bab i pendahuluan -...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
‘Masalah Cina’1 di Indonesia kembali menjadi perbincangan hangat
setelah terjadinya peristiwa kerusuhan antara tanggal 13 – 15 Mei 1998 di
Jakarta, Solo, dan beberapa kota yang lain.2 Persoalan lama ini muncul
kembali karena pada peristiwa tersebut, khususnya di Jakarta, terjadi
penyerangan, pembakaran serta penjarahan pada toko-toko dan rumah-rumah
milik orang Tionghoa3. Selain itu juga terjadi kekerasan seksual (pelecehan
dan pemerkosaan) yang sebagian korbannya adalah perempuan Tionghoa
(Pattiradjawane, 2000: 237-238).
Menurut I. Wibowo (1999: xxxi), ‘masalah Cina’ tampak sebagai
masalah lama tetapi yang selalu baru. Oleh karena itu menurutnya, perlu
dilakukan dua hal yaitu retrospeksi dan rekontekstualisasi ‘masalah Cina’. Hal
1 Ada beberapa pendapat yang menjelaskan ‘masalah Cina’ ini, antara lain: terkait dengan dominasi
mereka dalam bidang ekonomi (Jan, 1960), terkait dengan warisan kolonial dan kompleksitas internal
mereka (Tjeng, 1971), dan terkait dengan hubungan antara mayoritas dan minoritas (Gungwu, 1981).
Lihat Catatan Belakang no. 1 dalam Hari Poerwanto, Orang Cina Khek dari Singkawang, Jakarta:
Komunitas Bambu, 2005, hlm. 307 2 Beberapa literatur awal yang membahas ‘masalah cina’ setelah kerusuhan antara lain, Alfian Hamzah
(ed), Kapok Jadi Nonpri; Warga Tionghoa Mencari Keadilan, Jakarta: Zaman, 1998. I. Wibowo (ed),
Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina, Jakarta: Gramedia, 1999. Leo Suryadinata. Etnis
Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta: LP3ES, 1999. 3 Istilah Tionghoa merujuk pada orang / masyarakat dan budaya sebagaimana istilah ini digunakan
dalam berbagai perayaan publik. Istilah Orang Tionghoa digunakan sebagaimana istilah wong Jowo
pada bahasa lokal (Yogyakarta; Jawa). Sedangkan istilah China atau Tiongkok digunakan secara
bergantian dengan tetap merujuk pada budaya dan Negara RRC / RRT. Namun dalam praktik
komunikasi di lapangan (berbicara, wawancara), istilah Tionghoa, Cina, Cino, dan Tiongkok
digunakan secara acak sesuai dengan lawan bicara.
Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
2
pertama berupa perenungan dan usaha melihat kembali akar dari ‘masalah
Cina’. Kedua adalah mencoba melihat ke depan atau usaha untuk
menempatkan ‘masalah Cina’ dalam konteks Indonesia yang wajar. Menurut
Suparlan (1999: 149-173), salah satu usaha dari rekontekstualisasi ‘masalah
Cina’ adalah meletakkannya dalam kerangka masyarakat majemuk dan
dinamika hubungan antar-suku bangsa di Indonesia yang bhinneka tunggal
ika.
Keadaan orang Tionghoa pada masa reformasi di bawah pimpinan
Presiden B.J. Habibie, dianalisis dengan baik oleh Suryadinata (2003: 3-4). Ia
menunjukkan bahwa kebijakan asimilasi yang diterapkan pada masa Orde
Baru mulai ditinggalkan secara bertahap. Indikatornya adalah bangkitnya tiga
pilar budaya orang Tionghoa yaitu, (1) munculnya kembali organisasi sosial
politik berbasis kesukubangsaan, (2) terbitnya pers (surat kabar) berbahasa
dan beraksara Mandarin dan (3) pengajaran bahasa Mandarin di level sekolah
dasar hingga perguruan tinggi.
Kebijakan pertama yang terkait dengan ‘masalah Cina’ di era
reformasi adalah Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 yang dikeluarkan oleh
Presiden Habibie pada tanggal 16 September 1998. Peraturan ini berisi
larangan penggunaan istilah pribumi dan non pribumi dalam bidang bisnis dan
kebijakan resmi pemerintah. Kebijakan ini juga mengatur bahwa peluang
yang sama akan diberikan kepada orang Indonesia apapun suku-bangsa, ras
dan agamanya. Kemudian pada tanggal 5 Mei 1999, Habibie mengeluarkan
Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
3
kembali Instruksi Presiden No. 4 Tahun 1999 yang isinya menguatkan
Instruksi Presiden No. 56 Tahun 1996 bahwa SBKRI (Surat Bukti
Kewarganegaraan Republik Indonesia) tidak diperlukan lagi dan kepemilikan
KTP (Kartu Tanda Penduduk) cukup menjadi bukti sebagai warganegara
Indonesia. Meskipun dalam implementasinya, dua kebijakan tersebut diatas
masih kurang efektif (Purdey, 2005: 21-22).
Kebijakan yang paling berpengaruh terhadap aspek sosial dan budaya
orang Tionghoa pasca Orde Baru adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh
K.H. Abdurrahman Wahid ketika menjabat sebagai presiden. Ia mengeluarkan
Keputusan Presiden No. 6 Tahun 2000 yang intinya adalah orang Tionghoa
diperbolehkan kembali menjalankan keyakinannya, yaitu ajaran Khonghucu,
ibadah dan tradisi leluhur serta merayakan festival budayanya tanpa
memerlukan ijin khusus. Pada tahun berikutnya, Menteri Agama
mengeluarkan Surat Keputusan No. 13 Tahun 2001 yang menetapkan bahwa
Imlek (Tahun Baru China) dijadikan hari libur fakultatif orang Tionghoa
(Lindsey, 2005: 59-60).
Kebijakan Gus Dur ini kemudian direspon oleh orang Tionghoa di
berbagai kota besar, terutama yang jumlah penduduk Tionghoanya tinggi,
dengan menyelenggarakan perayaan Tahun Baru Imlek secara lebih terbuka.
Respon paling awal dari orang-orang Tionghoa di Yogyakarta adalah
merayakan Imlek tahun 2000 di Klenteng Poncowinatan dengan
menampilkan, untuk pertama kalinya setelah 30 tahun, atraksi kesenian liong
Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
4
dan samsi (barongsai)4
. Kemudian dengan sikap berhati-hati, mereka
mengundang Sultan Yogyakarta untuk merayakan Imlek di sebuah hotel
dengan tema Malam Keakraban Bersama Sri Sultan. Tema yang kamuflatif
ini dilakukan karena mereka mendapat nasehat dari Sultan dan beberapa tokoh
Tionghoa untuk tidak berlebihan dalam menonjolkan identitas ketionghoaan
(Susanto, 2008: 164). Bahkan ketika orang Tionghoa muslim di Yogyakarta
mengadakan perayaan Imlek di Masjid Syuhada tahun 2003, pun
menimbulkan kontroversi baik yang pro dan kontra (lihat Syarif, 2005;
Ahimsa-Putra, 2010; Maulana, 2011 dan Chiou, 2013).
Menariknya, pada tahun 2006 terselenggara Pekan Budaya Tionghoa
Yogyakarta (PBTY) dalam rangka perayaan Tahun Baru Imlek 2557 di
Kampung Ketandan. Peristiwa ini menjadi peringatan Imlek pertama di ruang
publik Kota Yogyakarta dan terbuka untuk umum. Acara ini tidak hanya
dimeriahkan oleh pawai liong dan samsi dari klenteng Fuk Ling Miao
(Gondomanan) ke Ketandan, tetapi juga pameran kebaya encim, rumah khas
tradisional Tionghoa Ketandan, pertunjukan wayang potehi, pentas karaoke
lagu-lagu Mandarin dan ketoprak Sam Pek Ing Tay. Bahkan acara ini dibuka
secara resmi dan langsung oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta 5.
4 “Imlek 2551 Dapat Pertanda Bagus” dalam Bernas, 4 Februari 2000. 5 “Pekan Budaya Tionghoa 2006, Layak Jadi Laboratorium Sosial” Kompas, 20 Januari 2006.
“Keraton-Pecinan Sudah Lama Kerja Sama” dalam Bernas, 28 Januari 2006. “Menyusuri Rumah
Tradisional Cina: Terasa Kentalnya Asimilasi Budaya” dalam Kedaulatan Rakyat, 27 Januari 2006.
Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
5
Festival yang pertama kali digelar ini berlangsung selama lima hari
berturut – turut dan selalu ramai oleh pengunjung di setiap bagian acaranya.
Penulis yang juga hadir beberapa hari berturut – turut, menyempatkan diri
melihat pameran rumah arsitektur Tionghoa, alat musik China, lukisan
Chinese painting (menggunakan cat air), dan ikut salah satu forum diskusinya.
Sayang sekali penulis tidak ikut acara penutupannya yang berupa fashion
show dan gala dinner di sebuah hotel, karena untuk acara ini terbatas pada
undangan dan dikenai beaya sebesar Rp. 150.000,00.
Setelah kesuksesan PBTY yang pertama, acara ini kemudian
diselenggarakan secara berturut-turut hingga tahun ini (2014). Kemudian
komunitas Tionghoa juga melebarkan usahanya dalam perayaan publik
peringatan hari besar tradisi China yang lain, seperti Festival Perahu Naga di
Bendung Tegal, Bantul dalam rangka peringatan Peh Cun dan Festival Bulan
Purnama di Klenteng Tjen Lin Kiong (Poncowinatan) dalam rangka
peringatan Tiong Jiu. Bahkan untuk dua festival yang pertama telah menjadi
agenda tahunan objek pariwisata Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul.
Saat mengunjungi penyelenggaraan festival publik pertama (PBTY)
tahun 2006, di dalam hati penulis membatin bahwa peristiwa ini sangatlah
menarik dan membenarkan sebuah headline surat kabar lokal yang
menyatakan momentum ini layak menjadi sebuah laboratorium sosial di
“Afif Syakur Pamerkan Busana Bernuansa China di PBTY: Kebaya Ratusan Tahun Tetap Elegan”
dalam Radar Jogja, 29 Januari 2006.
Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
6
Yogyakarta. Dan ketika penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan
studi Magister, maka peristiwa tersebut langsung dipilih menjadi subyek
penelitian tesis seperti saat ini.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian mengenai perubahan kekuasaan pemerintahan dan
kebijakan yang dikeluarkan menyangkut tradisi orang Tionghoa serta efek
yang muncul setelahnya, maka timbul beberapa pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk atau performansi dari tiga peringatan hari raya China
(Imlek, Peh Cun dan Tiong Jiu) yang digelar secara terbuka tersebut?
Siapa yang berpengaruh dalam proses pembentukannya dan dari mana
sumber-sumber pengetahuan mengenai tradisi orang Tionghoa yang
menjadi rujukan ?
2. Bagaimana strategi orang Tionghoa dalam mempersiapkan dan
menyelenggarakan festival budaya tersebut sehingga menjadi acara
tahunan di Yogyakarta?
3. Apa yang ingin dicapai dan apa arti dari penyelenggaraan peringatan hari
raya China bagi orang Tionghoa kini? dan pihak lain yang terlibat?
C. Ruang Lingkup dan Tujuan Penelitian
Ruang lingkup spasial penelitian ini adalah Kotamadya Yogyakarta
yang merupakan salah satu Daerah Tingkat II di Provinsi Daerah Istimewa
Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
7
Yogyakarta. Pemilihan tempat ini mempunyai beberapa argumen dasar.
Pertama, penduduk kota Yogyakarta merupakan representasi dari
kemajemukan masyarakat Indonesia, sehingga tepat dengan konsep
rekontektualisasi yang diajukan Suparlan (1999) di awal tulisan. Hal ini
tercermin dari komposisi penduduknya yang beragam, mulai dari berbagai
sukubangsa di Indonesia hingga expatriat dan Warga Negara Asing.6 Sejak
berdiri pada tahun 1755, Kota Yogyakarta pun telah dihuni oleh berbagai
suku-bangsa ‘pribumi’ (Jawa, Batak, Minang dan Banjar), Eropa (khususnya
Belanda dan Indo Belanda) dan Timur Asing: China, Arab dan India
(Kwartanada, 1997: 51).
Kedua, Kota Yogyakarta merupakan representasi daerah di Jawa yang
mempunyai kompleksitas masalah yang lebih dinamis. Kompleksitas ini
diakibatkan karena masih berkembangnya sistem kerajaan yang cukup
‘mapan’ (Poerwanto, 2005: 4), yaitu Kasultanan dan Pakualaman Yogyakarta.
Sehingga situasi tersebut secara langsung atau tidak langsung juga telah
memberikan dinamika yang khas pada tradisi orang Tionghoa di Yogyakarta.
Ketiga, Kota Yogyakarta merupakan kota yang tidak mengalami kerusuhan
rasial anti China pada tahun 1998, meskipun di masa itu kota Yogyakarta juga
dipenuhi dengan demonstrasi mahasiswa besar-besaran (Susanto, 2008: 146).
6 Jawa (3.331.355), Sunda (23.752), Melayu (15.430), Tionghoa (11.545), Batak (9.858),
Minangkabau (5.152), Bali (3.495), Madura (5.289), Bugis (3.335) dan untuk warga negara asing
yaitu; (307). BPS Pusat, Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-Hari Penduduk
Indonesia: Hasil Sensus 2010, Jakarta: BPS Pusat, 2010
Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
8
Hal ini menarik karena dinamika bentuk hubungan sosial mereka dapat
membantu melengkapi analisis fokus permasalahan studi ini.
Sementara itu terkait dengan fokus penelitian, karena yang menjadi
subyeknya adalah perayaan hari besar yang terselenggara secara terbuka,
maka periodenya adalah perayaan yang terselenggara pasca jatuhnya rezim
Orde Baru. Oleh karena itu, perayaan Imlek bukan satu-satunya fokus
penelitian melainkan juga perayaan Peh Cun (Dragon Boat Festival) dan
Tiong Jiu (Moon Cake Festival). Ketiga perayaan tersebut layak dijadikan
kajian secara bersama karena merupakan usaha atau praktik yang sama dari
orang - orang Tionghoa di Kota Yogyakarta. Meskipun ketiganya digelar di
tempat dan waktu yang berbeda: Pertama, perayaan Imlek digelar selama lima
hari di kampung Ketandan (Pecinan). Kedua, Peh Cun yang digelar di
Bendung Tegal Jetis dan Pantai Parangtritis pada tanggal 5 bulan 5 kalender
Imlek. Ketiga, perayaan Tiong Jiu yang digelar di halaman Klenteng
Poncowinatan pada tanggal 15 bulan 8 kalender Imlek.
Berdasarkan uraian di atas, tujuan dari penelitian ini adalah: pertama,
memperlihatkan potret mengenai praktik tradisi orang Tionghoa terutama
dalam penyelenggaraan peringatan hari raya dan siapa saja yang berpengaruh
didalam perayaan tersebut termasuk sumber - sumber pengetahuan mereka.
Kedua, mengetahui strategi politik kebudayaan yang diterapkan orang
Tionghoa di masa yang lebih terbuka dan demokratis ini. Ketiga adalah
Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
9
mengetahui harapan mereka, baik material atau non-material, dan arti penting
dari peringatan hari raya atau festival budaya tersebut di masa ini.
D. Kajian Pustaka
Terdapat sedikit kajian tentang hari raya orang Tionghoa di Indonesia
yang muncul sebelum masa Orde Baru. Pertama adalah karya Tjoa Tjoe Koan
(1887) dengan judul buku Hari Raja Orang Tjina yang terbit di Batavia. Buku
ini ditulis dalam bahasa Malayu Tionghoa7 dan dominan menggunakan dialek
Hokkian, selain karena penulisnya lebih menguasai dialek tersebut, bahasa
Mandarin saat itu pun belum populer di Jawa.8
Dari segi isi, kajian ini lengkap dalam menguraikan beragam hari raya
yang berlaku di negeri China dan diikuti para perantau China serta
keturunannya di Jawa masa itu. Buku ini disusun dengan penjelasan yang
runtut dan sederhana agar mudah dipahami oleh kaum peranakan Tionghoa
dan masyarakat awam. Tapi sayangnya, kajian ini tidak banyak membahas
konteks dalam praktik perayaan dan strategi dibelakang penyelenggaraannya
di dalam masyarakat.
7 Bahasa Melayu di kalangan orang Tionghoa dan juga berlaku umum di Jawa masa itu. Merupakan
salah satu unsur dalam pembentukan proto bahasa Indonesia. Lihat Claudine Salmon, “Apakah Dari
Sudut Linguistik Istilah Bahasa Melayu–Tionghoa Dapat Diterima?” dalam Citra Masyarakat
Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan, 1983, hlm. 99-111 8 Menurut Didi Kwartanada, buku ini merupakan yang pertama ditulis menggunakan bahasa Melayu
mengenai perayaan China di Indonesia. Bahkan karena menariknya, buku ini diterjemahkan ke bahasa
Belanda dan diulas di jurnal Belanda oleh sinolog J. W Young tahun 1889. Lihat selengkapnya artikel
Didi Kwartanada di “Tionghoa-Java: A Peranakan Family History from Javanese Principalities” dalam
CHC Bulletin No. 4 Desember 2004
Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
10
Kedua adalah kajian tentang hari raya yang ditulis oleh Han Swan
Tiem berjudul Hari Raya Tionghoa (1953). Buku yang diberi kata pengantar
oleh Tjan Tjoe Siem ini menjelaskan asal usul tahun baru Imlek yang ternyata
merupakan dongeng (folklore) yang berkembang di masyarakat China saat itu.
Dongeng tersebut bukan berkisah tentang Konfusius, melainkan kisah Giok
Hong Siang Tee atau ‘Kaisar Mutiara’ dalam lagenda China kuno yang
terkenal welas asih, murah hati dan penolong orang miskin. Untuk menandai
kembalinya kaisar ini ke bumi, orang-orang merayakan pesta, yang kini
dikenal sebagai pesta tahun baru. Secara umum karya Han Swan Tiem ini juga
menjelaskan berbagai hari raya orang Tionghoa yang diperingati tersebut
secara deskriptif namun masih cenderung normatif.
Literatur lain yang juga mengulas hari raya orang Tionghoa adalah
bagian kecil dalam karya Nio Joe Lan (1961) berjudul Peradaban Tionghoa
Selajang Pandang. Pembahasan tentang hari raya memang tidak selengkap
kajian sebelumnya, karena karya ini lebih mengfokuskan pada hari raya China
yang hanya diperingati oleh orang Tionghoa secara umum di Indonesia.
Kekurangan lainnya terletak pada minimnya deskripsi mendalam tentang
praktik perayaan dan dinamikanya di dalam komunitas orang Tionghoa di
Indonesia.
Namun yang cukup signifikan dari kajian ini adalah adanya
pembagian hari raya China yang terdiri dari (1) hari raya umum yang di patuhi
oleh seluruh rakyat, (2) hari raya yang berkaitan dengan peringatan tokoh
Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
11
bersejarah atau pahlawan bangsa China dan (3) hari raya yang berkaitan
dengan peringatan dewa-dewa yang dipuja oleh bangsa China.
Di masa Orde Baru, jarang ditemukan pustaka yang mengangkat tema
perayaan hari raya orang Tionghoa. Selain adanya pembatasan literatur yang
berkaitan dengan aksara dan bahasa orang Tionghoa,9 kekosongan ini juga
disebabkan karena pembatasan berbagai bentuk perayaan di ruang publik.10
Meskipun demikian, terdapat beberapa buku liturgi dan pengenalan ajaran
Khonghucu11
, termasuk hari-hari besarnya, yang diterbitkan oleh
MATAKIN12
dan diedarkan secara terbatas pada umatnya. Format buku yang
ukuran saku tersebut tidak banyak menjelaskan perihal hari raya, hanya
sekedar informasi nominal peringatan hari besar dalam satu tahun kalender
Imlek13
.
Setelah reformasi terdapat beberapa kajian tentang hari raya China
seperti yang ditulis oleh Tedy Jusuf (2000). Buku ini berjudul Sekilas Budaya
Tionghoa di Indonesia dan disponsori oleh salah satu organisasi baru orang
9 Pelarangan impor, perdagangan dan distribusi publikasi tentang China berdasarkan kebijakan Menteri
Koperasi dan Perdagangan No. 286 Tahun 1978. Tim Lindsey, “Reconstituting the Ethnic Chinese in
Post-Soeharto Indonesia: Law, Racial Discrimination and Reform” dalam Chinese Indonesians:
Remembering, Distorting, Forgetting, Tim Lindsey, Helen Pausacker (Ed). Singapore: ISEAS. 2005. p. 55. 10 Pembatasan perayaan yang berkaitan dengan ajaran Khonghucu termasuk peringatan hari raya orang
Tionghoa berdasarkan Kepres No. 14 Tahun 1967. Tim Lindsey, loc.cit., p. 60. 11 Antara lain berjudul: Pokok-Pokok Keimanan Konfusiani (Agama Khonghucu) (1985) dan Selayang
Pandang Sejarah Suci Agama Khonghucu (1985) 12 Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia. Baca tulisan Leo Suryadinata, “Khonghucuisme Di
Indonesia: Dahulu dan Sekarang” dalam Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia, Jakarta:
Gramedia, 1988. Hlm. 37-73. 13 Panitia Cisingtan 2543, Pokok-Pokok Penting Ajaran & Ibadah Agama Khonghucu, Surakarta:
MATAKIN, 1992. Hlm. 34.
Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
12
Tionghoa yaitu PSMTI14
di Jakarta. Kajian ini isinya juga lebih bersifat umum
dan populer, sebagaimana tujuan dari penulisnya yang bermaksud
menginventarisasi tradisi Tionghoa yang masih hidup dan terpelihara dalam
masyarakat Tionghoa agar dapat diwariskan pada generasi muda.
Penulis buku ini menambahkan bahwa kajian ini dapat dijadikan
pedoman dalam kehidupan sehari-hari, meskipun dapat dimodifikasi dan
disesuaikan dengan kebiasaan dan kondisi masyarakat setempat. Kajian ini
sekaligus juga sebagai media pengenalan budaya pada masyarakat yang lebih
luas untuk saling mengenal dan menumbuhkan rasa saling menghormati dan
menyayangi.
Beberapa bulan menjelang penelitian ini, terbit sebuah buku di
Yogyakarta yang peluncuran perdananya bersamaan dengan perayaan festival
Tiong Jiu dengan judul Berkenalan dengan Adat dan Ajaran Tionghoa. Buku
yang disunting oleh Tjan K dan Kwa Tong Hay (2011) ini merupakan
penyempurnaan tulisan yang bahan-bahannya telah dikumpulkan oleh tim
penelitian dan pengembangan PTITD (Perhimpunan Tempat Ibadah Tri
Dharma – San Jiao) Komisariat Daerah Jawa Tengah. Oleh karena sifatnya
yang berupa pengenalan umum, deskripsi tentang perayaan juga cenderung
formal. Namun menariknya, buku ini memberikan informasi yang lebih
lengkap tentang Tri Dharma dengan menggunakan sumber – sumber
14 Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia. Lihat Susan Mary Giblin, Being Chinese and
Indonesian: Chinese Organitation in Post Soeharto Indonesia, Ph.D Dissertation, Departement of East
Asian, University of Leeds, 2003. Pp. 120-122.
Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
13
berbahasa dan beraksara Mandarin termasuk penggunaannya dalam
penyebutan istilah sepanjang tulisan.
Studi lain yang bersinggungan dengan rencana penelitian ini adalah
tesis yang ditulis oleh Ubed Abdilah Syarif (2005) mengenai perayaan Imlek
di Mesjid oleh kalangan Tionghoa Muslim di Yogyakarta. Studi ini cukup
membantu dalam memberikan konteks waktu pasca 1998 dan lokalitasnya,
tetapi sayangnya kajian ini hanya terbatas pada orang Tionghoa yang
beragama Islam saja dan bias asimilasi. Sehingga konsep dan bentuk dari
transformasi budaya ketionghoaannya (Chineseness) kurang tampak. Pada
saat penulisan tesis ini, muncul tulisan terbaru mengenai kasus yang sama
yaitu perayaan Imlek di mesjid yang ditulis oleh Syuan-Yuan Chiou (2013).
Penulis tersebut melihat usaha Tionghoa muslim dalam reka cipta tradisi
Imlek yang berupa solat Imlek sebagai sebuah kontroversi dan komplikasi
dari jejaring antara tradisi Imlek, Khonghucu dan Islam. Dengan kata lain,
persoalan asal usul dan keaslian dari tradisi Imlek masih merupakan sebuah
kontestasi yang panas antara budaya dan agama.
Kemudian ada juga sebuah artikel menarik yang ditulis oleh Margaret
Chan (2009) tentang perayaan Imlek pasca Orde Baru, khususnya karnaval
Cap Go Meh di Singkawang Kalimantan Barat. Dengan pendekatan
dramaturgis dan simbolik, Chan mencoba menganalisis ritual antar etnik
(Tionghoa, Dayak dan Melayu) yang tampil dalam karnaval Cap Go Meh.
Sebagai sebuah pertunjukan budaya yang penuh dengan praktik ritual dari
Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
14
masing-masing etnis, berubah menjadi medan eksistensi dan kontestasi politik
tiga etnis yang berujung pada perebutan posisi walikota dalam Pilkada Kota
Singkawang hingga Pilgub Kalimantan Barat.
Dari beberapa kajian mengenai hari raya di atas, peneliti menempatkan
penelitian ini sebagai salah satu usaha memotret tahapan perkembangan
sejarah tradisi orang Tionghoa yang berupa peringatan hari raya. Penelitian ini
juga berusaha untuk memperkaya ranah kajian mengenai salah satu praktik
tradisi orang Tionghoa di Indonesia (peringatan hari raya). Di samping itu,
kajian ini bermaksud untuk mengungkap pemaknaan dari pembentukan
kembali tradisi orang Tionghoa yang telah lama, lebih dari 30 tahun,
direpresif oleh penguasa Orde Baru.
E. Landasan Teori
Pada setiap masyarakat di dunia, hampir semuanya mempunyai waktu
khusus yang teratur untuk merayakan sesuatu. Perayaan tersebut menjadi
momentum yang terbaik bagi semua anggotannya. Misalnya perayaan hari
bersejarah, kelahiran atau kematian pahlawan atau dewa yang dihormati, dan
masa transisi peralihan musim. Momentum yang spesial ini dengan perayaan
didalamnya, sering dibungkus dalam sebuah kemasan bernama festival
(Smith, 1972: 159). Dalam studi ini, perayaan Imlek merupakan peringatan
untuk menyambut pergantian musim, dari musim dingin ke musim semi,
dimana masyarakat petani di China mulai menggarap ladang. Sedangkan
Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
15
perayaan Peh Cun merupakan momentum untuk menghormati meninggalnya
seorang negarawan yang mencintai negerinya. Kemudian pada perayaan
Tiong Jiu Pia adalah perayaan pada saat panen dan menyambut musim gugur.
Partisipan dari perayaan adalah anggota masyarakat itu sendiri. Namun
dalam masyarakat tersebut masih terdapat sub kelompok yang biasanya juga
merayakan dalam waktu dan tempat yang berbeda dan terbatas (privat)
(Smith, 1972: 164). Dalam konteks tiga perayaan hari besar Tionghoa, ada
beberapa kelompok dalam masyarakat Tionghoa yang menggelar perayaan
terpisah. Mereka antara lain kelompok terkecil yaitu keluarga inti, kelompok
berbasis Marga atau dialek, dan kelompok berbasis institusi atau paguyuban.
Biasanya perayaan ini digelar di rumah, di gedung atau di restoran. Sedangkan
perayaan yang diikuti oleh seluruh masyarakat Tionghoa dan bersifat publik,
bisa juga diikuti oleh kelompok masyarakat lain, biasanya digelar di fasilitas
publik seperti jalan raya, lapangan atau pantai.
Peringatan hari raya pada kelompok kebudayaan tertentu, pada
dasarnya bisa dikategorikan di dalam salah satu bentuk tradisi. Jika mengacu
pada pengertian tradisi yang didefinisikan oleh Edward Shils (1981: 12),
maka tradisi China yang berkembang sekarang adalah warisan dari leluhur
orang China di masa lalu. Dalam konteks ke-Indonesiaan, tradisi orang
Tionghoa sekarang merupakan turunan dari tradisi leluhur mereka yang telah
bermigrasi beberapa abad yang lalu dan bermukim di berbagai tempat di
Indonesia. Dengan kata lain, terdapat perubahan yang signifikan antara tradisi
Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
16
China di mainland dengan tradisi China yang berkembang dan dipraktikkan
oleh orang – orang Tionghoa di Indonesia.
Menurut Shils (1981: 213-258), perubahan tradisi disebabkan oleh dua
faktor yaitu faktor dari dalam dan faktor dari luar. Faktor dari dalam antara
lain; (1) rasionalisasi dan koreksi dari pengikutnya, (2) imajinasi dan (3)
godaan untuk menemukan yang baru. Sedangkan faktor dari luar berupa; (1)
tekanan dari tradisi asing, (2) sinkretisasi, (3) ekspansi dan perlawanan dalam
hubungan pusat – pinggiran tradisi, serta (4) lingkungan tradisi yang berubah.
Perbedaan dan keragaman tradisi China di Indonesia bisa terjadi
karena orang China yang pertama kali datang dan menetap di Nusantara
bukan orang kaya atau pejabat, melainkan orang biasa yang miskin atau
pelarian politik. Kebanyakan dari mereka kemudian berprofesi sebagai buruh
kontrak, petani, atau pedagang (Poerwanto, 2005: 43-44). Disamping itu,
mereka berasal dari daerah yang berbeda dan sering dibedakan dengan
dialeknya antara lain, Hokkian, Hakka (Khek), Teociu, Kanton dan lainnya.
Meski demikian, sebagian besar imigran China yang ke Indonesia berasal dari
Provinsi Fukien (Fujian) dan Kwangtung (Guangdong). Dan mereka selalu
membawa serta ciri kultural setempat khas kampung halamannya (Skinner,
1979: 6).
Denys Lombard (1996: 247) menegaskan bahwa meskipun
perkembangan tradisi orang Tionghoa di Nusantara, Jawa khususnya,
mengalami pasang surut karena berbagai pengaruh seperti perkawinan campur
Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
17
dan imigran baru perempuan Tionghoa, kesuksesan finansial atau jatuh
miskin, dan gejolak politik di negeri China atau di tanah perantauan, namun
setidaknya ada dua hal yang pasti yaitu (1) orang Tionghoa di Jawa
merupakan kelompok yang majemuk dan terpecah-pecah serta (2) kelompok
yang konsisten terbuka terhadap lingkungan sosial dan budaya setempat.
Dalam konteks kekinian, tradisi China pasca Soeharto tampaknya
mengalami kebangkitan yang signifikan. Seperti yang dinyatakan oleh Allen
(2003: 389), bahwa fenomena yang menghiasi identitas orang Tionghoa pasca
Soeharto adalah kebangkitan kembali berbagai bentuk budaya orang Tionghoa
yang selama masa Orde Baru dilarang atau dikerdilkan. Ragam budaya
tersebut antara lain; barongsai, film roman sejarah China di TV nasional,
wayang potehi, sastra Mandarin15
dan peringatan Imlek.
Menariknya adalah tradisi yang muncul kembali tersebut sedikit sekali
menyerupai tradisi Tionghoa masa kolonial atau pra 1965, bahkan beberapa di
antaranya merujuk pada tradisi klasik di China atau malah tradisi baru yang
direkonstruksi atau direka cipta kembali (reinventing tradition). Selain itu
adalah reka cipta tradisi tersebut bermuara pada proses formalisasi dan
ritualisasi yang merujuk pada masa lalu, namun dengan pengulangan –
pengulangan yang lebih mengesankan (Hobsbawm, 1989: 1- 4).
15 Beberapa karya yang disebut dengan sastra Mandarin dalam tulisan Pamela Allen (2003) antara lain:
Wilson Tjandinegara, Kumpulan Cerpen Mini Yin Hua, Jakarta: Komunitas Sastra Indonesia, 1999.
Tan Lioe Ie, Kita Bersaudara, Denpasar: Sanggar Minum Kopi, 1999.
Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
18
Sebagaimana munculnya kembali seni tradisi China liong dan
barongsai pasca 1998 (Shahab, 2000), peringatan hari raya juga telah
mengalami sebuah reka cipta tradisi dalam rangka mengembalikan fungsinya
sebagai identitas budaya orang-orang Tionghoa (Hoon, 2004: 13-14). Menurut
Horowitz (1975: 117), untuk memperluas atau memperbanyak keanggotaan
sebuah organisasi (penganut atau pengikutnya), dapat diperoleh lewat
kelahiran kembali generasinya yaitu anak muda yang mengetahui dan
memahami nilai – nilai tradisi.
Di sisi lain, Hoon (2009: 1-5) melihat bahwa peringatan hari raya,
khususnya Imlek, telah menjadi arena kontestasi politik bagi orang Tionghoa
terhadap negara, bahkan juga di antara orang - orang Tionghoa sendiri. Selain
itu, salah satu catatan yang juga perlu diperhatikan atas fenomena ini adalah
adanya fungsi lain dari peringatan hari raya tersebut yaitu kecenderungan
proses detradisionalisasi dalam peringatan hari raya Tionghoa, termasuk kelas
menengahnya, dengan ditandai adanya keterlibatan dan persiapan anggota
keluarga dalam proses produksi ekonomi (Onghokham, 1999; Hoon, 2009)
Jika menurut Swartz (1997: 117), perayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong
Jiu tampaknya telah menjadi arena (field) produksi, sirkulasi, dan
pemanfaatan barang-barang, pelayanan, pengetahuan atau status dalam
kompetisi posisi para aktor untuk mengakumulasi dan memonopoli pelbagai
modal (capital). Masih menurut Swartz, arena ini merupakan (1) tempat
perjuangan mengkontrol berbagai nilai lebih sumber daya. Sumber daya yang
Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
19
terkait dengan hubungan kekuasaan inilah yang disebut dengan modal. Atau
dalam bahasa Bourdieu, arena adalah tempat untuk memperebutkan
legitimasi. Kemudian arena juga dipahami sebagai (2) ruang yang tersusun
dari posisi dominan dan subordinat berbasis pada beberapa tipe modal. Selain
itu arena juga (3) ditentukan oleh bentuk perjuangan dari aktor - aktor dan (4)
perluasan signifikan dari mekanisme internal dalam pengembangannya
(Swartz, 1997: 123-125).
Sumber daya atau modal (capital) yang berada di posisi paling tinggi
atau dominan adalah modal ekonomi (economic capital) kemudian diikuti
atau juga sering diposisikan sebagai oposisinya adalah modal budaya (cultural
capital). Secara tidak langsung modal ekonomi dianggap sebagai akar dari
modal yang lain seperti modal sosial (social capital) dan modal simbolik
(symbolic capital) (Swartz, 1997: 136).
Dominannya modal ekonomi dapat terlihat jelas dalam pelaksanaan
tiga perayaan Tionghoa di Yogyakarta. Panitia berusaha mengumpulkan dana
sebanyak-banyaknya, baik iuran pribadi atau mencari sponsor, agar semua
rencana kegiatan dapat terlaksana. Hal ini dilakukan karena pihak pemerintah
daerah tidak dapat membantu banyak atau menutup semua anggaran tersebut.
Pada perayaan hari besar tradisi China di Yogyakarta, bukan hanya
tokoh - tokoh dan warga Tionghoa biasa yang terlibat melainkan juga orang –
orang non Tionghoa, baik itu kelompok intelektual, penguasa lokal atau
penduduk setempat. Masing – masing pihak membaca sikap pemerintah pasca
Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
20
Orde Baru, yang menjadikan Tahun Baru Imlek sebagai hari Libur Nasional,
sebagai sebuah ruang publik baru. Tokoh atau elit menggunakan modal
ekonominya untuk mendukung perayaan semeriah mungkin. Intelektual dan
institusi akademiknya menjadikan momentum ini untuk berkontribusi
sekaligus memediasi. Seniman dan pekerja budaya, baik orang Tionghoa atau
bukan, ikut menyumbang keahlian sekaligus kepedulian dan juga eksistensi.
Jumlah massa yang banyak juga ikut meramaikan dan sebagai tanda sukses
acaranya. Pihak keamanan pun ikut kontribusi menjaga tapi juga menambah
uang saku, hingga pihak keamanan swasta pun tertarik terlibat.
Melibatkan pemerintah dan pihak lain seperti keamanan dan
masyarakat sekitar masih menjadi habitus dari komunitas Tionghoa. Hal ini
terjadi karena telah 30 tahun lebih posisi orang Tionghoa menjadi subordinat
dan objek dari penguasa, khususnya zaman Orde Baru. Seperti yang
dijelaskan oleh Swartz (1997: 100), konsep habitus yang dikenalkan oleh
Bourdieu merupakan usaha untuk menjelaskan suatu kondisi yang bertahan
lama yang mampu mempengaruhi struktur pikiran dan tindakan.
Aksi yang dilakukan oleh para aktor di atas adalah strategi itu sendiri.
Seperti yang dijelaskan oleh Swartz (1997: 99), strategi ini merupakan siasat
dengan menggunakan waktu dan inilah yang membuat perbedaan masing-
masing agen dan membedakan struktur dalam praktik sehari-hari. Siasat lewat
waktu ini dapat dipahami dengan melihat kemungkinan timbal balik modal di
antara aktor. Dalam konteks perayaan di Yogyakarta, kelompok elit Tionghoa
Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
21
(pengusaha) terlibat sebagai panitia dan bertemu dengan penentu dan pelaku
kebijakan publik seperti kepala daerah, mereka melihat bahwa ada potensi di
kemudian hari untuk bekerjasama kembali dalam hal perdagangan atau kontak
bisnis lain.
F. Metode Pengumpulan dan Analisis Data
Paling mendasar dalam mengumpulkan data penelitian ini adalah
pengamatan di lapangan (Jorgensen, 1989). Pengamatan dilakukan selama
berlangsungnya perayaan, baik perayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong Jiu.
Pengamatan hanya ditujukan pada perayaan di ruang publik saja. Karena
aksesnya lebih mudah, sedangkan di ruang privat (keluarga atau paguyuban /
marga), aksesnya lebih sulit, karena peneliti bukan bagian dari marga /
paguyuban tersebut.
Cara ini sebenarnya telah dilakukan secara berkelanjutan oleh peneliti
sejak delapan tahun yang lalu ketika perayaan Imlek yang pertama di
Ketandan tahun 2006. Bahkan di tahun 2007, peneliti pernah terlibat
(partisipasi) dalam susunan kepanitiaan salah satu perayaan Imlek di Bantul.
Di tahun 2012, peneliti juga pernah ikut sebagai peserta karnaval. Sedangkan
pengamatan pada perayaan Peh Cun di Pantai Parangtritis, lebih sering
sebagai penonton aktif. Namun untuk peringatan Tiong Jiu di Klenteng
Poncowinatan, pengamatan baru dilakukan tiga kali karena perayaan ini baru
mulai digelar tiga tahun yang lalu.
Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
22
Cara pengumpulan data yang lain adalah adalah wawancara
(Koentjaraningrat, 1977). Wawancara yang akan dilakukan tidak dilakukan
sekali saja terhadap satu informan, tetapi akan dilakukan beberapa kali. Hal
ini dilakukan karena satu informan seringkali merangkap jabatan dan berganti
posisi dalam kepanitiaan setiap tahunnya, baik Imlek atau Peh Cun.
Pengulangan ini, atau ganti informan, juga disebabkan karena adanya
penolakan atau pengalihan dari informan utama, misalnya informan dari
pejabat pemerintahan. Mulanya adalah informan yang berkedudukan sebagai
kepala dinas (pariwisata), namun karena peneliti hanya seorang mahasiswa
master dari perguruan tinggi lokal, akhirnya peneliti hanya diberikan
informasi oleh kepala seksi (kasi). Mereka beralasan bahwa kepala dinas
hanya layak menemui peneliti yang berstatus mahasiswa doktoral atau peneliti
dari luar negeri. Kasus lain adalah terkadang informan dari masyarakat
Tionghoa masih ada yang kurang terbuka terhadap peneliti lokal, apalagi yang
berasal dari suku lain. Tetapi beberapa informan justru lebih terbuka terhadap
peneliti asing.16
Pemilihan informan juga didasarkan pada fungsi dan peran mereka
dalam pelaksanaan festival tahunan ini, antara lain: penasehat atau konsultan
acara yang biasanya terdiri dari tokoh masyarakat dan tokoh komunitas
16 Peneliti mendapatkan pengalaman ini ketika membandingkan dua kali wawancara dengan partner
yang berbeda. Pertama dengan partner lokal, yang kedua bersama partner asing. Terima kasih kepada
Evamaria Muller, mahasiswi doktoral dari Universitas Freiburg Jerman yang berbagi pengalaman saat
meneliti tentang orang Tionghoa di Yogyakarta pada saat yang hampir bersamaan.
Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
23
Tionghoa (sesepuh Tionghoa), panitia harian dan beberapa koordinator
bidang, serta partisipan acara yang biasanya berasal dari paguyuban orang -
orang Tionghoa di Yogyakarta dan kelompok liong samsi, baik itu pembuat,
pemilik dan pemainnya. Selain informan dari kalangan orang Tionghoa,
penulis juga akan mewancarai informan yang bukan orang Tionghoa, namun
terlibat di dalam susunan kepanitiaan atau sekedar partisipan perayaan
tersebut. Hal ini perlu dilakukan oleh peneliti dengan maksud untuk melacak
kontribusi dan pengaruhnya dalam pembentukan tradisi perayaan orang
Tionghoa di Yogyakarta.
Terkait dengan kualitas informan sebagai bagian dari studi kasus, juga
untuk menjawab pertanyaan riset terakhir, peneliti membuat klasifikasi awal
untuk informan sebagai berikut: Pertama, golongan tua yang kaya raya.
Kedua, golongan tua kelas menengah. Ketiga, golongan muda berpendidikan
tinggi. Keempat, golongan muda berpendidikan sedang dan kelima, golongan
muda (masih) berpendidikan rendah.
Berikutnya adalah pengumpulan dokumen baik yang berupa teks atau
gambar (video dan potret). Dokumen yang dimaksud tidak hanya yang
dimiliki oleh kepanitiaan (resmi), tetapi juga dokumen dari sumber lain
seperti berita surat kabar, majalah, artikel ilmiah dan cerita rakyat atau tradisi
lisan (Kartodirdjo, 1977).
Data – data yang terkumpul di atas akan dianalisis menggunakan
beberapa pendekatan. Analisis historis akan diterapkan untuk menganalisa
Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
24
data yang berasal dari teks, pengamatan dan wawancara yang mana terkait
dengan gambaran perkembangan dan dinamika masyarakat Tionghoa dan
tradisinya pada masa awal mereka menetap di kota praja hingga pasca Orde
Baru. Kemudian data yang terkait dengan performa perayaan tiga hari raya
akan dianalisa dengan pendekatan fenomenologi. Diharapkan dengan
pendekatan ini, fenomena perayaan hari raya Tionghoa yang kembali muncul
setelah Orde Baru mundur dapat terjelaskan secara rinci. Untuk yang terakhir,
analisa strukturalisme konstruktif, seperti yang diakui sendiri oleh Bourdieu
(1989: 14), akan digunakan untuk menganalisis data yang terkait dengan
ragam makna atau kepentingan dalam medan produksi sebuah budaya, yakni
peringatan hari raya budaya orang Tionghoa.
G. Organisasi Tulisan
Secara singkat, tulisan ini diawali dengan eksplorasi dinamika sosial
orang Tionghoa Indonesia yang terjadi di masa Orde Baru hingga
perkembangan terakhir pasca Orde Baru yang tercermin dalam bab 1. Di
samping itu, bagian pertama ini diikuti dengan rumusan masalah dan landasan
teori. Untuk melihat kontekstualisasi tulisan ini dibahas juga kajian pustaka
yang sudah ada mengenai tradisi orang Tionghoa.
Bagian kedua akan menjelaskan kondisi historis orang Tionghoa
secara umum di wilayah Kesultanan Yogyakarta hingga menjadi daerah
istimewa Yogyakarta. Kemudian penjelasan dilanjutkan dengan menekankan
Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
25
pada perkembangan dan dinamika budaya, khususnya tiga pilarnya yaitu
organisasi, pers dan pendidikan, orang Tionghoa yang diwariskan dari
generasi ke generasi dan melewati beberapa zaman hingga masa pasca Orde
Baru.
Di dalam bagian ketiga, penulis akan menguraikan gambaran dari tiga
perayaan hari besar orang Tionghoa yang dirayakan secara terbuka di ruang
publik Yogyakarta yaitu perayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong Jiu. Selain itu
juga akan diuraikan proses produksi dan orang-orang Tionghoa yang terlibat
didalamnya, termasuk pihak di luar komunitas mereka.
Bagian keempat adalah uraian argumentasi dan praktik dari berbagai
pihak yang terlibat dalam perayaan tradisi orang Tionghoa di Yogyakarta.
Dengan kata lain, bagian ini berusaha untuk mengungkap makna yang
tersembunyi di balik perayaan atau festival yang terselenggara di ruang
publik.
Bagian kelima adalah bagian akhir dari keseluruhan tulisan yang
berusaha untuk menunjukkan benang merah atau ringkasan terkait dan titik
simpul dari awal hingga akhir tulisan.
Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/