat kanan -mu ‘kamu’, menjadi sebagai berikut.
(182d) “Apa rumangsa -mu kowe ki elek?
sampeyan
‘Apa menurut -mu kamu itu jelek?’
kamu
Dari data (182d) di atas, pronomina persona II tunggal bentuk terikat lekat
kanan -mu ‘kamu’ ternyata dapat digantikan dengan pronomina sampeyan ‘kamu’
karena pronomina tersebut masih dalam tataran yang sama.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti wacana
Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana ini. Hal yang menarik
perhatian penulis untuk meneliti antologi cerkak ini sebagai berikut. Pertama,
8
cerkak merupakan karya sastra berbentuk prosa yang dihasilkan dari pemikiran-
pemikiran, renungan, kritik sosial, kisah hidup, atau pengalaman pribadi yang
dituangkan dalam bahasa Jawa. Cerkak semakin berkurang eksistensinya di
sekitar kita, padahal sebagai masyarakat, khususnya Jawa, cerkak adalah salah
satu wadah untuk menuangkan ide-ide kreatif yang ada dalam hati pengarang.
Bahwa penuangan ide ke dalam cerkak merupakan salah satu cara untuk terus
melestarikan budaya tulis menulis melalui karya sastra.
Kedua, penelitian tentang wacana Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya
Ary Nurdiana belum pernah diteliti. Hal ini membuat penulis tertarik untuk
meneliti antologi cerkak tersebut karena belum terjamah penelitian.
Alasan ketiga yaitu di dalam wacana Antologi Cerkak “Puber Kedua”
karya Ary Nurdiana ini memiliki tingkat kekohesifan dan kekoherensian yang
tinggi. Setelah penulis membaca Antologi Cerkak “Puber Kedua” ini, ternyata
terdapat berbagai unsur kohesi gramatikal, kohesi leksikal, serta koherensi.
Beberapa penanda kohesi gramatikal yang terdapat dalam wacana Antologi
Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana ini misalnya kata kula ‘saya’, dalem
‘aku’, sliramu ‘dirimu’, panjenengan ‘kamu’, awake dhewe ‘diri kita’, dan
dheweke ‘dia’ yang termasuk pengacuan persona; kata wingi ‘kemarin’, mengko
‘nanti’, kepengker ‘kemarin’, kono ‘situ’, dan kae ‘itu’ yang termasuk pengacuan
demonstratif; kata persis ‘sama’, padha ‘sama’, dan kaya-kaya ‘seperti’ yang
termasuk pengacuan komparatif; kata durung kagungan pacar ‘belum punya
pacar’ dan jomblo ‘jomblo’ yang termasuk substitusi; kata muga-muga ‘semoga’
yang merupakan konjungsi harapan; kata banjur ‘kemudian’ yang merupakan
konjungsi urutan. Adapun beberapa kohesi leksikal yang terdapat dalam wacana
9
Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana ini misalnya kata ngewangi
‘membantu’ dan mbantu ‘membantu’ yang merupakan sinonimi; kata ayu ‘cantik’
dan elek ‘jelek’ yang merupakan antonimi. Penanda koherensi yang terdapat
dalam wacana Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana ini misalnya
kata kayata ‘seperti halnya’ yang merupakan sarana penghubung berupa contoh;
kata nyatane ‘kenyataannya’ yang merupakan sarana penghubung berupa
penekanan; dan kata dadi ‘jadi’ yang merupakan sarana penghubung berupa
kesimpulan. Masih banyak penanda-penanda kohesi dan koherensi yang terdapat
dalam wacana Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana ini. Dengan
alasan tersebut peneliti tertarik untuk meneliti antologi cerkak ini.
B. Pembatasan Masalah
Dalam sebuah penelitian, diperlukan adanya pembatasan masalah agar
peneliti dapat menekankan batasan mengenai objek kajian yang akan diteliti dan
dapat fokus pada masalah yang diteliti serta tidak melenceng dari masalah yang
dikaji. Adapun pembatasan dalam penelitian ini adalah mengenai aspek kohesi
dan koherensi dalam wacana Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya Ary
Nurdiana yang terbit pada tahun 2011.
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah penanda kohesi gramatikal dalam wacana Antologi Cerkak
“Puber Kedua” karya Ary Nurdiana?
2. Bagaimanakah penanda kohesi leksikal dalam wacana Antologi Cerkak
“Puber Kedua” karya Ary Nurdiana?
3. Bagaimanakah penanda koherensi dalam wacana Antologi Cerkak “Puber
Kedua” karya Ary Nurdiana?
10
D. Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan penanda kohesi gramatikal dalam wacana Antologi
Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana.
2. Mendeskripsikan penanda kohesi gramatikal dalam wacana Antologi
Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana.
3. Mendeskripsikan penanda koherensi dalam wacana Antologi Cerkak
“Puber Kedua” karya Ary Nurdiana.
E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu:
1. Manfaat Teoretis
Penelitian mengenai wacana dalam wacana Antologi Cerkak “Puber
Kedua” karya Ary Nurdiana ini diharapkan memberi sumbangan yang bermanfaat
bagi teori-teori linguistik, khususnya teori yang berkaitan dengan analisis wacana
berbahasa Jawa.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis merupakan temuan penelitian yang dapat memberi
sumbangan bagi peneliti itu sendiri, lembaga atau mahasiswa studi, dan
masyarakat luas pada umumnya. Manfaat praktis penelitian ini antara lain:
a. Dapat membantu pembaca dalam memahami isi wacana khususnya dalam
wacana Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana.
b. Dapat digunakan sebagai model penelitian bahasa di masa mendatang dan
dipakai sebagai referensi bagi mahasiswa yang akan meneliti lebih lanjut
mengenai analisis wacana dari segi kohesi dan koherensi.
11
F. Kajian Teori
1. Pengertian Wacana
Wacana adalah satuan bahasa terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas
kalimat atau klausa yang mempunyai awal atau akhir yang nyata, berkesinam-
bungan, mempunyai kohesi dan koherensi yang disampaikan secara lisan dan
tertulis (Tarigan, 1987: 27). Dalam situasi komunikasi, apa pun bentuk
wacananya, diasumsikan adanya penyapa (addressor) dan pesapa (addressee).
Dalam wacana lisan, penyapa adalah pembicara, sedangkan pesapa adalah
pendengar. Dalam wacana tulis, penyapa adalah penulis, sedangkan pembaca
adalah pesapa. Dalam sebuah wacana, harus ada unsur pesapa dan penyapa. Tanpa
adanya kedua unsur itu, tidak akan terbentuk suatu wacana. (Abdul Rani, 2006: 4)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 1265) wacana adalah 1)
Komunikasi verbal, 2) Keseluruhan tutur yang merupakan suatu kesatuan, dan 3)
Satuan bahasa terlengkap yang direalisasikan dalam bentuk karangan atau laporan
utuh, seperti novel, buku, artikel, pidato, khotbah.
Wacana adalah satuan bahasa terlengkap yang dinyatakan secara lisan
(seperti pidato, ceramah, kuliah, khotbah, dan dialog) atau tertulis (cerpen,
cerbung, novel, buku, surat, dan dokumen tertulis lainnya) yang dilihat dari
struktur lahir (bentuk) bersifat kohesif (saling terkait) dan dari segi struktur batin
(makna) bersifat koheren (terpadu). (Sumarlam, 2013: 30).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa wacana merupakan salah satu cabang ilmu
bahasa yang meneliti tentang bahasa, baik disampaikan secara lisan maupun
tertulis yang memiliki unsur kohesi dan koherensi.
12
2. Jenis-jenis Wacana
Pengklasifikasian wacana dapat didasarkan menurut beberapa segi
pandangan, yaitu wacana dapat dilihat dari bahasa pengungkapannya, media yang
digunakan, jenis pemakaiannya, cara, dan tujuan pemaparannya.
1. Berdasarkan bahasa yang dipakai untuk mengungkapkannya, wacana dibagi
menjadi:
a. Wacana bahasa Nasional (Indonesia), yaitu wacana yang diungkapkan
dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai sarananya.
b. Wacana bahasa lokal atau daerah (bahasa Jawa, Bali, Sunda, Madura,
dan sebagainya), yaitu wacana yang diungkapkan dengan menggunakan
sarana bahasa lokal atau daerah.
c. Wacana bahasa Internasional (bahasa Inggris), yaitu wacana yang
diungkapkan dengan menggunakan bahasa Inggris.
d. Wacana yang diungkapkan dengan bahasa lain, seperti bahasa Belanda,
Jerman, Italia, dan sebagainya.
2. Berdasarkan media yang digunakannya maka wacana dapat dibagi atas:
a. Wacana tulis, yaitu wacana yang disampaikan dengan bahasa tulis atau
melalui media tulis. Untuk dapat menerima atau memahami wacana
tulis maka sang penerima atau pesapa harus membacanya. Di dalam
wacana tulis terjadi komunikasi secara tidak langsung antara penulis
dengan pembaca. Wacana tulis ini dalam referensi bahasa Inggris
disebut oleh sebagian ahli dengan written discourse dan sebagiannya
lagi dengan written text.
13
b. Wacana lisan, yaitu wacana yang disampaikan dengan bahasa lisan atau
media lisan. Untuk dapat menerima dan memahami wacana lisan maka
sang penerima atau pesapa harus menyimak dan mendengarkannya.
3. Berdasarkan sifat atau jenis pemakaiannya, wacana dapat dibagi atas:
a. Wacana monolog (monologue discourse), yaitu wacana yang
disampaikan oleh seorang diri tanpa melibatkan orang lain untuk ikut
berpartisipasi secara langsung. Wacana monolog ini bersifat searah dan
termasuk komunikasi tidak interaktif. Contoh dari wacana monolog ini
adalah orasi ilmiah, khotbah, penyampaian visi misi, dan sebagainya.
b. Wacana dialog (dialogue discourse), yaitu wacana atau percakapan
yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara langsung. Wacana
dialog ini bersifat dua arah dan masing-masing partisipan secara aktif
ikut berperan di dalam komunikasi. Contoh dari wacana dialog adalah
seminar, musyawarah, diskusi, dan sebagainya.
4. Berdasarkan bentuknya, wacana dapat diklasifikasikan menjadi tiga bentuk,
yaitu:
a. Wacana prosa, yaitu wacana yang disampaikan dalam bentuk prosa
(Jawa: gancaran). Wacana berbentuk prosa ini dapat berupa wacana
tulis maupun lisan. Contoh dari wacana prosa tulis berupa cerita pendek
(cerpen), cerita sambung (cerbung), novel, artikel, dan undang-undang.
Lalu untuk wacana prosa lisan berupa pidato, khotbah, dan kuliah.
b. Wacana puisi, yaitu wacana yang disampaikan dalam bentuk puisi
(Jawa: geguritan). Wacana berbentuk puisi ini dapat berupa wacana
tulis dan lisan. Contoh dari wacana puisi tulis ini berupa puisi dan syair,
14
sedangkan untuk contoh wacana puisi lisan yaitu puitisasi atau puisi
yang dideklamasikan dan lagu-lagu.
c. Wacana drama, yaitu wacana yang disampaikan dalam bentuk drama,
dalam bentuk dialog, baik berupa wacana tulis maupun wacana lisan.
Bentuk wacana drama tulis terdapat pada naskah drama atau naskah
sandiwara, sedangkan bentuk wacana drama lisan terdapat pada
pemakaian bahasa dalam peristiwa pementasan drama, yakni percaka-
pan antarpelaku dalam drama tersebut.
5. Berdasarkan cara dan tujuan pemaparannya, wacana dapat diklasifikasikan
menjadi lima macam:
a. Wacana narasi atau wacana penuturan, yaitu wacana yang mementing-
kan urutan waktu, dituturkan oleh persona pertama atau ketiga dalam
waktu tertentu. Wacana narasi ini berorientasi pada pelaku dan seluruh
bagiannya diikat secara kronologis.
b. Wacana deskripsi, yaitu wacana yang bertujuan melukiskan, menggam-
barkan, atau memberikan sesuatu menurut apa adanya.
c. Wacana eksposisi, yaitu wacana yang tidak mementingkan waktu dan
pelaku. Wacana ini berorientasi pada pokok pembicaraan dan bagian-
bagiannya secara logis.
d. Wacana argumentasi, yaitu wacana yang berisi ide atau gagasan yang
dilengkapi dengan data-data sebagai bukti dan bertujuan meyakinkan
pembaca akan kebenaran ide atau gagasannya.
e. Wacana persuasi, yaitu wacana yang isinya bersifat ajakan atau nasihat,
biasanya ringkas dan menarik, serta bertujuan untuk memengaruhi
15
secara kuat pada pembaca atau pendengar untuk melakukan nasihat atau
ajakan tersebut (Sumarlam, 2013: 36).
Dari beberapa jenis wacana di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
wacana Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana termasuk: (1)
wacana bahasa lokal atau daerah yang diungkapkan dengan bahasa Jawa, antara
kalimat yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan, (2) wacana tulis yaitu
wacana yang disampaikan dengan bahasa tulis atau melalui media tulis yang
berupa buku antologi, (3) wacana monolog, (4) wacana prosa yaitu yang
berbentuk prosa tulis berupa antologi cerkak, (5) wacana narasi yang berorientasi
pada pelaku dan seluruh bagiannya diikat secara kronologis.
3. Sarana Keutuhan Wacana
Bahasa memiliki tubuh yang tersusun atas bentuk (form) dan makna
(meaning), keduanya berhubungan sangat erat dan saling berkaitan. Sebagaimana
di dalam wacana yang dibagi atas hubungan bentuk yang disebut kohesi dan
hubungan makna yang disebut koherensi. Wacana bukan merupakan kumpulan
kalimat yang masing-masing berdiri sendiri atau terlepas. Kalimat-kalimat dalam
wacana merupakan gabungan antara pertautan bentuk (kohesi) dan perpaduan
makna (koherensi), sehingga kalimat satu dengan yang lainnya dalam wacana
saling berhubungan membentuk kepaduan informasi atau gagasan. Dengan begitu,
pembaca atau pendengar akan mudah mengetahui jalan pikiran penulis tanpa
merasa bahwa ada semacam jarak yang memisahkan antara kalimat yang satu
dengan kalimat yang lainnya.
Penelitian ini akan memaparkan sarana keutuhan wacana yang meliputi
kohesi, kohesi gramatikal yang terdiri dari (1) Pengacuan (referensi), (2)
16
Penyulihan (substitusi), (3) Pelesapan (elipsis), dan (4) Perangkaian (konjungsi).
Kohesi leksikal yang terdiri atas (1) Pengulangan (repetisi), (2) Padan kata
(sinonimi), (3) Oposisi makna (antonimi), (4) Sanding kata (kolokasi), (5)
Hubungan atas-bawah (hiponimi), dan (6) Kesepadanan (ekuivalensi). Koherensi
yang terdiri atas (1) Penanda koherensi berupa penekanan, (2) Penanda koherensi
berupa simpulan atau hasil, dan (3) Penanda koherensi berupa contoh.
a. Kohesi
Anton M. Moeliono (1988: 34) menyatakan bahwa wacana yang baik dan
utuh mensyaratkan kalimat-kalimat yang kohesif. Kohesi dalam wacana diartikan
sebagai kepaduan bentuk yang secara struktural membentuk ikatan sintaktikal
(Mulyana, 2005: 26). Kohesi merupakan organisasi sintaktik, merupakan wadah
kalimat-kalimat disusun secara padu dan padat untuk menghasilkan tuturan
(Tarigan, 1987: 96). Gutwinsky dalam Tarigan (1987: 96) dalam buku Cohesion
in Literary Texts (1976: 26) menyebutkan bahwa kohesi adalah hubungan antar-
kalimat di dalam sebuah wacana, baik dalam strata gramatikal maupun strata
leksikal tertentu.
Jadi, kohesi adalah kepaduan atau keterikatan yang menghubungkan
antarunsur dalam tataran sintaksis pada tuturan sebuah wacana, baik secara
gramatikal maupun secara leksikal. Kohesi gramatikal berupa referensi, substitusi,
elipsis, dan konjungsi. Kohesi leksikal berupa repetisi, sinonimi, antonimi,
kolokasi, hiponimi, serta ekuivalensi.
1) Kohesi Gramatikal
Kohesi gramatikal adalah keterkaitan gramatikal antara bagian-bagian
wacana (Baryadi, 2001: 10). Menurut Sumadi, kohesi gramatikal adalah perpautan
17
bentuk antara kalimat-kalimat yang diwujudkan dalam sistem gramatikal (2004:
62). Dalam analisis wacana, segi bentuk atau struktur lahir wacana disebut aspek
gramatikal wacana (Sumarlam, 2013: 40).
Secara lebih rinci, aspek gramatikal wacana meliputi: (1) pengacuan
(reference), (2) penyulihan (substitution), (3) pelesapan (ellipsis), (4) perangkaian
(conjunction) (Halliday dan Hasan, 1976:6; Sumarlam, 1996:66; Baryadi, 2001:
10). Berikut penjelasan keempat aspek gramatikal tersebut dan disertai dengan
contoh-contoh dalam analisis wacana.
1.1 Pengacuan (Referensi)
Menurut Kridalaksana (2008: 208) referensi ialah hubungan antar referen
(unsur luar bahasa yang ditunjuk oleh unsur bahasa) dengan lambang yang
dipakai untuk mewakilinya. Pengacuan atau referensi adalah salah satu jenis
kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan
lingual lain (atau suatu acuan) yang mendahului atau mengikutinya. Berdasarkan
tempatnya, apakah acuan itu berada di dalam teks atau di luar teks maka
pengacuan dibedakan menjadi dua jenis: (1) pengacuan endofora apabila
acuannya (satuan lingual yang diacu) berada atau terdapat di dalam teks wacana
itu, dan (2) pengacuan eksofora apabila acuannya berada atau terdapat di luar teks
wacana (Sumarlam, 2013: 41).
Jenis kohesi yang pertama, pengacuan endofora berdasarkan arah pengacu-
annya dibedakan menjadi dua jenis lagi, yaitu pengacuan anaforis (anaphoric
reference) dan pengacuan kataforis (cataphoric reference). Pengacuan anaforis
adalah salah satu kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang
mengacu pada satuan lingual lain yang mendahuluinya, atau mengacu anteseden
18
di sebelah kiri, atau mengacu pada unsur yang telah disebut terdahulu. Sementara
itu, pengacuan kataforis merupakan salah satu kohesi gramatikal yang berupa
satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain yang mengikutinya,
atau mengacu anteseden di sebelah kanan, atau mengacu pada unsur yang baru
disebutkan kemudian. Satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual
lain itu dapat berupa persona (kata ganti orang), demonstratif (kata ganti
penunjuk), dan komparatif (satuan lingual yang berfungsi membandingkan antara
unsur yang satu dengan unsur lainnya). Dengan demikian, jenis kohesi gramatikal
pengacuan tersebut diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu (1) pengacuan
persona, (2) pengacuan demonstratif, dan (3) pengacuan komparatif. Ketiga
macam pengacuan itu beserta contoh-contohnya dapat diperhatikan pada uraian
berikut (Sumarlam, 2013: 41).
1.1.1 Pengacuan Persona
Pengacuan persona direalisasikan melalui pronomina persona (kata ganti
orang), yang meliputi persona pertama (persona I), kedua (persona II), dan ketiga
(persona III), baik tunggal maupun jamak. Pronomina persona I tunggal, II
tunggal, III tunggal ada yang berupa bentuk bebas (morfem bebas) dan ada pula
yang terikat (morfem terikat). Selanjutnya yang berupa bentuk terikat ada yang
melekat di sebelah kiri (lekat kiri) dan ada yang melekat di sebelah kanan (lekat
kanan) (Sumarlam, 2013: 41-42). Dengan demikian, satuan lingual kula, kowe,
dan dheweke, misalnya, masing-masing merupakan pronomina persona I, II, dan
III tunggal bentuk bebas. Adapun bentuk terikatnya adalah dak- (misalnya pada
daktulis), tak- (pada taktulis), masing-masing adalah bentuk terikat lekat kiri; atau
–ku (misalnya pada omahku), -mu (pada omahmu) yang masing-masing
19
merupakan bentuk terikat lekat kanan, klasifikasi pronomina persona secara lebih
rinci dapat dilihat pada tabel 1 seperti berikut.
Tabel 1. Klasifikasi pengacuan persona bahasa Jawa.
Contoh data pengacuan persona I tunggal bentuk terikat lekat kanan adalah
sebagai berikut:
(287) “Putri, nanging aku kulina diceluk Puput Mas.” jawabe karo mesem.
(SBIMK/H191/P11).
‘Putri, tetapi aku biasa dipanggil Puput Mas. jawabnya sambil senyum.’
Pada data (287) terdapat pronomina persona III tunggal bentuk terikat
lekat kanan yaitu –e ‘nya’ pada kata jawabe ‘jawabnya’. Pengacuan ini termasuk
Persona
I
Tg:
Aku, kula, kawula, dalem, ingsun
Terikat lekat kiri: dak-/tak-
Terikat lekat kanan: -ku
Jm:
Aku kabeh, kula sedaya, kita,
Kita sedaya, awake dhewe
II
Tg:
Kowe, sampeyan, panjenengan, sliramu
Terikat lekat kiri: ko-
Terikat lekat kanan: -mu
Jm: Kowe kabeh, panjenengan sedaya
III
Tg:
Dheweke, piyambakipun
Terikat lekat kiri: di-, dipun-
Terikat lekat kanan: -e, -ne
-ipun, -nipun
Jm: Dheweke kabeh, panjenengan sedaya
20
dalam pengacuan endofora anaforis karena acuannya berada di dalam teks yaitu
tokoh bernama Puput yang telah disebutkan sebelum kata jawabe.
1.1.2 Pengacuan Demonstratif
Pengacuan demonstratif (kata ganti penunjuk) dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu pronomina demonstratif waktu (temporal) dan pronomina demonstratif
tempat (lokasional). Pronomina demonstratif waktu ada yang mengacu pada
waktu kini (seperti kini dan sekarang), lampau (seperti kemarin dan dulu), akan
datang (seperti pagi dan siang). Sementara itu, pronomina demonstratif tempat
ada yang mengacu pada tempat atau lokasi yang dekat dengan pembicara (sini,
ini), agak jauh dengan pembicara (situ, itu), jauh dengan pembicara (sana), dan
menunjuk tempat secara eksplisit (Surakarta, Yogyakarta) (Sumarlam, 2013: 44).
Klasifikasi pronomina demonstratif tersebut dapat diilustrasikan dalam bentuk
tabel 2 seperti berikut.
Tabel 2. Klasifikasi pengacuan pronomina demonstratif bahasa Jawa.
Demonstratif
(Penunjukkan)
Waktu
Kini: saiki, sapunika, samenika
Lampau: wingi, biyen, kepungkur
y.a.d: sesuk, ...ngarep, dalu
Netral: enjing, siyang, sonten
Tempat
Dekat dengan penutur: kene, iki
Agak jauh dengan penutur: kono, iku, kuwi
Jauh dengan penutur: kana, kae
Menunjuk secara eksplisit: Sala, Yogya
Contoh data pengacuan pronomina demonstratif awan adalah sebagai
berikut.
21
(301) Awan iki aku dolan ana studio. (SBIMK/H200/P69).
‘Siang ini aku main di studio.’
Pada data (301) terdapat pronomina demonstratif awan ‘siang’ yang
mengacu pada waktu yang netral. Data di atas termasuk ke dalam jenis pengacuan
eksofora karena pronomina demonstratif waktu awan acuannya tidak terdapat di
dalam teks.
1.1.3 Pengacuan Komparatif (Perbandingan)
Pengacuan komparatif (perbandingan) ialah salah satu jenis kohesi
gramatikal yang bersifat membandingkan dua hal atau lebih yang mempunyai
kemiripan atau kesamaan dari segi bentuk/wujud, sikap, sifat, watak, perilaku, dan
sebagainya. Kata-kata yang biasa digunakan untuk membandingkan misalnya
seperti, bagai, bagaikan, laksana, sama dengan, tidak berbeda dengan, persis
seperti, dan persis sama dengan (Sumarlam, 2013: 46). Berikut adalah contoh
pengacuan komparatif.
(322) Mripate sing kaya dimar kentekan lenga nyawang aku.
(IAKA/H179/P2).
‘Matanya yang seperti pelita kehabisan minyak memandangku.’
Pada data (322) terdapat pengacuan komparatif kaya yang mengacu pada
perbandingan persamaan antara mata dengan pelita kehabisan minyak.
1.2 Penyulihan (Substitusi)
Substitusi adalah proses atau hasil penggantian unsur bahasa oleh unsur
lain dalam satuan yang lebih besar untuk memperoleh unsur-unsur pembeda atau
untuk menjelaskan suatu struktur tertentu (Kridalaksana, 2008: 229). Dilihat dari
segi satuan lingualnya, substitusi dapat dibedakan menjadi substitusi nominal,
verbal, frasal, dan klausal (Sumarlam, 2013: 47). Berikut contoh data substitusi
frasal.
22
(329) “Al... ora nggawa apa-apa?” pitakone Rita ngetutake jumangkahe Aldo.
[...] (IAKA/H185/P59).
[...] loro-lorone njur meneng maneh. (IAKA/H185/P61).
‘Al... tidak membawa apa-apa? Tanya Rita sambil mengikuti langkahnya
Aldo.
[...] dua-duanya lalu diam lagi.’
Pada data (329) di atas terdapat substitusi frasal. Pada data tersebut kata
Rita dan Aldo digantikan atau disubstitusikan dengan frasa loro-lorone ‘dua-
duanya’.
1.3 Pelesapan (Elipsis)
Elipsis adalah peniadaan kata atau satuan lain yang ujud asalnya dapat
diramalkan dari konteks bahasa atau konteks luar bahasa (Kridalaksana, 2008:
57). Menurut Sumarlam (2013: 50) adapun fungsi pelesapan dalam wacana antara
lain ialah untuk (1) menghasilkan kalimat yang efektif (untuk efektivitas kalimat),
(2) efisiensi, yaitu untuk mencapai nilai ekonomis dalam pemakaian bahasa, (3)
mencapai aspek kepaduan wacana, (4) bagi pembaca, pendengar berfungsi untuk
mengaktifkan pikirannya terhadap hal-hal yang tidak diungkapkan dalam satuan
bahasa, dan (5) untuk kepraktisan berbahasa terutama dalam komunikasi secara
lisan. Contoh pelesapan (elipsis) dapat dilihat pada data berikut.
(339) Bocah kuwi ireng manis, umur-umurane meh padha karo adhiku sing
nomer enem. Ya kira-kira Ø umur telulasan taun. Ø Awake katon ringkih
banget, kuru. Ø Rambute lurus ditata apik, Ø lambene tipis, Ø irunge
mancung, Ø njur alise kandel, wis ta, pokoke bocah kuwi pancen
nyenengake. Yen kuwi adhiku... (SBIMK/H190/P5).
‘Anak itu hitam manis, umur-umurnya hampir sama dengan adikku yang
nomor enam. Ya kira-kira Ø umur tiga belas tahun. Ø Badannya terlihat
cungkring sekali, kurus. Ø Rambutnya lurus ditata rapi, Ø bibirnya tipis,
Ø hidungnya mancung, Ø alisnya juga tebal, sudahlah, pokoknya anak
itu memang menyenangkan. Andai saja dia adikku...’
Pada data (339) di atas, terdapat satuan lingual yang dilesapkan yaitu
berupa kata bocah kuwi ‘anak itu’ yang berfungsi sebagai subjek dalam kalimat
23
tersebut. Subjek yang sama tersebut dilesapkan sebanyak enam kali demi
efektivitas dan kepraktisan bahasa. Jika data di atas tidak diuji dengan teknik lesap
akan menghasilkan kalimat tidak efektif.
1.4 Perangkaian (Konjungsi)
Konjungsi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang dilakukan
dengan cara menghubungkan unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam
wacana. Unsur yang dirangkaikan dapat berupa satuan lingual kata, frasa, klausa,
kalimat, dan dapat juga berupa unsur yang lebih besar dari itu, misalnya alinea
dengan pemarkah lanjutan dan topik pembicaraan dengan pemarkah alih topik
atau pemarkah disjungtif (Sumarlam, 2013: 52).
Dilihat dari segi maknanya pun, perangkaian unsur dalam wacana
mempunyai bermacam-macam makna. Makna perangkaian beserta konjungsi
yang dapat dikemukakan di sini antara lain sebagai berikut.
(1) Sebab-akibat (kausalitas): sebab ‘sebab’, amarga ‘karena’, mulane
‘makanya’
(2) Pertentangan: nanging ‘tetapi’
(3) Kelebihan (eksesif): malah ‘malah’
(4) Perkecualian (eksetif): kajaba ‘kecuali’
(5) Konsesif: senajan ‘meskipun’, najan ’meski’
(6) Tujuan: amrih ‘supaya’, supados/supaya ‘supaya’
(7) Penambahan (aditif): lan ‘dan’, ugi/uga ‘juga’, sarta ‘serta’
(8) Pilihan (alternatif): utawa ‘atau’, apa ‘apa’, punapa ‘apa-apa’
(9) Harapan (optatif): muga-muga ‘semoga’, mugi-mugi ‘semoga’
(10) Urutan (sekuensial): banjur ‘kemudian’, terus ‘terus’, lajeng ‘lalu’
24
(11) Perlawanan: suwalike ‘sebaliknya’
(12) Waktu (temporal): sawise ‘setelah’, sabubare ‘sesudahnya’, sabanjure
‘setelahnya’, sadurunge ‘sebelumnya’
(13) Syarat: yen ‘jika’, menawa ‘misalkan’
(14) Cara: kanthi (cara) mangkono ‘dengan (cara) begitu’
(15) Makna lainnya: (yang ditemukan dalam tuturan)
Berikut contoh data konjungsi berupa penambahan (aditif).
(336) Dewi njur nimpal reseg lan nutugake olehe resik-resik omah karo kanca
kost sing cacahe papat kuwi. (PSAD/H129-130/P13).
‘Dewi lalu mengumpulkan kotoran dan menyelesaikan bersih-bersih
rumah dengan teman kost yang berjumlah empat itu.’
Pada data (336) di atas terdapat konjungsi aditif kata lan ‘dan’ yang
berfungsi menghubungkan antara klausa pertama dengan klausa kedua.
2) Kohesi Leksikal
Kohesi leksikal atau perpaduan leksikal adalah hubungan leksikal
antara bagian-bagian wacana untuk mendapatkan keserasian struktur secara
kohesif. Tujuan digunakannya aspek-aspek leksikal diantaranya ialah untuk
mendapatkan efek intensitas makna bahasa kejelasan informasi, dan keindahan
bahasa lainnya (Mulyana, 2005: 29). Kohesi leksikal diperoleh dengan cara
memilih kosa kata yang serasi (Tarigan, 1987: 102). Dalam hal ini, untuk
menghasilkan wacana yang padu, pembicara atau penulis dapat menempuhnya
dengan cara memilih kata-kata yang sesuai dengan isi kewacanaan yang
dimaksud. Hubungan kohesif yang diciptakan atas dasar aspek leksikal, dengan
pilihan kata yang serasi, menyatakan hubungan makna atau relasi dengan satuan
lingual yang lain dalam wacana.
25
Menurut Sumarlam (2013: 55) Kohesi leksikal dalam wacana dapat
dibedakan menjadi enam macam, yaitu (1) repetisi (pengulangan), (2) sinonimi
(padan kata), (3) kolokasi (sanding kata), (4) hiponimi (hubungan atas-bawah), (5)
antonimi (lawan kata), dan (6) ekuivalensi (kesepadanan).
a. Repetisi (pengulangan)
Repetisi adalah pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata, atau
bagian kalimat) yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah
konteks yang sesuai. Berdasarkan tempat satuan lingual yang diulang dalam baris,
klausa, atau kalimat, repetisi dapat dibedakan menjadi sembilan macam, yaitu.
1. Repetisi epizeuksis adalah pengulangan satuan lingual (kata) yang
dipentingkan beberapa kali secara berturut-turut.
2. Repetisi tautotes adalah pengulangan satuan lingual (sebuah kata) beberapa
kali dalam sebuah konstruksi.
3. Repetisi anafora adalah pengulangan satuan lingual berupa kata atau frasa
pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya.
4. Repetisi epistrofa adalah pengulangan satuan lingual kata/frasa pada akhir
barus (dalam puisi) atau akhir kalimat (dalam prosa) secara berturut-turut.
5. Repetisi simploke adalah pengulangan satuan lingual pada awal dan akhir
beberapa baris/kalimat berturut-turut.
6. Repetisi mesodiplosis adalah pengulangan satuan lingual di tengah-tengah
baris atau kalimat secara berturut-turut.
7. Repetisi epanalepsis adalah pengulangan satuan lingual yang berupa
kata/frasa terakhir dari baris/kalimat itu merupakan pengulangan kata/frasa
pertama.
26
8. Repetisi anadiplosis adalah pengulangan kata/frasa terakhir dari baris/kalimat
itu menjadi kata/frasa pertama pada baris/kalimat berikutnya.
9. Repetisi utuh/penuh adalah pengulangan satuan lingual secara utuh atau
secara penuh. Satuan lingual yang diulang bisa berupa satu baris, satu kalimat
secara utuh, atau bahkan satu bait atau beberapa kalimat secara utuh
(Sumarlam, 2013: 60).
Berikut merupakan contoh data repetisi anadiplosis.
(438)“Mas! Aku ora seneng yen awakmu arep dadi pengkhianat bab
katresnan. Katresnan kuwi larang mas regane...” (SBIMK/H199/P62).
‘Mas! Aku tidak suka jika dirimu akan menjadi pengkhianat bab
percintaan. Percintaan itu mahal mas harganya.’
Pada data (438) di atas terdapat repetisi anadiplosis yaitu pengulangan
pada kata katresnan ‘percintaan’ pada akhir kalimat pertama lalu diulang lagi
pada awal kalimat berikutnya. Pengulangan ini berfungsi untuk memperjelas
bahwa kata tersebut sangat penting dalam wacana tersebut.
b. Sinonimi (Padan Kata)
Menurut Sumarlam (2013: 61) Sinonimi dapat diartikan sebagai nama
lain untuk benda atau hal yang sama atau ungkapan yang maknanya kurang lebih
sama dengan ungkapan lain. Sinonimi merupakan salah satu aspek leksikal untuk
mendukung kepaduan wacana. Sinonimi berfungsi menjalin hubungan makna
yang sepadan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual lain dalam
wacana.
Berdasarkan wujud satuan lingualnya, sinonimi dapat dibedakan menjadi
lima macam, yaitu (1) sinonimi antara morfem (bebas) dengan morfem (terikat),
(2) kata dengan kata, (3) frasa dengan frasa, dan (5) klausa/kalimat dengan
klausa/kalimat.
27
Berikut merupakan contoh data sinonimi kata dengan kata.
(447) Aku ora arep nduweni kepinginan ngianati cinta utawa katresnan
marang Retno saiba Retno uga gelem nampa Puput dadi adhine.
(SBIMK/H197/P51).
‘Aku tidak mau memiliki keinginan mengkhianati cinta atau percintaan
kepada Retno saiba Retno juga mau menerima Puput menjadi adiknya.’
Pada data (447) di atas terdapat sinonimi jenis kata dengan kata. Kata
cinta ‘cinta’ bersinonim dengan kata katresnan ‘percintaan’. Kata cinta ‘cinta’
memiliki arti yang sama dengan kata katresnan ‘percintaan’.
c. Antonimi (Oposisi Makna)
Antonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang
lain atau satuan lingual yang maknanya berlawanan/beroposisi dengan satuan
lingual yang lain. Antonimi disebut juga oposisi makna. Pengertian oposisi makna
mencakup konsep yang betul-betul berlawanan sampai kepada yang hanya kontras
makna saja.
Berdasarkan sifatnya, oposisi makna dapat dibedakan menjadi lima
macam yaitu (1) oposisi mutlak, (2) oposisi kutub, (3) oposisi hubungan, (4)
oposisi hirarkial, dan (5) oposisi majemuk. Oposisi makna atau antonimi juga
merupakan salah satu aspek leksikal yang mampu mendukung kepaduan makna
wacana secara semantis (Sumarlam, 2013: 63).
Berikut merupakan contoh data antonimi yang berupa oposisi mutlak.
(452) Sopir phanter sing lagi medhun saka mobil njur pamer untu, mesem
grapyak. [...] (PSAD/H128/P3).
[...] sopir mau enggal munggah mobil maneh, nanging Dewi enggal
sepata... (PSAD/H128/P4).
‘Sopir phanter itu baru turun dari mobil lalu unjuk gigi, tersenyum
bersahabat. [...]
[...] sopir itu baru naik mobil lagi, tetapi Dewi segera supaya...’
28
Pada data (452) di atas terdapat antonimi yang berupa oposisi mutlak yaitu
kata medhun ‘turun’ dan munggah ‘naik’. Kedua kata tersebut memiliki arti yang
berlawanan secara mutlak.
d. Kolokasi (Sanding Kata)
Sumarlam (2013: 67) menyebutkan bahwa kolokasi atau sanding kata
adalah asosiasi tertentu dalam menggunakan pilihan kata yang cenderung
digunakan secara berdampingan. Kata-kata yang berkolokasi adalah kata-kata
yang cenderung dipakai dalam suatu domain atau jaringan tertentu, misalnya
dalam jaringan pendidikan akan digunakan kata-kata yang berkaitan dengan
masalah pendidikan dan orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Berikut merupakan contoh data kolokasi.
(465) Tibake jagongan karo Puput rasane ngluwih-ngluwihi yen mangan rujak
petis kae nikmate. Bocah pancen nyenengake. Sifate sing blak-blakan
nambah kagumku marang dheweke. Ngomonge lincah tur sajak wis
rumangsa kenal suwe karo aku. Omongane ora nganggo tedheng aling-
aling. Mula saka kuwi aku kaget yen kenal wae dheweke wis gelem
nyritakake kahanane sing jebule ngundang rasa welas ana ati.
(SBIMK/H192/P23).
‘Ternyata berbincang dengan Puput rasanya melebihi makan rujak petis
nikmatnya. Anak yang memang menyenangkan. Sifatnya yang terbuka
menambah kagumku terhadap dirinya. Bicaranya lincah dan seperti
sudah merasa kenal lama dengan aku. Omongannya tidak ada yang
ditutup-tutupi. Maka dari itu aku kaget jika kenal dengan dirinya sudah
mau menceritakan keadaannya yang ternyata mengundang rasa kasihan
di hati.’
Pada data (465) di atas terdapat pemakaian kata jagong ‘bincang’ pada
satuan lingual jagongan ‘berbincang’, omong ‘bicara’ pada satuan lingual
ngomonge ‘bicaranya’, omong ‘bicara’ pada satuan lingual omongane
‘omongannya’, dan crita ‘cerita’ pada satuan lingual nyritakake ‘menceritakan’
yang saling berkolokasi dan mendukung kepaduan wacana dalam paragraf
tersebut. Istilah-istilah tersebut berkaitan dalam hal perbincangan.
29
e. Hiponimi (Hubungan Atas-Bawah)
Hiponimi dapat diartikan sebagai satuan bahasa (kata, frasa, kalimat)
yang maknanya dianggap merupakan bagian dari satuan lingual yang lain. Unsur
atau satuan lingual yang mencakupi beberapa unsur atau satuan lingual yang
berhiponim itu disebut hipernim atau superordinat.
Berikut merupakan contoh data hiponimi.
(467) Iki lho sing diarani pesawat tempur Sky Hawk. Iku sing diarani F-16...”
mengkono unine Mas Tri akeh.
‘Ini lho yang dinamakan pesawat tempur Sky Hawk. Itu yang dinamai
F-16... begitulah kata Mas Tri panjang lebar.’
Pada data (467) di atas terdapat hiponimi yaitu pesawat tempur ‘pesawat
tempur’ yang merupakan superordinat atau hipernimnya, sedangkan hiponimnya
adalah Sky Hawk dan F-16. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan
berikut.
Bagan 1: Hiponimi kata pesawat tempur.
f. Ekuivalensi (Kesepadanan)
Ekuivalensi adalah hubungan kesepadanan antara satuan lingual tertentu
dengan satuan lingual yang lain dalam sebuah paradigma. Dalam hal ini, sejumlah
kata hasil proses afiksasi dari morfem asal yang sama menunjukkan adanya
hubungan kesepadanan.
pesawat tempur
Sky Hawk F-16
30
Demikian telah peneliti uraikan mengenai macam-macam penanda
kohesi dalam wacana yang akan peneliti gunakan sebagai landasan untuk
menganalisis data dalam penelitian ini.
Berikut merupakan contoh data ekuivalensi.
(470) Kok ngguya-ngguyu ta, sajake ana sambungane kepriye? Aku mengko
sing nyambungake. (MK/H61/P18).
‘Kok tertawa sih, sepertinya ada hubungannya gimana? Aku nanti yang
menghubungkan.’
Pada data (470) di atas terdapat ekuivalensi yang ditunjukkan pada kata
sambungane ‘hubungannya’ dan nyambungake ‘menghubungkan’. Kedua kata
tersebut berasal dari morfem dasar yang sama yaitu sambung ‘hubung’. Kedua
kata itu mengalami proses afiksasi dan menunjukkan adanya hubungan
kesepadanan.
b. Koherensi
Istilah “koherensi” mengandung makna ‘pertalian’. Dalam konsep
kewacanaan, berarti pertalian makna atau isi kalimat (Tarigan, 1987: 32). Pada
dasarnya, hubungan koherensi adalah suatu rangkaian fakta dan gagasan yang
teratur dan tersusun secara logis. Koherensi dapat terjadi secara implisit
(terselubung) karena berkaitan dengan bidang makna yang memerlukan
interpretasi. Di samping itu, pemahaman tentang hubungan koherensi dapat
ditempuh dengan cara menyimpulkan hubungan antarproposisi dalam tubuh
wacana itu (Mulyana, 2005: 31).
Koherensi wacana sebenarnya mereferensi pada fungsi kepragmatisan
bahasa sebagai sarana komunikasi, artinya suatu wacana yang dipergunakan
dalam komunikasi, baik ragam lisan maupun tulis harus menitikberatkan
kepentingan pada segi semantis dan maknanya. Sarana koherensi wacana dapat
31
berupa referensi dan inferensi yang berfungsi memperjelas dan mempertalikan
makna kalimat dalam wacana.
Menurut Angelo yang dikutip Tarigan (1987: 105) ada 15 sarana yang
dapat digunakan untuk menentukan kekoherensian sebuah wacana. Sarana
koherensi tersebut adalah:
1. Sarana penghubung koherensi yang bersifat rentetan atau seri (sepisan,
kapindho, banjur, akhire).
2. Sarana penghubung bersifat aditif atau penambahan (lan, uga, maneh).
3. Sarana penghubung berupa pronomina (iki, aku, dheweke).
4. Sarana penghubung berupa repetisi/pengulangan kata.
5. Sarana penghubung berupa sinonim.
6. Sarana penghubung yang dimulai dari keseluruhan menuju ke bagian.
7. Sarana penghubung yang dimulai dari kelas ke anggota.
8. Sarana penghubung berupa penekanan (nyatane, wis mesthi).
9. Sarana penghubung berupa perbandingan (ora beda, kaya).
10. Sarana penghubung berupa pertentangan (nanging, suwalike).
11. Sarana penghubung berupa kesimpulan (dadi, ngono mau).
12. Sarana penghubung berupa contoh (umpamane, kayata).
13. Sarana penghubung berupa kesejajaran/paralelisme.
14. Sarana penghubung berupa lokasi (ana kana, ana kene).
15. Sarana penghubung berupa kala atau waktu (sawetara iku, wiwitane).
Dalam penelitian ini dipilih beberapa di antaranya yaitu koherensi
sebagai (1) sarana penghubung berupa penekanan, (2) sarana penghubung
berupa simpulan atau hasil, (3) sarana penghubung berupa contoh. Peneliti
32
hanya mengambil tiga koherensi dari lima belas macam koherensi karena
sebagian besar macam koherensi sudah terwakili oleh penanda kohesi, baik
kohesi gramatikal maupun leksikal.
Berikut merupakan contoh data koherensi yang berupa penekanan.
(476) Aku mesem, pancen seneng duwe kanca kaya Mbak Anti iki, ngreti atine
kancane sing lagi susah. (MK/H60/P12).
‘Aku tersenyum, memang senang punya teman seperti Mbak Anti ini,
mengerti hati temannya yang lagi susah.’
Pada data (476) di atas terdapat penanda koherensi yang berupa
penekanan yang ditunjukkan dengan kata pancen ‘memang’ yang berfungsi untuk
menyatakan penekanan maksud yang terdapat dalam wacana tersebut. Maksud
dari wacana tersebut adalah untuk menjelaskan kepada pembaca supaya mengerti
betapa senangnya tokoh aku dalam cerita tersebut kepada tokoh yang bernama
Mbak Anti yang mengerti bahwa hati tokoh utama sedang susah.
4. Pengertian Cerkak dan Antologi Cerkak
Istilah cerkak diambil dari bahasa Jawa yang merupakan kepanjangan
dari cerita cekak yang berarti cerita pendek. Suminto (2000: 9) mengatakan
bahwa cerpen merupakan karya prosa fiksi yang dapat selesai dibaca dalam sekali
duduk dan ceritanya cukup dapat membangkitkan efek tertentu dalam diri
pembaca. Di dalam cerpen tidak dituntut terjadinya perubahan nasib dari pelaku-
pelakunya. Hanya suatu lintasan dan secercah kehidupan manusia, yang terjadi
pada suatu kesatuan waktu. Cerkak adalah suatu karya sastra Jawa yang berbentuk
prosa. Cerkak yang akrab disebut dengan nama cerpen (dalam bahasa Indonesia)
memuat suatu cerita yang umumnya berbentuk sebuah narasi yang di dalamnya
memuat berbagai kisah kehidupan entah itu fiksi maupun nonfiksi. Dengan kata
33
lain pengarang cerkak dapat membuat cerita cerkak sesuai dengan hati dan
kehendak pengarang itu sendiri.
Tema yang diangkat dalam cerkak sangat beragam. Tema-tema tersebut
di antaranya politik, sosial, budaya, percintaan, religi, dan lain sebagainya.
Bahkan tidak jarang pengarang mengekspresikan perasaannya melalui cerkak
yang dibuatnya. Lebih penting dari itu, di dalam suatu cerkak memuat suatu
amanat yang dapat diambil sebagai ilmu kehidupan.
Pengertian mengenai kata “antologi” dimulai dari melihat bahasa
serapan. Kata “antologi” sudah menjadi kosakata bahasa Indonesia karena telah
diserap, merupakan kata serapan dari bahasa Inggris yaitu “anthology” yang
berarti kumpulan/bunga rampai. Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa
Indonesia atau KBBI (2007: 25) kata “antologi” mempunyai pengertian kumpulan
karya tulis pilihan dari seorang atau beberapa orang pengarang. Dengan demikian,
antologi cerkak merupakan kumpulan dari beberapa cerkak yang dibuat menjadi
sebuah buku.
G. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan cara, alat prosedur, dan teknik yang dipilih
dalam melaksanakan penelitian. Metode adalah cara untuk mengamati atau
menganalisis suatu fenomena, sedangkan metode penelitian mencakup kesatuan
dan serangkaian proses penentuan kerangka pikiran, perumusan masalah,
penentuan sampel data, teknik pengumpulan data, dan analisis data (Edi Subroto,
1992: 31).
34
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif artinya studi
kasusnya mengarah pada pendeskripsian secara rinci dan mendalam mengenai
potret kondisi dalam suatu konteks, tentang apa yang sebenarnya terjadi menurut
apa adanya di lapangan studinya (Sutopo, 2006: 137). Sedangkan penelitian
kualitatif artinya teknik penetuan sampelnya dengan cuplikan (nukilan) yang
lazim juga disebut purposive sampling. Teknik cuplikan berkaitan dengan
pemilihan dan pembatasan jumlah serta jenis dari sumber data yang akan
digunakan dalam penelitian. Pemikiran mengenai teknik cuplikan ini hampir tidak
bisa dihindari oleh peneliti dalam pelaksanaan penelitiannya, mengingat selalu
terdapat beragam keterbatasan yang dihadapi peneliti, misalnya mengenai waktu,
tenaga, biaya, dan mungkin juga hal-hal lainnya (Sutopo, 2006: 62). Sumber
datanya diarahkan pada sumber data yang memiliki data penting, produktif, sesuai
dengan permasalahan penelitian teori dan tujuan penelitian (Sutopo, 2002: 36).
Oleh karena itu, penelitian ini mendeskripsikan secara rinci dan mendalam
mengenai potret kondisi dalam suatu konteks, tentang apa yang sebenarnya terjadi
menurut apa adanya di lapangan studinya. Data yang terkumpul adalah bahasa
komunikasi yang berupa kata-kata dan atau kalimat yang dianggap penting sesuai
permasalahan yang akan diteliti, tujuan penelitian, dan teori yang digunakan.
2. Alat Penelitian
Alat penelitian meliputi alat utama dan alat bantu. Alat utama dalam
penelitian ini merupakan alat yang paling dominan dalam penelitian, sedangkan
alat bantu berguna untuk membantu jalannya penelitian. Alat utama merupakan
35
peneliti sendiri artinya kelenturan sikap peneliti mampu menggapai makna dari
berbagai interaksi (Sutopo, 2002: 35-36).
Alat bantu dalam penelitian ini berupa alat elektronik dan alat tulis-
menulis. Alat elektronik berupa laptop, flashdisk, dan printer. Alat tulis berupa
buku tulis, pensil, bolpoin, dan kertas HVS.
3. Data dan Sumber Data
Data adalah fenomena lingual khusus yang mengandung dan berkaitan
langsung dengan masalah yang dimaksud. Data yang demikian itu, substansinya
dipandang berkualifikasi sahih (valid) dan terandal (reliable) (Sudaryanto, 2015:
6). Data dalam penelitian ini berupa kata, frasa, klausa, dan kalimat pembentuk
wacana yang mengandung unsur kohesi dan koherensi yang terdapat dalam
sumber data.
Sumber data adalah asal data penelitan itu diperoleh. Data sebagai objek
penelitian secara umum adalah informasi atau bahasa yang disediakan oleh alam
yang dicari atau dikumpulkan dan dipilih oleh peneliti (Edi Subroto, 1992: 34).
Sumber data secara menyeluruh dapat dikelompokkan menjadi beberapa yaitu
narasumber (informan), peristiwa atau aktivitas, tempat atau lokasi, beragam
gambar, dan rekaman, serta dokumen atau arsip (Sutopo, 2002: 50-54). Sumber
data dalam penelitian ini adalah cerkak yang terdapat dalam buku Antologi Cerkak
“Puber Kedua” karya Ary Nurdiana.
4. Sampel
Sampel penelitian adalah data yang disahkan untuk dikaji, yang dijadikan
objek penelitian sesuai dengan teori dan rumusan masalah yang digunakan dan
tujuan penelitian. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Nasution
36
(1988: 29) sampling ialah pilihan peneliti aspek apa dari peristiwa apa dan siapa
dijadikan fokus pada saat dan situasi tertentu dan karena itu dilakukan terus
menerus sepanjang penelitian. Pengambilan sampel dalam penelitian ini
menggunakan teknik purposive sampling. Dalam penelitian kualitatif, teknik
cuplikannya cenderung bersifat purposive karena dipandang lebih mampu
menangkap kelengkapan dan kedalaman data di dalam menghadapi realitas yang
tidak tunggal. Pilihan sampel diarahkan pada sumber data yang dipandang
memiliki data yang penting yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang
diteliti (Sutopo, 2006: 45-46). Adapun sampel dalam penelitian ini adalah tuturan
yang berupa kata, frasa, klausa, atau kalimat pembentuk wacana dari data yang
mewakili informasi.
5. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini menggunakan metode simak yaitu dengan cara
menyimak penggunaan bahasa. Metode simak atau penyimakan adalah metode
pengumpulan data dengan menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 2015:
203). Penyimakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengamati semua
kata, frasa, klausa, dan kalimat berbahasa Jawa yang mengandung kohesi
gramatikal, kohesi leksikal, dan koherensi dalam wacana Antologi Cerkak “Puber
Kedua” karya Ary Nurdiana. Adapun teknik yang dipakai yaitu teknik catat
dilakukan dengan cara melakukan pencatatan terhadap data berupa tuturan yaitu
kata, frasa, klausa, atau kalimat dalam wacana Antologi Cerkak “Puber Kedua”
karya Ary Nurdiana ke dalam komputer. Agar lebih akurat dan lebih meyakinkan
ketika dilakukan pengecekan lewat penayangan di layar tayangan. Hasil dari
penyimakan dan pencatatan kemudian dianalisis.
37
6. Metode dan Teknik Analisis Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode agih dan
metode padan. Metode agih adalah suatu metode yang alat penentunya justru
bagian dari bahasa yang bersangkutan itu sendiri (Sudaryanto, 2015: 18). Teknik
dasar metode agih disebut teknik bagi unsur langsung atau teknik BUL. Dengan
demikian, karena cara yang digunakan pada awal kerja analisis ialah membagi
satuan lingual datanya menjadi beberapa bagian atau unsur; dan unsur-unsur yang
bersangkutan dipandang sebagai bagian yang langsung membentuk satuan lingual
yang dimaksud (Sudaryanto, 2015: 37). Teknik BUL ini dipakai untuk
menganalisis bentuk penanda kohesi gramatikal dan kohesi leksikal dalam wacana
Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana, kemudian dilanjutkan
dengan teknik lesap dan teknik ganti.
Teknik lesap dilaksanakan dengan melesapkan (melepaskan, menghilang-
kan, menghapuskan, mengurangi) unsur tertentu satuan lingual yang bersangkutan
(Sudaryanto, 2015: 43). Jika hasil dari pelesapan tidak gramatikal maka unsur
yang bersangkutan mempunyai kadar keintian yang tinggi sehingga tidak dapat
dihilangkan. Seperti halnya dengan teknik lesap, teknik ganti digunakan untuk
mengetahui kadar keintian yang diganti.
Adapun contoh kohesi gramatikal berupa pengacuan demonstratif adalah
sebagai berikut:
(309) Rong minggu sawise kedadeyan ana Maospati iku Dewi nampa layang
saka Trisanto, kang surasane nrenyuhake ati... (PSAD/H137/P66).
‘Dua minggu setelah kejadian di Maospati itu Dewi menerima surat
kabar dari Trisanto, yang serasa menyayat hati...’
38
Pada data (309) terdapat pengacuan demonstratif tempat agak jauh dengan
penutur iku ‘itu’ yang merujuk pada Maospati. Pengacuan tersebut merupakan
pengacuan endofora yang bersifat anaforis.
Kemudian data (309) di atas dibagi dengan teknik bagi unsur langsung
(BUL) menjadi berikut.
(309a) Rong minggu sawise kedadeyan ana Maospati iku
‘Dua minggu setelah kejadian di Maospati itu’
(309b) Dewi nampa layang saka Trisanto, kang surasane nrenyuhake ati...
‘Dewi menerima surat kabar dari Trisanto, yang serasa menyayat hati...’
Kemudian data (309a) diuji dengan teknik lesap akan menjadi berikut.
(309c) Rong minggu sawise kedadeyan ana Maospati Ø
‘Dua minggu setelah kejadian di Maospati Ø’
Hasil analisis data (309c) dengan teknik lesap, ternyata pronomina
demonstratif tempat agak jauh dengan penutur yaitu kata iku ‘itu’ apabila
dilesapkan, data tersebut masih gramatikal dan berterima karena informasi yang
diterima oleh pembaca masih lengkap dan jelas.
Data (309a) selanjutnya diuji dengan teknik ganti pada pronomina
demonstratif tempat agak jauh dengan penutur iku ‘itu’, menjadi sebagai berikut.
(309d) Rong minggu sawise kedadeyan ana Maospati iku
kae
‘Dua minggu setelah kejadian di Maospati itu
itu
Pada data (309d) penanda pengacuan demonstratif tempat agak jauh
dengan penutur iku ‘itu’ apabila diganti dengan kae ‘itu’ secara gramatikal dapat
berterima karena berada pada tingkat tutur yang sama, tetapi keduanya berbeda
terkait dengan arah dan jarak waktu antara keduanya, iku ‘itu’ menunjukkan pada
arah yang lebih dekat dibandingkan dengan kae ‘itu’.
39
Adapun contoh kohesi leksikal berupa antonimi adalah sebagai berikut.
(457) “Ya ra maido mas, awakmu lanang, aku rak bocah wadon.
(MK/H66/P52).
‘Ya tidak menyalahkan mas, kamu laki-laki, aku kan perempuan.’
Pada data (457) dilihat dari kekohesifan paragrafnya, tampak bahwa pada
kalimat-kalimatnya terdapat kohesi leksikal yang yaitu antonimi berupa oposisi
kutub. Satuan lingual yang menunjukkan antonimi itu dapat dilihat pada
pemakaian kata lanang ‘laki-laki’ dengan kata wadon ‘perempuan’. Kedua kata
tersebut memiliki makna yang berlawanan.
Kemudian data (457) di atas dibagi dengan teknik bagi unsur langsung
(BUL) menjadi berikut.
(457a) “Ya ra maido mas,
‘Ya tidak menyalahkan mas,’
(457b) awakmu lanang,
‘kamu laki-laki,’
(457c) aku rak bocah wadon.
‘aku kan perempuan.’
Kemudian data (457b) dan data (457c) diuji dengan teknik lesap akan
menjadi berikut.
(457d) awakmu Ø,
‘kamu Ø,’
(457e) aku rak bocah Ø,
‘aku kan Ø,’
Hasil analisis data (457d) dan data (457e) dengan teknik lesap, ternyata
wacana di atas menjadi tidak gramatikal dan tidak berterima. Hal ini dikarenakan
unsur penting dalam wacana ketika dilesapkan, menjadikan wacana tidak kohesif.
Oleh karena itu, satuan lingual lanang ‘laki-laki’ dan perempuan ‘perempuan’
memiliki kadar keintian yang sangat tinggi serta wajib hadir dalam wacana.
40
Metode padan dipakai untuk mengkaji sarana koherensi. Metode padan
adalah metode yang dipakai untuk mengkaji atau menentukan identitas satuan
lingual tertentu dengan memakai alat penentu yang berada di luar bahasa, terlepas
dari bahasa dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan (Edi Subroto,
1992: 55-56). Teknik yang digunakan adalah teknik pilah unsur penentu (PUP).
Alat penentunya adalah kenyataan atau segala sesuatu (bersifat luar bahasa) yang
ditunjukkan oleh bahasa. Metode padan berdasarkan alat penentunya dibagi
menjadi lima yaitu:
1) Metode padan referensial dengan alat penentunya kenyataan yang ditunjuk
bahasa atau referen bahasa,
2) Metode padan fonetis artikulatoris dengan alat penentunya organ bicara atau
organ pembentuk bahasa,
3) Metode padan translational dengan alat penentunya bahasa lain,
4) Metode padan ortografis dengan alat penentunya tulisan,
5) Metode padan pragmatis dengan alat penentunya mitra tutur.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode padan referensial untuk
mengetahui makna yang ditunjukkan oleh sarana koherensi.
Adapun contoh koherensi berupa simpulan/hasil adalah sebagai berikut.
(497) Apa meneh aku arang pisah karo wong tuwaku. Dadi ya rada kaget.
(MK/H66/P52).
‘Apa lagi aku jarang berpisah dengan orang tuaku. Jadi ya agak kaget.’
Pada data (497) menunjukkan penanda koherensi berupa simpulan/hasil
yaitu pada kata dadi ‘jadi’ yang berfungsi menerangkan bahwa kesimpulan dari
penggalan paragraf tersebut adalah karena jarang berpisah dengan orang tua, jadi
ya agak kaget.
41
7. Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Menurut Sudaryanto (2015: 8) tahap penyajian hasil analisis data adalah
upaya sang peneliti menampilkan dalam wujud “laporan” tertulis akan apa-apa
yang telah dihasilkan dari kinerja analisis, khususnya kaidah. Menurutnya, dalam
penyajian hasil analisis data tentu saja memprasyaratkan adanya kelayakan baca;
dan kelayakan baca yang dimaksud adalah demi pemanfaatan yang terikat pada
tujuan tertentu; antara lain: diketahinya dengan saksama makna setiap kaidah,
diketahuinya secara menyeluruh hubungan antar-kaidah, dan diketahuinya
kekhasan kaidah dalam bahasa tertentu jika kaidah yang bersangkutan
dibandingkan dengan kaidah bahasa yang lain, dan sebagainya (Sudaryanto, 2015:
240).
Metode penyajian hasil analisis dalam penelitian ini menggunakan metode
informal dan metode formal.
a. Metode informal adalah perumusan dengan kata-kata biasa (a natural
language).
b. Metode formal adalah perumusan dengan tanda dari lambang, tanda yang
dimaksud di antaranya adalah tanda bintang (*) dan tanda kurung biasa (),
adapun lambang adalah lambang huruf sebagai singkatan nama.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian ini terdiri dari tiga bab, yaitu
Pendahuluan, Pembahasan, dan Penutup.
Bab I Pendahuluan, pada bab ini berisi latar belakang, pembatasan
masalah, rumusan masalah, tujuan masalah, manfaat penelitian, kajian teori,
metode penelitian, dan sistematika penulisan.
42
Bab II Pembahasan, pada bab ini berisi data yang sudah terkumpul
kemudian dianalisis secara kohesi dan koherensi dalam buku Antologi Cerkak
“Puber Kedua” karya Ary Nurdiana.
Bab III Penutup, pada bab ini berisi kesimpulan dan saran.