bab i pendahuluan -...

26
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam beberapa tahun terakhir pengembangan aktivitas industri berlangsung dengan cepat (Peng dan Lin 2008, 199) dan perusahaan di seluruh dunia harus mampu menghadapi persaingan bisnis yang semakin kompetitif (Chow et al. 2008, 665). Di satu sisi, pengembangan aktivitas industri yang cepat menciptakan krisis kesehatan masyarakat dan lingkungan, seperti efek gas rumah kaca, polusi air dan udara, emisi beracun, tumpahan kimia dan kecelakaan industri, yang berdampak negatif untuk ribuan masyarakat di seluruh dunia (Peng dan Lin 2008, 199). Di sisi lainnya, persaingan yang ketat mengakibatkan perusahaan semakin dituntut oleh konsumen untuk menawarkan produk yang lebih baik dan murah, waktu respon yang lebih singkat, tingkat pelayanan yang lebih baik dan lini produk yang semakin bervariasi (Chow et al. 2008, 665-6). Kondisi persaingan yang kompetitif, tidak stabil dan tidak pasti mendorong para pelaku bisnis harus mengeluarkan kinerja terbaik mereka. Imbas dari kinerja terbaik tersebut adalah setiap perusahaan harus menghasilkan keunggulan kompetitif yang menjadi kompetensi inti dari perusahaan tersebut. Secara umum, perusahaan dapat dikatakan memiliki keunggulan kompetitif ketika dapat menciptakan nilai ekonomis yang lebih

Upload: lexuyen

Post on 23-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam beberapa tahun terakhir pengembangan aktivitas industri

berlangsung dengan cepat (Peng dan Lin 2008, 199) dan perusahaan di

seluruh dunia harus mampu menghadapi persaingan bisnis yang semakin

kompetitif (Chow et al. 2008, 665). Di satu sisi, pengembangan aktivitas

industri yang cepat menciptakan krisis kesehatan masyarakat dan

lingkungan, seperti efek gas rumah kaca, polusi air dan udara, emisi

beracun, tumpahan kimia dan kecelakaan industri, yang berdampak negatif

untuk ribuan masyarakat di seluruh dunia (Peng dan Lin 2008, 199). Di sisi

lainnya, persaingan yang ketat mengakibatkan perusahaan semakin dituntut

oleh konsumen untuk menawarkan produk yang lebih baik dan murah,

waktu respon yang lebih singkat, tingkat pelayanan yang lebih baik dan lini

produk yang semakin bervariasi (Chow et al. 2008, 665-6).

Kondisi persaingan yang kompetitif, tidak stabil dan tidak pasti

mendorong para pelaku bisnis harus mengeluarkan kinerja terbaik mereka.

Imbas dari kinerja terbaik tersebut adalah setiap perusahaan harus

menghasilkan keunggulan kompetitif yang menjadi kompetensi inti dari

perusahaan tersebut. Secara umum, perusahaan dapat dikatakan memiliki

keunggulan kompetitif ketika dapat menciptakan nilai ekonomis yang lebih

2

dibandingkan dengan perusahaan kompetitor (Barney dan Hesterly 2015,

30). Salah satu cara yang dapat diterapkan perusahaan untuk menciptakan

nilai ekonomis adalah dengan menerapkan manajemen rantai pasokan.

Manajemen rantai pasokan telah menjadi pendekatan kompetitif yang

penting bagi perusahaan untuk bersaing di lingkungan bisnisnya (Zhu,

Sarkis, dan Lai 2006, 1), serta menjadi elemen penting bagi perusahaan

untuk dapat memiliki daya saing (Lee, Kim, dan Choi 2012, 1149).

Seiring dengan berkembangnya zaman, perusahaan menghadapi

tuntutan peraturan dan masyarakat terhadap lingkungan yang semakin

tinggi. Penyeimbangan antara kinerja ekonomi dan lingkungan menjadi hal

penting bagi perusahaan untuk menghadapi tekanan persaingan, peraturan

dan masyarakat yang menuntut agar perusahaan semakin ramah lingkungan

(Zhu, Sarkis, dan Geng 2005, 450). Terkait dengan tuntutan peraturan,

pemerintah Indonesia sudah mengeluarkan peraturan melalui Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia No. 81 tahun 2012 tentang sampah rumah

tangga serta PP No. 101 tahun 2014 tentang pengelolaan limbah berbahaya

dan beracun.

Untuk mengapresiasi perusahaan yang telah mentaati peraturan

tersebut, Kementrian Lingkungan Hidup melakukan penilaian melalui

program penilaian peringkat kinerja perusahaan (PROPER). Program

tersebut bertujuan untuk mendorong perusahaan untuk menaati peraturan

perundang–undangan melalui insentif dan disinsentif reputasi dan

mendorong perusahaan yang sudah baik kinerja lingkungannya untuk

3

menerapkan produksi bersih (MENLH 2015). Perusahaaan yang

mendapatkan penilaian baik dari PROPER dapat berguna untuk

meningkatkan reputasi perusahaan terkait kepedulian terhadap kelestarian

lingkungan.

Dengan meningkatnya tuntutan terhadap kelestarian lingungan

melalui peraturan dan program penilaian, diharapkan perusahaan akan

mengimplementasikan strategi untuk mengurangi dampak lingkungan dari

produk dan layanan yang ditawarkan oleh perusahaan tersebut. Perubahan

yang terjadi terkait kepedulian terhadap lingkungan selama beberapa tahun

terakhir tersebut, termasuk prasyaratan hukum, tuntutan dari pelanggan,

kebutuhan akan manajemen limbah, dan penggunaan kembali bahan dan

kemasan, telah mempengaruhi manajemen rantai pasokan (Scur dan

Barbosa 2017, 1).

Pengaruh dari perubahan tersebut menyebabkan semakin banyaknya

perusahaan menghubungkan praktik hijau dengan strategi korporasi mereka.

Salah satu praktik hijau dalam strategi korporasi adalah manajemen rantai

pasokan hijau atau green supply chain management. Pengungkit utama

dibalik keinginan untuk menghijaukan rantai pasokan adalah perubahan

iklim, sumber daya alam yang semakin sedikit dan polusi udara (Younis,

Sundarakani, dan Vel 2016, 217). Manajemen rantai pasokan hijau menjadi

jawaban untuk memenuhi kedua sisi tuntutan yaitu tuntutan untuk semakin

ramah lingkungan dan tuntutan agar perusahaan dapat memiliki keunggulan

kompetitif. Keunggulan kompetitif salah satunya dapat diperoleh melalui

4

penerapan strategi ramah lingkungan dan pelaksanaan praktik pemantauan

dan kolaburasi lingkungan (Green Jr. et al. 2012, 187).

Manajemen rantai pasokan menjelaskan tentang koordinasi dari

seluruh aktivitas rantai pasokan, dimulai dari bahan baku dan diakhiri

dengan kepuasan pelanggan (Heizer dan Render 2017, 444). Manajemen

rantai pasokan adalah pengelolaan dari urutan sebuah proses dan arus

informasi maupun barang yang terjadi di dalam dan di antara tahap yang

berbeda dan dikombinasikan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan

(Chopra dan Meindl 2016, 8).

Menurut sumber lain, manajemen rantai pasokan adalah penerapan

dari pendekatan sistem keseluruhan untuk mengelola arus dari informasi,

bahan baku, dan jasa dari pemasok bahan baku melalui pabrik dan gudang

menuju konsumen akhir (Heizer dan Render 2017, 444). Cakupan dari rantai

pasokan terdiri dari pemasok, manufaktur dan/atau penyedia jasa,

distributor, wholesaler, pengecer yang menyampaikan produk dan/atau jasa

ke konsumen akhir (Heizer dan Render 2017, 444). Cakupan rantai pasokan

menurut penulis lain yaitu melibatkan berbagai tahap yang terdiri dari

konsumen, pengecer, penjual besar atau distributor, manufaktur, dan

komponen atau pemasok bahan baku (Chopra dan Meindl 2016, 3).

Manajemen rantai pasokan hijau merupakan pengembangan ilmu

dari manajemen rantai pasokan yang menerapkan praktik hijau atau

berorientasi ramah lingkungan. Secara umum, manajemen rantai pasokan

5

hijau berhubungan dengan pengadopsian dan pengimplementasian dari

ramah lingkungan, artinya ketika mengeksekusi beragam aktivitas rantai

pasokan harus ramah lingkungan (Soda, Sachdeva dan Garg 2015, 890).

Menurut pemaparan dari penelitian lain, manajemen rantai pasokan

hijau adalah pengintegrasian pemikiran lingkungan kedalam manajemen

rantai pasokan, termasuk desain produk, penyeleksian sumber bahan baku,

proses manufaktur, pengiriman produk akhir ke konsumen, hingga

pengelolaan akhir produk setelah kebermanfaatannya digunakan dalam

kehidupan (Srivasta 2007, intisari, 53-4). Semua aktivitas yang dilakukan

oleh organisasi yang bertujuan untuk menjaga kelestarian lingkungan dan

keberlangsungan organisasi melalui kemampuan rantai pasokan dan

kapabilitas untuk memperbaiki diri berdasarkan informasi dari lingkungan

eksternal merupakan konsep dari praktik manajemen rantai pasokan hijau

(Diab, Al-Bourini, dan Abu-Rumman 2015, 150).

Selain tuntutan dari peraturan dan masyarakat untuk meningkatkan

kelestarian lingkungan, ada motivasi lain yang mendorong perusahaan

untuk menghijaukan rantai pasokannya. Motivasi tersebut diantaranya

untuk mendapatkan citra perusahaan yang positif, meningkatkan efisiensi

dan menjadi pemimpin dalam inovasi (Laari, Töyli, dan Ojala 2016, 2).

Manajemen rantai pasokan hijau juga menjadi cara untuk meminimalkan

risiko potensi kerugian yang terjadi akibat kinerja lingkungan yang buruk.

Misalnya terjadi insiden kerusakaan lingkungan yang mengakibatkan

rusaknya citra perusahaan, reputasi dan harga saham, serta mendorong

6

pelanggan untuk memboikot perusahaan atau membatalkan pesanannya

(Hajmohammad dan Vachon 2015, intisari, 49).

Melakukan pengukuran kinerja rantai pasokan setelah menerapkan

manajemen rantai pasokan hijau merupakan aktivitas yang penting untuk

dilakukan. Pengukuran kinerja rantai pasokan menjadi sangat penting untuk

dilakukan karena persaingan bisnis tidak hanya terjadi antar perusahaan,

namun juga antar pihak dalam rantai pasokan (Hausman 2002, 62). Studi

yang dilakukan terkait kinerja rantai pasokan dalam beberapa tahun terakhir

ini mengalami perkembangan yang cukup pesat. Telah banyak penelitian

yang dilakukan untuk mengidentifikasi faktor–faktor yang berpengaruh

pada kinerja rantai pasokan (seperti Beamon 1999, intisari, 281;

Gunasekaran, Patel dan McGaughey 2004, intisari, 335-9; Ibrahim dan

Ogunyemi 2012, intisari, 447-8; Seo, Dinwoodie, dan Kwak 2014, intisari,

735-6 ).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan peneliti Sezen, kinerja rantai

pasokan diklasifikasikan menjadi dua kategori (Sezen 2008, 233). Kategori

pertama terkait pengukuran kinerja rantai pasokan (seperti Beamon 1999,

intisari, 281; Gunasekaran, Patel, dan McGaughey 2004, intisari, 335-9),

sedangkan kategori kedua berfokus terkait faktor–faktor yang dapat

menjelaskan mengapa kinerja suatu rantai pasokan lebih baik dibandingkan

dengan yang lain (seperti Abdallah, Obeidat, dan Aqqad 2014, 16; Ibrahim

dan Ogunyemi 2012, intisari, 447-8; Sundram, Ibrahim, dan Govindaraju

2011, intisari, 837-8; Seo, Dinwoodie, dan Kwak 2014, intisari, 735-6).

7

Faktor yang digunakan merupakan aktivitas–aktivitas yang dilakukan untuk

mendorong keefektifan rantai pasokan dan sering disebut dengan praktik –

praktik rantai pasokan (Sundram, Ibrahim, dan Govindaraju 2011, 837).

Kategori pertama terkait dengan pengukuran kinerja rantai pasokan,

masih terjadi perdebatan diantara peneliti tentang bagaimana cara mengukur

kinerja rantai pasokan yang paling baik (Ibrahim dan Ogunyemi 2012,

intisari, 447-8). Beamon (1999, intisari, 281) dan Sezen (2008: 233)

mengklasifikasikan kinerja rantau pasokan menjadi tiga dimensi

pengukuran, yaitu a) kinerja fleksibilitas; b) kinerja sumberdaya; c) kinerja

output. Ketiga kinerja tersebut dipilih karena dianggap dapat mewakili

tujuan strategis manajemen rantai pasokan hijau.

Ibrahim dan Ogunyemi (2012, 450) mengukur kinerja rantai

pasokan menggunakan dua dimensi pengukuran yaitu fleksibilitas rantai

pasokan dan efisiensi rantai pasokan. Peneliti lainnya yakni Abdallah,

Obeidat, dan Aqqad (2012, 16) hanya menggunakan dua dimensi

pengukuran yaitu efisiensi rantai pasokan dan kefektivan rantai pasokan

dalam mengukur kinerja rantai pasokan.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Gunasekaran, Patel dan

McGaughey (2004, intisari, 335-7), penulis mengusulkan kerangka

komprehensif dalam mengukur kinerja rantai pasokan yang secara luas

dibagi menjadi strategis, taktikal dan proses operasional, dan terangkum

dalam enam kategori yaitu a) metrik untuk perencanaan pemesanan; b)

8

evaluasi dari hubungan pemasok; c) ukuran dan metrik pada tingkat

produksi; d) evaluasi dari hubungan pengiriman; e) ukuran pelayanan dan

kepuasan pelanggan; dan f) logistik dan rantai pasokan. Keenam kategori

tersebut juga digunakan oleh penulis Seo, Dinwoodie, dan Kwak (2014,

735) untuk mengukur kinerja rantai pasokan dalam penelitiannya.

Berdasarkan pemaparan diatas, pengukuran kinerja rantai pasokan

yang paling tepat digunakan adalah a) kinerja fleksibilitas; b) kinerja

sumberdaya; c) kinerja output. Karena Beamon (1999, intisari, 278-9)

berargumen bahwa penggunaan pengukuran kinerja rantai pasokan yang

sederhana dan terbatas cakupannya dapat terjadi ketidakkonsistenan

terhadap tujuan strategis dalam organisasi. Pengukuran kinerja rantai

pasokan seharusnya tidak mengabaikan segala aktivitas penting pada setiap

tujuan yang berbeda (Sezen 2008, 234).

Beberapa praktik manajemen rantai pasokan hijau digunakan dalam

mengukur kinerja rantai pasokan yang terangkum dalam Tabel 1.1.

Terdapat 22 konstruk praktik-praktik rantai pasokan hijau yang digunakan

untuk mengukur kinerja rantai pasokan maupun kinerja perusahaan yang

terdapat dalam enam belas artikel penelitian. Desain dan kemasan ramah

lingkungan, kerjasama pelanggan, pembelian hijau, pemulihan investasi,

pergudangan dan bangunan hijau, serta Logistik Balik merupakan faktor

yang sering digunakan oleh peniliti untuk menguji pengaruhnya praktik

manajemen rantai pasokan hijau terhadap kinerja rantai pasokan maupun

kinerja perusahaan (Al Khattab, Abu-Rumman, dan Massad 2015, 591;

9

Choi dan Hwang 2015, 71; Diab, Al-Bourini, dan Abu-Rumman 2015, 151;

Eltayeb, Zailani, dan Ramayah 2011, 499; Geng, Mansouri, dan Aktas 2017,

249; Green Jr. et al. 2012, 292; Hassan et al. 2016, 431; Laosirihongthong,

Adebanjo, dan Tan 2013, 1092; Perotti et al. 2012, 647;; Lee, Kim, dan Choi

2012, 1154; Zhu, Sarkis, dan Lai 2008, 266; Zhu dan Sarkis 2004, 268).

Sementara itu, tujuh belas faktor lainnya (lihat Tabel 1.1) digunakan satu

kali dalam penelitian kinerja rantai pasukan hijau (seperti Muma et al.,

2014).

10

Tabel 1. 1

Berbagai Praktik Manajemen Rantai Pasokan Hijau Untuk Mengukur Kinerja Rantai Pasokan

No.

Praktik–Praktik Rantai Pasokan

Hijau

Konteks

Hasil

Temuan

Referensi

1. Desain dan Kemasan Ramah

Lingkungan

Perusahaan manufaktur di berbagai industri,

perusahaan manufaktur di

industri makanan; industri elektronik

(+);(-) Al Khattab, Abu-Rumman, dan Massad 2015, 591; Choi dan Hwang 2015, 71; Diab, Al-Bourini, dan Abu-Rumman 2015, 151; Eltayeb, Zailani, dan Ramayah 2011, 499; Geng,

Mansouri, dan Aktas 2017, 249; Green Jr. et al. 2012, 292; Hassan et al. 2016, 431;

Laosirihongthong, Adebanjo, dan Tan 2013, 1092; Lee, Kim, dan Choi 2012, 1154; Perotti et al. 2012, 647; Zhu, Sarkis, dan Lai 2008, 266; Zhu dan Sarkis 2004, 268

2. Distribusi Hijau Perusahaan manufaktur di

industri makanan

(+) Kahanaali, Khaksar, dan Abbaslu 2015, 7; Muma et al. 2014, 271

3. Inbound Penghijauan

Perusahaan manufaktur di berbagai industri

(+) Rao dan Holt 2005, 899

4. Kerjasama

Pelanggan

Perusahaan manufaktur di

berbagai industri,

perusahaan manufaktur di industri makanan;

industri elektronik

(+);(-)

Al Khattab, Abu-Rumman, dan Massad 2015, 591; Diab, Al-Bourini, dan Abu-Rumman

2015, 151; Green Jr. et al. 2012, 293; Geng, Mansouri, dan Aktas 2017, 249; Lee, Kim,

dan Choi 2012, 1154; Perotti et al. 2012, 646; Zhu, Sarkis, dan Lai 2008, 266

5. Manajemen

Internal

Perusahaan manufaktur

di industri otomotif

(+) Perotti et al. 2012, 647

6. Manajemen

Lingkungan

Internal

Perusahaan manufaktur di

industri makanan; di

berbagai industry

(+) Al Khattab, Abu-Rumman, dan Massad 2015, 590; Diab, Al-Bourini, dan Abu-Rumman

2015, 150; Geng, Mansouri, dan Aktas 2017, 249; Lee, Kim, dan Choi 2012, 1154; Yu et

al. 2014, 685; Zhu, Sarkis, dan Lai 2008, 266; Zhu dan Sarkis 2004, 268;

7. MRP*) Hijau

dengan Konsumen

Perusahaan manufaktur

di industri otomotif

(+) Yu et al. 2014, 685

11

Tabel 1.1 (Lanjutan)

Berbagai Praktik Manajemen Rantai Pasokan Hijau Untuk Mengukur Kinerja Rantai Pasokan

No.

Praktik–Praktik

Rantai Pasokan Hijau

Konteks

Hasil Temuan

Referensi

8. MRP*) Hijau

dengan Pemasok

Perusahaan manufaktur di

industri otomotif

(+) Yu et al. 2014, 685

9. MRP*) Hijau

dengan Eksternal

Perusahaan manufaktur di

berbagai industri

(+) Zhu dan Sarkis 2004, 268

10, Manufaktur Hijau Perusahaan manufaktur

di industri makanan

(+) Muma et al. 2014, 271; Tan et al. 2016, 543-4

11. Outbond Hijau Perusahaan manufaktur di

berbagai industri

(+) Rao dan Holt 2005, 899

12. Pasokan Hijau Perusahaan manufaktur di

berbagai industri

(+) Geng, Mansouri, dan Aktas 2017, 249; Perotti et al. 2012, 646

13. Pemasaran Hijau Perusahaan manufaktur di

industri makanan

(+) Muma et al. 2014, 271

14. Pembelian Hijau Perusahaan manufaktur di

berbagai industri, perusahaan manufaktur di

industri makanan;

industri elektronik

(+);(-)

Al Khattab, Abu-Rumman, dan Massad 2015, 591; Diab, Al-Bourini, dan Abu-Rumman

2015, 151; Eltayeb, Zailani, dan Ramayah 2011, 499; Green Jr. et al. 2012, 292; Hassan et al. 2016, 431; Kahanaali, Khaksar, dan Abbaslu 2015, 5; Laosirihongthong,

Adebanjo, dan Tan 2013, 1091; Lee, Kim, dan Choi 2012, 1154; Muma et al. 2014,

271; Tan et al. 2016, 543-4; Zhu, Sarkis, dan Lai 2008, 266

15. Pemulihan

Investasi

Perusahaan manufaktur di

berbagai industri; di

industri manufaktur

otomotif

(+);(-)

Al Khattab, Abu-Rumman, dan Massad 2015, 591; Choi dan Hwang 2015, 71; Green Jr.

et al. 2012, 292; Muma et al. 2014, 271; Perotti et al. 2012, 647; Tan et al. 2016, 543-4;

Zhu, Sarkis, dan Lai 2008, 266; Zhu dan Sarkis 2004, 268

12

Tabel 1.1 (Lanjutan)

Berbagai Praktik Manajemen Rantai Pasokan Hijau Untuk Mengukur Kinerja Rantai Pasokan

No.

Praktik–Praktik

Rantai Pasokan Hijau

Konteks

Hasil Temuan

Referensi

16.

Pergudangan dan

Bangunan Hijau

Perusahaan manufaktur

di industri makanan

(+) Diab, Al-Bourini, dan Abu-Rumman 2015, 151; Perotti et al. 2012, 646

17. Logistik Balik Perusahaan manufaktur di

berbagai industri; industri

makanan

(+);(-)

Eltayeb, Zailani, dan Ramayah 2011, 499; Hassan et al. 2016, 432; Laosirihongthong,

Adebanjo, dan Tan 2013, 1092; Muma et al. 2014, 271; Perotti et al. 2012, 646; Geng,

Mansouri, dan Aktas 2017, 249; Rao dan Holt 2005, 899

18. Produk terkait Praktik Desain

Ramah

Lingkungan

Perusahaan manufaktur di berbagai industri

(-) Laosirihongthong, Adebanjo, dan Tan 2013, 1092

19. Produksi Hijau Perusahaan manufaktur di

berbagai industri

(+) Rao dan Holt 2005, 899

20, Regulasi dan

Perundang-undangan

Perusahaan manufaktur di

berbagai industri

(+) Laosirihongthong, Adebanjo, dan Tan 2013, 1092

21 Sistem Informasi

Hijau

Perusahaan manufaktur di

berbagai industri

(+) Al Khattab, Abu-Rumman, dan Massad 2015, 591; Green Jr. et al. 2012, 292

22. Strategi Distribusi dan Eksekusi

Transportasi

Perusahaan manufaktur di berbagai industri

(+) Lee, Kim, dan Choi 2012, 1154; Perotti et al. 2012, 646

Keterangan : MRP*) = Manajemen Rantai Pasokan; (+) = berpengaruh positif ; (-) = berpengaruh negatif ; 0 = tidak berpengaruh/sebagian

13

Berdasarkan hasil temuan pada Tabel 1.1, pengaruh praktik

manajemen rantai pasokan hijau terhadap kinerja rantai pasokan

menunjukkan ada satu praktik manajemen rantai pasokan hijau yang

berpengaruh negatif yaitu variabel produk terkait praktik desain ramah

lingkungan (Laosirihongthong, Adebanjo, dan Tan 2013, 1092).

Sementara itu ada lima variabel yang memiliki hasil yang tidak

konsisten diantaranya desain dan kemasan ramah lingkungan, kerjasama

pelanggan, pembelian hijau, pemulihan investasi dan Logistik Balik.

Sisanya enam belas praktik manajemen rantai pasokan hijau berpengaruh

positif terhadap kinerja pasokan (lihat Tabel 1.1).

Mayoritas penelitian menjadikan perusahaan manufaktur skala besar

sebagai sampel penelitian dalam konteks pengaruh praktik-praktik

manajemen rantai pasokan hijau. Kebanyakan penelitian sebelumnya

(Eltayeb, Zailani, dan Ramayah 2011; Green Jr. et al. 2012; Geng,

Mansouri, dan Aktas 2017; Hassan et al. 2016; Laosirihongthong,

Adebanjo, dan Tan 2013; Rao dan Holt 2005; Zhu, Sarkis, dan Lai 2008;

Zhu dan Sarkis 2004) melakukan penelitian pada lintas industri manufaktur

agar dapat melakukan perbandingan hasil dari industri tersebut serta

menggambarkan hasil penelitian yang senyatanya. Lintas industri

manufaktur yaitu terdiri dari industri manufaktur makanan, industri

manufaktur farmasi, industri manufaktur otomotif, dan industri manufaktur

elektronik.

14

Berdasarkan hasil dari pembahasan diatas, praktik–praktik

manajemen rantai pasokan hijau yang sering digunakan untuk menguji

kinerja rantai pasokan maupun kinerja perusahaan adalah 1) desain dan

kemasan ramah lingkungan, 2) distribusi hijau, 3) kerjasama pelanggan, 4)

logistik balik, 5) manajemen lingkungan internal, 6) manufaktur hijau, 7)

pembelian hijau, dan 8) pemulihan investasi.

Dari kedelapan praktik manajemen rantai pasokan hijau tersebut,

peneliti akan mengambil lima praktik manajemen rantai pasokan hijau.

Lima penelitian tersebut dipilih karena hasilnya belum konlusif dan

konsisten (Diab, Al-Bourini, dan Abu-Rumman 2015; Eltayeb, Zailani, dan

Ramayah 2011; Laosirihongthong, Adebanjo, dan Tan 2013; Tan et al.

2016; Zhu, Sarkis, dan Lai 2008; Zhu dan Sarkis 2004).

Kelima praktik manajemen rantai pasokan hijau yaitu desain dan

kemasan ramah lingkungan, kerjasama pelanggan, logistik balik, pembelian

hijau, dan pemulihan investasi. Seperti praktik desain dan kemasan ramah

lingkungan memiliki dua hasil yaitu berpengaruh positif terhadap kinerja

rantai pasokan (Eltayeb, Zailani, dan Ramayah 2011; Green Jr. et al. 2012;

Laosirihongthong, Adebanjo, dan Tan 2013; Zhu dan Sarkis 2004) dan

berpengaruh negatif terhadap kinerja rantai pasokan (Diab, Al-Bourini, dan

Abu-Rumman 2015).

Kerjasama dengan pelanggan juga memiliki hasil yang belum

konklusif dan konsisten, hasilnya yaitu berpengaruh positif terhadap kinerja

15

rantai pasokan (Al Khattab, Abu-Rumman, dan Massad 2015; Diab, Al-

Bourini, dan Abu-Rumman 2015; Geng, Mansouri, dan Aktas 2017; Zhu,

Sarkis, dan Lai 2008) dan berpengaruh negatif terhadap kinerja rantai

pasokan (Green Jr. et al. 2012)

Hasil penelitian sebelumnya terkait praktik pembelian hijau juga

belum menunjukkan kesimpulan yang tepat dan konsisten. Hasil tersebut

yaitu pembelian hijau berpengaruh negatif terhadap kinerja rantai pasokan

(Eltayeb, Zailani, dan Ramayah 2011; Laosirihongthong, Adebanjo, dan

Tan 2013) dan pembelian hijau berpengaruh positif terhadap kinerja rantai

pasokan (Al Khattab, Abu-Rumman, dan Massad 2015; Diab, Al-Bourini,

dan Abu-Rumman 2015; Kahanaali, Khaksar, dan Abbaslu 2015; Muma et

al. 2014; Tan et al. 2016; Zhu, Sarkis, dan Lai 2008).

Pemulihan investasi dan logistik balik juga belum menunjukkan

hasil yang koheren. Praktik pemulihan investasi memiliki hasil berpengaruh

positif terhadap kinerja rantai pasokan (Al Khattab, Abu-Rumman, dan

Massad 2015; Choi dan Hwang 2015; Green Jr. et al. 2012, 292; Muma et

al. 2014; Zhu, Sarkis, dan Lai 2008; Zhu dan Sarkis 2004), serta

berpengaruh negatif terhadap kinerja rantai pasokan (Tan et al. 2016).

Logistik balik memiliki hasil yang belum koheren, hasil tersebut

yaitu berpengaruh positif terhadap kinerja rantai pasokan (Eltayeb, Zailani,

dan Ramayah 2011; Muma et al. 2014) dan berpengaruh negatif terhadap

kinerja rantai pasokan (Laosirihongthong, Adebanjo, dan Tan 2013).

16

Pengimplementasian manajemen rantai pasokan hijau menjadi

sangat penting untuk dilakukan oleh perusahaan – perusahaan khususnya di

negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini dikarenakan negara

berkembang mengalami pertumbuhan industri yang pesat (Zhu, Sarkis dan

Geng 2005, 450). Sektor usaha kecil, dan menengah merupakan salah satu

sektor usaha yang mengalami pertumbuhan pesat dan memiliki peran

penting dalam mendorong perekonomian Indonesia (Kemenkeu 2015).

Kontribusi sektor UKM terhadap produk domestik bruto pada tahun 2011-

2015 meningkat dari 57,84% menjadi 60,34% dan serapan tenaga kerja pada

sektor tersebut juga meningkat dari 96,99% menjadi 97,22% (Kemenperin

2016). Pertumbuhan yang pesat tersebut mengakibatkan terciptanya krisis

kesehatan masyarakat dan lingkungan (Peng dan Lin 2008, 199).

Salah satu industri yang masih mengalami pertumbuhan dengan

pesat adalah industri makanan (Saeno 2016). Industri makanan secara

nasional mengalami pertumbuhan positif mencapai 9,82 persen pada tahun

2016, kontribusi industri tersebut terhadap produk domestik bruto mencapai

33,6 persen (Kemenperin 2016). Pertumbuhan positif tersebut berdampak

baik bagi perekonomian, namun tidak berdampak baik bagi lingkungan

(Peng dan Lin 2008, 199).

Di beberapa kota, mayoritas limbah dihasilkan dari industri

makanan. Sebagai contoh, DKI Jakarta mampu menghasilkan empat ribu

ton sampah makanan setiap harinya dan sampah tersebut berkontribusi

sebesar 55% dari keseluruhan limbah (Kresna 2017), sedangkan Kota

17

Bandung menghasilkan 1500 ton hingga 1600 ton sampah setiap harinya

(Saokani 2016). Diperlukan sebuah solusi untuk dapat menanggulangi

dampak buruk lingkungan serta dapat meningkatkan keunggulan kompetitif

bagi perusahaan. Manajemen rantai pasokan hijau dapat menjadi solusi

untuk menciptakan keunggulan kompetitif dan menyeimbangkan

lingkungan (Green et al. 2012, 187).

Salah satu kota yang menjadikan UKM makanan atau kuliner

sebagai industri unggulannya yaitu Kota Bandung (Kurniawan 2016).

Kontribusi dari industri pengolahan makanan terhadap produk domestik

bruto sebesar Rp43 Triliun (BPS 2016). Kemampuan Kota Bandung dalam

mengembangkan sektor tersebut membuahkan penghargaan sebagai kota

dengan perkembangan UKM terbaik se-Indonesia (Ramdhani 2016) dan

dinobatkan sebagai kota percontohan ekonomi kreatif (Nuryani 2016).

Sejalan dengan hal tersebut, pertumbuhan pesat UKM makanan di

Kota Bandung juga mengakibatkan dampak buruk bagi lingkungannya.

Produksi sampah di Kota Bandung tumbuh sebesar 1500 hingga 1600 ton

setiap harinya, dan mayoritas dihasilkan dari sampah makanan (Saokani

2016). Untuk menangani dampak buruk dari pertumbuhan industri tersebut,

Pemerintah Kota Bandung melakukan reformasi birokrasi, tata ruang kota

dan peraturan dengan cara bergabung dengan organisasi hijau internasional.

Pada tahun 2015 Kota Bandung terpilih mewakili Indonesia bergabung

dalam jaringan organisasi kota hijau internasional di bawah Organization

for Economic Cooperation and Development (OECD) (Tiah 2015).

18

Dengan bergabungnya Kota Bandung dalam organisasi kota hijau

internasional tersebut, Kota Bandung akan dibantu oleh negara-negara yang

tergabung dalam OECD untuk menyelesaikan permasalahan yang

menghambat Kota Bandung dalam mewujudkan kota hijau (Luthfiana

2015). Salah satu hasil dari kerjasama tersebut adalah kebijakan penegakan

aturan perkotaan hijau. Aturan yang akhir ini baru ditegakkan di Kota

Bandung adalah pelarangan penggunaan sterofoam bagi produsen dan

masyarakat. Berdasarkan Peraturan Daerah K3 (Kebersihan, Ketertiban dan

Keindahan) serta Undang-Undang No 32 Tahun 2009 Tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan, mulai 1 November 2016

produsen tidak diperkenankan menggunakan sterofoam, apabila ditemukan

masih menggunakan sterofoam izin usahanya akan dicabut (Nurmatari

2016).

Penerapan kebijakan pertumbuhan perkotaaan hijau akan mampu

mendorong perekonomian serta mengurangi dampak negatif lingkungan

eksternal seperti polusi udara atau emisi karbon dioksida atau konsumsi dari

sumber daya alam dan aset lingkungan, termasuk air, energi dan lahan yang

belum dikembangkan (OECD 2016). Oleh karena itu, penerapan

manajemen rantai pasokan hijau mungkin dapat menjadi salah satu solusi

untuk membantu Kota Bandung menjadi Kota Hijau melalui salah satu

industri unggulannya yaitu UKM industri makanan.

Berdasarkan pemaparan di atas, pengimplementasian manajemen

rantai pasokan hijau menjadi sangat penting untuk dilakukan oleh

19

perusahaan khususnya di negara berkembang yang pertumbuhan

industrinya pesat seperti Indonesia. Pertumbuhan kontribusi sektor UKM

tiap tahun tumbuh sekitar empat persen terhadap produk domestik bruto

(Kemenperin 2016). Kemudian, salah satu industri yang mengalami

pertumbuhan pesat yaitu industri makanan yang mengalami pertumbuhan

sekitar sembilan persen pertahunnya (Kemenperin 2016). Pertumbuhan

pesat tersebut berbahaya dan berpotensi merusak lingkungan apabila tidak

ditanggulangi secara tepat (Peng dan Lin 2008, 199). Maka dari itu

manajemen rantai pasokan hijau menjadi penting untuk diterapkan agar

dapat menciptakan keunggulan kompetitif dan melestarikan lingkungan

(Green et al. 2012, 187).

Kota Bandung menjadi kota yang mewakili Indonesia yang

tergabung dalam organisasi hijau internasional. Kota tersebut menjadi

pionir dalam mereformasi birokrasi dan penegakan peraturan untuk

mewujudkan kota yang ramah lingkungan. Selain itu UKM makanan di

Kota Bandung juga menjadi industri ungulan dan mengalami pertumbuhan

yang pesat, namun ironinya industri tersebut juga menjadi penyumbang

sampah terbesar di Kota Bandung. Maka dari itu menjadi relevan untuk

melakukan penelitian terkait pengaruh praktik–praktik manajemen rantai

pasokan hijau terhadap kinerja rantai pasokan pada industri makanan di

Bandung. Praktik – praktik manajemen rantai pasokan hijau yang digunakan

dalam penelitian ini yaitu, 1) desain dan kemasan ramah lingkungan, 2)

20

kerjasama pelanggan, 3) logistik balik 4) pembelian hijau, dan 5) pemulihan

investasi.

1.2. Rumusan Masalah

Dari pemaparan penelitian–penilitian yang telah banyak dilakukan

sebelumnya terkait pengaruh praktik manajemen rantai pasokan hijau

terhadap kinerja rantai pasokan yang terangkum kedalam Tabel 1.1, serta

pemaparan latar belakang, maka ada beberapa rumusan masalah yang dapat

menjadi pembahasan. Meskipun praktik–praktik manajemen rantai pasokan

hijau sering digunakan dalam penelitian terkait kinerja rantai pasokan,

namun hasil yang diperoleh masih belum konklusif (Diab, Al-Bourini, dan

Abu-Rumma 2015; Eltayeb, Zailani, dan Ramayah 2011; Laosirihongthong,

Adebanjo, dan Tan 2013; Tan et al. 2016; Zhu, Sarkis, dan Lai 2008; Zhu

dan Sarkis 2004). Praktik–praktik manajemen rantai pasokan hijau tersebut

terdiri dari: 1) desain dan kemasan ramah lingkungan, 2) kerjasama

pelanggan, 3) pembelian hijau, 4) pemulihan investasi, dan 5) Logistik

Balik.

Kelima praktik manajemen rantai pasokan hijau tersebut merupakan

praktik yang paling sering digunakan oleh para peneliti sebelumnya (Al

Khattab, Abu-Rumman, dan Massad 2015; Choi dan Hwang 2015; Diab,

Al-Bourini, dan Abu-Rumman 2015; Eltayeb, Zailani, dan Ramayah 2011;

Geng, Mansouri, dan Aktas 2017; Green Jr. et al. 2012; Hassan et al. 2016;

Laosirihongthong, Adebanjo, dan Tan 2013; Lee, Kim, dan Choi 2012;

Perotti et al. 2012; Zhu, Sarkis, dan Lai 2008; Zhu dan Sarkis 2004) dalam

21

meneliti praktik manajemen rantai pasokan hijau terhadap kinerja rantai

pasokan, akan tetapi hasil penelitian sebelumnya kelima praktik manajemen

rantai pasokan hijau tersebut sering berubah. Hal tersebut menjadi menarik

untuk diteliti kembali untuk melihat bagaimana pengaruhnya terhadap

kinerja rantai pasokan.

Dalam penelitian sebelumnya terkait praktik manajemen rantai

pasokan hijau, penelitian lebih banyak dilakukan pada perusahaan

manufaktur lintas industri (seperti Al Khattab, Abu-Rumman, dan Massad

2015; Geng, Mansouri, dan Aktas 2017; Hassan et al. 2016; Green Jr. et al.

2012; Laosirihongthong, Adebanjo, dan Tan 2013; Rao dan Holt 2005)

kemudian beberapa penelitian dilakukan pada beberapa perusahaan

manufaktur otomotif (seperti Perotti et al. 2012; Yu et al. 2014), beberapa

perusahaan manufaktur elektronik (seperti Kahanaali, Khaksar, dan

Abbaslu 2015; dan Laosirihongthong, Adebanjo, dan Tan 2013), dan

manufaktur makanan (Diab, Al-Bourini, dan Abu-Rumman 2015; dan

Muma et al. 2014) namun hasil penelitian di ketiga industri tersebut juga

belum konklusif.

Penelitian–penelitian sebelumnya mengenai pengaruh praktik-

praktik manajemen rantai pasokan hijau terhadap kinerja rantai pasokan

mayoritas dilakukan di negara berkembang seperti Tiongkok (Geng,

Mansouri, dan Aktas 2017; Yu et al. 2014; Zhu, Sarkis, dan Lai 2008; Zhu

dan Sarkis 2004), Malaysia (Eltayeb, Zailani, dan Ramayah 2011; Choi dan

Hwang 2015; Hassan et al. 2016), Yordania (Al Khattab, Abu-Rumman,

22

dan Massad 2015; Diab, Al-Bourini, dan Abu-Rumman 2015), Thailand

(Laosirihongthong, Adebanjo, dan Tan 2013), Irak (Kahanaali, Khaksar,

dan Abbaslu 2015), Kenya (Muma et al. 2014), Italia (Perotti et al. 2012), dan

hanya satu penelitian dilakukan di negara maju seperti Amerika (Green Jr.

et al. 2012).

Hal ini menjadi menarik untuk diteliti kembali di negara

berkembang, khususnya di Indonesia. Negara berkembang memiliki

kesamaan karakteristik yaitu industrinya masih terus berkembang, namun

perkembangan tersebut akan merusak lingkungan apabila tidak dikelola

dengan baik (Peng dan Lin 2008, 199). Negara berkembang juga semakin

sadar akan kelestarian lingkungan, maka dari itu perlu mengadopsi

manajemen rantai pasokan hijau agar terciptanya keunggulan kompetitif

dan kelestarian lingkungan (Green et al. 2012, 187).

1.3. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian yang dijawab adalah:

1. Apakah desain dan kemasan ramah lingkungan berpengaruh

terhadap kinerja rantai pasokan?

2. Apakah kerjasama pelanggan berpengaruh terhadap kinerja

rantai pasokan?

3. Apakah logistik balik berpengaruh terhadap kinerja rantai

pasokan?

4. Apakah pembelian hijau berpengaruh terhadap kinerja rantai

pasokan?

23

5. Apakah pemulihan investasi berpengaruh terhadap kinerja

rantai pasokan?

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini antaralain :

1. Untuk menguji pengaruh desain dan kemasan ramah lingkungan

terhadap kinerja rantai pasokan pada industri manufaktur

makanan di Kota Bandung.

2. Untuk menguji kerjasama pelanggan terhadap kinerja rantai

pasokan pada industri manufaktur makanan di Kota Bandung.

3. Untuk menguji logistik balik hijau terhadap kinerja rantai

pasokan pada industri manufaktur makanan di Kota Bandung.

4. Untuk menguji pembelian hijau terhadap kinerja rantai pasokan

pada industri manufaktur makanan di Kota Bandung.

5. Untuk menguji pemulihan investasi terhadap kinerja rantai

pasokan pada industri manufaktur makanan di Kota Bandung.

1.5. Batasan Penelitian

Berdasarkan pemaparan masalah di atas dan untuk mempermudah

dalam pemecahan masalah, peneliti membatasi masalah yang diteliti

sebagai berikut,

1. Variabel-variabel yang digunakan pada penelitian ini adalah

desain dan kemasan ramah lingkungan, kerjasama pelanggan,

logistik balik, pembelian hijau, dan pemulihan investasi,

24

dikarenakan variabel tersebut sering digunakan dalam penelitian

sebelumnya (lihat Tabel 1.1)

2. Penelitian ini dilakukan pada UKM manufaktur makanan di

Kota Bandung. Kota Bandung dipilih karena kota tersebut

menjadi pionir dalam melakukan reformasi birokrasi, tata

ruang dan penegakan peraturan untuk mengadopsi konsep

ramah lingkungan dengan menjadi perwakilan dari Indonesia

untuk bergabung dalam organisasi kota hijau internasional,

OECD. Selain itu, UKM makanan di kota tersebut selain

menjadi industri unggulan juga menjadi industri yang paling

banyak menghasilkan limbah.

3. Responden yang dipilih merupakan UKM manufaktur

makanan yang diwakili oleh pemilik atau pengelola serta

manajer operasi dan/atau rantai pasokan. Menurut peneliti,

responden tersebut dapat mewakili UKM manufaktur makanan

dan memiliki pengetahuan yang cukup mengenai rantai

pasokan perusahaan sehingga dapat mengisi kuisioner dengan

baik dan akurat.

1.6. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat yakni,

1. Bagi Perusahaan

Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan alternatif dan

masukan dalam menghasilkan keunggulan kompetitif dan

25

mampu memenuhi tuntutan lingkungan dengan cara

mengimplementasikan desain dan kemasan ramah lingkungan,

kerjasama pelanggan, logistik balik, pembelian hijau, dan

pemulihan investasi dalam rantai pasokan hijau yang baik bagi

manajemen rantai pasokan hijau perusahaan, terutama industri

manufaktur makanan.

2. Bagi Akademisi

Penelitian ini bermanfaat untuk menambah pemahaman dan

wawasan bagi akademisi mengenai pengaruh praktik-praktik

manajemen rantai pasokan hijau terhadap kinerja rantai

pasokan.

1.7. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini terbagi dalam lima bab

yang terdiri dari pendahuluan, tinjauan literatur dan pengembangan

hipotesis, metode penelitian, pembahasan, dan kesimpulan. Bahasan

dalam Bab I mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah,

pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, batasan penelitian, manfaat

penelitian dan sistematika penulisan. Selanjutnya, Bab II menjelaskan

tentang teori dan konsep yang berhubungan dengan penelitian terkait

masalah desain dan kemasan ramah lingkungan, kerjasama pelanggan,

logistik balik, pembelian hijau, dan pemulihan investasi dalam rantai

pasokan hijau terhadap kinerja rantai pasokan. Hipotesa penelitian juga

dijabarkan dalam Bab II.

26

Bab III menjabarkan tentang metode penelitian yang digunakan

dalam penelitian ini yang meliputi desain penelitian, sumber data

penelitian, metode pengambilan data, populasi dan sampel, definisi

operasional, pengujian instrumen, dan metode analisis data. Selanjutnya,

pada Bab IV berisi tentang pemaparan hasil analisis data yang telah

dilakukan. Data yang dianalisis merupakan data yang telah memenuhi

syarat. Bab V menjelaskan kesimpulan yang didapat selama proses

penelitian dan saran yang ditujukan kepada obyek penelitian mengenai

kinerja rantai pasokan.