bab i pendahuluan -...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Foucault (1990) keberadaan suatu kelompok masyarakat dapat
ditentukan oleh wacana sosial di luar kendali kelompok yang menjadi obyek dari
wacana tersebut. Hal ini dimungkinkan untuk reproduksi kekuasaan bagi
kelompok yang mendapat keuntungan dari wacana sosial yang beroperasi dalam
kurun waktu yang sangat lama hingga terkesan menjadi pengetahuan umum.
Lebih lanjut Foucault menjelaskan bahwa mereka ada karena dihadirkan oleh
“kita” sebagai akibat discursive process yang melibatkan banyak agen, seperti
negara, LSM, media massa, bacaan, dan ilmu pengetahuan (dalam Abdullah 2001,
h.3). Ini artinya semua kelompok masyarakat telah berperan serta melanggengkan
wacana sosial tertentu.
Salah satu bahan yang dapat menjadi wacana sosial adalah tampilan
bentuk tubuh seseorang. Tubuh mampu dijadikan obyek manipulasi untuk
mereproduksi kekuasaan. Seperti yang diungkapkan oleh Foucault, tubuh
merupakan tempat paling esensial untuk mengamati penyebaran dan
beroperasinya relasi-relasi kekuasaan dalam masyarakat (Suyono 2002;
Demartoto 2005, h. 14). Tubuh tidak hanya sekedar anatomi sel-sel melainkan
terkait dengan perkembangan teknik-teknik rekayasa tertentu yang tak lepas dari
kekuasaan politik.
Ini berkaitan dengan proses identifikasi seseorang dengan orang-orang di
sekitarnya melalui tampilan bentuk tubuhnya. Orang akan cenderung
mengelompok berdasarkan persamaan kategori fisik-biologis tertentu. Hal inilah
yang akan membentuk identitas diri, dimana ketika kita mengidentifikasi diri
(selfness) secara bersamaan juga akan mengidentifikasi orang lain (the other).
Proses pengidentifikasian diri ini merupakan sesuatu hal yang akan memberikan
kejelasan posisi dan perannya di lingkungan masyarakat dan dalam relasinya
dengan orang lain. Orang yang mempunyai fisik sempurna dan kuat cenderung
akan mengambil peran yang lebih dalam kehidupan bermasyarakat. Ini berkaitan
2
dengan adanya kesadaran bahwa dirinya lebih mempunyai pengetahuan dan
kemampuan dibanding orang yang mempunyai kelemahan secara fisik.
Kelompok perempuan dan difabel (penyandang disabilitas) merupakan
sebagian dari kelompok masyarakat yang telah dikondisikan oleh wacana sosial
mengenai tampilan bentuk tubuhnya. Wacana yang dibangun cenderung
memunculkan ketimpangan dan cenderung meminggirkan keberadaan mereka.
Kondisi demikian dimanfaatkan kelompok tertentu untuk melanggengkan
kekuasaannya dengan menunjukkan siapa yang berhak mendefinikan.
Difabel (people with different ability) merupakan istilah yang
diperkenalkan pada tahun 1999 oleh para aktivis untuk menyebut penyandang
cacat, yaitu orang-orang yang menjalankan aktivitas hidup dengan kondisi fisik
dan atau mental yang berbeda dengan orang kebanyakan. Kondisi ini bisa
merupakan bawaan sejak lahir ataupun muncul saat dewasa, seperti akibat dari
penyakit, malnutrisi, kecelakaan, penganiayaan, atau sebab-sebab lain sehingga
menyebabkan cacat fisik dan atau mental. Istilah difabel dianggap sebagai langkah
mengubah persepsi masyarakat yang cenderung memiliki persepsi menyudutkan
kaum difabel, yang dimana menekankan artinya dengan orang yang mempunyai
kemampuan berbeda. Namun pada tahun 2010, oleh pemerintah Indonesia
penyebutan difabel diubah menjadi penyandang disabilitas. Berkaitan dengan
penelitian ini, saya akan menggunakan istilah penyandang disabilitas dalam
penyebutannya.
Keberadaan penyandang disabilitas selama ini diidentifikasi melalui
pemahaman oposisi biner antara normal dan cacat. Oleh orang ‘normal’—dalam
arti mempunyai fisik sempurna, memandang orang yang tidak memiliki salah satu
anggota tubuh ataupun mental yang berbeda dengan orang-orang kebanyakan
dikategorisasikan sebagai orang cacat. Artinya bahwa kecacatan merupakan
sebuah konstruksi sosial yang berasal dari persepsi orang-orang yang merasa
dirinya normal. Ada hegemoni paham normalisme yang bekerja dalam masyarakat,
sehingga penyandang disabilitas menerima minoritisasi dari kaum yang secara
fisik-biologis sempurna.
3
Pembagian masyarakat berdasarkan fisik-biologis telah ada pada zaman
kolonial. Pemerintah Belanda pada waktu itu membedakan antara manusia normal
dan tidak normal dengan membangun klinik-klinik yang menampung para
penyandang disabilitas (Syaddad 2012). Menurut data WHO (World Health
Organization) penyandang disabilitas di Indonesia pada tahun 2007 mencapai
10% dari total jumlah penduduk Indonesia. Itu berarti sekitar 20 juta lebih orang.
Hal ini meningkat dari data sebelumnya yang dirilis Duta Besar (Dubes) Amerika
Serikat (AS) tahun 1998 yang didasarkan pada data Departemen Sosial (Depsos),
terdapat enam juta orang atau sekitar 3% penyandang disabilitas dari 200 juta
penduduk Indonesia. Sedangkan menurut asumsi data dari PBB, terdapat sekitar
10 % penyandang disabilitas. Terlebih lagi berbagai bencana yang terjadi di
Indonesia seperti tsunami Aceh tahun 2005 dan gempa di Yogyakarta tahun 2006
membuat jumlah penyandang disabilitas bertambah banyak (Difabel News 2010,
h. 5).
Sedangkan, perempuan hadir sebagai kelompok yang dirugikan karena
perbedaan gender (gender differences). Gender merupakan suatu sifat yang
melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial
(Fakih 1996, h. 8). Konstruksi sosial terhadap perempuan dapat dilihat dari segi
pengelolaan tubuh. Pada dasarnya tubuh perempuan dieksploitasi sedemikian rupa
untuk memperkuat posisi laki-laki terhadap perempuan.
Abdullah (2001, h. 66) menjelaskan mengenai pemanfaatan tubuh
perempuan yang dapat dilihat dari dua bidang. Pertama, tubuh perempuan
digunakan untuk pembentukan masyarakat konsumen. Perempuan selalu
dibicarakan mengenai kemolekan tubuhnya dan diwacanakan sebagai makhluk
yang cantik, menarik, dan menggairahkan. Menejemen tubuh perempuan ini telah
menjadi bisnis, karena digunakan sebagai alat untuk membangkitkan gairah
konsumen terhadap suatu produk melalui iklan-iklan yang menonjolkan bagian
tubuh perempuan. Seperti pendapat Fine dan Leopold (1993) iklan hanya terus
menerus menggambarkan perempuan sebagai obyek seks kaum laki-laki. Namun,
di sisi lain perempuan menjadi obyek pasar utama di masa kapitalisme ini.
Wacana untuk selalu tampil cantik dan awet muda membuat mereka menjadi
4
konsumen terbesar produk-produk yang mampu meningkatkan prestise mereka,
seperti produk-produk kecantikan dan perawatan tubuh.
Kedua, dilihat dari segi kesehatan. Kapasitas tubuh perempuan untuk
melahirkan, menyusui, dan menstruasi dianggap laki-laki sebagai ciri-ciri
kelemahan perempuan. Ini yang dijadikan alasan bagi laki-laki untuk menghalangi
keterlibatan perempuan dalam urusan publik. Perempuan dianggap hanya berhak
mengurusi urusan domestik rumah tangga. Seolah-olah perempuan hanya
memiliki kemampuan di bidang reproduksi dan hanya sebagai obyek seks bagi
laki-laki. Tindakan kekerasan seperti pemukulan dan pemerkosaan menjadi bukti
bahwa tubuh perempuan telah menjadi arena untuk menguatkan dominasi laki-
laki.
Melihat keberadaan penyandang disabilitas dan perempuan yang dibangun
atas wacana sosial yang berkembang, menarik untuk dilihat lebih lanjut
bagaimana dengan kaum perempuan yang sekaligus penyandang disabilitas?
Anggapan ketidakmampuan penyandang disabilitas dalam melakukan pekerjaan
orang-orang normal dan sekaligus ia sebagai perempuan membuat perempuan
penyandang disabilitas mendapatkan perlakuan diskriminatif yang lebih besar
dibanding laki-laki penyandang disabilitas baik di keluarga, masyarakat maupun
negara.
Eksistensi perempuan penyandang disabilitas sepertinya dijadikan arena
memperkuat posisi kekuasaan bagi pihak tertentu. Hal ini terkait dengan
stereotype yang berkembang dalam masyarakat yaitu diantaranya, (1) mereka
tidak berdaya dan harus tergantung pada orang lain, (2) tidak bisa
mengembangkan diri karena keterbatasan fisik/mental, (3) tidak mampu untuk
beraktivitas seperti pada orang normal, (4) jika sudah berkeluarga, dinilai akan
melahirkan keturunan yang penyandang disabilitas juga, (5) dinilai bukan orang
yang produktif sehingga tersingkirkan dalam urusan publik.
Kerentanan perempuan penyandang disabilitas tersebut dipelihara oleh
lingkungan dan justru dimanfaatkan pihak-pihak tertentu. Ini terbukti dengan
banyaknya kasus kekerasan pada perempuan penyandang disabilitas, seperti
pelecehan seksual, pemerkosaan, penipuan, dan pemukulan. Perlakuan kasar
5
tersebut yang menurut Abdullah (2001) telah menjadi ekspresi simbolik hubungan
kuasa. Dengan menunjukkan siapa yang menindas, maka ia lah yang berkuasa.
Seperti pendapat Carole Sheffield, dimana ada ketakutan maka di sana ada
kekuasaan yang sedang berlangsung.
Beberapa hal mengenai perlakuan yang tidak menyenangkan terhadap
perempuan penyandang disabilitas tersebut, mengindikasikan bahwa mereka
belum sepenuhnya mampu menyentuh ruang-ruang publik untuk menunjukkan
keberadaan mereka. Penyandang disabilitas tidak dipahami sebagai orang yang
mempunyai perbedaan kemampuan, tetapi orang yang tidak berdaya. Akibatnya,
mereka diperlakukan diskriminatif. Diskriminasi bahkan dilakukan oleh anggota
keluarga penyandang disabilitas. Diantaranya dengan mengisolasi anak
penyandang disabilitas dalam rumah, membatasi relasi sosial anak dengan dunia
luar, dan semakin membuatnya tampak tidak berdaya. Bahkan kasus-kasus di
Indonesia seringkali mereka dipasung hingga bertahun-tahun karena dianggap aib
bagi keluarga. Hal ini menyebabkan turunnya kepercayaan diri mereka untuk
hidup bermasyarakat. Bahkan penerimaan dari pihak keluarga pun belum
sepenuhnya didapat.
Hal tersebut menunjukkan bahwa selama ini mereka masih diangggap
sebagai ‘an existence which should not exist’, eksistensi yang seharusnya tidak
ada (Indosuara team 2012). Tanpa disadari, mereka diposisikan sebagai
masyarakat kelas dua. Berbagai permasalahan yang hadir pada perempuan
penyandang disabilitas memunculkan reaksi gerakan sosial yang melakukan
advokasi terhadap hak perempuan penyandang disabilitas agar keberadaan mereka
dapat diterima dalam keluarga, masyarakat, dan negara. Salah satu agen gerakan
sosial adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
LSM merupakan kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat yang mampu
membangun transformasi sosial. Sebagai agen gerakan sosial, LSM hadir untuk
mewujudkan keswadayaan dan kemandirian masyarakat yang terbelenggu oleh
struktur yang melemahkan. Hal ini terkait perannya sebagai penghubung dan
sekaligus penengah bagi sektor-sektor publik yang mengalami perlakuan marginal.
LSM memandang kelompok perempuan penyandang disabilitas perlu merebut hak
6
dan kesempatan yang sesuai dengan kebutuhan dan mengharapkan perlakuan
yang merugikan tidak pernah terjadi kembali.
Untuk itu, penelitian ini menjadi penting untuk mengetahui bagaimana
LSM yang concern mengenai perempuan penyandang disabilitas melakukan
advokasi agar keberadaan mereka diakui dalam kehidupan bermasyarakat. Studi
ini akan fokus pada LSM Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak
(SAPDA) yang ada di Yogyakarta.
SAPDA mempunyai tujuan untuk mewujudkan inklusivitas dalam aspek
kehidupan sosial yang menjadi hak penyandang disabilitas di bidang pendidikan,
kesehatan, pekerjaan, politik, hukum atas dasar persamaan hak asasi manusia.
Mereka bertujuan untuk membangun masyarakat inklusif terhadap penyandang
disabilitas. Masyarakat inklusif yang dimaksud adalah sebuah masyarakat yang
menjunjung keadilan, kesetaraan serta kesamaan hak bagi penyandang disabilitas,
sehingga masyarakat penyandang disabilitas dapat berpartisipasi penuh secara
inklusif dalam kehidupan sosial mereka.
Seperti yang dirilis dalam situs resmi mereka yaitu www.sapdajogja.org,
aktivitas yang dilakukan SAPDA diantaranya, pertama, melakukan kajian
keilmuan dan penelitian ilmiah. Mereka seringkali melakukan diskusi-diskusi dan
kajian keilmuan dengan para akademisi, aktivis, maupun stakeholder yang terkait.
Melalui kajian-kajian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman atas
eksistensi penyandang disabilitas di tengah kehidupan bermasyarakat. Hasil kajian
mereka diinformasikan kepada pembaca melalui buletin, yaitu Buletin Sapda
Jogja yang disebarkan secara periodik.
Kedua, memperjuangkan agar kebijakan publik yang ada mampu
menjamin pemenuhan hak-hak dasar penyandang disabilitas. Ini dilakukan dengan
membuka dialog dengan pemangku kebijakan seperti pemerintah dan anggota
DPRD. Selama ini, kebijakan publik yang ada kurang memperhatikan kebutuhan
penyandang disabilitas karena pada dasarnya mereka tidak disertakan dalam
pengambilan kebijakan yang terkait dengan mereka. Untuk itu, menjalin
kerjasama dengan stakeholder menjadi hal yang harus dilakukan untuk
menunjukkan pentingnya perhatian terhadap mereka. Ketiga, melakukan
7
pemberdayaan dalam tubuh penyandang disabilitas sendiri. Hal ini penting
kiranya agar mampu meningkatkan motivasi dan kepercayaan diri mereka di
tengah orang-orang normal.
Kajian mengenai gerakan eksistensi perempuan penyandang disabilitas ini
menjadi penting, karena peneliti menganggap masih adanya empati yang dangkal,
pengabaian dari masyarakat, ataupun tidak adanya perhatian khusus dari
pemerintah dan masyarakat terhadap mereka. Hal ini dilihat dari masih banyaknya
perlakuan diskriminatif terhadap perempuan penyandang disabilitas. Selain itu,
kajian ini akan mengungkap bagaimana proses wacana sosial itu bekerja hingga
mengakibatkan peminggiran mereka, terutama dalam urusan publik. Untuk itu,
yang diperlukan adalah proses menggugah kesadaran masyarakat terhadap mereka.
Keberadaan mereka di tengah kehidupan bermasyarakat tidak hanya perlu diakui
tetapi juga dipahami dengan cara yang berbeda. Konstruksi sosial yang
membelenggu psikologis masyarakat perlu dibongkar, sehingga terjadi
penerimaan dari pemerintah maupun masyarakat. Mengenalinya melalui
pemahaman bahwa mereka berkemampuan berbeda (different ability) bukan tidak
berkemampuan (disabled), serta tidak menjadikannya sebagai kelompok manusia
terpinggirkan, dan yang perlu dikasihani. Oleh karena itu, penting juga untuk
mengetahui upaya-upaya SAPDA selama ini untuk mendapatkan keadilan tersebut.
Dalam upaya penyadaran masyarakat akan keberadaan perempuan
penyandang disabilitas, dapat dikatakan ini merupakan suatu gerakan sosial baru
(new social movement). Dimana adanya upaya pertahanan kelompok yang
dirugikan untuk melawan ekspansi negara maupun kekuatan-kekuatan penekan
dari pihak luar. Menurut Cohen dan Arato (1994) gerakan ini melibatkan norma-
norma baru dan identitas kolektif. Di sini kelompok penyandang disabilitas
membawa isu identitas-identitas sosial mereka untuk mendobrak hegemoni kaum
dominan.
Penelitian ini nantinya akan menggunakan metode studi kasus, yang
dimana hanya fokus pada LSM SAPDA di Yogyakarta. Ini akan melihat
bagaimana wacana pembentukan perbedaan fisik mampu mendiskriminasikan
suatu kelompok, yang di sini adalah kaum perempuan penyandang disabilitas di
8
Daerah Istimewa Yogyakarta. Lantas, bagaimana upaya suatu kelompok yang
disisihkan dalam masyarakat ini melakukan strategi eksistensinya.
Dalam penelitian ini, peneliti melihat kaum perempuan penyandang
disabilitas sebagai kelompok yang perlu diberi kesempatan untuk mendapatkan
kesempatan yang sama dalam mengakses ruang-ruang publik, karena adanya
dominasi orang-orang normal dan kuat yang lebih mampu mengatur dan
menentukan pendisiplinan aturan yang berkembang di masyarakat. Orang-orang
yang menganggap dirinya normal perlu memahami bahwa penyandang disabilitas
mempunyai kemampuan yang berbeda, oleh karena itu mereka mempunyai cara
sendiri untuk memproduksi sesuatu. Melalui ini diharapkan nantinya akan
menguak relasi kuasa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang dimana
proses inklusivitas dan eksklusivitas bisa terus menerus terjadi tanpa disadari oleh
banyak orang.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan diajukan dalam penelitian ini, adalah:
“Bagaimana strategi SAPDA dalam memperjuangkan eksistensi kaum perempuan
penyandang disabilitas di Daerah Istimewa Yogyakarta?”
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini, adalah:
- Untuk mengetahui bagaimana bentuk tubuh dapat mereproduksi
kekuasaan
- Untuk mengetahui bagaimana SAPDA melakukan strategi eksistensi untuk
perempuan penyandang disabilitas
- Untuk mengetahui gerakan SAPDA sebagai gerakan new sosial movement
D. Kerangka Teori D.1. Biopolitik: Reproduksi Kekuasaan Melalui Tubuh
Seseorang akan mengidentifikasi diri dengan orang lain atas dasar
kesamaan karakteristik tertentu. Dalam interaksinya antar manusia, sebagai
9
individu maupun kelompok akan senantiasa dilekatkan berbagai latar belakang,
bisa berdasarkan pada etnis, agama, ras, tradisi, gender, sosial budaya, dan
sebagainya. Perbedaan berbagai latar belakang ini yang membentuk identitas.
Menurut Lan (2000) identitas diperlukan seseorang untuk memberikan sense of
belonging dan eksistensi sosial (dalam Susetyo 2002). Identitas berbicara
mengenai persamaan dengan sejumlah orang dan tentang apa yang
membedakannya dengan yang lainnya. Ketika individu mengidentifikasi diri
mengenai kesamaan dengan yang lain atau menjadi bagian identitas kolektif
tertentu, pada saat yang sama juga mengidentifikasi perbedaan dengan identitas
kolektif lainnya. Bisa dikatakan identitas berkaitan erat dengan perbedaan.
Sehingga, menurut Agnes Heller politik identitas merupakan konsep dan gerakan
politik yang fokus perhatiannya adalah perbedaan (difference) sebagai suatu
kategori politik yang utama.
Dalam hal ini, kita bisa melihat bagaimana pengidentifikasian seseorang
dapat melalui perbedaan bentuk fisik-biologisnya. Pengidentifikasian identitas
kaum perempuan dan penyandang disabilitas sendiri berdasarkan karakteristik
tubuh. Hal ini yang disebut dengan biopolitik (politik tubuh), yaitu politik
identitas yang mendasarkan diri pada perbedaan-perbedaan yang timbul dari
perbedaan fisik (Abdilah 2002, h. 41). Adalah Michel Foucault yang melihat
tubuh menjadi suatu objek dan subjek politik ditemukannya akar-akar identitas
politik. Tubuh tidak sekedar fakta biologis, melainkan suatu bentuk konstruksi
sosial dan dipolitisir menjadi sebuah perbedaan (Elam 2010, h. 187). Tubuh telah
menjadi pembeda dan penentu status sosial seseorang. Hal ini terlihat ketika tubuh
dihadapkan dalam hubungan antara tubuh dan yang lainnya, yaitu ketika tubuh
dilawankan dan menjadi objek kekuasaan (Abdilah 2002, h. 14). Dengan
demikian ada status tubuh orang sakit dan sehat, tubuh ningrat dan tubuh budak,
dan sebagainya.
Melalui tubuh inilah ditemukannya praktik-praktik kekuasaan, yang pada
perkembangannya telah membawa rasisme. Rasisme adalah suatu kepercayaan
bahwa kenyataan seseorang, nilai-nilainya, dan sifat-sifatnya ditentukan dan lihat
bukan dari penilaian atas kualitas akalnya, melainkan dari faktor anatomi tubuh
10
(Suyono 2002; Abdilah 2002, h. 182). Hal ini menjadikan orang dinilai atau
dihargai atas keanggotaan rasial, dan juga sebaliknya untuk menilai dan
menghargai orang lain atas dasar yang sama juga. Artinya bahwa penerimaan
sosial dan hubungan sosial ditentukan oleh bentuk tubuh sesorang (Abdullah 2001,
h. 78). Ini yang menyebabkan timbulnya superioritas dan inferioritas berdasarkan
kepemilikan bentuk tubuh.
Menurut Foucault, biopolitik dijalankan untuk mempertahankan biopower,
yang dipertahankan melalui dua metode, yaitu pendisiplinan dan kontrol regulatif.
Dalam pendisiplinan, tubuh dianggap sebagai mesin yang harus dioptimalkan
kapabilitasnya. Sedangkan kontrol regulatif meliputi politik populasi, kelahiran
dan kematian, dan tingkatan kesehatan (Abdilah 2002, h. 53). Tujuan biopower ini
didukung oleh proses normalisasi oleh wacana ilmu pengetahuan.
Kita bisa melihat bagaimana ini terjadi pada kaum perempuan dan
penyandang disabilitas. Menurut Simone de Beauvoir (1953) perempuan tidak
dilahirkan, tetapi mereka dibentuk. Hal ini terkait dengan konsep gender yaitu
pelekatan karakteristik dan sifat tertentu sebagai akibat dari perbedaan kelamin.
Menjadi perempuan maupun laki-laki merupakan sebuah proses yang berjalan
terus menerus yang tidak hanya dilakukan secara individual tetapi melalui
kelompok sosial yang terstruktur dengan institusi sosial maupun ideologi kultural
(Sugihastuti & Itsna 2007, hh. 13-18). Perbedaan gender ini telah membawa
pembagian sosial. Dalam hal ini perempuan seringkali berada pada posisi yang
dirugikan dari perbedaan gender tersebut.
Perbedaan gender dimunculkan melalui perbedaan entitas fisik. Perbedaan
fisik biologis ini dimunculkan terus menerus sebagai kebutuhan akan konstruksi
gender. Hal ini kaitannya dengan kapasitas fisik yang mempengaruhi kemampuan
dan watak. Misalkan, tingkat testosteron (hormon reproduksi) yang dimana lebih
banyak dimiliki laki-laki dibanding perempuan, menjadi alasan mengapa laki-laki
lebih agresif dibandingkan perempuan. Selain itu, otak kiri laki-laki lebih
dominan berfungsi dianggap menjadikan laki-laki lebih rasional, sedangkan otak
kiri perempuan lebih sedikit berfungsi sehingga mereka dianggap lebih emosional,
sensitif, dan cenderung tidak irrasional. (Sugiharti & Itsna 2007, h. 8).
11
Permasalahannya bukan terletak pada ada tidaknya pengaruh fisik biologis
terhadap kemampuan dari suatu jenis kelamin, namun generalisasi semacam ini
telah membawa stereotype karakter dan sifat tertentu dari suatu jenis kelamin.
Dimana pada akhirnya membangun perbedaan gender dan ketidaksetaraan.
Perempuan yang dirugikan disini. Hal ini dikonstruksi terus menerus untuk
memperkuat kuasa kaum laki-laki. Melalui ini dengan mudah laki-laki dapat
memanfaatkan tubuh perempuan, yang pada akhirnya mempengaruhi batas gerak
perempuan dalam kehidupan.
Kapasitas tubuh perempuan yang dapat hamil, melahirkan, dan harus
menyusui anaknya dianggap bahwa mereka hanya bisa berkembang dalam ranah
reproduksi, bukan produksi (yang dianggap ranah laki-laki). Meskipun reproduksi
dan produksi tidak dapat dikontradiksikan, namun klasterisasi reproduktif dan
produktif mempertajam anggapan bahwa perempuan tidak bisa menghasilkan
produk yang bernilai bagi lingkungannya. Perempuan dikontrol untuk tetap
dirumah dan bekerja sebagai ibu rumah tangga. Adanya pembagian kerja inilah
yang akhirnya memperkukuh superioritas laki-laki atas perempuan dan
menganggap lebih mampu mengatur kehidupan bermasyarakat.
Eksistensi perempuan tersingkirkan dalam sistem kemasyarakatan yang
dimana laki-laki lebih mendominasi terutama dalam isu-isu publik. Para aktivis
perempuan menganggap absensi perempuan dalam isu publik ini dikarenakan
wacana yang berkembang bahwa perempuan itu lemah. Akibatnya, pertama,
potensi perempuan telah dilupakan, sehingga jika ada perempuan yang aktif
dalam urusan publik dinilai bukan hal yang wajar. Kedua, wacana perempuan
sebagai pihak yang lemah telah membawa ketergantungan perempuan terhadap
laki-laki (Abdullah 2001, h. 192).
Begitupun dengan tubuh penyandang disabilitas. Sebelum diperkenalkan
dengan sebutan penyandang disabilitas, kelompok ini sering disebut sebagai
kelompok penyandang cacat (meskipun masih banyak yang menyebutnya
demikian). Disebut orang cacat karena melihat bentuk tubuhnya yang tidak
lengkap dan tidak berfungsi sebagaimana bentuk tubuh orang normal. Lantas,
siapa yang dapat menyebut dirinya orang normal? Sebutan orang normal adalah
12
mereka dengan bentuk tubuh yang dominan, sedangkan yang selainnya disebut
tidak normal. Sesuatu yang tidak biasa bagi seseorang akan dilihat sebagai
kelainan. Cara pandang inilah yang dijadikan untuk memahami orang cacat.
Karena jumlahnya yang sedikit dalam kumpulan orang normal, mereka dianggap
sebagai orang yang tidak normal.
Dengan menyebutnya sebagai kelompok penyandang cacat menunjukkan
adanya pengelompokkan seseorang berdasarkan perbedaan tubuh. Orang
mendefinikan keberadaannya dengan mengidentifikasi anatomi tubuhnya. Orang
yang memiliki kapastitas tubuh yang tidak berfungsi sebagaimana orang-orang
normal dikelompokkan dan diberikan istilah untuk menyebut mereka. Hal ini
menjadi permasalahan ketika melalui pengidentifikasian ini menimbulkan
diskriminasi terhadap kelompok tersebut. Artinya bahwa bentuk tubuh dapat
berujung pada penerimaan sosial dan hubungan sosial.
Penyandang cacat dianggap sebagai kelompok yang harus dinormalkan
dan perlu dibantu agar dapat diterima dalam masyarakat. Merekalah yang pada
akhirnya harus menyesuaikan diri dengan orang-orang normal. Selama ini mereka
dianggap sebagai kelompok yang menderita gangguan kesehatan dan perlu segera
disembuhkan. Inilah pandangan medis dalam melihat mereka. Mereka dipisahkan
dalam kehidupan bermasyarakat dengan memasukkan mereka ke rumah sakit.
Mereka dianggap bukan orang yang sehat dan perlu dinormalkan.
Pandangan tersebut menunjukkan arogansi orang normal untuk
mendisiplinkan mereka yang tidak normal karena dianggap lemah dan tidak
berdaya (Nugroho 2005, h. ix). Ini yang disebut dengan manajemen normalitas
(the management of normality). Ada paksaan dari orang normal agar mereka sama
dengan orang normal. Normalisasi berarti penyingkiran segala yang dianggap
menyimpang, membangkang, anomali, dan tidak teratur. Proses normalisasi ini
merupakan bentuk kuasa orang-orang normal untuk mengatur kelompok orang-
orang yang dianggap lemah.
Dominasi orang normal terhadap penyandang disabilitas ditunjukkan
dalam aktivitas keseharian dan dalam berbagai aspek kehidupan. Dari segi istilah
penyandang cacat untuk menyebut mereka pun terdapat unsur diskriminatif.
13
Seolah-olah mereka adalah kelompok manusia yang rusak dan perlu disortir dari
yang lainnya. Inilah yang mendorong para aktivis untuk mengganti istilah tersebut.
Penggatian istilah dari penyandang cacat dengan penyandang disabilitas
diharapkan mampu memberikan cara pandang baru dalam melihat mereka. Bukan
melihat dari ketidakmampuannya melakukan sesuatu yang sesuai dengan orang
pada umumnya, tapi lebih melihat mereka sebagai kelompok yang memiliki
kemampuan yang berbeda dalam memproduksi sesuatu. Namun penggantian
istilah belum sepenuhnya mengubah pandangan orang lain. Mereka masih
dipandang sebagai kelompok yang lemah karena perbedaan fisiknya.
Proses normalisasi adalah proses yang secara sosial, kultural, dan politik
dibuat oleh rezim-rezim hegemonis dan dominan untuk mengatur yang dianggap
tidak sesuai dengan norma-norma yang dianggap ‘umum’. Artinya bahwa ada
anggapan orang yang mempunyai bentuk tubuh yang normal dan kuat lebih
mempunyai kekuasaan untuk mengatur kelompok orang-orang yang lemah.
Normalisasi berarti penyingkiran segala yang dianggap menyimpang,
membangkang, anomali, dan tidak teratur. Sehingga, proses normalisasi ini
memunculkan adanya eksklusi dan inklusi yang terjadi secara sistematis dalam
kehidupan sehari-hari. Inklusivitas dan eksklusivitas terhadap seseorang telah
menjadi wacana (discource) yang berkembang meskipun tidak banyak orang yang
menyadarinya.
Eksklusi merupakan mekanisme yang berperan dalam memisahkan
kelompok-kelompok orang dari mainstream sosial (Giddens 2002, h. 121).
Mainstream tubuh yang normal kebanyakan orang adalah bentuk tubuh yang
secara fisik sempurna. Sehingga penyandang disabilitas yang secara fisik tidak
sempurna sebagaimana pendefinisian sempurna oleh orang normal, diperlakukan
sebagai the others. Sedangkan perempuan yang dengan kapasitas bentuk tubuhnya
itu dianggap sebagai kelemahan, sehingga tidak dapat masuk ke ranah produksi.
Hal ini menjadikan mereka mendapatkan berbagai diskriminasi dalam
kehidupannya. Ada semacam stereotype terhadap mereka yang dianggap sebagai
kelompok orang yang tidak berdaya Stereotype dapat muncul terhadap kelompok
14
tertentu, dimana ini terkait dengan pengetahuan dominan yang mereproduksinya
(Noorsalim dkk 2007, h. 6).
Melalui berbagai kondisi yang menyudutkan perempuan penyandang
disabilitas dalam kehidupan bermasyarakatnya inilah mereka membangun
eksistensi untuk mendobrak mainstream yang ada, sehingga mereka mendapat
pengakuan dari masyarakat. Di sinilah letak fungsi identitas. Ketika timbul
kesadaran individu akan dunianya dan kesadaran kolektif akan identitasnya,
terbentuklah identitas kelompok. Pengorganisasian identitas menjadi penting
untuk mempertahankan eksistensi kelompok perempuan penyandang disabilitas.
Hal tersebut menurut Hogg dan Abrams (1988) dalam upaya memperoleh
persamaan identitas sosial (social equality) dan pengakuan (recognition) dari
pihak lain.
Upaya pengorganisasian identitas perempuan penyandang disabilitas ini
dapat dilihat dari konsep mikropolitiknya Foucault. Yang dimana mencakup dua
komponen kunci yaitu politik wacana dan biopolitik (Abdilah 2002, hh. 48-49).
Politik wacana melihat kelompok-kelompok marjinal yang berusaha menghadapi
wacana-wacana hegemonik. Wacana merupakan bentuk kekuasaan, karena adanya
unsur memaksakan norma-norma yang dianggap rasional. Sehingga yang berada
di luar wacana akan termarjinalkan. Ini yang menurut Foucault dapat menjadi
strategi perlawanan kelompok-kelompok yang dirugikan oleh wacana hegemonik.
Sedangkan, dalam biopolitik, ada upaya untuk memberontak dari kekuasaan-
kekuasaan pendisiplinan yang menyebabkan potensi normalisasi. Maka dari itu,
gerakan identitas kolektif dikaitkan dengan kepentingan anggota-anggota sebuah
kelompok sosial yang merasa dirugikan dan tersingkir oleh dominasi arus besar
dalam sebuah bangsa atau negara. Di sinilah ide tentang keadilan untuk semua
kelompok menjadi sangat relevan (Maarif 2012, h. 4).
Melalui identitas kolektif ini, dapat memunculkan gerakan sosial politik.
Salah satu agen gerakan sosial politik adalah Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM). Kehadiran LSM ini untuk sebagai penghubung dan sekaligus penengah
bagi sektor-sektor publik yang mengalami perlakuan marginal. Mereka
melakukan advokasi bagi kelompok yang terpinggirkan karena represi kuasa.
15
D.2. Memahami Gerakan Perempuan Penyandang Disabilitas Sebagai
New Social Movement
Seperti yang dijelaskan sebelumnya politik identitas merupakan gerakan
politik itu sendiri yang fokus perhatiannya adalah perbedaan (difference). Dalam
kondisi dimana penyandang disabilitas mendapatkan diskriminasi dari orang-
orang yang secara fisik sempurna, gerakan politik menjadi suatu hal yang tak
terelakkan untuk membangun eksistensinya dalam kehidupan bermasyarakat. Ini
menjadi bentuk perlawanan terhadap hegemoni normalitas. Seperti yang
diutarakan Tarrow (1998) (dalam Suharko 2006, h. 1) gerakan sebagai politik
perlawanan yang terjadi ketika rakyat biasa menggalang kekuatan untuk melawan
elit, pemegang otoritas, dan pihak-pihak lawan lainnya. Perlawanan ini
dimaksudkan untuk membangun tatanan baru dalam kehidupan (Blumer 1969, h.
8). Keinginan untuk membangun tatanan baru ini dipicu adanya rasa
ketidakpuasan terhadap pola interaksi dalam masyarakat.
Menurut Ritzer et. Al (1979) dalam Haryanto (hh. 3-4) terdapat prasyarat
tertentu untuk mengindikasikan suatu gerakan sosial politik. Yaitu, pertama, suatu
gerakan melibatkan sebagian besar individu yang berusaha memprotes suatu
keadaan. Kedua, suatu gerakan harus mempunyai skope (ruang) yang relatif luas,
sehingga mampu mempengaruhi sebagian besar masyarakat. Ketiga, gerakan
tersebut dapat menggunakan berbagai macam taktik untuk mencapai tujuannya,
baik yang sifatnya menggunakan kekerasan maupun tidak. Keempat, tujuan akhir
dari gerakan tersebut adalah mengubah kondisi yang ada pada masyarakat. Kelima,
gerakan tersebut merupakan suatu usaha yang secara sadar dilakukan untuk
mengadakan perubahan, dan bagi mereka yang terlibat didalamnya secara sadar
mengetahui tujuan utama dari gerakan meski tidak menyadari segala tindakannya.
Sedangkan, kemunculan suatu gerakan politik dapat melihat konsep
contentious politics. Menurut Tilly dan Tarrow (2007) contentious politics adalah
interaksi suatu aktor atau kelompok yang membuat tuntutan yang mengandung
kepentingan tertentu, dan dikoordinir dalam sebuah program untuk melawan
pemerintah atau pihak ketiga. Contentious politics terdiri dari tiga aspek, yaitu
16
contention atau tuntutan, collective action atau aksi kolektif, serta politics atau
interaksi dengan kekuasaan dan pemerintahan. Gerakan sosial politik lahir ketika
terdapat titik temu permasalahan yang berujung tuntutan, pengorganisassian
kelompok masyarakat, dan peluang melawan elit. Elemen penting dalam
contentious politics, yaitu adanya kesempatan/ peluang politik dan hambatan
politik dan kognisi di tubuh individu-individu yang pada akhirnya merumuskan
persepsi kolektif mengenai kondisi yang dianggap tidak adil.
Adapun proses dalam contentious politics, yaitu pertama identity
formation, yaitu bagaimana sesuatu identitas bersama berkembang dalam sebuah
kelompok. Kedua, scale shift (eskalasi), yaitu bagaimana sebuah konflik yang
muncul mengalami eskalasi sehingga melibatkan aktor-aktor yang jauh lebih
banyak dan meluas. Ketiga, polarisasi, yaitu bagaimana ruang politis antara pihak-
pihak yang saling berseteru menjauh dan bergeser ke arah titik-titik ekstrim.
Keempat, mobilisasi, yaitu pihak-pihak yang biasanya bersikap acuh tak acuh
untuk dapat digerakkan untuk turut andil dalam gerakan. Kelima, pembentukan
aktor, yaitu bagaimana sebuah kelompok yang sebelumnya tidak terorganisir
berubah menjadi sebuah aktor politik tunggal yang mengorganisir.
Aktor politik dalam gerakan sosial politik salah satunya datang dari
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). LSM selama ini telah mampu menjadi
kekuatan dalam masyarakat, karena memiliki kepedulian terhadap berbagai
masalah yang menyangkut kepentingan masyarakat, baik itu permasalahan yang
disadari maupun tidak disadari masyarakat umum. Tak lain karena para aktivis
LSM merupakan mereka yang berasal kelas menengah keatas yang memiliki
kesadaran kritis dan mampu memegang peranan kunci dalam mengelola sumber
daya, merencanakan strategi, menghimpun dana, serta menjalin jaringan dengan
berbagai pihak. Pada akhirnya diharapkan mampu melakukan transformasi sosial.
Menurut David Korten (dalam Saidi 1995, hh. 5-7) LSM telah mengalami
perkembangan strategi yang digunakannya. Pada LSM generasi pertama berperan
sebagai pelaku langsung dalam mengatasi persoalan-persoalan yang terlihat dalam
masyarakat. LSM generasi pertama ini dikenal sebagi relief and welfare (bantuan
dan kesejahteraan). Pendekatan yang dilakukan adalah derma, dengan
17
memberikan apa saja kekurangan yang menjadi kebutuhan masyarakat. Dalam
pendekatan LSM generasi pertama tidak disertai dengan upaya penyadaran
masyarakat untuk keluar dari permasalahannya.
LSM generasi kedua memusatkan perhatian pada upaya pengembangan
kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Pada
generasi kedua ini dikenal dengan small scale, self reliance local development.
Peran LSM disini hanya sebagai penggerak masyarakat bukan pelaku langsung.
Fokus kegiatannya pada upaya membantu masyarakat untuk memecahkan
masalah dengan mencari akar dan penyebabnya untuk dikaitkan dengan persoalan
kebijakan pembangunan.
LSM generasi ketiga melihat masalah mikro dalam masyarakat tidak dapat
dipisahkan dari masalah politik pembangunan nasional. Maka dari itu untuk
menuju perubahan diperlukan pula perubahan pada struktur yang mengungkung
masyarakat. Strateginya adalah dengan mendekati badan-badan nasional agar
membuat atau merubah arah kebijakan pembangunan berkelanjutan yang sesuai
dengan solusi atas permasalahan dalam masyarakat. LSM pada generasi ini
disebut sebagai sustainable system development.
Sedangkan LSM generasi keempat adalah LSM yang merupakan bagian
dari gerakan masyarakat, dan disebut dengan people movement. Pada generasi ini,
mereka memfokuskan pada upaya advokasi dan berupaya membangun
transformasi struktur sosial dalam masyarakat supaya tercipta dunia baru yang
lebih baik. Apa yang diperjuangkannya untuk jangka waktu yang sangat panjang
dengan menjunjung gagasan nilai-nilai kemanusian.
Banyak LSM pada hari ini telah menuju pada generasi terakhir tersebut.
LSM didorong untuk mampu menciptakan transformasi sosial agar mampu
menciptakan kehidupan yang berkeadilan. Bisa jadi inilah yang dilakukan
SAPDA yang turut membantu mengatasi permasalahan yang dihadapi perempuan
penyandang disabilitas. Mereka merupakan agen gerakan yang hadir untuk
mendorong penyandang disabilitas agar bersuara akan kondisinya. Yang pada
akhirnya menciptakan kehidupan yang berkeadilan.
18
Adapun gerakan eksistensi perempuan penyandang disabilitas ini dapat
dikategorikan sebagai gerakan sosial baru (new social movement). Hal ini
dikarenakan isu yang mereka angkat berbasiskan identitas kolektif, dan adanya
keinginan mendobrak hegemoni kaum dominan yang di sini adalah orang-orang
normal. New social movement tidak lagi seperti gerakan sosial lama yang
berbasiskan nalar materialistik. Menurut Suharko (2006) new social movement
lebih memilih saluran di luar politik normal, menerapkan taktik yang mengganggu
(disruptive), dan memobilisasi opini publik untuk mendapatkan daya tawar politik.
New social movement atau gerakan sosial baru merupakan perkembangan
gerakan sosial itu sendiri. New social movement mulai muncul dan berkembang
sejak pertengahan tahun 1960an sebagai alternatif lain dari prinsip-prinsip,
strategi, aksi atau pun pilihan ideologi dari pandangan-pandangan teori marxis
tradisional yang lebih menekankan pada perjuangan kelas dan tujuan ekonomis.
Kecenderungannya, gerakan sosial selalu dipelopori oleh kaum buruh yang
terlibat secara langsung atas relasi produksi yang tidak seimbang. Namun, dalam
perkembangan sistem kapitalisme dan era globalisasi, justru mereka yang tidak
terlibat secara langsung dalam relasi produksi juga merasakan kekecewaan serta
melahirkan posisi tawar kolektif terhadap negara (Fakih 2002, h. xxviii). Gerakan
sosial baru ini menempatkan arah perjuangannya melawan the social inequalities,
atas dominasi suatu sistem maupun sekelompok masyarakat.
Menurut Nash (dalam Putra dkk (eds) 2006, h. 63-64) new social
movement berpusat pada tujuan-tujuan non-material dan menekankan pada
perubahan-perubahan dalam gaya hidup dan kebudayaan dibanding mendorong
perubahan-perubahan spesifik seperti perubahan ekonomi. Struktur gerakannya
lebih responsif terhadap kebutuhan individu-individu, yakni stuktur yang lebih
terbuka.
Sedangkan menurut Haryanto dkk, ada tiga hal yang membedakan gerakan
sosial yang sebelumnya dengan gerakan sosial baru. Yaitu, pertama, gerakan
sosial lama—jika disebut demikian, memusatkan perhatian pada persoalan
ekonomi, misal upah, kesehatan, dan sebagainya. Sedangkan gerakan sosial baru
menaruh perhatian pada isu yang lebih luas, misal kualitas hidup manusia, hak
19
asasi manusia. Kedua, gerakan sosial lama kebanyakan didukung oleh para kelas
pekerja, sedangkan gerakan sosial baru kebanyakan didukung oleh anggota kelas
menengah. Dari sisi aktor, ada tiga aktor utama, yaitu yang menurut aktor dari
gerakan sosial baru ada tiga sektor, yaitu kelas menengah baru, unsur-unsur kelas
menengah lama, dan orang-orang yang menempati posisi pinggiran yang tidak
terlalu terlibat dalam pasar kerja, seperti mahasiswa, ibu rumah tangga, dan
lainnya (Offe (1985) dalam Putra dkk (eds) 2006, hh. 69-70). Ketiga, skala
gerakan sosial baru lebih meluas yaitu di tingkat nasional maupun internasional,
tidak lagi terpaku pada lokalitas.
Rajendra Singh melihat new social movement sebagai bentuk respon
terhadap hadir dan menguatnya dua institusi yang masuk ke dalam kehidupan
masyarakat yaitu negara (state) dan pasar (market) (Suharko 2006, h. 10). Adapun
karakteristik yang disampaikan, yaitu pertama, new social movement mencuatkan
isu pertahanan diri komunitas dan masyarakat untuk melawan ekspansi aparatus
negara. Kedua, new social movement mengubah paradigma Marxis yang
menjelaskan konflik sebagai perjuangan kelas dan semua bentuk pengelompokkan
manusia sebagai pengelompokkan kelas. New social movement berusaha melewati
paradigma kelas, karena karakter gerakan-gerakan sosial yang berkembang tidak
lagi penjelasan secara materialistik. Ketiga, new social movement berupaya
merespon isu-isu yang bersumber dari masyarakat sipil daripada perekonomian
dan negara. Keempat, new social movement didefinisikan oleh pluralitas cita-cita,
tujuan, kehendak, orientasi, dan oleh heterogenitas basis sosial.
Pembacaan gerakan eksistensi perempuan penyandang disabilitas melalui
new social movement ini dapat membantu untuk memahami sasaran
perjuangannya. Menurut Cohen (dalam Suharko 2006, h. 10) terdapat empat hal
yang menjadi perjuangannya, yaitu tidak berjuang untuk kembalinya komunitas-
komunitas utopia yang tidak terjangkau di masa lalu; berjuang untuk otonomi,
pluraritas dan keberbedaan; melakukan upaya sadar untuk belajar dari
pengalaman masa lalu untuk merelatifkan nilai-nilai melalui penalaran; dan
mempertimbangkan keberadaan negara dan pasar. Dari sini dapat dilihat bahwa
pada dasarnya gerakan penyandang disabilitas ini akan berupaya diakui dalam
20
masyarakat atas hegeomoni paham normalisme dengan memperhatikan kekuatan
institusi yang ada di sekitarnya. Mereka melakukan strategi eksistensi guna
menciptakan ruang publik yang di dalamnya wacana demokratis mengenai
otonomi dan kebebasan individual, kolektivitas, serta identitas dan orientasi
mereka bisa didiskusikan dan tidak dimarjinalkan karena mereka berbeda secara
fisik. Isu-isu yang diangkatnya lebih ke arah isu hak-hak asasi manusia. Nilai-nilai
universal lah yang menjadi titik pijakan untuk menyadarkan masyarakat atas
keberadaan mereka.
D.3. Strategi Gerakan: Upaya Counterattact Wacana
Pada dasarnya gerakan yaitu ingin mencapai targetan apa (what) dan yang
paling penting adalah dengan cara yang bagaimana (how) (Kamajaya 2007).
Sehingga strategi gerakan merupakan suatu hal penting dalam pencapaian tujuan
suatu gerakan. Strategi gerakan akan mempengaruhi keberhasilan suatu gerakan.
Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI), strategi berarti rencana yg
cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus. Dapat dikatakan
bahwa strategi gerakan merupakan seperangkat konsep perencanaan gerakan yang
dikembangkan menjadi agenda aksi untuk pelaksanaan gerakan sosial politik.
Penggunaan metode strategi tertentu didasarkan pada tujuan dan juga kondisi dan
situasi yang melingkupi suatu gerakan.
Setidaknya ada empat hal untuk untuk melihat sebagaimana gerakan sosial
melakukan strateginya (Putra dkk 2006, hh. 11-12). Pertama, low profile strategy.
Dalam hal ini aktor gerakan sosial secara sadar memutuskan untuk mengisolasi
diri menghindari hubungan dengan agen-agen negara. Ini dilakukan dengan cara
membentuk komunitas aktif untuk mengorganisir suatu kelompok sosial. Kedua,
strategi pelapisan (layering), yaitu pengembangan penyediaan pelayanan yang
berorientasi pada kesejahteraan dan pemberdayaan. Ketiga, strategi advokasi. Ini
dilakukan untuk mendesak perubahan-perubahan sosial, terutama kebijakan
pemerintah. Keempat, keterlibatan kritis, merupakan kombinasi strategi advokasi
dengan strategi kerjasama ketika menghadapi kekuatan yang lebih besar, misal
pemerintah atau pun agen-agen negara lainnya.
21
Strategi gerakan dapat dibedakan melalui penggunaan metode kekerasan
(violence) dan metode tidak dengan kekerasan (non-violence) (Haryanto hh. 15-
17). Penggunaan metode kekerasan berpotensi berhasil apabila gerakan tersebut
terkonsolidasi dengan baik dan militan di satu sisi. Di sisi lain potensi untuk gagal
juga besar karena kurangnya simpati atau dukungan dari masyarakat (Gamson
1975, h. 54). Sedangkan penggunaan metode non-violence lebih mementingkan
gerakan politik jalan damai.
Pemilihan kedua strategi tersebut berdasarkan kondisi internal dan
eksternal suatu gerakan. Dalam kondisi internal, yang menjadi pertimbangan
dalam pemelihan metode yaitu antara lain berkaitan dengan tujuan atau sasaran
yang ingin dicapai dari suatu gerakan, dan potensi atau kekuatan yang dimiliki
gerakan. Sedangkan, pengaruh kondisi eksternal adalah kondisi lawan gerakan.
Jika potensi dan kekuatan lawan relatif lebih kuat lebih baik mempertimbangkan
penggunaaan metode non-violence daripada violence. Ini dilakukan untuk
meminimalisir kekalahan. Hal ini juga berlaku sebaliknya. Pertimbangan kekuatan
dan potensi lawan merupakan suatu hal yang penting, karena akan mempengaruhi
tingkat keberhasilan gerakan.
Selain kedua metode strategi perlawanan tersebut, James Scott juga
mengemukakan bentuk perlawanan. Meskipun Scott melihat bentuk perlawanan
yang dilakukan petani, namun karakter perlawanannya dapat juga dilihat untuk
melihat perlawanan yang dilakukan kaum difabel. Perlawanan petani yang diteliti
Scott lebih bersifat tersembunyi dan diam-diam yang disebutnya sebagai bentuk
perlawanan sehari-hari (everyday forms of resistance) (Scott 2000, h. 40).
Perlawanan sehari-hari merupakan upaya perjuangan petani yang biasa-biasa saja
namun terjadi secara terus-menerus antara kaum tani dengan orang-orang yang
berusaha untuk menghisap tenaga kerja, makanan, pajak, sewa, dan keuntungan
dari mereka. Perlawanan petani tidak selalu merupakan bentuk aksi bersama,
tetapi kadang-kadang merupakan resistensi individual yang dilakukan secara
diam-diam. Strategi perlawanan ini lebih aman karena tidak perlu dilakukan
melalui sebuah organisasi lengkap dengan pemimpinnya yang mudah terdeteksi.
Mereka menentang secara langsung norma dan dominasi kaum elit yang dapat
22
saja menurunkan kewibawaan dan produktivitas pemerintah. Bentuk perlawanan
ini misalnya menipu, membakar, melakukan sabotase, mengumpat di belakang,
mencuri kecil-kecilan, menghambat kerja dan sebagainya.
Aksi yang terlihat tidak terorganisir tersebut lebih dikarenakan adanya
itikad, nilai dan tujuan yang mendasarinya. Dalam hal ini Scott menjelaskan
adanya hubungan yang tidak terpisahkan antara aksi dengan maksud (intention).
Pertama, baik intensi maupun aksi selalu dalam dialog. Aksi yang dilahirkan dari
intensi berputar kembali untuk mempengaruhi kesadaran, dan akan merencanakan
intensi dan aksis selanjutnya. Kedua, mungkin dan biasa untuk membayangkan
suatu aksi, pada suatu saat bisa saja tidak praktis dan tidak mungkin. Jadi,
seseorang dapat bermimpi tentang balas dendam atau tentang dunia yang penuh
dengan keadilan. Bisa jadi, perlawanan melawan hegemoni wacana orang-orang
normal oleh kaum difabel menjadi suatu agenda tiap-tiap individu dan itu sifatnya
keseharian. Dengan mengingat intensi/ maksud mereka dapat menjadi nalar yang
penting dalam setiap tindakan yang mereka lakukan.
Perlawanan yang dilakukan perempuan penyandang disabilitas perlu
mempertimbangkan kondisi fisik. Penggunaan metode violence meski itu
mungkin namun sulit untuk dilaksanakan mengingat yang menjadi lawan mereka
adalah orang-orang yang memiliki fisik sempurna dan lebih kuat. Sehingga, upaya
non-violence sangat mungkin dilakukan. Selain itu, metode non-violence juga
mampu mengundang simpati dan empati masyarakat luas karena gerakannya yang
tergolong damai tanpa kekerasan. Dan mungkin juga dapat dilakukan dalam
keseharian, tanpa terbelenggu pada organisasi formal.
D.4. Biopolitik, New Social Movement, dan Strategi Gerakan Untuk
Menjawab Pertanyaan Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori biopolitik, new social
movement, dan strategi gerakan untuk membantu menjawab rumusan masalah
yang diajukan. Pengidentifikasian perempuan dan penyandang disabilitas melalui
karakteristik bentuk tubuh telah membawa tindakan diskriminasi terhadap mereka,
karena muncul stereotype bahwa mereka merupakan kelompok yang lemah secara
23
fisik. Stereotype ini menguat ketika kelompok tersebut adalah seorang perempuan
sekaligus seorang penyandang disabilitas. Perempuan penyandang disabilitas
dianggap sebagai kelompok yang menderita gangguan kesehatan dan perlu segera
disembuhkan. Sehingga, dianggap sebagai kelompok yang harus dinormalkan dan
perlu dibantu agar dapat diterima dalam masyarakat. Merekalah yang pada
akhirnya harus menyesuaikan diri dengan orang-orang normal.
Tindakan diskriminatif tersebut, membawa kesempatan kelompok yang
dirugikan ini untuk mendobrak mainstream yang ada, sehingga mereka mendapat
pengakuan dari masyarakat maupun negara. Pengorganisasian identitas ini
merupakan suatu bentuk gerakan sosial politik, yang dimana membawa karakter
gerakan sosial baru (new social movement). Hal ini dapat dilihat melalui aktor
yang berasal dari kelas menengah, isu yang dibawa mengenai perubahan kualitas
hidup dan strategi yang dilakukan dengan memobilisasi opini publik dengan skala
gerakan yang luas. Karakter gerakan ini akan termanifestasi dalam strategi
gerakan SAPDA. Dimana strategi SAPDA didasarkan pada tujuan dan juga
kondisi dan situasi yang melingkupi gerakan SAPDA.
Dalam melakukan strategi gerakan akan menimbang apa yang menjadi
peluang, tantangan, dan concern agen gerakan sehingga apa yang menjadi
tujuannya mampu dicapai. Selama ini perempuan penyandang disabilitas
mengalami tindakan diskriminatif karena mindset kelompok masyarakat lainnya
menganggap mereka bukan orang normal. Ketersingkiran akibat perbedaan fisik
ini yang ingin diubah SAPDA agar perempuan penyandang disabilitas mampu
diterima di lingkungan keluarga, masyarakat, maupun negara.
E. Definisi Konseptual
E.1. Biopolitik
Menurut Michel Foucault biopolitik adalah politik identitas yang
mendasarkan diri pada perbedaan-perbedaan yang timbul dari perbedaan
fisik. Tubuh menjadi suatu objek dan subjek politik ditemukannya akar-
akar identitas politik. Biopolitik dijalankan untuk mempertahankan
biopower, yang dipertahankan melalui dua metode, yaitu pendisiplinan
24
dan kontrol regulatif. Tujuan biopower ini didukung oleh proses
normalisasi oleh wacana ilmu pengetahuan.
E.2. New Social Movement
New social movement merupakan gerakan sosial yang dalam
perjuangannya tidak berbasiskan nalar materialistik dan menekankan pada
perubahan-perubahan dalam gaya hidup dan kebudayaan dibanding
mendorong perubahan-perubahan spesifik seperti bidang ekonomi.
Gerakan ini melibatkan norma-norma baru dan identitas kolektif.
New social movement lebih memilih saluran di luar politik normal,
menerapkan taktik yang mengganggu (disruptive), dan memobilisasi opini
publik untuk mendapatkan daya tawar politik.
E.3. Strategi Gerakan
Strategi gerakan adalah seperangkat konsep perencanaan gerakan
yang dikembangkan menjadi agenda aksi untuk pelaksanaan gerakan
sosial politik. Penggunaan metode strategi tertentu didasarkan pada tujuan
dan juga kondisi dan situasi yang melingkupi suatu gerakan. Berdasarkan
metode, strategi gerakan dapat dibagi menjadi dua yaitu violence dan non-
violence.
F. Definisi Operasional
Penelitian ini menggunakan beberapa indikator dalam menganalisa strategi
eksistensi perempuan penyandang disabilitas yang dilakukan oleh SAPDA.
Adapun indikator-indikator tersebut adalah:
F.1. Biopolitik
a. Pendefinisian the selfness dan the other
- persamaan fisik
- persamaan kepentingan
b. Penerimaan sosial berdasarkan bentuk tubuh
25
F.2. New Social Movement
a. Contentious politics, melihat pembentukan SAPDA dengan
membawa tuntutan untuk melawan wacana mainstream dan tindak
diskriminasi yang terjadi pada perempuan penyandang disabilitas.
b. Gerakan perempuan penyandang disabiitas sebagai new social
movement, dengan melihat:
- isu, membawa isu kualitas hidup, nilai-nilai kemanusiaan
- strategi, upaya memobilisasi opini publik, skala gerakan luas
- aktor, melibatkan kelas menengah
F.3. Strategi Gerakan
a. Target gerakan
b. Metode gerakan
penggunaan metode berdasarkan faktor internal yaitu potensi atau
kekuatan yang dimiliki gerakan, dan eksternal gerakan yaitu
kondisi “lawan” gerakan. Secara umum terdapat dua metode, yaitu:
- violence, metode gerakan dengan menggunakan kekerasan
- non-violence, metode gerakan tanpa menggunakan kekerasan
c. Strategi dalam gerakan sosial politik
- low profile strategy, penumbuhan kesadaran
- strategi pelapisan (layering)
- strategi advokasi
- keterlibatan kritis dengan menjalin kerjasama
G. Metode Penelitian
G.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan metode
studi kasus. Alasan pemilihan metode studi kasus adalah peneliti ingin
melakukan eksplanasi terhadap data yang didapat, yang kemudian menjadi
basis dalam membangun argumen. Dalam penelitian ini, peneliti akan
26
mengangkat Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA)
sebagai obyek penelitian.
Selain itu tujuan penggunaan metode studi kasus dalam penelitian
juga didasarkan pada karakter kasus itu sendiri. Studi kasus merupakan
metode penelitian yang secara khusus menyelidiki fenomena kontemporer
yang terdapat dalam konteks kehidupan nyata (Yin 1985, h. 23).
Penelitiannya dibatasi waktu, tempat, dan kasus yang dipelajari berupa
peristiwa, aktivitas, dan sebagainya. Strategi eksistensi perempuan
penyandang disabilitas merupakan suatu fenomena yang terjadi dan masih
berlangsung pada saat ini. Selain itu, kasus ini juga merupakan kasus yang
sudah ada, artinya bahwa bukan kasus yang artifisial. Adapun boundaries
dalam kasus ini dengan memfokuskan pada SAPDA yang ada di
Yogyakarta. Sehingga, jika penelitian ini dilakukan di daerah lain maka
kemungkinan hasil data dan analisisnya akan berbeda.
Metode penelitian studi kasus ini memiliki beberapa kelebihan,
yaitu diantaranya pertama, menurut Salim (2006, h. 124) studi kasus
mengungkapkan banyak hal detail, melihat hal-hal yang tidak terungkap
metode lain, dan dapat menangkap makna di balik kasus, pada saat yang
sama objek tetap berada dalam kondisi yang alami. Sehingga bermanfaat
untuk mengungkap atau memecahkan masalah-masalah yang sifatnya
spesifik. Kedua, studi kasus lebih dari sekedar memberikan laporan faktual,
tetapi juga memberi nuansa pikiran-pikiran yang berkembang dalam kasus
yang terkadang emosional. Ketiga, ketika data yang didapat di lapangan di
luar teori yang ada, data tersebut dapat menjadi penambah dan
pengembangan teori. Keempat, tinjauan pustaka digunakan untuk
mengembangan pertanyaan-pertanyaan di lapangan dan menambah
argumentasi dalam penulisan.
Namun, studi kasus ini juga mempunyai beberapa kelemahan
(Salim 2006, h. 125). Pertama, kaitannya dengan validitas, yang melihat
tingkat keabsahan objek. Objek pada studi kasus umumnya sedikit
jumlahnya, akibatnya tingkat validitas hasil penelitiannya seringkali
27
diragukan. Kedua, keraguan akan reliabilitas yang melihat kesahihan hasil
yang diperoleh apabila studi yang sama diulang pada kasus lain di tempat
dan waktu yang lain. Ketiga, studi kasus kecenderungannya akan
mendapatkan data yang banyak dan kesulitan untuk meng-
kategorisasikannya.
Melihat beberapa kelemahan studi kasus tersebut, peneliti akan
menggunakan mekanisme cross-chek informan untuk mendapatkan tingkat
kevalidan yang tinggi. Artinya bahwa akan menggunakan lebih dari satu
informan. Sedangkan untuk menjamin reliabilitas data, peneliti akan
menggunakan informan yang dianggap mewakili stakeholder dalam kasus
yang bersangkutan (representative informan). Kaitannya dengan hasil
yang akan diperoleh di daerah lain jika penelitian yang sama dilakukan,
peneliti tidak bertanggungjawab atas hal tersebut. Karena pada dasarnya
studi kasus terikat pada kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya dari
tempat kasus tersebut terjadi. Kemungkinan akan berbeda hasil dan analisa
itu suatu hal yang wajar. Selain itu, dalam mengolah dan mengintretasikan
data, peneliti akan menggunakan pertimbangan informasi dari informan,
meminta bantuan dosen pembimbing, dan diskusi kelompok dengan teman
lainnya.
G.2. Unit Analisa Data
Penelitian ini mengambil lokasi di Yogyakarta. Dalam hal ini,
peneliti memiliki target LSM perempuan difabel yaitu Sentra Advokasi
Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA). Alasan pemilihan unit analisa
ini adalah pertama, SAPDA ini mempunyai tujuan untuk mewujudkan
inklusivitas dalam aspek kehidupan bermasyarakat dan menjunjung tinggi
persamaan hak asasi manusia. Kedua, SAPDA telah melakukan berbagai
kegiatan sebagai wujud keeksistensian mereka, yang diantaranya
melakukan kajian kelilmuan, memperjuangkan kebijakan publik yang pro
dengan difabel, dan melakukan pemberdayaan bagi difabel. Berdasarkan
data awal tersebut, adapun sasaran informan untuk menggali data yaitu:
28
1. Ketua SAPDA
2. Anggota LSM SAPDA
G.3 Teknik Pengumpulan Data
G.3.1. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder. Data primer merupakan data yang didapat langsung dari
informan. Dalam penelitian kali ini data primer yang dibutuhkan yaitu,
pertama, mengenai bagaimana perempuan penyandang disabilitas selama
ini diwacanakan oleh kelompok masyarakat lainnya. Mengapa hal tersebut
terjadi? Informasi ini diperoleh melalui wawancara dengan ketua dan
anggota SAPDA.
Kedua, tentang apa-apa saja permasalahan yang dihadapi
perempuan difabel selama ini. Lantas, bagaimana selama ini mereka
mengatasi berbagai permasalahan tersebut? Data ini akan diperoleh
melalui wawancara dengan ketua dan anggota SAPDA.
Sedangkan, data primer yang ketiga terkait dengan strategi gerakan.
Data yang dibutuhkan adalah informasi mengenai perjalanan gerakan dan
strategi yang selama ini digunakan. Perkembangan gerakan dan strategi
dilihat berdasarkan beberapa indikator. Pertama, upaya menumbuhkan
kesadaran kaum perempuan difabel akan identitasnya beserta diskriminasi
yang selama ini diperolehnya. Kedua, target gerakan. Ketiga, metode
strategi gerakan. Data ini akan diperoleh melalui wawancara dan observasi
partisipan dengan mengikuti kegiatan-kegiatan mereka. Untuk informan
meliputi ketua dan anggota SAPDA.
Sedangkan data sekunder meliputi dokumen-dokumen yang
dimiliki SAPDA baik bentuknya data profil, buletin, majalah, koran, serta
makalah diskusi dan seminar. Selain itu, peneliti akan menggunakan buku-
buku yang terkait dengan topik dan juga situs internet untuk memperdalam
data dan analisis.
29
G.3.2. Cara Mengumpulkan Data
Pengumpulan data primer dan sekunder dilakukan melalui
beberapa cara. Pertama, melalui indepth interview dengan informan.
Peneliti berusaha membawa wawancara ini dengan suasana informal, agar
membentuk hubungan peneliti dan informan tidak kaku dan lebih mudah
untuk mendapatkan informasi. Selama wawancara, peneliti akan merekam
pembicaraan agar selanjutnya mempermudah pengolahan data. Rekaman
dilakukan atas ijin informan, ini terkait dengan etika dalam penelitian.
Kedua, melalui observasi partisipan. Untuk memahami bagaimana mereka
melakukan strategi eksistensinya, peneliti perlu mengetahui secara detail
kegiatan-kegiatan yang diadakan mereka. Observasi partisipan ini hanya
sebatas mengikuti beberapa kegiatan, tidak sedalam apa yang dilakukan
etnografer. Namun, lebih kearah diskusi dan sharing pendapat antara
informan dan peneliti. Jika memungkinkan data juga akan diambil melalui
audio visual dan juga foto-foto kegiatan mereka. Ketiga, untuk
mendapatkan data sekunder, didapat melalui arsip-arsip atau dokumen
yang dimiliki informan, majalah, buletin, surat kabar, buku-buku yang
terkait, jurnal, dan situs internet.
Tabel 1 Cara Mengumpulkan Data
Jenis Data
Fokus Substansi Data Indikator Fokus Substansi Data
Cara Mengumpulkan
Sumber Data
Primer Wacana sosial mengenai perempuan penyandang disabilitas
� Pandangan masyarakat mengenai mereka
� Alasan bergulirnya wacana mengenai perempuan penyandang disabilitas
� Wawancara � Studi pustaka
� SAPDA � Perempuan
penyandang disabilitas
Permasalahan yang dihadapi perempuan difabel
� Identifikasi permasalahan
� Upaya penyelesaian permasalahan
� Wawancara � Studi pustaka
� SAPDA � Perempuan
penyandang disabilitas
Perjalanan gerakan dan strateginya
� upaya menumbuhkan
� Observasi partisipan
� SAPDA � Perempuan
30
kesadaran kaum perempuan difabel akan identitasnya
� target gerakan. � metode strategi
gerakan.
� Wawancara � Studi pustaka
penyandang disabilitas
Sekunder Data yang dibutuhkan selama penelitian Studi pustaka Buku, jurnal, makalah, seminar, majalah, buletin, surat kabar, dan situs internet yang relevan
G.4. Teknik Analisa Data
Dalam analisa data, yang perlu dilakukan pertama kali adalah
mengumpulkan data-data yang didapat dan melakukan pembacaan, baik
data yang bentuknya catatan, rekaman suara, audio visual, maupun
dokumentasi foto. Data yang bentuknya cacatan akan dirapikan untuk
mempermudah pembacaan. Untuk data yang berupa rekaman suara akan
ditranskip. Sedangkan, data yang bentuknya audio visual maupun
dokumentasi foto akan digunakan sebagai bahan untuk mempertajam
analisis dan memberikan gambaran keadaan yang ada di lapangan.
Baik catatan maupun rekaman, kemudian akan diklasifikasikan
sesuai dengan bagian yang diteliti. Tujuan pengklasifikasian ini adalah
untuk mempermudah peneliti dalam memilah jawaban-jawaban dari
informan agar sesuai dengan pertanyaan penelitian. Ini dilakukan untuk
meminimalisir pembahasan melebar dan kabur karena tidak sesuai dengan
pertanyaan penelitian. Setelah pengklasifikasian, maka data yang ada di
lapangan didikorelasikan dengan teori yang digunakan. Melalui
pengkorelasian ini, maka kesimpulan dapat diambil.
H. Sistematika Penulisan
Penulisan hasil penelitian ini nantinya akan dibagi menjadi empat
bab. Bab pertama berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan, kerangka
teori, dan metode penelitian. Pada bab pertama ini, akan dijelaskan
31
mengenai teori yang dijadikan sebagai landasan dalam penelitian ini.
Dalam hal ini penulis menggunakan teori biopolitik yang salah satu teori
identitas yang dimana menjelaskan mengenai perbedaan fisik mampu
memunculkan relasi kuasa dalam kehidupan bermasyarakat. Sementara itu
untuk memahami gerakan yang berbasiskan perbedaan fisik ini melalui
kacamata new social movement beserta berbagai strategi yang
digunakannya. Pada dasarnya teori ini sebagai landasan untuk melihat
bagaimana perempuan difabel melakukan strategi eksistensinya ditengah
orang-orang normal.
Pada bab kedua akan menjelaskan mengenai perempuan
penyandang disabilitas dan kemunculan SAPDA. Berbagai permasalahan
yang dihadapi perempuan disabilitas, membuka peluang kemunculan
SAPDA untuk memperjuangkan keberadaan mereka dalam ruang
bermasyarakat. Lebih lanjut akan menjelaskan siapa SAPDA dan apa yang
akan diperjuangkannya.
Pada bab ketiga akan menjelaskan mengenai bagaimana SAPDA
melakukan strategi eksistensi perempuan penyandang disabilitas.
Bagaimana mereka berupaya dan dengan cara apa. Ini akan menjawab
rumusan masalah yang peneliti ajukan. Selain itu, ini juga untuk
mengetahui seberapa jauh usaha dan tingkat keberhasilan mereka atas
gerakan yang dilakukannya.
Sedangkan pada bab keeempat akan menjelaskan kesimpulan dari
penelitian ini. Kesimpulan ini merupakan jawaban peneliti dari rumusan
masalah yang telah diajukan.